Anda di halaman 1dari 12

Peradaban Islam pada Dinasti Shafawi

Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas matakuliah


Pendidikan Agama Islam

Dosen : Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf

Nama Mahasiswa : Zahra Afifa Arundati (NIM : 115170028)

Fakultas Teknologi Mineral Jurusan Teknik Geofisika

UPN Veteran

Tahun Akademik 2017/2018


A. Berdirinya Dinasti Shafawi

Pada akhir abad ke-9 H., adalah peristiwa yang paling penting dari tasawuf yang terkait dengan
keluarga Syaikh Shafi al-Din Ardabili di mana pemerintah merasa kewalahan dengan
kebangkitan dan perlawanan yang dilakukan oleh thariqah Shafawi yang dibantu pengikutnya
untuk merebut kekuasaan.

Kata Shafawi berasal dari kata “shafi”, suatu gelar bagi nenek moyang Sultan Shafawi yaitu,
Shafi al-Din Ishaq al-Ardabili, pendiri dan pemimpin thariqah Shafawiyah. Dari nama Shafi al-Din
ini diambillah nama silsilah nasabnya dengan dengan sebutan al-Shafawi. Dilihat dari silsilah
nasab, menurut para Utsmani, Shafi al-Din adalah keturunan Musa al-Kazhim, imam ketujuh
dari Syi’ah Imamiyah yang kedua belas (Thohir, tt:168).

Pada mulanya di Persia, tepatnya di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan, terdapat sebuah
gerakan thariqah (orang-orang yang mengkhususkan pada pembinaan dan pengarahan spiritual
keagamaan) yang diberi nama Shafawi (al-Shafawiyyah). Thariqah ini didirikan pada waktu yang
hampir bersamaan dengan berdirinya Dinasti Utsmani. Daerah tersebut mayoritas ditinggali
oleh suku Kurdi dan Armen.

Shafi al-Din sebenarnya keturunan orang kaya, tapi dia memilih sufi sebagai jalan hidupnya.
Gurunya bernama Taj al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) yang dikenal dengan julukan Zahid.
Karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, lalu Shafi al-Din diambil menantu
oleh gurunya tersebut dan mendirikan thariqah Shafawi setelah menggantikan mertuanya yang
wafat tahun 1301 M.

Mulanya, gerakan thariqah Shafawi bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian


memerangi golongan yang mereka sebut ahli bid’ah. Thariqah ini semakin mapan terutama
setelah ia mengubah bentuk thariqah itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal
menjadi gerakan keagamaan yang luas pengaruhnya di Persia, Syria, dan Anatolia. Di daerah-
daerah luar Ardabil, Shafi al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya.
Wakil ini diberi gelar “khalifah” (Hamka, 1981:79).
Setelah gerakan thariqah semakin mapan, mereka mengubah model gerakannya, dari spiritual
menjadi gerakan politik dikarenakan suatu ajaran agama yang dipegang secara fanatic sering
kali menimbulkan keinginan dari kalangan penganut ajaran tersebut untuk berkuasa. Karena
itu, murid-murid thariqah Shafawi berubah menjadi tentara yang teratur, fanatis dalam
kepercayaan, dan menentang setiap orang yang bermadzhab selain syi’ah. Perubahan
pergerakan ini benar nyata terjadi. Bukti konkretnya ada pada masa kepemimpinan Junaid
(1447-1501 M). Thariqah Shafawi memperluas pergerakannya dengan menambah gerakan
politik pada kegiatan keagamaan yang tentunya mendapat penentangan dari penguasa politik
saat itu. Bahkan, penentangan hingga menimbulkan konflik antara Junaid dengan penguasa
Qara Qoyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu
(Syalabi, tt:766).

Dalam konflik itu, Junaid kalah dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat baru ini, Junaid
mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, Aqoyyunlu (domba putih), juga satu suku
banga Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang saat itu menguasai sebagian besar Persia
(Thohir, tt:171).

Selama dalam pengasingan, Junaid menghimpun kekuatan dan beraliansi secara politik dengan
Uzun Hasan. Junaid juga mempersunting salah satu saudari Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M.,
Junaid mencoba untuk merebut Ardabil namun gagal. Tahun 1460 M., Junaid mencoba merebut
kota Sircassia, tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Junaid pun
terbunuh dalam pertempuran tersebut (Thohir, tt:172).

Kepemimpinan gerakan Shafawi lalu diberikan kepada putranya, Haidar. Tetapi, saat itu Haidar
masih kecil dan diasuh oleh Uzun Hasan sehingga kepemimpinan baru bisa diserahkan secara
resmi kepadanya. Hubungan Haidar dan Uzun Hasan semakin erat ketika Haidar
mempersunting salah satu putri Uzun Hasan. Dari pernikahan ini, lahirlah Ismail yang di
kemudian hari menjadi pendiri Dinasti Shafawi di Persia (Lapidus, 1999: 443).

Di lain waktu, pada tahun 1467 M. terjadi peperangan antara Aqoyyunlu dan Qara Qoyunlu
yang dimenangkan Aqoyyunlu. Hal ini membuat gerakan Shafawi yang dipimpin oleh Haidar
dipandang sebagai lawan politik oleh Aqoyyunlu untuk meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal
sebelumnya Shafawi adalah sekutu dari Aqoyyunlu. Selanjutnya Aqoyyunlu berusaha
melenyapkan kekuasaan Shafawi. Terbukti ketika Shafawi mneyerang wilayah Sircassia
melawan pasukan Sirwan yang diberi bantuan militer oleh Aqoyyunlu sehingga pasukan Haidar
kalah dan Haidar sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.

Kematian Haidar tidak menghentikan perlawanan Shafawi terhadap penguasa saat itu. Ali
sebagai putra Haidar didesak oleh pasukannya untuk membalas kematian ayahnya, terutama
pada Aqoyyunlu. Namun, Ya’kub, penguasa Aqoyyunlu berhasil menangkap dan memenjarakan
Ali beserta saudaranya, Ibrahim dan Ismail, beserta sang ibu di Fars selama empat tahun (1489-
1493 M). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota Aqoyyunlu, dengan syarat mau
membantunya berperang melawan saudara sepupunya. Setelah sepupu Rustam dikalahkan, Ali
bersaudara kembali Ardabil. Namun, tidak lama kemudian Rustam menyerang Ali bersaudara
dan Ali terbunuh dalam peperangan ini (Thohir, tt: 172).

Kepemimpinan lalu jatuh ke tangan Ismail. Selama lima tahun Ismail bersama pasukannya
bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para
pengikutnya di Azerbaijan, Syria, dan Anatolia.

Pasukan yang dipersiapkan itu dinamakan Qizilbash (baret merah). Di bawah pimpinan Ismail
tahun 1501 M. pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan Aqqoyunlu di Sharur dekat
Nakhchivan. Pasukan ini terus berusaha menaklukan Tabriz, ibukota Aqoyyunlu dan berhasil
merebut dan mendudukinya. Di kota ini, Ismail memproklamirkan dirinya sebagai sultan
pertama Dinasti Shafawi (Thohir, tt: 169). Ia disebut juga Ismail I.

B. Perkembangan dan kemajuan Dinasti Shafawi

Ismail I berkuasa selama kurang lebih 23 tahun (1501-1524 M). Pada sepuluh tahun pertama,
Ismail I berhasil memperluas wilayah kekuasannya, dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan
Aqoyyunlu di Hamadan (1503 M), menguasai provinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan, dan Yazd
(1504 M), Diyat Bakr (1505-1507 M), Baghdad dan daerah barat daya Persia (1508 M), Sirwan
(1509 M), dan Khurasan (1510 M). Hanya dalam kurun waktu sepuluh tahun, wilayah
kekuasannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur bulan sabit subur (Fortile
Crescent) (al-Usairy, 2003: 438).

Tidak sampai di situ saja, ambisi politik mendorongnya untuk terus mengembangkan sayap
menguasai daerah-daerah lainnya seperti ke Turki Utsmani. Peperangan dengan Turki Utsmani
terjadi tahun 1514 M. di Chaldiran, dekat Tabriz. Namun, karena keunggulan militer Turki
Utsmani, dalam peperangan ini Ismail I mengalami kekalahan. Dinasti Shafawi terselamatkan
dengan pulangnya Sultan Utsmani ke Turki karena terjadi perpecahan di kalangan militernya.

Kekalahan tersebut meruntuhkan kebanggan dan kepercayaan diri Ismail hingga membuat
kehidupannya berubah. Ismail I lebih senang menyendiri, berburu, menjalani kehidupan yang
berfoya-foya. Keadaan ini menimbulkan dampak negative bagi Dinasti Shafawi, yaitu terjadinya
persaingan segitiga antara pimpinan suku-suku Turki, pejabat-pejabat keturunan Persia, dan
Qizilbash dalam upaya untuk memimpin Dinasti Shafawi (Thohir, tt: 174).

Rasa pemusuhan dengan Dinasti Utsmani terus berlangsung sepeninggal Ismail I, peperangan
antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada masa pemerintahan Tahmasp I
(1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1567M). Pada
masa tiga raja tersebut kerajaan Safawi mengalami kelemahan. Hal ini di karenakan sering
terjadinya peperangan melawan Dinasti Utsmani yang lebih kuat, juga sering terjadi
pertentangan antara kelompok dari dalam Dinasti Shafawi sendiri. Berikut urutan penguasa
kerajaan Shafawi :

1. Isma’il I (1501-1524 M)

2. Tahmasp I (1524-1576 M)

3. Isma’il II (1576-1577 M)

4. Muhammad Khudabanda (1577-1587 M)

5. Abbas I (1587-1628 M)

6. Safi Mirza (1628-1642 M)

7. Abbas II (1642-1667 M)
8. Sulaiman (1667-1694 M)

9. Husein I (1694-1722 M)

10. Tahmasp II (1722-1732 M)

11. Abbas III (1732-1736 M)

Pada masa Abbas I, Dinasti Shafawi perlahan-lahan mengalami kemajuan. Langkah-langkah


yang ditempuh Abbas I dalam memajukan dinasti Shafawi diantaranya adalah :

1. Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk pasukan


baru yang berasal dari budak-budak dan tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan
Sircassia.

2. Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan jalan menyerahkan wilayah
Azerbaijan, Georgia, dan disamping itu Abbas berjanji tidak akan menghina tiga Khalifah
pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar dan Usman) dalam khutbah-khutbah Jum’at.
Sebagai jaminan atas syarat itu, Abbas menyerahkan saudara sepupunya Haidar Mirza
sebagai sandera di Istambul (Borckelmann, 1974:503). Masa kekuasaan Abbas I
merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Ia berhasil mengatasi gejolak politik dalam
negeri yang mengganggu stabilitas negara dan sekaligus berhasil merebut kembali
beberapa wilayah kekuasaan yang pernah direbut oleh kerajaan lain seperti Tabriz,
Sirwan dan sebagainya yang sebelumnya lepas direbut oleh kerajaan utsmani.

Usaha-usaha yang dilakukan Abbas I berhasil membuat Dinasti Shafawi kuat kembali.
Pemerintahan tersentralisasi hingga mencapai tingkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya
(Morgan, 1988: 136). Setelah itu Abbas I mulai memusatkan perhatiannya ke luar untuk meebut
kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang telah lepas.

Pada tahun 1598 M., Abbas I menyerang dan menaklukan Herat lalu dilanjutkan dengan
merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuatan tersusun dengan baik, Abbas I berusaha merebut
kembali wilayah kekuasaannya dari Turki Utsmani. Tahun 1602 M., di saat Turki Utsmani
berada di bawah kekuasaa Sultan Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan berhasil
menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan kota-kota Nakhchivan, Ganja, dan Tiflish
dapat dikuasai tahun 1605-1606 M. Selanjutnya tahun 1622 M, pasukan Abbas I berhasil
merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah nama pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan
Abbas.

Masa pemerintahan Abbas I merupakan masa kejayaan Dinasti Shafawi. Secara politik Abbas I
mampu menyelesaikan berbagai masalah yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil
merebut kembali wilayah kekuasaan yang direbut dinasti lain pada masa sultan-sultan yang
sebelumnya. Kejayaan ini terlihat dari stabilitas dan kemakmurannya, yang tampak dari
kemegahan ibukota di Isfahan beserta supper-bazar dan keindahan arsitekturnya. Bidang
kesenian berkembang dan kajian filsafat kembali mengakar di negeri-negeri islam.
Pemerintahan dipulihkan sebagaimana mestinya (Black, 2006: 406).

Kemajuan yang dicapai Dinasti Shafawi tidak hanya di bidang politik saja, tetapi juga di bidang
lainnya. Kemajuan-kemajuan itu ialah sebagai berikut.

1. Bidang Ekonomi
Majunya stabilitas politik pada masa Abbas I memacu perkembangan ekonomi, apalagi
setelah pelabuhan Gumrun dirubah menjadi pelabuhan Abbas. Dengan dikuasainya
pelabuhan ini, maka salah satu jalur dagang laut antara Timur dan Barat yang biasa
diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis menjadi sepenuhnya milik dinasti ini.
Di samping itu, sector pertaniannya juga mengalami kemajuan, terutama di daerah
bulan sabit subur (Fortile Crescent) (Yatim, 1995: 288).

2. Bidang Filsafat dan Sains


Ada dua aliran yang berkembang pada masa Shafawi tersebut. Pertama, aliran filsafat
peripatetik sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dan al-Farabi. Kedua, aliran
filsafat Isyraqi yang dibawa oleh Suhrawardi. Kedua aliran ini banyak dikembangkan di
Perguruan Tinggi Isyfahan dan Syiraz. Di bidang filsafat ini muncul beberapa nama filsuf
diantaranya, Mir Damad alias Muhammad Baqir Damad yang dianggap sebagai guru
ketiga setelah Aristoteles dan al-Farabi. Mir Damad memiliki banyak karya tulis di
berbagai bidang, seperti fiqih, teologi, dan filsafat yang tertulis dalam dua bahasa, yaitu
Arab dan Persia. Di antaranya yang terkenal adalah Qabasat dan Taqdisat. Kedua buku
itu di bidang filsafat (Hodgson, 1974: 16).

Tokoh filsafat lainnya adalah Mulla Shadra atau Shadr Al-Din Al-Syirazi. Mulla Shadra
adalah dialektikus yang paling cakap di zamannya. Sayyid Husein Nasr memilih Asfar al-
Arba’ah sebagai salah satu karya Mulla Shadra yang terbesar di antara beratus-ratus
karyanya. Buku tersebut oleh Nasr disamakan dengan buku al-syifa oleh Ibnu Sina dan
Futuhat Makkiyah oleh Ibnu Arabi. Mulla Shadra dianggap memiliki kemampuan untuk
mengambil jalan tengah antara filsafat peripatetic Ibnu Sina dengan filsafat esoteric
Arabi. Berkembangnya tipe filsafat macam ini tampaknya sesuai dengan kecenderungan
mereka melakukan kehidupan sufistik di samping minat yang besar terhadap ilmu
pengetahuan dan cara berpikir mandalam atau filsafat (Nasr, 1966: 937).

3. Bidang Pembangunan Tata Fisik Tata Kota dan Seni


Para penguasa dinasti ini berhasil menciptakan Ifsahan menjadi ibukota yang sangat
indah. Di kota tersebut berdiri bangunan-bangunan besar seperti, masjid, rumah sakit,
sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Kota Ifsahan juga
diperindah dengan taman wisata yang ditata secara apik. Ketika Abbas I wafat, terdapat
162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum. Di bidang seni,
kemajuannya terlihat lebih kentara dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannya
seperti masjid Shah yang dibangun pada 1611 M dan masjid Syaikh Lutf Allah yang
dibangun pada 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat dalam bentuk kerajinan tangan,
keramik, karpet, permadani, tembikar, pakaian, tenunan, dan lainnya. Seni lukis mulai
dirintis sejak zaman Tahmaps I. Ismail I tahun 1522 M membawa sorang pelukis timur ke
Tabriz yang bernama Bizhad (Thohir, tt: 176).
C. Kemunduran dan akhir Dinasti Shafawi

Sepeninggal Abbas I, sultan-sultan yang memerintah Dinasti Shafawi sesudahnya tidak


menunjukkan grafik naik atau perkembangan, tetapi malah mengalami kemunduran yang
membawa pada kehancuran. Sultan Shafi Mirza (cucu Abbas I) juga menjadi penyebab
kemunduran Shafawi karena dia seorang sultan yang kejam terhadap pembesar-pembesar
kesultanan. Di lain sisi dia juga seorang pencemburu yang mengakibatkan mundurnya kemajuan
yang telah diperoleh. Kota Kandahar lepas dari Shafawi, diduduki oleh Kesultanan Mughal,
sementara Baghdad direbut oleh Kesultanan Utsmani.

Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman keras sehingga ia jatuh sakit dan meninggal.
Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para
pembesar yang dicurigainya. Akibatnya rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintah.

Ia diganti oleh Shah Husein yang alim. Ia memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama
Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini
membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka berontak dan
berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Shafawi (Hamka, 1981:71). Pemberontakan bangsa
Afghan tersebut terjadi pertama kali tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays yang berhasil
merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di Herat, suku Ardabil Afghanistan
berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan ia dapat mempersatukan
pasukannya dengan pasukan Ardabil, sehingga ia mampu merebut negeri-negeri Afghan dari
kekuasaan Shafawi. Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya
mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya menjadi gebernur di Qandahar dengan
gelar Husei Quli Khan (budak Husein). Dengan pengakuan ini, Mir Mahmud makin leluasa
bergerak sehingga tahun 1721 M, ia merebut Kirman dan tak lama kemudian ia menyerang
Isfahan dan memaksa Shah Husein menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M
Shah Husein menyerah dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh
kemenangan (Holt, 1970:426).

Salah seorang putera Husein, bernama Tahmasp II, mendapat dukungan penuh dari suku Qazar
dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan
pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Tahun 1726 M, Tahmasp II bekerjasama dengan Nadir
Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan.
Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh
pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan
demikian Dinasti Shafawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M, Tahmasp II di
pecat oleh Nadir Khan dan di gantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih
sangat kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat
dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti
Safawi di Persia (Holt, 1970:428-429). Adapun sebab-sebab kemunduran dan kehancuran
kerajaan Safawi adalah:

1. Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Berdirinya kerajaan Safawi
yang bermadzhab Syi’ah merupakan ancaman bagi kerajaan Usmani, sehingga tidak pernah ada
perdamaian antara dua kerajaan besar ini.

2. Terjadinya dekandensi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaaan Safawi, yang juga
ikut mempercepat proses kehancuran kerajaan ini. Raja Sulaiman yang pecandu narkotik dan
menyenangi kehidupan malam selama tujuh tahun tidak pernah sekalipun menyempatkan diri
menangani pemerintahan, begitu pula dengan sultan Husein.

3. Pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I ternyata tidak memiliki semangat
perjuangan yang tinggi seperti semangat Qizilbash. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki
ketahanan mental karena tidak dipersiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani.
Kemerosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan
dan pertahanan kerajaan Safawi.

4. Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga
istana.
D. Kesimpulan

1. Penggagas awal berdirinya kerajaan Shafawi adalah Shafi al-Din Ishaq al-Ardabili yang
semula hanya sebagai murid tarekat dengan tugas dakwah agar umat Islam secara murni
berpegang teguh pada ajaran agama.

2. Kemajuan kerajaan Safawi terjadi pada masa pemerintahan Syah Abbas I, ia berhasil
memperbaiki sistem politik dan perekonomian kerajaan sehingga banyak gedung-gedung yang
di bangun pada masa pemerintahan. Gedung yang di bangun oleh Abbas I antara lain 162 unit
Mesjid, 48 unit perguruan tinggi, 1082 unit Losmen untuk tamu syah, 237 unit pemandian
umum. Bangunan yang palin terkenal adalah Masjid Lutfullah, Istana Chihil Sutun, jembatan
besar di atas sungai Zende Rud, dan Taman Bunga Empat Penjuru.

3. Kemunduran Shafawi terjadi karena setelah Abbas I tidak ada lagi pemimpin Shafawi yang
secakap Abbas I dalam hal kepemimpinan. Dan terjadi konflik internal di dalam Kerajaan
Shafawi sendiri, di tambah lagi konflik dengan Turki Usmani.
E. Daftar Pustaka

Syaefudin, Machfud dkk, 2013, DINAMIKA PERADABAN ISLAM Perspektif Historis, Yogyakarta:
Pustaka Ilmu.

Hamka, 1981, Sejarah Umat Islam III, Jakarta: Bulan Bintang.

Hodgson, Marshal G.S., 1974, The Venture of Islam, Chicago: University of Chicago Press.

Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam; Bagian Kesatu dan Dua, terj. Ghufron A. Mas’adi,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Morgan, David, 1988, Medieval Persia, London: Longman.

Nasr, Sayid Hussen, 1996, Sadr al-Din Shirazi, terj. M.M. Sharif, Wesbaden: Otto Rarasowitz.

Syalabi, Ahmad, t.t., Nasy’at al-Tarikh al-Islamy, Kairo: Maktabah al-Nadhah al-Mishriyah.

Thohir, Ajid, 2004, Perkembangan Peradaban di Kawasan Islam, Jakarta: Rajawali Pers.

Al-Usairy, Ahmad, 2003, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Hingga Abad XX, terj. Samson
Rahman, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.

Usman, Sejarah Kerajaan Safawi Di Persia, [Online], Tersedia : http://usman-wwwmaal-


khidmah.blogspot.co.id/p/sejarah-kerajaan-safawi-di-persia.html

Yatim, Badri, 1995, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai