Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

DENGAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA


(BPH)

Disusun Oleh:

Anis Setyati, S.Ked (J510155075)

Pembimbing :
dr. Saut Idoan Sijabat, Sp. B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RSUD Dr. HARJONO KABUPATEN PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

1
REFERAT

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA


(BPH)

Disusun Oleh:

Anis Setyati, S.Ked (J510155075)

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing
dr. Saut Idoan Sijabat, Sp. B ( ..........................................)

Dipresentasikan dihadapan
dr. Saut Idoan Sijabat, Sp. B ( ..........................................)

Disahkan Ka. Program Pendidikan Profesi FK UMS


dr. Dona Dewi Nirlawati ( ...........................................)

2
BAB I
PENDAHULUAN

Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang


disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun
keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat
pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.
BPH merupakan kasus terbanyak dibagian urologi, keadaan ini ditandai
dengan pembesaran kelenjar prostat yang disebabkan oleh pertambahan jumlah
sel, dengan keluhan sering miksi, nocturia, kesulitan memulai dan mengakhiri
miksi, dysuria dan retensi urin.4,8,9
Di dunia, diperkirakan bilangan penderita BPH adalah seramai 30 juta,
bilangan ini hanya pada kaum pria kerana wanita tidak mempunyai kalenjar
prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya pada kaum pria (emedicine,
2009). Jika dilihat secara epidemiologinya, di dunia, dan kita jaraskan menurut
usia, maka dapat di lihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan
seseorang itu menderita penyakit ini adalah sebesar 40%, dan setelah
meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya
meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa
sehingga 90% (A.K. Abbas, 2005). Akan tetapi, jika di lihat secara histologi
penyakit BPH, secara umum membabitkan 20% pria pada usia 40-an, dan
meningkat secara dramatis pada pria berusia 60-an, dan 90% pada usia 70 .
Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua
setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya,
diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun,
dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit
PPJ atau BPH ini. Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia sudah masuk ke dalam
lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih bilangan
rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang berusia
60 tahun dan ke atas adalah kira-kira seramai 5 juta, maka dapat secara umumnya
dinyatakan bahwa kira-kira 2.5 juta pria Indonesia menderita penyakit BPH atau

3
PPJ ini. Indonesia kini semakin hari semakin maju dan dengan berkembangnya
sesebuah negara, maka usia harapan hidup pasti bertambah dengan sarana yang
makin maju dan selesa, maka kadar penderita BPH secara pastinya turut
meningkat. (Furqan, 2003)

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan fisiologi


Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Paling sering
mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Bila mengalami
pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menghambat
aliran urin keluar dari buli-buli. Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
merupakan Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) yang menghambat aliran urin
dari buli-buli.3 Pembesaran ukuran prostat ini akibat adanya hiperplasia
stroma dan sel epitelial mulai dari zona periurethra.

Gambar 1. Perbedaan aliran urin dari buli-buli pada prostat normal dan prostat
yang mengalami pembesaran

Bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat normal


pada orang dewasa ± 20 gram. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat
dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer, zona sentral, zona
transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periurethra. Sebagian
besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional, sedangkan
pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.

5
B. Definisi
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia
(BPH) menurut beberapa ahli adalah :
1. Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar
prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi
ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap
(Smeltzer dan Bare, 2002).
2. BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian
periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan
menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi
uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi
leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan
aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
3. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50
tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada
prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular,
pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan
obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna
Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang
disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50
tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat
menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan
perkemihan.

C. Insiden & Epidemiologi


Di seluruh dunia, hampir 30 juta pria yang menderita gejala yang
berkaitan dengan pembesaran prostat, di USA hampir 14 juta pria
mengalami hal yang sama. BPH merupakan penyakit tersering kedua di

6
klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih.1,4 Sebagai
gambaran hospital prevalence, di RS Cipto Mangunkusumo ditemukan
423 kasus pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun (1994-
-1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam periode yang
sama.2 Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin
meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di Indonesia
berusia 60 tahun atau lebih dan 2,5 juta pria diantaranya menderita gejala
saluran kemih bagian bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS)
akibat BPH.7 BPH mempengaruhi kualitas kehidupan pada hampir 1/3
populasi pria yang berumur > 50 tahun.3
D. Etiologi
Hingga sekarang, penyebab BPH masih belum dapat diketahui
secara pasti, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses
penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat:1
1. Teori dihidrotestosteron
Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon
testosteron. Dimana pada kelenjar prostat, hormon ini akan dirubah
menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan
enzim 5 α – reduktase. DHT inilah yang secara langsung memicu m-
RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein
growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.

NADPH NADP

Testosterone dihirotestosteron
5 α – reduktase

Gambar 2. Perubahan Testosteron menjadi Dihidrotesteron oleh


enzim 5 α – reduktase

7
Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5 α – reduktase dan
jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel-sel prostat menjadi lebih sensitif terhadap DHT
sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal.

Gambar 3. Teori Dihidrotestosteron dalam Hiperplasia Prostat8


2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang makin tua, kadar testosteron makin menurun,
sedangkan kadar estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan
estrogen : testosteron relatif meningkat. Estrogen di dalam prostat
berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan
cara meningkatkan sensitivitas sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Akibatnya,
dengan testosteron yang menurun merangsang terbentuknya sel-sel
baru, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
3. Interaksi stroma-epitel

8
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan
selsel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma
melalui suatu mediator (growth factor). Setelah sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel
stroma itu sendiri, yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel
epitel maupun stroma.
4. Berkurangnya kematian sel prostat
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
homeostatis kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat
keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan
jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga
mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen
berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah
dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar
prostat.
5. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu
dibentuk sel-sel baru. Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem,
yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif.
Kehidupan sel ini bergantung pada hormon androgen, dimana jika
kadarnya menurun (misalnya pada kastrasi), menyebabkan terjadinya
apoptosis. Sehingga terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH diduga
sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
E. Patofisiologi Hiperplasia Prostat
Pembesaran prostat menyebabkan terjadinya penyempitan lumen
uretra pars prostatika dan menghambat aliran urin sehingga menyebabkan
tingginya tekanan intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli
harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan, menyebabkan

9
terjadinya perubahan anatomik buli-buli, yakni: hipertropi otot destrusor,
trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS).
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-
buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini menimbulkan aliran balik dari buli-buli ke ureter atau terjadinya
refluks vesikoureter. Jika berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis bahkan jatuh ke dalam gagal ginjal.1
F. Manifestasi Klinis
1. Anamnesa
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Manifestasi klinis timbul akibat peningkatan intrauretra
yang pada akhirnya dapat menyebabkan sumbatan aliran urin
secara bertahap. Meskipun manifestasi dan beratnya penyakit
bervariasi, tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan penderita
datang berobat, yakni adanya LUTS.
Keluhan LUTS terdiri atas gejala obstruksi dan gejala
iritatif. Gejala obstruksi antara lain: hesitansi, pancaran miksi
melemah, intermitensi, miksi tidak puas, menetes setelah miksi.
Sedangkan gejala iritatif terdiri dari: frekuensi, nokturia, urgensi
dan disuri.
Untuk menilai tingkat keparahan dari LUTS, bebeapa
ahli/organisasi urologi membuat skoring yang secara subjektif
dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang
dianjurkan oleh WHO adalah international Prostatic Symptom
Score (IPSS). Sistem skoring IPSS terdiri atas 7 pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan LUTS dan 1 pertanyaan yang
berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Dari skor tersebut
dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
1) Ringan : skor 0-7

10
2) Sedang : skor 8-19
3) Berat : skor 20-35
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan dapat berupa gejala obstruksi antara lain, nyeri
pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis) dan demam
(infeksi, urosepsis).
c. Gejala diluar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh
adanya hernia inguinalis atau hemoroid, yang timbul karena sering
mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan
tekanan intraabdominal.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang penuh
dan teraba massa kistik si daerah supra simpisis akibat retensi urin.1
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE)
merupakan pemeriksaan fisik yang penting pada BPH, karena dapat
menilai tonus sfingter ani, pembesaran atau ukuran prostat dan
kecurigaan adanya keganasan seperti nodul atau perabaan yang keras.
Pada pemeriksaan ini dinilai besarnya prostat, konsistensi, cekungan
tengah, simetri, indurasi, krepitasi dan ada tidaknya nodul.
Colok dubur pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal,
seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris, dan tidak
didapatkan nodul. Sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi
prostat keras dan teraba nodul, dan mungkin antara lobus prostat tidak
simetri.

11
Gambar 4. Pemeriksaan Colok Dubur5

3. Pemeriksaan Laboratorium
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses
infeksi atau inflamasi pada saluran kemih.1 Obstruksi uretra
menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga menganggu faal
ginjal karena adanya penyulit seperti hidronefrosis menyebabkan
infeksi dan urolithiasis.1,9 Pemeriksaan kultur urin berguna untuk
mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan. Pemeriksaan sitologi urin digunakan untuk pemeriksaan
sitopatologi sel-sel urotelium yang terlepas dan terikut urin.
Pemeriksaan gula darah untuk mendeteksi adanya diabetes mellitus
yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli. Jika
dicurigai adanya keganasan prostat perlu diperiksa penanda tumor
prostat (PSA).
a. Pencitraan
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak
di saluran kemih, batu/kalkulosa prostat atau menunjukkan
bayangan buli-buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda
retensi urin. Pemeriksaan IVP dapat menerangkan adanya :
1) kelainan ginjal atau ureter (hidroureter atau hidronefrosis)

12
2) memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan
dengan indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar
prostat) atau ureter bagian distal yang berbentuk seperti mata
kail (hooked fish)
3) penyulit yang terjadi pada buli-buli, yakni: trabekulasi,
divertikel, atau sakulasi buli-buli
Pemeriksaan IVP tidak lagi direkomendasikan pada BPH.1
Pemeriksaan USG secara Trans Rectal Ultra Sound (TRUS), digunakan
untuk mengetahui besar dan volume prostat , adanya kemungkinan
pembesaran prostat maligna sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi
aspirasi prostat, menentukan jumlah residual urin dan mencari kelainan
lain pada buli-buli. Pemeriksaan Trans Abdominal Ultra Sound (TAUS)
dapat mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat
obstruksi BPH yang lama.(purnomo, de jong)

Gambar 5. TransRectal Ultra Sound (TRUS)


b. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan
dengan mengukur:
1) residual urin, diukur dengan kateterisasi setelah miksi atau
dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi

13
2) pancaran urin (flow rate), dengan menghitung jumlah urin
dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan uroflowmetri.
G. Pengobatan
Tujuan terapi:
a. memperbaiki keluhan miksi
b. meningkatkan kualitas hidup
c. mengurangi obstruksi infravesika
d. mengembalikan fungsi ginjal
e. mengurangi volume residu urin setelah miksi
f. mencegah progressivitas penyakit
1. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini untuk pasien BPH dengan skor IPSS<7, yaitu
keluhan ringan yang tidak menganggu aktivitas sehari-hari. Pasien
hanya diberikan edukasi mengenai hal-hal yang dapat memperburuk
keluhan :
a. Jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol
b. Kurangi makanan dan minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi,
coklat)
c. Kurangi makanan pedas atau asin
d. Jangan menahan kencing terlalu lama
2. Medikamentosa
Tujuan:
a. mengurangi resistensi otot polos prostat dengan adrenergik α
blocker
b. mengurangi volume prostat dengan menurunkan kadar hormon
testosteron melalui penghambat 5α-reduktase
Selain itu, masih ada terapi fitofarmaka yang masih belum jelas
mekanisme kerjanya.
3. Operasi
Pasien BPH yang mempunyai indikasi pembedahan:1

14
a. Tidak menunjukkan pebaikan setelah terapi medikamentosa
b. Mengalami retensi urin
c. Infeksi Saluran Kemih berulang
d. Hematuri
e. Gagal ginjal
f. Timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi
saluran kemih bagian bawah
Jenis pembedahan yang dapat dilakukan:
a. Pembedahan terbuka (prostatektomi terbuka)
Paling invasif dan dianjurkan untuk prostat yang sangat besar
(±100 gram).
b. Pembedahan endourologi
Operasi terhadap prostat dapat berupa reseksi (Trans Urethral
Resection of the Prostat/TURP), Insisi (Trans Urethral Incision of
the Prostate/TUIP) atau evaporasi.

Gambar 6. Trans Urethral Resection of the Prostat/TURP

Selain tindakan invasif tersebut diatas, sekarang dikembangkan


tindakan invasif minimal, terutama yang mempunya resiko tinggi terhadap
pembedahan. Tindakan tersebut antara lain: termoterapi, Trans Urethral
Needle Ablation of the Prostat/TUNA, pemasangan stent, High Intensity
Focused Ultrasound/HIFU serta dilatasi dengan balon (Transuethral
Ballon Dilatation/TUBD).

15
Gambar 7. Algoritma Penatalaksanaan BPH

16
DAFTAR PUSTAKA

Purnomo. Dasar-Dasar Urologi, Edisi Kedua. Jakarta: CV.Sagung Seto.


2007. 69-85
Birowo & Rahardjo. Pembesaran Prostat Jinak. 2000.
http://fkui.co.id/urologi/ppj.mht [diakses Juni 2008]
Leveillee. Prostate Hyperplasia, Benign. 2006.
http://www.emedicine.com. [diakses 2 Juni 2008]
Fadlol & Mochtar. Prediksi Volume Prostat pada Penderita Pembesaran
Prostat Jinak. Indonesian J of Surgery 2005; XXXIII-4; 139-145
Anonim. Normal Prostate and Benign Prostate Hyperplasia. 2008.
http://www_med_nyu_edu/healthwise/media/medical/nci/cdr0000462221/jpg.mht
[diakses 1 Juni 2008]
Kim & Belldegrun (eds). Urology Dalam Schwartz’s Manual Of Surgery,
8th Edition, Brunicardi et al (eds). USA: Mc Graw-Hill Medical Publishing
Division. 2006. 1036-1060
Suryawisesa, Malawat, Bustan. Hubungan Faktor Geografis Terhadap
Skor Gejala Prostat Internasional (IPSS) Pada Komunitas Suku Makassar Usia
Lanjut Tahun 1998. Ropanasuri 1998; XXVI – 4; 1-10
Anonim. The Development of Benign Prostate Hiperplasia. 1998.
http://www_lef_org/magazine/graphics/pros1mar98_jpg.mht.[diakses 6 Juni2008]
Sjamjuhidayat & De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. 2005.
782-610. Pheonix
Transurethral Prostatectomy. 2002.
http://www_phoenix5_org/glossary/graphics-turp/NIDDK/gif.mht
[diakses 5 Juni 2008]

17

Anda mungkin juga menyukai