Anda di halaman 1dari 41

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ................................................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 1

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3

2.1 Anatomi ........................................................................................... 3

2.2 Fisiologi ........................................................................................... 3

BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................... 7

3.1 Hipertiroid .......................................................................................... 7

3.1.1 Definisi, epidemiologi, dan etiologi ......................................... 7

3.1.2 Gambaran klinik .................................................................... 12

3.1.3 Komplikasi ............................................................................. 13

3.1.4 Pemeriksaan laboratorium ..................................................... 13

3.1.5 Pengobatan .......................................................................... 14

3.2 Tirotoksikosis ..................................................................................... 17

3.2.1 Definisi tirotoksikosis............................................................. 17

3.2.2 Etiologi .................................................................................. 18

3.2.3 Gambaran klinik .................................................................... 18

3.2.4 Diagnosa .............................................................................. 20

3.2.5 Penatalaksanaan .................................................................. 21

3.2.6 Komplikasi ............................................................................ 24

BAB IV DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 27

1
BAB I

PENDAHULUAN

Tirotoksikosis adalah keadaan hipermetabolik yang disebabkan oleh meningkatnya


kadar T3 dan T4 bebas. Karena terutama disebabkan oleh hiperfungsi kelenjar tiroid,
tirotoksikosis sering disebut sebagai hipertiroidisme. Namun pada keadaan tertentu
peringkatan tersebut berkaitan dengan pengeluaran berlebihan hormone tiroid yang sudah jadi
misalnya pada tiroiditis atau yang berasal dari sumber diluar tiroid dan bukan karena
hiperfungsi kelenjar. Oleh karena itu hipertiroidisme hanyalah salah satu kategori
tirotoksikosis.

Hipertiroidisme dan tirotoksikosis sering dipertukarkan. Tirotoksikosis berhubungan


dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang ditemukan bila suatu jaringan
memberikan hormon tiroid berlebihan. Sedangkan hipertiroidisme adalah tirotoksikosis
sebagai akibat produksi tiroid itu sendiri. Tirotoksikosis terbagi atas kelainan yang
berhubungan dengan hipertiroidisme dan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme.
Tiroid sendiri diatur oleh kelenjar lain yang berlokasi di otak, disebut pituitari. Pada
gilirannya, pituitari diatur sebagian oleh hormon tiroid yang beredar dalam darah (suatu efek
umpan balik dari hormon tiroid pada kelenjar pituitari) dan sebagian oleh kelenjar lain yang
disebut hipothalamus, juga suatu bagian dari otak.

Hipothalamus melepaskan suatu hormon yang disebut thyrotropin releasing hormone


(TRH), yang mengirim sebuah sinyal ke pituitari untuk melepaskan thyroid stimulating
hormone (TSH). Pada gilirannya, TSH mengirim sebuah signal ke tiroid untuk melepas
hormon-hormon tiroid. Jika aktivitas yang berlebihan dari yang mana saja dari tiga kelenjar-
kelenjar ini terjadi, suatu jumlah hormon-hormon tiroid yang berlebihan dapat dihasilkan,
dengan demikian berakibat pada hipertiroid. Pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi
produksi hormon tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau
merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Anatomi
Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin saat akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar
tiroid terletak pada bagian bawah leher yang terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh
ismus yang menutupi cincin trakea dua dan tiga. Kapsul Fibrosa menggantungkan kelenjar ini
pada fasia paratrakea sehingga pada setiap gerakan menelan akan selalu diikuti oleh
terangkatnya kelenjar kearah kranial, yang merupakan ciri khas dari kelenjar tiroid. Sifat
inilah yang digunakan diklinik untuk menentukan apakah suatu bentukan dileher
berhubungan dengan kelenjar tiroid. Berat tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan masukan
yodium, beratnya berkisar 10-20 gram1.
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari A.Tiroidea Superior yang merupakan cabang
dari A.Karotis komunis atau A. Karotis eksterna.Setiap folikel pada thiroid diselubungi oleh
jala-jala kapiler dan limfatik, sedagkan venanya berasal dari pleksus perifolikular yang
menyatu di permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Aliran darah
diperkirakan sekitar 5 ml/gram kelenjar/menit. Dalam keadaan hipertiroid aliran ini akan
meningkat sehingga dengan menggunakan stetoskop terdengar bising aliran darah diujung
bawah kelenjar1.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini kearah nodus paralaring yang tepat berada diatas ismus
menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada yang menuju duktus
thorasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk menduga penyebaran keganasan yang
berasal dari kelenjar tiroid1.
2.2 Fisiologi
Tiroid terdiri atas folikel yang merupakan kumpulan dari sel kolumnar. Sel foliker
tersebut mensintesis tiroglobulin (Tg) yang akan disekresiken kedalam lumen folikel. Tg
merupakan glikoprotein. Protein lain yang dihasilkan adalah tiroperoksidase (TPO). TPO
maupun Tg bersifat antigenik, sehingga dapat digunakan sebagai tanda penyakit, misalnya
pada penyakit tiroid autoimun. Hormon utama yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3)
tersimpan dalam koloid sebagai bagian dari tiroglobulin. Hormon ini dilepaskan jikan
tiroglobulin berikatan dengan enzim khusus.1

3
Hormon tiroid mengandung 59-65% yodium. Hormon T3 dan T4 berasal dari
yodinisasi residu tirosin yang ada di tiroglobulin. Proses biosintesis hormon tiroid terjadi
dalam beberapa tahap, yaitu tahap trapping, oksidasi, coupling, storage atau penyimpanan,
deiyodinasi, proteolisis dan pengeluaran hormon tiroid1.
Tahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah pompa iodida dari darah ke dalam
sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran basal sel tiroid memompakan iodida masuk ke dalam
sel yang disebut dengan penjeratan iodida (iodide trapping). Sel-sel tiroid kemudian
membentuk dan mensekresikan tiroglobulin dari asam amino tirosin. Tahap berikutnya
adalah oksidasi ion iodida menjadi I2 oleh enzim peroksidase. Selanjutnya terjadi iodinasi
tirosin menjadi monoiodotirosin, diiodotirosin, dan kemudian menjadi T4 dan T3 yang diatur
oleh enzim iodinase. Kemudian, hormon tiroid yang telah terbentuk ini disimpan di dalam
folikel sel dalam jumlah yang cukup untuk dua hingga tiga bulan. Setelah hormon tiroid
terbentuk di dalam tiroglobulin, keduanya harus dipecah dahulu dari tiroglobulin, oleh enzim
protease. Kemudian, T4 dan T3 yang bebas ini dapat berdifusi ke pembuluh kapiler di sekitar
sel-sel tiroid. Keduanya diangkut dengan menggunakan protein plasma. Karena mempunyai
afinitas yang besar terhadap protein plasma, hormon tiroid, khususnya tiroksin, sangat lambat
dilepaskan ke jaringan. Kira-kira tiga perempat dari tirosin yang teriodinasi dalam
tiroglobulin tidak akan pernah menjadi hormon tiroid, hanya sampai pada tahap
monoiodotirosin atau diiodotirosin. Yodium dalam monoiodotirosin dan diiodotirosin ini
kemudian akan dilepas kembali oleh enzim deiodinase untuk membuat hormon tiroid
tambahan2.

4
Regulasi hormon tiroid adalah sebagai berikut. Hipotalamus sebagai master gland
mensekresikan TRH (Tyrotropine Releasing Hormone) untuk mengatur sekresi TSH oleh
hipofisis anterior. Kemudian tirotropin atau TSH (Thyroid Stimulating Hormone) dari
hipofisis anterior meningkatkan sekresi tiroid dengan perantara cAMP. Mekanisme ini
mempunyai efek umpan balik negatif, bila hormon tiroid yang disekresikan berlebih,
sehingga menghambat sekresi TRH maupun TSH. Bila jumlah hormon tiroid tidak
mencukupi, maka terjadi efek yang sebaliknya2.
Efek yang umum dari hormon tiroid adalah mengaktifkan transkripsi inti sejumlah
besar gen. Oleh karena itu, di semua sel tubuh sejumlah besar enzim protein, protein
struktural, protein transpor, dan zat lainnya akan disintesis. Hasil akhirnya adalah
peningkatan menyeluruh aktivitas fungsional di seluruh tubuh. Hormon tiroid meningkatkan
aktivitas metabolik selular dengan cara meningkatkan aktivitas dan jumlah sel mitokondria,
serta meningkatkan transpor aktif ion-ion melalui membran sel. Hormon tiroid juga
mempunyai efek yang umum juga spesifik terhadap pertumbuhan. Efek yang penting dari
fungsi ini adalah meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak selama kehidupan janin
dan beberapa tahun pertama kehidupan pascalahir 2.
Efek hormon tiroid pada mekanisme tubuh yang spesifik meliputi peningkatan
metabolisme karbohidrat dan lemak, peningkatan kebutuhan vitamin, meningkatkan laju
metabolisme basal, dan menurunkan berat badan. Sedangkan efek pada sistem

5
kardiovaskular meliputi peningkatan aliran darah dan curah jantung, peningkatan frekuensi
denyut jantung, dan peningkatan kekuatan jantung. Efek lainnya antara lain peningkatan
pernafasan, peningkatan motilitas saluran cerna, efek merangsang pada sistem saraf pusat
(SSP), peningkatan fungsi otot, dan meningkatkan kecepatan sekresi sebagian besar kelenjar
endokrin lain2.

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hipertiroid

3.1.1 Definisi , epidemiologi dan etiologi hipertiroid

Penyakit hipertiroidism merupakan bentuk tiroktoksikosis yang paling sering

dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada

perempuan dari pada laki-laki. Tanda dan gejala penyakit hipertiroid yang paling mudah

dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi

kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, dan disertai dermopati

meskipun jarang.9

Tirotoksikosis adalah keadaan hipermetabolik yangdisebabkan oleh meningkatnya

kadar T3 dan T4 bebas. Karena terutama disebabkan oleh hiperfungsi kelenjar tiroid,

tirotoksikosis sering disebut sebagai hipertiroidisme. Namun pada keadaan tertentu

peringkatan tersebut berkaitan dengan pengeluaran berlebihan hormone tiroid yang sudah jadi

misalnya pada tiroiditis atau yang berasal dari sumber diluar tiroid dan bukan karena

hiperfungsi kelenjar. Oleh karena itu hipertiroidisme hanyalah salah satukategori

tirotoksikosis.11

Patogenesis penyakit hipertiroid sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti.

Diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme tersebut. Berdasarkan

ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves’ dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara

lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating

Hormone - Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi. Pada penyakit Graves’,

limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid

7
yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen

tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel

tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R

antibodi. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan

aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting

dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit

Graves.9

Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu

tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan TSH reseptor (TSH-R). Disamping itu

terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid

dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita

dan kelenjar tiroid penderita penyakitGraves’. Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi

dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma)

akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4)

untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T. 9

Gambar 3.1 patogenesis penyakit graves


8
Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan

HLA-DR3 pada ras kaukasia, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras cina dan HLA-B17 pada

orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis penyakit tiroid

autoimun seperti penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan

merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat

pengaruh sitokin (terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia enterocolitica,

yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang dengan autoantigen

kelenjar tiroid. Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang

dengan TSH-R antibodi pada membran sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut

penyakit Graves’. Asupan yodium yang tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated

immunoglobulin yang bersifat lebih imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan

untuk terjadinya penyakit tiroid autoimun. Dosis terapeutik dari lithium yang sering

digunakan dalam pengobatan psikosa manik depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel

limfosit T suppressor sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid autoimun. Faktor stres

juga diduga dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves’, namun sampai saat ini belum

ada hipotesis dugaan yang memperkuat tersebut. 9

Terjadinya opthtalmopati Graves’ melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan

antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan

tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang

terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga

menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia. Dermopati Graves’

(miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam jaringan fibroblast

didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi glikosaminoglikans.

9
Hormon tiroid mempengaruhi hampir seluruh sistem pada tubuh, termasuk pada

pertumbuhan dan perkembangan, fungsi otot, fungsi Sistem Syaraf Simpatik, Sistem

Kardiovaskular dan metabolisme karbohidrat. Homorn tiroid dapat mempengaruhi

metabolisme karbohidrat baik pada kadar hormon yang meningkat (hipertiroid) ataupun

menurun (hipotiroid).9

Penyakit Graves’ merupakan penyebab paling umum hipertiroidisme. sekitar 60%

hipertiroidism disebabkan oleh penyakt Graves’. Tirotoksikosis dengan sendirinya adalah

diabetogenik. Variabel intoleransi glukosa dapat terjadi hingga 50% dari pasien

tirotoksokosis dengan kejadian diabetes terjadi pada 2-3%, ketika hipertiroid terjadi pada

individu normal. Perubahan metabolik mungkin terjadi sebagai akibat dari hipertiroidisme

dan berkontribusi terhadap penurunan kontrol glikemik. 9

Meskipun resiko terjadinya diabetes melitus hanya berkisar 2-3% pada individu yang

menderita hipertiroidisme namun jika ini dijumpai akan mempengaruhi dan menyebabkan

sulitnya mengontrol glukosa darah oleh karena dua kondisi metabolik yang terjadi secara

bersamaan. Berbagai perubahan metabolisme dapat terjadi selama kondisi hipertiroid dan hal

ini dapat mempengaruhi status glukosa darah. Perubahan-perubahan tersebut diantaranya

adalah 6 pada kondisi hipertiroid, waktu pengosongan lambung menjadi lebih cepat. Absorpsi

glukosa pada saluran cerna juga ikut meningkat termasuk aliran darah di vena portal. Ketika

beberapa studi menunjukkan bahwa penurunan sekresi insulin bisa terjadi pada kondisi

hipertiroid, studistudi lainnya melaporkan level insulin baik diperifer dan sirkulasi portal

justru normal atau meningkat. Sebenarnya kondisi ini bisa tertutupi oleh karena adanya

sekresi insulin yang meningkat termasuk juga degradasi dari insulin tersebut. Pada hipertiroid

insulin clearen meningkat hingga 40%. Kondisi yang berlama-lama dari gangguan fungsi

10
tiroid ini juga akan menyebabkan gangguan fungsi dari sel beta sehingga akan menurunkan

produksi insulin oleh pankreas dan respon insulin terhadap glukosa. 9

Produksi glukosa endogenous 6 meningkat dengan beberapa mekanisme:

1. Meningkatnya prekursor glukoneogenik dalam bentuk laktat, glutamin dan alanin dari

otot rangka dan gliserol dari jaringan lemak.

2. Meningkatnya konsentrasi free fatty acid (FFA) plasma yang bisa menstimulasi

hepatik glukoneogenesis.

3. Meningkatnya glikogenolisis oleh karena inhibisi dari sintesa glikogen • Upregulasi

dari

4. protein transporter glukosa atau GLUT-2 pada membran plasma hepatosit

5. Meningkatnya sekresi dan efek glukagon serta adrenalin terhadap sel-sel hati

Gambar 3.2 Pengeluaran hormon tiroid pada berbagaisistem organ pada penyakit graves

Penggunaan glukosa di jaringan adiposa meningkat pada pasien hipertiroid ini

dibuktikan melalui percobaan isolasi jaringan adiposa dari tikus dan pasien hipertiroid

menunjukkan sensitifitas dari transpor glukosa dan penggunaannya terhadap insulin yang
11
normal, meningkat atau menurun. Variabilitas hasil ini mungkin sebagai reflek terhadap

perbedaan regional pada jaringan adiposa yang terisolasi. Peningkatan ambilan glukosa dan

pembentukan laktat terhadap oksidasi glukosa dan proses penyimpanan pada kondisi

hipertiroid. Kondisi ini disebabkan karena meningkatnya insulin basal, stimulasi GLUT1,

GLUT4, meningkatnya respon glikogenolisis terhadap stimulasi beta adenergik,

meningkatnya aktivitas heksokinase dan fosfofruktokinase serta menurunnya sensitifitas

sintesa glikogen terhadap insulin. 9

Gambar 3.3 pengaruh pengeluaran hormon tiroid di otot pada penyakit graves

3.1.2 Gambaran Klinis

Pada penyakit Graves’ terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan

ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat

hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.

Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis

yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak
12
bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi,

takikardi, diare dan kelemahan serta atrofi otot. 9

Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya

terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien

ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag

(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi.

Gambaran klinik klasik dari penyakit Graves’ antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme,

goiter difus dan eksoftalmus. 9

Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan

antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak

tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit Graves’

dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan

percepatan proses pematangan tulang. Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ),

manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan

miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan

berat badan. 9

3.1.3 Komplikasi

Oftalmopati Graves’ terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler

disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita

sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan)

dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia.

Pembesaran otototot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI.

13
Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus

yang akan menimbulkan kebutaan. 9

3.1.4 Pemeriksaan laboratorium

Autoantibodi tiroid, TgAb, dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves’

maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit Graves’.

Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada

eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas. Untuk dapat

memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves’ dan hipertiroidisme umumnya,

perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan

kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T4)

dan tri-iodotironin (T3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormon

(TSH). Artinya, bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya

ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pada penyakit Graves’,

adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan

perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid

menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar

hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi.

Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap

hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi

kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat

diperiksa kadar T4 bebas (free T4/FT4). 9

3.1.5 Pengobatan.

14
Walaupun mekanisme autoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam

patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves’, namun penatalaksanaannya terutama

ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis

pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves’, yaitu: Obat anti tiroid,

pembedahan dan terapi yodium radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal

antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat

antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya. 9

Obat Antitiroid: Golongan Tionamid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil

dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama

metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol

yang isinya sama dengan metimazol. Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan

ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi

biosintesis hormon tiroid T3 dan T4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi

iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan

menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama

ialah menghambat konversi T4 menjadi T3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada

metimazol). 9

Atas dasar kemampuan menghambat konversi T4 ke T3 ini, PTU lebih dipilih dalam

pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer.

Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih

panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosisi tunggal. Belum ada

15
kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka waktu pengobatan

yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti

tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya

dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan. Untuk mencegah

terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan

dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis

pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Regimen umum terdiri dari

pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis

dikurangi menjadi 50-200 mg, 1 atau 2 kali sehari. 9

Propiltiourasil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat

menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon

secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves’. Methimazole mempunyai masa kerja

yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan

dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis

pemeliharaan 5-20 mg perhari. 9

Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada

beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3 x 100-200 mg/hari

dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu

pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis

dan biokimia.20 Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis

terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat

mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas normal. Bila

dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di

naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktorfaktor

16
penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis. Meskipun

jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping, yaitu

agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih kecil),

gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan

pertama pengobatan. 9

Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian

terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium

radioaktif. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk

mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika. Efek samping lain yang jarang terjadi

namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik,

Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi

timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan

laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada

bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian

penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan

selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti I131 atau operasi. Bila timbul

efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba diganti dengan obat jenis

yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.17 Evaluasi pengobatan perlu

dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves’ adalah penyakit autoimun yang

tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. 9

Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan

klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan

diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid.

Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu

17
mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga

tercapai remisi. 9

Nodul Tiroid

Definisi dan klasifikasi

Nodul tiroid merupakan neoplasia endokrin yang paling sering ditemukan

diklinik. Karena lokasi anatomik kelenjar tiroid yang unik, yaitu berada di superfisial,

maka nodul tiroid dengan mudah dapat dideteksi dengan baik menggunakan berbagai

moda diagnostic seperti ultasonografi, sidik tiroid, atau CT scan. Yang menjadi

kepedulian klinik adalah kemungkinan nodul tersebut ganas, disamping keluhan pasien

seperti perasaan tidak nyaman karena tekanan mekanik nodul terhadap organ disekitarnya

serta masalah kosmetik. Diperlukan uji saring yang cukup spesifik untuk mendeteksi

keganasan mengingat kemungkinan hanya sekitar 5% dari nodul yang ditemukan di

klinik.10

Dasar pemikiran pengelolaan nodul tiroid adalah bagaimana mendeteksi

karsinoma yang mungkin ditemukan hanya pada sebagian kecil pasien serta

menghindarkan pembedahan atau tindakan lain yang sebenarnya tidak perlu pada

sebagian besar pasien lainnya. Serta penilaian resik, manfaat spesifik dan keterbatasan uji

diagnostic serta jenis tindakan atau pengobatan yang akan dilakukan.10

Klasifikasi nodul tiroid berdasarkan etiologinya

a. Adenoma: adenoma makrofolikuler (koloid sedarhana), adenoma mikrofolikuler (fetal),

adenoma embrional (trabekular), adenoma sel hurthle (oksifilik, onkositik), adenoma

atipik, adenoma dengan papilla, signet-ring adenoma

b. Karsinoma: papiler (75%), folikuler (10%), meduler (5-10%), limfoma tiroid (5%)
18
c. Kista: kista sederhana (simple cyst), tumor kistik/padat (perdarahan, nekrotik)

d. Nodul koloid: nodul dominan pada struma multinodosa

e. Lain-lain: inflamasi tiroid, tiroiditis subakut, tiroiditis limfositik kronik, penyakit

granulomatosa, gangguan pertumbuhan, dermoid, agenesis lobus tiroid unilateral.

Pathogenesis dan perjalanan penyakit

Lingkungan, genetic dan proses autoimun dianggap merupakan factor penting dalam

pathogenesis nodul tiroid. Namun masih belum dimengerti sepenuhnya proses perubahan

atau pertumbuhan sel-sel folikel tiroid menjadi nodul. Konsep yang selama ini dianut

bahwa TSH secara sinergistik bekerja dengan insulin dan memegang peranan penting

dalam pengaturan pertumbuhan sel-sel tiroid perlu ditinjau kembali. Berbagai temuan

akhir-akhir ini menunjukkan TSH mungkinhanya merupakan salah satu dari mata rantai

didalam suatu jejaring sinyal yang kompleks yang memodulasi dan menstimulasi

pertumbuhan dan fungsi sel tiroid.10

Adenoma tiroid merupakan pertumbuhan baru monoclonal yang terbentuk sebagai

respons terhadap suatu rangsangan. Factor herediter tampaknya tidak memegang peranan

penting. Nodul tiroid ditemukan 4 kali lebih sering pada wanita dibandingkan dengan

pria, walaupun tidak ada bukti kuat keterkaitan antara esterogen dengan pertumbuhan sel.

Adenoma tiroid tumbuh dengan perlahan menetap selama bertahun-tahun. Halini terkait

dengan kenyataan bahwa sel tiroid dewasa biasanya membelah tiap 8 tahun,kehamilan

cenderung menyebabkan nodul bertambah besar dan menimbulkan nodul baru. Kdang-

kadang terjadi perdarahan kedalam nodul menyebabkan pembesaran mendadak serta

keluhan nyeri. Pada waktu terjadinya perdarahan kedalam adenoma, bias timbul

tirotoksikosis selintas dengan peningkatan kadar T4 dan penurunan penangkapan iodium

(radioiodine uptake). 10
19
Sekitar 10% adenoma folikuler merupakan nodul yang hiperfungsi tampak sebagai

nodul panas (hot nodul) pada sidik tiroid yang menekan fungsi jaringan normal tiroid

disekitarnya dan disebut sebaagai nodul tiroid autonom (autonomously functioning

thyroid nodule : AFTN). Nodul tersebut dapat menetap setelah brtahun-tahun, beberapa

diantaranya menyebabkan hipertiroidisme subklinik (kadar T4 masih dalam batas normal

tetapi kadar TSH tersupresi) atau berubah menjadi nodul autonom toksik terutama bila

diameternya lebih dari 3cm. sebagian lagi akan mengalami nekrosis spontan sekitar 2%

dari seluruh kasus tirotoksikosis deisebabkan oleh nodul tiroid autonom toksik.10

Karakteristik Nodul Dan Penilaian Risiko

Di klinik perlu dibedakan nodul tiroid jinak dari nodul ganas yang memiliki

karakteristik antara lain sebagai berikut:10

a. Konsistensi: konsistensi keras dan sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat

mengalami degenerasi kistik dan kemudian menjadi lunak.

b. Sebaiknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul yang

mengalami klasifikasi dapat ditemukan pada hyperplasia adenomatosa yang sudah

berlangsung lama.

c. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan pertanda keganasan walaupun nodul

hganas tidak selalu mengadakan infiltrasi

d. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multiple jarang ganas

e. Nodul yang muncul tiba-tiba atau vepat mebesar dapat diccurigai ganas.

f. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional

atau perubahan suara menjadi serak.

Diagnostik

20
Untuk mengevaluasi nodul tiroid, tersedia berbagai modalitas seperti biopsy aspirasi

jarum, ultrasonografi, sidik tiroid, CT scan atau MRI.

1. Biopsy aspirasi jarum halus

Sebagian besar ahli endokrin sepakat menggunakan biopsy aspirasi jarum halus

sebagai langkah diagnostic awal dalam pengelolaan nodul tiroid, dengan catatan

harus dilakukan oleh operator dan dinilai oleh ahli sitologi yang berpengalaman.10

Ketepatan diagnosis BAJAH akan meningkat bila sebelum biopsy dilakukan

penyidikan isotopic atau ultrasonografi. Sidik tiroid dieprlukan untuk menyingkirkan

nodul tiroid otonom dan nodul fungsional hiperplastik, sedangkan ultrasonografi

selain untuk membedakan nodul kistik dari padat dan menentukan ukuran nodul,

juga berguna untukmenuntun biopsy. Hasil sitologi BAJAH dapat dikelompokkan

menjadi jinak (negative), curiga (intermedinate) atau ganas (positif).10

2. Ultrasonografi

Ulrasonografi memberikan informasi tentang morfologi kelenjar tiroid dan

merupakan modalitas yang andal dalam menentukan ukuran dan volume kelenjar

tiroid saerta membedakan nodul tersebut bersifat kistik, padat, atau campuran kistik-

padat. Ultrasonografi juga digunakan sebagai penuntun biopsy. Sekitar 20-40%

nodul yang secara klinis soliter, ternyata multiple pada gambaran ultrasonogram.

Namuin, demikian belum diketahui secara pasti apakah modularitas tersebut

memiliki makna yang sama dengan struma multinoduler pada pemeriksaan klinik

atau sidik tiroid. Gambaran ultrasonogram dengan karakteristik dan resiko

kemungkinan ganas adalah apabila ditemukan nodul yang hipoechogenik,

21
mikrokalsifikasi, batas ireguler, peningkatan aliran vascular pada nodul, serta bila

ditemukan invasi atau limfadenopati regional.10

3. Sidik tiroid

Sidik tiroid merupakan pencitraan isotopic yang akan memberikan gambaran

morfologi fungsional, yang berarti hasil pencitraan merupakan refleksi dari

funghsi jaringan tiroid. Radiofarmaka yang digunakan adalah I-131, Tc-99m

pertechnate, Tc-99m MIBI, TI-201 atau F-18 FDG. I-131 memiliki perilakusama

dengan iodium stabil yaitu ikut dalam proses trapping dan organifikasi untuk

membentuk hormone tiroid, sedangkan Tc-99m hanya ikut dalam proses trapping

dan organifikasi untuk membentuk hormone tiroid, sedangkan Tc-99m hanya

ikut dalam proses trapping. Oleh karena itu ada kemungkinan terdapat

diskrepansi antara sidik tiroid dengan Tc-99m pertechnetate. Berdasarkan

radioaktivitas, 10

4. CT scan atau MRI

CT scan atau MRI merupakan pencitraan anatomi dan tidak digunakan secara

rutin untuk evaluasi nodul tiroid. Penggunaannya lebih diutamakan untuk

mengetahui posisi anatomi dari nodul atau jaringan tiroid terhadap organ

sekitarnya seperti diagnosis struma sub-sternal dan kompresi trachea karena

nodul.10

Pengelolaan nodul tiroid

1. Terapi supresi dengan I-tiroksin

Terapi supresi dengan hormone tiroid (levotiroksin) merupakan pilihan yang

paling sering dan mudah dilakukan. Terapi supresi dapat menghambat

22
pertumbuhan nodul serta bermanfaat pada nodul yang kecil. Tetapi tidak semua

ahli setuju melakukan supresi rutin karena hanya 20% nodul yang responsive.

Terapi supresi dilakukan dengan memberikan I-tiroksin dalam dosis supresi

dengan sasaran kadar TSH sekitar 0.1-0.3 mIU/ml. biasanya diberikan selama 6-

12 bula, dan bila dalam waktu tersebut nodul tidak mengecil atau bertambah

besar perlu dilakukan biopsy ulang atau disarankan operasi. Terapi supresi tidak

menimbulkan ostopenia pada pria atau wanita dalam usia produktif, namun dapat

memicu osteoporosis pada wanita yang sudah menopause.10

2. Suntikan etanol perkutan

Penyuntikan etanol pada jaringan tiroid akan menyebabkan dehidrasi seluler,

denutrasi protein dan nekrosis koagulatif pada jaringan tiroid dan infark

miohemoragik akibat thrombosis vascular, akan terjadi juga penurunan aktivitas

enzim pada sel-sel yang masih viable yang mengelilingi jaringan nekrotik. Nodul

akan di kelilingi oleh reaksi granulomatosa dengan multinucleated giant cells dan

kemudian secara bertahap jaringan tiroid diganti dengan jaringan parut

granulomatosa. 10

3. Terapi iodium radioaktif (I-131)

Terapi dengan iodium radioaktif dilakukan pada nodul tiroid autonom

atau nodul panas baik yang dalam keadaan eutiroid maupun hipertiroid. Terapi

iodium radioaktif juga dapat diberikan pada struma multinodosa non toksik

terutama bagi pasien yang tidak bersedia di operasi. Iodium radioaktif dapat

mengurangi volume nodul tiroid dan memperbaiki gejala penekanan pada

sebagian besar pasien. 10

23
4. Pembedahan

Melalui tindakan bedah dapat dilakukan dekompresi terhadap jaringan vital

disekitar nodul, di samping dapat diperoleh specimen untuk pemeriksaan

patologi. Hemitiroidektomi dapat dilakukan pada nodul ganas tergantung pada

jenis histology dan tingkat risiko prognostic. Hal yang perlu diperhatikan adalah

penyulit seperti perdarahan pasca pembedahan, obstruksi trakea pasca

pembedahan gangguan pada n. rekurens laringeus, hipoparatirodi, atau nodul

kambuh. Untuk menekan kejadian penyulit tersebut, pembedahan hendaknya

dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman dalam bidangnya.10

5. Terapi laser interstisial dengan tuntunan ultrasonografi

Terapi nodul tiroid dengan laser masih dalam tahap eksperimental. Dengan

menggunakan “low power laser”, energy termik yang diberikan dapat

mengakibatkan nekrosis nodul tanpa atau sedikit sekali kerusakan pada jaringan

sekitarnya tidak ditemukan efek samping yang berarti. Tidak ada korelasi antara

deposit energy termal dengan pengurangan volume nodul serta tidak ada

perubahan pada fungsi tiroid.10

3.2 Tirotoksikosis

3.2.1 Definisi Tirotoksikosis


Tirotoksikosis adalah sindroma klinis hipermetabolisme yang terjadi akibat
peningkatan hormon tiroid: tiroksin bebas (T4), triiodotironin yang beredar berlebihan1.
Tirotoksikosis merupakan suatu sindroma klinis yang terjadi akibat dari jaringan yang
terpapar oleh kadar hormon tiroid yang tinggi dalam sirkulasi. Sebagian besar tirotoksikosis
disebabkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif atau hipertiroid., namun kadang-kadang
tirotoksikosis dapat disebabkan oleh karena penyebab lain seperti sekresi hormon tiroid yang
berlebihan dari tempat lain (ektopik) atau hormon tiroid yang berlebihan3.
24
3.2.2 Etiologi Tirotoksikosis
Penggolongan sebab tirotoksikosis dengan atau tanpa hipertiroid sangat penting,
disamping pembagian etiologi, primer ataupun sekunder. Kira-kira 70% tirotoksikosis
disebabkan oleh penyakit Graves, sisanya karena gondok multinodular toksik dan adenoma
toksik.
Tabel 1. Penyebab Tirotoksikosis1
Hipertiroid Primer Tiroroksikosis tanpa Hipertiroid sekunder
Hipertiroid

Penyakit Graves Hormon tiroid berlebih TSH-secreting tumor


(Tirotoksikosis faktisia)

Gondok Multinodula Tiroiditis sub akut (Viral Tirotoksikosis gestasi


toksik atau De quairvain) (trimester pertama)

Adenoma toksik Destruksi kelenjar Resistensi hormon tiroid

Obat yodium lebih litium Radiasi

Karsinoma tiroid

Mutasi TSH-r

3.2.3 Gambaran Klinis

Pada penderita usia muda pada umumnya didapatkan palpitasi, nervous, mudah lelah,
hiperkinesia, diare, keringat berlebihan, tidak tahan terhadap udara panas dan lebih suka
terhadap udara dingin. Didapatkan penurunan berat badan tanpa disertai penurunan nafsu
makan, kelenjar tiroid membesar, didapatkan tanda-tanda mata tirotoksikosis (exoptalmus)
dan umumnya terjadi takikardi ringan. Kelemahan otot dan kehilangan massa otot terutama
pada kasus berat yang ditandai penderita biasanya tidak mampu berdiri dari kursi tanpa
bantuan. Pada penderita diatas 60 tahun yang menonjol adalah manifestasi kardiovaskular
dan miopati dengan keluhan utama adalah palpasi, sesak waktu melakukan aktivitas, tremor,
nervous dan penurunan berat badan.

25
Dermopati merupakan penebalan pada kulit terutama pada tibia bagian bawah sebagai
akibat dari penumpukan glikoaminoglikan (non pitting edema), keadaan ini sangat jarang
hanya terjadi 2-3% penderita.
Tabel 2. Gejala serta tanda Hipertiroid umumnya ada pada penyakit Graves 1
Sistem Gejala dan Tanda

Umum Tak tahan hawa panas, hiperkinesis, capek, BB turun,


tumbuh cepat, toleransi obat, youthfullness,
hiperdefekasi, lapar

Gastrointestinal Makan banyak, haus, muntah, disfagia, splenomegali

Muskular Rasa lemah

Genitourinaria Oligomenorea,amenorea,libido
turun,infertil,ginekomastia

Jantung Leher membesar

Psikis dan saraf Labil, iritabel, tremor, psikosis, nervositas, paralisis


periodik dipsneu, ipertensi, aritmia, palpitasi, gagal
jantung, limfositosis, anemia, splenomegali

Darah dan limfatik Osteoporosis, epifisis cepat menutup dan nyeri tulang
skelet
Spesifik untuk penyakit Graves ditambah dengan:
Oftalmopati (50%) edema pretibial, kemosis, proptosis, diplopia, visus menurun, ulkus
kornea
Dermopati (0,5-4%)
Akropaki (1%)
Untuk laboratorium, apabila curiga adanya hipertiroid, makan yang diperiksa adalah
FT4 (free thyroxin), FT3 dan TSHs. Pemeriksaan antibodi yang khas untuk grave’s disease
adalah TSH-R Ab (stimulating). I123 atau technetium scan biasanya digunakan untuk
mengevaluasi ukuran kelenjar dan adanya nodul ‘hot’ atau ‘cold’.

3.2.4 Diagnosa
Diagnosis pasti dari suatu penyakit hampir diawali oleh kecurigaan klinis. Pemeriksaan
minimal yang harus dikerjakan bila ada kecurigaan hipertiroid adalah FT4 dan TSHs. Apabila
didapatkan peningkatan FT4 dan penurunan TSHs maka hipertiroid dapat ditegakkan.
Hipertiroid dengan atau tanpa goiter apabila tidak disertai dengan exopthalmus harus
dilakukan pemeriksaan radioiodine uptake. Bila didapatkan peningkatan uptake maka
diagnosis Grave’s disease dan toxic nodular goiter dapat ditegakkan. Radioiodine uptake

26
yang rendah didapatkan pada hipertiroid yang baik, tiroiditis sub akut, tiroiditis hashimoto
fase akut, pengobatan dengan levotyroxin yang jarang yaitu struma ovarii.
Apabila FT4 dan TSHs keduanya meningkat maka harus dicurigai adanya tumor pituitari
yang memproduksi TSH. Apabila FT4 normal sedangkan TSHs rendah maka FT3 harus
diperiksa, diagnosis Grave’s disease stadium awal dan T3-secreting toxic nodules dapat
ditegakkan apabila FT3 meningkat. Apabila FT3 rendah didapat pada euthyroid sick sindrom
atau pada penderita yang mendapatkan terapi dopamin atau kortikosteroid.
Untuk itu telah dikenal indeks klinis Wayne dan New Castle yang didasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang teliti. Kemudian diteruskan dengan pemeriksaan penunjang untuk
konfirmasi diagnosis anatomis, status tiroid dan etiologi1.
Tabel 3 Indeks Wayne
No Gejala yang timbul Dan atau Nilai
bertambah berat
1. Sesak saat kerja +1

2. Berdebar +2

3. Kelelahan +3

4. Suka udara panas -5

5. Suka udara dingin +5

6. Keringat Berlebihan +3

7. Gugup +2

8. Nafsu makan naik +3

9. Nafsu makan turun -3

10. Berat badan naik -3

11. Berat badan turun +3

No Tanda Ada Tidak

1. Thyroid teraba +3 -3

2. Bising Thyroid +2 -2

3. Exopthalmus +2 -

4. Kelopak mata tertinggal gerak bola +1 -


mata
5. Hiperkinetik +4 -2

27
6. Tremor Jari +1 -

7. Tangan Panas +2 -2

8. Tangan basah +1 -1

9. Fibrilasi Atrial +4 -

10. Nadi teratur


<80x/menit - -3
80-90x/menit - -
>90x/menit +3 -

Tjokroprawiro membuat tiga kriteria diagnostik penyakit Graves yaitu4 :


1. Diagnosis dugaan penyakit Graves : struma, gejala umum, gejala kardiovaskular
2. Diagnosis klinis penyakit Graves: Diagnosis dugaan Indeks Wayne > 20 atau indeks
New castle > 40
3. Diagnosis pasti penyakit Graves: diagnosis klinis ditambah FT4 meningkat dan
TSHs menurun
3.2.5 Tes tiroid

Ada 5 tipe disfungsi tiroid yang sering dipakai oleh klinisi :

1. hipertiroid (tirotoksikosis)  kelebihan h.tiroid


2. hipotiorid (myxedema)  kekurangan h.tiroid
3. goiter  pembesaran gld.tiroid yg difus
4. nodul tiroid  pembesaran fokal gld. Tiroid  neoplasma jinak/ganas
5. fgs abnormal tiroid  clinically euthyroid patient.

Efek metabolik hormon tiroid :

1. kalorigenik
2. termoregulasi
3. Mengatur metab. Protein, karbohidrat dan lipid
4. mengatur metab. Vit A
5. Berperan penting dalam pertumbuhan syaraf otak dan sintesis hormon
gonadotropin, hormon pertumbuhan dan reseptor adregenik..

28
TES TIROID

Tes tiroid terdiri atas :

A. Tes untuk mengukur aktivitas/fungsi tiroid terdiri dari :


 Tiroksin serum (T4)
 Tri-iodotironin serum (T3)
 Kadar T4 bebas (FT4)
 Kadar T3 bebas (FT3)
 Indeks T4 bebas (FT4I)
 Tes TSH
 Tes TRH.
B. Tes untuk menunjukkan penyebab gangguan fungsi tiroid :

Tes Antibodi antitiroid

 Antibodi Tiroglobulin (anti Tg)


 Antibodi tiroid peroksidase (anti TPO) /Antibodi mikrosomal
 Thyroid Stimulating Antibodies (TSAb)
C. Tes untuk monitoring terapi :
 Tiroksin serum (T4)
 Tri-iodotironin serum (T3)
 Tes FT4
 Tes FT3
 Tes TSH

TES FUNGSI TIROID

Tes fungsi tiroid bertujuan untuk membantu menentukan status tiroid. Tes T4
digunakan untuk menentukan suatu hipotiroidisme atau hipertiroidisme, menentukan
maintenance dose tiroid pada hipotiroidisme dan memonitor hasil pengobatan
antitiroid pada hipertiroidisme. Tes T3 digunakan untuk mendiagnosis hipertiroidisme
dengan kadar T4 normal .
29
TSHs (Thyroid Stimulating Hormon sensitive) adalah tes TSH generasi ke tiga
yang dapat mendeteksi TSH pada kadar yang sangat rendah sehingga dapat digunakan
sebagai pemeriksaan tunggal dalam menentukan status tiroid dan dilanjutkan dengan
tes FT4 hanya bila dijumpai TSHs yang abnormal. FT4 lebih sensitif daripada FT3 dan
lebih banyak digunakan untuk konfirmasi hipotiroidisme setelah dilakukan tes TSHs .

Tes Thyroid Releasing Hormone (TRH) digunakan untuk mengukur respons


hipofisis terhadap rangsangan TRH, yaitu dengan menentukan kadar TSH serum
sebelum dan sesudah pemberian TRH eksogen. Pada hipertiroidisme klinis atau
subklinis tidak tampak peningkatan TSH setelah pemberian TRH. Sebaliknya bila
pasien eutiroid atau sumbu hipotalamus-hipofisis masih intak, maka hipofisis akan
memberikan respons yang adekuat terhadap rangsangan TRH. Tes TRH yang normal
menyingkirkan diagnosis hipertiroidisme .

Tes TRH hanya dilakukan pada pasien yang dicurigai hipertiroidisme


sedangkan kadar FT4 dan FT3 masih normal atau untuk mengevaluasi kadar TSH yang
rendah atau tidak terdeteksi dengan atau tanpa hiper/hipotiroidisme yang penyebabnya
tidak diketahui .

Tes Untuk Menunjukkan Penyebab Gangguan Fungsi Tiroid

Antibodi Tiroglobulin (Tg) merupakan salah satu protein utama tiroid yang
berperan dalam sintesis dan penyimpanan hormon tiroid. Tujuan tes : terutama
diperlukan sebagai petanda tumor dalam pengelolaan karsinoma tiroid berdiferensiasi
baik (well differentiated thyroid carcinoma). Kadar Tg akan meningkat pada
karsinoma tiroid berdiferensiasi baik dan akan kembali menjadi normal setelah
tiroidektomi total, kecuali bila ada metastasis. Kadar Tg rendah menunjukkan tidak ada
jaringan karsinoma atau metastasis lagi. Kadarnya akan meningkat kembali jika
terjadi metastasis setelah terapi .

30
Pada penyakit Graves ditemukan antibodi yang mmpengaruhi resepor TSH
dari sel tiroid dan merangsang produksi hormon tiroid. Antibodi ini disebut thyroid
stimulating immunoglobulins (TSI). Selain TSI, ada immunoglobulin yang merangsang
pertumbuhan kelenjar tiroid tanpa mempengaruhi produksi hormon. Antibodi ini
disebut thyroid growth immunoglobulins (TGI) .

Tes Untuk Monitoring Terapi

Untuk memonitoring terapi tiroid maka diperlukan tes T4 Total, T3 , FT4,


FT3 dan TSH seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tujuan tes monitoring terapi
untuk melihat perkembangan terapi berdasarkan status tiroid.

Nilai Rujukan Dan Interpretasi

1. TES T4

 Nilai Rujukan :
-
Dewasa : 50-113 ng/L (4,5g/dl)
-
Wanita hamil, pemberian kontrasepsi oral : meningkat
-
Diatas : diatas 16,5 g/dl
-
Anak-anak : diatas 15,0 g/dl
-
Usila : menurun sesuai penurunan kadar protein plasma
 Interpretasi :
- Meningkat : hipertiroidisme, tiroiditis akut, kahamilan, penyakit hati
kronik, penyakit ginjal, diabetes mellitus, neonatus, obat-obatan: heroin,
methadone, estrogen.
- Menurun : hipotiroidisme, hipoproteinemia, obat2an seperti androgen,
kortikosteroid, antikonvulsan, antitiroid (propiltiouracil) dll.

31
2. TES T3

 Nilai Rujukan:
Dewasa : 0,8 – 2,0 ng/ml (60-118 ng/dl)

Wanita hamil, pemberian kontrasepsi oral : meningkat

Infant dan anak-anak kadarnya lebih tinggi.

 Interpretasi
- Meningkat : hipertiroidisme, T3 tirotoksikosis, tiroiditis akut,
peningkatan TBG, obat-obatan:T3 dengan dosis 25 g/hr atau lebih dan
obat T4 300 g/hr atau lebih, dextrothyroxine, kontrasepsi oral
- Menurun : hipotiroidisme (walaupun dalam beberapa kasus kadar T3
normal), starvasi, penurunan TBG, obat-obatan: heparin, iodida,
phenylbutazone, propylthiuracil, Lithium, propanolol, reserpin, steroid.

3. TES FT4 (FREE THYROXIN)

 Nilai Rujukan: 10 - 27 pmol/L


 Interpretasi
- Meningkat : pada penyakit Graves dan tirotoksikosis yang disebabkan
kelebihan produksi T4.
- Menurun : hipertiroidisme primer, hipotiroidisme sekunder,
tirotoksikosis karena kelebihan produksi T3.

4. TES FT3 (FREE TRI IODOTIRONIN)


 Nilai Rujukan : 4,4 – 9,3 pmol/L
 Interpretasi :
- Meningkat : pada penyakit Graves dan tirotoksikosis yang disebabkan
kelebihan produksi T3.
- Menurun : hipertiroidisme primer, hipotiroidisme sekunder,
tirotoksikosis karena kelebihan produksi T3.

32
5. Tes TSH (THYROID STIMULATING HORMONE)

 Nilai rujukan : 0,4 – 5,5 mIU/l


 Interpretasi :
- Meningkat : hipotiroidisme pimer, tiroiditis (penyakit autoimun
Hashimoto), terapi antitiroid pada hipertiroidisme, hipertiroidisme
sekunder karena hiperaktifitas kelenjar hipofisis, stress emosional
berkepanjangan, obat-obatan misalnya litium karbonat dan iodium
potassium.
- Menurun : hipertiroidisme primer, hipofungsi kelenjar hipofisis anterior,
obat-obatan misalnya aspirin, kortikosteroid, heparin dan dopamin.

6. TES TSHs (TSH 3rd Generation)


 Nilai rujukan : 0,4 – 5,5 mIU/l
Batas pengukuran : 0,002 – 20 mIU/L

 Interpretasi
- Meningkat : hipotiroidisme pimer, tiroiditis (penyakit autoimun
Hashimoto), terapi antitiroid pada hipertiroidisme, hipertiroidisme
sekunder karena hiperaktifitas kelenjar hipofisis, stress emosional
berkepanjangan, obat-obatan misalnya litium karbonat dan iodium
potassium.
- Menurun : hipotiroidisme sekunder, hipertiroidisme primer, hipofungsi
kelenjar hipofisis anterior, obat-obatan misalnya aspirin,
kortikosteroid, heparin dan dopamin.

7. Antibodi Tiroglobulin
 Nilai rujukan : 3-42 ng/ml
 Interpretasi :
- Meningkat : hipertiroidisme, subakut tiroiditis, kanker tiroid yang tidak
diterapi, penyakit Graves, tumor benigna, kista tiroid.
- Menurun : hipotiroidisme neonatal.

33
8. Antibodi Mikrosomal
 Nilai rujukan : hasil tes negatif
 Interpretasi :
Adanya antibodi mikrosomal menunjukkan penyakit tiroid autoimun,
juga dapat ditemukan pada kanker tiroid. Pada penderita dengan
pengobatan tiroksin, bila ditemukan antibodi tiroid memberi petunjuk
kegagalan fungsi tiroid.

9. TS Ab

 Nilai rujukan: hasil tes negatif


 Interpretasi :
TSAb ditemukan pada 70-80% penderita Graves yang tidak mendapat
pengobatan, 15% pada penyakit Hashimoto, 60% pada penderita Graves
oftalmik dan pada beberapa penderita kanker tiroid.

Algoritme Tes Fungsi Tiroid

Keterangan :

34
Sebagai tes saring fungsi tiroid urutannya sbb:

1. Tes TSHs
2. Tes FT4
3. FT3

3.2.6 Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan tergantung dari etiologi tirotoksikosis, usia pasien, riwayat alamiah
penyakit, tersedianya modalitas pengobatan, situasi pasien (ingin mempunyai anak/tidak),
resiko pengobatan, dsb1. Pengobatan Tirotoksikosis dapat dikelompokkan menjadi
Tirostatika, Tiroidektomi, Yodium radioaktif.
1. Tirostatika (OAT-Obat Anti Tiroid)
a. PTU (Propyl thiouracil), pada umumnya dosis awal adalah 100-150 mg setiap 6
jam, setelah 4-8 minggu dosis diturunkan menjadi 50-200 mg sekali atau dua
kali dalam sehari. Keuntungan PTU dibanding methimazole adalah bahwa PTU
dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 sehingga lebih efektif dalam
menurunkan hormon tiroid secara cepat.
b. Methimazole, mempunyai duration of action yang lebih panjang sehingga lebih
banyak digunakan sebagai single dose. Methimazole berada dalam folikel ±20
jam. Dosis awal dimulai dengan 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan dan
selanjutnya dosis diturunkan menjadi 5-20 mg setiap pagi sebagai dosis
rumatan.
Tabel 4.Efek berbagai obat yang digunakan dalam pengelolaan Tirotoksikosis1
Kelompok Obat Efek Indikasi

Obat Anti Tiroid Menghambat sintesis Pengobatan lini


Propiltiourasil (PTU) hormon tiroid dan pertama pada
Metimazole (MMI) berefek imunosupresif Graves. Obat jangka
Karbimazol (CMZ) (PTU hambat konversi pendek pra
Antagonis Adrenergik-ƀ T4 menjadi T3) bedah/pra-RAI

B-adrenergik antagonis Mengurangi dampak Obat tambahan,


Propanolol hormon tiroid pada kadang sebagai obat
Metoprolol jaringan tunggal pada
Atenolol tiroiditis
Nadolol
Bahan mengandung Menghambat keluarnya Persiapan
Iodine T4 dan T3 tiroidektomi. Pada
Kalium iodida Menghambat produksi krisis tiroid bukan
Solusi Lugol T3 ekstratiroidal pada penggunaan
Na Ipodat rutin
Asam Iopanoat
35
Obat Lain Menghambat transpor Bukan indikasi rutin
Kalium perklorat yodium, sintesis dan Pada sub akut
Litium Karbonat keluarnya hormon tiroiditis berat dan
Glukokortikoid Memperbaiki efek krisis tiroid
hormon di jaringan dan
sifat imunologis

Ada dua metode yang dapat digunakan dalam penggunaan OAT ini. Pertana
berdasarkan titrasi: mulai dosis besar dan kemudian berdasarkan klinis/laboratoris dosis
diturunkan sampai mencapai dosis terendah dimana pasien masih dalam keadaan eutiroid.
Kedua dengan blok-substitusi, dalam metode ini pasien diberi dosis besar terus menerus dan
apabila mencapai keadaan hipotiroid, maka ditambah hormon tiroksin hingga mencapai
eutiroid1.
Terapi diberikan sampai mengalami remisi spontan, pada sekitar 20-40%
mengalami perbaikan dalam 6 bulan-1.5 tahun. Observasi diperlukan dalam jangka panjang
oleh karena angka kekambuhan sangat tinggi yaitu sekitar 50-60%4. Efek samping yang
sering rash, urtikaria, demam dan malaise, alergi, eksantem, nyeri otot dan atralgia yang
jarang keluhan gastrointestinal, perubahan rasa, dan yang paling ditakuti yaitu
agranulositosis. Untuk evaluasi gunakan gambaran klinis1.
2. Tiroidektomi
Pada penderita dengan kelenjar gondok yang besar atau dengan goiter nultinoduler
maka tiroidektomi subtotal merupakan pilihan. Operasi ini baru dilaksanakan jika pasien
dalam keadaan eutiroid, secara klinis ataupun biokimia. Dua minggu sebelum operasi
penderita diberikan solutio lugol dengan dosis lima tetes dua kali sehari. Pemberian solutio
lugol bertujuan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar, sehingga akan mempermudah
jalannya operasi1.
Pada sebagian penderita Grave’s disease membutuhkan suplemen hormon tiroid setelah
dilakukan tiroidektomi. Komplikasi pada pembedahan adalah hipoparatiroid dan terjadi
kerusakan pada nervus recurrent laryngeal. Hipoparatiroid bisa terjadi permanen atau
sepintas. Setiap pasien pasca operasi perlu dipantau apakah terjadi remisi, hipotiroidisme atau
residif. Operasi yang tidak direncanakan dengan baik membawa resiko terjadinya krisis tiroid
dengan mortalitas yang amat tinggi1.
3. Yodium Radioaktif (radio active iodium-RAI)
Untuk menghindari krisis tiroid lebih baik pasien disiapkan dengan OAT menjadi
eutiroid, meskipun pengobatan tidak mempengaruhi hasil akhir pengobatan RAI. Dosis RAI

36
berbeda, ada yang bertahap untuk mencapai eutiroid tanpa hipotiroid, ada yang langsung
dengan dosis besar untuk mencapai hipotiroid kemudian ditambah tiroksin sebagai substitusi.
Kekhawatiran bahwa radiasi akan menyebabkan karsinoma tidak terbukti. Satu-satunya
kontraindikasi adalah graviditas. Komplikasi ringan, kadang terjadi tiroiditis sepintas. Pada
enam bulan pasca radiasi disarankan untuk tidak hamil.
Tabel 5. Keuntungan dan kerugian berbagai pengobatan Tiroroksikosis1
Pengobatan Keuntungan Kerugian

Tirostatika Kemungkinan remisi Angka residif cukup tinggi


jangka panjang tanpa Pengobatan janga panjang
hipotiroid dan kontrol yang sering

Tiroidektomi Cukup banyak menjadi Dibutuhkan ketrampilan


eutiroid bedah

Yodium radioaktif Relatif cepat Masih ada morbiditas


Jarang residif 40 % hipotiroid dalam 10
Sederhana tahun
Daya kerja obat lambat
50% hipotiroid pasca
radiasi

3.2.6 Komplikasi
1. Krisis Tiroid
Krisis tiroid adalah tirotoksikosis yang sangat membahayakan dan merupakan suatu
kondisi eksaserbasi akut dari tirotoksikosis. Hampir semua kasus disertai oleh faktor
pencetus. Hingga kini patogenesis krisis tiroid belum jelas : free-hormon meningkat, naiknya
free-hormon mendadak, efek T3 pasca transkripsi, meningkatnya kepekaan sel sasaran.
Tabel 6. Faktor Pencetus Krisis Tiroid
Infeksi Konsumsi hormon tiroid

Pembedahan baik tiroid atau non KAD


tiroid
Terapi radio iodine Gagal jantung kongestif

Putus obat antitiroid Hipoglikemia

Amiodaron Toksemia gravidarum

Stress emosi berat Persalinan

Emboli Paru CVA

Trauma Ekstraksi Gigi

37
Krisis tiroid ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan tidak ada kriteria laboratorium
yang spesifik untuk mendiagnosis krisis tiroid. Kriteria diagnostik untuk krisis tiroid dibuat
oleh Burch-Wartofsky untuk membedakan apakah tirotoksikosis, impending crisis tiroid atau
krisis tiroid3. Kecurigaan krisis tiroid apabila terdapat trias: menghebatnya tanda
tirotoksikosis, kesadaran menurun dan hipertermia1.
Tabel 7 Kriteria Diagnostik untuk Krisis Tiroid3,5
1. Thermoregulatory Dysfunction 2. Cardiovascular Dysfunction
Temperature a. Tachycardia

37,2-37,7oC 5 99-109 5
37,8-38,3oC 10 110-119 10
38,4-38,8oC 15 120-129 15
38,9-39,4oC 20 130-139 20
39,5-39,9oC 25 ≥140 25
≥ 40oC 30
b. Congestive Heart failure
Absent 0
Mild 5
( Pedal edema )
Moderate ( bibasiler rales ) 10
Severe ( pulmonary edema ) 15
c. Atrial Fibrilasi
AF present 10
Absent 0

3. Central Nervouse System Effects 4. Gastrointestinal Hepatic Dysfunction

38
Absent 0 Absent 0
Mild Moderate 10
 Agitation 10  Diarrhea
Moderate  Nausea/Vomiting
 Delirium  Abdominal pain
 Psychosis 20 Severe 20
 Extreme lethargy  Unexplained Jaundice
Severe Negatif 0
 Seizure Positif 10
 Coma

30

Apabila setelah dijumlah didapatkan skor :


≥ 45 : sangat mungkin krisis tiroid
25-44: sangat mungkin impending krisis tiroid
≤25 : tidak ada krisis tiroid
Diagnosis krisis tiroid dapat ditunjang dengan hasil pemeriksaan fungsi tiroid yaitu
kadar TSH (Thyrois Stimulating Hormone) tidak terdeteksi (<0,001 mU/L) dan peningkatan
kadar T3 lebih menonjol daripada T4 karena terjadi bersamaan dengan peningkatan konversi
hormon tiroid perifer T4 ke T33,7,8.
Pengobatan harus segera diberikan dan harus diberikan dengan kontrol yang baik
setiap harinya. Pengelolaan krisis tiroid ditujukan untuk menurunkan sintesis dan sekresi
hormon tiroid, menurunkan pengaruh perifer hormon tiroid dengan menghambat T4 menajdi
T3, terapi mencegah dekompensasi sistemik, terapi penyakit pemicu dan terapi suportif7,8.

Terapi Suportif
 Pasang naso gastrik tube diperlukan untuk pemberian oral
 Keseimbangan cairan dan infus glukosa untuk nutrisi
 Oksigen
 Status Kardiorespirasi
 Kompres dingin
 Acetaminophen (hindari penggunaan aspirin karena dapat melepas T4 dari TBG
(Thyroid Binding Globulin) sebagai akibat serum FT4 meningkat. Chlorpromazine

39
50-100 mg IM dapat digunakan untuk mengatasi agitasi dan dapat menghambat
termoregulasi sentral maka dapat digunakan untuk pengobatan hiperpireksia.
 Phenobarbital, dapat digunakan sebagai sedatif
 Multivitamin
Terapi Khusus
 Terapi awal PTU 400 mg PO dengan dosis rumatan 100-200 mg setiap 4 jam atau
dengan menggunakan methimazole dengan dosis awal 40 mg PO dilanjutkan dengan
10 mg setiap 4 jam. PTU merupakan tionamid pilihan pertama, karena dapat pula
menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. Namun sayangnya obat ini tidak
tersedia dalam bentuk injeksi sehingga harus diberikan melalui pipa nasogastrik7,8.
 Solutio lugol 6 tetes setiap 6 jam harus diberikan 1 jam setelah pemberian PTU
 Propanolol dengan dosis 10-40 mg PO setiap 6 jam atau 0,5-1 mg IV setiap 3 jam.
Propanolol sering digunakan dengan tujuan menurunkan konversi T4 menjadi T3
dan menghambat pengaruh perifer hormon tiroid7,8.
 Hydrocortison hemisuccinate dosis 100-200 mg IV atau dexamethason 2 mg IV
setiap 8 jam.
 Terapi faktor pencetus (misalnya infeksi).

40
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Aru W. Sudowo et all, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI), Dalam : R.
Djokomoeljanto, Hipertiroidisme dan Tirotoksikosis Edisi 5 Jilid 3, Jakarta : Interna
Publishing; h2003-08
2. Guyton,ArthurC.Hall,JohnE.2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.Jakarta:
EGC
3. Bursch HB, Wartofsky L.1993.Life-threatening thyrotoxicosis: Thyroid storm.
Endocrinol Metab Clin North Amer 22,63.
4. Tjokroprawiro, A.2002.Practical Guidlines with formula 41668 for the treatment of
thyroid crisis. Clinical Experiences:Morning report Dept.of Internal Medicine,
Airlangga University of Medicine, Surabaya.
5. Tjokroprawiro.2005.Thyrois Storm: A Life Threatening Thyrotoxicosis
(Theraupetic Guidelines with formula TS 41668 24-6).Presented at Workshop and
Hands on Experiences V Thyroid Surgery. School of Head and Neck Surgery for
general Surgeon. Surabaya 22-24 August.
6. Djokomoeljanto R. Pengelolaan Hipotiroidisme dan hipertiroidisme secara umum.
Naskah lengkap Endokrinologi Klinis IV.Eds Johan S.Masjhur dan Sri Hartini KS
Kariadi. Perkeni Bandung 2002 hlm RI.
7. Jameson L,Weetman A.Disorders of the Thyroid gland. In:Braunwald E, Fancy AS
Kasper DL,eds.Harrison’s Principles of internal medicine.15th ed.New York: Mc
Graw hill; 2001.p.2060-84.
8. Debaveye Y, Ellger B,Berghe GVN. Acute endocrine disorder. In RK Albert etal
(eds) Clinical Critical Care medicine. Mosby Inc Philadelphia,PA. 2006.p.497-06.
9. Aru W. Sudowo et all, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI), Dalam : R.
Djokomoeljanto, Hipertiroidisme dan Tirotoksikosis Edisi 5 Jilid 2, Jakarta : Interna
Publishing 2011; h2003-08
10. Aru W. Sudowo et all, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI), Dalam : R.
Djokomoeljanto, Hipertiroidisme dan Tirotoksikosis Edisi 6 Jilid 2, Jakarta : Interna
Publishing 2014; h2455-63
11. Robbin S, Cotran R, Kumar V. 2004 Buku ajar patologi robbins ed.7. Vol.2.
Jakarta:EGC. Hal 811-12

41

Anda mungkin juga menyukai