Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Di zaman modern ini, kata politik bukan lagi kata yang jarang didengar oleh masyarakat.
Apalagi di masa reformasi yang semakin menunjukkan banyak terjadi penyimpangan dalam
bidang politik. Jadi tidaklah mengherankan apabila banyak hal yang terjadi di dunia ini
dihubungkan dengan politik. Ada begitu banyak respon dan tanggapan dari berbagai kalangan
yang berbeda, termasuk menurut agama Kristen.

Cukup banyak orang Kristen, termasuk mahasiswa Kristen, yang takut atau antipati terhadap
politik. Hal ini terjadi akibat image negatif dari politik yang dianggap tempat iblis atau setan
bermain. Adanya konsep pemikiran seperti ini timbul karena mereka tidak memahami esensi
dan makna politik dengan benar. Sebab mau tidak mau masyarakat, khususnya umat Kristen,
pasti dihadapkan dengan masalah politik.

Semakin banyak peran dan pengaruh gereja dalam politik diharapkan semakin menunjukkan
citra Kristus yang ada dalam setiap jemaat-Nya. Karena kita diciptakan untuk menjadi kepala
dan bukan ekor, serta manusia telah diberikan kuasa untuk menaklukan dunia, meruntuhkan
tembok yang berabad-abad telah memisahkan kekristenan dengan dunia luar sehingga bisa
membawa pembaharuan di negeri yang dipilih Tuhan untuk kita berdiam.

Dalam makalah ini kami menguraikan tentang politik, pandangan Alkitab dan iman Kristen
terhadap hal tersebut, aplikasinya, dan segala yang berhubungan dengan politik menurut iman
Kristen. Kami mengharapkan ada suatu pelajaran yang bisa dipetik dari makalah ini dan
setiap dari kita bisa mengaplikasikannya dalam hidup sehari-hari. Kami mengucapkan terima
kasih untuk semua pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian makalah ini. Kami
menyadari dalam penyusunan makalah ini ada begitu banyak kekurangan sehingga kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menjadikannya lebih baik
lagi.
Tim Penyusun

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

PEMBAHASAN
1. Pengertian Politik ............................................................................................ 1

2. Keterlibatan Lembaga-lembaga Masyarakat dalam Politik ..................................... 1

3. Konsep Alkitab terhadap Politik ................................................................................................ 2

a. Politik Kesejahteraan ................................................................................................... 2

b. Realitas dan Pemaknaan Teokrasi ............................................................................ 3

i. Regnum Sacerdotale, Sacerdotal Kingdom ............................................. 3

ii. Ketegangan Pengangkatan Melekh (Raja) .............................................. 5

c. Berasal dari Allah ................................................................................. 7

4. Teologi Politik Kristen di Indonesia ...................................................................... 8

5. Tanggung Jawab Sosial Politik Umat Kristen ......................................................... 9

6. Implikasi-implikasinya ................................................................................. 10

7. Sikap terhadap Pemerintah yang Salah Menggunakan Otoritas ....................................... 11

8. Etika Politik ................................................................................................. 13

KESIMPULAN ............................................................................................................. 15

KATA PENUTUP .......................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................................... 17

ii
PEMBAHASAN
1. Pengertian Politik
Dilihat dari sisi etimologisnya, kata ‘politik’ berasal dari kata Yunani, yaitu Po’lis yang
diartikan sebagai kota (city). Dalam perkembangan berikutnya, kota-kota memperluas diri
atau menyatukan diri dan kemudian disebut negara. Sebagai ilmu, politik merupakan analisa
tentang pemerintahan, proses-proses di dalamnya, bentuk-bentuk organisasi, lembaga-
lembaga dan tujuannya (William Ebenstein; Political Science, 1972. p.309). Dalam bentuk
yang lebih operasional, politik merupakan pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat;
suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan-kebijakan publik (Joice
&William Mitchel; Political Analysis and Public Policy, 1969. p. 4).

Banyak pendapat masyarakat mengenai definisi politik. Di antaranya yaitu menyatakan


politik adalah proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat bagi
masyarakat/proses alokasi dan distribusi inti proses politik adalah : Keputusan yang mengikat
masyarakat, melibatkan sejumlah ketentuan-ketentuan politik (partai politik,kelompok,
kepentingan, dan sebagainya) untuk kepentingan dan kebaikan bersama.

2. Keterlibatan Lembaga-lembaga Masyarakat dalam Politik


Lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok kepentingan,
(termasuk lembaga keagamaan) merupakan kekuatan tersendiri untuk
mempengaruhikebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-lembaga yang ada
itu dapat mendengar dan menyalurkan berbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada di tengah-
tengah sekelompok masyarakat untuk menekan penguasa memberi perhatian atau
mengeluarkan kebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut.

Keterlibatan politik secara kritis (critical engagement ) dari lembaga-lembaga atau kelompok-
kelompok kepentingan dalam masyarakat akan menjadi sarana dan alat yang sangat
efektif untuk mengontrol segala tingkah pongah penguasa dan dengan itu batas-batas etis
kekuasaan yang layak tetap terjaga.

1
Upaya-upaya melakukan kritik, menekan pemerintah dan melakukan kontrol, jika dilakukan
secara berkesinambungan dan terhormat, tentu saja akan membiasakan suatu bangsa atau
negara hidup dalam keseimbangan yang terukur. Juga, pemerintah akan dididik untuk tunduk
pada yang seharusnya.
Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah atas
desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir
kebiasaan-kebiasaan positif yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter politik
yang terbuka serta mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Namun, satu hal yang
harus disadari adalah bahwa semua itu tidak akan berjalan dan tercapai dengan
sendirinya.Sangat diperlukan proses yang terus-menerus untuk membuka kesadaran bersama
dalampengelolaan politik. Salah satu poin yang terpenting dalam hal itu adalah
persoalanperspektif pilihan sadar dan sengaja dari tiap insan politik alias manusia itu sendiri
yangsejatinya merupakan mahluk politik.

3. Konsep Alkitab terhadap Politik


Menurut Alkitab, politik adalah suatu upaya dan proses sadar untuk memahami dan
memaknai realitas politik dari cara pandang dan pola pikir Alkitab. Pertanyaan
kuncinya jelas: apa kata Alkitab terhadap politik? Bagaimana konsepsi dan sistem politik
yang sesungguhnya dikandung Alkitab? Bagaimana penerjemahannya secara tepat ke dalam
realitas? Atau lebih pas: bagaimana konsep atau doktrin politik itu mengalami ‘pemanusiaan’
dan ‘penduniaan’?. Berangkat dari pertanyaan itulah penjelajahan menyangkut konsepsi
politik Alkitab dilakukan.
a. Politik Kesejahteraan
Perkatan politik (city) muncul dengan tegas dalam Yeremia(29:7): And seek the peace of the
city … and pray to the Lord for it (city:red); for in its (city:red.) peace you will have peace.
(Holy Bibel: Gideon International, 1980). Mencari atau mengupayakan kesejahteraan kota
(politik), jelas merupakan amanat Alkitab pada umat Tuhan. Dengan demikian, penataan
politik tidak bisa dilepaskan dari urusan Tuhan di segala tempat, ruang dan waktu.
2
Amanat atau perintah Alkitab untuk berpolitik bagi umat di dalam kitab Yeremia itu, tidak
serta merta diikuti dengan suatu bentuk atau sistem, apalagi yang menyangkut prosedur dan
mekanisme penataan politik yang detail. Pertanyaan penting muncul: Apakah Alkitab
memberi konsep kosong atau memberi keleluasaan kepada umat terutama para
pemimpinnya?

Tampaknya, jawaban yang ‘imaniah’ adalah: keleluasaan. Alkitab tidak memberikan


suatu paku mati, konsep baku dan menyeluruh menyangkut upaya perealisasian dari politik
itu. Formula politik itu tidak menjadi urusan Alkitab, tetapi menjadi suatu keharusan yang
dirumuskan umat Tuhan. Alkitab hanya memberikan suatu konsepsi yang sangat
fundamental: to seek peace (mengupayakan kesejahteraan politik). Kepada umat Tuhan,
Alkitab memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk merumuskan suatu formula
politik, baik itu menyangkut dasar dan sistem politik, bentuk, prosedur dan mekanisme
pemerintahan. Alkitab hanya memberi satu tekanan dan kepastian: kesejahteraan.

b. Realitas dan Pemaknaan Teokrasi


i. Regnum Sacerdotale, Sacerdotal Kingdom
Merujuk kepada naskah yang lebih muda di Alkitab, kisah penciptaan memberikansuatu
konsepsi menyangkut citra dan peran manusia di dalam proses dan realitaspolitik. Pencitraan
manusia sebagai imago dei (Kej. 1:28) merupakan konsepsi politik Alkitab untuk
menjelaskan hubungannya dengan semesta alam. Demikian juga pemberian kuasa dan
mandat bagi manusia untuk menata dan mengelola alam, sangat jelas sifat politisnya.

Suatu bentuk dan ciri politik dinyatakan kepada Musa. ‘Engkau akan menjadi kerajaan
imamat dan bangsa yang kudus…’ (Kel 19:6). Di sini jelas ada suatu progres dari
pengelolaan politik yang disampaikan kepada bangsa Israel.

3
Pernyataan Tuhan kepada Musa mengenai penataan politik itu tidak dapat dilepaskan dari
proses awal eksodus yang dialami bangsa Israel. Mereka hidup dalam situasi ‘tohu wavohu’ ,
(campur baur dan kosong) dalam arti politik. Status budak yang melepaskan diri melalui
perlawanan, digiring menuju tanah perjanjian yang bagi sebagian besar kaum awamnya tidak
jelas kapan tibanya.

Paling tidak kita dapat menangkap tiga hal dari teks kerajaan imamat itu, yakni: a)bentuk
politik itu adalah kerajaan; b) ciri dari kerajaan itu adalah imamat dan memiliki ciri dan jati
diri tersendiri. Artinya kerajaan yang harus berbeda (kudu) dari segala kerajaan atau bentuk
politik yang lain di dunia ini; c) istilah Kerajaan imamat dari perspektif politik pasti
membawa kita pada pemikiran bahwa penguasa politik atau pemimpin pemerintahan adalah
para orang kudus yang disebut Imam. Sumber kader kepemimpinan atau penguasa politik
sudah jelas:para imam. Inilah yang disebut regnum sacerdotale atau sacerdotal Kingdom.
Undang-Undang Dasar dalam bentuknya yang sangat embrional diberikan kepadabangsa
yang secara politik belum memiliki wilayah itu. Dasar titah dapat dilihatpada dua bagian,
Kel. 20:1-17 dan Ul. 5:6-21. Untuk yang lebih praktis dalampengaturan kebutuhan keseharian
pada masa itu (semacam penjabaran dari UUD)diberikan hukum ringkas berupa ritual
decalog dan ethical decalog (Kel. 34:12-16). Termasuk kewajiban memperingati hari
bersejarah secara ritual (34:18).

Realitas politik yang berangkat dan mengacu dari penelusuran Alkitab di atas, sangat
dipahami, bahkan diyakini sebagai teokrasi (pemerintahan Tuhan).

4
Kenyataan yang demikian dapat menggiring kita kepada kesimpulan bahwa kelihatannya
Alkitab tidak memberi penjelasan mengenai suatu bentuk pemerintahan. Rumusan atau
penjelasan yang tiba kepada kita adalah: Tuhan menjadi penguasa tunggal dan manusia
berada dalam naungan kedaulatanNya.

ii. Ketegangan Pengangkatan Melekh (Raja)


Israel sebagai komunitas pilihan Tuhan, pada tahap yang sangat awal kelihatannya baru mulai
belajar untuk membentuk diri menjadi identitas politik. Tatanan sosialnya sebagai suatu
bangsa, belum memiliki kesanggupan untuk menjadi perangkat politik. Suku-suku yang ada,
hanya diikat dan terikat pada satu keyakinan terhadap Yahwe yang membebaskan mereka
dari penindasan Mesir. Dari tinjauan politik, keterikatan tersebut jelas sangat longgar.

Namun, berangkat dari fondasi satu-satunya itu, yakni keyakinan pada Yahwe tersebut, suku-
suku Israel terbentuk atau membentuk diri menjadi aliansi politik. Liga suku-suku itulah yang
kemudian menjadi konfederasi Israel. Keterikatan politik yang didasari keyakinan agamiah
itu yang menjadikan para Imam sebagai pemimpinnya, disadari atau tidak menjadi satu
perangkat politik dalam tatanan sosial keagamaan Israel.

Gerakan bagi adanya seorang raja manusia (melekh) mulai muncul. Gerakan ini, tanpa
disadari merupakan suatu perlawanan terhadap tradisi pewarisan turun-temurun berdasarkan
garis darah dalam kepemimpinan selama ini, terutama untuk imam (dari garis suku Lewi).
Dua anak Samuel, Yoel dan Abia, yang diangkat Samuel menjadi hakim di Bersyeba, digugat
para tetua Israel (1 Sam: 8:4). Kualitas moral kedua anak Samuel menjadi dasar dari gugatan
para tetua itu: ‘mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan’ (1.Sam
8:3).
5
Kelompok Imam dan kaum konservatif dengan keras menolak aspirasi gerakan ‘melekh’
tersebut. Hal itu sangat jelas tercermin dalam pernyataan Samuel dengan mengangkat dasar
legitimasi tertinggi konfederasi Israel sendiri, yakni: Yahwe. “sebab bukan engkau yang
mereka tolak, tetapi Akulah (Yahwe: red) yang mereka tolak, supaya jangan Aku (Yahwe:
red) menjadi raja atas mereka.’ (1 Sam.8:7 b).

Dengan kemenangan gerakan ‘melekh’, konsekuensi politisnya adalah dekonstruksi doktrinal


atau ‘amandemen UUD’. Itu berarti, pemaknaan dan perumusan menyangkut kerajaan Allah
atau teokrasi mengalami perubahan. Dasar hukum dari pengadaan dan pengangkatan
“melekh’ harus ditetapkan. Persoalan mengenai ketertautan Yahwe dengan Israel atas adanya
seorang raja,mau tidak harus dirumuskan.

Saul dari keluarga Matri, kaum Kish dari suku yang terkecil keturunan Benyamin dipilih
Tuhan menjadi raja di hadapan suku-suku Israel. Dengan merujuk pada proses keterpilihan
dan pengangkatan Saul sebagai raja dan sekaligus pelaksanaan kekuasaannya sebagai raja (1
Sam. 9-15), penggantinya raja Daud (16-24), dan pengangkatan Salomo (1. Raja. 1), ada
berapa hal yang berkaitan dengan pemaknaan teokrasi:
Pertama, pada proses Saul, kedaulatan Yahwe (teokrasi) atas Israel tetap dipertahankan dan
diakui. Yahwe sendiri yang memilih, menentukan dan mengurapi Saul (1. Sam. 9 dan 10).
Pencabutan mandat atas Saul juga dilakukan Yahwe (15) dan sekaligus pilihan atas
penggantinya, Daud (16) yang berasal darisuku Efrata.
Kedua, perjanjian Sinai bahwa Yahwe adalah sumber dan dasar Israel (teokrasi),tetap
dipertahankan. Meskipun aspirasi gerakan ‘melekh’ diterima sebagai realitas politik, namun
hal itu diakui sebagai dosa dan bangsa Israel meminta ampun untuk itu (12: 17-19).

6
Ketiga, fungsi Imam sebagai perantara (medium) Yahwe dan sekaligus pengawas atas tugas-
tugas raja juga tetap dipertahankan. Kedudukan Imam sebagai medium dan advisori, inilah
yang sekaligus menandai hakikat teokrasi itu.
Keempat, proses peralihan kekuasaan dari Saul kepada Daud tidak berjalan mulus. Saul tetap
mempertahankan kekuasaannya dan berupaya melenyapkan Daud.Dalam konteks ini,
lembaga kerajaan (Saul) mengabaikan dan mengebiri lembaga Imam dan dengan itu
menjadikan dirinya juga medium (perantara) langsung dengan Yahwe (teokrasi).
Kelima, dalam garis teokrasi yang demikian terjadi peralihan kekuasaan dari Daudke
penggantinya. Daud sendiri yang menetapkan Salomo, anak haram, hasil perselingkuhannya
dengan Batsyeba, setelah melampaui persaingan internal keluarga. Fungsi Imam, nabi Natan
kelihatan hanya melaksanakan seremoni bagi legitimasi kekuasaan raja. Bermula dari hanya
‘mezbah’ sebagai medium bagi Yahwe menyatakan kedaulatan dan titahnya, teokrasi Israel
bergerak membentuk ‘tahta’ yang juga mediumNya. Keduanya tetap eksis, pada waktu dan
tempat yang sama, bergayut pada Allah yang sama: Yahwe.

c. Berasal dari Allah


Berangkat dari keyakinan teokratis, dengan Yahwe yang perkasa, Israel kemudian Yahudi
mengembangkan doktrin messianis: kejayaan bangsa dengan datangnya pemimpin nan
digdaya untuk menaklukkan semua orang dan memerintah atas seluruh dunia. Namun, pada
akhirnya, Israel sebagai entitas agama dan politik, patah terkulai, dilanda kemunduran dan
kehancuran.

Kelahiran Yesus (yang dimaknai sebagai awal kehadiran gereja) memasuki era yang sangat
berbeda. Gereja tidak hanya bergumul dengan pemikiran dan perumusan politik teokrasinya,
tetapi hidup di dalam dan dan berhadapan realitas politik yang sama sekali tidak mengenal
Allah.
7
Para pengikut Yesus, yang hidup dan menjadi bagian dari politik negaranya, menuntut
pemahaman terutama menyangkut loyalitas. Kepada siapa loyalitas tertinggi ditaruh dan
dipertaruhkan: kepada raja atau kepada Allah.

Berhadapan dengan realitas yang demikian, teologia politik dirumuskan Yohanes bin
Zebedeus, manakala kekaisaran imperium Romawi di tangan raja Dominiatus. Persekusi
besar-besaran terhadap seluruh pengikut Kristus diperintahkan di seluruh imperium Romawi
itu. Terhadap realitas itu kitab Wahyu memberi makna teologis menyangkut sifat dan hakikat
kekuasaan yang kuat, sadis dan kejam. Namun semua itu bukanlah akhir, bukanlah bentuk
final dari segala-galanya. Kuasa Allah ada di ujung, yang mengatasi dan mengakhiri semua
itu. Karenanya, inti teologia politik kitab Wahyu adalah: orang Kristen sama sekali tidak
boleh tunduk menyembah raja atau ilah manapun, selain Tuhan.

Paulus memberikan panduan teologis berupa pemahaman yang sangat positif mengenai
pemerintah. Pemaknaan secara teologis dengan muatan teokrasi diberikan: ‘… sebab tidak
ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah, dan pemerintah-pemerintah yang ada
ditetapkan oleh Allah’ (Roma 13: 1b) ... ’karena pemerintah adalah hamba Allah…’(13:4a).
Dalam garis pemikiran itulah kepada tiap orang diarahkannya untuk ‘takluk’ dengan batasan
yang jelas: ‘… barangsiapa yang melawan pemerintah, ia melawanketetapan Allah…’ (Roma
13:2).

4. Teologi Politik Kristen di Indonesia


Upaya berteologia politik telah lama ada dalam khasanah keristenan di Indonesia. Sebagai
suatu proses yang tidak pernah berhenti, eksperemintasi berteologia politik itu telah dicatat
sejarah pada masa penjajahan. Bahkan dapat dikatakan unik, sebab upaya itu tidak berangkat
dari laboratorium intelektual, tetapi justru dari kalangan publicans, seperti Pattimura yang
melakukan gerakan politik dengan mengangkat senjata di Maluku dan Manullang dan kawan-
kawan di tanah Batak yang melakukan bentuk-bentuk penyadarandan pengorganisasian yang
mengusung tema-tema kemandirian dan kerja keras.
8
Pada masa-masa pembebasan diri dari penjajahan, orang-orang kristen juga telah melakukan
bentuk-bentuk teologia yang operasional dengan mendirikan organisasi-organisasi
kemasyarakatan dan sebagain merubah diri menjadi partai politik. Kita dapatmencatat
perkumpulan sosail Mardi Pratojo yang kemudian menjadi Partai PerserikatanKaum Kristen
(PKC) atau Christelijke Ambonche Volksbond (CAV), dll. Hal yang sama juga terjadi pada
saat Indonesia merdeka. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) hadir sebagai bagian dari upaya
dan proses berteologia politik secara operasional.

Hanya saja, proses-proses tersebut mengalami pasang surut disebabkan faktor internal dan
situasi politik negara. Muatan atau tema-tema yang diusung dan dikomunikasikan kepada
orang-orang kristen adalah dari dan demi kepentingan ‘orang kristen’. Sesuatu yang
seringkali dikatakan orang sebagai lebih berpolitik ‘teknis’ ketimbang berpolitik ‘etis’.

Disadari atau tidak, telah terjadi pembiaran yang berkepanjangan dalam tataran konseptual
teologia politik kristen di Indonesia. Dasar berpijak dalam tabung ‘independensi’ gererja,
dalam realitasnya seringkali diterjemahkan sebagai netralitas dan sterilisasi politik dalam
semua ruang gereja. Tidaklah mengherankan bila kekristenan mengalami kegamangan demi
kegamangan menghadapi berbagai realitas politik di Indonesia.Sesungguhnya, independensi
tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung jawab politik gereja. Perumusan
menyangkut keterlibatan dalam konteks independensi harus dirumuskan batasan-batasannya
secara teologis. Berangkat dari pemahaman dan kesadaran yang demikian, gereja-gereja akan
terdorong dan dimampukan melahirkan teologia politiknya yang otentik.
5. Tanggung Jawab Sosial Politik Umat Kristen
Orang kristen harus menghormati kewibawaan pemerintahan dunia selama kebijakan itu
dilakukan demi kesejahteraan masyarakat dan didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
Tetapi kebijakan itu tidak boleh mengambil alih kewibawaan atau wewenang Allah.
Bagaimana seharusnya orang kristen sebagai warga negara menaati lembaga-lembaga resmi
negara yang mengatur kehidupan masyarakat dalam usahanya menegakkan kebenaran dan
keadilan kesejahteraan masyarakat ditulis di Roma 13:13. Sikap orang kristen terhadap
politik ada 3 bersifat antagonistis, rejektif, dan menyesuaikan.
9
Respon yang benar itulah yang lebih penting dan menentukan sikap kita terhadap berbagai
gejolak politik yang terjadi. Allah menghendaki orang kristen taat kepada pemerintah, sesuai
dengan pengertian bahwa pemerintah menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh
Allah. Tentunya pmerintah harus mempertanggungjawabkannya kepada pemberi kekuasaan
yaitu Allah sendiri (ayat 1).

Jika orang kristen tidak taat kepada pemerintah dan berpartisipasi secara aktif sebagai warga
negara yang bertanggung jawab maka citra kekristenan akan rusak. Orang kristen harus
mengakui lembaga pemerintahan yang diadakan oleh karena kehendak Allah (ayat 1).

Panggilan tersebut tentu menuntut peran aktif, yang harus dimulai dari pasal 12, yaitu
penyerahan diri kepada Allah (Roma 12:1, 2) sehingga tidak menjadi serupa dengan
dunia.Dengan demikian pemerintah dapat berperan sebagai hamba Allah (Roma 13:4). Ayat
5, ”…dengan suara hati”.

Justru di sinilah tugas dan tanggung jawab gereja (dalam pengertian umat Allah, bukandalam
pengerrtian organisasi) supaya memampukan pemerintah menjadi hamba Allah. Inidapat
terjadi hanya apabila orang kristen memenuhi panggilannya. Jadi sudah seharusnyakita
menjawab panggilan itu, untuk menjadi garam dan terang dunia, biar melalui diri kitacitra
Kristus boleh terpancar sehingga semua orang memuji dan memuliakan Allah.

6. Implikasi-implikasinya
Sikap orang kristen dalam kehidupan politik hendaknya didasari atas penghayatan:
a) Kekuasaan sebagai anugerah Allah
Kekuasaan bukan sesuatu yang buruk. Dengan demikian, jabatan dan kekuasaan itu
dipandang sebagai kesempatan untuk mengabdi kepada rakyat dan Tuhan.

b) Keberpihakan kepada yang lemah


Para politikus kristen dipanggil karena memiliki keberpihakan kepada yang lemah,
10
karena dua alasan penting yaitu: kelompok masyarakat inilah yang sering kali menjadi korban
penindasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Keberpihakan mereka tidak boleh
dilandasi oleh sentimen yang bersifat primodial (suku, ras, atau agama). Namun,
keberpihakan itu juga tidak membuat, dalam arti bahwa aturan dan hokum tidak berlaku bagi
kelompok ini.

c) Memiliki visi dan misi yang berorientasi pada rakyat dan kerajaan Allah
Visi dan misi para politikus kristen hendaknya tidak hanya dibatasi oleh lingkup dan waktu.
Maksudnya kiprah dalam dunia politik tidak hanya dibatasi oleh konstituennya saja
(kelompok pemilihnya) ataupun jangka waktu memiliki jabatan itu. Bahkan lebih jauh lagi
para politikus kristen juga sekaligus adalah agen-agen eskatologis dan seharusnya ikut serta
dalam menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah (keadilan,kebenaran, perdamaian dan
keutuhan ciptaan) sampai dengan sepenuhnya.

d) Mendorong perubahan yang benar dalam masyarakat Indonesia


Para politikus kristen hendaknya juga menjadi agen-agen perubahan. Untuk itu dibutuhkan
keteladanan sikap perilaku yang baik. Setiap politikus kristen harus berani mengatakan
“tidak” atas semua tawaran, bujukan, atau strategi-strategi yang dapat membuat jatuh pada
tindak korupsi, kolusi ataupun nepotisme; menjauhi segala bentuk premanisme dan
menegakkan hukum secara konsisten dan konsekuen.

7. Sikap terhadap Pemerintah yang Salah Menggunakan Otoritas


Berkaitan dengan pemerintah (kepatuhan kepada pemerintah), Roma 13:1-7 menyatakan
bahwa pemerintah adalah hamba Allah. Kekuasaan pemerintah berasal dari Allah, oleh
karena itu pemerintah wajib menjalankan kehendak Allah untuk mengupayakan keamanan
dan kesejahteraan rakyat. Maka titik tolak pelaksanaan tugas-tugas pemerintah (hukum atau
undang-undang) haruslah bersesuaian dengan kehendak Allah. Sehubungan denganitu,
pemerintah berhak dan wajib menjalankan hukuman kepada orang yang bersalah.
11
Sebagai umat yang telah mengenal kebenaran di dalam Kristus, tentunya setiap orang percaya
bisa menilai apakah sesuatu itu benar atau tidak. Kematian Kristus adalah untuk
menghancurkan kerajaaan kegelapan dan menegakkan Kerajaan Allah, dan orang kristen
dipanggil untuk menyatakan kehendak Allah dan memuliakan nama-Nya dalam segala
bidang kehidupan. Di dalam kemenangan Kristus, bumi menjadi pusaka orang rendah hati,
sehingga orang kristen tidak boleh menyia-nyiakan perkara yang di bumi termasuk
kebangsaan. Kebangsaan itu tidak lahir dari si iblis, tetapi dari Tuhan Allah. bangsa itu tidak
boleh dipisahkan dengan kecintaan hal kita. Demikian menurut pengajaran dari natur dan
pengajaran Alkitab.

Oleh sebab itu, orang kristen mempunyai kewajiban yang lebih berat dalam perkara politik
daripada orang lain. Sebab di bidang politik dan pemerintahan, peran orang kristen bukan
semata-mata demi kesejahteraan bangsa, tetapi yang terutama semuanya dilakukan untuk
kemuliaan nama Tuhan.

Otoritas yang berkuasa ditunjuk oleh Tuhan adalah Rasul Paulus pernah membuat pernyataan
yang jelas mengenai bagaimana kita seharusnya berespon terhadap otoritas. Dalam hal ini
kita seharusnya berespon terhadap otoritas “tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah
yang di atasnya” (Roma 13:1). Frasa setiap orang menyatakan tidak adanya pengecualian.
Kita sebagai orang kristen tidak boleh menentang otoritas yang sah didalam kehidupan kita.
Sebab tidak ada pemerintah yang tidak ditetapkan oleh Allah.

Pada zaman kita, otoritas memiliki reputasi negatif. Banyak pemimpin, baik dalam negara
maupun kalangan sosial, salah menggunakan otoritas yang dimiliki. Tidak heran rasa hormat
terhadap otoritas tampak seperti kebodohan yang naif. Namun kembali lagi, Tuhan
mengatakan kalau kita harus menghormati otoritas yang sah, tidak peduli bagaimanapun
otoritas tersebut karena “semua otoritas berasal dari Tuhan”. Bahkan dengan lebih tegas lagi,
semua otoritas ditetapkan oleh Allah. Banyak orang yang benar-benar bergumul dengan arti
dari ayat ini, perintah ini bisa tampak begitu sangat tinggi untuk mungkin ditaati oleh setiap
orang kristen. Tetapi itulah tantangan untuk menjadi seorang pengikut Kristus.
12
8. Etika Politik
Arena politik merupakan ruang yang sangat memungkinkan bagi pemberlakuan syalom
Kerajaan Allah, tetapi sekaligus juga menjadi wilayah yang sangat terbuka bagi terjadinya
pemberontakan terhadap Allah. Absolutisme yang merupakan prerogatif Allah semata dan
tidak terbagi terhadap siapapun, ternyata dalam sejarah bisa ditarik dan diambil paksa oleh
manusia. Namun, selalu ada konsekuensi dari sikap pemberontakan itu, yang selalu
merugikan pihak manusia, termasuk orang-orang yang saleh.

Etika politik sesungguhnya berbicara pada tatanan nilai tentang negara dan proses-prosesyang
manusiawi di dalamnya. Kesadaran tentang keberdosaan manusia dan kecenderungannya
untuk menjadi ilah, membuka kesadaran perlunya batas-batas etis menyangkut proses dan
perilaku politik dalam suatu negara. Karena itu politik tidak bisa dibiarkan berjalan begitu
saja, hanya sekadar diurus orang-orang tertentu atau diserahkan kepada para politisi semata.

Lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok


kepentingan, termasuk lembaga keagamaan, merupakan kekuatan tersendiri untuk
mempengaruhi kebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-lembaga yangada
itu dapat mendengar dan menyalurkan berbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada ditengah-
tengah sekelompok masyarakat untuk menekan penguasa memberi perhatian atau
mengeluarkan kebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut.
Pendidikan politik suatu bangsa akan berjalan dengan baik di dalam dan melalui proses
kesadaran kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat untuk terus menerus
membiasakan diri melakukan kritik dan kontrol terhadap proses politik yang sedangberjalan.
Suatu bangsa atau negara, yang berjalan dalam situasi demikian, akan membiasakan dirinya
terbuka dan siap melakukan perbaikan. Di samping itu, politik tidakakan menjadi suatu potret
seram yang menakutkan, tetapi sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja. Kritik tidak akan
dianggap sebagai ancaman, dan para pengritik tidak diperlakukan sebagai musuh.

13
Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah atas
desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir
kebiasaan-kebiasaan yang positif, yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter
politik yang terbuka dan mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Kebiasaan-
kebiasaan baik yang berjalan dalam pemerintahan itu, akan menjadi etika politik suatu
bangsa.
14
KESIMPULAN
Dalam dunia politik dan hukum, sikap gereja yang perlu dkembangkan adalah sikap positif,
kritis, dan kreatif. Positif artinya memandang dunia politik sebagai bidang pengabdian dan
pelayanan panggilan dari Tuhan serta karena itu berasal dari pandangan positif ketika kita
memberikan kontribusi sesuai iman Kristen. Kritis artinya tidak ragu-ragu memberI kritik
jika penguasa berbuat kesalahan, menyimpang dari hukum dan prinsip-prinsip yang berlaku.
Kritik yang sesuai dengan etika Kristen adalah kritik yang konstruktif (membangun, santun,
dan memperdayakan), bukan kritik yang destruktif (menjatuhkan, vulgar, dan mencari
kesalahan). Kreatif artinya berusaha memberikan terobosan atau alternative baru di tengah
kebuntuan terhadap politik. Kita harus mampu berkomunikasi terbuka dan dialogis, tidak
alergi terhadap perubahan.

Selain itu, gereja juga dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang politik
danhukum antara lain:
a) Gereja perlu terlibat dalam politik dan hukum. Dalam arti yang luas, ia mengikuti
denganseksama berbagai perkembangan politik.

b) Gereja perlu melakukan pertemuan konsultatif secara berkala dengan anggota-


anggota jemaatnya yang terlibat dalam politik praktis.

c) Gereja juga perlu mendengar masukan dari berebagai LSM ataupun perguruan tinggi
Kristen yang menaruh perhatian terhadap kehidupan politik.

d) Gereja perlu menyelenggarakan berbagai pembinaan ataupun juga forum diskusi


yangmenggumuli masalah-masalah dan etikanya bagi anggota jemaatnya sehingga
pemahamansalah yang dimiliki oleh anggota dapat dipatahkan dengan memperdalam
kehidupan politik sesuai kapasitas dan kemampuannya.
e) Gereja perlu terlibat dalam forum-forum dialog antar umat beragama.

15
PENUTUP
Demikianlah isi makalah ini kami buat. Semoga dapat bermanfaat bagi setiap pembaca.
Dan jika ada kesalahan kata-kata dalam makalah ini kami mohon maaf.

Anda mungkin juga menyukai