Anda di halaman 1dari 22

Laporan Kasus

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


Februari 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITASMUHAMMADIYAH MAKASSAR

HUBUNGAN HIPERTENSI DENGAN EPISTAKSIS

Oleh :

MAULIDINAH UMAR
10542 0296 11

Pembimbing :
dr. Zakaria Mustari. Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2017
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrahim
Assalamu’Alaikum WR.WB
Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga laporan kasus dengan
judul ‘’HIPERTENSI DAN EPISTAKSIS” ini dapat diselesaikan.Salam dan
shalawat senan tiasa tercurah kepada baginda Rasulullah SAW, sang pembelajar
sejati yang memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing dr. Zakaria
Mustari. Sp.PD yang telah memberikan petunjuk, pengarahan dan nasehat yang
sangat berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan
kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini, baik dari isi maupun
penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis
harapkan demi penyempurnaan laporan kasus ini.
Demikian, Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi pembaca secara
umum dan penulis secara khususnya.

Billahi Fi SabilillHaqFastabiqulKhaerat
WassalamuAlaikum WR.WB.

Makassar, Februari 2018

Penulis
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:


Nama : Maulidinah Umar
NIM : 10542 0296 11
Judul Laporan kasus : Hipertensi dan Epistaksis

Telah menyelesaikan Laporan kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di


Bagian Ilmu Penyakit Dalam Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Februari 2018


Pembimbing,

dr. Zakaria Mustari. Sp.PD


A. PENDAHULUAN

Hipertensi adalah kondisi umum dimana kekuatan aliran darah


terhadap dinding pembuluh darah cukup tinggi.
Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas di Indonesia, sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan
intervensi yang sangat umum dilakukan diberbagai tingkat fasilitas kesehatan.
Pedoman Praktis klinis ini disusun untuk memudahkan para tenaga kesehatan
di Indonesia dalam menangani hipertensi terutama yang berkaitan dengan
kelainan jantung dan pembuluh darah. 2
Dari kelompok penyakit kardiovaskular, hipertensi paling banyak
ditemui antara 10-15% orang dewasa menderita penyakit ini. Penting sekali
untuk dokter mencoba mengenali dan mengobati penderita-penderita hipertensi
pada masyarakat. 3
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi
berbagai faktor resiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi
dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis
kelamin, dan umur. Faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya
aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi makanan yang mengandung
natrium dan lemak jenuh. 2
Dalam masyarakat barat, tekanan darah akan meningkat sesuai dengan
umur. Pasien biasanya tidak menimbulkan gejala dan diagnose hipertensi
selalu dihubungkan dengan kecenderungan penggunaan obat seumur hidup.
Tekanan darah sangat bervariasi tergantung pada keadaan, akan meningkat saat
beraktifitas, emosi, stress, dan cenderung turun saat tidur. 4
Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan
jantung, penyakit jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang
berakibat pada kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan
jantung yang dapat berakibat kecacatan bahkan kematian. Hipertensi atau yang
disebut the silent killer yang merupakan salah satu faktor resiko paling
berpengaruh penyebab penyakit jantung (cardiovascular). 2
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung. Epistaksis bukan suatu
penyakit melainkan gejala suatu kelainan. Penyebab epistaksis dapat dibedakan
sebagai penyebab lokal, sistemik, dan idiopatik. Penyebab lokal yaitu trauma,
infeksi hidung dan sinus paranasal, tumor pada hidung, sinus paranasal dan
nasofaring, lingkungan, benda asing atau rinolit, septum deviasi, dan
terdapatnya telangiektasis. Sedangkan penyebab sistemik meliputi penyakit
kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, gangguan endokrin, dan
kelainan kongenital. 5
Dalam menangani pasien epistaksis penting untuk menggali riwayat
penyakit pasien. Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap
masalah kesehatan yang mendasari epistaksis. Pemeriksaan fisik terutama
difokuskan untuk mencari sumber perdarahan. 5
Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% orang di seluruh dunia
selama masa hidup mereka, dan sekitar 6% dari mereka dengan epistaksis
datang ke pelayanan kesehatan. Prevalensi meningkat pada anak-anak kurang
dari 10 tahun dan kemudian naik lagi setelah usia 35 tahun. Umumnya, laki-
laki yang sedikit terkena dibanding wanita sampai usia 50 tahun, tapi setelah
50 tahun tidak ada perbedaan yang signifikan seperti data yang telah
dilaporkan. 5
Dikutip dari Dewar, Mitchell menemukan 4,5% dari 374 orang yang
dirawat dengan hipertensi, memiliki riwayat epistaksis. Terdapat hubungan
antara epistaksis dengan hipertensi yang berlangsung lama dan adanya
hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi diduga tidak menyebabkan epistaksis secara
langsung, tapi memperberat episode epistaksis. 6
Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213 orang pasien yang
datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis, ditemukan 33 orang pasien
(15,5%) dengan peningkatan tekanan darah 6
Mengendalikan tekanan darah sebagai salah satu faktor risiko, akan
menurunkan insiden terjadinya epistaksis. Di ruang gawat darurat, pemberian
obat anti hipertensi diberikan sebelum atau bersamaan dengan manajemen
epistaksis itu sendiri. 6
B. LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS
Nomor RM : 49.24.99
Nama Pasien : Abdullah dg Rate
Tanggal lahir : 01 Juli 1960
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Bontoa

2. Anamnesis
Keluhan utama : Mimisan
Anamnesis terpimpin : Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan
mimisan yang dialami sejak jam 9 pagi, darah keluar pada kedua lubang
hidung dan pasien sebelumnya tidak pernah mengalami mimisan. Pasien
mengeluh kepala terasa sakit, terkadang penglihatan tampak gelap, pasien
tidak demam, riwayat trauma disangkal.
Riwayat penyakit dahulu/faktor resiko :
- Hipertensi ada sejak 3 tahun yang lalu
- DM disangkal
- Merokok ada
- Minum alcohol disangkal
- Kolesterol disangkal

3. Status Pasien
Keadaan Umum : lemas
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Baik

4. Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 180/110 mmHg
Nadi : 91 x/menit
Pernafasan : 26 x/menit
Suhu : 36,6 C

5. Pemeriksaan Fisis
Mata : Anemis (-), Ikterus (-), konjungtivitis (-)
Hidung : Rhinorea (-), epistaksis (+) di kedua lubang
hidung, deviasi septum nasi (-)
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran kel Thyroid (-)
Thorax : Simetris hemithorax dextra/sinistra
Suara napas vesicular, wh(-/-), rh(-/-)
Jantung : BJ I/II murni regular, Bising (-)
Batas jantung kanan parasternal dextra
Batas jantung kiri mid clavicula sinistra
Abdomen : peristaltic (+), kesan normal
Nyeri tekan (-), Ascites (-), hepatomegali (-)
Ekstremitas : Pitting edema (-)

6. Pemeriksaan Penunjang (12 Januari 2018)


Lab. Darah Rutin : WBC 11,8 x 103/ul
RBC 4,58 x 103/ul
HGB 13,9 g/dl
PLT 275 x 103/ul
Lab. Kimia Darah : GDS 108 mg/dl
7. FOLLOW UP
Tanggal / Jam Hasilpemeriksaan Instruksi
Sabtu, 13 Januari S: Pasien masih mimisan di kedua - RL 20 tpm
2018 lubang hidung, sakit kepala (+), - Asam
demam (-) traneksamat /12
BAB : biasa jam/ drips
BAK : lancer - Adona drips/12
Selera makan : baik jam
Selera minum : baik -Catopril 2x1

O: KU : lemah
TD : 130/90 mmHg
N : 84x/mnt
P : 22x/mnt
S : 36,5 C
Epistaksi (+)
Paru : vesikular
Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Cardiovaskular : BJ I/II murni regular
Abdomen : Peristaltik (+), kesan
normal
Metabolik: Edema (-), Ikterus (-)

A: Hipertensi + epistaksis
Senin, 02 Oktober S : Lemah - ASI + SF 5 cc /
2017 Refleks isap (+) 3 jam
Refleks telan (+) - Rawat
BAB : Meconium Inkubator
BAK : Lancar - Rawat tali
O: pusat
KU : Lemah - NGT
HR : 146 x/menit Terpasang
RR : 40 x/menit - Hasil Lab DR :
S : 37 0C  WBC : 106
 RBC : 4,10
Paru : Bronkovesikuler  HGB : 15,6
Ronchi -/-, Wheezing -/-  HCT : 48,8
Cardiovaskular : BJ I/II murni regular  MCV : 119
Abdomen : Peristaltik (+), kesan  MCH : 38
normal
 PLT : 210
Tali pusat : Basah, Bau (-), Radang(-)
 PCT : 0,20
Metabolik : Edema (-), Ikterus (-)
- Pasang Infus,
A: BBLR, BCB / KMK /SC
Dextrose 10%
8 tpm.
- Inj. Cefotaxim
2x80 mg
- Inj. Gentamicin
2x4 mg
- Sonde 10-15
cc/3jam
- O2 0,5-1 ltr/m
Minggu, 14 S : mimisan (+) sudah berkurang dari - RL 20 tpm
Januari 2018 sebelumnya, sakit kepala (-), demam - Asam
(-) traneksamat
BAB : biasa 2x1
BAK : lancar - Adona drips/
12 jam
O :KU : sedang - Catopril 2x1
TD : 120/70 mmHg
HR : 82 x/menit
RR : 22 x/menit
S : 36,4 0C
Paru : Vesikular, Rh -/-,Wh -/-
CV : BJ I/II murni regular
Abd : Peristaltik (+), kesan normal
Ekstremitas : Edema (-)

AA: Hipertensi + Epistaksis

Senin, 15 Januari S : mimisan (-), sakit kepala (-), demam - Aff infuse
2018 (-) - Catopril 2x1
BAB : biasa - Boleh pulang
BAK : lancar

O : KU : membaik
TD : 120/70 mmHg
HR : 78 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36,5 0C
Paru : vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
CV : BJ I/II murni regular
Abdomen : Peristaltik (+), kesan
normal

A: Hipertensi + Epistaksis
C. PEMBAHASAN

1. DEFINISI
A. Hipertensi
Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari dalam
walaupun luar negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan
hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang.
Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar
penentuan diagnosis hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan
hipertensi pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan
tatalaksana hipertensi (disadur dari A Statement by the American Society of
Hypertension and the International Society of Hypertension2013). 2
B. Epistaksis
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung
berdarah. Penanganan epistaksis dengan menekan ala nasi telah
diperkenalkan sejak zaman Hipokrates. Cave Michael (1871), James Little
(1879) dan Wilhelm Kiesselbach merupakan ahli-ahli yang pertama kali
mengidentifikasi cabang-cabang pembuluh darah yang berada di bagian
anterior septum nasi sebagai sumber epistaksis. 6
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung,
rongga hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para
klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu
kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri. 8

2. ETIOLOGI
A. Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan 7
a. Hipertensi esensial atau hipertensi primer.
Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi
esensial yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang tidak
diketahui penyebabnya (Idiopatik). Beberapa faktor diduga berkaitan
dengan berkembangnya hipertensi esensial seperti berikut ini:
- Genetik: individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi,
beresiko tinggi untuk mendapatkan penyakit ini. Faktor genetik ini tidak
dapat dikendalikan, jika memiliki riwayat keluarga yang memliki tekanan
darah tinggi.
- Jenis kelamin dan usia: laki – laki berusia 35- 50 tahun dan wanita
menopause beresiko tinggi untuk mengalami hipertensi. Jika usia
bertambah maka tekanan darah meningkat faktor ini tidak dapat
dikendalikan serta jenis kelamin laki–laki lebih tinggi dari pada
perempuan.
- Diet: konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung berhubungan
dengan berkembangnya hipertensi. Faktor ini bisa
- Geografi dan lingkungan : terdapat perbedaantekanan darah yang nyata
antara populasi kelompok daerah kurang makmur dengan daerah maju,
seperti bangsa Indian amerika selatan yang tekanan darahnya rendah tidak
banyak menungkat sesuai dengan pertambahan usia dibandingkan dengan
masyarakat barat. 4
- Janin : faktor ini dapat memberikan pengaruh karena berat lahir rendah
tampaknya merupakan predisposisi hipertensi dikemudian hari. Barangkali
karena sedikitnya jumlah nefron dan lebih rendah kemampuan
mengeluarkan natrium pada bayi dengan berat lahir rendah. 4
- Hiperaktivitas simpatis : dapat terlihat pada hipertensi umur muda.
Katekolamin akan memacu produksi rennin, menyebabkan konstriksi
arteriol dan vena sehingga meningkatkan curah jantung. 4
- Resistensi insulin : kaitan resistensi insulin dengan hipertensi telah
diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin
merupakan zat penekan karena meningkatkan kadar katekolamin dan
reabsorpsi natrium
- Disfungsi sel endotel : penderita hipertensi mengalami penurunan respon
vasodilatasi terhadap nitrat oksida dan endotel mengandung vasodilator
seperti endotelin-1, meskipun kaitannya dengan hipertensi tidak jelas. 4
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder merupakan 10% dari seluruh kasus hipertensi
adalah hipertensi sekunder, yang didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan darah karena suatu kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti
penyakit ginjal atau gangguan tiroid, hipertensi endokrin, hipertensi renal,
kelainan saraf pusat yang dapat mengakibatkan hipertensi dari penyakit
tersebut karena hipertensi sekunder yang terkait dengan ginjal disebut
hipertensi ginjal (renal hypertension). Gangguan ginjal yang paling
banyak menyebabkan tekanan darah tinggi karena adanya penyempitan
pada arteri ginjal, yang merupakan pembuluh darah utama penyuplai darah
ke kedua organ ginjal. Bila pasokan darah menurun maka ginjal akan
memproduksi berbagai zat yang meningkatkan tekanan darah serta
ganguuan yang terjadi pada tiroid juga merangsang aktivitas jantung,
meningkatkan produksi darah yang mengakibtkan meningkatnya resistensi
pembuluh darah sehingga mengakibtkan hipertensi. Faktor pencetus
munculnya hipertensi sekunder antara lain: penggunaan kontrasepsi oral,
coarctation aorta, neurogenik (tumor otak, ensefalitis, gangguan
psikiatris), kehamilan, peningkatan volume intravaskuler, luka bakar, dan
stress karena stres bisa memicu sistem saraf simapatis sehingga
meningkatkan aktivitas jantung dan tekanan pada pembuluh darah. 7
B. Epistaksis
Beberapa etiologi dari epistaksis :
- Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan
ingus dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat
seperti kecelakaan lalulintas.
- iritasi gas yang merangsang, benda asing dan trauma pada pembedahan.
- Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, inusitis serta granuloma
spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis.
- Epistaksis berat dapat terjadi pada tumor seperti hemangioma, karsinoma
dan angiofibroma.
- Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai pada
arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis hebat, sering kambuh dan
prognosisnya tidak baik.
- Gangguan endokrin pada wanita hamil dan menopause
- kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada
demam berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis.
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah Rendu-
Osler- Weber disease.
- epistaksis dapat terjadi pada penyelam yang merupakan akibat perubahan
tekanan atmosfer. 8

3. Patomekanisme
A. Hipertensi
Penyulit utama pada penyakit jantung hipertensif adalah hipertrofi
ventrikel kiri yang terjadi sebagai akibat langsung dari peningkatan
bertahap terhadap pembuluh darah perifer dan beban akhir vetrikelkiri.
Faktor yang menentukan hipertrofi ventrikel kiri adalah derajat dan
lamanya peningkatan diastole. Pengaruh beberapa faktor humoral seperti
rangsangan simpato-adrenak yang meningkat dan peningkatan system
RAA. Fungsi pompa ventrikel kiri dan terjadinya aterosklerosis primer.
Pada stadium permulaan hipertensi, hipertrofi yang terjadi adalah
difus konsentrik. Rasio massa dan volume akhir diastolic ventrikel kiri
meningkat tanpa perubahan yang berarti pada fungsi pompa efektif
ventrikel kiri. Pada stadium selanjutnya, karena penyakit berlanjut terus,
hipertrofi menjadi tak teratur dan akhirnya eksentrik akibat terbatasnya
aliran daran koroner. Khas pada jantung dengan hipertrofieksentrik
menggambarkan kurangnya rasio antara massa dan volume, oleh karena
meningkatnya volume diastolic akhir. Hal ini diperlihatkan sebagai
penurunan secara menyeluruh fungsi pompa, peningkatan tegangan
dinding ventrikel pada saat sistol dan konsumsi oksigen otot jantung. Hal-
hal yang memperburuk fungsi mekanik ventrikel kiri berhubungan erat
bila disertai penyakit jantung koroner. 9
Gambar 1. Patomekanisme hipertensi. 9
B. Epistaksis
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-
kadang sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber
perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.
- Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach/ Little’s area,
merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak.
Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat
berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan
sederhana.8

Gambar 2. Epistaksis anterior. 8

- Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri


ethmoid posterior yang disebut pleksus Woodruff’s. Perdarahan
cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada
pasien dengan penyakit kardiovaskular. 8
C. Hubungan Epistaksis dengan Hipertensi
Menurut Herkner dkk, ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa
epistaksis dapat terjadi pada pasien-pasien dengan hipertensi :
- Pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah
yang kronis. Hal ini berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan
tekanan darah yang abnormal.
- Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan
berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom yaitu
bagian pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka
inferior. 6
Hubungan antara hipertensi dengan kejadian epistaksis masih
merupakan suatu yang kontroversial. Adanya kecendrungan peningkatan
kejadian epistaksis pada pasien dengan hipertensi yang lama dan hipertrofi
ventrikel kiri. Tetapi sebagian penulis menemukan sebaliknya. Lubianca
dkk (1999), menyatakan tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara
peningkatan tekanan darah dengan kejadian epistaksis.
Padgham dkk, dikutip dari Temmel, menemukan adanya hubungan
antara hipertensi dengan epitaksis terutama epitaksis yang berasal dari
meatus medius, tapi tidak ditemukan hubungan dengan beratnya epistaksis.
Sedangkan Beran dkk melaporkan common cold, stres, dan kelelahan
dilaporkan sering mendahului terjadinya epistaksis.
Ibrashi dkk mengatakan bahwa lesi lokal di hidung yang
menyebabkan stagnan aliran pembuluh darah seperti infeksi, atau penyebab
lainnya yang menghancurkan dinding pembuluh darah atau
mukoperiostealnya yang dapat menjadi pemicu terjadinya epistaksis, maka
hipertensi dan aterosklerosis baru akan memainkan peranannya dalam
memperberat epistaksis.15 Dari Lubianca mengatakan ada tiga faktor lain
yang dapat membuat samar diagnosis epistaksis yang disebabkan oleh
hipertensi yaitu: 1) kelainan anatomi hidung, 2) bukti adanya kerusakan
organ target lain dan 3) kelainan hemostasis.
Hedges (1969), seperti dikutip dari Ibrashi, membandingkan
pengaruh hipertensi pada aliran darah di retina dengan aliran darah di
hidung. Hasilnya didapatkan pada aliran darah dalam retina didukung oleh
tekanan dari intraokuler. Sebaliknya, aliran darah di hidung, tidak ada
tekanan pendukung dari mukoperikondrium dan mukoperiostium. Inilah
yang mungkin menjelaskan pada pasien hipertensi dengan gejala epistaksis,
tapi tidak ada gejala perdarahan retina dan eksudat pada kelompok yang
diperiksa. Perdarahan di retina berhubungan dengan penyebab sistemik
seperti diabetes melitus, atau penyebab lokal seperti tekanan intraokuler
yang rendah.
Herkner mendapatkan dari 213 orang pasien yang datang ke unit
gawat darurat dengan epistaksis, mempunyai tekanan darah sistolik 161
(157-165) mmHg dan tekanan darah diastolik 84 (82-86) mmHg serta pada
hipertensi stadium 3 (≥180/≥110 mmHg).
Padgham melaporkan pada hipertensi ringan dan sedang, terbukti
mempunyai hubungan dengan kejadian epistaksis di meatus medius, tapi
tidak di bagian hidung yang lain. Tidak terbukti ada hubungan kejadian
epistaksis dengan konsumsi aspirin, obat antiinflamasi non steroid, tingkat
keparahan dan bagian hidung yang mengalami perdarahan.
Knopfholz dkk mengatakan hipertensi tidak berhubungan dengan
beratnya epistaksis yang terjadi. Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat
kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses
degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka
waktu yang lama merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis.
Epistaksis bukanlah termasuk gejala kasus hipertensi emergensi.
Kesimpulan ini didapatkan oleh Lima Jr dkk dalam penelitian tentang
hubungan epistaksis dengan kasus hipertensi emergensi.
Fakta baru yang ditemukan oleh Herkner dkk (2002) bahwa angka
kejadian epistaksis pasca operasi mengalami peningkatan pada pasien
dengan riwayat hipertensi yang lama. Tidak ditemukan hubungan dengan
beratnya derajat hipertensi. 6
D. PENATALAKSANAAN

Menurut Massick, penatalaksanaan epistaksis dengan hipertensi


secara umum sama dengan kasus epistaksis lainnya. Penilaian pertama
yang harus dilakukan adalah menilai stabilitas hemodinamik pasien.
Kehilangan darah yang banyak serta diperhatikan tanda-tanda terjadinya
syok hipovelemik. 8
Pada kasus ini, pasien diberikan terapi IVFD RL 20 tpm untuk
menjaga hemodinamik pada pasen dan diberikan adona drips/12 jam dam
asam traneksamat 3x1 yang merupakan obat golongan hemostatik
sehingga dapat menghentikan perdarahan. Asam traneksamat memiliki
indikasi dan mekanisme kerja sama dengan asam aminokaproat tetapi 10
kali lebih potent dengan efek samping yang lebih ringan. Dosis yang
dianjurkan 0,5-1 gram yang diberikan 2-3 kali sehari secara IV lambat
sekurang-kurangnya dalam waktu 5 menit. Cara pemberian lain peroral
dosis 15 mg/kgBB diikuti dengan 30 mg/kgBB tiap 6 jam. Pada pasien
gagal ginjal dosis dikurangi. 10
Salah satu manifestasi klinis yang tersering adalah epistaksis yang
berulang hingga memerlukan transfusi darah. Bila perlu dengan
pemasangan suatu tampon hidung anterior atau posterior dan transfusi
plasma kriopresipitat, faktor VIII atau faktor pembekuan lain.
Dalam kasus ini tidak dilakukan transfusi darah karena pada
pemeriksaan lab darah rutin kadar hemoglobin dalam batas normal.
Menurut Schwartzbauer dkk (2003), ligasi terhadap arteri
sfenopalatina dan nasalis posterior dengan menggunakan metode
endoskopi berhasil menghentikan epistaksis yang berulang. 6
Dalam kasus ini tidak dilakukan ligasi karena epistaksis baru di
alami saat ini dan dapat berhenti dengan pemberian obat. Ligasi di
lakukan pada epistaksis berulang.
Herkner dkk mengatakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam
penanganan epistaksis dengan hipertensi ini adalah penanganan lanjutan
untuk hipertensinya setelah mereka mendapatkan pengobatan di unit gawat
darurat. Herkner mendapatkan lebih sepertiga pasien epistaksis dengan
hipertensi yang berobat di unit gawat darurat tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat untuk hipertensinya selama di rumah. 6
Dikutip dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Secchi (2009),
epistaksis dengan hipertensi ditemukan pada 22 kasus (36%) dari total
kasus epistaksis. Penelitian lain mendapatkan prevalensi 24-64%. Dari 22
kasus ini penanganan yang diberikan berupa pemasangan tampon
anteroposterior dan kontrol tekanan darah sebanyak 18 kasus. Sedangkan 4
kasus lagi dilakukan ligasi arteri sphenoid. 6
Pada kasus ini, pasen yang diberikan catopril 2x1 yang
merupakan obat anti hipertensi golongan ACE inhibitor dan diberikat
obat pulang Catopril untuk menjaga tekanan darah harian.
DAFTAR PUSTAKA

1. .

2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman


Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Jakarta : 2015.

3. Baraas Faisal. Buku Ajar Kardiologi. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Jakarta : 2010

4. Gray Huon.2003. Lecture Notes Kardiologi. Ed IV. Jakarta : Erlangga


Medical Series

5. Yolazenia. 2015. Epistaksis Berulang dengan Rinosinusitis Kronik, Spina


pada Septum dan Telangiektasis. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

6. Jaka Bestari. 2015. Epistaksis dan Hipertensi adakah hubungannya.


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

7. Ayu Fitria. 2012. Hipertensi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra


Utara

8. Munir Delfitri. 2016. Epistaksis. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra


Utara

9. Philip Aaronson. 2008. At a Glance Sistem Kardiovaskular. Ed III.


Jakarta: Erlangga Medical Series

10. Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


2016. Farmakologi dan Terapi. Ed VI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai