Anda di halaman 1dari 6

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TUGAS 3

Disusun Oleh :
Deni Puji Nurwanto (21-2015-093)
Kelas G

Dosen :
Nandang S

FAKULTAS TEKNIK SIPIL & PERENCANAAN


JURUSAN ARSITEKTUR
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL
Jl. PHH Mustopha No.23 Bandung 40124, Telepon : +62-22-7272215
Kondisi Sosial Masyarakat pada Masa Tabi’in

Dalam bidang Hukum Islam —begitu pula dengan bidang keilmuan Islam lainnya—,
masa Tabi’in merupakan masa peralihan dari masa Sahabat kepada masa eksistensi para
imam madzhab. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa masa ini merupakan
kelanjutan yang wajar dari masa Sahabat, yang di dalamnya ditandai dengan munculnya
tokoh-tokoh dengan sikap yang relatif lebih mandiri dengan mengarah pada spesialisasi
dalam bidang keilmuan Islam.
Secara historis, masa Tabi’in merupakan masa yang dipenuhi dengan kompleksitas
permasalahan. Perkembangan wilayah politik Islam yang semakin luas, kehidupan
masyarakat yang semakin maju dan kompleks. Dalam hal ini, pemeluk Islam bukan hanya
dari bangsa Arab, tetapi sudah berbaur dengan bangsa lain yang berbeda-beda bahasa
dan tradisinya. Perkembangan ini menyebabkan pengetahuan umat Muslim terhadap
sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab, tidak lagi
sesempurna generasi sebelumnya. Di samping itu, permasalahan kehidupan yang
memerlukan jawaban hukum semakin meningkat yang lebih menuntut pelaksanaan ijtihad.
Dalam melakukan ijtihad, para ulama Tabi’in mengikuti cara yang telah dirintis sebelumnya
oleh para Sahabat. Mereka menggunakan al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan utama.
Selanjutnya mereka mengikuti ijma’ Sahabat. Apabila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka
berpedoman kepada hasil ijtihad pribadi dari Sahabat yang dianggap kuat dalilnya. Di
samping itu, mereka menggunakan ra’yu sebagaimana yang dilakukan Sahabat. Dalam
penggunaan ra’yu, mereka sedapat mungkin menempuhnya melalui qiyas, jika mereka
menemukan padanan masalahnya dengan apa yang terdapat dalam nash. Apabila tidak
mungkin, mereka menempatkan kepentingan umum atau kemaslahatan sebagai rujukan
dalam ijtihad.
Di antara faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan hukum Islam pada masa
ini, yaitu sebagai berikut:
a. Perpecahan di kalangan umat Islam
Pada awal masa ini, umat Islam mengalami berbagai gejolak politik yang
menyebabkan munculnya faksi-faksi. Pemberontakan yang paling serius adalah
pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Syi’ah, dan kelompok Abdullah
bin Zubair. Persaingan dan pertikaian terus-menerus antar faksi yang saling bertentangan
tersebut dalam memperebutkan hegemoni politik mengakibatkan kekacauan dalam
pemahaman keagamaan.
Dua faksi pertama, yaitu Khawarij dan Syi’ah, berkembang ke dalam sekte-sekte
keagamaan yang kemudian mengembangkan sistem hukum Islam tersendiri. Dengan
bersandar pada interpretasi terhadap al-Qur’an dan Sunnah yang disesuaikan dengan
pandangannya sendiri, mereka menolak kontribusi sebagian besar Sahabat. Bahkan
mereka menyebut para Sahabat sebagai kaum murtad, dan sebagai gantinya, mereka
mengangkat para tokoh pemimpin mereka sendiri dalam membuat sistem hukum.
Khawarij, misalnya, berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir —
dalam hal ini, para Sahabat yang terlibat dalam peristiwa Tahkim—. Sementara Syi’ah,
misalnya, dalam menetapkan hukum hanya berpegang pada hadits yang diriwayatkan
Ahlu al-Bait —keturunan Nabi Saw dari Fatimah, serta Hasan dan Husein—, dan mereka
tidak menerima qiyas sebagai dalil hukum, dengan alasan bahwa qiyas berdasarkan
kepada pemikiran manusia.
b. Penyimpangan para khalifah Bani Umayyah
Para khalifah Umayyah memperkenalkan sejumlah praktek yang lazim berlaku di
negeri-negeri non-Muslim pada waktu itu, seperti Byzantium, Persia dan India. Banyak
dari praktek-praktek tersebut jelas-jelas bertentangan dengan fiqh pada periode
sebelumnya. Sebagai contoh, bait al-mal digeser menjadi kepemilikan pribadi para
khalifah dan keluarganya, dan pajak yang tidak diperbolehkan Islam diberlakukan untuk
meningkatkan keuntungan mereka. Musik, gadis-gadis penari, tukang sulap, para ahli
nujum, secara resmi diperkenalkan sebagai bentuk hiburan istana kekhalifahan.
Lebih jauh, dengan dukungan kekuasaan Yazid sebagai putra mahkota yang ditetapkan
oleh khalifah Muawiyah pada tahun 679 M, khalifah diubah menjadi jabatan turun-
temurun. Ikatan fiqh-negara dihancurkan dan faktor pemersatu madzhab yang cukup
penting pun lenyap. Karena faktor-faktor tersebut, para ulama pada periode ini
menghindari beraudiensi dengan para khalifah, sehingga prinsip syura (dewan penasehat
pemerintahan) menjadi hilang. Lewat pergantian khalifah, pemerintahan semakin
diperburuk dengan sistem monarkhi diktatorial yang serupa dengan pemerintahan non-
Muslim pada masa itu. Akibatnya, sebagian khalifah berupaya memanipulasi fiqh untuk
menjustifikasi penyimpangan-penyimpangannya. Untuk memberantas distorsi ini, dan
memelihara fiqh otentik untuk generasi berikutnya, para ulama mulai mengumpulkan dan
menghimpun fiqh yang berasal dari periode sebelumnya.
c. Persebaran para ulama ke daerah-daerah luar
Banyak dari para ulama pada masa ini yang melarikan diri dari pusat-pusat
pemerintahan Bani Umayyah untuk menghindari konflik, kekacauan, serta pertikaian dari
berbagai faksi. Hal ini mengakibatkan rusaknya prinsip ijma’. Seiring dengan tersebarnya
para ulama ke seluruh pelosok wilayah Muslim yang letaknya berjauhan antara satu
dengan yang lain, maka kesepakatan pandangan tentang hukum menjadi mustahil untuk
disatukan. Hal seperti ini pada akhirnya memicu tumbuhnya ijtihad-ijtihad individual dari
para ulama ketika mereka berhadapan dengan keanekaragaman adat istiadat, cara hidup
dan permasalahan baru di wilayah mereka.
Pada perkembangan berikutnya, kondisi di atas mempengaruhi lahirnya berbagai
madzhab di masa Tabi’in. Sebagai contoh, ketika seorang ulama fiqh terkemuka hadir di
suatu wilayah, para pelajar dan para ulama di daerah tersebut berbondong-bondong
mengelilinginya. Bahkan, para pelajar dan para ulama yang berasal dari daerah lain
acapkali turut bergabung. Dengan cara seperti inilah sejumlah madzhab menjadi
berkembang.
d. Maraknya praktik pemalsuan hadits
Periwayatan hadits-hadits meningkat ketika kebutuhan informasi juga meningkat.
Karena negara telah berhenti bersandar pada Sunnah Nabi Saw, para ulama dengan
beragam kapasitasnya bergerak mencari laporan-laporan individual tentang Sunnah yang
diriwayatkan oleh para Sahabat dan murid-muridnya untuk membuat ketentuan hukum.
Pada saat yang sama berkembang fenomena baru, yaitu untuk pertama kalinya hadits-
hadits palsu, baik yang berupa ucapan maupun tindakan dinisbahkan kepada Nabi Saw.
Bagi seorang pembuat hadits, agar dipercaya, dia harus menyiarkan beberapa hadits
yang sesungguhnya bersama-sama dengan hadits-hadits bikinannya sendiri. Dengan
adanya peristiwa ini, untuk pertama kalinya mulai dilakukan upaya pengumpulan hadits
dan mulai berkembang ilmu tentang kritik hadits, yang kemudian membantu para ulama
dalam melakukan ijtihad. Namun, sebelum ilmu hadits berkembang, beragam hadits yang
benar dan palsu sudah masuk ke dalam kerangka keilmuan Islam yang terkadang secara
gegabah digunakan oleh sebagian ulama untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum.
Dengan cara inilah, bangunan fiqh yang salah disusun, dan lebih jauh lagi, ditopang
dengan keputusan-keputusan fiqh yang dibuat oleh para ulama yang telah menolak
hadits-hadits yang benar sebab ketentuan-ketentuan fiqh itu hanya mereka ketahui lewat
para pembuat hadits di wilayahnya.

ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI ISLAM
LAHIRNYA aliran teologi Islam adalah reaksi dari skisme (perpecahan) politik umat Islam.
Tragedi skisme itu terabadikan dalam sebuah ungkapan “al-fitnah al-kubra”. Proses
skisme itu berawal dari terbunuhnya Usman Ibn Affan, yang pada akhirnya berimplikasi
serupa terhadap khalifah keempat yakni Ali ibn Abi Thalib. Ketika kedua khalifah tersebut
terbunuh, wacana kemelut politik lalu berkembang menjadi wacana agama (teologi).
Aliran-aliran
1. 1. Aliran Khawarij
Aliran Khawarij merupakan Aliran teologi tertua yang merupakn Aliran pertama yang
muncul dalam teologi Islam. Menurut ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang
disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah di
sepakati para jema’ah, baik ia keluar pada masa sahabat khulafaur rasyidin, atau pada
masa tabi’in secara baik-baik. Menurut bahasa nama khawarij ini berasal dari kata
“kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan
Ali.Kelompok ini juga kadang kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti “golongan
yang mengorbankan dirinya untuk allahdi samping itu nama lain dari khawarij ini adalah
Haruriyah, istilah ini berasal dari kata harura, nama suatu tempat dekat kufah, yang
merupakan tempat mereka menumpahakn rasa penyesalannya kapada Ali bin abi Thalib
yang mau berdamai dengan Mu’awiyah.
Tokoh-tokoh Khawarij
Diantara tokoh-tokoh khawarij yang terpenting adalah :
Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di
Harura (pimpinan Khawarij pertama), Urwah bin Hudair, Mustarid bin sa’ad, Hausarah al-
Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi’ bin al-azraq (pimpinan al-Azariqah), Abdullah bin Basyir,
Zubair bin Ali, Qathari bin Fujaah, Abd al-Rabih, Abd al Karim bin ajrad, Zaid bin
Asfar,Abdullah bin ibad.
Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah:
• Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
• Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan
zubair, dengan Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang
menerima dan mambenarkannya – di hukum kafir;
• Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
• Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak
menjadi Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
• Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan
menjalankan syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
• Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa
kekhalifahannya Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
• Khalifah Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).

1. 2. Aliran Murji’ah
Sebuah aliran “moderat” yang berusaha memandang bahwa orang yang melakukan dosa
besar tetap mukmin, karena penentuan dosa besar atau tidak, hanyalah hak prerogatif
Tuhan. Dengan demikian, soal telah kafir atau tetap mukmin adalah urusan Tuhan, bukan
urusan manusia. Sesuai dengan akar katanya ‘raja-yarju’, artinya menunda atau
menangguhkan. Yaitu menangguhkan keputusan tersebut sampai hari akhir, dan Tuhan
sebagai hakim di kemudian hari kelak yang akan menentukan perkara tersebut .
Ajaran-ajaran pokok murji’ah dapat disimpulan sebagai berikut: .
• Iman Hanya membenarkan (pengakuan) di dalam Hati
• Orang islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut
tetap mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadt.
• Hukum terhadap perbuatan manusia di tangguhkan hingga hari kiamat
Tokoh murji’ah Moderat antara lain adalah hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib,
Abu Hanifah, Abu Yusufdan beberapa ahli hadits yang berpendapat, bagaimanapun
besarnya dosa seseorang, kemungkinan mendapat ampunan dari tuhan masih ada.
Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah kelompok Jahmiyah, pengikut Jaham bin
Shafwan. Kelompok ini berpendapat, sekalipun seseorang menyatakan dirinya musyrik,
orang itu tidak dihukum kafir.
1. 3. Aliran Mu’tazilah.
Sebuah aliran ‘rasionalis’ yang berpandangan bahwa orang yang berbuat dosa besar
ditempatkan pada posisi “netral” yaitu posisi antara kafir dan mukmin atau tidak kafir tapi
juga tidak mukmin. Dalam ajaran Mu’tazilah posisi netral itu disebut al-manzilah bain al-
manzilatain (posisi di antara dua posisi). Seseorang tidak boleh menganggap bahwa
keburukan dan ketidakadilan, tidak beriman atau dosa itu berasal dari Tuhan, sebab
sekiranya Dia (Tuhan) menciptakan ketidakadilan, maka Dia menjadi tidak adil.Mu’tazilah
juga punya paham al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman), bahwa Tuhan pasti akan
memenuhi janji dan ancamannya di hari akhir. Selain itu, ada paham al-Adl (keadilan), al-
Tauhid (ke-Maha Esaan Tuhan), dan al-‘Amr bi al-Ma’ruf wa Nahy ‘an Munkar (perintah
melakukan kebajikan dan larangan menjauhi kejelekan).
Tokoh-tokoh Mu’tazilah
Diantara para tokoh-tokoh yang berpengaruh pada Mu’tazilah yaitu:
• Washil bin Atha’
• Abu Huzail al-Allaf
• Al Nazzam
• Al-Jubba’i
• Ahlussunah Wal- Jamaah

1. 4. Aliran Asy’ariah
Penentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini berpaham bahwa perbuatan manusia merupakan
ciptaan Tuhan, paham ini disebut al-kasb. Dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan
itu, daya yang ada dalam diri manusia tidak punya pengaruh atau efek. Asy’ariyah juga
menolak paham Mu’atazilah tentang al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman), keadilan
Tuhan (al-‘Adl). Lebih-lebih terhadap paham Mu’tazilah tentang ‘posisi netral’ (al-manzilah
bain al-manzilatain).
Lahirlah dua aliran “raksasa” yang termashur sampai saat ini menjadi pisau analisis, yaitu
Qadariah dan Jabariah. Dua aliran yang masing-masing pandangannya selalu bertolak
belakang secara diametral. Qadariyah memandang bahwa manusia pada hakikatnya
adalah makhluq yang punya kemerdekaan dalam kehendak (free will) dan perbuatannya
(free act). Sebaliknya, Jabariah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kehendak,
dan segala tingkah lakunya merupakan paksaan dari Tuhan, sehingga pahamnya dikenal
predestination atau fatalism.
1. 5. Aliran Syi’ah.
Aliran ini adalah pengikut setia Ali ibn Abi Thalib. Paham-paham doktrinnya banyak
berbicara mengenai masalah politik. Soal Khilafah dan Imamah misalnya, bahwa seorang
pemimpin itu harus terbebas atau terjaga dari perbuatan dosa (ma’shum), dan harus
memiliki garis keturunan Ali.Secara garis besarnya, aliran Syi’ah dapat dipetakan menjadi
lima golongan, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat, dan Ismailiyah. Dari kelima
golongan tersebut, sebagian berpaham Mu’tazilah, sebagian lagi berpaham ortodoks,
yang sebagian yang lain berpaham antropomorfisme (tasybiyah).
Pokok-Pokok Pikiran Syi’ah
Kaum Syi’ah memiliki lima prinsip utama yang wajib di percayai oleh penganutnya. Kelima
prinsip itu adalah :
• al Tauhid
Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa allah itu ada, Maha esa, tunggal, tempat
bergantung, segala makhluk, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada seorang
pun yang menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya sifat-sifat Allah.
• al ‘adl
Kaum Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak melakukan
perbuatan zhalim dan perbuatan buruk, ia tidak melakukan perbuatan buruk karena ia
melarang keburukan, mencela kezaliman dan orang yang berbuat zalim.
• al Nubuwwah
Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi-nabi juga tidak berbeda dengan keyakinan umat
muslim yang lain. Menurut mereka, Allah mengutussejumlah nabi dan rasul ke muka bumi
untnk membimbing umat manusia.
• al imamah
Menurut Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia sekaligus,
ia pengganti rasul dalam memelihara Syari’at, melaksanakan Hudud, dan mewujudkan
kebaikan dan ketentraman umat.
• al ma’ad
Ma’ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya sepenuhnya akan
adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.

1. 6. Aliran Qadariyah
Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan
atau kemampuan.Sedangkan sebagai suatu aliran dalam ilmu kalam, qadariyah adalah
nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan
dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya.

Pokok-pokok ajaran Qadariyah


Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, pokok-pokok
ajaran qadariyah adalah :
• Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlahmukmin, tapi fasik dan
orang fasikk itu masuk neraka secara kekal.
• Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah
yang menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan
baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka)
atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosakarena itu pula, maka Allah
berhak disebut adil.

1. 7. Aliran Salafiyah
Salafiyah berarti orang-orang yang mengikuti salaf .Tokoh terkenal ulama salaf adalah
Ahmad bin Hambal. Nama lengkapnya, Ahmad, bin Muhammad bin Hambal, beliau juga di
kenal sebgai pendiri dan tokoh mazhab Hambali.
Pada abad ke 20 M gerakan ini muncul dengan dimensi baru. Tokoh-tokohnya adalah
Jamaluddin al Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Salafiyah baru al afgani ini
terdiri dari 3 komponen pokok yakni :
• Keyakinan bahwa kemajuan dan kejayaan umat Islam hanya mungkin di wujudkan
jika mereka kembali kepada ajaran Islam yang masih murni dan kembali pada
ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pokok hidup sahabat Nabi.
Komponen pertama ini merupakan satu unsur yang di miliki oleh salfiyah
sebelumnya.
• perlwanan terhadap kolonialisme dan mominasi barat, baik politik, ekonomi,
maupun kebudayaan.
• pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Anda mungkin juga menyukai