Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ober Goklas Sihite

NIM : 150200419
Grup : Perbandingan Hukum Perdata (B)

PERBANDINGAN GADAI MENURUT KUHPERDATA DENGAN


HUKUM ISLAM

A. GADAI MENURUT HUKUM PERDATA


1. Pengertian Gadai
Pengertian gadai dalam kamus umum bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka adalah
“pinjam-meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai
tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus barang itu menjadi hak yang
memberi pinjaman.
Di dalam KUH Perdata Pasal 1150 mengatakan, gadai adalah :
Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan
kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk
melelang barang-barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya
setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

2.Objek Gadai
Dalam Pasal 1150 jo. Pasal 1152 KUH Perdata menyatakan, yang dapat dijadikan objek dari
hak gadai ialah semua benda bergerak.
Dalam Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata tentang hak gadai atas benda-benda bergerak dan
atas piutang-piutang atas bawa/tunjuk, dapat dikatakan bahwa gadai dapat diletakkan, baik
atas barang-barang bergerak bertubuh (berwujud) maupun yang tidak bertubuh. Juga di dalam
pasal 1158, Pasal 1152 bis, dan Pasal 1153 KUH Perdata dibicarakan tentang menggadaikan
suatu tagihan
3. Hak Dan Kewajiban Pemegang Gadai
a. Hak Pemegang gadai
1. Pemegang gadai berhak untuk menggadaikan lagi barang gadai itu, apabila hal itu
sudah menjadi kebiasaan, seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau
obligasi (Pasal 1155 KUH Perdata).
2. Apabila pemberi gadai (si berutang) melakukan wanprestasi, maka pemegang gadai
(si berpiutang) berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu, dan kemudian
mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang itu. Penjualan barang itu
dapat dilakukan sendiri atau dapat juga meminta perantaraan hakim (Pasal 1156 ayat
(1) KUH Perdata).
3. Pemegang gadai berhak untuk mendapatkan ganti biaya–biaya yang telah ia keluarkan
untuk menyelamatkan barang yang digadaikan itu (Pasal 1157 ayat (2) KUH Perdata).
4. Pemegang gadai berhak untuk menahan barang yang digadaikan sampai pada waktu
utang dilunasi, baik mengenai jumlah pokok maupun bunga (Pasal 1159 ayat (1)
KUH Perdata).
b. Kewajiban Pemegang gadai
1. Pemegang gadai wajib memberitahukan pada orang yang berutang apabila ia hendak
menjual barang gadainya (Pasal 1156 ayat (2) KUHPerdata).
2. Pemegang gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang
yang digadaikan, jika itu semua terjadi karena kelalaiannya (Pasal 1157 ayat (1)
KUHPerdata).
3. Pemegang gadai harus memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualan itu,
dan setelah ia mengambil pelunasan utangnya, maka ia harus menyerahkan
kelebihannya pada si berutang (Pasal 1158 KUHPerdata).
4. Pemegang gadai harus mengembalikan barang gadai kepada pemberi gadai, apabila
utang pokok, bunga dan biaya untuk menyelamatkan barang gadai telah di bayar lunas
(Pasal 1159 KUHPerdata).
4. Hapusnya Gadai
Hak gadai akan hapus dalam hal-hal berikut ini :
a) Dengan hapusnya perikatan pokok yang dijamin dengan gadai. Ini sesuai dengan sifat
accessoir daripada gadai, sehingga nasibnya bergantung kepada perikatan pokoknya.
Perikatan pokok hapus antara lain karena :
1) pelunasan
2) kompensasi
3) novasi
4) penghapusan hutang
b) Dengan terlepasnya benda jaminan dari kekuasaan pemegang gadai.
Tetapi pemegang gadai masih mempunyai hak untuk menuntutnya kembali dan jika
berhasil, maka undang-undang menganggap perjanjian gadai tersebut tidak pernah
terputus (Pasal 1152 ayat (3) K.U.H.Perdata).
c) Dengan hapus/ musnahnya benda jaminan.
d) Dengan dilepasnya benda gadai secara suka rela.
e) Dengan percampuran, yaitu dalam hal pemegang--gadai menjadi pemilik barang gadai
tersebut.
f) Kalau ada penyalahgunaan benda gadai oleh pemegang-gadai (Pasal 1159 KUH
Perdata). Sebenarnya undang-undang tidak mengatakan secara tegas mengenai hal ini.
Hanya dalam Pasal 1159 KUH Perdata dikatakan, bahwa pemegang-gadai
mempunyai hak retensi, kecuali kalau ia menyalahgunakan benda gadai, dalam hal
mana secara a contrario dapat disimpulkan, bahwa pemberi-gadai berhak untuk
menuntut kembali benda jaminan. Kalau benda jaminan keluar dari kekuasaan
pemegang-gadai, maka gadainya menjadi hapus.

B. GADAI MENURUT HUKUM ISLAM


1. Pengertian Gadai
Gadai atau dalam bahasa Arab ar-rahn secara bahasa ialah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan
langgeng) atau bisa juga bermakna Al ihtibas wa Al luzum (tertahan dan
keharusan).Sedangkan menurut syar’i, ar-rahn atau gadai adalah harta yang dijadikan sebagai
jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib
membayarnya, jika dikemudian hari ia gagal atau berhalangan dalam melunasinya.Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa gadai ialah harta benda
yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat dilunasi semuanya ataupun
sebagian dengan harganya atau dengan sebagian dari nilai barang gadainya
tersebut.Misalnya, jika seseorang mempunyai hutang kepada Anda senilai Rp 1 juta. Lalu, ia
memberikan sebuah barang yang nilainya sebesar Rp 2 juta sebagai jaminan utangnya.Maka,
jika di kemudian hari ia tak mampu melunasi utangnya maka nilai barang tersebut dapat
dilunasi dengan menjual barang agunan/jaminan tersebut.
2. Dasar Hukum
a. Al Quran
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang).” (QS. Al Baqarah: 283)
Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa “barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Dalam dunia finansial, barang tanggungan umum dikenal sebagai jaminan,
agunan, atau juga objek pegadaian.
b. Al Hadits
Aisyah ra berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membeli makanan dari
orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR
Bukhari II/729 (no.1962) dalam kitab Al Buyu’, dan Muslim III/1226 (no. 1603) dalam kitab
Al Musaqat)
Anas ra berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menggadaikan
baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari
orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR. Bukhari II/729 (no. 1963)
dalam kitab Al Buyu’)
c. Ijma’
Mengenai hukum gadai dalam Islam, para ulama telah bersepakat memperbolehkan gadai
atau ar-rahn. Meskipun begitu sebagian dari merka masih terdapat perbedaan pendapat dalam
keadaan safar. Namun begitu, pendapat yang lebih kuat ialah boleh melakukan gadai dalam
kedua keadaan itu.
Sebab, berdasarkan hadits riwayat Aisyah Anas radhiyallahu ‘anhuma di atas telah jelas
menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah melakukan gadai di kota Madinah sedangkan beliau
dalam keadaan tidak safar, tapi sedang mukim.

3.Objek Gadai
Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan maka boleh dijadikan barang gadai / jaminan,
sehingga apa saja yang tidak boleh diperjualbelikan maka tidak boleh digadaikan. Hal ini
dikarenakan maksud menggadaikan sesuatu adalah untuk jaminan apabila tidak dapat
melunasi hutangnya, sehingga apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasi
hutangnya, maka barang tersebut bisa dijual untuk melunasi hutang tersebut, dan ini akan
terwujud dengan barang yang bisa diperjualbelikan. ( ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zadul
Mustawni’, Manshur bin Yunus al- Bahuti, hal. 364), Oleh karena itu, seandainya sesorang
ingin meminjam uang kemudian menggadaikan anaknya, maka ini tidak diperbolehkan
karena anak tidak boleh diperjualbelikan. Sebagaimana hadists yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari, bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Ada tiga golongan yang
dibantah oleh Alloh pada hari kiamat.” Diantara tiga golongan tersebut, Nabi Shollallahu
‘Alaihi Wasallam menyebutkan:Dan (Alloh akan membantah) seorang yang menjual (orang)
yang merdeka[3] dan memakan hasil penjualannya. (HR. Bukhari 4/447 no. 2270)Seandainya
seseorang ingin meminjam uang dan menggadaikan hewan-hewan piaraan yang haram
hukumnya seperti anjing dan babi, maka ini tidak diperbolehkan karena anjing dan babi tidak
boleh diperjualbelikan lantaran barang yang haram tidak boleh diperjualbelikan. Hal ini
didasari oleh sebuah hadist Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam :Sesungguhnya Alloh apabila
mengharamkan sesuatu, pasti mengharamkan harga (jual beli)nya. (Hadist ini dishahihkan al-
Albani dalam Ghayatul Maram)Seandainya seseorang menggadaikan sebuah rumah padahal
rumah ini adalah rumah wakaf, maka penggadaian ini tidak sah karena sesuatu yang telah
diwakafkan tidak boleh dijual. Sebagaimana hadist yang menjelaskan tentang hal itu, Nabi
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:Tidak boleh dijual barang asal (yang diwakafkan)
tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. (HR. Bukhari 2737, Muslim 1632,
Tirmidzi 1375 dari hadist Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu)Dari contoh-contoh di atas, dapat
kita ketahui bahwa setiap barang yang bisa / boleh diperjualbelikan maka boleh dijadikan
barang gadai.

4. Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai


1). Hak Murtahin ( Penerima Gadai ) :
a) Pemegang gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi
kewajibannya pada sat jatuh tempo. Hasil penjualan barang gadai (marhun) dapat
digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan kepada
rahin.
a) Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan
untuk menjaga keselamatan marhun.
b) Selama pinjaman belum dilunasi, pemegang gadai berhak menahan barang gadai
yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
2.) Adapun kewajiban penerima gadai (murtahin) adalah :
(a)Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya barang gadai,
apabila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
(b) Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan sendiri.
(c) Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan
pelelangan barang gadai.

5.Hapusnya Gadai

Gadai dipandang habis (hapus) dengan beberapa cara, antara lain:

1. Barang jaminan diserahkan kepada pemiliknya.


2. Dipaksa menjual jaminan tersebut. Rahn habis jika hakim memaksa ra>hin untuk
menjual barang jaminan tersebut, atau hakim menjualnya jika ra>hin menolah.
3. Rahin melunasi semua hutangnya.
4. Pembebasan hutang. Pembebasan hutang dalam bentuk apa saja, menandakan
hapusnya rahn meskipun hutang tersebut dipindahkan pada orang lain.
5. Pembatalan rahn dari pihak murtahin. Rahn dianggap hapus jika murtahin
membatalkan rahn meskipun tanpa seijin ra>hin. Sebaliknya, dianggap tidak batal jika
rahin membatalkannya.
6. Rahin meninggal.
7. Barang jaminan tersebut rusak.
8. Barang jaminan tersebut dijadikan hadiah, hibah, sedekah dn lain-lain atas seijin
pemiliknya.

Anda mungkin juga menyukai