Anda di halaman 1dari 49

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ 1


KATA PENGANTAR ..................................................................................... 2
DAFTAR ISI .................................................................................................... 3
DAFTAR TABEL ............................................................................................ 4
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... 5
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 8
2.1Anatomi Ginjal ........................................................................................... 8
2.2 Fisiologi Ginjal ......................................................................................... 9
2.3 Sindrom Nefrotik ................................................................. 13 2.4 Definisi
Sindrom Nefrotik ......................................................................... 14 2.5 Etiologi
Sindrom Nefrotik ......................................................................... 15 2.6
Patofisiologi Sindrom Nefrotik .................................................................. 18 2.7
Manifestasi Klinis Sindrom Nefrotik ......................................................... 23 2.8
Pemeriksaan Penunjang Sindrom Nefrotik ................................................ 25 2.9
Kriteria Diagnosis Sindrom Nefrotik ......................................................... 26 2.10
Pengobatan Sindrom Nefrotik .................................................................. 29 2.11
Terapi Suportif ......................................................................................... 37 2.12
Komplikasi Sindrom Nefrotik .................................................................. 38 2.13
Prognosis .................................................................................................. 40 2.14
Indikasi Rawat Inap dan Rujuk………………………………………… 41
REKAM MEDIS .............................................................................................. 43
ANALISIS KASUS ......................................................................................... 63
BAB III. PENUTUP ....................................................................................... 71
KESIMPULAN ................................................................................................ 71
SARAN ............................................................................................................ 71
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 72

2
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer


berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children…16 Tabel 2.2
Klasifikasi Sindrom Nefrotik Primer……………………………… 17 Tabel 2.3
Protokol metilprednisolon dosis tinggi …………………………… 35

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi ginjal dan fungsi nefron .......................................... 8


Gambar 2.2 Skematik Nefron dalam Pembentukan Urin .......................... 12
Gambar 2.3. Skema Hipotesis “Underfill” ................................................ 19
Gambar 2.4. Skema Hipotesis “Overfill”………………………………... 20
Gambar 2.5. Patofisiologi Sindrom Nefrotik ............................................. 23
Gambar 2.6. Pengobatan sindrom nefrotik dengan terapi inisial ............. 30
Gambar 2.7 Skema Pengobatan Inisial dan relaps pada sindrom nefrotik 30
Gambar 2.8 Pengobatan SN relaps ........................................................... 31
Gambar 2.9. Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral ................... 33
Gambar 2.10. Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid ................ 33
Gambar 2.11 Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid ..................... 34
Gamabr 2.12 Tatalaksana Sindrom nefrotik……………………..……… 36
Gambar 2.13. Tatalaksana pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
................................................................................... 36

Gambar 2.14 Algoritma Pemberian diuretik ........................................... 37

4
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan berkat–Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“SINDROM NEFROTIK”. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas
dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSUD RAA Soewondo Pati.
Tujuan pembuatan referat ini juga untuk meningkatkan pengetahuan penulis serta
pembaca agar dapat bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam penyusunan referat ini, tidak sedikit hambatan yang dihadapi.


Namun, penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan referat ini tidak
lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan semua pihak sehingga kendala yang
penulis hadapi dapat teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Isfandiyar Fahmi, Sp.A
sebagai dokter pembimbing dalam pembuatan referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat


banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan
membantu teman sejawat serta para pembaca pada umumnya dalam memahami
penyakit sindrom nefrotik.

Pati, September 2017

Penulis

5
BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik merupakan penyebab tersering yang ditemukan pada penyakit


ginjal. Insidens sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan usia, ras, dan geografi. Di
Amerika Serikat, insidensi pada anak berkisar antara 2-2,7 per 100.000, namun
tidak diketahui distribusi berdasarkan ras. Di Inggris, insidens sindrom nefrotik
pada anak enam kali lipat lebih besar pada etnis Asia daripada Eropa. Faktor
genetik berperan pada patogenesis terjadinya sindrom nefrotik.1 Di Indonesia
diperkirakan 6 kasus per tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. 2,3

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan


proteinuria masif (terutama albumin >40 mg/m2/jam, atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+); hipoalbuminemia ≤2,5 g/dL;
hiperkolesterolemia >200 mg/dL; dan edema. Etiologi SN dibagi menjadi 3 yaitu
primer/idiopatik, kongenital dan sekunder. Kelainan patologi anatomi sindrom
nefrotik idiopatik pada anak yang paling sering ditemukan adalah sindrom
nefrotik kelainan minimal (SNKM). Lebih dari 80% penderita SN berusia kurang
dari 7 tahun menunjukkan kelainan SNKM. Pada anak berusia 7-16 tahun yang
menderita SN, 50% diantaranya adalah SNKM, dan anak laki-laki terkena lebih
sering daripada perempuan (2:1). Gambaran patologi anatomi lainnya adalah
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus
(MPD) 1,9 – 2,3%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 6,2%, dan
nefropati membranosa (GNM) 1,3%. Pada orang dewasa paling banyak nefropati
membranosa (30%-50%), rata-rata umur 30-50 tahun.2-4

Gambaran glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) ditemukan pada 10


-20% anak yang menderita SN primer. Manifestasi klinisnya dapat menyerupai
SNKM namun dengan proteinuria yang lebih ringan. Lebih dari sepertiga
penderita GSFS akan berakhir dengan gagal ginjal. Glomerulonefritis
membranoproliferatif (GNMP) ditandai dengan hipokomplemenemia disertai
tanda penyakit ginjal tipe glomerular. Tipe ini terdapat pada 5 - 15% anak dengan

6
SN primer, umumnya persisten dan memiliki resiko tinggi untuk berkembang
menjadi gagal ginjal. Kurang dari 5% anak dengan SN primer memiliki gambaran
patologi anatomi nefropati membranosa.2-4

Sindrom nefrotik kongenital terjadi sebelum 3 bulan pertama kehidupan.


Terdapat 2 tipe : tipe Finnish yaitu suatu kelainan autosomal resesif yang sering
ditemukan pada keturunan Scandinavia dan disebabkan oleh mutasi komponen
protein nefrin di glomerulus. Tipe kedua adalah tipe heterogen yaitu kumpulan
yang meliputi kelainan sklerosis mesangial, dan kondisi yang terkait dengan obat
atau infeksi.2-4

Sindrom nefrotik sekunder dapat ditemukan pada penderita lupus


eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein, infeksi (hepatitis B, hepatitis
C, malaria), penyakit Wegene, vaskulitis penyebab lainnya seperti, reaksi alergi,
diabetes, amiloidosis, keganasan, gagal jantung kongestif, perikarditis konstriktif,
dan trombosis vena renalis.2

7
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang pada tubuh manusia yang
menjalankan banyak fungsi untuk homeostasis, terutama sebagai organ ekskresi
dan pengatur keseimbangan cairan dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang
ginjal pada manusia, masing-masing di sisi kiri dan kanan tulang vertebra, terletak
retroperitoneal (di belakang peritoneum). Selain itu sepasang ginjal tersebut
dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria (bulibuli/kandung
kemih) dan uretra yang membawa urine ke luar tubuh.5

Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding
ginjal kiri, hal ini disebabkan karena adanya hati yang mendesak ginjal sebelah
kanan. Batas atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan
batas atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah
ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 sedangkan kutub bawah ginjal
kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat
bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.2

Bagian – bagian ginjal secara umum :6-8

 Korteks : di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus renalis/Malpighi


(glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus
kontortus distalis
 Medula : terdiri dari 9-14 pyramid, di dalamnya terdiri dari tubulus rektus,
lengkung Henle dan tubulus pengumpul (ductus kolektivus)
 Columna renalis : bagian korteks di antara pyramid ginjal
 Processus renalis : bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks
 Hilus renalis : bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus
memasuki/meninggalkan ginjal

8
 Papilla renalis : menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor
 Calix minor : percabangan dari calix major
 Calix major : percabangan dari pelvis renalis
 Pelvis renalis atau piala ginjal : menghubungkan antara calix major dan
ureter
 Ureter : saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria

Gambar 2.1 Anatomi ginjal5

2.2 Fisiologi Ginjal

Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan cara


mengatur keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur
asam basa darah, pengaturan ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam dan
memproduksi hormon yaitu7,8

a. Prostaglandin yang berfungsi untuk pengaturan garam dan air serta


mempengaruhi tekanan vaskuler.
b. Eritropoietin berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah.

9
c. 1,25 dihidroksikolekalsiferol yang berfungsi memperkuat absorpsi kalsium
dari usus dan reabsorbsi fosfat oleh tubulus renalis.
d. Renin yang berfungsi bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan
tekanan vaskuler dan produksi aldosteron.

Tiga tahap pembentukan urine:

1) Filtrasi glomerular

Pembentukan urine dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, yaitu


proses untuk menyaring darah yang melintasi kapiler glomerulus.Membran filtrasi
antara lain, dinding kapiler glomerulus yang terdiri dari satu lapis sel endotel
gepeng memiliki banyak pori berdiameter 0,1 µ sehingga 100 kali lebih permeabel
terhadap H2O dan zat terlarut daripada kapiler di bagian tubuh lain, membran
basalis yang terdiri dari lapisan gelatinosa aselular terbentuk dari kolagen dan
glikoprotein yang tersisip di antara glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen
menghasilkan kekuatan struktural dan glikoprotein menghambat filtrasi protein
plasma kecil. Protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi karena tidak
dapat melewati pori. Tetapi permeabilitas juga ditentukan oleh muatan. Molekul
yang bermuatan negative akan lebih sulit lewat karena glikoprotein bermuatan
negatif sehingga menolak zat yang bermuatan negatif, misalnya albumin secara
ukuran dapat melewati pori tetapi karena muatannya negatif sehingga glikoprotein
menolak albumin. Oleh karena itu, protein plasma hampir tidak terdapat dalam
filtrat. Lapisan terakhir, yaitu lapisan visceral kapsula bowman yang terdiri dari
podosit yang tersusun saling terjalin dan meninggalkan celah disebut celah pori.6-8

Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah
jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125
ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul Bowman. Ini dikenal dengan laju
filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke
kapsula bowman disebut filtrat. Tekanan yang menentukan GFR, yaitu tekanan
darah kapiler glomerulus ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus
yang mendorong filtrasi, tekanan osmotik koloid plasma ditimbulkan dari protein
plasma yang tidak terfiltrasi yang melawan filtrasi, dan tekanan hidrostatik

10
kapsula bowman ditimbulkan oleh filtrate dalam kapsula bowman yang melawan
filtrasi. Tekanan filtrasi netto yang merupakan perbedaan tekanan yang
mendorong dan melawan filtrasi yang nantinya akan mendorong filtrasi.6-8

2) Reabsorpsi

Reabsorpsi merupakan proses penyerapan kembali air dan susbtansi penting


seperti natrium, air, glukosa, asam amino, dan bikarbonat dari tubulus renal
kembali ke dalam darah. Reabsorpsi terdiri dari proses aktif yang melawan
gradien elektrokimia menggunakan energi dan proses pasif yang mengikuti
gradient elektrokimia. Lokasi reabsorbsi hampir terjadi di seluruh tubular nefron,
yaitu 88% filtrat diserap kembali dalam tubulus kontortus proksimal yang
dibentuk oleh sel epitel dengan brush border yang meningkatkan luas permukaan
reabsorpsi, natrium dan klorida yang diserap dari ansa henle, dan tubulus
kontortus distal menyerap kembali natrium, kalsium, dan bikarbonat. Reabsorpsi
substansi penting, yaitu natrium dengan tahap transportasi dari lumen tubulus
renal dalam sel epitel tubulus, transportasi dari sel tubulus ke dalam cairan
interstisial menggunakan pompa natrium kalium, dan transpotasi dari cairan
interstisial ke dalam darah, kemudian reabsorpsi air yang terjadi di tubulus
kontortus proksimal serta distal dalam duktus koligentes dengan peranan ADH
dan aquaporin, reabsorpsi glukosa dalam tubulus kontortus proksimal, reabsorpsi
asam amino dan bikarbonat yang terjadi di tubulus kontortus proksimal.8

3) Sekresi

Sekresi tubular merupakan proses untuk mengangkut substansi dari darah ke


dalam tubulus renal. Sejumlah substansi disekresikan ke dalam lumen dari kapiler
peritubular melalui sel epitel tubuler. Ada bahan lain yang juga disekresikan,
misalnya penisilin. Substansi yang disekresikan dalam berbagai segmen tubulus
renal, yaitu kalium disekresikan secara aktif oleh pompa natrium kalium dalam
tubulus kontortus proksimal serta distal dan duktus koligentes, amonia
disekresikan dalma tubulus kontortus proksimal, dan ion hidrogen disekresikan
dalam tubulus kontortus proksimal dan distal, yang terjadi maksimal di tubulus
proksimal yang bertujuan untuk mengontrol pH. Pada proses sekresi ini juga

11
membuang senyawa yang tidak dapat difiltrasi atau membuang senyawa yang
tidak diinginkan, seperti obat, urea, dan asam urat.6-8

Jadi urin terbentuk dalam nefron melalui proses filtrasi, reabsorpsi, dan
sekresi tubular kemudian urin didorong oleh kontraksi peristaltik melalui ureter
dari ginjal menuju kandung kemih kemudian dikeluarkan melalui uretra.6,7

2.3 Sindrom Nefrotik

2.3.1 Definisi

Sindrom nefrotik (SN) adalah sindrom klinik yang mempunyai banyak


penyebab. Penyakit ini ditandai dengan permeabilitas membran glomerulus yang
meningkat dengan manifestasi proteinuri masif yang menyebabkan
hipoalbuminemia dan biasanya disertai edema serta hiperkolesterolemia. Secara
klinis ditandai dengan proteinuria masif terutama albumin (>40mg/m2/jam, rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+); hipoproteinemia
(albumin serum ≤2,5 g/dL); hiperkolesterolemia (>200 mg/dL); dan edema 2,3,9

2.3.2 Epidemiologi

Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan
prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi.10 Di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak per
tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.2

2.3.3 Etiologi

Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder :3,11


 Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan secara resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten
terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus.
Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil.
 Sindrom nefrotik idiopatik

12
Berdasarkan histopatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk, membagi
dalam 4 golongan, yaitu :

 Kelainan minimal
Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, namun dengan
mikroskop elektron tampak foot processus sel epitel terpadu. Dengan cara
imunofluoresensi ternyata tidak terdapat Ig G atau imunoglobulin beta-1C pada
dinding kapiler glomerulus. Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak
daripada orang dewasa. Prognosis lebih baik dbandingkan dengan golongan lain.
 Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar
tanpa proliferasi sel. Jarang ditemukan pada anak serta prognosis kurang baik.
 Glomerulonefritis proliferatif
a. Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus.
Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat, kelainan
ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan
Streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik. Prognosis
jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah pengobatan yang
lama.
b. Dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.
c. Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai
(kapsular) dan viseral. Prognosis buruk.
d. Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai
membrana basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta-1A rendah.
e. Lain-lain
Misalnya perubahan proliferasi yang tidak khas.
 Glomerulosklerosis fokal segmental

13
Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai dengan
atrofi tubulus. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-
bulan pertama kehidupan.
 Sindrom nefrotik sekunder
Sindrom nefrotik sekunder disebabkan oleh malaria kuartana atau parasit lain,
penyakit kolagen seperti lupus eritomatosus diseminata, purpura anafilaktoid,
glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena renalis.
Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan
lebah, racun otak, air raksa, amiloidosis, penyakit sel sabit, nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik.

2.3.4 Patosifisiologi 2,12

Proteinuria

Proteinuria umumnya diterima sebagai kelainan utama pada SN, sedangkan


gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria
dinyatakan "berat" untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada
pasien yang bukan sendrom nefrotik. Ekskresi protein sama atau lebih besar dari
40mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap proteinuria berat.

Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria


glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria
tubular). Pada dasarnya proteinuria masif ini mengakibatkan dua hal :

a. Jumlah serum protein yang difiltrasi glomerulus meningkat sehingga protein


tersebut masuk ke dalam lumen tubulus.
b. Kapasitas faal tubulus ginjal menurun untuk mereabsorbsi serum protein
yang telah difiltrasi glomerulus. Pada keadaan normal membran basalis dan
sel epitel bermuatan negatif maka dari itu dapat menghambat perjalanan
molekul yang bermuatan positif. Pada semua bentuk sindrom nefrotik selalu
ditemukan obliteransi atau fusi foot processes (pedikel) sehingga terjadi
kerusakan polianion yang bermuatan negatif yang dalam keadaan normal
merupakan filter atau barier terhadap serum albumin yang bermuatan

14
negatif, dan perubahan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
kapiler glumerulus terhadap serum protein.

Perubahan integritas membran basalis glomerulus menyebabkan


peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama
yang dieksresikan dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal membran
basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran
protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size
barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (change barrier). Pada sindrom
nefrotik kedua mekanisme penghalang tersebut terganggu. Selain itu, konfigursi
molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui membran basal
glomerulus. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif bedasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang
keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin.
Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur membran basal
glomerulus.

Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia terjadi akibat meningkatnya penyerapan ulang


(reabsorbsi) dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimalis, meskipun hal ini
masih diperdebatkan. Peningkatan pengambilan (intake) protein tidak
meningkatkan metabolisme karena respon hemodinamik. Pada peningkatan
pengambilan (intake) adalah naiknya tekanan glomerulus, berakibat terjadi
peningkatan jumlah protein yang lolos ke dalam air kemih (urin), sehingga serum
albumin akan menurun. Hipoalbuminemia ini juga disebabkan oleh karena
produksi albumin oleh hepar tidak dapat mengimbangi jumlah protein yang
diekskresi ke ginjal.

Hiperlipidemia

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density


lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun.

15
Keadaan hiperkolesterolemi dan trigliseridemia ini disebabkan oleh meningkatnya
sintesis lipoprotein yang dirangsang oleh adanya hipoalbuminemia atau
penurunan tekanan onkotik dan penuruna klirens lipid dari sirkulasi.

Edema

Teori klasik mengenai pembentukan edema (underfilled theory) adalah


menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes
ke ruang interstisial. Dengan meningkatnya permealiblitas kapiler glomerulus,
albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia.

Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid


plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat
menembus dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstial yang
menyebabkan terbentuknya edema.

Kelainan glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik koloid plasma ↓

Volume plasma ↑

Retensi Na renal sekunder ↑

Edema

Gambar 2.3.4.1. Teori underfilled2

Sebagai akibat pergeseran cairan, maka volume plasma total dan volume
darah arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif.
Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi
timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai

16
usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal
dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang
secara terus menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan
protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan
akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstisial. Keadaan ini jelas
memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil.

Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma
dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini ditemukan tidak
pada semua pasien dengan SN. Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya
volume plasma dengan tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron,
sehingga timbul konsep teori overfilled. Menurut teori ini retensi natrium renal
dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung pada
stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi
volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai
akibat overfilling cairan ke dalam ruang interstisial. Teori overfilled ini dapat
menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan
aldosteron menurun sekunder terhadap hipervolemia.

Kelainan glomerulus

Retensi Na renal primer Albuminuria

Hipoalbuminuria

Volume plasma ↑

Edema

Gambar 2.3.4.2 Teori overfilled2

Melzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisiologi SN, yaitu tipe nefrotik


dan tipe nefritik. Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan

17
vasokonstriksi perifer dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju
filtrasi glomerulus (LFG) masih baik dengan kadar albumin yang rendah dan
biasanya terdapat pada SNKM. Karakteristik patofisiologi kelompok ini sesuai
dengan teori tradisional underfilled yaitu retensi natrium dan air merupakan
fenomena sekunder. Di pihak lain, kelompok kedua atau tipe nefritik, ditandai
dengan volume plasma tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma dan
aldosteron rendah yang meningkat sesudah persediaan Natrium habis. kelompok
kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik dengan LFG yang relatif lebih
rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok pertama. Karakteristik
patofisiologi kelompok kedua ini sesuai dengan teori overfilled pada SN dengan
retensi air dan natrium yang merupakan fenomena primer intrarenal.

Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan


mungkin saja kedua proses underfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus
mungkin suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat
menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis. Akibat mengecilnya volume
intravaskular akan merangsang keluarnya renin dan menimbulkan rangsangan non
osmotik untuk keluarnya hormon antidiuretik. Dengan meningkatnya produksi
renin terjadi rentetan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron, akibat akhirnya
adalah terjadi retensi natrium dan air dengan keluarnya volume urin yang sedikit
dan pekat dengan sedikit natrium.

Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang


tinggi umumnya menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan
mereka dengan volume darah normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron
rendah umumnya menderita kelainan BKM dan tidak responsif steroid, maka
pemeriksaan renin dapat merupakan petanda yang berguna untuk menilai seorang
anak dengan SN responsif terhadap steroid atau tidak di samping adanya SNKM.
Namun derajat tumpang tindihya terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan
pasien antara kedua kelompok histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin.
Peran peptida natriuretik atrial (ANP) dalam pembentukan edema dan diuresis
masih belum pasti.

18
2.3.5 Manisfestasi klinis

Manifestasi klinis paling sering pada anak adalah edema pitting atau asites.
Anoreksia, malaise, dan nyeri perut seringkali ditemukan, terutama pada anak
dengan asites. Tekanan darah meningkat pada 25% anak sedangkan tubular
nekrosis akut dan hipotensi dapat terjadi pada keadaan hpoalbuminemia dan
hipovolemia yang bermakna. Diare (akibat edema intestinal) dan distres
pernapasan (akibat edema pulmonal atau efusi pleura) dapat ditemukan.
Karakteristik SNKM adalah tidak disertai hematuria, insufisiensi ginjal,
hipertensi, atau hipokomplemenemia.2

Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema


dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema persisten
dengan komplikasi yang mengganggu merupakan masalah klinik utama bagi
mereka yang menjadi non responden dan pada mereka yang edemanya tidak dapat
segera diatasi. Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema
minimal terlihat oleh orangtua atau anak yang besar sebelum ke dokter melihat
pasien untuk pertama kali dan memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap
atau bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilang dan timbul
kembali. Selama periode ini edema periorbital sering disebabkan oleh cuaca
dingin atau alergi. Lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang,
perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah
nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orangtua pasien sering mengeluh berat
badan anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah
dan terjadinya pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang meningkat.
Timbulnya edema pada anak dengan SN bersifat perlahan-lahan, tanpa menyebut
jenis kelainan glomerulusnya. Edema berpindah dengan perubahan posisi dan
akan lebih jelas dalam posisi berdiri. Kadang-kadang pada edema yang masif
terjadi robekan pada kulit secara spontan diikuti dengan keluarnya cairan. Pada
keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites,
pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. Muka dan tungkai pada
pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti
malnustrisi sebagai tanda adanya edema menyeluruh sebelumnya.2

19
Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN.
Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini
rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema
submukosa di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan
fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau
keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat
terjadi pada keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau
peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksan lainnya.
Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui
namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati.
Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu
makan kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai
akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan
malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif steroid dan
persisten. Pada keadaan asites terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.2

Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pelura maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini
dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid.2

2.3.6 Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua


kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-
kadang ditemukan hipertensi.2

2.4.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:4


1. Urinalisis
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)

20
4. Albumin dan kolesterol serum
5. Kadar komplemen C3, bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan
ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-
DNA
6. Biopsi ginjal
Indikasi biopsi ginjal pada sindrom nefrotik anak
 Sindrom nefrotik dengan hematuria nyata,hipertensi, kadar kreatinin dan
ureum dalam plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun
 Sindrom nefrotik resisten steroid
 Sindrom nefrotik dependen steroid
2.3.8 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang.2,3

 Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh, dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang.
Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
 Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-
kadang ditemukan hipertensi.
 Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+), dapat disertai
hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (≤ 2,5 g/dl),
hiperkolesterolemia(> 200 mg/dL), dan laju endap darah yang meningkat, rasio
albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali
ada penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20
eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis. Sclerosis glomerulus fokal).

21
2.3.9 Tatalaksana

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di


rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi
orangtua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan berikut:2,4

1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan


2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama
6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat


edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah.2

Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena
akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema. 2

22
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan
pemantauan elektrolit Kalium dan Natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak
berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau
hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan
dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-
pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi
jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk
memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites
sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites
berulang.2

Furosemid 1 – 3 mg/kgbb/hari + spironolakton 2-4 mg/kgbb/hari

Respon -

Berat badan tidak menurun atau tidak ada diuresis dalam 48 jam

Dosis furosemid dinaikkan 2 kali lipat (maksimum 4-6 mg/kgbb/hari)

Respon -

Tambahkan hidroklorothiazid 1-2 mg/kgbb/hari

Respon -

Bolus furosemid IV 1-3 mg/kgbb/dosis atau per infus dengan kecepatan 0,1-1
mg/kgbb/jam

23
Respon -

Albumin 20% 1g/kgbb intravena diikuti dengan furosemid intravena

Gambar 2.3.9.1 Alogaritma pemberian diuretik2,4

Pengobatan Dengan Kortikosteroid


Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.2,4

A. Terapi Insial

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid
sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2
mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi.
Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi
remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40
mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x
sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak
terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

4 minggu 4 minggu

........................................

Remisi (+) Dosis alternating (AD) / Selang sehri

Proteinuria (-)

Edema (-)

Remisi (-) : resisten steroid Prednison FD : 60mg/m2 LPB/hari

Imunosupresan lain Prednison AD : : 40mg/m2 LPB/hari

Gambar 2.3.9.2 Pengobatan inisial dengan kortikosteroid

24
B. Pengobatan Sn Relaps
Pengobatan relaps, yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada
pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi
saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila
kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila
sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps
dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.

SN relaps Remisi AD

FD

Prednison FD : 60mg/m2 LPB/hari

Prednison AD : : 40mg/m2 LPB/hari

Gambar 2.3.9.3 Pengobatan sindrom nefrotik relaps

Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat
penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan
relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien
dapat dibagi dalam beberapa golongan:2

1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)

2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)

3. Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)

4. Dependen steroid : bagian dari relaps sering yang jumlah relapsnya lebih
banyak dan prognosisnya lebih buruk, tetapi masih lebih baik daripada resisten
steroid.

25
Pasien pada kategori 1 dan 2 mempunyai prognosis paling baik, biasanya
setelah mengalami 2-3 kali relaps tidak akan relaps lagi. Pada kategori 3 dan 4
bila berlangsung lama akan menimbulkan efek samping steroid, antara lain moon
face, hipertensi, striae, dan lain lain. Pasien SN relaps sering dan dependen steroid
sebaiknya dirujuk ke ahli nefrologi anak, atau setidaknya ditata laksana bersama-
sama dengan ahli nefrologi anak.

C. Pengobatan Sn Relaps Sering Atau Dependen Steroid2,4

Dahulu pada SN relaps sering dan dependen steroid segera diberikan pengobatan
steroid alternating bersamaan dengan pemberian siklofosfamid (CPA), tetapi
sekarang dalam litelatur ada 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen
steroid :

1. Pemberian steroid jangka panjang


2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin atau mikrofenolat mofetil (opsi terakhir)

Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang
telinga tengah, atau kecacingan.

1. Steroid jangka panjang


Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka panjang dapat
dicoba lebih dahulu sebelum pemberian CPA, mengingat efek samping steroid
yang lebih kecil. Jadi bila telah dinyatakan sebagai SN relaps sering/dependen
steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan
steroid selang sehari dengan dosis yang diturunkan bertahap 0,2 mg/kgBB sampai
dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgBB
selang sehari. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6-12
bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir
prednison 0,5mg/kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgBB secara
selang sehari. Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgBB
selang sehari, tetapi < 1,0 mg/kgBB selang sehari tanpa efek samping yang berat,

26
dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol dosis 2,5 mg/kgBB selang sehari
selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan CPA.

Bila ditemukan keadaan di bawah ini:

1. Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis selang sehari atau
2. Dosis rumat < 1 mg tetapi disertai efek samping steroid yang berat, pernah
relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis, sepsis diberikan
CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12 minggu.

2. Levamisol

Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol diberikan


dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek
samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan
neutropenia yang reversibel.

3. Sitostatika

Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.

Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari


dalam dosis tunggal , maupun secara intravena atau puls. CPA intravena diberikan
dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA diberikan sebanyak 7 dosis/IV, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA intravena adalah 6 bulan). Efek
samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis
hemoragik, azoospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan
keganasan. Oleh karena itu, perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar
hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit
<3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan
sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8
g/dL, trombosit >100.000/uL.

Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgBB. Pemberian CPA oral selama 3 bulan

27
mempunyai dosis total 180 mg/kgBB, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil
diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kgBB/hari selama minggu. Pengobatan
klorambusil pada SN sensitif steroid sangat terbatas karena efek toksik berupa
kejang dan infeksi.

4. Siklosporin (CyA)

Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau


sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari
(100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin
darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen
steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten
steroid.

5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)

Pada SN sensitif steroid yang tidak memberikan respons dengan levamisol


atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200
mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgBB bersamaan dengan penurunan dosis steroid
selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare,
leukopenia.

Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindroma
nefrotik6,12

 Remisi : Proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4mg/m2 LPB/jam) 3 hari


berturut-turut dalam satu minggu
 Relaps : Proteinuria ≥2+ (>40mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu >2mg) 3 hari berturut dalam satu minggu
 Sensitif steroid (SNSS) : Sindrom nefrotik yang remisi setelah pemberian
prednison dosis penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu

28
 Resisten steroid (SNRS) : Tidak mengalami remisi setelah pemberian
prednison dosis penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu
 Responsif steroid : Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja
 Relaps jarang : Relaps kurang dari 2x dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau kurang dari 4x per tahun
 Relaps sering : Relaps ≥ 2x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal ≥ 4x
dalam periode satu tahun
 Dependen steroid : Relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan
 Responder Lambat : Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60mg /
m2 / hari tanpa tambahan terapi lain
 Nonresponder awal : Resisten steroid sejak terapi awal

Nonresponden lambat : Resisten steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya


responsif steroid

D. Pengobatan Sn Dengan Kontraindikasi Steroid

Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,


seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat,
maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA intravena. Siklofosfamid
dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun
secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA intravena
diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7
dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).

E. Pengobatan Sn Resisten Steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum


memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan
biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi
anatomi mempengaruhi prognosis.

1. Siklofosfamid (CPA)

29
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan
pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena
SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada
pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau
menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.

2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA
adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat
nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada
pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap :

• Kadar CyA dalam darah : dipertahankan antara 150-250 nanogram/Ml


• Kadar kreatinin darah berkala
• Biopsi ginjal setiap 2 tahun

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam


literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau
sangat selektif.

3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau
klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000
mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.

30
Minggu Metilprednisolon Jumlah Prednison oral
ke-

1–2 30 mg/kgbb, 3 x seminggu 6 Tidak diberikan

3 – 10 30 mg/kgbb, 1 x seminggu 8 2 mg/kgbb, dosis tunggal

11 – 18 30 mg/kgbb, 2 minggu 4 Dengan atau tanpa taper off


sekali

19 – 50 30 mg/kgbb, 4 minggu 8 Taper off pelan-pelan


sekali
51 – 82 30 mg/kgbb, 8 minggu 4 Taper off pelan-pelan
sekali

Tabel 1. Protokol metilprednisolon dosis tinggi

4. Obat imunosupresif lain


Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS
adalah vinkristin,20 takrolimus dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam
literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat
ini belum direkomendasi di Indonesia.

31
Gambar . Skema tata laksana sindrom nefrotik

PEMBERIAN OBAT NON-IMUNOSUPRESIF UNTUK MENGURANGI


PROTEINURIA

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor


blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja
kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan
tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga
mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth
factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya

32
merupakan sitokin penting yang berperan pada terjadinya glomerulosklerosis.
Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS,
berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai
risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam
kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan
hasil penurunan proteinuria lebih banyak.

Pada anak dengan SNRS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa
digunakan adalah:
• Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
• Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

TATA LAKSANA KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK

1. INFEKSI
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat
infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama
adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya
disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu
diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin
generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain
yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran
napas atas karena virus.

Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien


varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-
zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat
diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena (400mg/kgbb). Bila
sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi
3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7
– 10 hari, dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.

33
2. TROMBOSIS
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan
bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat
trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis
telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin
secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih.
Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak
dianjurkan.

3. HIPERLIPIDEMIA

Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan
VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL
menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik,
sehingga meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas
glomerulosklerosis.

Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara


dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan
pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk
mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diit rendah
lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor
HMgCoA reduktase (statin).

4. HIPOKALSEMIA

Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena penggunaan steroid jangka


panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia. Oleh karena itu pada
pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan)
dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-
250 IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak
0,5 mL/kgbb intravena.

34
5. HIPOVOLEMIA
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat
terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan
sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan
cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1
g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila
hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2
mg/kgbb intravena.

6. HIPERTENSI

Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan


penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan
inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor
blocker) calcium channel blockers, atau antagonis β adrenergik, sampai tekanan
darah di bawah persentil 90.

KOMPLIKASI

Komplikasi utama SN adalah infeksi. Kejadian infeksi serius meningkat,


terutama bakteriemia dan peritonitis (khususnya infeksi Streptococcus
pneumonia, Escherichia coli, atau Klebsiella), yang disebabkan oleh hilangnya
imunoglobulin dan komplemen di urin. Efek samping steroid juga banyak
ditemukan pada pasien yang resisten steroid atau relaps sering. Hipovolemia dapat
terjadi akibat diare atau penggunaan diuretik. Selain itu, hilangnya faktor
koagulasi, antitrombin dan plasminogen dapat menyebabkan keadaan
hiperkoagulasi dengan resiko tromboemboli (TE). Pemberian warfarin, lovenox,
aspirin dosis rendah atau dipiridamol dapat meminimalkan risiko pembentukan
trombus pada pasien SN yang memiliki riwayat TE atau berisiko tinggi untuk
terjadi TE. Keadaan hiperlipidemia juga meningkatkan risiko peningkatan
arterosklerotik.2

PROGNOSIS

35
Kebanyakan anak dengan SN mengalami remisi. Hampir 80% anak
dengan SNKM mengalami relaps, yang didefinisikan sebagai proteinuria masif
yang menetap selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu. Proteinuria transien
(kurang dari 3 hari) dapat terjadi bila terdapat infeksi dan tidak termasuk relaps.
Terapi steroid efektif untuk mengatasi relaps. Pasien yang sensitif steroid berisiko
rendah mengalami gagal ginjal kronik. Pasien dengan GSFS (glomerulonefritis
fokal segmental) mulanya memberikan respons terhadap terapi steroid, namun
kemudian menjadi resisten. Pasien dengan GSFS dapat berkembang menjadi
gagal ginjal terminal. Pada anak yang menjalani transplantasi ginjal, rekurensi
GSFS berkisar 30%.

36
REKAM MEDIS

IDENTITAS PASIEN

 Nama lengkap : An. ATH

 Tempat/Tanggal lahir : Malaysia, 29 Juni 2000

 Alamat : Waturoyo 3/7 Margoyoso, Pati, Jawa Tengah

 Suku Bangsa : Jawa

 Umur : 16 tahun

 Jenis Kelamin : Laki – laki

 Pendidikan : SMK/Pelajar

 Agama : Islam

ANAMNESIS

Tanggal : 25 Juli 2017 di poli anak dilakukan secara auto dan aloanamnesa
dengan ibu pasien

Keluhan Utama : Bengkak

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli anak RSUD RAA Soewondo Pati dengan keluhan
kontrol. Pasien di diagnosa sindrom nefrotik sejak usia 4 bulan yang lalu.
Berdasarkan catatan medis, pasien datang ke UGD RSUD RAA soewondo pati
dengan keluhan bengkak 2 minggu SMRS. Bengkak timbul perlahan-lahan
dimulai dari kedua kelopak mata lalu ke seluruh tubuh. Bengkak sulit kembali
ketika ditekan. Keluhan nyeri, gatal, dan kemerahan pada daerah yang bengkak
disangkal. Demam, riwayat sesak napas saat aktivitas, kebiruan, batuk, dan
konsumsi obat juga disangkal. Riwayat alergi disangkal. Pasien mengaku baru
pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Pada keluarga tidak pernah ada yang
menderita bengkak seperti ini atau kelainan ginjal. Riwayat sakit jantung atau

37
tekanan darah tinggi pada keluarga , dan kontak dengan orang yang batuk lama
disangkal.

Pasien juga mual-muntah sejak ± 5 hari SMRS, tidak menyembur, dan


berisi makanan, darah (-). Napsu makan pasien menurun selama sakit. Sekitar 1
bulan sebelum keluhan bengkak muncul, pasien sempat mengalami sakit
tenggorokan dan sudah berobat ke dokter serta diberi obat dan membaik. Riwayat
sakit kulit sebelum bengkak disangkal. Sehari-hari pasien makan 3 kali sehari
dengan nasi dan lauk beragam yang terdiri dari nasi, ikan/ayam, dan sayur.
Sebelum sakit, napsu makan pasien baik. Pasien minum air putih dalam sehari
sebanyak 1200 ml. Pasien suka minum marimas ± 2 sachet dalam sehari dan
minum minuman bersoda ± 1 botol setiap harinya. Riwayat BAB cair 3x berwarna
kuning lendir (-) darah (-). Pasien BAK 3-4x sehari dalam jumlah yang sedikit
setiap BAK. Urin berwarna kuning keruh, darah (-). Riwayat keluar batu maupun
nyeri saat BAK disangkal.

Pada pemeriksaan fisik pada tanggal 21/03/2017 didapatkan oedem pada


kelopak mata dan ekstremitas, tidak kemerahan dan tidak terdapat nyeri.

Sejak didiagnosa sindrom nefrotik pasien mendapat terapi prednisone.


BAB pasien rutin 1 hari 1 kali, bentuk normal, warna coklat, BAK 1 hari 3-4 kali,
warna kuning, tidak nyeri dan tidak ada darah.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien di diagnosa sindrom nefrotik sejak usia 4 bulan yang lalu


 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwaya penyakit jantung : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

 Keluhan yang sama pada keluarga disangkal


 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwaya penyakit jantung : disangkal

38
Riwayat Pengobatan

Obat-obat rutin diminum : sejak 4bulan yang lalu mengonsumsi prednisone, saat
ini pasien sudah tidak minum prednisone sejak 1 bulan yang lalu

Riwayat Perinatal

- Pasien anak pertama dan tunggal lahir dari ibu G1P0A0


- Aterm, spontan ditolong oleh dokter, tidak ada penyulit, BBL : 3200 gram

Riwayat Imunisasi

Ibu pasien lupa

Riwayat Pertumbuhan

BB = 58 kg TB = 163 cm IMT = 16,89 kg/m2

Kurva CDC : - BB/U : 73,43 % (BB Kurang)

- TB/U : 94,2 % (Baik/Normal)

- BB/TB : 94 % (Normal)

- IMT/U : 84,2 %

Kesan : Status gizi baik, perawakan normal

Riwayat Asupan Nutrisi

- Pasien tidak mendapat ASI eksklusif dan mendapatkan susu formula


- Pasien makan 3 kali sehari dengan nasi dan lauk beragam, yang terdiri dari
nasi, ayam/ikan/ telur/ tahu/ tempe, dan sayuran. Pasien mengkonsumsi
garam 2 sendok makan per hari
- Pasien minum air putih 1200 ml
- Pasien gemar minum marimas 2 sachet dan minuman bersoda 1 botol dalam
sehari

Kesan : Kualitas dan kuantitas baik

PEMERIKSAAN FISIK

39
Tanggal : 27 Juli 2017

Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : Compos Mentis

Tanda vital : Tekanan darah : 110/70 mmHg

Frekuensi nadi : 82 x/menit, reguler, isi cukup

Frekuensi napas : 22 x/menit, reguler

Suhu tubuh : 36,4˚C

Pemeriksaan Sistem

- Kepala : mesosefal, rambut hitam terdistribusi merata, tidak mudah


dicabut, benjolan(-), kelainan kulit kepala (-).
- Mata : bentuk normal, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+,
pupil bulat isokor +/+, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, edema
palpebra –
- Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-) faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
hiperemis (-)
- Telinga : bentuk & ukuran normal, sekret (-), nyeri tekan & nyeri tarik (-)
- Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)
- Paru : Inspeksi : Dada simetris, retraksi otot pernafasan (-)
Palpasi : Pergerakan dada simetris
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
- Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba di MCL sinistra ICS V
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I & II normal, reguler, murmur (-),
gallop (-)

- Abdomen : Inspeksi : Bentuk abdomen datar

40
Auskultasi : Bising usus (+) 8x/menit
Perkusi : Timpani di seluruh kuadran
Palpasi : Turgor kulit normal, nyeri tekan (-)
- Ekstremitas : Akral dingin (-), edema (-), capillary refill time < 2 detik
- Kulit : sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit normal
- KGB : pembesaran (-)

Pemeriksaan neurologis :

- Refleks patela +/+


- Refleks babinski -/-
- Refleks chaddock -/-

Pemeriksaan Laboratorium

URINALI 25/7/17 11/7/17 13/06/1 16/05/ 02/05/1 18/04/1 11/04/1 31/3/17


SIS 7 17 7 7 7

Warna Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning


muda muda muda muda

Kejernihan Agak Agak Jernih Agak Agak Jernih Agak Jernih


keruh keruh Keruh keruh keruh

Berat Jenis >1.010 1.015 1.015 1.015 1.015 1.015 1.015 1.015

pH 6.5 7.0 8.0 7.5 7.5 7.5 7.0 6.5

Protein - - - - - - + -

Urobilinog Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal


en

Bilirubin - - - - - - - -

Nitrit - - - - - - -

Sedimen

Epitel + + ++ + + + ++ ++

Leukosit 3-4 2-3 3-4 1-3 2-3 0-1 3-4 2-3

41
-Eritrosit 1-2 1-2 2-3 0-1 - - 3-4 3-4

-Kristal - - - - - - - +
amorf

URINALISIS 21/03/1 17/03/1 13/03/1 11/03/


7 7 7 17

Warna Kuning Kuning Kuning Kuning


muda

Kejernihan Jernih Agak Agak Agak


keruh keruh Keruh

Berat Jenis 1.015 1.015 1.020 1.015

pH 8.0 6.5 7.0 7.0

Protein - Pos 3+ Pos 4+ Pos 4+

Darah samar - - + +

Urobilinogen Normal Normal Normal Normal

Bilirubin - - - -

Nitrit - - - -

Sedimen

Epitel + ++ + +

Leukosit 3-4 3-4 3-5 3-5

-Eritrosit 3-4 2-3 10-15 10-15

-Kristal - +Ca - -
oxalate

42
Hematologi Nilai rujukan 11/03/17 13/03/17
analyzer

Leukosit 3,8 - 10,6 11 9,6

Eritrosit 4,7 – 6,1 5,77 4,59

Hemoglobin 11 – 15 17,4 13,6

Hematokrit 40 – 52 47,9 38,1

MCV 82 – 92 83 83

MCH 27- 31 30,2 29,6

MCHC 32 – 36 36,3 35,7

Trombosit 150 - 400 294 250

RDW- CV 11,5 – 14,5 13,9 13,2

RDW – SD 35 – 47 39,4 39,1

PDW 9 – 15 11,9 12,6

MVP 6,8 - 10 10,5 10

P-LCR 28,3 26,2

HITUNG JENIS

Neutrofil 50 – 70 89,4 51,9

Limfosit 25 – 40 6,2 25,2

Monosit 2–8 3,9 5,3

Eosinofil 2–4 0,4 16,5

Basofil 0–1 0,1 1,1

43
KIMIA KLINIK

Glukosa ACC 70 – 160 - -

SGOT <35 25,5 -

SGPT <45 21,4

Albumin 3,4 – 4,6 1,4 1,4

Kolestrol Total <200 562 562

Trigliserida 0 – 153 153 153

Natrium Darah 135 – 155 128,5

Kalium Darah 3,6 -5,5 3,82

Klorida Darah 95 – 108 102,1

Ureum 10 – 50 31

Kreatinin 0,6 1,2 0,62

EKG 11/3/17 : Irama sinus, R-R 826 107 ms, QRS 86 ms, QT 400 ms, Axis 75
deg > dalam batas normal

RESUME

Telah diperiksa seorang laki-laki usia 17 tahun dengan sindrom nefrotik


sejak 4 bulan yang lalu. Berdasarkan catatan medis, pasien datang ke UGD
RSUD RAA soewondo pati dengan keluhan udem anasarka yang muncul perlahan
dari kedua kelopak mata lalu ke seluruh tubuh. Terdapat mual dan muntah 5 hari
SMRS. Riwayat BAB cair 3x berwarna kuning lendir (-) darah (-). Pasien BAK
3-4x sehari dalam jumlah yang sedikit setiap BAK. Urin berwarna kuning keruh,
darah (-). Riwayat keluar batu maupun nyeri saat BAK disangkal.

44
Pada pemeriksaan fisik pada tanggal 21/03/2017 didapatkan oedem pada
kelopak mata dan ekstremitas, tidak kemerahan dan tidak terdapat nyeri

Pemeriksaan laboratorium: albumin menurun 1,4, kolesterol total


meningkat 562, trigliserida meningkat 153, dan urinalisis didapatkan protein
positif 4, leukosit 3-5 LBP, eritrosit 10-15 LPB, dan berwarna agak keruh.

DAFTAR MASALAH / DIAGNOSA

Diagnosa Kerja :

- Sindrom Nefrotik Initial tipe sensitif steroid

- Status gizi baik perawakan normal

PENGKAJIAN

Clinical Reasoning :

- Bengkak seluruh tubuh sejak 2 minggu yang muncul perlahan dan progresif
dimulai dari kelopak mata

- Mual dan muntah

- Bab cair 3 kali sehari, lendir – darah

- PF : Edema palpebral minimal

Pemeriksaan laboratorium : albumin menurun 1,4, kolesterol total meningkat


562, trigliserida meningkat 153

- Urinalisis : protein 4+, leukosit 3-5 LBP, eritrosit 10-15 LPB, dan berwarna agak
keruh.

- Proteinuria menurun 4+ menjadi 3+ dan perbaikan gejala klinis setelah


mendapatkan prednisone inisial/full dose pada hari kelima dan proteinuria
menjadi negatif pada terapi prednisone inisial/full dose hari kesembilan.

Diagnosa Banding : -

Rencana Diagnostik : - Biopsi Ginjal (jika terdapat indikasi)

45
RENCANA TERAPI FARMAKOLOGIS

Diet protein sesuai RDA  1,5-2 g/kgBB/hari

RENCANA EVALUASI

- Pemantauan urinalisa
- Darah lengkap
- Kolesterol
- Tekanan darah
- Visus dan pemeriksaan fisik mata
- Tinggi badan & berat badan untuk pantau pertumbuhan

EDUKASI

- Istirahat cukup
- Jaga daya tahan tubuh karena pasien dengan sindrom nefrotik mudah terkena
infeksi
- Atur pola makan

PROGNOSIS

Ad vitam : dubia

Ad sanationam : dubia

Ad functionam: dubia

46
ANALISIS KASUS

Teori Kasus
Definisi
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis • Protein urin dipstick 4+
yang ditandai dengan gejala: • Hipoalbumin : 1,4 g/dl
• Proteinuria massif (≥40 mg / m2/ LBP / • Edema anasarka
jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio • Hiperkolesterolemia:
protein/kreatinin pada urin sewaktu > kolesterol total 562 mg/dL,
2mg/ mg atau dipstick ≥ 2+) dan trigiliserida 152mg/dL
• Hipoalbuminemia ≤ 2,5g /dL
• Edema
• Hiperkolesterolemia > 200 mg / dL
Epidemiologi
Sindrom nefrotik banyak menyerang pada Pasien laki-laki berusia 17 tahun
anak dengan usia kurang dari 16 tahun, paling
banyak usia 3-5 tahun. Perbandingan anak
lak-laki : perempuan 2 : 1

Faktor resiko
• Sindrom Nefrotik kongenital Sindrom nefrotik idiopatik
• Sindrom Nefrotik primer/ idiopatik
• Sindrom Nefrotik sekunder
Anamnesa dan pemeriksaan fisik
• Edema pada jaringan yang rendah • Bengkak seluruh tubuh sejak 2
(misalnya daerah periorbita skrotum atau minggu SMRS
labia). Akhirnya edema menjadi • Diare
menyeluruh dan masif (anasarka)
• Asites
• Gejala gastrointestinal, seperti diare
• Hipertensi lebih dari 90th persentil umur
• Sesak napas akibat efusi pleura
• Gangguan psikososial

47
Pemeriksaan penunjang
• Urinalisa: proteinuria • Darah Lengkap
• Albumin : hipoalbumin • Kimia darah : hipoalbumin 1,4
• Kolesterol : meningkat • Kolesterol tinggi dan
• Foto torax : efusi pleura kolesterol total meningkat
• USG abdomen : efusi pleura, dan asites 562, trigliserida meningkat
• Darah lengkap 153
• Urinalisis didapatkan protein
positif 4, leukosit 3-5 LBP,
eritrosit 10-15 LPB, dan
berwarna agak keruh
Tata laksana
• Prednison inisial/full dose 80 mg terbagi • Prednison inisial/full dose 5
dalam 3 dosis selama 4 minggu mg dengan dosis total sehari
• Alternate dose 2/3 dari full dose dibagi 80 mg 6-5-5 selama 30 hari
dalam beberapa dosis selama 4 minggu (13 Maret- 11 April 2017)
kemudian tapering off dosis alternate • Lasik 2 x 1 tab selama 11 hari
selama 3 bulan perawatan di RS
• Furosemid • Prednisone alternate dose
• Koreksi albumin jika sudah diberikan pertama dimulai 12 April-16
diuretic tetapi masih edema Mei 2017 selama 35 hari
• Ace Inhibitor dengan dosis sehari 60 mg
• Diet protein seimbang Senin Rabu Jumat 5-4-3
• Diet rendah garam dan lemak • Tapering of Prednison
dimulai 17 Mei 2017, yaitu
Minggu I 43-2, Minggu II 4-2-
1, Minggu III 3-2-1, Minggu
IV : 2-1-0
• Captopril 12,5 tab 2 x 1
selama 39 hari dimulai 11
Maret-18 April 2017
• Furosemid 1-0-1 selama 22

48
hari dimulai 11 April – 2 Mei
2017
• Diet rendah garam&lemak
Prognosis
Prognosis baik jika dapat didiagnosis segera • Ad vitam : Dubia
dan sensitif steroid. Prognosis baik, kecuali • Ad sanactionam: Dubia
menderita untuk pertama kalinya pada umur • Ad fungsionam: Dubia
di bawah 2 tahun, disertai oleh hipertensi,
hematuria nyata, jenis sindrom nefrotik
sekunder dan resisten steroid.

49
BAB 3
KESIMPULAN

Sindrom nefrotik adalah kumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh


proteinuria Proteinuria massif (≥40 mg / m2/ LBP / jam atau 50 mg/kg/hari atau
rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2mg/ mg atau dipstick ≥ 2+),
hipoalbuminemia ≤ 2,5g /dL, edema, hiperkolesterolemia > 200 mg / dL. Angka
kejadian SN berkisar 3 hingga 5 tahun. Berdasarkan kelainan histopatologis,
sindrom nefrotik yang paling sering ditemukan adalah perusindrom nefrotik
kelainan minima. Pendekatan diagnosis sindrom nefrotik berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisik yang didapat, pemeriksaan laboratorium dan dikonfirmasi
dengan biopsi renal untuk pemeriksaan histopatologis jika ada indikasi.
Pengobatan pada sindroma nefrotik dapat berupa pengobatan medikamentosa dan
pengobatan suportif. Pengobatan medikamentosa dapat berupa pemberian
kortikosteroid dalam terapi inisial, pemberian levamisol, pengobatan dengan
sitostatik dan siklosporin pada sindroma nefrotik yang relaps atau resisten steroid.
Sedangkan terapi suportif dapat berupa pembatasan diet (sesuai dengan
recommended daily allowances yaitu 1,5-2g/KgBB/hari), pemberian diuretik dan
pembatasan intake cairan oral. Terapi medikamentosa dan suportif harus diberikan
secara kombinasi. Komplikasi dari sindrom nefrotik berupa infeksi,
tromboemboli, gagal ginjal akut, anasarka, hipovolemia dan gangguan
pertumbuhan.

50

Anda mungkin juga menyukai