Anda di halaman 1dari 12

Co-Assistensi Bidang Sapi Perah

ABORTUS PADA SAPI

IMRAN
C 034 171 037

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2017
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sapi merupakan salah satu hewan ternak sebagai sumber daging, susu, tenaga
kerja, dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan
daging, 95% kebutuhan susu, dan 85% kebutuhan kulit di dunia (Prihatini, 2011).
Pemerintah dan masyarakat Indonesia dewasa ini menunjukkan perhatian yang
tinggi terhadap usaha-usaha pengembangan peternakan. Hal tersebut disebabkan oleh
peningkatan kebutuhan akan protein hewani sebagai akibat dari pertambahan penduduk
dan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang nilai gizi makanan dari hasil ternak
serta peningkatan ekonomi. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut berbagai upaya telah,
sedang dan akan terus dilaksanakan, baik dari segi manajemen, penyediaan makanan
ternak dan pengadaan bibit unggul. Namun, dalam upaya untuk mencapai target tersebut,
upaya dalam meningkatkan produksi peternakan tidak terlepas dari masalah reproduksi
yang langsung berpengaruh terhadap kenaikan dan penurunan jumlah atau populasi
hewan ternak. Di Indonesia, khususnya populasi hewan ternak sampai saat ini masih
belum seimbang dengan jumlah yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh tingginya
angka kematian dan pemotongan ternak yang tidak diimbangi dengan angka kelahiran
yang memadai (Matli, 2014).
Kasus gangguan reproduksi pada sapi menjadi kendala terbesar dalam produksi
sapi. Gangguan ini berakibat pada kemajiran ternak betina, yang ditandai dengan
rendahnya angka kelahiran (calving rate) pada ternak tersebut. Padahal
perkembangbiakan ternak sangat dipengaruhi oleh angka kelahiran yang akan berdampak
terhadap pertambahan populasi. Sehingga banyaknya gangguan reproduksi akan
mengakibatkan rendahnya efisiensi reproduksi atau kesuburan serta kematian prenatal,
yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan populasi (Saptati, 2010).
Salah satu kasus gangguan reproduksi pada sapi yaitu abortus. Abortus
merupakan salah satu dari sekian banyak bentuk gangguan reproduksi yang frekuensi
kejadiannya cukup tinggi dilapangan, yang faktor penyebabnya bisa bersifat infeksius,
seperti oleh infeksi bakteri, virus, protozoa dan jamur. Serta penyebab noninfeksius
seperti karena faktor fisik, hormonal, trauma, mallnutrisi, dan bahan kimia (obat dan
racun). Untuk penanggulangan kasus abortus secara tuntas, sangat sulit dilakukan
mengingat kompleksnya faktor penyebab dari kasus abortus tersebut. Upaya yang sering
dilakukan adalah mengurangi jumlah kejadian dengan membatasi penuluran antar ternak,
dengan manajemen dan sanitasi sebaik mungkin serta pelaksanaan terapi secara cepat dan
tepat (Harila, 2001).
Oleh karena itu, kejadian abortus ini harus mendapatkan perhatian secara serius
mengingat tingginya kerugian ekonomi yang dapat ditimbulkannya yang berdampak pada
penurunan produksi susu dan daging.

1.2.Rumusan Masalah
 Apa pengertian abortus ?
 Apa saja faktor penyebab infeksius dari abortus ?
 Aapa saja faktor penyebab non infeksius dari abortus ?
1.3.Tujuan
 Untuk mengetahui pengertian abortus
 Untuk mengetahui faktor penyebab infeksius dari abortus
 Untuk mengetahui faktor penyebab non infeksius dari abortus
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi

Abortus adalah pengeluaran fetus sebelum akhir masa kebuntingan dengan fetus
yang belum sanggup hidup (Matli, 2014). Abortus dapat terjadi pada berbagai umur
kebuntingan mulai dari 42 hari kebuntingan sampai akhir masa kebuntingan (Hardjopranjoto,
1995).
Sifat faktor penyebab abortus dapat menentukan derajat kerusakan selaput fetus,
endometrium, frekuensi retentio sekundinae dan sterilitas sesusah abortus. Abortus umumnya
disebabkan oleh faktor yang mempengaruhi fetus atau selaput fetus atapun kedua-duanya.
Oleh karena itu, hubungan antara plasenta fetus dan plasenta maternalis cukup intim, maka
penyakit yang menyerang plasenta fetalis juga dapat menyerang plasenta maternalis. Secara
ekonomis, abortus merupakan salah satu masalah besar bagi peternak, karena menyebabkan
kehilangan fetus yang dapat diikuti dengan penyakit pada uterus dan sterilisasi untuk waktu
yang lama sehingga sapi betina yang dipelihara tidak dapat berproduksi, dijual, dan apabila
abortus bersifat menular maka dapat mengancam kesehatan semua sapi betina yang berada
didalam kelompoknya (Manan, 2002).
Menurut Harina (2001), penyebab abortus ada yang bersifat infeksius dan non
infeksius. Penyebab abortus yang bersifat infeksius terdiri dari bakteri penyebab abortus,
virus penyebab abortus, protozoa penyebab abortus dan jamur penyebab abortus. Penyebab
abortus yang bersifat non infeksius disebabkan karena beberapa faktor seperti fisik,
hormonal, nutrisi, kimia, dan trauma. Apabila terjadi abortus pada kelompok ternak mencapai
2-5% abortus, maka harus dipandang secara serius dan harus diusahakan untuk menentukan
kasus dan cara-cara pencegahan dan penanggulangannya (Manan, 2002).

2.2. Penyebab Abortus bersifat Infeksius


2.2.1 Bakteri
Brucellosis
Brucellosis adalah penyakit yang menular dari hewan ke manusia terutama
melalui kontak langsung dari hewan terinfeksi, minum susu dari hewan terinfeksi
dan menghirup udara yang tercemar oleh bakteri penyebab Brucellosis. Bakteri
Brucella sp termasuk jenis gram negatif, berbentuk coccobacillus, dan hidup di
dalam sel. Terdapat 4 species Brucella yang hidup di dalam hewan yang dapat
menginfeksi manusia yaitu B. abortus yang hidup di sapi, B. mellitensis hidup
pada kambing dan domba, B. suis pada babi dan B. canis pada anjing. Sumber
penularan Brucellosis antara lain sapi, babi, domba dan kambing. Sumber
penularan yang potensial dari hewan ke manusia adalah sapi, melalui kontak
dengan placenta, fetus, cairan organ reproduksi hewan, darah dan urin (Novita,
2016).
Vibriosis (Bovine genital vibriosis)
Vibriosis sapi (Bovine genital vibriosis) adalah penyakit hewan menular pada
ternak sapi yang disebabkan oleh bakteri vibrio fetus venerallis. Vibrio fetus
venerallis hanya terdapat didalam saluran kelamin betina bunting dan didalam
preputium hewan jantan. Dalam dunia veteriner, vibriosis sapi dikenal sebagai
salah satu penyakit kelamin menular yang cara penularan penyakitnya
berlangsung melalui perkawinan alami dimana terjadi kontak langsung antara
hewan jantan dan hewan betina (Hardjoutomo, 1998)
Leptospirosis
Leptospirosis merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh spiro chaeta.
Penyakit tersebut tersebar luas di berbagai wilayah di dunia termasuk di
Indonesia dan bersifat zoonosis. Penularan leptospirosis dapat terjadi secara
horizontal, baik secara kontak langsung dengan hewan tertular atau lingkungan
yang tercemar leptospira. Bakteri Leptospira yang dikeluarkan melalui urin
hewan terinfeksi dapat mencemari lingkungan dan menjadi sumber penularan
untuk hewan lain dan juga manusia. Infeksi leptospira pada hewan bunting
menyebabkan aborsi, lahir mati dan kegagalan reproduksi pada sapi (Susanti,
2008).
2.2.2 Virus
Infectious bovine rhinotracheitis dan infectious pratualar vovaginitis (IBR-
IPV)
IBR dan IPV adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang
dapat menyerang alat pernafasan bagian atas dan alat reproduksi. Penyebab
penyakit ini adalah bovine herpesvirus-1. Penyakit ini dapat menyebabkan
keguguran pada hewan bunting trimester terakhir. Pada sapi jantan dijumpai luka
pada preputium disertai adanya reaksi peradangan dan eksudat yang kental.
Penularan penyakit ini dapat secra vertikal dan horisontal. Secara vertikal melalui
infeksi intra uterin, sedangkan horisontal melalui inhalasi dari cairan hidung yang
mengandung virus atau semen yang tercemar (Pudjiatmoko, 2012).
Epizootic bovine abortus (EBA)
Penyakit kelamin menular epizootic bovin abortus disebabkan oleh organisme
kelompok Chlamydia atau Migawanella. Penyakit ini menyebabkan abortus pada
bulan ke empat sampai akhir masa kebuntingan, akan tetapi umumnya menyerang
ternak bunting saat berumur 7, 8, dan 9 bulan (Manan, 2002).
2.2.3 Protozoa
Trichomonas
Trichomoniosis adalah penyakit kelamin menular yang ditandai dengan sterilitas,
abortus muda dan pyometra dimana penularannya melalui kopulasi. Secara garis
besar trichomoniosis umumnya terjadi pada umur kebuntingan 4 bulan atau
kurang, diatas umur tersebut kejadiannya relatif jarang. Jika trichomoniosis
terjadi pada umur kebuntingan 2 minggu, maka terjadi kematian embrio yang
akan diikuti dengan maserasi, hancur dan diresorbsi oleh uterus dan siklus birahi
menjadi diperpanjang (Harila, 2001).
2.2.4 Jamur
Aspergillus fumigatus
Jamur ini akan mengaibatkan plasentisis, nekrosa dari kotiledon dan berakhir
dengan abortus. Pada kulit fetus yang diabortuskan kadang-kadang ditemukan
tumbuhnya jamur (Harila, 2001). Aspergillus terdapat dimana-mana dan
umumnya bersifat saprophyt. Kebanyakan abortus terjadi pada bulan ke 5-7 masa
kebuntingan, akan tetapi kadang-kadang dapat berlangsung dari bulan ke empat
sampai waktu partus (Manan, 2002).
Mucormycosis
Mucor, termasuk dalam famili Mucoraceae yang menimbulkan mucormycosis
pada sapi. plasentitis yang terjadi menyebabkan abortus pada sapi bunting tiga
sampai tujuh bulan. Pada kulit fetus yang berwarna hitam terlihat gambaran
samar bercak abu-abu bulat yang menyerupai ringworm seperti pada kulit sapi
dewasa.
2.3 Penyebab Abortus Non Infeksius
2.3.1 Abortus karena faktor fisik
Stress merupakan salah satu faktor fisik sebagai penyebab abortus. Baik stress karena
transportasi, penyakit umum, maupun akibat operasi besar. Abortus juga bisa terjadi
bila melakukan inseminasi buatan (IB) saat sapi sudah dalam keadaan bunting.
Biasanya hal ini disebabkan oleh kecerobohan dari inseminator yang masih kurang
pengalaman dalam pemeriksaan kebuntingan dengan palpasi parektal. Keadaan torsio
uteri juga akan menyebabkan kematian fetus dan berakhir dengan abortus karena
terhambatnya sirkulasi darah fetus (Haril, 2001).
2.3.2 Abortus karena faktor kimia
Keracunan nitrat pada sapi yang memakan rumput liar yang mengandug nitrat dapat
menyebab kan abortus. Nepthalen bicklor dan keracunan arsen kronik dapat
menyebabkan abortus. Konsumsi selenium dalam jumlah besar dapat merusak fetus
dan menyebabkan abortus. Daun cemara yang dimakan dapat menyebabkan abortus
21-142 hari sesudah ingesti (Manan, 2002).
2.3.3 Abortus karena faktor hormonal
Senyawa estrogenik, bila diberikan dalam dosis tinggi untuk periode yang lama dapat
menyebabkan abortus. Glucocorticoid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal dapat
menyebabkan abortus pada sapi. sapi bunting yang mengalami stress hebat dan
kelelahan maka produksi cortison akan meningkat dan merangsang abortus (Haril,
2002). Defisiensi progesteron dapat menyebabkan abortus muda (Manan, 2002).
2.3.4 Abortus karena nutrisi
Defisiensi vitamin A dapat menimbulkan kretenisasi pada epitel vagina dan
degenerasi dari plasenta sehingga terjadi abortus. Keadaan kekurangan kalsium
menyebabkan abortus (Haril, 2001).
2.3.5 Abortus karena faktor trauma
Sulit untuk mengatakan apakah suatu kejadian abortus disebabkan oleh trauma
karena, faktor trauma jarang berdiri sendiri untuk menimbulkan abortus pada ternak.
Namun beberapa keadaan dapat digolongkan kedalam faktor trauma antara lain jatuh
tersepak atau tertanduk oleh hewan lain, jatuh karena lantai kandang sangat licin,
pengangkutan yang terlalu jauh dengan kondisi jalan yang jelek dan perlakuan kasar
pada saat melakukan palpasi parektal (Haril, 2001).
BAB 3

PEMBAHASAN

3.1.Deskripsi Kasus
3.1.1 Anamnesis
Seekor sapi betina milik Pak Yusuf berumur 2 tahun yang terletak di Desa
Barania Sinjai Barat dengan berat badan 400 kg mengalami abortus. Dari keterangan
Pak Yusuf masa kebuntingan sapi tersebut 6 bulan dan merupakan kebuntingan
pertama. Sebelum terjadinya abortus dikandang yang sama terdapat anak sapi yang
masih dalam tahap penyapihan dan menyusu pada sapi bunting tersebut. Kondisi
kandang licin sehingga sapi tersebut jatuh tesepak.

3.1.2. Signalement
Nama Pemilik : Yusuf
Alamat : Desa Barania, Kec. Sinjai Barat
Spesies : Sapi
Breed : Simental
Warna bulu/rambut : Coklat
Jenis kelamin : Betina
Umur : 2 tahun
Berat badan : 400 kg

3.1.2. Temuan Klinis/Pemeriksaan Klinis


Terjadi pengeluaran fetus sebelum waktu partus (masa kebuntingan 8 bulan).

3.1.3. Diagnosis
Abortus

3.1.4. Diferesial Diagnosis


Mumifikasi fetus dan maserasi fetus

3.1.5. Tindakan Penanganan


Pemberian Antibiotik (limoxin) dosis 7 ml dan pemberian vitamin (vitol) dosis 7 ml

3.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil anamnesa dari peternak (Pak Yusuf) bahwa sapi tersebut
mengalami abortus pada masa kebuntingan 6 bulan yang sebelum terjadi abortus anak
sapi yang masih dalam tahap penyapihan menyusu pada sapi tersebut dan jatuh
tersepak karena kondisi kandang yang licin. Hal ini menunjukkan faktor penyebab
dari abortus adalah faktor hormonal dan faktor trauma karena anak sapi yang
menyusu pada sapi tersebut dapat membuat rangsangan pada kelenjar pituitari untuk
mengeluarkan hormon oxytosin kedalam peredaran darah dan ditambah lagi dengan
sapi jatuh tersepak yang dapat menjadi salah satu pendukung terjadinya kontraksi
pada sapi tersebut sehingga mengalami abortus.
Penanganan yang dilakukan dilapangan yakni dengan injeksi antibiotik
(Limoxin) dengan dosis 7 ml dan injeksi vitamin (Vitol) dengan dosis 7 ml.
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder serta
pemberian vitamin bertujuan untuk meningkatkan kekebalan tubuh.
BAB 4

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Kasus gangguan reproduksi pada sapi menjadi kendala terbesar dalam produksi sapi.
Gangguan ini berakibat pada kemajiran ternak betina, yang ditandai dengan rendahnya angka
kelahiran (calving rate) pada ternak tersebut. Abortus merupakan salah satu penyakit dari
gangguan reproduksi yang dapat berdampak kerugian ekonomi bagi peternak. Abortus adalah
pengeluaran fetus sebelum akhir masa kebuntingan dengan fetus yang belum sanggup hidup.
penyebab abortus ada yang bersifat infeksius dan non infeksius. Penyebab abortus yang
bersifat infeksius terdiri dari bakteri penyebab abortus, virus penyebab abortus, protozoa
penyebab abortus dan jamur penyebab abortus. Penyebab abortus yang bersifat non infeksius
disebabkan karena beberapa faktor seperti fisik, hormonal, nutrisi, kimia, dan trauma.

4.2. Saran

 Edukasi yang membangun untuk peternak mengenai nutrisi yang baik untuk sapi
terutama sapi yang bunting.
 Memberikan informasi kepada peternak mengenai model kandang yang layak untuk
sapi.
DAFTAR PUSTAKA

Hardjoutomo, Suprodjo. 1998. Tinjauan Tentang Vibriosis Sapi Di Indonesia. Balai


Penefitian Veteriner. Wartazoa: Vol. 7 No. 1 Th

Harila, Erwun. 2001. Kejadian Abortus pada Sapi Perah Dan Upaya Penanggulangannya.
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor: Skripsi

Kusmiyati, Susanti Dan Supar. 2008. Seroprevalensi Dinamik Leptospirosis Pada Daerah
Pengembangan Sapi Perah. Balai Besar Penelitian Veteriner: Bogor

Manan, Djema At. 2002. Ilmu Kebidanan Pada Ternak. Departemen Pendidikan Nasional.
Universitas Syiah Kuala Darussalam: Banda Aceh

Matli, Norafizah, Binti. 2014. Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah Dan Upaya
Penanggulangannya. Departemen Klinik Reproduksi Dan Patologi. Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor: Skripsi

Novita, Risqa. 2016. Brucellosis Penyakit Zoonosis Yang Terabaikan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan . Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. BALABA: Vol. 12 No.2, Desember 2016 :
135-140

Pudjiatmoko. 2012. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Kementrian Pertanian. Direktorat


Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Rista, Prihatini. 2011. Hubungan Retensio Sekundinae Dan Endometritis Dengan Efisiensi
Reproduksi Pada Sapi Perah Studi Kasus Dikoperasi Peternak Sapi Bandung Utara
(Kpsbu) Lembang, Jawa Barat. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor: Skripsi

Saptati, Imas, Sri, Nurhayati, Ra Dan E., Martindah. 2010. Penanganan Gangguan
Reproduksi Guna Mendukung Pengembangan Usaha Sapi Perah. Pusat Penelitian
Dan Pengembangan Peternakan: Bogor
LAMPIRAN

(Abortus pada Sapi)

(Vitamin Vitol)

(Antibiotik Limoxin)

Anda mungkin juga menyukai