Anda di halaman 1dari 9

REFERAT

DEEP VEIN THROMBOSIS

Disusun Oleh:

Ineke Putri

Winda Linting Sanda Lolok

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah

RS Rajawali

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Periode 31 Juli 2017- 7 Oktober 2017


Definisi
Trombosis vena dalam, sering disebut sebagai "DVT," terjadi aaat bekuan darah
atas trombus, berkembang di pembuluh darah besar dari kaki atau daerah pelvis.
Beberapa DVT tidak menyebabkan rasa sakit, sedangkan yang lain bisa sangat
menyakitkan.1
Trombosis vena dalam merupakan pem bentukan bekuan darah atau trombus akibat
reaksi inflamasi pada dinding pembuluh darah vena. Vena tidak mempunyai lapisan
otot sehingga yang membuat darah kembali ke jantung adalah kerja otot tubuh yang
menekan atau memeras vena ketika berkontraksi pada aktivitas normal.2
Etiologi
Berdasarkan “Virchow’s Triad”, terdapat 3 faktor stimuli terbentuknya
tromboemboli, yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah, dan
perubahan daya beku darah. Selain faktor stimuli, terdapat faktor protektif yaitu
inhibitor faktor koagulasi yang telah aktif (contoh: antitrombin yang berikatan dengan
heparan sulfat pada pembuluh darah dan protein C yang teraktivasi), eliminasi faktor
koagulasi aktif, dan kompleks polimer fibrin oleh fagosit mononuklear dan hepar, serta
enzim fibrinolisis.3
Faktor utama yang berperan terhadap terjadinya trombosis vena adalah status aliran
darah dan meningkatnya aktifitas pembekuan darah. Faktor kerusakan dinding
pembuluh darah adalah relatif berkurang berperan terhadap timbulnya trombosis vena
dibandingkan trombosis arteri. Sehingga setiap keadaan yang menimbulkan statis aliran
darah dan meningkatkan aktifitas pembekuan darah dapat menimbulkan trombosis
vena. Faktor resiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :4
1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.
Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak di
netralisir sehinga kecendrungan terjadinya trombosis meningkat.
2. Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi
dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah.
Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena,
sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-
14%. Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada
tindakan operatif, adalah sebagai berikut :
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma
pada waktu di operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif, operatif dan
post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di
daerah tersebut.
3. Kehamilan dan persalinan
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis
vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX. Pada
permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan
lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi
peningkatkan koagulasi darah.
4. Infark miokard dan payah jantung
Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan
yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan
adanya statis aliran darah karena istirahat total. Trombosis vena yang mudah terjadi
pada payah jantung adalah sebagai akibat statis aliran darah yang terjadi karena
adanya bendungan dan proses immobilisasi pada pengobatan payah jantung.
5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.
Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang mempermudah
timbulnya trombosis vena.
6. Obat-obatan konstraseptis oral
Hormon estrogen yang ada dalam pil kontraseptis menimbulkan dilatasi vena,
menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya
faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis
vena.
7. Obesitas dan varices
Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan aktifitas
fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.
8. Proses keganasan
Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan “tissue thrombo plastin-like
activity” dan “factor X activiting” yang mengakibatkan aktifitas koagulasi
meningkat. Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik
dan infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis.
Tindakan operasi terhadap penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis
2-3 kali lipat dibandingkan penderita biasa

Epidemiologi
Insidens DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50 per 100.000
populasi/tahun. Angka kejadian DVT meningkat sesuai umur, sekitar 1 per 10.000 –
20.000 populasi pada umur di bawah 15 tahun hingga 1 per 1000 populasi pada usia di
atas 70 tahun. Insidens DVT pada ras Asia dan Hispanik dilaporkan lebih rendah
dibandingkan pada ras Kaukasia, Afrika-Amerika Latin, dan Asia Pasifik. Tidak ada
perbedaan insidens yang signifikan antara pria dan wanita.3

Patogenesis
Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan dalam
patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu kelainan dinding pembuluh
darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah.4
Trombosis vena adalah suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel
darah merah dan beberapa komponen trombosit dan lekosit. Patogenesis terjadinya
trombosis vena adalah sebagai berikut :4
1. Stasis vena.
2. Kerusakan pembuluh darah.
3. Aktivitas faktor pembekuan.
Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah statis
aliran darah dan hiperkoagulasi:4
1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama pada
daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama. Statis
vena merupakan predis posisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat
menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor
pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.
2. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena,
melalui :
a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.
b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat
kerusakan jaringan dan proses peradangan.
Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel yang
utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa
substansi seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan
trombo-modulin, yang dapat mencegah terbentuknya trombin.(6)
Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar.
Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir
akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis
dan mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat
dan tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain yang masih beredar
untuk berubah bentuk dan saling melekat.
Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah.
3. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan
sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas
pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun. Trombosis vena
banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah meningkat,
seperti pada hiper koagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi protein C,
defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.

Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik umum adalah untuk mengidentifikasi keadaan umum


pasien saat pemeriksaan dengan penekanan pada tanda-tanda vital, keadaan sakit, gizi dan
aktivitas pasien. Setelah anamnesis selesai dilakukan, maka pemeriksaan fisik biasanya
dimulai dengan pemeriksaan objektif yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu
dan tingkat kesadaran, serta pemeriksaan tanda-tanda vital dengan inspeksi, palpasi, dan
5
auskultasi. Biasanya pada DVT akan ditemukan tanda-tanda klinis yang klasik yaitu
edema tungkai yang unilateral, eritema, hangat, nyeri dan dapat pula diraba pembuluh
darah superficial. Pada pasien tersebut ditemukan inflasi dan eritema pada betis kirinya
(unilateral).

Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang


Pemeriksaan penunjang atau pemeriksaan laboratorium dalam arti luas adalah
setiap pemeriksaan yang dilakukan di luar pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang
dalam garis besarnya dimaksudkan sebagai alat diagnostik, petunjuk tatalaksana, dan
2(1)
petunjuk prognosis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus DVT
antara lain : 6
1. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosis DVT.
Pada DVT pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah venografi dan
flebografi pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan paling standart untuk DVT baik
pada betis, paha, maupun system ileofemoral lainnya, kerugiannya adalah
pemasangan kateter vena dan resiko alergi terhadap bahan radiokontras (yodium).
Dapat pula dilakukan Ultrasoografi (USG) Doppler maupun Ultrasonografi kompresi,
pemeriksaan USG Doppler adalah pemeriksaan USG yang dilakukan secara duplex
dan mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi untuk DVT proksimal.
Ketepatan pemeriksaan USG Doppler untuk DVT proksimal yang simtomatik adalah
94% dibandingkan dengan venografi. Sedangkan USG kompresi mempunyai
sensitivitas 89% dan spesifisitas 97% ada DVT proksimal yang simtomatik sedangkan
DVT pada daerah betis mempunyai hasil negative palsu 50%. Selain itu dapat pula
dilakukam MRI, biasanya MRI digunakan untuk mendiagnosis DVT pada perempuan
hamil atau DVT pada pelvis, iliaka dan vena kava dimana usg Doppler pada
ekstremitas bawah menunjukan hasil negative.
2. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium hemostasis didapatkan peningkatan D-dimer dan
penurunan anti thrombin. Peningkatan D-dimer merupakan indicator adanya
thrombosis aktif. Pemeriksaan ini sangat sensitive tapi tidak spesifik dan sebenarnya
lebih berperan untuk menyingkirkan adanya thrombosis jika hasilnya negative.
Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 93%, spesifisitas 77% dan nilai prediksi
negative 98% pada DVT proksimal, sedangkan pada DVT daerah betis sensitivitasnya
70%. Pemeriksaan labolatorium lain umumnya tidak teralu bermakna untuk
mendiagnosis adanya thrombosis, tetapi dapat membantu menentukan faktor risiko.
Gejala Klinis
Gelaja klinis pada pasien DVT dapat terlihat yaitu 50% dari semua pasien tidak menunjukan
gejala. Sedangkan, obstruksi vena profunda dari tungkai menghasilkan edema dan
pembengkakan ekstremitas, kulit pada tungkai yang terkena dapat teraba hangat; vena
superficial dapat lebih menonjol, pembengkakan bilateral mungkin sulit untuk dideteksi,
nyeri tekan terjadi kemudian; terdeteksi dengan palpasi ringan pada tungkai, tanda human
(nyeri pada betis setelah dorsoflesi tajam kaki), tidak spesifik untuk thrombosis vena
profunda karena nyeri ini dapar didatangkan olehsetiap kondisi yang menyakitkan pada betis.
Pada beberapa kasus, tanda embolus pulmonal merupakan indikasi pertama adanya
thrombosis vena profunda. Thrombus vena superficial menyebabkan nyeri terkan, kemerahan
dan rasa hangat pada daerah yang terkena.

Penatalaksanaan

1. Tata Laksana
Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya sudah
pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan yang
diberikan mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius. Penatalaksanaan DVT
baik non-farmakologis dan farmakologis diarahkan untuk dapat mencapai tujuan-tujuan
sebagai berikut: mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru, mengurangi
morbiditas pada serangan akut, mengurangi keluhan post flebitis, mengobati hipertensi
pulmonal yang terjadi karena proses tromboemboli.7
- Medikamentosa
Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegahdengan
pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan ini
di usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimalmungkin.
Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru, obat
yang biasa di pakai adalah heparin. Heparin merupakan satu-satunya antikoagulan
yang diberikan secara parenteral dan merupakan obat terpilih bila diperlukan efek
yang cepat, misalnya untuk emboli paru dan TVD, okluasi arteri akut atau infark
miokard akut.Obat ini juga digunakan untuk profilaksis tromboemboli vena selama
operasi dan untuk mempertahankan sirkulasi ekstrakorporal (misalnya mesis dialysis)
untuk mencegah trombosis. Penggunaan heparin jangka panjang juga dapat
bermanfaat bagi pasien yang mengalami tromboemboli berulang meskipun telah
mendapat antikoagulan oral.Heparin digunakan untuk pengelolaan awal pasien angina
tidak stabil atau infark miokard akut, selama dan sesudah angioplasty koroner atau
pemasangan stent, dan selama operasi yang membutuhkan bypass kardiopulmonar.
Heparin juga digunakan untuk pasien disseminated intravascular coagulation (DIC)
tertentu. Heparin dosis rendah efektif untuk pencegahan tromboemboli vena pada
pasien beresiko tinggi, misalnya operasi tulang. Preparat heparin berat molekul rendah
seperi eneksaparin, dalteparin diindikasikan untuk pencegahan tromboemboli vena.
Selain itu akhir akhir ini dibuktikan juga efektif untuk pengobatan trombosis vena,
emboli paru, dan angina tidak stabil. Heparin 5000iu bolus (80 iu/KgBB), bolus
dilanjutkan dengan drips konsitnus 1000 – 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drip
selanjutnyatergantung hasil APTT. 6 jam kemudian di periksa APTT
untukmenentukan dosis dengan target 1,5– 2,5 kontrol. 6
Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.
Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.
 APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.
Pemberian terapi antikoagulan jangka panjang diperlukan untuk mencegah
rekurensi. Obat yang biasa di pakai adalah antagonis vitamin K, seperti sodium
warfarin. Pemberian Warfarin di mulai dengan dosis 6 – 8 mg (single dose) pada
malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil INR
(International Normolized Ratio). Target INR : adalah 2,0 – 3,0. Efek samping utama
pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik adalah perdarahan dan akan bersifat
fatal kalau terjadi perdarahan sereral. Untuk mencegah terjadinya efek samping
perdarahan, maka diperlukan monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin
parsial dan waktu protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol. 6

- Non Medikamentosa
Penatalaksanaan non farmakologis terutama ditujukan untuk mengurangi
morbiditas pada serangan akut. Untuk mengurangi keluhan dan gejala thrombosis
vena pasien diajurkan untuk: istirahat di tempat tidur (bedrest ), meninggikan
posisi kaki, dan dilakukan pemasangan stoking dengan tekanan kira-kira
40mmHg. Meskipun stasis vena dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti
pada pasien-pasien dengan bedrest, namun tujuan bedrest pada pasien-pasien dengan
DVT adalah untuk mencegah terjadinya emboli pulmonal. 6
Prinsipnya sederhana, pergerakan berlebihan dari tungkai yang mengalami
DVT dapat membuat klot terlepas dan “berjalan” ke paru. Dahulu, pasien dengan
DVT aktif diharuskan Bedrest selama 7-10 hari. Namun, pada penelitian Patrtsch dan
Blattler dengan design kohort melaporkan bahwa ambulasi dini dapat mengurangi
nyeri dan pembengkakan segera. Ambulasi dini dilakukan pada pasien DVT yang
belum terdiagnosa PE dan tidak memiliki kelainan kardiopulmoner. Ambulasi dini
jugadisarankan pada pasien dengan kondisi hiperkoagulasi dan dilakukan
sekitar24jam setelah menerima terapi antikoagulan. 6
Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24-48 jam
serangan thrombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens
dianjurkan tindakan embolektomi. Pada keadaan biasa tindakan pembedahan
pengangkatan thrombus atau emboli biasanya tidak dianjurkan.6

DAFTAR PUSTAKA
1) Pike L. Deep vein thrombosis (DVT). Vascular disease foundation 2012:1
2) Andarini SL, Majidiah F, Sjahrudiin E. Trombosis vena salam pada pasien kanker
paru berdasar kriteria wells. J Respir Indo 2014;34(1):2
3) Jayanegara AP. Diagnosis dan tatalaksana deep vein thrombosis. CDK
2016;43(9):652
4) Deep vein thrombosis. Majalah kedokteran andalas 2001;25(1):47-8
5) Santoso M. Pemeriksaan fisik diagnosis. Jakarta: Bidang Penerbitan Yayasan
Diabetes Indonesia; 2004.h.1-4,6,13-5,20,98
6) Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid 2. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.25-8,
1354-8

7) Baughman DC, Hackley JC. Medikal-Bedah. Jakarta : Penerbit buku kedokteran


EGC; 2005. h. 184-8, 345-7.

Anda mungkin juga menyukai