Anda di halaman 1dari 19

Analisis Hukum Kewenangan Pegujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)


oleh Mahkamah Kontitusi
Legal Analysis Testing of the Authority
of Government Regulation in Lieu of Law (Perppu)
by the Constitutional Court
Harfandy Siman Gustamin
Muhammad Jufri
Kamaruddin Jafar
Konsentrasi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo,
Kampus Bumi Tridharma Anduonohu, Jln. H.E.A Mokodompit Kendari
Email : fandy.tamin@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kewenangan Pengujian Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Mahkamah Konstitusi
bertentangan dengan pasal 24C Ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945danPotensi
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara terhadap PengujianPeraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Mahkamah Konstitusi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan pasal 24C
ayat (1) oleh karena Mahkamah Konstitusi hanya bisa menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945, sementara Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) bukanlah Undang-Undang, serta Pengujian Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Mahkamah Konstitusi
berpotensi menimbulkan sengketa kewenangan lembaga negara oleh karena Pasal
22 ayat (2) menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam masa
sidang berikutnya, persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dimaknai sebagai
pengujian terhadap Undang-Undang.
Kata Kunci : Kewenangan Konstitusional, Mahkamah Konstitusi, Perppu, Dewan
Perwakilan Rakyat, SengketaKewenangan Lembaga Negara
ABSTRACT
This study aims to determine the Authority of Testing of Government
Regulation in Lieu of Law (Perppu) by the Constitutional Court which is contrary
to Article 24C Paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of
Indonesia and the Potential Dispute on the Authority of the State Agency on
Testing of Government Regulation in Lieu of Law (Perppu) by the Constitutional
Court by the House of Representatives of the Republic of Indonesia.
This type of research is a normative research by statute approach, case
approach, conceptual approach and historicalapproach, legal materials used source
material primary law and secondary law.
Testing of Government Regulation in Lieu of Law(Perppu) by the
Constitutional Court contrary to Article 24C paragraph (1) since the

1
Constitutional Court can only examine the Act against the Constitution of 1945,
while the Government Regulation in Lieu of Law (Perppu) is not the Act, as well
as the testing of Government Regulation in Lieu of Law (Perppu) by the
Constitutional Court has the potential to give rise to dispute the authority of state
institutions because Article 22 (2) states that the Government Regulation in Lieu
of Law (Perppu) must obtain the approval of the House of Representatives during
the next trial, the approval by the House of Representatives interpreted as the
examination of the Act.
Keywords :Constitutional Authority, the Constitutional Court, Perppu, the House
Of Representatives, State Agency Dispute Authority.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Perpres No.68/2005, Presiden memerintahkan penyusunan
rancangan Perppu kepada Menteri yang terkait dengan materi yang akan
diatur dalam Perppu tersebut, Menteri tersebut berkoordinasi dengan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau dengan Menteri / Pimpinan
lembaga terkait setelah ditetapkan Perppu oleh Presiden maka Menteri
tersebut merancang Rancangan Uundang-Undang menjadi Undang-
Undang.Perppu menurut Pasal 22 Undang-Undang Dasar 19451 yaitu :
1. Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti udang-undang.
2. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan dalam pesidangan yang berikut.
3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintahitu harus
dicabut.
Mahkamah Konstitusi nyatanya sudah telah beberapa kali melakukan
pengujian Perppu terhadap Undang-Undang Dasar. Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang pengujian Perppu Nomor 4
Tahun 2009 tanggal 8 Februari 2010 adalah sejarah baru dalam praktik
ketatanegaraan kita, karena ternyata Mahkamah Konstitusi memutuskan
bahwa dirinya berwenang dalam menguji Perppu tersebut. Meskipun amar
putusannya menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard) karena alasan para pemohon tidak mempunyai kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, tetapi
setidaknya Mahakam Konstitusi telah menyatakan keberwenangannya untuk
memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian Perppu
terhadap Undang-Undang Dasar.2
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PUU-VII/2009 adalah
pengujian perppu kedua yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Putusan yang menguji Undang-Undang No. 6 Tahun 2009 dan Perppu No. 4
Tahun 2008 ini diputus pada tanggal 20 April 2010 yang jugamenegaskan
keberwenangan Mahakamah Konstitusi dalam melakukan pengujian suatu

1
Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945
2
Putusa Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009
2
perppu.3 Kemudian pendaftaran pengujian perppu yang terbaru, pendaftaran
pengujian Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Perppu ini didaftarkan oleh 5 pemohon berbeda, dengan masing-masing
nomor perkara: 90/PUU-XI/2013, 91/PUU-XI/2013, 92/PUU-XI/2013,
93/PUU-XI/2013, 94/PUU-XI/2013.
Satu permohonan ditarik kembali, sedangkan empat lainnya diputus
dengan amar yang berbunyi “permohonan tidak dapat diterima”. Hal ini
karena Perpu No. 1 Tahun 2013 ini akhirnya dibahas di Dewan Perwakilan
Rakyat pada saat Mahkamah Konstitusi juga sedang menguji permohonan
pengujian perppu tersebut. Sehingga dengan hasil Sidang Paripurna Dewan
Perwakian Rakyat yang menyatakan menyetujui perpu tersebut menjadi
undang-undang, maka secara otomatis Mahkamah Konstitusi kehilangan
objek pengujian perkara a quo.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk
membahas mengenai kewenangan pengujian suatu perppu di Mahkamah
Konstitusi dalam proposal yang berjudul: “Analisis Hukum Kewenangan
Pengujian Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang (Perppu)
oleh Mahkamah Konstitusi”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat ditarik
beberapa poin rumusan masalah yang selanjutnya menjadi bahasan dalam
proposal ini, yaitu:
1. Apakah Kewenangan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan
dengan pasal 24C Ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945?
2. Apakah berpotensi terjadi Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
terhadap Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) oleh Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat?
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Hukum Ketatanegaraan
1. Teori Negara Hukum
Istilah Negara Hukum dalam Bahasa Belanda disebut Rechtstaat,
Prancis Menggunakan Istilah etat de droid, jerman menggunakan istilah
yang sama dengan Belanda, yaitu rechtstaat. Istilah etat de droit dan
rechtstaat yang digunakan di Eropa Kontinental adalah istilah-istilah
yang tidak tepat digunakan dalam sistem hukum Inggris, meskipun
ungkapan legal state atau state according to the law atau the rule of Law
mencoba mengungkapkan suatu ide yang pada dasarnya sama.4 Istilah
Negara Hukum berkaitan dengan paham rechtstaat dan the rule of law
juga berkaitan dengan nomocrachy5 yang berasal dari perkataan nomos
3
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 145/PUU-VII/2009
4
Aguslamim Andi Gadjong,2007,Pemerintahan Daerah ,Ghalia Indonesia, Bogor.hlm 20
5
Anwar C, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Paradiga Kedaulatan dalam UUD (Pasca
Perubahan) , Imlikasi dan Iplementasinya Pada Lembaga Negara, Malang, hlm 46.
3
dan cretos; nomos berarti norma dan cretos adalah kekuasaan, ialah
kekuasaan oleh norma atau kedaulatan hukum.Selanjutnya Tahir Azhary
mengklasifikasikan yang dimaksud dengan negara hukum bukan saja
rechtstaat dan rule of law tetapi juga nomokrasi Islam, Negara Hukum
Pancasila dan mungkin juga social legality.6
Baik mengenai rectstaat ataupun rule of law, sebuah negara hukum
mengharuskan adanya pemisahan kekuasaan.Hal ini dimaksudkan agar
pelaksanaan kekuasaan dapat terkontrol dan dibatasi demi mencegah
kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan.
Disamping itu perlindungan hak asasi bagi warga negara adalah
keniscayaan, bukan saja dalam arti sempit melainkan dibutuhkan wujud
yang lebih nyata yakni ditentukannya prosedur penjaminan hak–hak
tersebut.
2. Teori Konstitusi
Konstitusi merupakan sarana dasar untuk mengawasi proses-proses
kekuasaan.Tujuan dibuatnya konstitusi adalah untuk mengatur jalannya
kekuasaandengan jalan membatasinya melalui aturan untuk menghindari
terjadinya kesewenangan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya
serta memberikan arahan kepada penguasa untuk mewujudkan tujuan
Negara.Jadi, pada hakikatnya konstitusi Indonesia bertujuan sebagai alat
untuk mencapaitujuan negara dengan berdasarkan kepadanilai-nilai
Pancasila sebagai dasar negara. Kedudukan, fungsi, dan tujuan
konstitusi dalam negara berubah dari zaman ke zaman.Pada masa
peralihan dari negara feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan
mutlak penguasa negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan
sebagai benteng pemisah antara rakyat yang kemudian secara berangsur-
angsurmempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan
kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak itu, setelah perjuangan
dimenangkan oleh rakyat, kedudukan dan peran konstitusi bergeser dari
sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap
kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata pemungkas rakyat untuk
mengakhiri kekuasaan sepihak seseorang dalam sistem monarki dan
kekuasaan sepihak satu golongan oligarki serta untuk membangun
tatakehidupan baru atas dasar landasan kepentingan bersama rakyat.
3. Teori Pemisahan Kekuasaan
Pada prinsipnya, konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara
antara lain merupakan pencatatan (registrasi) pembagian kekuasaan
didalam suatu negara. Pembagian kekuasaan menurut fungsinya
menujukkan perbedaanantara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat
legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal sebagai Trias
Politika.7 Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri

6
Tahir Azhary, 2004, Negara Hukum, Suatu Study Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya Pada Priode Negara Madinah dan Masa Kini, Pranenda Media,
Jakarta, hlm 18.
7
Beberapa literatur menerjemahkan konsep trias politica sebagai pemisahan kekuasaan
(separationof power).Lihat Jimly Asshiddiqie.Ibid.,hlm. 30.
4
atas tiga macam kekuasaan: Pertama, kekuasaan legislatif atau
kekuasaan membuat Undang-Undang (dalam peristilahan baru sering
disebut rule making function); kedua, kekuasaan eksekutif atau
kekuasaan melaksanakan undang-undang (ruleapplication function);
ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili ataspelanggaran
undang-undang (rule adjudication function). Trias politika adalah suatu
prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (function) ini sebaiknya
tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian
hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.8
Pertama kali mengenai fungsi-fungsi kekuasaan negara dikenal di
Perancis pada abad ke-XVI, pada umumnya diakui lima yaitu:
1. Fungsi diplomacie;
2. Fungsi defencie;
3. Fungsi financie;
4. Fungsi justicie;
5. Fungsi policie .9
Oleh John Locke (1632-1704) dalam bukunya Two Treatises on
Civil Goverment (1690) kemudian konsepsi mengenai fungsi kekuasaan
negara itu dibaginya menjadi tiga, yaitu :
1. Fungsi Legislatif;
2. Fungsi Eksekutif;
3. Fungsi Federatif (hubungan luar negeri).
Yang masing-masing terpisah satu sama lain. Bagi John Locke, fungsi
peradilantercakup dalam fungsi eksekutif atau pemerintahan. John
Locke memandang mengadili itu sebagai uittvoering, yaitu termasuk
pelaksanaan Undang-Undang.10
B. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
1. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Dalam konteks dogmatika hukum Negara Indonesia, penentuan
jenis dan hierarki norma hukum pada tingkatan peraturan perundang-
undangan telah diatur secara khusus sampai sekarang.Kemudian
padaUndang-UndangNomor 12 Tahun 2011 (UU/12/2011) tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hierarki peraturan
perundang-undangan sebagaimana ditentukan pada Undang-Undang
tersebut meliputi:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

Sedangkan sebagian literatur lain menyebutnya dengan istilah pembagian kekuasaan (division
ofpower). Lihat Miriam Budiardjo,Ibid.,hlm. 267.
8
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi,Cetakan Pertama, Gramedia,
Jakarta, 2008, hlm. 281-282.
9
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsulidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 29
10
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi,Cetakan Pertama, Gramedia, Jakarta,
2008, hlm. 282-283
5
3. Undang-Undang/PeraturanPemerintahPenggantiUndang- Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.11
Selain peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud di
atas, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini juga mengatur bahwa
peraturan perundang-undangan mencakup peraturan yang ditetapkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau peraturan pemerintah atas perintah Undang-
Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat. Peraturan perundang-undangan ini diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.12
2. Kewenangan Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
Istilah peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang ini
sepenuhnya adalah ciptaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi, “dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai
pengganti undang-undang”. Dalam Pasal 22 ayat (2) -nya dinyatakan,
“Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”, dan ayat (3)-nya
menen-tukan, “Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan
pemerintah itu harus dicabut”.13
Untuk menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan hal
ikhwal kegentingan yang memaksa, maka Jimly Ashiddiqie14,ketika
menguraikan tentang keadaan bahaya atau darurat, menyatakan bahwa
ada tiga unsur penting yang memberikan dasar logis untuk
diberlakukannya keadaan bahaya atau darurat, yaitu:
a) adanyakebutuhan hukum yang masuk akal (reasonable necessity);
b) karenafaktor bahaya yang mengancam (dangerous threat); dan
c) dalamwaktu atau kesempatan yang terbukti sangat terbatas
(limited time).

11
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
12
Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
13
Pasal 22 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945
14
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, hlm. 66
6
Dalam arti sempit, ancaman bahaya yang dimaksudkan itu tertuju
kepada keselamatan umum, integritas wilayah, atau ancaman terhadap
kedaulatan negara. Dalam arti yang lebih luas, ancaman bahaya itu
dapat tertuju kepada keselamatan jiwa, keselamatan harta benda, ataupun
keselamatan lingkungan hidup, baik dalam lingkup nasional, regional,
ataupun local tertentu. Atas kedua pengertian ini, Jimly Asshiddiqie
menganggap pengertian ancaman bahaya atas keselamatan umum,
integritas wilayah, kedaulatan negara, keselamatan jiwa, harta benda dan
keselamatan lingkungan hidup, dapat dikategorikan sebagai suatu
keadaan darurat atau keadaan bahaya.
Lalu pengertian kegentingan yang memaksa menurut Jimly
Asshiddiqie memiliki arti ancaman yang lebih luas lagi, yaitu ancaman
keselamatan itu dapat pula tertuju kepada suatu ide, prinsip-prinsip, atau
nilai-nilai luhur tertentu atau yang tertuju kepada sistem administrasi
atau efektivitas bekerjanya fungsi-fungsi internal pemerintahan suatu
negara. Pengklasifikasian jenis ancaman ini kiranya dapat menjadi acuan
kepada seorang Presiden kapan ia harus mengeluarkan suatu perpu dan
kapan ia menyatakan keadaan bahaya yang keduanya diatur dalam bab
berbeda dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
C. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi
1. Kedudukan, Tugas, Fungsi, Visi dan Misi Mahkamah Konstitusi
Mengenai kedudukan, tugas, fungsi, visi dan misi Mahkamah
Konstitusi, penulis mengutip pada buku karangan Abdul Mukhtie Fadjar
yang berjudul “Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi”,15
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 juncto Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah:
a. merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman;
b. merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka; dan
c. sebagai penegak hukum dan keadilan.
Sedangkan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi berdasarkan
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi adalah menangani perkara ketatanegaraan atau
perkara konstitusi tertentu dalam rangka menjaga konstitusi (Undang-
Undang Dasar 1945) agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai
dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan
Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya
pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap
pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan
oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.Oleh karena itu, selain sebagai
penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), Mahkamah
Konstitusi juga merupakan penafsir tertinggi konstitusi (the sole

15
Abdul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jendral
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm,118-120.
7
interpreter ofconstitution). Atas dasar kedudukan, tugas, dan fungsi
Mahkamah Konstitusi tersebut, maka visi dan misi Mahkamah
Konstitusi dirumuskan dalam Blue Print Mahkamah Konstitusi sebagai
berikut:
a. Visi Mahkamah Konstitusi: Tegaknya konstitusi dalam rangka
mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
b. Misi Mahkamah Konstitusi: Mewujudkan Mahkamah Konstitusi
sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya,
Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar
berkonstitusi.
2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Untuk mengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi mempunyai
kewenangan menangani perkara-perkara konstitusi/ketatanegaraan
tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan demikian, perkara-perkara ketatanegaraan lainnya, seperti
pengujian peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang, perselisihan hasil pemilihan kepala daerah,
dan impeachment Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah, tidak termasuk dalam kewenangan
Mahkamah Konstitusi, melainkan menjadi kewenangan Mahkamah
Agung, sebagaimana tercantum dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.16
3. Pelaksanaan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi
secara Rinci, Khususnya Kewenangan Pengujian Undang-Undang
Pelaksanaan kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi
dalam undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945:
a. Diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 60 Undang-Undang
Mahkamh Konstitusi dan telah dilengkapi dengan Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005;
b. Subyek hukum yang dapat menjadi pemohon adalah: i) perorangan
Warga Negara Indonesia (WNI), termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama; ii) kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI)
yang diatur dalam Undang-Undang; iii) badan hukum publik atau
privat; atau iv) lembaga negara, yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan, yaitu hak/ kewenangan
yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Obyek permohonan adalah konstitusionalitas sebuah Undang-
Undang yang meliputi pengujian secara formil, yaitu pengujian
mengenai apakah pembentukan dan bentuk undang-undang sesuaiatau

16
Ibid, Abdul Mukhtie Fadjar, hlm. 120-121.
8
tidak dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, dan pengujian
secara materiil, yaitu pengujian mengenai apakah materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945;Dalam kurun waktu dua tahun usia
Mahkamah Konstitusitelah dilakukan pengujian tidak kurang dari 65
Undang-Undang, dengan putusan ada yang dikabulkan seluruhnya,
dikabulkan sebagian, tidak diterima, dan ada yang ditolak.
D. Konsep Judicial Review
Judicial review dapat dipandang sebagai salah satu instrumen untuk
menjamin ketepatan arah itu atau sebagai pengawal ketepatan isi dalam
pembuatan hukum. Judicial review adalah pengujian isi peraturan
perundang-undangan oleh lembaga yudisial yang dapat diberi pengertian
spesifik ke dalam judicial review dan constitutional review. Judicial review
secara umum adalah pengujian oleh lembaga yudisial atas peraturan
perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi (di sisni mencakup kompetensi Mahkamah Agung atau Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi), sedangkan contitutional review adalah
pengujian oleh lembaga yudisial khusus untuk konsistensi Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar (di sini yang dimaksud khusus kompetensi
Mahkamah Konstitusi yang merupakan bagian khusus dari judicial review
dalam arti umum).17
Pada prinsipnya, suatu judicial review yang dilakukan oleh badan
pengadilan (dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi) merupakan upaya
menafsirkan konstitusi oleh badan pengadilan tersebut, untuk kemudian
hasil tafsirannya diterapkan kedalam suatu fakta dalam suatu Undang-
undang tau tindakan dari parlemen atau pemerintahan. Apabila tindakan dari
parlemen atau pemerintahan dianggap bertentangan dengan konstitusi hasil
tafsirannya, maka tindakan dari parlemen atau pemerintah tersebut
dibatalkan. Karena itu, peran dari pihak yang memiliki kewenangan Judicial
review dalam menafsirkan konstitusi sangat penting.
18
1. Macam-Macam Pengujian
a. Pengujian Undang-Undang secara Formil
Pengujian seperti dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 ini secara kategori masuk
kedalam uji formil, artinya hakim konstitusi menguji dan menafsir
Undang-Undang dari segi prosedural sebagaimana telah ditentukan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Pengujian Undang-Undang berkaitan dengan persoalan
pembentukan Undang-Undang tidak memenuhi ketentuan seperti
yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pengujian model ini pada hakikatnya tidak

17
Moh Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pres, Jakarta,
2011 hlm 124
18
Ahmad Syahrizal Peradilan Konstitusi suatu studi tentang adjudikasi konstitusional
sebagaimekanisme penyelesaian sengketa normatifJakarta: PT Pradnya Paramita, 2006
hlm 280-282
9
terkait dengan suatu Pasal dan ayat tertentu. Oleh sebab itu,
kerugian konkret yang dialami secara individual bersifat obiter
dikta.Dalam perkara uji formil, hakim Konstitusi lebih memusatkan
pandangan kepada masalah-masalah yang terkait dengan kompetensi
institusional.
b. Pengujian Undang-Undang secara Materiil
Bila dalam konstruksi pengujian formil kerugian
konstitusional yang dialami oleh pemohon secara individual
menempati posisi obiter dikta. (tidak esensial), tetapi sebaliknya
pada tahap menguji Undang-Undang secara materiil (konkret),
kerugian yang "telah dialami" oleh pemohon bersifat ratio decidendi
(faktor esensial). Artinya, kerugian konstitusional yang telah dialami
oleh pemohon adalah bagian yang dianggap memiliki sifat
menentukan. Dengan demikian ratio decidendi adalah faktor-faktor
sejati (materiil fact) atau faktor- faktor esensial yang mempengaruhi
putusan hakim. Dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b Undang-Undang No
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mensyaratkan
bahwa permohonan oleh pemohon adalah pihak yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun
1945.19 Selanjutnya, dilihat darisegi pelaksanaannya, ada beberapa
model dari judicial review ini, antara lain terdapat enam model
Mahkamah Konstitusi yang dipraktikan di dunia ini , yakni :
1. Pola Austria, yang membentuk Mahkamah Konstitusi sendiri
disamping mahkamah agung (seperti di Indonesia).
2. Pola Perancis, yang membentuk Mahkamah Konstitusi, tetapi
tidak menyebutnya sebagai pengadilan. Di Perancis disebut
dengan dengan istilah Dewan Konstitusi (Counseil Constitutionel).
3. Pola Belgia, yang membentuk Mahkamah Konstitusi dalam
bentuk arbritase. Mahkamah Konstitusi di Belgia, dalam bahasa
inggris disebut dengan istilah "Constitutional Arbritage".
4. Pola Amerika Serikat, dimana fungsi dari Mahkamah
Konstitusi dilaksanakan Oleh Mahkamah Agung.
5. Pola Umumnya Negara-Negara Amerika Latin, dimana terdapat
lembaga khusus Mahkamah Konstitusi, tetapi lembaga ini secara
organisasi berada dibawah Mahkamah Agung (merupakan organ
dari Mahkamah Agung).
6. Pola Supremasi Parlementer, seperti yang terdapat di Negara-
Negara yang berhaluan komunis. Dalam model ini, fungsi
Mahkamah Konstitusi dijalan kanoleh Parlemen.20

19
Munir fuady, Teori Negara Hukum Modern PT Refrika Aditama , Bandung , 2009 , hlm.282
20
Ibid Munir fuady hlm 83
10
E. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Adapun metode pengumpulan datanya adalah melalui
pendekatan Undang-Undang, pendekatan kasus, pendekatan konseptual,
pendekatan historis, serta bahan hukum yang digunakan yaitu Undang-
Undang Dasar, Putusan Mahkamah Konstitusi dan buku-buku teks yang
ditulis para ahli dan jurnal hukum.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kewenangan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu) oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan
pasal 24C Ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945
Dari sisi hukum, keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu
konsekuensi perubahan dari supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat
menjadi supremasi konstitusi, prinsip negara kesatuan, prinsip demokrasi
dan prinsip negara hukum.21Pada pokoknya, pembentukan Mahkamah
Konstitusi perlu dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan
mendasar atas Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan tersebut membuat
bangsa kita telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem
ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan „checks
and balances‟ sebagai penggganti sistem supremasi parlemen yang berlaku
sebelumnya. Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu diadakan
mekanisme untuk memutus sengketa kewenangan konstitusional yang
mungkin terjadi; perlunya peranan hukum dan hakim yang dapat
mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik; dan juga perlu
mekanisme untuk memutuskan berbagaipersengketaan yang timbul yang
tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan yang biasa, seperti
sengketa hasil pemilu dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik.22
Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1
(satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945.Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

21
Ibid,. Maruarar Siahaan., hlm. 7
22
Jimly Asshiddiqie. Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia.
Makalah disampaikan pada kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret,
Surakarta, Kamis, 2 September 2004. Salinan kuliah umum diunduh dalam bentuk makalah di
web www.jimly.com diakses pada tanggal 7Oktober 2016
11
Kewajiban
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga:
1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa
2. penghianatan terhadap negara;
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. tindak pidana lainnya;
d. atau perbuatan tercela, dan/atau
3. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
tahun 2011, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan
atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau
tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dasar hukum kewenangan Mahkamah Kostitusi dalam menguji
Perppu dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
138/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi mendalilkan tentang
kewenangannya untuk menguji Perppu, karena Perppu melahirkan norma
hukum dan sebagai norma hukum baru dapat menimbulkan:23
a) Status hukum baru;
b) Hubungan hukum baru;
c) Akibat hukum baru.
Norma hukum tersebut lahir sejak Perppu disahkan dan nasib dari
norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat untuk menerima atau menolak norma hukum Perppu, namun
demikian sebelum adanya pendapat Dewan Perwakilan Rakyat untuk
menolak atau menyetujui Perppu, norma hukum tersebut adalah sah dan
berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma
hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang, maka
terhadap norma yang terdapat dalam Perppu tersebut Mahkamah Konstitusi
dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan Undang-Undang
Dasar 1945. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
menguji Perppu terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebelum adanya
penolakan atau persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan setelah
adanya persetujuan karena Perppu tersebut telah menjadi Undang-Undang.
Polemik mengenai berwenang atau tidaknya Mahkamah Konstitusi untuk
menguji (judicial review) Perppu terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Secara konstitusional pengujian Perppu merupakan kewenangan Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi Pasal 22
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa :

23
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
12
1. Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti Udang-Undang.
2. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan dalam pesidangan yang berikut.
3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintahitu harus
dicabut.
Ketika Perppu di uji oleh Mahkamah Konstitusi maka Perppu itu
sendiri akan kehilangan pijakan hukum, karena Perppu adalah produk
pemerintah sedang Undang-Undang produk Dewan Perwakilan Rakyat,
apabila Mahkamah Konstitusi menguji Perppu yang juga sedang dibahas di
Dewan Perwakilan Rakyatakan memunculkan polemik bahwa pengujian
Perppu sebenarnya berada pada kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat
atau Mahkamah Konstitusi?, sehingga dapat menimbulkan pertanyaan di
tatanan ketatanegaraan Indonesia serta masyarakat pada umumnya, padahal
jelas Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya telah memberikan rule
terkait keluarnya Perppu yang tertera pada pasal 22 Undang-Undang Dasar
1945.
Dari pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 24C ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa tidak ada ketentuan
Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Perppu. Ketika itu terjadi akan
berakibat timbulnya kekacauan sistem ketatanegaraan. Dengan menguji
Perppu, Mahkamah Konstitusi bukannya menjaga agar konstitusi
ditegakkan dalam menjalankan aktivitas negara, malah mengacaukannya.
Negara akan tambah rusak ketika ditangani para pendukung sebagian orang
yang memiliki kepentingan, sesungguhnya kurang paham atas segala
dampak dan akibat dari suatu tindakan di bidang ketatanegaraan, sehingga
pengujian Perppu yang dilakukan Mahkamah Konstitusi sudah jelas
bertentangan dengan pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945.
B. Potensi Sengketa Kewenangan Lembaga Negara terhadap Pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh
Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang dan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi,
fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.24 Pembahasan tentang keberadaan
pembentukan Perppu ini akan dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia menguji Undang-Undang. Namun dalam
prakteknya sudah pernah melakukan pengujian atas Perppu. Presiden
sebagai kepala dalam eksekutif berhak untuk menetapkan Perppu dan dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya jika disetujui maka akan
disahkan menjadi Undang-Undang. Presiden juga berhak mengajukan
Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk dibahas bersama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat. Dalam hal pembentukan Perppu, Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang Dasara 1945 menegaskan bahwa “Dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan

24
Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
13
pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”Undang-Undang sebelum
disahkan harus dibahas bersama antara Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan bersama. Berbeda dengan Perppu,
Presiden berhak menetapkannya dan setelahnya pada persidangan
berikutnya dipertanyakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.Jika
mendapatkan persetujuan maka Perppu tersebut dinyatakan tetap berlaku
dan bisa disahkan menjadi Undang-Undang. Agar mencegah terjadinya
pelanggaran konstitusi terkait kedudukan yang sama antara Undang-Undang
dan Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Namun apabila
tidak mendapatkan persetujuan maka Perppu harus segera dicabut.
Dari penegasan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dapat
diketahui bahwa ada dua instansi lembaga negara yang diberi amanah dalam
konteks pemberlakuan Perppu (hukum darurat negara), yakni Presiden
untuk mengeluarkan Perppu dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk
memberikan persetujuan atau menolak pemberlakuan Perppu tersebut.
Dengan demikian, jika Perppu sudah disahkan oleh Presiden dan mengikat
masyarakat, maka Dewan Perwakilan Rakyat harus mengujinya apakah
Perppu tersebut layak untuk disahkan menjadi Undang-Undang ataukah
Perppu tersebut ditolak. Dengan demikian, Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki kewenangan konstitusional untuk menguji Perppu melalui political
review atau legislative review.
Dengan pertimbangan yang jelas dan meyakinkan maka sesuai dengan
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undanganPasal 52 ayat (4), “Dalam hal Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.” Sedangkan jika
Dewan Perwakilan Rakyat punya pertimbangan lain dan menyatakan tidak
setuju dengan suatu Perppu, dinyatakan dengan jelasPeraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan
tidak berlaku.” Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 52 ayat (5).25Jika tidak
mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.26
Namun perlu diperhatikan bahwa meskipun suatu Perppu tidak
disetujui oleh Deawan Perwakilan Rakyat dan harus dinyatakan tidak
berlaku, pencabutan Perppu tersebut tetap dinyatakan dalam sebuah
Undang-Undang. Hal ini jelas ditegaskan, “Dalam hal Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak
berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Dewan Perwakilan Rakyat
atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.”, sesuai dengan Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Pasal 52 ayat (6).

25
Pasal 52 ayat (5) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
26
Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
14
Untuk Rancangan Undang-Undang mengenai pencabutan suatu
Perppu yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden,
terdapat syarat materi muatan yang harus dipenuhi Rancangan Undang-
Undang. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan Pasal 52 ayat (7) melanjutkan proses atas
pasal sebelumnyasebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala
akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang.”. Sebagai proses akhir dari “hal ihwal kegentingan memaksa” yang
akhirnya dicabutnya sebuah Perppu. Undang-Undang No. 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 52 ayat (8)
menyebutkan proses akhir yang harus dijalankan yaitu Rancangan Undang-
Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-
Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(5).27
Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang
bertugas mengawal dan menafsirkan konstitusi disebutkan dalam Pasal
24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian dijabarkan
kembali dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 8 tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi, Pasal 12 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 29 Undang-Undang No. 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24C Ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat final dan mengikat. Maksud final dalam pasal tersebut adalah
tidak adanya upaya hukum lainnya yang dapat ditempuh setelah putusan
ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, dan mengikat mengandung
makna bahwa putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang
mengikat bagi pemohon dan termohon sehingga adanya kewajiban untuk
menaati putusan tersebut. 28 Pernyataan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 2 Ayat (1) peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut menyebabkan
kriteria lembaga negara yang dapat menjadi legal standing pada
Mahkamah Konstitusi menjadi sempit. Hal ini menjadi kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam melakukan penafsiran tentang lembaga
negara yang dapat menjadi pihak bepekara pada Mahkamah Konstitusi.
Pada hakekatnya Mahkamah Konstitusi berdasarkan pasal 24C ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelasakan tentang kewajiban dan
kewenanagnnya tidak adanya penjelasan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib
menguji Perppu, perlu diketahui bahwa pada pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945 jelas mendorong penyelenggraan negara harus
berdasarkn hukum, artinya the supremacy of law harus ditegakan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepastian hukum dibutuhkan untuk

27
Pasal 52 ayat (5,6,7,8) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
PeraturanPerundang-undangan
28
Maruarar Siahaan, Op., Cit, hlm 55
15
mewujudkan negara hukum dalam bingkai demokrasi, bukankah kita telah
sepakat bahwa negara demokrasi wajib mengikuti mekanisme jalannya
negara melalui Undang-Undang Dasar 1945 karena Hukum dibuat tidak
untuk memuaskan satu orang akan tetapi hukum dibuat untuk menciptakan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketika kewenangan menguji Perppu dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi yang kewenanagan tersebut adalah kewenangan Dewan
Perwakilan Rakyat maka selain bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 juga merusak sendi-sendi hukum yang bisa menimbulkan
kegoncangan dalam masyarakat serta mengguncang sistem yang berlaku di
Indonesia. Meskipun pada kenyataannya Dewan Perwakilan Rakyat dalam
menangani Pengujian Perppu kurang efisien, terkesan lambat dan menunda-
nunda, Mahkamah Konstitusi tidak boleh serta merta mengambil alih
kewenangan pengujian Perppu dikarenakan akan menimbulkan tumpang
tindih kewenangan antar lembaga negara khususnya Mahkamah Konstitusi
dan Dewan Perwakilan Rakyat sehingga berpotensi memicu adanya
sengketa kewenangan lembaga negara yang terjadi di antara Mahkamah
Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi berpotensi menimbulkan
sengketa kewenangan lembaga negara oleh karena Pasal 22 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Perppu harus mendapatkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam masa sidang berikutnya. Pasal
ini menunjukan terhadap Perppu bahwa Dewan Perwakilan Rakyat-lah yang
memberikan persetujuan, persetujuan dimaksud juga merupakan pengujian
terhadap tindakan Presiden dalam keadaan negara yang genting dan
memaksa. Jika Mahkamah Konstitusi mengguji Perppu dalam penafsiran
pasal tersebut berarti Mahkamah Konstitusi mengambil hak konstitusional
Dewan Perwakilan Rakyat untuk menguji Perppu.
IV. PENUTUP
Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan pasal 24C ayat (1) oleh karena
Mahkamah Konstitusi hanya bisa menguji Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945, sementara Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu) bukanlah Undang-Undang. Maka Perlu adanya batasan
kewenangan yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang agar setiap
lembaga negara tidak bertindak diluar kewenangannya dalam menjalankan
setiap fungsi dan kewenangannya yang sesuai dengan perintah Undang-
Undang Dasar 1945, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara
Mahkamah Konstitusi yang mengambil alih kewenangan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam proses pengujian Perppu, juga mencegah terjadinya
inkonstitusional.
Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
oleh Mahkamah Konstitusi berpotensi menimbulkan sengketa kewenangan
lembaga negara, oleh karena Pasal 22 ayat (2) menyatakan bahwa Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) harus mendapatkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam masa sidang berikutnya.

16
Persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dimaknai sebagai pengujian
terhadap Undang-Undang. Dengan demikian ketika terjadi kebuntuan hukum,
perlu penerapan asas hukum yang sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945
agar setiap institusi bertindak sesuai dengan wewenangnya, sehingga
Mahkamah Konstitusi ketika membuat putusan diluar dari kewenangannya
maka batal demi hukum.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Jurnal
Abdul Mukhtie Fadjar,Hukum Konstitusi dan MahkamahKonstitusi. Jakarta:
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Ahmad Syahrizal Peradilan Konstitusi suatu studi tentang adjudikasi
konstitusional sebagaimekanisme penyelesaian sengketa normatifJakarta:
PT Pradnya Paramita, 2006
Achmad Ruslan, Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia, Rangkang Education, Yogyakarta,
2011.
Aguslamim Andi Gadjong,Pemerintahan Daerah ,Ghalia Indonesia,
Bogor2007.
Anwar C, Teori dan Hukum Konstitusi, Paradiga Kedaulatan dalam Undang-
Undang Dasar(Pasca Perubahan), Implikasi dan Iplementasinya Pada
Lembaga Negara, Malang2011.
Arifin, Fimansyah dkk, Lembaga Negara dan Sengketa KewenanganAntar
Lembaga Negara, KonsorsiumReformasi Hukum Nasional (KRHN),
Jakarta.
Askari Rasak, Hukum Pelayanan Publik, Arus Timur, Makassar2013.
Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Bandung, Yapemdo, 2000.
A.V.Dicay, Pengantar Hukum Konstitusi (Terjemahan dari Introduction to The
Study of The Constitution) diterjemahkan oleh Nurhadi, Cetakan ke I,
Nusa Media, Bandung, 2007.
A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Jogjakarta, Pustaka Pelajar,
2001.
A.HimmawanUtomo,“Konstitusi”,MataKuliahPengembanganKepribadianPen
didikanKewarganegaran, Yogyakarta, Kanisius, 2007.
Budiman N.P.D Sinaga,Hukum Tata Negara, Perubahan Undang-Undang
Dasar,Cetakan Pertama.Tata Nusa,Jakarta 2009.
Crince le Roy, Kekuasaaan Ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh
Soehardjo, Semarang, 1981.
E.Utrecth, Pengantar Hukum Administrasi Negara, FH PM UNPAD,Bandung.
David Held, Demokrasi & Tatanan Global (Terjemahan dari Democrachy and
the Global Order, From The Modern State to Cosmopoitan Governance)
diterjemahkan oleh Damanhuri, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.2004
Fatkhurahman, Dian Aminudin, Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah
Konstitusi Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,
Irwansyah, Kedudukan Perppu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, The
Phinisi Press, Yogyakarta, 2015

17
Imam Anshori Saleh, Kandasnya Perppu dan Masa Depan Mahkamah
Konstitusi, Sekretariat Jendral Komisi Yudisial RI, Jakarta,2014
JImly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang Di Indonesia, Cet.1, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat,Jakarta PT Rajawali Grafindo
Persada, 2007.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. JakartaSinar
Grafika, 2010
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika 2010.
Jimly Asshiddiqie. Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia.Makalah disampaikan pada kuliah umum
diFakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 2
September 2004. Salinan kuliah umum diunduh dalam bentuk makalah di
web www.jimly.com diakses pada tanggal 7 Oktober 2016 Jam 20:02
Wita
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan
DPRD dan KepalaDaerah), Alumni, Jakarta, 2006.
Jurnal Konstitusi Volume 10 Nomor 4, Desember 2013.
Moh. Mahfud MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi, Makalah, disampaikan pada diskusi public tentang wacana
amandemen konstitusi yang diselenggarakan oleh KHN di Jakarta,
tanggal 12 Juni 2008.
Moh Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
Rajawali Pres, Jakarta, 2011.
Moh.Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi dan Politik Perundang-Undangan Di
Indonesia. Makalah diunduh di situs web www.mahfudmd.com pada
tanggal 14Agustus 2016.
Maruarar Siahaan,Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RepublikIndonesia.
Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Muin Fahmal, 2008, peranan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak
dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Cetakan Kedua,Kreasi
Total Media, Yogyakarta.
Munir fuady, Teori Negara Hukum Modern PT Refrika Aditama, Bandung,
2009.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi,Cetakan Pertama,
Gramedia, Jakarta, 2008.
Ni’matul Huda. Problematika Substantif Nomor 1 Tahun 2013 Tentang
Mahkamah Konstitusi.
Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan Gagasan
Penyempurnaan.Yogyakarta. FH UII Press/PP 2014.
Order, From The Modern State to Cosmopoitan Governance) diterjemahkan
oleh Damanhuri, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Jakarta: Kencana2014.
Suharso dan Ana Retnoningasih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta
2011.

18
Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Study Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Priode Negara Madinah
dan Masa Kini, Pranenda Media, Jakarta2004.
B. Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 138/PUU-VII/2009 perihal pengujian
Perpu Nomor 4 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor: 145/PUU-VII/2009 perihal
pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Perpu Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juncto Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia dan Perpu Nomor 4
Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XI/2013 perihal pengujian
Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
C. Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 8 /PMK/ Tahun 2006 tentang
Pedoman Beracara Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi.
TAP MPR Nomor III/MPR/2000.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
D. Website
http://jakarta45.worDewan Perwakilan Rakyatess.com/2009/08/09/konstitusi-
sejarah-konstitusi- indonesia/, diakses pada tanggal 25 Agustus 2016,
Jam 00:00 Wita.
http://kamusbahasaindonesia.org/ yang diakses pada hari Kamis tanggal 13
Oktober 2016Jam 08:52 Wita.
Ni’matul Huda situs www.hukumonline.com pada tanggal 12 Oktober
2016.Jam 17:59 Wita
Refly Harun, dikutip dalam blog Jurnal Hukum padatanggal 12 Oktober 2016
Jam 17:40 Wita.

19

Anda mungkin juga menyukai