Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, shalawat

serta salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para

sahabatnya. Syukur Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan referat dan

laporan kasus yang berjudul “Stroke Hemoragik’’.

Tiada gading yang tak retak, begitu pun referat ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan

mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga referat ini dapat

menambah wawasan dan bermanfaat bagi penulis dan pihak yang bersangkutan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Malang, 27 Maret 2018

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke adalah "penyakit pembuluh darah otak". Hal ini terjadi ketika

pasokan darah ke otak berkurang atau terhambat karena hal-hal tertentu, yang

mengarah ke kurangnya kadar oksigen dalam sel-sel otak secara mendadak. Dalam

beberapa menit, sel-sel otak bisa rusak dan kehilangan fungsinya. Kerusakan otak

ini memengaruhi fungsi tubuh yang dikendalikan oleh bagian sel-sel otak yang

rusak tersebut.

Stroke adalah suatu keadaan darurat medis yang serius. Sekitar 30% dari

penderita stroke meninggal dalam jangka waktu tiga bulan. Namun, lebih dari 50%

pasien yang selamat bisa memulihkan kemampuan perawatan diri mereka dan

kurang dari 20% pasien yang menderita cacat berat. Faktor yang memengaruhi

pemulihan tergantung pada tingkat keparahan kerusakan otak (termasuk jenis stroke

dan area tubuh yang terpengaruh), komplikasi yang terjadi, dan kemampuan

perawatan diri pasien sebelum stroke terjadi. Selain itu, sikap pasien dan dukungan

dari keluarga/perawat mereka serta perawatan rehabilitasi yang sesuai juga bisa

memberikan efek yang signifikan.

Berdasarkan kelainan patologisnya, stroke dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (stroke iskemik). Stroke hemoragik

diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak, sedangkan stroke non

hemoragik disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian

menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak.


Stroke merupakan 9% penyebab dari kematian dan merupakan penyebab

tertinggi kedua kematian di dunia. National Institute of Neurological Disease and

Stroke (NINDS) mengklasifikasikan stroke menjadi stroke iskemik dan stroke

hemoragik. Stroke hemoragik dapat terjadi karena adanya ruptur arteri, sehingga

menyebabkan darah mengalir keluar ke jaringan sekitar. Mayoritas dari stroke

hemoragik merupakan hemoragik intraserebral. Jumlah penderita stroke hemoragik

intraserebral merupakan jenis kedua terbanyak setelah stroke iskemik. Diagnosis

definitif stroke hemoragik berdasarkan pada CT scan otak tanpa kontras.

Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan

kanker. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe

Aceh Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3,8

per 1.000 penduduk). Dari 8,3 per 1.000 penderita stroke, 6 diantaranya

telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan. Hal ini menunjukkan sekitar 72,3% kasus

stroke di masyarakat telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan, namun angka

kematian akibat stroke tetap tinggi. Hal ini terlihat dari angka kematian stroke

berdasarkan umur adalah: sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun) dan 26,8% (umur 55-

64 tahun), dan 23,5% (umur 65 tahun). Data menunjukkan bahwa stroke menempati

urutan pertama sebagai penyebab kematian utama semua umur di Indonesia. Stroke,

bersama-sama dengan hipertensi, penyakit jantung skemik dan penyakit jantung

lainnya, juga merupakan penyakit tidak menular utama penyebab kematian di

Indonesia. Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan profil usia di

bawah 45 tahun sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun 54,2%, dan usia di atas 65 tahun

sebesar 33,5%. Adanya unit stroke telah terbukti dapat menurunkan angka kematian
dan menurunkan derajat kecacatan selain mengurangi waktu perawatan bagi pasien

di rumah sakit. Menurut NIHSS (National Institute Health Stroke Scale), perawatan

pada unit stroke menunjukkan perbaikan defisit neurologis yang signifikan

dibandingkan bangsal biasa (10,4% pada unit stroke dan 5,4% pada bangsal biasa).

Untuk dapat mendiagnosis dan mendefinisikan tipe stroke bisa cukup sulit dan

tidak akurat bila hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Penggunaan Head CT-Scan sebagai baku emas dalam mendiagnosa stroke perlu

dilakukan. Namun tidak semua penyedia pelayanan kesehatan memiliki Head CT-

Scan.

Oleh sebab itu, penyusunan referat kasus ini bertujuan untuk menjelaskan

lebih dalam tentang stroke hemoragik dan ditujukan untuk praktisi klinis yang

membaca referat kasus ini. Diharapkan setelah membaca laporan kasus ini,

pembaca dapat sedikit ataupun lebih banyak mengerti tentang stroke hemoragik dan

tatalaksananya.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang

Stroke Hemoragik mengenai definisi, etiologi, faktor resiko, pathogenesis,

manifestasi klinis, diagnosis, dan penatalaksanaannya.

1.3 Manfaat

Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan

pemahaman penulis maupun pembaca mengenai Stroke Hemoragik beserta

patofisiologi dan penangananannya.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah manifestasi

klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun global, yang berlangsung

dengan cepat dan lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian tanpa

ditemukannya penyakit selain daripada gangguan vascular.

Stroke atau cidera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang

diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak. Stroke adalah sindrome

klinis yang pada awalnya timbul mendadak, progresif cepat, berupa defisit

neurologi fokal dan global yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau

langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan

peredaran darah di otak non traumatik.

2.2 Patofsiologi

Patofisiologi Stroke Hemoragik

Aneurisma intrakranial merupakan lesi yang didapatkan pada 1-6%

pemeriksaan postmortem. Sebagian besar aneurisma ini tidak ruptur dan

tetap tidak terdiagnosis. Sekitar 27.000 kasus perdarahan subarakhnoid baru akibat

rupture aneurisma terjadi setiap tahun (sekitar 5-15%). Rupturnya aneurisma ini

tidak diketahui secara jelas, namun berhubungan dengan hipertensi dan

merokok. Merokok dan hipertensi diketahui menyebabkan defek struktural

dengan menginduksi perubahan endovaskular, terutama di bagian tunika media,

yang menyebabkan kelemahan fokal pada dinding pembuluh darah yang

mengakibatkan aneurysmal ballooning pada bifurkasio arteri.


Perdarahan awal terjadi karena ruptur arteri serebri yang disebabkan faktor

risiko yang telah disebutkan sebelumnya. Ekspansi hematoma terjadi beberapa jam

setelah gejala awal terjadi dimana terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

Ekspansi ini akan berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam. Ekspansi

hematoma juga akan mengganggu integritas jaringan lokal (cedera otak primer

yang diakibatkan dari efek masa hematom).

Perdarahan intraserebral mempunyai daerah predileksi pada otak seperti

talamus, putamen, serebelum, dan batang otak. Selain daerah otak yang rusak

karena perdarahan, otak sekeliling dapat rusak karena tekanan yang disebabkan

efek masa hematom. Peningkatan tekanan intrakranial dapat terjadi. Pada sekitar

40% kasus ICH, perdarahan menyebar sampai ventrikel serebri menyebabkan

perdarahan intraventrikel Perdarahan intraventrikel dapat menyebabkan

hidrosefalus obstruksi dan memperburuk prognosis. ICH dan edema yang

terjadi dapat mengganggu dan menekan jaringan sekitar. Hal ini yang menyebabkan

gangguan neurologis. Tergesernya parenkim otak dapat meningkatkan tekanan

darah intrakranial dengan menyebabkan sindroma herniasi.


Patofisiologi Perdarahan Subarakhnoid

Proses patologis yang terjadi pada PSA adalah terjadi pecahnya darah arteri secara

tiba-tiba yang terjadi pada ruang subarakhnoid atau ke bagian otak.

Pada perdarahan subarakhnoid, perdarahan disebabkan dari aneurisma Berry pada

salah satu arteri pada dasar otak, sekitar sirkulus Willis Sebagian besar kasus

disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada percabangan arteri-arteri besar.

Penyebab lain adalah malformasi arterivena atau tumor. Efek patologis dari

perdarahan subarakhnoid bersifat multifokal. Pada PSA, terjadi iritasi meningens

yang mengakibatkan peningkatan TIK dan mengganggu autoregulasi serebri.

Gangguan ini dapat terjadi dengan adanya vasokonstriksi akut, agregasi platelet

mikrovaskular, dan hilangnya perfusi mikrovaskular serebri yang menyebabkan

penurunan aliran darah otak dan iskemik serebri.

2.3 Etiologi

Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang dapat

dimodifikasi (modifable) dan yang tidak dapat di modifikasi (nonmodifable).

Faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah hipertensi,

penyakit jantung (fibrilasi atrium), diabetes mellitus, merokok, mengkonsumsi

alkohol, hiperlipidemia, kurang aktifitas, dan stenosis arteri karotis. Sedangkan

faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, ras/suku,

dan faktor genetik Hipertensi merupakan faktor risiko stroke paling penting yang

dapat dimodifikasi baik bagi laki‐laki ataupun wanita. Hipertensi dapat

meningkatkan risiko untuk terjadinya stroke sekitar dua sampai empat kali.8

Tekanan darah sistemik yang meningkat akan membuat pembuluh darah serebral

berkonstriksi. Derajat konstriksi tergantung pada peningkatan tekanan darah. Bila


tekanan darah meningkat cukup tinggi selama berbulan‐bulan atau bertahun‐tahun,

akan menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot pembuluh darah serebral yang

mengakibatkan diameter lumen pembuluh darah tersebut akan menjadi tetap. Hal

ini berbahaya, karena pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi

dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi dari tekanan darah sistemik. Bila terjadi

penurunan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi ke jaringan otak tidak

adekuat, sehingga akan mengakibatkan iskemik serebral. Sebaliknya, bila terjadi

kenaikan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi pada dinding kapiler

menjadi tinggi yang mengakibatkan terjadi hiperemia, edema, dan kemungkinan

perdarahan pada otak.

2.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Perdarahan intraserebral merupakan kegawatdaruratan. Diagnosis dan

manajemen yang cepat diperlukan karena perburukan terjadi pada beberapa jam

setelah onset serangan. Lebih dari 20% pasien akan mengalami penurunan GCS >=

2 poin sebelum tiba pada pelayanan kesehatan gawat darurat dan penilaian awal

pada ruang gawat darurat. Apabila terjadi penurunan kesadaran sebanyak 6 poin

pada pasien prehospital, telah diketahui angka mortalitasnya > 75%. Hal yang perlu

dilakukan adalah menentukan apakah stroke yang diderita adalah stroke infark atau

hemoragik. Pembuatan diagnosis stroke iskemik atau perdarahan di pusat

neurologis tidak sulit karena adanya CT-Scan, tetapi karena alat ini hanya dijumpai

pada kota besar, maka diagnosis harus dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis.
Anamnesis

Hal yang harus diketahui adalah mengenai onset gejala, apakah gejala

dialami pada saat pasien sedang beraktivitas, bagaimana perjalanan gejala, factor-

faktor risiko yang ada pada pasien, berapa kali serangan telah dialami oleh

penderita. Apakah serangan disertai nyeri kepala, mual dan muntah. Hal lain yang

perlu ditanyakan juga adalah apakah pasien mengalami kesemutan separuh badan,

gangguan penglihatan, apakah terjadi penurunan intelektualitas, dan riwayat

pemakaian obat sebelumnya. Riwayat trauma juga perlu ditanyakan.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang dilakukan meliputi tanda vital, pemeriksaan umum

meliputi kepala, jantung, paru, abdomen, dan ekstremitas. Pemeriksaan kepala dan

leher (cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda distensi vena

jugular pada gagal jantung kongestif.)

Pemeriksaan neurologis dan skala stroke.

Pemeriksaan neurologis terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang

selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara jalan, refleks koordinasi, sensorik, dan

fungsi kognitif. Skala stroke yang digunakan adalah NIHSS (National Institutes of

Heart Stroke Scale). Hipertensi (tekanan darah sistolik di atas 220 mmHg) biasanya

ditemukan pada stroke hemoragik. Tekanan darah awal yg tinggi berhubungan

dengan kerusakan neurologis dini. Hal yang sama juga berlaku pada demam. Onset

akut defisit neurologis, perubahan kesadaran atau status mental lebih sering

ditemukan pada stroke hemoragik. Hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan

intrakranial. Meningismus dapat juga terjadi karena darah pada ruang

subarakhnoid.
Defisit fokal neurologis

Defisit neurologis yang terjadi tergantung daerah otak yang terlibat. Apabila

terkena pada hemisfer yang kiri, sindroma berikut dapat terjadi:

1. Hemiparesis kanan

2. Kehilangan sensorik pada bagian kanan tubuh

3. Kecenderungan melihat pada sebelah kiri

4. Kehilangan lapangan pandang sebelah kanan

5. Afasia

Apabila terjadi pada hemisfer sebelah kanan, terjadi hal sebaliknya dari yang telah

disebutkan di atas. Apabila perdarahan terjadi pada serebellum, pasien berisiko

tinggi terjadi herniasi dan kompresi batang otak. Herniasi akan menyebabkan

penurunan kesadaran yang cepat dan mengakibatkan apnea dan kematian.

Tanda lain dari perdarahan pada serebelum atau batang otak dapat berupa

ataxia, vertigo atau tinitus, mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis,

kehilangan fungsi sensorik sebagian tubuh atau keempat ekstremitas, gangguan

sensorik pada separuh tubuh atau keempat ekstremitas, kelemahan orofaringeal atau

disfagia, crossed signs (wajah ipsilateral dan badan kontralateral).

Sindrome stroke lainnya berhubungan dengan perdarahan intraserebral,

bervariasi mulai dari nyeri kepala ringan sampai gangguan neurologis. Perdarahan

serebri pada onset awal dapat menimbulkan kejang.


Pemeriksaan Penunjang

Gejala stroke yang ditandai dengan nyeri kepala hebat, muntah, tekanan

darah sistolik > 220 mmHg, defisit neurologis fokal, gangguan kesadaran, dan

secara tiba-tiba diasumsikan merupakan stroke hemoragik. Untuk membedakan

perdarahan atau iskemik dan penyebab gangguan neurologis yang lain,

pemeriksaan neuroimaging stroke yang merupakan gold standard adalah CTScan

atau MRI.
2.6 Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan

morbiditas dan menurunkan angka kematian serta menurunnya angka kecacatan.

Dengan penanganan yang benar pada jam‐jam pertama, angka kecacatan stroke

akan berkurang setidaknya 30%.

Penatalaksanaan umum yang dapat dilakukan adalah dengan stabilisasi

jalan napas dan pernapasan. Pemberian oksigen dapat dilakukan pada pasien

dengan saturasi oksigen. Tekanan darah tidak perlu diturunkan secara cepat. Pasien

stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 mL, perdarahan

intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk.

Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila

tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan

volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus

segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20

mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per

6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral. Neuroprotektor dapat diberikan kecuali

yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak

perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan

serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel

atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar >60 mL dengan

tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi.

Pemberian terapi antihipertensi jika didapatkan tekanan darah yang tinggi

(hipertensi emergensi) diberikan dengan pertimbangan bukan hanya terhadap otak

saja, tetapi juga terhadap kerusakan organ lain misalnya jantung dan ginjal.
Meskipun demikian jika tekanan darahnya rendah pada pasien yang mempunyai

riwayat hipertensi pada fase akut serangan stroke, hal tersebut mungkin

menandakan deteriorasi neurologis dini atau peningkatan volume infark, dan

merupakan outcome yang buruk pada bulan pertama saat serangan, khususnya

penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 20 mmHg.

Pengendalian faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi bersifat tidak

dapat dirubah dan dapat dipakai sebagai penanda stroke pada seseorang. Selain itu

juga untuk mencegah stroke diperlukan modifikasi gaya hidup. Pencegahan

berulang intracerebral haemorrhage (ICH) dilakukan mengingat angka morbiditas

dan mortalitas yang cukup tinggi dengan cara menurunkan tekanan darah, tidak

merokok, tidak meminum alkohol dan menghindari penggunaan kokain. AHA

merekomendasikan pencegahan ICH berulang dengan cara mengobati hipertensi

adalah langkah yang paling penting untuk mengurangi risiko ICH dan ICH

berulang. Merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan kokain adalah faktor

risiko untuk terjadinya ICH.

Pasien akan disarankan untuk menjalani rehabilitasi medik untuk memberi

kemampuan kepada penderita yang telah mengalami disabilitas fisik dan atau

penyakit kronis, agar dapat hidup atau bekerja sepenuhnya sesuai dengan

kapasitasnya. Program rehabilitasi medik yang dapat diikuti pasien berupa

fisioterapi, terapi wicara dan psikoterapi.


BAB III

KESIMPULAN

Tujuan penatalaksanaan komprehensif pada kasus stroke akut adalah:

(1) meminimalkan jumlah sel yang rusak melalui perbaikan jaringan

penumbra dan mencegah perdarahan lebih lanjut pada perdarahan

intraserebral,

(2) mencegah secara dini komplikasi neurologik maupun medik, dan

(3) mempercepat perbaikan fungsi neurologis secara keseluruhan.

Jika secara keseluruhan dapat berhasil baik, prognosis pasien diharapkan

akan lebih baik. Pengenalan tanda dan gejala dini stroke dan upaya rujukan ke

rumah sakit harus segera dilakukan karena keberhasilan terapi stroke sangat

ditentukan oleh kecepatan tindakan pada stadium akut; makin lama upaya rujukan

ke rumah sakit atau makin panjang saat antara serangan dengan pemberian terapi,

makin buruk prognosisnya.


DAFTAR PUSTAKA

Qurbany Zuryati Toiyiba dan Adityo Wibowo. 2016. Stroke Hemoragik e.c

Hipertensi Grade II. J Medula Unila.Volume 5. Nomor 2. 114-118.

Roger VL, Go AS, Lloyd‐Jones DM, Benjamin EJ, Berry JD, Borden WB, dkk.

Heart Disease And Stroke Statistics‐2012 update: a report from the

American Heart Association. Circulation. 2012;125(1): e2‐e220.

Sholiha Ahda Amila , Hermina S , Dwi Pudjonarko. 2016. Korelasi Antara Volume

Perdarahan Intraserebral Dengan Nilai Indeks Barthel Pada Stroke

Hemoragik. Jurnal Kedokteran Diponegoro Volume 5, Nomor 4. 275-286.

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline stroke. PERDOSSI.

Jakarta. 2011.

Setyopranoto I. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 2011.185;38(4):247-

250.

Anda mungkin juga menyukai