Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

“Ablasio Retina”

Diajukan Kepada Pembimbing :

Dr. Diah Farida Sp.M

Disusun oleh :

Indah Susanti 1510221016

Dias Amardeka P.G 1510221025

Dwi Try Gunawan 1510221027

KEPANITERAAN ILMU MATA RSUP PERSAHABATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

JAKARTA

2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus

“Ablasio Retina”

Disusun oleh :

Indah Susanti 1510221016

Dias Amardeka P.G 1510221025

Dwi Try Gunawan 1510221027

Diajukan Sebagai Tugas untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian

Kepaniteraan Ilmu Mata RSUP Persahabatan

Telah disetujui,

Pada tanggal : Juli 2017

Mengetahui,

Dokter Pembimbing

Dr. Diah Farida Sp.M

2
BAB I
PENDAHULUAN

Retina pada mata seperti lapisan film pada kamera tempat obyek yang dilihat
oleh mata, merupakan struktur yang sangat terorganisasi, dengan kemampuan untuk
memulai pengolahan informasi penglihatan sebelum informasi tersebut
ditransmisikan melalui nervus opticus ke korteks visual. Begitu pentingnya fungsi
retina, sehingga jika terdapat gangguan atau kelainan pada retina dapat terjadi
gangguan penglihatan dimana pasien dapat mengalami penurunan baik pada visus
maupun lapang pandangnya.1
Ablasio retina merupakan suatu keadaan dimana sel kerucut dan sel batang
retina dari sel epitel pigmen retina terpisah. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih
melekat erat dengan membran Bruch. Sebenarnya, tidak terdapat perlekatan
struktural antara sel kerucut dan sel batang retina dengan koroid ataupun epitel
pigmen retina, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara
embriologis.3 Lepasnya retina atau sel kerucut dan sel batang dari epitel pigmen
retina akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang
bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap.
Bentuk tersering dari ketiga jenis ablasio retina adalah ablasio retina
regmatogenosa. Menurut penelitian, di Amerika Serikat insiden ablasio retina 1
dalam 15.000 populasi dengan prevalensi 0,3%. Sedangkan insiden per tahun kira-
kira 1 diantara 10.000 orang dan lebih sering terjadi pada usia lanjut kira-kira umur
40-70 tahun. Pasien dengan miopia yang tinggi (>6D) memiliki 5% kemungkinan
resiko terjadinya ablasio retina, afakia sekitar 2%, komplikasi ekstraksi katarak
dengan hilangnya vitreus dapat meningkatkan angka kejadian ablasio hingga 10%.3
Pada ablasio retina ini bila tidak segera dilakukan tindakan akan
mengakibatkan cacat penglihatan atau kebutaan. Oleh karena itu, makalah ini
membahas lebih lanjut mengenai ablasio retina sehingga kelainan mata ini dapat
dideteksi secara dini dan kecacatan maupun kebutaan akibat penyakit ini dapat
dihindarkan.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sri Eko Nursilawati
Kelamin : Perempuan
Umur : 55 tahun
Suku/Bangsa : JawaIndonesia
Alamat : Kaliabang Tengah, Bekasi Utara, Kota Bekasi
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No.Reg :
Tempat pemeriksaan : Poli Mata RS Persahabatan
Tanggal pemeriksaan : 21Juli 2017

II. ANAMNESIS
a. Keluhan utama : Penurunan penglihatan pada mata kanan nya sejak 12
hari yang lalu.
b. Anamnesis terpimpin :
Dialami sejak sekitar 12 hari yang lalu secara tiba-tiba saat bangun tidur, pada
mata kanan nya. Pasien mengatakan hanya dapat melihat cahaya dan
penglihatannya dirasakan gelap seluruhnya. Pasien menyatakan sebelumnya
pasien merasakan penglihatannya buram dan melihat bayangan hitam tseperti
terbang pada matanya. Pasien menyatakan sering bersin secara keras. Mata
merah (-), nyeri pada mata (-), air mata berlebihan (-), silau saat melihat
cahaya (-), Riwayat keluar darah dari mata (-), sering pusing (-), riwayat
trauma (-), tidak terdapat riwayat katarak ataupun sakit mata lainnya. Tidak
terdapat riwayat DM maupun darah tinggi, tidak terdapat batuk lama, tidak
memelihara hewan peliharaan, tidak ada gigi berlubang, riwayat memakai
kacamata (-), pasien tidak ada minum obat-obatan antikoagulan. Pasien
memiliki riwayat tumor payudara kanan pada tahun 1978.

4
III. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
A. Inspeksi
PEMERIKSAAN OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Aparatus Lakrimalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
Silia Normal Normal
Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kornea Jernih Jernih
BMD Dalam Dalam
Pupil Bulat, sentral, RC (+) Bulat, sentral, RC (+)
Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
Lensa Jernih Jernih
Bola mata Normal Normal
Mekanisme muskular Ke segala arah Ke segala arah

B. Palpasi
No PEMERIKSAAN OD OS
1 Tensi Okuler Tn-1 Tn-1
2 Nyeri tekan (-) (-)
3 Massa tumor (-) (-)
4 Glandula Preaurikuler Pembesaran (-) Pembesaran (-)

C. Tonometri
TOD : 10/7,5 mmHg
TOS : 8/7,5 mmHg

D. Visus
VOD : 1/300
VOS : 6/6
ADD : +2,5

5
E. Campus visual
Tidak Dilakukan Pemeriksaan

F. Color sense
Tidak Dilakukan Pemeriksaan

G. Light sense
Tidak Dilakukan Pemeriksaan
H. Penyinaran oblik
PENYINARAN OD OS
OBLIK
Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kornea Jernih Jernih
BMD Kesan normal Kesan normal
Pupil Bulat, sentral, RC (+) Bulat, sentral, RC (+)
Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
Lensa Jernih Jernih

I. Oftalmoskopi
FOD :
Refleks fundus sulit dinilai, papil N.II sulit dinilai, retina berwarna pucat
dengan pembuluh darah di atasnya. Terdapat bagian retina yang yang robek
dan bagian retina yang terangkat.

J. Gonioskopi
Tidak dilakukan pemeriksaan

K. USG B-SCAN
Tidak dilakukan.

6
IV. RESUME
Seorang Perempuan umur 55 tahun datang ke poli mata RS Persahabatan
dengan keluhan utama penglihatan berkurang yang dialami sejak 12 hari yang
lalu secara tiba-tiba pada mata kanan nya saat bangun tidur. Penglihatan
seperti berawan dan berkabut. Pasien mengatakan hanya dapat melihat cahaya
dan penglihatannya dirasakan gelap seluruhnya. Pasien menyatakan
sebelumnya pasien merasakan penglihatannya buram dan melihat bayangan
hitam tseperti terbang pada matanya. Tidak ada riwayat sakit pada mata
sebelumnya, riwayat menderita DM tidak diketahui, riwayat menderita
tekanan darah tinggi tidak diketahui, riwayat memakai kacamata (-). Pada
pemeriksaan tonometri menunjukkan hasil TOD : 8/7,5 mmHg dan TOS :
10/7,5 mmHg. Visus : VOD=1/300, VOS = 6/6. Pada pemeriksaan
oftalmoskopi FOD : Refleks fundus mata kanan sulit dinilai, papil N.II sulit
dinilai, retina berwarna pucat dengan pembuluh darah di atasnya. Terdapat
bagian retina yang yang robek dan bagian retina yang terangkat.

V. DIAGNOSIS
OD Ablasio Retina.

VI. TERAPI
Rencana pembedahan

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Ablasio retina merupakan suatu keadaan dimana terpisahnya sel kerucut dan
sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen
masih melekat erat dengan membrana Bruch. Sesungguhnya antara sel kerucut dan
sel batang retina tidak terdapat suatu perlekatan structural dengan koroid atau pigmen
epitel, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara
embriologis.
Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel pigmen epitel
akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila
berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap.
Ablasio retina terbagi menjadi dua tipe yaitu tipe regmatogenosa dan tipe non
regmatogenosa, dimana tipe non regmatogenosa ini terbagi lagi menjadi tipe traksi
dan tipe eksudatif.1,5,9,11,12

3.2 Epidemiologi
Pada beberapa negara di dunia, jumlah kasus ablasio retina regmatogenosa ini
per 100.000 penduduknya antara lain di Amerika Serikat sekitar 12 kasus, di
Skandinavia sekitar 7-10 kasus, di jepang sekitar 10 kasus, di china sekitar 10 kasus,
di Malaysia sekitar 7 kasus, di India sekitar 4 kasus. Di Indonesia sendiri sekitar 1
dari 10.000 populasi normal akan mengalami ablasio retina regmatogenosa.
Kemungkinan ini akan meningkat pada pasien yang memiliki myopia tinggi atau
telah menjalani operasi katarak, terutama jika operasi katarak ini mengalami
komplikasi kehilangan vitreous.2,12
Pada ablasio retina tipe traksi, di Amerika serikat terdapat sekitar 1600 kasus
tiap tahunnya. Dan 500 kasus diantaranya telah mengalami kebutaan.3
Pada ablasio retina eksudatif tidak didapatkan laporan tentang banyaknya
penderita yang mengalaminya, tetapi diperkirakan bahwa ablasio retina tipe ini lebih

8
banyak disebabkan oleh karena efek dari beberapa penyakit sistemik yang tersering
yaitu rheumatoid arthritis dan skleritis sekunder.4
3.3 Embriologi
Mata berkembang dari 3 lapis embrional primitif yaitu ektoderm permukaan,
ektoderm neural dan mesoderm. Ektoderm permukaan membentuk lensa, glandula
lakrimalis, epitel kornea, konjungtiva dan glandula adneksa serta epidermis palpebra.
Ektoderm neural menghasilkan vesikel optik dan mangkuk optik dan karenanya
berfungsi untuk pembentukan retina dan epitel pigmen retina, lapis-lapis berpigmen
dan tidak berpigmen dari epitel siliaris, epitel posterior, muskulus dilatator dan
sfingter pupil pada iris, dan serat-serat nervus optikus dan glia. Mesoderm kini
diduga hanya terlibat pada pembentukan muskulus ekstraokular dan endotel vaskuler
orbita dan okular.5
Tahap-tahap vesikula optikum
Diskus embrional adalah tahap paling awal dalam perkembangan fetal saat
struktur-struktur mata dapat dikenali. Pada tahap kurang lebih dua minggu, tepian
sulkus neuralis menebal membentuk plika neuralis. Lipatan ini kemudian menyatu
membentuk tuba neuralis, yang tenggelam ke dalam mesoderm di bawahnya dan
melepaskan diri dari epitel permukaan. Tempat sulkus optikus adalah di dalam plika
neuralis sefalika pada kedua sisi dan parallel terhadap sulkus neuralis. Hal ini terjadi
saat plika neuralis mulai menutup pada minggu ketiga.5
Pada minggu keempat sesaat sebelum bagian anterior tuba neuralis menutup
seluruhnya, ektoderm neural bertumbuh keluar dan kearah permukaan ektoderm pada
kedua sisi untuk membentuk vesikel optik bulat. Vesikel optik berhubungan dengan
otak depan melalui tangkai optik. Pada tahap ini pun terjadi penebalan ektoderm
permukaan (lempeng lensa) berhadapan ujung-ujung vesikel optik.5
Tahap mangkuk optik
Saat vesikel berinvaginasi membentuk mangkuk optik dinding luar vesikel
mendekati dinding dalamnya. Invaginasi permukaan sentral dari tangkai optik dan
dari vesikel optik terjadi bersamaan dan menghasilkan alur yaitu fisura optikum
(embrional). Tepian mangkuk optik kemudian tumbuh mengitari fisura optik.
Bersamaan dengan itu, lempeng lensa berinvaginasi pertama-tama membentuk
mangkuk, kemudian membentuk bola berongga yang dikenal sebagai vesikel lensa.

9
Pada tahap 4 minggu, vesikel lensa melepaskan diri dari ektoderm permukaan dan
terdapat bebas dekat tepian mangkuk optik.5
Fisura optikum memungkinkan ektoderm vaskular memasuki tangkai optik
dan akhirnya membentuk sistem hyaloid dari rongga vitreus. Setelah invaginasi
selesai, fisura optikum menyempit dan menutup pada umur kurang lebih 6 minggu,
menyisakan lubang permanen yang kecil di ujung anterior dari tangkai optik, yang
dilalui arteria hyaloidea. Pada tahap 4 bulan arteri dan vena retina melalui lubang ini.
Pada tahap ini pula bentuk umum air mata telah ditetapkan.5
Perkembangan mata selanjutnya berupa perkembangan struktur optik masing-
masing. Pada umumnya, perkembangan struktur optik lebih cepat di segmen
posterior dari pada di segmen anterior mata selama tahap-tahap awal dan lebih cepat
di segmen anterior pada tahap akhir kehamilan.5

10
Gambar 1. Embriologi mata
Dikutip dari kepustakaan 6
Embriologi struktur spesifik retina
Lapis luar mangkuk optik menetap sebagai lapis tunggal dan menjadi epitel
pigmen dari retina. Pigmen mulai ada pada umur 5 minggu. Sekresi lapis dalam dari
membran Brunch terjadi pada usia 6 minggu. Lapis dalam mangkuk optic mengalami
perkembangan rumit membentuk kesembilan lapis lain dari retina. Hal ini
berlangsung perlahan selama kehamilan. Menjelang bulan ke tujuh lapis sel paling
luar (terdiri atas intikoni dan basili) sudah ada, selain sel-sel bipolar, amakrin, dan sel
ganglion dan serat-serat saraf. Daerah macula lebih tebal dari bagian lain retina
sampai bulan ke delapan, saat depresi macula mulai terjadi. Perkembangan macula
belumlah rampung secara anatomi sampai bulan keenam sesudah lahir.5

3.4 Anatomi dan Fisiologi


Bola mata terdiri atas 3 lapisan. Lapisan terluar adalah lapisan fibrosa kuat
berupa sclera. Di dalamnya terdapat koroid yang kaya akan vaskularisasi dan lapisan
dalamnya lagi terdapat bagian sensoris mata yakni retina. Di sebelah anterior, sclera
digantikan oleh kornea yang transparan, yang tidak mengandung pembuluh darah
atau limfatik sehingga bisa ditransplantasikan. Pada limbus kornea terdapat struktur
vena penting, sinus venosus sklerae (canalis Schlemm). Di belakang kornea, koroid
digantikan oleh korpus siliaris dan iris. Korpus siliaris terdiri atas otot polos sirkular
dan radial dari m.siliaris, yang dipersarafi oleh serabutParasimpatis dari ganglion
siliaris melalui n. okulomotorius. Otot ini bila berkontraksi, merelaksasikan kapsula
lensa dan memungkinkan lensa mata mengembang sehingga berfngsi saat melihat
dekat. Iris mengandung serabut otot polos dari m. dilator pupilae dan sfingter
pupilae, yang masing-masing dipersarafi oleh system simpatis (dari ganglion
servikalis superior) dan system para simpatis (dari n. okulomotorius melalui ganglion
siliaris). Lensa terletak di belakang pupil dan terlapisi dalam kapsula yang rapuh
menggantung dari prosessus siliaris melalui zonula zinnii.7,12
Korpus siliaris mensekresi humor aqueus ke kamera okuli posterior mata (di
belakang pupil). Aqueus kemudian berjalan melalui pupil ke kamera okuli anterior

11
dan direabsorpsi ke sinus venosus sklerae. Di belakang lensa mata bola mata
mengandung hmor vitreus yang kental.7
Retina terdiri atas lapisan saraf dalam dan lapisan berpigmen di atasnya.
Lapisan saraf memiliki lapisan sel ganglion terdalam yang aksonnya berjalan ke
belakang membentuk n. optikus. Di luarnya terdapat lapisan neuron bipolar dan
kemudian lapisan reseptor batang dan kerucut. Dekat kutub posterior mata terdapat
macula lutea yang berwarna kekuningan yang berfungsi sebagai daerah reseptor
untuk penglihatan sentral. Diskus optikus adalah daerah sirkular berwarna pucat pada
ujung n. optikus dan merupakan tempat masuknya a. sentralis retina. Arteri ini
terbagi menjadi cabang atas dan bawah, masing-maisng memiliki cabang temporalis
dan nasalis.8

Gambar 2. Bagian-bagian retina


Dikutip dari kepustakaan 9

Fungsi utama mata adalah untuk memfokuskan berkas cahaya dari


lingkungan ke sel-sel batang dan kerucut (sel fotoreseptor retina). Fotoreseptor
kemudian mengubah energy cahaya menjadi sinyal listrik untuk disalurkan ke SSP.
Bagian retina yang mengandung fotoreseptor sebenarnya adalah perluasan dari SSP
dan bukan merupakan organ yang terpisah. Cahaya harus melewati lapisan ganglion
dan bipolar sebelum mencapai daerah fotoreseptor di semua daerah retina kecuali
fovea. Di fovea, yaitu cekungan sebesar pangkal jarum pentul dan terletak tepat di
tengah retina, lapisan bipolar dan ganglion tertarik ke samping sehingga cahaya
secara langsung mengenai fotoreseptor. Sifat ini, ditambah dengan kenyataan bahwa
hanya sel kerucut (yang memiliki ketajaman atau kemampuan deskriminatif lebih
besar daripada sel batang) yang dijumpai di tempat ini, menyebabkan fovea menjadi
titik untuk penglihatan tajam. Sehingga kita harus memutar mata kita sehingga

12
bayangan benda yang kita lihat jatuh tepat di fovea. Daerah tepat di sekitar fovea
yaitu macula lutea juga memiliki konsentrasi sel kerucut yang tinggi dan memiliki
ketajaman yang cukup besar. Namun, ketajaman macula lutea lebih rendah daripada
ketajaman fovea karena adanya sel-sel ganglion dan bipolar di atas macula.8

Gambar 3. Tampakan retina normal pada pemeriksaan funduskopi


Dikutip dari kepustakaan 9

Struktur mikroskopik retina terdiri dari 3 jenis sel dan sinapsis mereka diatur
(dari luar ke dalam) dalam sepuluh lapisan berikut:1,9
1. Epitel pigmen, merupakan lapisan terluar retina yang terdiri dari satu lapisan sel
yang mengandung pigmen. Lapisan ini melekat ke lamina basal (Bruch's
membran) dari koroid.
2. Lapisan batang dan kerucut, lapisan batang dan kerucut ini adalah organ akhir
visi dan juga dikenal sebagai fotoreseptor. Lapisan batang dan kerucut hanya
berisi segmen luar sel fotoreseptor yang disusun seperti pagar kayu runcing. Ada
sekitar 120 juta sel batang dan 6,5 juta sel kerucut. Sel batang mengandung zat
fotosensitif visual ungu (rhodopsin) dan berperan pada penglihatan perifer dan
pencahayaan rendah (scotopic visi). Sedangkan sel kerucut juga mengandung zat
fotosensitif dan terutama bertanggung jawab untuk penglihatan sentral yang
sangat diskriminatif (photopic visi) dan penglihatan warna.
3. Membran limitan eksterna, merupakan membrane ilusi yang terletak di bawah
sel-sel batang dan kerucut.
4. Lapisan nucleus luar, terdiri dari inti dari sel batang dan sel kerucut.
5. Lapisan pleksiform luar, terdiri dari penghubung dari sel batang dan sel kerucut
spherules pedikel dengan dendrit sel bipolar dan sel horizontal.

13
Gambar 4. Lapisan-lapisan retina
Dikutip dari kepustakaan 9

6. Lapisan nucleus dalam, terutama terdiri dari tubuh sel bipolar. Juga mengandung
tubuh sel horizontal dan sel Muller dan kapiler dari arteri retina sentral. Sel
bipolar merupakan urutan pertama neuron.
7. Lapisan pleksiform dalam. Lapisan ini pada dasarnya terdiri dari hubungan
antara akson sel-sel bipolar dendrit dari sel-sel ganglion. Lapisan ini merupakan
lapisan aselular.
8. Lapisan sel ganglion. Lapisan ini terutama berisi badan sel ganglion (neuron
urutan kedua). Ada dua jenis sel ganglion. Midget ganglion cells yang terdapat
pada daerah makula dan dendrit dari masing-masing sel sinaps tersebut
berhubungan dengan akson sel bipolar tunggal. Polysynaptic ganglion cells
terutama di perifer retina dan masing-masing sel sinaps tersebut dapat
berhubungan dengan sel bipolar sampai seratus sel.
9. Lapisan serabut saraf (strata opticum) terdiri dari akson dari sel-sel ganglion,
yang melewati lamina cribrosa untuk membentuk saraf optik.

14
10. Membran limitan interna. Ini adalah lapisan terdalam dan memisahkan retina
dari korpus vitreus. Membran ini dibentuk oleh penyatuan terminal ekspansi dari
serat Muller, dan pada dasarnya adalah membran hialin.
Suplai darah retina
Empat lapisan retina mendapatkan nutrisi dari pembuluh koroidal sedangkan
enam enam lapisan lainnya mendapatkan pasokan dari arteri retina sentralis, yang
merupakan cabang dari arteri oftalmikus. Arteri retina sentralis muncul dari pusat
cakram optik dan terbagi menjadi empat cabang, yaitu nasal superior, temporal
superior, nasal inferior dan temporal inferior. Arteri yang terakhir ini tidak
beranastomosis dengan satu sama lain. Vena retinal mengikuti pola arteri retina.
Vena retina sentral mengalir ke sinus kavernosus secara langsung atau melalui vena
oftalmikus superior. Satu-satunya tempat di mana sistem retina anastomosis dengan
sistem siliar adalah di wilayah lamina kribrosa.9

3.5 Etiologi dan Patogenesis


Sebagian besar ablasio retina terjadi akibat adanya satu atau lebih robekan-
robekan atau lubang-lubang di retina, dikenal sebagai ablasio retina regmatogenosa
(Rhegmatogenous Retinal Detachment). Kadang-kadang proses penuaan yang
normal pun dapat menyebabkan retina menjadi tipis dan kurang sehat, tetapi yang
lebih sering mengakibatkan kerusakan dan robekan pada retina adalah menyusutnya
korpus vitreum, bahan jernih seperti agar-agar yang mengisi bagian tengah bola
mata. Korpus vitreum melekat erat pada beberapa lokasi. Bila korpus vitreum
menyusut, maka dapat menarik sebagian retina ditempatnya melekat, sehingga
menimbulkan robekan atau lubang pada retina. Beberapa jenis penyusutan korpus
vitreum merupakan hal yang normal terjadi pada lanjut usia dan biasanya tidak
menimbulkan kerusakan pada retina. Korpus vitreum dapat pula menyusut pada bola
mata yang tumbuh menjadi besar sekali (kadang-kadang ini merupakan akibat dari
rabun jauh), oleh peradangan, atau karena trauma. Pada sebagian besar kasus retina
baru lepas setelah terjadi perubahan besar struktur korpus vitreum. Bila sudah ada
robekan-robekan retina, cairan dari korpus vitreum dapat masuk ke lubang di retina
dan dapat mengalir di antara lapisan sensoris retina dan epitel pigmen retina. Cairan
ini akan mengisi celah potensial antara dua lapisan tersebut di atas sehingga

15
mengakibatkan retina lepas. Bagian retina yang terlepas tidak akan berfungsi dengan
baik dan di daerah itu timbul penglihatan kabur atau daerah buta. Bentuk ablasio
retina yang lain yaitu ablasio retina traksi (Traction Retinal Detachment) dan ablasio
retina eksudatif (Exudative Retinal Detachment) umumnya terjadi sekunder dari
penyakit lain. Ablasio retina traksi disebabkan adanya jaringan parut (fibrosis) yang
melekat pada retina. Kontraksi jaringan parut tersebut dapat menarik retina sehingga
terjadi ablasio retina. Ablasio retina eksudatif dapat terjadi karena adanya kerusakan
epitel pigmen retina (pada keadaan normal berfungsi sebagai outer barrier), karena
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah oleh berbagai sebab atau
penimbunan cairan yang terjadi pada proses peradangan.10,11,12
Adapun faktor-faktor predisposisi pada ablasio retina regmatogenosa antara
lain.9
a. Usia. Kondisi ini paling sering terjadi pada 40-60 tahun. Namun, usia tidak
menjamin secara pasti karena masih banyak factor-faktor lain yang
mempengaruhi
b. Jenis kelamin. Keadaan ini lebih sering terjadi pada laki-laki dengan
perbandingan laki-laki : perempuan adalah 3 : 2
c. Miopia. Sekitar 40 persen kasus ablasio retinam regmatogenosaadalah seseorang
yang menderita rabun jauh
d. Afakia. Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia dari pada
seseorang yang fakia
e. Trauma. Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi.
f. Senile posterior vitreous detachment (PVD). Hal ini terkait dengan ablasio retina
dalam banyak kasus.

16
Pada ablasio retina traksi, dapat diakibatkan oleh beberapa kondisi berikut,
antara lain :
 Post-trauma yang meninggalkan jaringan parut
 Retinopati diabetik proliferasi.
 Post-hemoragik retinitis proliferans.
 Retinopati sel sabit
 Proliferatif retinopati pada penyakit Eales
Pada ablasio retina eksudatif dapat disebabkan oleh penyakit sistemik maupun
penyakit pada mata itu sendiri. Penyakit sistemik yang dapat menyebabkan ablasio
retina eksudatif antara lain hipertensi renalis dan poliarteritis nodosa. Penyakit mata
yang dapat menjadi penyebab antara lain inflamasi (skleritis posterior, selulitis
orbita), penyakit vascular (central serous retinopathy), neoplasma (retinoblastoma,
melanoma malignan pada koroid), perforasi bola mata pada operasi intraokuler.3,9

3.6 Klasifikasi
Berdasarkan etiologinya, ablasio retina dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu
tipe regmatogenosa dan non regmatogenosa:1,9,11,12
 Ablasio retina regmatogenosa, yang merupakan ablasio retina primer. Tipe ini
adalah tipe yang paling umum terjadi. Pada ablasio retina regmatogenosa ini
terjadi akibat adanya robekan pada retina sehingga cairan vitreus masuk ke
belakang antara sel pigmen epitel dengan lapisan sensoris retina. Sehingga
terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreous) yang masuk
melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina yang
mengakibatkan terlepasnya lapisan dari lapis epitel pigmen koroid.
 Ablasio retina non regmatogenosa merupakan ablasio retina yang terjadi akibat
dari penyakit lain. Ablasio tipe ini terbagi menjadi dua yaitu ablasio retina traksi
dan eksudatif.
 Ablasio retina traksi, pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat
tarikan jaringan parut pada badan kaca. Pada badan kaca terdapat jaringan
fibrosis yang dapat disebabkan diabetes mellitus proliferative, trauma, dan
perdarahan badan kaca akibat bedah atau infeksi. Tipe ini juga dapat terjadi
sebagai komplikasi dari ablasio retina regmatogenosa. Ablasio retina tipe

17
regmatogenosa yang berlangsung lama akan membuat retina menjadi
semakin halus dan tipis, sehingga dapat menyebabkan terbentuknya
proliferative vitreoretinophaty (PVR) yang sering ditemukan pada tipe
regmatogenosa yang lama. PVR juga dapat terjadi akibat kegagalan dalam
penatalaksanaan ablasio retina regmatogenosa. Pada PVR, epitel pigmen
retina, sel glia, dan sel lainnya yang berada di dalam maupun di luar retina
serta pada badan vitreus akan membentuk membrane. Kontraksi dari
membrane tersebut akan menyebabkan retina tertarik ataupun menyusut,
sehingga dapat mengakibatkan terdapatnya robekan baru atau berkembang
menjadi ablasio retina traksi.
 Ablasio retina eksudatif, terjadi akibat tertimbunnya eksudat di bawah retina
dan mengangkat retina. Penimbunan cairan subretina sebagai akibat
keluarnya cairan dari pembuluh darah retina dan koroid. Hal ini disebabkan
penyakit koroid atau retina. Tetapi, walaupun letaknya yang penuh dengan
vaskularisasi, tipe ini jarang meluas, tidak seperti tipe regmatogenosa atau
tipe traksi. Kelainan ini dapat terjadi pada skleritis, koroiditis, tumor
retrobulbar, radang uvea, idiopati dan toksemia gravidarum.

Tabel 1. klasifikasi ablasio retina


Dikutip dari kepustakaan 11

18
3.7 Diagnosis
Diagnosis ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
oftalmologi dan pemeriksaan penunjang.12
Anamnesis
Gejala umum pada ablasio retina yang sering dikeluhkan penderita adalah :
 Floaters (terlihatnya benda melayang-layang) yang terjadi karena adanya
kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau
degenerasi vitreus itu sendiri.
 Photopsia/Light flashes (kilatan cahaya), tanpa adanya sumber cahaya di
sekitarnya, yang umumnya terjadi sewaktu mata digerakkan dalam keremangan
cahaya atau dalam keadaan gelap.
 Penurunan tajam penglihatan, penderita mengeluh penglihatannya sebagian
seperti tertutup tirai yang semakin lama semakin luas. Pada keadaan yang telah
lanjut, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan yang berat.
Pada ablasio retina regmatogenosa, pada tahap awal masih relative
terlokalisir, tetapi jika hal tersebut tidak di perhatikan oleh penderita maka akan
berkembang menjadi yang lebih berat jika berlangsung sedikit demi sedikit
menuju kearah makula. Keadaan ini juga tidak menimbulkan rasa sakit tiba-tiba
kehilangan penglihatan terjadi ketika kerusakannya sudah parah. Pasien seperti
biasanya mengeluhkan kemunculan tiba-tiba awan gelap atau kerudung di depan
mata.12
Selain itu, dari anamnesis perlu ditanyakan adanya riwayat trauma, riwayat
pembedahan sebelumnya (seperti ekstraksi katarak, pengangkatan corpus alienum
intraokuler), riwayat penyakit mata sebelumnya (uveitis, perdarahan vitreus,
ambliopa, glaucoma dan retinopati diabetic), riwayat keluarga dengan penyakit mata
serta penyakit sistemik yang berhubungan dengan ablasio retina (diabetes, tumor,
sikle cell disease, leukemia, eklamsia dan prematuritas).11,12
Pemeriksaan oftalmologi
Adapun tanda-tanda yang dapat ditemukan pada keadaan seperti ini antara
lain
 Pemeriksaan visus. Dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat terlibatnya
macula lutea atau kekeruhan media refrakta atau badan kaca yang menghambat

19
sinar masuk. Tajam penglihatan akan sangat terganggu bila macula lutea ikut
terangkat.
 Tekanan intraokular biasanya sedikit lebih rendah atau mungkin normal.
 Pemeriksaan funduskopi. Merupakan salah satu cara terbaik untuk mendiagnosis
ablasio retina dengan menggunakan oftalmoskopi indirek binokuler. Pada
pemeriksaan ini retina yang mengalami ablasio tampak sebagai membran abu-
abu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler koroid. Jika terdapat
akumulasi cairan bermakna pada ruang dubretina, didapatkan pergerakan
undulasi retina ketika mata bergerak. Pembuluh darah retina yang terlepas dari
dasarnya berwarna gelap, berkelok-kelok dan membengkok di tepi ablasio. Pada
retina yang terjadi ablasio terlihat lipatan-lipatan halus. Satu robekan pada retina
terlihat agak merah muda karena terdapat pembuluh koroid di bawahnya.13

Gambar 5. Gambaran fundoskopi ablasio retina regmatogenosa


Dikutip dari kepustakaan 9

Gambar 6. Gambaran funduskopi ablasio retina traksi


Dikutip dari kepustakaan 11

20
Gambar 7. Gambaran fundoskopi ablasio retina eksudatif
Dikutip dari kepustakaan 9

 Electroretinography (ERG) adalah di bawah normal atau tidak ada.


 Ultrasonography mengkonfirmasikan diagnosis. Ini adalah nilai khusus pada
pasien dengan media berkabut terutama di hadapan padat katarak.9,11,12

3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan Pada pembedahan
ablasio retina dapat dilakukan dengan cara:11,12,13

 Scleral buckle
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina regmatogenosa
terutama tanpa disertai komplikasi lainnya. Prosedur meliputi lokalisasi posisi
robekan retina, menangani robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya dengan
scleral buckle (sabuk). Sabuk ini biasanya terbuat dari spons silikon atau silikon
padat. Ukuran dan bentuk sabuk yang digunakan tergantung lokasi dan jumlah
robekan retina. Pertama-tama dilakukan cryoprobe atau laser untuk memperkuat
perlengketan antara retina sekitar dan epitel pigmen retina. Sabuk dijahit
mengelilingi sklera sehingga terjadi tekanan pada robekan retina sehingga terjadi
penutupan pada robekan tersebut. Penutupan retina ini akan menyebabkan cairan
subretinal menghilang secara spontan dalam waktu 1-2 hari.

21
Gambar 8. Scleral Buckle
Dikutip dari kepustakaan 12

 Retinopeksi pneumatik
Retinopati pneumatik merupakan metode yang juga sering digunakan
pada ablasio retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada
bagian superior retina. Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan
menyuntikkan gelembung gas ke dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini akan
menutupi robekan retina dan mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui
robekan. Jika robekan dapat ditutupi oleh gelembung gas, cairan subretinal
biasanya akan hilang dalam 1-2 hari. Robekan retina dapat juga dilekatkan
dengan kriopeksi atau laser sebelum gelembung disuntikkan. Pasien harus
mempertahankan posisi kepala tertentu selama beberapa hari untuk meyakinkan
gelembung terus menutupi robekan retina.

22
Gambar 9. Retinopeksi pneumatic
Dikutip dari kepustakaan 12
 Vitrektomi
Vitrektomi merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio
akibat diabetes, dan juga digunakan pada ablasio regmatogenosa yang disertai
traksi vitreus atau perdarahan vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu dengan
membuat insisi kecil pada dinding bola mata kemudian memasukkan
instrumen hingga ke cavum vitreous melalui pars plana. Setelah itu dilakukan
vitrektomi dengan vitreus cutter untuk menghilangkan berkas badan kaca
(vitreous strands), membran, dan perlekatan-perlekatan. Teknik dan
instrumen yang digunakan tergantung tipe dan penyebab ablasio.

Gambar 10. Vitrektomi


Dikutip dari kepustakaan 12

Lebih dari 90% lepasnya retina dapat direkatkan kembali dengan teknik-
teknik bedah mata modern, meskipun kadang-kadang diperlukan lebih dan satu
kali operasi. 12

3.9 Diagnosis banding


Retinoschisis degeneratif
Retinoschisis degenerative yaitu degenerasi peripheral tipikal sering ditemukan
pada orang dewasa, berlanjut dan meninggi 2-3 mm posterior ke ora serrata. Daerah
yang degenerasi tampak adanya gelembung dan paling mudah diamati adanya
depresi skleral. Kavitas kistoid pada lapisan pleksiform luar mengandung
hyalorinidase-mukopolisakarida sensitif. Komplikasi yang diketahui dari degenerasi

23
kistoid yang tipikal adalah koalesensi dan ekstensi kavitas dan peningkatan kearah
retinoskisis degenerasi tipikal. Gejala fotopsia dan floaters tidak ada karena tidak ada
traksi vitreoretinal. Defek lapangan pandang jarang. 11

Gambar 10. Gambaran funduskopi retinoschisis


Dikutip dari kepustakaan 11

Tabel 2. Perbedaan retinal detachment dan retinoschisis


Dikutip dari kepustakaan 11

3.10 Prognosis
Prognosis dari penyakit ini berdasarkan pada keadaan macula sebelum dan
sesudah operasi serta ketajaman visualnya. Jika keadaannya sudah melibatkan
macula maka akan sulit untuk menghasilkan hasil operasi yang baik, tetapi dari data
yang ada sekitar 87% dari operasi yang melibatkan macula dapat mengembalikan
fungsi visual sekitar 20/50 lebih kasus dimana macula yang terlibat hanya sepertiga
atau setengah dari macula tersebut.
Pasien dengan ablasio retina yang melibatkan macula dan perlangsungannya
kurang dari 1 minggu, memiliki kemungkinan sembuh post oprasi sekitar 75%
sedangkan yang perlangsungannya 1-8 minggu memiliki kemungkinan 50%.

24
Dalam 10%-15% kasus yang dilakukan pembedahan dengan ablasio retina
yang melibatkan macula, kemampuan visualnya tidak akan kembali sampai level
sebelum dilakukannya operasi. Hal ini disebabkan adanya beberapa factor seperti
irregular astigmat akibat pergeseran pada saat operasi, katarak progressif, dan edema
macula. Komplikasi dari pembedahan misalnya adanya perdarahan dapat
menyebabkan kemampuan visual lebih menurun.11

25
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien Perempuan berusia 55 tahun datang dengan keluhan
utama penglihatan mata kanan yang tiba-tiba buram dua minggu sebelum masuk
rumah sakit. Dari keluhan utama pasien dapat dikategorikan bahwa keluhan mata
pasien ini termasuk dalam kategori keluhan mata tenang visus turun mendadak. Dari
keluhan ini dapat dipikirkan beberapa diagnosis banding yaitu: kekeruhan media
refraksi, hifema, perdarahan vitreus, ablasio retina, koroiditis, oklusio pembuluh
darah retina sentralis, oklusi arteri retina sentralis, oklusi cabang retina sentralis,
oklusi vena retina sentralis, dan gangguan saraf optik.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftamologis, tidak ada riwayat
trauma dan kondisi lain yang menyebabkan neovaskularisasi seperti tumor, diabetes,
operasi intraokuler, dan inflamasi kronis sehingga diagnosis banding hyfema dapat
disingkarkan. Begitupula dengan perdarahan vitreus juga dapat disingkirkan. Oklusi
pembuluh darah retina sentralis baik arteri maupun vena retina sentralis juga bisa
disingkirkan karena pada pemeriksaan funduskopi tidak didapatkan gambaran
perdarahan pada retina. Penyakit saraf optik dapat disingkirkan karena pada
pemeriksaan funduskopi tidak terdapat relatif afferent pupillary defect.
Pada kasus ini, pasien sering malkukan bersin secara keras dimana tekanan
yang tiba-tiba tinggi seperti bersin maupun batuk merupakan faktor risiko terjadinya
ablasio retina. Gejala klinis yang dialami oleh pasien juga mengarah kepada ablasio
retina, di antaranya adalah pandangan mata kanan yang mendadak kabur (hilangnya
tajam penglihatan secara mendadak) selama dua minggu dengan mata tenang. Pasien
juga mengeluhkan adanya floaters (melihat bayangan seperti titik-titik hitam) pada
kedua mata. Keluhan ini sebenarnya sudah dialami oleh pasien sejak 1 bulan yang
lalu, namunkelainan ini belum sampai menurunkan penglihatan pasien secara
mendadak. Jadi dapat disimpulkan bahwa kondisi pasien menunjukan suspek ablasio
retina dikarenakan pandangan mata kanan yang mendadak kabur sejak dua minggu
sebelum masuk rumah sakit. Hal ini diperkuat dengan pemeriksaan oftalmologi
didapatkan bahwa terdapat robekan di retina pasien pada arah jam 7 sampai jam 8.
Adanya robekan pada retina ini dapat menyebabkan vitreus masuk di antara epitel

26
dan 9 lapisan retina, sehingga memungkinkan terjadinya ablasio retina. Dikarenakan
bagian yang mengalami robekan di bagian inferior, viterus yang masuk di antara
epitel dan 9 lapisan retina tidak menarik secara kuat dan menyebabkan ablasio retina
yang sampai ke makula. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa gejala yang
dialami oleh pasien masih ringan hanya berupa pandangan kabur, bukan berupa
penurunan tajam penglihatan secara drastis.
Pasien yang dinyatakan mengalami ablasio retina apabila terdapat beberapa
tanda dari pemeriksaan mata, antara lain:
 Tajam penglihatan sangat turun sampai mencapai 1/300
 Relatif afferent papillary defect pada mata yang tidak normal
 Terlihat retina berwarna abu-abu dan terangkat dari sekitarnya
Pada pasien ini, terdapat robekan pada retina dan retina terlihat berwarna abu-
abu. Tajam penglihatan pada pasien tidak turun secara drastis sampai 1/300,
kemungkinan karena robekan belum sampai ke makula sehingga tidak menurunkan
tajam penglihatan secara drastis.
Tatalaksana pada ablasio adalah dengan operasi melepaskan traksi
vitreoretina serta dapat menutup robekan retina yang ada, melalui adhesi korioretinal
di sekitar robekan melalui diatermi, krioterapi, atau fotokoagulasi laser. Pembedahan
yang sering dilakukan adalah scleral buckling, pneumatic retinopexy dan intraocular
silicone oil tamponade. Kebanyakan praktisi lebih sering melakukan prosedur scleral
buckling. Pada pasien ini tatalaksana yang dberikan dapat berupa fotokoagulasi leser
dikarenakan hanya terdapat retina break.
Prognosis ad vitam pada kasus ini bonam karena tidak mengancam nyawa.
Prognosis ad functionam adalah dubia ad malam karena dapat menyebabkan
kebutaan. Prognosis ad sanactionam adalah dubia ad malam, karena berpotensial
untuk kambuh kembali.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu penyakit mata Edisi 3. Fakultas kedokteran universitas indonesia.


Jakarta. 2004. Hal.183-185.
2. Theodoro, Evan, MD. Retinal Detachment, Rhegmatogenous. [online] 2007
August, 02. [cited] 2009 Nov 24. Available from http://www.emedicine.com
3. Wu, Lihteh, MD. Retinal Detachment, Tractional. [online] 2007 August, 02.
[cited] 2009 Nov 24. Available from http://www.emedicine.com
4. Wu, Lihteh, MD. Retinal Detachment, exudative. [online] 2007 August, 02.
[cited] 2009 Nov 24. Available from http://www.emedicine.com
5. Sanitato JJ. 2000. oftalmology umum Edisi 14. Jakarta : Penerbit widya medika.
6. O’connor Patrick Ph.D. 2008. Embryology of the Eye and Visual Pathways,
Anatomy and General Organization. Ohio : University collage of Osteophatic
medicine.
7. Faiz Omar, Moffat David. 2004. Anantomi at a Glance. Jakarta : Erlangga. Hal.
151.
8. Sherwood Lauralee, 2001. Fisiologi Manusia dari sel ke system Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran ECG. Hal. 165-169
9. Khurana A K. 2007. Comprehensive Ophthalmology Fourth Edition. New Delhi:
New age international (p) Limidted, publisher. Page. 249-252, 275-279.
10. Anonim. Ablasio. [online] 2009 Oktober, 07. [cited] 2009 November, 26.
Available from http://www.wikipedia.org
11. Regiello C, Chang TS. Johnson MW. Retinal Detachment. In : Retinal and
Vitreus. Chapter 11 Section 12. American Academy of Opthalmology 2008-
2009. Singapore. P.292-302.
12. Fathulrahman. Ablasio Retina. [online] 2009 Oktober, 06. [cited] 2009
November, 26. Available from http://ayhks/2009/ablasio-retina.html
13. Larkin GL. Retinal Detachment. [online]. 2009 November 23 [cited] 2009
November 26. Available from: http//www.emedecine.com/Retinal_ detachment

28

Anda mungkin juga menyukai