Anda di halaman 1dari 36

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Letak Geografis

Puskesmas Bandar Khalipah terletak di Jalan Bustaman/Jalan Puskesmas

Pasar X desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli

Serdang.

Luas Wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalipah yaitu 46,23 km2,

memiliki batas:

1) Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

2) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Batang Kuis dan Kecamatan

Pantai Labu

3) Sebelah Barat berbatasan dengan Labuhan Deli dan Kota Medan

4) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Medan

4.1.2 Keadaan Geografi

Keadaan geografi di Wilayah Kerja Puskesmas Banda Khalipah adalah

daerah pedesaan. Sarana perhubungan berupa jalan yang sudah sebagian besar di

aspal dan dapat di lalui oleh kendaraan roda dua dan roda empat.

48
49

Tabel 4.1
Data Geografi Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan
Percut Sei Tuan Tahun 2016

Jarak ke
Luas Kepadatan
Jumlah Kec. Percut
No. Desa Wilayah Penduduk
Dusun Sei Tuan
(km2) per km2
(km)
1. Bandar Khalipah 17 7,25 6030,34 1,50
2. Bandar Klippa 20 18,48 2137,01 0,50
3. Sambirejo Timur 11 4,16 6778,13 2,50
4. Sei Rotan 13 5,16 5591,28 3,00
5. Laut Dendang 9 1,70 10007,06 6,00
6. Kolam 13 5,98 2751,17 5,00
7. Bandar Setia 10 3,50 6661,14 4,00
93 46,23 4,261
Dikutip dari: Kantor Statistik Kabupaten Deli Serdang dan Kec. Percut Sei Tuan16

4.1.3 Keadaan Penduduk

Pada tahun 2015 penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah

berjumlah 197,002 jiwa dengan rincian jenis kelamin laki-laki sebesar 99,903 jiwa

dan perempuan sebesar 97,099 jiwa dengan luas wilayah sebesar 46,2/km2 maka

rata-rata kepadatan penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah

adalah 4,261 jiwa/km2.

4.1.4 10 (Sepuluh) Penyakit Terbesar Puskesmas Bandar Khalipah

Berdasarkan laporan data Puskesmas Bandar Khalipah pada tahun 2015

diketahui bahwa dari 10 penyakit terbesar di Puskesmas ini, penyakit TB paru

berada pada urutan keempat terbesar setelah penyakit ISPA, Penyakit Tekanan

Darah Tinggi dan Diare. Jumlah penduduk yang mengalami TB Paru pada tahun

2015 terdapat sebanyak 1.356 jiwa dari jumlah keseluruhan yang mengalami 10

penyakit terbesar atau sebanyak 12.089 jiwa. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.2.
50

Tabel 4.2
Data 10 Penyakit Terbesar Di Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan
Percut Sei Tuan Tahun 2015

No Nama penyakit Jumlah


1. Infeksi akut pada saluran pernafasan atas 3.949
2. Penyakit tekanan darah tinggi 1.605
3. Diare 1.404
4. TB Paru 1.356
5. Gastritis 1.168
6. Penyakit dan kelainan susunan syaraf 1.140
7. Penyakit pulpa dan jaringan perpikal 391
8. Penyakit pada Sistem Otot dan Jar. Pengikat 384
9. Infeksi penyakit kulit 350
10. Asma 342
Jumlah 12.089
Dikutip dari: Puskesmas Bandar Khalipah Kec. Percut Sei Tuan16

4.2 Analisis Univariat

4.2.1 Deskripsi Karakteristik Responden

Analisis yang digunakan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel

bebas dan variabel terikat yang diteliti serta membuat data frekuensi dalam bentuk

persentase dimana responden dalam penelitian ini adalah 86 orang di Wilayah

Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Sei Tuan.

Berdasarkan hasil penelitian dengan jumlah responden 86 kelompok kasus

dan kontrol diketahui bahwa tingkat pendidikan yang terbanyak pada kelompok

kasus adalah Pendidikan Dasar sebanyak 30 orang (69,8%) demikian juga pada

kelompok kontrol pendidikan terbanyak adalah pendidikan Dasar berjumlah

sebanyak 27 orang (62,7%). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.3.
51

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan di Wilayah Kerja
Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Sei Tuan Tahun 2016

Status Responden
No. Pendidikan Kasus Kontrol
F % F %
1. Dasar 30 69,8 27 62,7
2. Menengah 10 23,2 14 32,6
3. Tengah 3 7,0 2 4,7
Jumlah 43 100 43 100

Berdasarkan hasil penelitian dengan jumlah responden sebanyak 86 orang

diketahui pekerjaan yang terbanyak pada kelompok kasus adalah ibu bekerja

sebanyak 22 orang (51,2%) demikian juga pada kelompok kontrol pekerjaan

terbanyak adalah ibu rumah tangga sebanyak 22 orang (51,2%). Hal ini dapat di

lihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Wilayah Kerja
Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Sei Tuan Tahun 2016

Status Responden
No. Pekerjaan Kasus Kontrol
F % F %
1. Tidak Bekerja 21 48,8 21 48,8
2. Bekerja 22 51,2 22 51,2
Jumlah 43 100 43 100

4.2.2 Faktor-Faktor Risiko dengan Kejadian TB Paru pada WUS

1) Kondisi Ekonomi

Berdasarkan hasil penelitian dengan jumlah responden sebanyak 86 orang

pada kelompok kasus dan kelompok kontrol yang diperoleh dari kuesioner kondisi

ekonomi berdasarkan pengahasilan keluarga setiap satu bulan mayoritas

responden pada kelompok kasus berpenghasilan Rp 2.000.000/bulan sebanyak 15


52

orang (34,9%). Sedangkan pada kelompok kontrol mayoritas responden

berpenghasilan Rp 2.500.000/bulan sebanyak 15 orang (34,9%). Hal ini dapat di

lihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Berdasarkan Item Pertanyaan
Kondisi Ekonomi di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan
Percut Sei Tuan Tahun 2016

Status Responden
Penghasilan
No. Kasus Kontrol
Responden
F % F %
1. Rp 1.000.000 2 4,7 3 7,0
2. Rp 1.500.000 6 14,0 9 20,9
3. Rp 1.700.000 1 2,3 0 0,0
4. Rp 2.000.000 15 34,9 7 16,3
5. Rp 2.300.000 0 0,0 2 4,7
6. Rp 2.500.000 10 23,3 15 34,9
7. Rp 2.800.000 1 2,3 1 2,3
8. Rp 3.000.000 6 14,0 3 7,0
9. Rp 3.500.000 2 4,7 3 7,0
Jumlah 43 100 43 100

Berdasarkan hasil penelitian dengan jumlah responden sebanyak 86

diketahui pada kelompok kasus yang berisiko sebanyak 30 orang (69,8%),

sedangkan kelompok kontrol yang berisiko sebanyak 19 orang (44,2%).

Kelompok kasus yang tidak berisiko sebanyak 13 orang (30,2%), sedangkan pada

kelompok kontrol yang tidak berisiko sebanyak 24 orang (55,8%). Hal ini dapat

dilihat pada Tabel 4.6.


53

Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kondisi Ekonomi di Wilayah Kerja
Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2016

Status Responden
No. Kondisi Sosial Ekonomi Kasus Kontrol
F % F %
1. Berisiko 30 69,8 19 44,2
2. Tidak Berisiko 13 30,2 24 55,8
Jumlah 43 100 43 100

2) Status Gizi

Berdasarkan hasil penelitian jumlah responden sebanyak 86 orang

diketahui dari 43 responden sebagai kelompok kasus terdapat sebanyak 30 orang

(69,8%) lebih berisiko terjadi TB paru dan sebanyak 13 orang (30,2%) tidak

berisiko terjadi TB Paru. Sedangkan pada kelompok kontrol diketahui sebanyak

16 orang (37,2%) berisiko terjadi TB Paru dan sebanyak 27 orang (62,8%) tidak

berisiko terjadi TB Paru. Hal ini dapat di lihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Gizi di Wilayah Kerja Puskesmas
Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2016

Status Responden
No. Status Gizi Kasus Kontrol
F % F %
1. Berisiko 30 69,8 16 37,2
2. Tidak Berisiko 13 30,2 27 62,8
Jumlah 43 100 43 100

3) Kebiasaan Merokok

Berdasarkan hasil penelitian jumlah responden sebanyak 86 orang pada

kelompok kasus dan kelompok kontrol yang diperoleh dari kuesioner kebiasaan

merokok. Kelompok kasus yang merokok ada 27 orang (62,8%), sedangkan pada
54

kelompok kontrol yang tidak merokok sebanyak sebanyak 22 orang (51,2%).

Kelompok kasus menghabiskan >10 batang rokok dalam sehari sebanyak 24

orang (55,8%), sedangkan pada kelompok kontrol yang menghabiskan rokok >10

batang dalam sehari sebanyak 16 orang (37,2%). Kelompok kasus yang terpapar

asap rokok dalam sehari sebanyak 22 orang (51,2%), sedangkan pada kelompok

kontrol yang terpapar asap rokok setiap hari sebanyak 20 orang (46,5%).

Kelompok kasus yang merokok >5 tahun sebanyak 24 orang (55,8%) dan pada

kelompok kontrol yang merokok >5 tahun sebanyak 19 orang (44,2%). Hal ini

dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8
Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Berdasarkan Item Pernyataan
Kebiasaan Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah
Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2016

Kasus Kontrol
Pernyataan Kebiasaan
No Ya Tidak Ya Tidak
Merokok
F % F % F % F %
1. Apakah Ibu Merokok? 27 62,8 16 37,2 21 48,8 22 51,2
2. Apakah Ibu menghabiskan >10 24 55,8 19 44,2 16 37,2 27 62,8
batang rokok dalam sehari?
3. Apakah Ibu terpapar asap 22 51,2 21 48,8 20 46,5 23 53,5
rokok setiap hari?
4. Apakah Ibu merokok >5 24 55,8 19 44,2 19 44,2 24 55,8
tahun?

Berdasarkan hasil penelitian jumlah responden sebanyak 86 orang

diketahui dari 43 responden dengan kebiasaan merokok sebagai kelompok kasus

terdapat sebanyak 19 orang (44,2%) lebih berisiko terjadi TB paru dan sebanyak

24 orang (55,8%) tidak beriko terjadi TB Paru. Sedangkan pada kelompok kontrol

diketahui sebanyak 7 orang (16,3%) berisiko terjadi TB Paru dan sebanyak 36

orang (83,7%) tidak berisiko terjadi TB Paru. Hal ini dapat di lihat pada Tabel 4.9.
55

Tabel 4.9
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kebiasaan Merokok di Wilayah Kerja
Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2016

Status Responden
No. Kebiasaan Merokok Kasus Kontrol
F % F %
1. Berisiko 19 44,2 7 16,3
2. Tidak Berisiko 24 55,8 36 83,7
Jumlah 43 100 43 100

4) Kontak Langsung dengan Penderita TB Paru

Berdasarkan hasil penelitian jumlah responden sebanyak 86 orang pada

kelompok kasus dan kelompok kontrol yang diperoleh dari kuesioner kontak

langsung dengan penderita TB Paru. Kelompok kasus mayoritas menjawab ya

tentang pertanyaan apakah setelah menggunakan sapu tangan sebagai penutup

mulut ketika batuk, ibu selalu mencuci dan merendam dengan larutan deterjen

sebanyak 32 orang (74,4%), sedangkan pada kelompok kontrol mayoritas

responden menjawab ya terdapat pada soal apakah ibu pernah meludah sembarang

tempat sebanyak 24 orang (55,8%). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10
Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Berdasarkan Item Pernyataan
Kontak Langsung dengan Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2016

Kasus Kontrol
Pernyataan Kontak
No Ya Tidak Ya Tidak
Langsung
F % F % F % F %
1. Apakah di rumah ibu ada yang 25 58,1 18 41,9 19 44,2 24 55,8
menderita TB paru?
2. Apakah saudari pernah makan 27 62,8 16 37,2 21 48,8 22 51,2
bersama dengan penderita TB
(keluarga) menggunakan
56

Tabel 4.10 (Lanjutan)

Kasus Kontrol
Pernyataan Kontak
No Ya Tidak Ya Tidak
Langsung
F % F % F % F %
piring yang sama?
3. Apakah ibu pernah meludah 23 53,5 20 46,5 24 55,8 19 44,2
sembarang tempat
4. Apabila ada yang batuk atau 26 60,5 17 39,5 17 39,5 26 60,5
bersin, apakah ibu menutup
mulut untuk mencegah agar
tidak terjadi penyebaran
kuman TB?
5. Apakah penderita TB paru 25 58,1 18 41,9 21 48,8 22 51,2
positif tidak perlu mempunyai
alat makan tersendiri?
6. Apakah penderita TB paru 26 60,5 17 39,5 20 46,5 23 53,5
positif tidak menularkan
penyakit TB paru kepada
orang lain?
7. Apakah ibu menutup mulut 27 62,8 16 37,2 22 51,2 21 48,8
ketika batuk?
8. Apakah setelah menggunakan 32 74,4 11 25,6 16 37,2 27 62,8
sapu tangan sebagai penutup
mulut ketika batuk, ibu selalu
mencuci dan merendam
dengan larutan deterjen?

Berdasarkan hasil penelitian jumlah responden sebanyak 86 orang

diketahui dari 43 responden tentang kontak langsung penderita TB Paru sebagai

kelompok kasus terdapat sebanyak 23 orang (53,5%) lebih berisiko terjadi TB

paru dan sebanyak 20 orang (46,5%) tidak beriko terjadi TB Paru. Sedangkan

pada kelompok kontrol diketahui sebanyak 11 orang (25,6%) berisiko terjadi TB


57

Paru dan sebanyak 32 orang (74,4%) tidak berisiko terjadi TB Paru. Hal ini dapat

di lihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kontak Langsung dengan Penderita TB
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei
Tuan Tahun 2016

Status Responden
Kontak Langsung dengan
No. Kasus Kontrol
Penderita TB Paru
F % F %
1. Berisiko 23 53,5 11 25,6
2. Tidak Berisiko 20 46,5 32 74,4
Jumlah 43 100 43 100

Berdasarkan hasil penelitian jumlah responden sebanyak 86 orang

diketahui kelompok kasus terdapat sebanyak 43 orang (50,0%) dan pada

kelompok kontrol diketahui sebanyak 43 orang (50,0%). Hal ini dapat di lihat

pada Tabel 4.12.

Tabel 4.12
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kejadian TB Paru pada WUS di Wilayah
Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2016

Jumlah
No. Kejadian TB Paru pada WUS
F %
1. Kasus 43 50,0
2. Kontrol 43 50,0
Jumlah 86 100

4.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara masing-

masing variabel bebas atau variabel independen yaitu faktor-faktor (kondisi sosial

ekonomi, status gizi, kebiasaan merokok dan kontak langsung dengan penderita
58

TB Paru) dengan variabel terikat atau variabel dependen yaitu kejadian TB Paru

pada WUS melalui crosstab atau tabulasi silang. Uji statistik yang dilakukan pada

analisis bivariat ini adalah menggunakan uji chi square dengan derajat

kepercayaan 95% (α= 0,05). Dikatakan ada hubungan yang bermakna secara

statistik jika diperoleh nilai p<0,05.

4.3.1 Hubungan Kondisi Ekonomi dengan Kejadian TB Paru pada WUS

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan kondisi ekonomi dengan

kejadian TB Paru pada WUS di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah

Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2016 didapatkan hasil sebanyak 49 orang

(57,0%) berisiko terjadi TB Paru dimana 30 orang (69,8%) merupakan kelompok

kasus dan 19 orang (44,2%) merupakan kelompok kontrol. Sebanyak 37 orang

(43,0%) berisiko terjadi TB Paru dimana 13 orang (30,2%) merupakan kelompok

kasus dan 24 orang (55,8%) merupakan kelompok kontrol. Hasil uji statistik chi

square pada variabel kondisi sosial ekonomi dengan nilai p=0,017 < 0,05 yang

artinya ada hubungan kondisi sosial ekonomi dengan Kejadian TB Paru pada

WUS dengan OR= 29,15 (95% CI= 12,01-70,73). Hal ini menunjukkan bahwa

responden dengan kondisi ekonomi <Rp 2.015.000 lebih berisiko 29 kali terjadi

TB Paru pada WUS. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.13.
59

Tabel 4.13
Hubungan antara Kondisi Ekonomi dengan Kejadian TB Paru pada WUS di
Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan
Tahun 2016

Kejadian TB Paru Total p OR (95%


Kondisi
No. Kasus Kontrol value CI)
Ekonomi
F % f % F %
1. Berisiko 30 69,8 19 44,2 49 57,0 0,017 29,15
2. Tidak Berisiko 13 30,2 24 55,8 37 43,0 (12,01-70,73)
Total 43 100 43 100 86 100

4.3.2 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian TB Paru pada WUS

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan status gizi dengan kejadian

TB Paru pada WUS di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan

Percut Sei Tuan Tahun 2016 didapatkan hasil sebanyak 46 orang (53,3%) berisiko

terjadi TB Paru dimana 30 orang (69,8%) merupakan kelompok kasus dan 16

orang (37,2%) merupakan kelompok kontrol. Sebanyak 40 orang (46,5%) berisiko

terjadi TB Paru dimana 13 orang (30,2%) merupakan kelompok kasus dan 27

orang (62,8%) merupakan kelompok kontrol. Hasil uji statistik chi square pada

variabel status gizi dengan nilai p=0,002 < 0,05 yang artinya ada hubungan status

gizi dengan Kejadian TB Paru pada WUS dengan OR= 38,94 (95% CI= 15,87-

95,57). Hal ini menunjukkan bahwa responden dengan status gizi (kurus) lebih

berisiko 38 kali terjadi TB Paru pada WUS. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.14.
60

Tabel 4.14
Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian TB Paru pada WUS di
Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan
Tahun 2016

Kejadian TB Paru Total p OR (95%


No. Status Gizi Kasus Kontrol value CI)
f % f % F %
1. Berisiko 30 69,8 16 37,2 46 53,5 0,002 38,94
2. Tidak Berisiko 13 30,2 27 62,8 40 46,5 (15,87-95,57)
Total 43 100 43 100 86 100

4.3.3 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian TB Paru pada WUS

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan kebiasaan merokok dengan

kejadian TB Paru pada WUS di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah

Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2016 didapatkan hasil sebanyak 28 orang

(32,6%) berisiko terjadi TB Paru dimana 21 orang (48,8%) merupakan kelompok

kasus dan 7 orang (16,3%) merupakan kelompok kontrol. Sebanyak 58 orang

(67,4%) berisiko terjadi TB Paru dimana 22 orang (51,2%) merupakan kelompok

kasus dan 36 orang (83,7%) merupakan kelompok kontrol. Hasil uji statistik chi

square pada variabel kebiasaan merokok dengan nilai p=0,001 < 0,05 yang

artinya ada hubungan kebiasaan merokok dengan Kejadian TB Paru pada WUS

dengan OR= 49,09 (95% CI= 17,94-13,431). Hal ini menunjukkan bahwa

responden dengan kebiasaan merokok lebih berisiko 49 kali terjadi TB Paru pada

WUS. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.15.


61

Tabel 4.15
Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan Kejadian TB Paru pada WUS
di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan
Tahun 2016

Kejadian TB Paru Total p OR (95%


Kebiasaan
No. Kasus Kontrol value CI)
Merokok
F % f % F %
1. Berisiko 21 48,8 7 16,3 28 32,6 0,001 49,09
2. Tidak Berisiko 22 51,2 36 83,7 58 67,4 (17,94-
13,431)
Total 43 100 43 100 86 100

4.3.4 Hubungan Kontak Penderita dengan Kejadian TB Paru pada WUS

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan kontak penderi TB paru

dengan kejadian TB Paru pada WUS di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar

Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2016 didapatkan hasil sebanyak 35

orang (40,7%) berisiko terjadi TB Paru dimana 24 orang (55,8%) merupakan

kelompok kasus dan 11 orang (25,6%) merupakan kelompok kontrol. Sebanyak

51 orang (59,3%) tidak berisiko terjadi TB Paru dimana 19 orang (44,2%)

merupakan kelompok kasus dan 32 orang (74,4%) merupakan kelompok kontrol.

Hasil uji statistik chi square pada variabel kontak penderita dengan nilai p=0,004

< 0,05 yang artinya ada hubungan kontak penderita dengan Kejadian TB Paru

pada WUS dengan OR= 36,75 (95% CI= 14,76-91,46). Hal ini menunjukkan

bahwa responden dengan kontak penderita langsung lebih berisiko 36 kali terjadi

TB Paru pada WUS. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.16.
62

Tabel 4.16
Hubungan antara Kontak Penderita dengan Kejadian TB Paru pada WUS di
Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan
Tahun 2016

Kejadian TB Paru Total p OR (95%


Kontak
No. Kasus Kontrol value CI)
Penderita
F % f % F %
1 Berisiko 24 55,8 11 25,6 35 40,7 0,004 36,75
2 Tidak Berisiko 19 44,2 32 74,4 51 59,3 (14,76-91,46)
Total 43 100 43 100 86 100

4.4 Analisis Multivariat

Untuk mengetahui variabel independen mana yang paling berpengaruh

terhadap Kejadian TB Paru pada WUS di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar

Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2016 maka dilakukan analisis

multivariat dengan menggunakan uji logistic binary. Berdasarkan hasil analisis

bivariat diketahui bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian TB

Paru pada WUS adalah kondisi ekonomi, status gizi, kebiasaan merokok dan

adanya kontak dengan penderita TB Paru sehingga untuk melakukan analisis

multivariat dengan logistik regresiion semua variabel (kondisi ekonomi, status

gizi, kebiasaan merokok dan adanya kontak dengan penderita TB Paru)

diikutsertakan dalam pengujian hipotesis.

4.4.1 Classification Result

Berdasarkan tabel Classification Table jumlah sampel dengan kejadian TB

Paru pada WUS kasus 37 + 6= 43 orang. Yang benar-benar berisiko terjadi TB

Paru sebanyak 37 orang dan yang seharusnya dalam keadaan kontrol tetapi

berisiko terjadi TB Paru sebanyak 6 orang. Jumlah sampel kejadian TB Paru pada
63

WUS kontrol 16 + 27= 43 orang. Yang benar-benar berisiko terjadi TB Paru

sebanyak 16 orang dan yang seharusnya dalam keadaan kontrol namun tidak

berisiko sebanyak 27 orang.

Hal ini memberikan nilai overall percentage sebesar (27 + 37)/86= 74,4%

yang berarti ketepatan variabel penelitian ini adalah sebesar 74,4%. Hal ini dapat

di lihat pada Tabel 4.17.

Tabel 4.17
Classification Result

Predicted
Percentage
Observed Kejadian TB Paru
Correct
Kasus Kontrol
Step 1 Kejadian Kasus 86,0
37 6
TB Paru
Kontrol 16 27 62,8
Overall Percentage 74,4

4.4.2 Variabel In The Equation (Pendugaan Parameter)

Berdasarkan tabel Variabel in the equation di atas: terdapat variabel

kondisi sosial ekonomi (X1), variabel status gizi (X2), variabel kebiasaan

merokok (X3) dan variabel kontak langsung dengan penderita TB paru (X4)

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kejadian TB Paru pada WUS.

Kondisi sosial ekonomi (X1) mempunyai nilai signifikan 0,023 < 0,05; Status gizi

(X2) mempunyai nilai signifikan 0,003 < 0,05; Kebiasaan merokok (X3)

mempunyai nilai signifikan 0,004 < 0,05; Kontak langsung dengan penderita TB

paru (X4) mempunyai nilai signifikan 0,003 < 0,05 sehingga Ho ditolak atau yang

berarti bahwa variabel kondisi sosial ekonomi, status gizi, kebiasaan merokok dan
64

kontak dengan penderita TB paru memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

Kejadian TB Paru pada WUS.

Faktor yang paling dominan memengaruhi kejadian TB Paru pada WUS

adalah kontak dengan penderita TB paru dengan nilai Exp (B) sebesar 5,707, ini

artinya kontak dengan penderita TB paru lebih berpengaruh terhadap kejadian TB

Paru pada WUS. Hal ini dapat di lihat pada Tabel 4.18.

Tabel 4.18
Variabel In The Equation (Pendugaan Parameter)

95,0% C.I.for
Exp
B S.E. Wald df Sig. EXP (B)
(B)
Lower Upper
Step K_Sosial 1,263 0,557 5,146 1 0,023 3,536 1,187 10,528
1 Ekonomi
S-Gizi 1,669 0,568 8,637 1 0,003 5,306 1,743 16,146
K_Merokok 1,711 0,601 8,109 1 0,004 5,537 1,705 17,983
Kontak 1,742 0,586 8,833 1 0,003 5,707 1,810 17,996
Penderita
Constant -9,908 2,206 20,175 1 0,000 0,000
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Faktor-Faktor Risiko Kejadian TB Paru pada WUS di Wilayah Kerja


Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2016

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada WUS

terdiri dari kondisi sosial ekonomi, status gizi, kebiasaan merokok dan kontak

dengan penderita TB Paru. Masing-masing variabel independen tersebut akan

dijabarkan di bawah ini:

5.1.1 Hubungan Kondisi Ekonomi dengan Kejadian TB Paru pada WUS

Hasil observasi yang di dapat pada perumahan penduduk bahwa

perumahan di daerah Percut Sei Tuan termasuk ke dalam kategori kurang sehat

atau kumuh sehingga berisiko untuk terkena TBC. Hasil uji statistik chi square

pada variabel kondisi sosial ekonomi menunjukkan bahwa nilai p=0,017 < 0,05

yang artinya ada hubungan kondisi l ekonomi dengan Kejadian TB Paru pada

WUS. Hal ini menunjukkan bahwa responden dengan kondisi sosial ekonomi

<Rp. 2.015.000 lebih berisiko 29 kali terjadi TB Paru pada WUS dibandingkan

dengan responden yang berpenghasilan ≥Rp.2.015.000/ bulan.

Perubahan pendapatan akan memengaruhi pengeluaran. Dengan demikian,

orang yang berpendapatan di bawah UMR dipandang sebagai ketidakmampuan

dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan

yang di ukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk dengan status ekonomi rendah

adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di

bawah UMR. Orang yang mempunyai ekonomi di bawah UMR, maka pemenuhan

65
66

gizi berkurang dan tidak terpenuhinya gizi makanan. Hal ini menyebabkan daya

tahan tubuh seseorang menjadi lemah, sehingga mudah terserang penyakit salah

satunya penyakit Tuberkulosis.

Hasil penelitian di lapangan diperoleh bahwa responden pada kelompok

kasus lebih banyak dengan penghasilan <Rp 2.015.000/bulan. Kelompok kasus

masih terdapat responden yang berpenghasilan Rp.1.000.000/bulan. Hasil

penelitian ini sesuai dengan teori yang ada. Terbuktinya variabel kondisi sosial

ekonomi dengan terjadinya TB paru dikarenakan pendapatan merupakan salah

satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai hasil

pembangunan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang ditemukan WHO bahwa

umumnya penyakit TB paru ditemukan pada masyarakat ekonomi lemah. Dengan

demikian tampaknya sekarang ini bukan hanya suami yang dituntut mencari

nafkah tetapi juga istri harus membantu sehingga tingkat pendapatan akan dicapai

lebih tinggi.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan pada

masyarakat di Puskesmas Purwodadi I bahwasannya bahwa ada hubungan antara

pendapatan dengan kesembuhan penderita TB paru di Puskesmas Purwodadi I

Kabupaten Grobogan.26

Masyarakat dengan penghasilan tinggi lebih mampu memanfaatkan

pelayanan kesehatan untuk melakukan pengobatan, sedangkan seseorang dengan

tingkat penghasilan lebih rendah kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang

ada, mungkin oleh karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau
67

untuk membeli yang lain. Rendahnya jumlah penghasilan keluarga juga memicu

peningkatan angka kurang gizi dikalangan masyarakat miskin yang akan

berdampak terhadap daya tahan tubuh dan dengan mudah timbul penyakit TB

Paru.

Masyarakat dengan penghasilan yang rendah sering mengalami kesulitan

mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, sehingga penyakit TB Paru menjadi

ancaman bagi mereka. Semakin tinggi penghasilan seseorang, maka semakin

mudah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan pemenuhan gizi

yang baik sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Dengan penghasilan

yang tinggi pula seseorang tidak akan berfikir dua kali untuk mengeluarkan

uangnya untuk melakukan pengobatan maupun pemeriksaan kesehatan.

Berbeda dengan seseorang dengan penghasilan yang rendah yang akan

menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-

hari, mereka akan berfikir dua kali untuk mengeluarkan uangnya demi

memeriksakan kesehatannya, sehingga kebanyakan dari orang yang

berpenghasilan rendah baru memeriksakan kondisinya apabila sakitnya sudah

semakin parah atau tidak bisa sembuh dengan hanya meminum obat yang dijual di

toko-toko maupun jamu tradisional.

Seseorang dengan tingkat penghasilan yang sedang seharusnya lebih

mudah memiliki akses ke pelayanan kesehatan. Hal ini dapat terjadi karena

sebagian besar responden tidak mengetahui tentang penyakit yang dideritanya

sehingga mereka terlambat untuk melakukan pengobatan sebelum penyakitnya

bertambah parah. Untuk Tingkat sosial ekonomi mungkin bukan merupakan


68

faktor utama yang menyebabkan tingginya angka kejadian TB Paru BTA positif di

wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan, karena

dari hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan setengah dari responden

memiliki tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan dalam kategori di atas

UMR yang mana dengan tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan yang

sedang seseorang seharusnya bisa lebih mudah memahami informasi dan lebih

mudah mendapatkan akses pelayanan kesehatan.

5.1.2 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian TB Paru pada WUS

Hasil penelitian tentang hubungan status gizi dengan kejadian TB Paru

pada WUS ada hubungan status gizi dengan Kejadian TB Paru pada WUS di

Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun

2016 dengan hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 46 orang (53,3%)

berisiko terjadi TB Paru dimana 30 orang (69,8%) merupakan kelompok kasus

dan 16 orang (37,2%) merupakan kelompok kontrol. Sebanyak 40 orang (46,5%)

berisiko terjadi TB Paru dimana 13 orang (30,2%) merupakan kelompok kasus

dan 27 orang (62,8%) merupakan kelompok kontrol dengan hasil uji statistik chi

square pada variabel status gizi dengan nilai p=0,002 < 0,05.

Salah satu faktor yang memengaruhi terjangkitnya penyakit tuberkulosis

paru adalah status gizi. Status gizi yang yang buruk akan meningkatkan risiko

penyakit tuberkulosis paru. Sebaliknya, tuberkulosis paru berkontribusi

menyebabkan status gizi buruk karena proses perjalanan penyakit yang

mempengaruhi daya tahan tubuh. Masalah gizi menjadi penting karena perbaikan

gizi merupakan salah satu upaya untuk memutus lingkaran penularan dan
69

pemberantasan tuberkulosis di Indonesia. Pasien TB paru seringkali mengalami

penurunan status gizi, bahkan dapat menjadi malnutrisi bila tidak diimbangi

dengan diet yang tepat.16

Penyakit TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh mikro

bakterium tuberkulosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini dapat

merupakan organisme patogen maupun saprofit. Sebagian besar kuman TBC

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Penyakit

tuberkulosis disebabkan oleh kuman/bakteri Mycobacterium tuberculosis. Kuman

ini pada umumnya menyerang paru-paru dan sebagian lagi dapat menyerang di

luar paru-paru, seperti kelenjar getah bening (kelenjar), kulit, usus/saluran

pencernaan, selaput otak, dan sebagianya.14

Tuberkulosis klinis disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Bentuk

yang tidak khas dari mikobakterium (misalnya Myco, kansasii,

mycointracellulare) juga dapat menyebabkan penyakit paru pada orang-orang

yang lemah atau kekebalannya tertekan. Insiden tuberkulosis aktif diantara pasien-

pasien yang sputumnya positif terhadap basil tahan asam, pada hapusan langsung

adalah sekitar 11%, dibandingkan dengan hanya 1,0% pada pasien yang hasil

spuntumnya positif. Mikrobakterium tuberkulosis adalah kuman berbentuk

batang, yang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan,

sehingga disebut pula basil tahan asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan

sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang

gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant atau tertidur

lama selama beberapa tahun.14


70

Beberapa faktor yang berhubungan dengan status gizi pada pasien TB paru

adalah tingkat kecukupan energi dan protein, perilaku pasien terhadap makanan

dan kesehatan, lama menderita TB paru, serta pendapatan perkapita pasien.

Infeksi TB mengakibatkan penurunan asupan dan malabsorpsi nutrien serta

perubahan metabolisme tubuh sehingga terjadi proses penurunan massa otot dan

lemak (wasting) sebagai manifestasi malnutrisi energi protein.16

Hubungan antara infeksi TB dengan status gizi sangat erat, terbukti pada

suatu penelitian yang menunjukkan bahwa infeksi TB menyebabkan peningkatan

penggunaan energi saat istirahat resting energy expenditure (REE). Peningkatan

ini mencapai 10-30% dari kebutuhan normal. Hal ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Suliyanti tentang gambaran status gizi dan tingkat konsumsi

energi protein pada pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Medan Johor pada

tahun 2013, yaitu sebanyak 51,7% pasien dengan status gizi normal. Penelitian

lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Yunasto di Surakarta

pada tahun 2014 yang menyatakan bahwa sebagian besar pasien memiliki status

gizi normal yaitu 21 orang (46,7%).

Dukungan nutrisi adalah bagian dari terapi untuk kesembuhan pasien.

Metabolisme tubuh yang berjalan terus menerus tanpa diimbangi dengan asupan

nutrisi yang cukup dapat mengakibatkan pemecahan protein menjadi glukosa

(glukoneogenesis) untuk pemenuhan kebutuhan akan glukosa (energi). Lebih jauh

lagi akan terjadi defisit protein, sehingga pembentukan enzim, albumin dan

immunoglobulin akan terganggu. Daya tahan tubuh akan menurun, sistem respon
71

imun humoral (immunoglobulin) dan selularnya berespon lambat terhadap antigen

yang masuk, sehingga pasien beresikoterkena penyakit.16

Pemecahan protein yang berlebihan juga berakibat terjadinya penurunan

cadangan protein yang jelas terlihat di otot, pasien akan terlihat kurus kering atau

kakeksia. Respons terhadap terapi juga menurun sehingga masa penyembuhannya

akan lebih lama. Pada pasien tuberkulosis paru terjadi gangguan asupan dan

kelainan metabolisme berupa peningkatan proteolisis dan lipolisis. Sehingga

mengganggu sintesis protein dan lemak endogen yang menyebakan resting energy

expenditure (REE) meningkat. Keadaan ini disebut sebagai blokade formasi

energi (anabolicblock) dan berhubungan dengan proses wasting sehingga terjadi

malnutrisi.16

Dalam penelitian ini kemungkinan status gizi yang berisiko karena

sebagian besar pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Bandar Khalipah

Kecamatan Percut Sei Tuan dengan pendapatan kurang dari UMR dan masih

banyak yang belum terdaftar di Puskesmas Bandar Khalipah sehingga tidak

mendapatkan OAT. Status nutrisi pasien tuberkulosis biasanya membaik seiring

dengan pemberian OAT. Proses ini meningkatkan sintesis asam lemak dan

menurunkan proses lipolisis lemak di jaringan sehingga terjadi peningkatan massa

lemak dan meningkatkan indeks massa tubuh.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dodor di Ghana

pada 570 pasien tuberkulosis paru dewasa menunjukkan rata-rata indeks massa

tubuh pasien pada saat awal diagnosis adalah 18,7 kg/m2 dan setelah menjalani

pengobatan intensif selama dua bulan rata-rata indeks massa tubuh pasien
72

meningkat menjadi 19,5 kg/m2. Dimana pada akhir fase intensif pengobatan 60%

dari pasien memiliki status gizi normal.

5.1.3 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian TB Paru pada WUS

Hasil uji statistik chi square pada variabel kebiasaan merokok dengan nilai

p=0,001 < 0,05 yang artinya ada hubungan kebiasaan merokok dengan Kejadian

TB Paru pada WUS. Hal ini menunjukkan bahwa responden dengan kebiasaan

merokok lebih berisiko 49 kali terjadi TB Paru pada WUS.

Hal ini dapat terjadi karena jumlah responden yang merokok lebih banyak

dibandingkan dengan responden yang tidak merokok. Hal ini disebabkan

responden yang telah diteliti pernah merokok dan setelah terkena tuberkulosis

responden tersebut berhenti dan tidak merokok kembali, akan tetapi masih ada

yang masih aktif merokok dan ada juga yang sering terpapar oleh asaap rokok.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sarwani dan

Nurlaela (2012), bahwa kebiasaan merokok berhubungan dengan kejadian TB

paru (p=0,022). Data menyebutkan dari 34 kasus ada 17 orang diantaranya

memiliki kebiasaan merokok, gambaran perilaku merokok pada kelompok kasus

menunjukkan semuanya merokok lebih dari 10 batang per hari, bahkan ada

hampir 40% yang merokok lebih dari 20 batang per hari. Orang yang merokok

akan lebih berisiko terkena tuberkulosis disebabkan karena merokok dapat

menggangu efektifitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi. Merokok dalam

rumah merupakan faktor risiko untuk terkena kejadian TB paru BTA positif,

polusi udara dalam ruangan dari asap rokok dapat meningkatkan risiko terinfeksi

kuman M. tuberculosis.
73

Setiap puntung rokok menyebabkan poembuluh darah mengerut yang

berakibat memperburuk kondisi pembuluh darah. Hasil penelitian ini di lapangan

diperoleh bahwa responden pada kelompok kasus banyak yang dengan alasan

ikut-ikutan teman, coba-coba sampai ketagihan rokok dan menurut mereka

merokok dapat mengurangi pusing dan stres.10

Kandungan tar di dalam rokok adalah mengandung ratusan zat kimiawi

yang kebanyakan bersifar karsinogenik. Nikotin merangsang pelepasan

catecholamin yang dapat meningkatkan denyut jantung. Rokok merusak

mekanisme pertahanan paru-paru. Bulu getar dan alat lain dalam paru-paru yang

berfungsi menahan infeksi rusak akibat asap rokok10.

TB pada perokok lebih menular daripada penderita TB yang tidak

merokok, kebiasaan merokok juga merupakan faktor dalam progresivitas

tuberkulosis paru dan terjadinya fibrosis. Secara umum, perokok ternyata lebih

sering mendapat TB dan kebiasaan merokok memegang peran penting sebagai

faktor penyebab kematian pada TB. Kebiasaan merokok membuat seseorang jadi

lebih mudah terinfeksi tuberkulosis, dan angka kematian akibat TB akan lebih

tinggi pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Di India tuberkulosis

adalah salah satu penyebab utama kematian para perokok. Sekitar 20 persen

kematian akibat tuberkulosis di India berhubungan dengan kebiasaan merokok

mereka. Kita belum punya angka serupa untuk Indonesia, tetapi diperkirakan

masalahnya tentu juga akan besar pula.10

Kebiasaan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang

disebut muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak
74

mudah "membuang" infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan alat lain di

paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok meningkatkan tahanan jalan

napas (airway resistance) dan menyebabkan "mudah bocornya" pembuluh darah

di paru, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat me-"makan"

bakteri pengganggu. Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan respons

terhadap antigen sehingga kalau ada benda asing masuk ke paru tidak lekas

dikenali dan dilawan. Secara biokimia asap rokok juga meningkatkan sintesa

elastase dan menurunkan produksi antiprotease sehingga merugikan tubuh kita.

Menurut asumsi peneliti, responden yang akan menerima efek negatif dari

rokok tersebut bukan hanya perokok aktif saja, walau demikianlah perokok pasif

juga akan terima dikarenakan faktor negatif dari rokok itu. Dan justru efek yang

diterima oleh perokok pasif akan makin lebih beresiko lagi dari pada perokok

aktifnya. Mungkin ada sebagian dari anda yang terus bingung dengan makna

perokok pasif. Jadi perokok pasif yaitu seseorang yang sebenarnya bukan hanya

seorang perokok, walau demikian menghirup asap rokok yang dikeluarkan oleh

sebagian perokok aktif. Kenapa lebih bahaya dibanding perokok aktif, karena asap

yg di hirup oleh perokok pasif akan lekas masuk ke paru–paru melalui hidung.

5.1.4 Hubungan Adanya Kontak dengan Kejadian TB Paru pada WUS

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan kontak penderi TB Paru

dengan kejadian TB Paru pada WUS didapatkan hasil sebanyak 35 orang (40,7%)

berisiko terjadi TB Paru dan sebanyak 51 orang (59,3%) tidak berisiko terjadi TB

Paru.
75

Hasil uji statistik chi square pada variabel kontak penderita dengan nilai

p=0,004 < 0,05 yang artinya ada hubungan kontak penderita dengan Kejadian TB

Paru pada WUS. Penelitian ini menemukan faktor yang paling dominan

memengaruhi kejadian TB Paru pada WUS adalah kontak dengan penderita TB

paru dengan nilai Exp (B) sebesar 5,707, ini artinya kontak dengan penderita TB

paru lebih berpengaruh terhadap kejadian TB Paru pada WUS.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Demsa Simbolon, bahwa orang

yang kontak serumah dengan penderita TB paru berisiko 3,897 kali untuk terjadi

TB paru dibandingkan dengan orang yang kontak di luar rumah. Penelitian

lainnya oleh Anwar Musadad, menunjukkan bahwa angka penularan TB di rumah

tangga sebesar 13%. Risiko penularan bertambah jika terdapat penderita TB lebih

dari satu orang dalam satu rumah tangga, dimana besar risiko penularannya adalah

empat kali dibandingkan dengan rumah tangga yang hanya satu orang penderita

TB. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Halim, adanya korelasi positif (r =

0,602) yaitu makin banyak penderita TB yang tinggal serumah maka makin tinggi

penularan.

Penularan TB dapat terjadi bila ada kontak dengan penderita TB yang

umumnya terjadi dalam ruangan yang mengandung droplet (tergantung

konsentrasi droplet dalam udara), lama menghirup dan kerentanan individu. Selain

kontak serumah, kontak juga dapat terjadi dengan penderita TB di luar rumah.6

Kuman yang masuk kedalam tubuh melalui pernafasan dapat menyebar

dari paru kebagian lainnya, melalui sistem peredaran darah,sistem saluran life,

saluran nafas atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainya.


76

Kemungkinan seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi

droplet per volume udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Kontak yang

terus menerus dengan penderita tuberkulosis akan menyebabkan anak terinfeksi

kuman mycobacterium tuberculosis, walaupun kuman tersebut bersifat dormant.

Setiap orang bisa terinfeksi melalui orang dewasa, para remaja di

lingkungan terdekatnya, orang tua, kakek nenek, saudaranya, orang-orang

inthekos atau pembantu rumah tangga. Dalam rumah tangga yang orang

dewasanya terinfeksi. Juga risiko tinggi terdapat pada perempuan yang lebih tua

dan remaja yang menunggui orang dewasa yang sakit. Orang dewasa dengan

penyakit aktif kemoterafi jarang menginfeksi anak-anak, namun yang lebih

berbahaya adalah orang-orang dengan penyakit tuberkulosis kronis yang tidak

dapat dikenali, pengobatan yang kurang atau kambuh akibat daya tahan tubuh

menurun.

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ajis di Kabupaten

Kuantan Singingi Provinsi Riau, balita yang mempunyai riwayat kontak dengan

penderita BTA positif, risiko terkena TB meningkat 2,629 kali lebih besar

dibandingkan dengan balita yang tidak ada riwayat kontak dengan penderita BTA

positif dan secara statistik bermakna dengan p value 0,01.

Sumber penularan adalah penderita TBC dengan BTA positif pada waktu

bersin atau batuk, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet

atau percikan dahak. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh

banyaknya kumam yang dikeluarkan dari parunya.


77

Penderita tuberkulosis merupakan sumber utama penularan basillus

tuberkel. Orang-orang yang kontak dengan penderita secara mikroskopis

sputumnya positif mikobakteri dan 20-25% nya telah terinfeksi. Penyebaran

basillus tuberkel dapat dicegah dengan mempertahankan pengendalian udara yang

cukup atau penyinaran ultraviolet, atau meminta penderita menutup hidung dan

mulutnya bila batuk atau memakai masker sampai pulasan sputumnya dikonversi

menjadi negatif dengan pengobatan.

5.2 Implikasi Penelitian

5.2.1 Implikasi Bagi Para Wanita Usia Subur (WUS)

Penelitian ini diharapkan menjadi acuan dan dasar informasi yang benar

bagi para Wanita Usia Subur sehingga menjadi pilar penting untuk memberikan

dukungan dalam melakukan gaya hidup sehat guna mencegah penyakit TB Paru.

5.2.2 Implikasi Terhadap Kesehatan Reproduksi

Kesehatan reproduksi adalah kesehatan fisik, mental, dan sosial yang utuh

bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, dalam segala aspek yang

berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. sumber informasi

yang paling banyak digunakan perempuan dalam mencari informasi kesehatan

reproduksi adalah media cetak berupa majalah, koran atau surat kabar. Secara

umum, responden dalam penelitian ini sudah memiliki perhatian yang tinggi

terhadap kesehatan reproduksinya. Kejadian TB Paru pada Wanita Usia Subur

merupakan penyakit menular yang angka kejadianya masih tinggi.


78

Hal ini dikarenakan pelayannan kesehatan reproduksi sering kali hanya

berfokus terhadap KB, ANC dan ibu nifas saja sehingga tidak heran masyarakat

hanya berfokus pada penyakit organ reproduksi, padahal penyakit ini adalah

penyakit yang menyebabkan kesakitan dan kematian, oleh karena itu intervestasi

yang harus dilakukan adalah pelayanan kesehatan berfokus juga pada penyakit

menular, diharapkan petugas kesehatan mengedukasikan tentang hidup sehat dan

apa itu penyakit TB Paru, dampak yang terjadi, pencegahan, serta pengobatannya.

Dengan adanya pengetahun maka timbul kesadaran untuk mengubah hidup sehat,

makan yang sehat dan tidak merokok sehinggga mengurangi angka kejadian TB

Paru, untuk ini diperlukan petugas kesehatan yang terampil melaksanakan deteksi

dini Kejadian TB Paru.

5.2.3 Implikasi bagi Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei


Tuan

1) Melakukan pemetaan sumber informasi yang utama dan paling diminati

oleh penderita TB Paru, sehingga pemilihan media promosi kesehatan

menjadi lebih tepat guna dan menarik daripada sebelumnya. Misalnya

poster atau leaflet yang diberikan kepada penderita tentang gaya hidup

sehat sebagai sarana penyaluran informasi alternatif.

2) Melaksanakan lebih banyak pelatihan teknis untuk meningkatkan jumlah

tenaga kesehatan yang berkompeten seperti melaksanakan konseling atau

komunikasi informasi edukasi (KIE) agar memenuhi kebutuhan

masyarakat dan memberikan dampak yang baik sehingga dapat

meningkatkan angka harapan hidup (life expectancy) penderita.


79

Hal ini dapat di lihat pada skema seperti di bawah ini:

Tuberculosis Paru

Kondisi Kebiasaan Adanya


Status Gizi
Ekonomi Merokok Kontak

Intervensi: Intervensi: Intervensi: Intervensi:


1. Dinas 1. Tenaga 1. Tenaga 1. Tenaga
Kesehatan Kota Kesehatan kesehatan di Kesehatan di
medan Puskesmas Puskesmas Puskesmas
melakukan Bandar Bandar Bandar
pelatihan Khalipah di Khalipah Khalipah
konselor Percut Sei Kecamatan melakukan
kepada tenaga Tuan Percut Sei penyuluhan
kesehatan di melakukan Tuan tentang
Puskesmas pembinaan melakukan penyebaran
Bandar dan penyuluhan kuman TB
Khalipah bimbingan dan paru dan cara
Kecamatan kepada para pembinaan penyebarann
Percut Sei wanita usia untuk berhenti ya.
Tuan. subur agar merokok dan
2. Tenaga termotivasi menghindari
kesehatan membiasakan asap rokok
melakukan diri dengan serta
penyuluhan dan gaya hidup menciptakan
pembinaan sehat dan Kawasan
tentang gaya memperhatik Tanpa Rokok
hidup yang an gizi yang (KTR)
sehat. dikonsumsi.

Gambar 5.1 Skema Hasil Penelitian dan Kemungkinan Intervensi yang


Dilakukan
80

5.3 Keterbatasan Penelitian

Penelitian tentang Faktor-Faktor Risiko yang berhubungan dengan

Kejadian TB Paru pada WUS di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah

Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2016 mempunyai keterbatasan sebagai berikut:

1) Penelitian ini menggunakan pendekatan case control di mana salah satu

kelemahan metode ini adalah karena jumlah kasus yang sangat terbatas dan

kesulitan mencari kontrol dengan kondisi yang sama seperti kasus, sehingga

hasil penelitian tentang Faktor-Faktor Risiko yang berhubungan dengan

Kejadian TB Paru pada WUS di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah

Kecamatan Percut Sei Tuan belum tentu menjadi faktor-faktor risiko yang

sama pada daerah lain.


81
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1) Terdapat hubungan faktor-faktor risiko (kondisi ekonomi, status gizi,

kebiasaan merokok dan adanya kontak dengan penderita TB Paru) yang

berhubungan dengan kejadian TB paru pada WUS di Wilayah Kerja

Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2016.

2) Faktor yang paling dominan memengaruhi kejadian TB Paru pada WUS

adalah kontak dengan penderita TB paru dengan nilai Exp (B) sebesar 5,707,

ini artinya kontak dengan penderita TB paru lebih berpengaruh terhadap

kejadian TB Paru pada WUS.

6.2 Saran

6.2.1 Bagi Tenaga Kesehatan di Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan


Percut Sei Tuan

1) Melakukan kunjungan untuk mengobservasi langsung penerapan hidup

sehat pada penderita TB Paru.

2) Melakukan program upaya pencegahan penyakit dan penularan dengan

melakukan penyuluhan kesehatan tentang faktor-faktor risiko yang

berkaitan dengan kejadian TB Paru yang terus meningkat.

3) Membina kerja sama denga lintas sektoral yang terdekat dengan

masyarakat (kader, tokoh masyarakat) dalam mendorong dan

memotivasi dengan memberikan pengertian TB Paru, faktor-faktor

risiko dan bahaya TB paru.

81
82

6.2.2 Bagi Para Wanita Usia Subur (15-49 Tahun)/Masyarakat

1) Hendaknya Wanita Usia Subur (WUS)/masyarakat lebih aktif mencari

informasi tentang kesehatan diri dari tenaga kesehatan maupun dari

media lainnya dan mengurangi kebiasaan yang dapat meningkatkan

risiko terjadinya TB Paru.

2) Bagi para WUS/masyarakat mau dan bersedia mengurangi kebiasaan

merokok agar selalu sehat dan jauh dari penyakit.

3) Menerapkan pula hidup sehat sehingga dapat meningkatkan derajat

kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai