PERKEMBANGAN MORAL
PADA ANAK USIA DINI
Disusun oleh:
.....................
Dosen pembimbing:
............................
1
2016
Kata Pengantar
Pertama-tama kami ucapkan puji dan syukur kepada Allah Swt, karena berkat rahmat dan
karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tak lupa
sholawat dan salam kami limpahkan kepada Nabi Muhammmad SAW, pada para sahabatnya,
keluarganya sampai kepada kita umat-Nya.Alhamdulillah makalah yang kami buat ini
berjudul Perkembangan Moral pada Anak Usia Dini. Makalah ini dibuat sebagai salah satu
tugas dalam mata kuliah Perkembangan Anak Usia Dini. Kami menyadari makalah ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu kami berharap kritik dan saran membangun dari semua
pihak guna sempurnanya makalah ini.Akhirnya kami berharap mudah-mudahan makalah ini
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................2
Daftar Isi............................................................................................................................3
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................5
BAB II
BAB II
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................12
3.2 Saran............................................................................................................................13
Daftar Pustaka...................................................................................................................14
3
BAB IPENDAHULUAN
Peneliatan ilmiah yang mengkaji asal – usul munculnya nilai – nilai moral dan
keagamaan pada anak – anak hingga saat ini masih langka, walaupun sebenarnya
penelitian ini termasuk dalm wilayah psikologi. Selama ini, berbagai penelitian di
bidang psikologi trutama psikologi perkembangan belum banyak menyentuh wilayah
mistik dalam diri anak, yakni kejiwaan agama.Mungkin, studi yang cukup berani
menyelami wilayah ini adalah psikologi agama. Akan tetapi, berbagai penelitian
psikologi agama selama ini justru lebih banyak memperbincangkan metode pendidikan
agama pada anak, bukan tahap – tahap perkembangan keagamaan itu sendiri. Akibatnya,
anak – anak terkesan “dipaksakan” untuk menerima berbagai degma agama yang belum
tentu sesuai dengan tahap perkembangannya.Seandainya ada ppenelitian di bidang
psikologi agama yang mengkaji perkembangan agama pada anak, justru terkesan “kurang
ilmiah” karena kental dengan nuasan normatif yang sulit dibuktikan secara empiris. Oleh
karana itu, wilayah keilmuan yang menjadi harapan satu – satunya untuk
mengungkapkan tahap – tahan perkembangan agama pada anak secara ilmiah akademik
adalah psikologi perkembangan. Namun, hingga saat ini para psikolog, termasuk piaget
dan harlock, belum begitu menaruh perhatian pada studi ini.Terlepas dari masih sangat
terbatasnya studi empiris mengenai perkembangan agama pada anak – anak, fakta
menunjukkan bahwa sejak anak dilahirkan hingga dewasa, agamanya selalu mengikuti
orang tua atau orang yang mengasuhnya. Dengan kata lain, agama anak – anak adalah
“agama turunan” yang secara otomatis diwarisi dari orang tuanya. Jika orang tuanya
beragama islam, maka anaknya juga beragama islam. Montessori mengungkapkan bahwa
para psikolog dan peneliti tidak perlu bersusah payah mengungkap kondisi kejiwaan
anak, karena anak sendirilah yang akan mengungkapkan kondisi kejiwaan anak, karena
anak sendirilah yang akan mengungkapkan kondisi kejiwaan mereka sendiri. Hal ini ini
disebabkan yang mengetahui kondisi jiwa hanya anak itu sendiri, bukan orang lain.
4
Berdasarkan uraian di atas maka terdapat rumusan masalah sebagai berikut :1. Apa
makna agama bagi anak?
2. Bagaimana tahap-tahap perkembangan moral-keagamaan pada anak usia dini?
3. Bagaimana cara meningkatkan perkembangan agama pada anak?
BAB II
PEMBAHASAN
5
konkrit. Akhirnya mereka menulis surat untuk tuhan. Menurut penelitian paloutzian
melampirkan beberapa data langsung berupa tulisan surat untuk tuhan yang ditulis oleh
seorang anak yang berusia 11 tahun. Mungkin, anak-anak yang orang tuanya beragama Islam
akan memaknai agama dan tuhan sedikit berbeda dengan sampel penelitian Paloutzian
diatas, sehingga cara berkomonikasi dengan tuhan tidak dengan surat. Sebab bahasa yang
digunakan untuk berkomonikasi dengan anak-anak Islam telah melarang mereka
memersepsikan tuhan seperti benda konkrit seperti ayah atau orang dewasa. Jika anak-anak
kristen-katolik berkomonikasi dengan Tuhan melalui surat, maka anak-anak islam akan
berkomonikasi dengan tuhan melalui “Doa” seraya mengangkat kedua tangan ke atas.
Walaupun demikian, makna agama bagi anak-anak , baik Islam maupun Kristen-Katolik,
Bahkan semua agama, mempunyai titik persamaan persepsi, yakni rasa aman, kasih sayang,
dan perlindungan. Dan, ketiga hal tersebut ada dalam diri seorang ayah, bukan seorang ibu.
Karena ibu dalam pandangan anak itu kurang kuat atau kurang dapat memberi perlindungan
yang aman. Inilah sebabnya mengapa jika anak-anak mengadu atas hal yang mengancam
dirinya selalu kepada ayah, bukan kepada ibunya. Dalam anak-anak Kristen-Katolik
sangat dipengaruhi oleh bahasa atau kosa kata “Tuhan Bapak” dalam bibel. Sehingga persepsi
“Tuhan adalah Bapak” Menurut anak-anak Kristen-Katolik adalah Tuhan ayah sebagaimana
adanya. Sementara anak-anak muslim dan yang lain mempersepsikan Tuhan sebagai ayah
hanya sebatas sifat perlindungan dan keamanan yang ada pada dirinya saja. Terlepas
dari perbedaan tersebut, yang pasti Tuhan bagi anak-anak adalah sifat-sifat keamanan dan
perlindungan. Karena sifat-sifat ini ada pada diri seorang ayah, maka anak-anak memaknai
Tuhan sebagai “Ayah”.Paloutzian mengatakan :“ God is said to be like that perfect parent
who, either literally or spirutually, is always there to provide you and sense of security and
protect you from danger”.“Allah dikatakan seperti orang tua yang sempurna, baik secara
harfiah atau rohani, yang selalu ada untuk memberikan rasa aman dan melindungi anak dari
bahaya”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makna agama bagi anak-anak
adalah suatu yang bersifat konkrit dan jauh lebih kuat dari pada dirinya, sehingga mampu
memberikan perllindungan, sebagaimana ayahnya yang selama ini melindungi dan
memberikan rasa aman kepadanya.
6
jalan dan terhenti pada pembangan fisik-motorik, kognitif, bahasa, dan social-emosional.
Walaupun demikian, mereka menggunakan pendekatannya masing-masing dalam meneliti
perkembangan keagamaan pada anak. Alah satu psikolog yang menggunakan metode ini
adalah piage. Ia mengkaji perkembangan keagamaan pada anak dengan pendekatan moral-
kognitif.
Perkembangan agama dengan pendekatan moral kognitig piaget
Dengan membandingkan perbedaan antara kognitif anak-anak dengan orang dewasa,
ditemukan bahwa terdaapat proses hokum moral yang terus meningkat. Hal ini menunjukkan
bahwa perkembangan kognitif merupakan dasar bagi perkembangan moral. Akan tetapi,
piaget masih ragu apakah perkembangan moral bias menjadi dasar atau pijakan
perkembangan agama pada anak-anak atau tidak. Oleh karena itu, piaget hanya berharap agar
pendekatan moral-kognitifnya mempunyai korelasi paralel dengan perkembangan agama,
tidak lebih dari itu, piaget membuat alasan moral dan tiga tahapan kognitif.Piaget
memperkenalkan dua tahap moral,yaitu tahap moral realisme dan tahap moral kemerdekaan.
Piaget mempertanggungjawabkan kedua tahap moral tersebut melalui cerita atau kisah baik
buruk. Kemudian, anak diminta untuk mengatakan benar atau salah atas cerita yang
diberikannya tersebut. Kedua tahap moral inilah yang menjadi dasar tahap kognitifnya. Hal
ini dimaksudkan agar anak-anak dapat memahami atau menafsirkan agama secara konkrit
(benar-salah). Hanya dengan pemahaman yang konkrit seperti itulah anak-anak dapat menilai
moralitas dalam agama secara lebih konseptual dan abstrak.Selain dua tahap moral
sebagaimana disebutkan di atas, piaget juga mengusulkan sebuah teori perkembangan
kognetif secara general melalui tiga tahap. Ketiga tahap perkembangan kognetif tersebut
adalah:
2 tahap pra-operasional (2-7 tahun)
pada tahap ini, anak belum mampu berpikir secara logis dan abstrak
3 Tahap operasional (7-11 tahun)
Pada tahap ini, anak-anak mulai menggunakan klasifikasi dan logika yang operasional
4 Tahap operasi formal ( setelah usia 11 tahun)
Pada tahap ketiga, anak mulai mengembangkan mental dan berpikir secara abstrak dan
konseptual. Pada tahp inilah anak-anak mampu membedakan agamanya dapat diketahui
dengan mudah. Namun, kepentingan kita di sini adalah melihat perkembangan agama pada
anak usia dini, bukan perkembangan moral. Dan, piaget hanya memberikan informasi sampai
di sini.Selanjutnya, seorang psikolog telah melanjutkan dan mengembangkan kedua tahap
7
moral piaget dan tiga tahap perkembangan kognitifnya di atas. Psikolog tersebut tidak lain
adalah Lawrence Kohlerberg. Ia mengeksplorasi secara langsung teori piaget menjadi tiga
tahap perkembangan moral, yang masing-masing tahap mempunyai dua subtahap, sehingga
jumlahnya menjadi 6 tahap. Secara sederhana.
1. Perkembangan moral Kohlerberg
Pra-konvensional: penekanan pada control eksternal
a) Orientasi pada hukum dan kepatuhan. Salah dan benar ditentukan oleh apakah ia
endapat hukuman atau mematuhi peraturan.
b) Orientasi instrumental relatif. Benar dan salah ditentukan oleh ganjaran atau hadiah
atas perjuangannya.
2. Konvensional: menekankan pada kesenangan orang lain
a) Orientasi hubungan manusia. Benar dan salah ditentukan oleh perbuatan
seseorang di lingkungan sekitar.
b) Orientasi pada pemeliharaan system sosial. Benar dan salah ditentukan oleh
pemeliharaan tatanan social.
3. Akhir Konvensional: penekanannya pada pengakuan terhadap konflik dan alternative
a) Orientasi kontrak social. Benar dan salah ditentukan oleh kesepakatan social
b) Orientasi prinsip etis. Benar dan salah ditentukan oleh adat-istiadat internal.
Sampai di sini, perkembangan piaget dan kohlerberg baru menyentuh dimensi moral secara
umum, dan belum menyentuh pada wilayah agama secara khusus, terlebih lagi perkembangan
keagamaan pada anak. Akan tetapi, teori piaget di samping dikembangkan kohlerberg, juga
diikuti oleh David Elkind. Elkind inilah yang mengembangkan teori piaget ke dalam pola
perkembangan keagamaan pada anak.
8
tuhan4) Pencarian tentang pemahaman
Selama anak-anak tumbuh dewasa, mereka semata-mata menyerap jalinan persahabatan dan
perkembangan kemampuan untuk berteori.
9
d. Mengenal sifat-sifat Allah dan mencintai Rasulullah saw
6. 5 – 6 tahun a. Mampu menghafal beberapa surah dalam al-qur’an, seperti al-
Ikhlas dan an-Naas
b. Mampu mengahafal gerakan shalat secara sempurna
c. Mampu menyebutkan beberapa sifat Allah
d. Menghormati orang tua, menghargai teman-temannya, dan
menyayangi adik-adiknya atau anak di bawah usianya
e. Mengucapkan syukur dan terima kasih
Sebagai orang tua atau guru, kita tidak akan membiarkan anak didik kita mrngalami
keterlambatan dalam perkembangan keagamaannya. Sebab, jika anak mengalami
keterlambatan dalam hal ini, kadar kegeniusannya akan berkurang. Oleh karena itu, guru dan
orang tua perlu memberi stimulasi agar anaknya menjadi jenuis dengan
menumbuhkembangkan rasa keberagamaannya. Berikut ini terdapat beberapa stimulasi untuk
meningkatkan perkembangan agama pada anak.a. Mengikutsertakan anak dalam kegiatan –
kegiatan keagamaan
Melibatkan anak dalam kegiatan keagamaan secara langsung dapat memberikan “kesan”
khusus dalam diri anak tanpa melalui nasihat – nasihat islami, yang sering kali justru tidak
dipahami anak. Dalam hal ini, kegiatan keagamaan yang bisa melibatkan anak secara aktif
dalam bermain di lingkungan masjid, mengikuti pendidikan ekstra kulikuler di masjid atau
taman pendidikan Al-Qur’an ( TPA), mengajak anak shalat di masjid, kerja bakti
membersihkan lingkungan masjid, dan lain sebagainya.Jika memungkinkan, ikutkan anak
anda dalam berbagai perlombaan keagamaan, seperti lomba adzan, lomba hafalan surah
pendek, lomba busana islami, dan lain sebagainya. Terlebih lagi jika anak mampu menghayati
ritual keagamaan, seperti mengikuti lomba adzan, tilawatil Qur’an, cerdas cermat agama
( CCA ), dan lain sebagainya. Pengalaman anak dalam mengikuti dan menghayati ritual
keagamaan tersebut akan menghujam kedalam relung hati yang paling dalam, sehingga anak
bisa merasakan berbagai pengalaman keagamaan tersebut. Dan, pengalaman yang
dirasakannya inilah yang akan menjadi dasar atau fondasi bagi kepekaan beragaman
selanjutnya.b. Membiasaan ketaaatan beribadah
Untuk membina ketaatan beribadah pada anak usia dini, sebaiknya tidak perlu dijelaskan
10
secara detail mengenai kewajiban beribadah , seperti shalat lima waktu dan sunnah – sunnah
lain dalam berbagai aktivitasnya. Pembinaan ketaatan beribadah ini lebih jauh efektif melalui
pembiasaan dan keteladanan dari kedua orang tuanya. Sebab, anak usia dini belum mampu
menangkap penjelasan logis transendental secara optimal. Dengan demikian, yang di ajarkan
kepada anak adalah praktik langsung setahap demi setahap. Kemudian biasakan untuk
beribadah tepat pada waktunya, supaya anak mudah untuk mengerti waktu – waktu
beribadah. Dengan membiasakan ibadah tepat pada waktunya serta meminta anak untuk
menirukan gerakan ibadah tersebut, semakin sering akan semakin terbiasa, dan dalam jangka
waktu tertentu, anak anda akan menghafal gerakan ibadah anda.Jika anak anda sulit
menghafal tat cara beribadah hingga usia 6 ( enam ) tahun, maka tidak ada salahnya jika anda
mengajarkan cara menghafal gerakan beribadah. Sekedar contoh, mungkin ketika shalat
berjamaa’ah anda tidak bisa memerhatikan gerakan shalat anak anda, terutama pada rukun –
rukun tertentu. Oleh karena itu, tidak ada salahnya anda mengajarkan hafalan gerakan shalat
sebelum mengajarkan bacaan shalat.Setelah anak mampu menghafal gerakan ibadah, maka
ajarkan bacaan – bacaan ibadah dalam setiap rukunnya. Selah itu, maka dalam jangka waktu
tertentu, anak anda akan melakukan ibadah tepat pada waktunya tanpa harus anda suruh –
suruh lagi. Meskipun begitu, anda harus senantiasa mendampingi atau menjadi imam mereka.
Jika tidak, kebiasaan baik ini akan semakin luntur dan lama – kelamaan
hilang.c. Pembacaan kisah Qur’ani dan nabawi
Sebagaimana telah dikemukakan di depan bahwa pembacaan kisah atau dongeng dapat
mengasah imajinasi dan sosial – emosional anak. Adapun imajinasi itu sendiri merupakan
pola berfikir kreatif yang mampu mengantarkan pesan tertentu secara cepat dan mendalam.
Nah, jika kisah atau dongeng tersebut bertemakan topik – topik keagamaan, maka imajinasi
anak akan cepat menangkap pesan agama, sehingga rasa agamanya cepat tumbuh dan
berkembang dengan baik.Oleh karena itu, usahakan sesering mungkin untuk membacakan
kisah atau cerita yang termaktub di dalam kitab suci ( Al-Qur’an ). Kitab suci tersebut banyak
sekali menyajikan kisah atau cerita yang sangat menakjubkan. Sekedar contoh, kisah 25
Nabi, Ashabul kahfi, burung ababil, dan lain sebagainya. Di samping itu, juga perlu
dibacakan kepada anak – anak cerita atau kisah perjalanan nabi dan Rasul Allah. Sekedar
contoh, kisah perjalanan nabi muhammad saw, mulai dari ketika beliau menikah, di angkat
menjadi rasul , menerima wahyu, isr’ mi’raj, perang uhud, perang badar, ditinggal istri, kakek
dan pamannya, dan seterusnya hingga wafatnya beliau.Kisah – kisah tersebut dapat
menumbuhkan perasanaan beragam pada anak, juga mampu menstimulasi berfikir abstrak
pada anak, sehingga ketika dibicarakan kisah – kisah Qur’ani tersebut seolah – olah dirinya
11
berada dalam situasi atau konteks dalam kisah tersebut, tentu ini merupakan kemajuan daya
pikir konseptual yang abstrak dan transendental. Kemampuan berfikir secara abstrak
transendental ini yang akan mengukuhkan rasa beragam pada anak, sehingga pengalaman
tersebut akan dibawanya hingga masa dewasa, bahkan di masa tua renta kelak.d. Mendidik
keshalehan sosial
Perkembangan keagamaan yang baik akan berpengaruh pada perilaku sosial yang baik pula.
Oleh karena itu, pola pendidikan agama pada anak tidak boleh di pisahkan dari nilai – nilai
moral yang berlaku di masyarakat setempat. Atas dasar ini, pendidikan agama pada anak
perlu diaktualisasikan dalam kehidupan sehari – hari, seperti berbakti kepada orang tua, suka
menolong, rela berbagi mainan,menghormati yang lebih tua, dan lain sebagainya.Dengan
memberikan berbagai stimulasi keagamaan di atas, diharapakan anak dapat tumbuh dan
berkembang menjadi jenius dengan kesempurnaan rasa beragamanya. Apa indikasi
tercapainya perkembangan agama pada anak jenius? Tabel berikut ini menunjukkan indikasi
ketercapaian perkembangan rasa beragam pada anak jenius.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan tentang perkembangan moral pada anak usia dini, maka diambil
kesimpulan:1. Makna agama bagi anak – anak adalah sesuatu yang bersifat konkrit dan jauh
lebih kuat daripada dirinya, sehingga mampu memberi perlindungan, sebagaimana ayahnya
yang selama ini, melindungi dan memberikan rasa aman kepadanya.
2. Tahap perkembangan moral – keagamaan pada anak usia dini,setiap psikologi
menggunakan cara-caranya tersendiri untuk meneliti. Perkembangan agama dengan
pendekatan moral kognitif (Piaget), perkembangan moral Kohlerberg, perkembangan
keagamaan pada anak (David Elkind), Tahapan pemikiran atau perkembangan beragama pada
anak (Harms).
3. Beberapa anak yang lebih cepat dalam memahami arti agama, tetapi ada pula yang terlalu
lambat menangkap pesan agama. Anak yang cepat dalam memahami makna agama akan
semakin menambah kegeniusannya. Sebaliknya, anak yang mengalami keterlambatan dalam
perkembangan agamanya kurang sempurnalah kegeniusannya.
12
3.2 Saran
1. Setiap anak memiliki pemahaman yang berbeda, oleh karena itu pendidik harus
mengetahui sampai mana anak itu memahami tentang moral.
2. Perkembangan moral yang dilakukan oleh psikologi dengan cara pendekatan kognitif,
seharusnya psikologi melakukan penelitian tentang perkembangan moral pada anak usia dini.
3. Dalam perkembangan moral anak, sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga,sekolah,
masyarakat serta media informasi lainnya. Oleh karena itu perhatian orang tua sangat
diperlukan untuk bekal anak-anak dalam bergaul dengan lingkungan sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Suyadi, M. Pd. I. 2010. Psikologi Belajar Paud. Yogyakarta: Bintang Pustaka Abadi.
13