Nn. Santi, umur 25 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan nafsu makan
menurun, cepat lemah, dada berdebar-debar, dan sesak nafas. Empat bulan terakhir Santi
mengalami menstruasi yang lebih banyak dan lebih lama dari biasanya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kulit dan konjungtiva pucat, serta kelainan pada
kuku berupa koilonichia. Pada pemeriksaan labiratorium didapatkan kadar hemoglobin (Hb)
8,9 gr/dl, hematokrit 28 vol%, jumlah eritrosit 3,88 x 106/μl, Mean Corpuscular Volume
(MCH) 65 fL (normal 82-92 fL), Mean Corpusvular Hemoglobin (MCH) 23 pg (normal 27-
31 pg), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) 28% (normal 32-36%),
jumlah leukosit 5.200/μL dengan hitung jenis didapatkan basofil 0%, eosinofil 2%, batang
3%, neutrofil 68%, limfosit 23%, monosit 4%, (0/2/3/68/23/4), jumlah trombosit 365.000/μL.
Pada sediaan apus darah tepi dijumpai kelainan morfologi eritrosit berupa sel pensil dan sel
eritrosit mikrositik hipokrom.
Dokter menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan kadar besi serum, kadar ferritin
serum, kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity (TIBC)), dan saturasi
transferrin.
Sasaran Belajar
1
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
1. Memahami dan menjelaskan eritropoiesis
Mekanisme Eritropoesis
Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum tulang.
Sel ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepi. Asal sel yang akan
terbentuk selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat menghasilkan unit
pembentuk koloni eritrosit (CFU-E) dan unit granulosit dan monosit (CFU-GM). Pada
eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel proeritroblas sesuai dengan rangsangan.
Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah merah matur
yaitu basofil eritroblas. Sel ini sedikit sekali mengumpulkan hemoglobin. Selanjutnya sel
ini akan berdifferensiasi menjadi retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi dengan
hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik. Bahan basofilik ini
akan menghilang dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur. Precursor eritrosit
berasal dari sel induk hemopoietik di sumsum tulang, kemudian menjadi sel induk
myeloid, kemudian menjadi sel induk eritroid (BFU-E dan CFU-E).
2
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Sel Seri Eritropoesis
a. Rubriblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritrosit, merupakan sel termuda dalam
sel eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin yang halus.
Dengan pulasan Romanowsky, inti berwarna biru kemerah-merahan sitoplasmanya
berwarna biru. Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron. Dalam keadaan normal,
jumlah rubriblast dalam sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel
berinti.
b. Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Pada pewarnaan
kromatin inti tampak kasar dan anak inti menghilang atau tidak tampak, sitoplasma
sedikit mengandung hemoglobin sehingga warna biru dari sitoplasma akan tampak
menjadi sedikit kemerah-merahan. Ukurannya lebih kecil dari rubriblast. Jumlahnya
dalam keadaan normal 1-4% dari seluruh sel berinti.
c. Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik. Inti sel ini
mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur, di beberapa tempat
tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel
lebih kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandung warna
biru karena kandungan asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena
kandungan hemoglobin, tetapi warna merah biasanya lebih dominan. Jumlah sel ini
dalam sumsum tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %.
d. Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Inti sel ini
kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah mengandung
lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun masih ada sisa-sisa
warna biru dari RNA. Jumlahnya dalam keadaan normal adalah 5-10 %.
e. Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan penglepasan inti
sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian
proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi.
Pada saat proses maturasi akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa RNA juga
mengandung berbagai fragmen mitokondria dan organel lainnya. Pada stadium ini
eritrosit disebut retikulosit atau eritrosit polikrom. Retikulum yang terdapat di dalam
sel ini hanya dapat dilihat dengan pewarnaan supravital. Tetapi sebenarnya retikulum
ini juga dapat terlihat segai bintik-bintik abnormal dalam eritrosit pada sediaan apus
biasa. Polikromatofilia yang merupakan kelainan warna eritrosit yang kebiru-biruan
dan bintik-bintik basofil pada eritrosit sebenarnya disebabkan oleh bahan ribosom ini.
Setelah dilepaskan dari sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai retikulosit
3
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
selama 1-2 hari. Kemudian sebagai eritrosit matang selama 120 hari. Dalam darah
normal terdapat 0,5-2,5 % retikulosit
f. Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan ukuran diameter 7-
8 μm dan tebal 1,5-2,5 um. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada bagian tepi.
Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena
mengandung hemoglobin. Eritrosit sangat lentur dan sangat berubah bentuk selama
beredar dalam sirkulasi. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan dihancurkan
bila mencapai umurny aoleh limpa. Banyak dinamika yang terjadi pada eritrosit selama
beredar dalam darah, baik mengalami trauma, gangguan metabolisme, infeksi
Plasmodium hingga di makan oleh parasit.
Hormonal Control
4
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Gambar 2. Stimulasi EPO
Sifat Fisis
Eritrosit matang merupakan suatu cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7 mikron.
Eritrosit merupakan sel dengan struktur yang tidak lengkap. Sel ini hanya terdiri atas
membran dan sitoplasma tanpa inti sel.
Fungsi
a. Sel darah merah berfungsi mengedarkan O2, CO2 dan proton.
b. Berfungsi dalam penentuan golongan darah.
c. Eritrosit juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Ketika sel darah merah
mengalami proses lisis oleh patogen atau bakteri, maka hemoglobin di dalam sel
darah merah akan melepaskan radikal bebas yang akan menghancurkan dinding dan
membran sel patogen, serta membunuhnya.
d. Eritrosit juga melepaskan senyawa S-Nitrosothiol saat hemoglobin terdeoksigenasi,
yang juga berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah dan melancarkan arus darah
supaya darah menuju ke daerah tubuh yang kekurangan oksigen.
5
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Kadar Normal
Ferritin
2. Makrosit
Makrosit adalah eritrosit yang berukuran lebih dari 8 um. Sel ini didapatkan pada
anemia megaloblastik.
6
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
3. Anisositosis
Anisositosis tidak menunjukkan suatu kelainan hematologik yang spesifik. Keadaan
ini ditandai dengan adanya eritrosit dengan ukuran yang tidak sama besar dalam
sediaan apus darah tepi. Anisositosis jelas terlihat pada anemia mikrositik yang ada
bersamaan dengan anemia makrositik seperti pada anemia gizi.
2. Sperosit
Sperosit adalah eritrosit yang berbentuk lebih bulat, lebih kecil dan lebih tebal dari
eritrosit normal. Eritrosit tidak berbentuk bikonkaf tetapi bentuknya sferik dengan
tebal 3 mikron atau lebih. Diameter biasanya kurang dari 6.5 mikron dan kelihatan
lebih hiperkromik daqn tidak mempunyai sentral akromia. Ditemukan pada:
- Sferositosis herediter
- Luka bakar
- Anemia hemolitik
7
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
5. Sel sabit atau sickle cell
Sel seperti ini didapatkan pada penyakit sel sabit yang homozigot (SS). Untuk
mendapatkan eritrosit yang berbentuk sabit, eritrosit diinkubasi terlebih dahulu
dalam keadaan anoksia dengan menggunakan zat reduktor (Na2S2O5 atau Na2S2O3).
Hal ini terutama dilakukan pada penyakit sel sabit heterozigot.
6. Krenasi
Sel seperti ini merupakan artefak, dapat dijumpai dalam sediaan apus darah tepi yang
telah disimpan 1 malam pada suhu 200 C atau eritrosit yang berasal dari “washed
packed cell”. Ditemukan pada hemolisis intravaskuler.
7. Sel Burr
Sel ini adalah eritrosit yang kecil atau fragmentosit yang mempunyai duri satu atau
lebih pada permukaan eritrosit. Ditemukan pada:
- Penyakit ginjal menahun (uremia)
- Karsinoma lambung
- Artefak waktu preparasi
- Hepatitis
- Bleeding peptic ulcer
- Defisiensi pyruvate kinase
- Sirosis hepatik
- Anemia hemolitik
8. Akantosit
Sel ini disebabkan oleh metabolisme fosfolipid dari membrane eritrosit. Pada
keadaan ini tepi eritrosit mempunyai tonjolan-tonjolan berupa duri.
10. Poiklositosis
Poiklositosis adalah istilah yang menunjukkan bentuk eritrosit yang bermacam-
macam dalam sediaan apus darah tepi.
8
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
12. Rouleaux atau auto aglutinasi
Rouleaux tersusun dari 3-5 eritrosit yang membentuk barisan sedangkan auto
aglutinasi adalah keadaan dimana eritrosit bergumpal.
2. Polikrom
Eritrosit polikrom adalah eritrosit yang lebih besar dan lebih biru dari eritrosit
normal. Polikromasi suatu keadaan yang ditandai dengan banyak eritrosit polikrom
pada preparat sediaan apus darah tepi, keadaan ini berkaitan dengan retikulositosis.
3. Hiperkrom
Hiperkrom adalah eritrosit yang tampak lebih merah/gelap dari warna normal.
Keadaan ini kurang mempunyai arti penting karena dapat disebabkan oleh penebalan
membrane sel dan bukan karena naiknya Hb (oversaturation). Kejenuhan Hb yang
berlebihan tidak dapat terjadi pada eritrosit normal sehingga true hypercromia tidak
dapat terbentuk.
2. Parasit malaria
3. Titik basofil
Terdapatnya titik biru yang difus dalam eritrosit dikenal sebagai titik basofil atau
basophilic stippling. Titik-titik basofil ini tidak dapat dijumpai dalam sediaan apus
darah EDTA. Disebabkan oleh;
- Keracunan timah
- Anemia megaloblastik
- Myelodisplastik Syndrom (MDS)
- Talasemia minor
- Unstable hemoglobin disease
9
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
4. Eritrosit berinti
Eritrosit muda bentuk metarubrisit. Adanya inti darah tepi disebut “normoblastemia”.
Ditemukan pada:
- Perdarahan mendadak dengan sumsum tulang meningkat
- Penyakit hemolitik pada anak
- Kelemahan jantung kongestif
- Anemia megaloblastik
- Metastase karsinoma pada tulang
5. Benda Papenheimer
Eritrosit dengan granula kasar, dengan diameter ± 2 mikron yang mengandung Fe,
feritin, berwarna biru oleh karena memberikan reaksi Prusian blue positif. Eritrosit
yang mengandung benda inklusi disebut siderosit dan bila ditemukan > 10% dalam
sediaan hapus, petanda adanya gangguan sintesa hemoglobin. Ditemukan pada:
- Anemia Sideroblastik
- Pasca splenektomi
- Beberapa anemia hemolitik
7. Benda Heinz
Hasil denaturasi hemoglobin yang berubah sifat. Tidak jelas terlihat dengan
pewarnaan Wright’s, tetapi dengan pengecatan kristal violet seperti benda-benda
kecil tidak teratur berwarna dalam eritrosit. Ditemukan pada:
- G-6-PD defesiensi
- Anemia hemolitik karena obat
- Pasca splenektomi
- Talasemia
- Panyakit Hb Kohn Hamme
10
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Gambar 3 Kelainan morfologi eritrosit
11
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Sintesis heme Sintesis heme terjadi di mitokondria melalui suatu rangkaian
reaksi biokimia yang bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil koenzim A oleh
kerja enzim kunci yang bersifat membatasi kecepatan reaksi yaitu asam
aminolevulinat sintase membentuk asam aminolevulinat/ALA. Dalam reaksi ini
glisin mengalami dekarboksilasi. Piridoksal fosfat (B6) adalah koenzim untuk reaksi
ini yang dirangsang oleh eritropoietin. Dalam reaksi kedua pada pembentukan
hem yang dikatalisis oleh ALA dehidratase, 2 molekul ALA menyatu membentuk
pirol porfobilinogen. Empat dari cincin-cincin pirol ini berkondensasi membentuk
sebuah rantai linear dan mengandung gugus asetil (A) dan propionil (P). Gugus
asetil mengalami dekarboksilasi untuk membentuk gugus metil. Kemudian dua
rantai sisi propionil yang pertama mengalami dekarboksilasi dan teroksidasi ke
gugus vinil, membentuk protoporfirinogen Akhirnya, Jembatan metilen mengalami
oksidasi untuk membentuk protoporfirin IX. Protoporfirin bergabung dengan Fe2+
untuk membentuk heme. Masing-masing molekul heme bergabung dengan satu
rantai globin yang dibuat pada poliribosom dalam suatu “kantung” lalu bergabunglah
tetramer yang terdiri dari empat rantai globin dan heme nya membentuk hemoglobin.
Pada saat sel darah merah tua dihancurkan, bagian globin dari hemoglobin
akan dipisahkan, dan hemenya diubah menjadi biliverdin. Lalu sebagian besar
biliverdin diubah menjadi bilirubin dan diekskresikan ke dalam empedu. Sedangkan
besi dari heme digunakan kembali untuk sintesis hemoglobin. Pada langkah terakhir
jalur ini, besi dalam bentuk ferro (Fe2+) digabungkan ke dalam protoporfirin IX
dalam reaksi yang dikatalisis oleh ferokelatase (dikenal sebagai heme sintase).
12
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
2.2. Faktor yang mempengaruhi
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah :
1. Kecukupan Besi dalam Tubuh
Menurut Parakkasi, Besi dibutuhkan untuk produksi hemoglobin, sehingga anemia
gizi besi akan menyebabkan terbentuknya sel darah merah yang lebih kecil dan
kandungan hemoglobin yang rendah. Besi juga merupakan mikronutrien essensil
dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengantar oksigen dari paru-paru
ke jaringan tubuh, untuk dieksresikan ke dalam udara pernafasan, sitokrom, dan
komponen lain pada sistem enzim pernafasan seperti sitokrom oksidase, katalase,
dan peroksidase. Besi berperan dalam sintesis hemoglobin dalam sel darah merah
dan mioglobin dalam sel otot. Kandungan ± 0,004 % berat tubuh (60-70%) terdapat
dalam hemoglobin yang disimpan sebagai ferritin di dalam hati, hemosiderin di
dalam limpa dan sumsum tulang.
Kurang lebih 4% besi di dalam tubuh berada sebagai mioglobin dan senyawa-
senyawa besi sebagai enzim oksidatif seperti sitokrom dan flavoprotein. Walaupun
jumlahnya sangat kecil namun mempunyai peranan yang sangat penting. Mioglobin
ikut dalam transportasi oksigen menerobos sel-sel membran masuk kedalam sel-sel
otot. Sitokrom, flavoprotein, dan senyawa-senyawa mitokondria yang mengandung
besi lainnya, memegang peranan penting dalam proses oksidasi menghasilkan
Adenosin Tri Phosphat (ATP) yang merupakan molekul berenergi tinggi. Sehingga
apabila tubuh mengalami anemia gizi besi maka terjadi penurunan kemampuan
bekerja. Pada anak sekolah berdampak pada peningkatan absen sekolah dan
penurunan prestasi belajar.
Menurut Kartono J dan Soekatri M, Kecukupan besi yang direkomendasikan
adalah jumlah minimum besi yang berasal dari makanan yang dapat menyediakan
cukup besi untuk setiap individu yang sehat pada 95% populasi, sehingga dapat
terhindar kemungkinan anemia kekurangan besi (Zarianis, 2006).
13
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
transferin. Besi dioksidasi dari Fe2+ menjadi Fe3+ oleh feroksidase yang dikenal
sebagai seruloplasmin (enzim yang mengandung tembaga). Besi dapat diambil
dari simpanan feritin, diangkut dalam darah sebagai transferin dan diserap oleh
sel yang memerlukan besi melalui proses endositosis diperantarai oleh resptor
(misalnya oleh retikulosit yang sedang membentuk hemoglobin). Apabila terjadi
penyerapan besi berlebihan dari makanan, kelebihan tersebut disimpan sebagai
hemosiderin, suatu bentuk feritin yang membentuk kompleks dengan besi tambahan
yang tidak mudah diimobilisasi segera.
3. Keasaman atau pH
Keasaman bertambah atau pH semakin turun dan kadar ion H+ meningkat akan
melemahkan ikatan antara oksigen dan hemoglobin sehingga kurva disosiasi
oksigen-hemoglobin bergerak ke kanan (Afinitas Hb terhadap O2 berkurang)
sehingga menyebabkan hemoglobin melepaskan lebih banyak oksigen ke jaringan.
Misal peningkatan asam laktat dan asam karbonat yang dihasilkan oleh jaringan yang
aktif secara metabolik. Keasaman turun atau pH naik afinitas Hb terhadap O2
bertambah sehingga kurva disosiasi oksigen hemoglobin bergerak ke kiri (afinitas Hb
tehadap O2 Bertambah) dan hemoglobin banyak mengikat O2. Hb bekerja sbg buffer
utk ion H+.
14
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Hipotermia menyebabkan metabolisme sel lambat sehingga O2 yang
dibutuhkan jaringan sedikit pelepasan O2 dari Hb juga lambat (afinitas Hb terhadap
O2 berkurang) dan kurva disosiasi oksigen hemoglobin bergeser ke kiri.
7. BPG
Peningkatan BPG yang dihasikan dari suatu metabolit glikolisis dan terdapat dalam
darah sehingga Hb berikatan dg BPG dapat mengurangi afinitas Hb thd O2 dan kurva
bergeser ke kanan. Hormon tiroksin, GH, epinefrin, norepi & testosteron dapat
meningkatkan pembentukan BPG dan kadar BPG meningkat pada orang yg tinggal
di dataran tinggi.
Penurunan BPG di darah menyebabkan ikatan Hb terhadap O2 semakin kuat
karena Hb tidak diikat oleh BPG afinitas Hb terhadap O2 bertambah, kurva disosiasi
oksigen hemoglobin bergeser ke kiri.
15
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
3. Memahami dan menjelaskan anemia
3.1. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke
jaringan tubuh.
Pada anemia terjadi penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit.
Perubahan volume plasma sirkulasi total dan massa hemoglobin sirkulasi total
menentukan konsentrasi hemoglobin.
3.2. Etiologi
1. Cacat sel darah merah (SDM)
Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-tiap
komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan masalah bagi
SDM sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan dengan
cepat mengalami penuaan dan segera dihancurkan. Pada umumnya cacat yang
dialami SDM menyangkut senyawa-senyawa protein yang menyusunnya. Oleh
karena kelainan ini menyangkut protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan
oleh gen di DNA.
3. Perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya
jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar
dan dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi
karena kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya,
segala usaha akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin
mengembalikan jumlah darah ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi.
4. Karena autoimun
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan menghancurkan
bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini sebanarnya tidak
seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi terhadap SDM, umur
SDM akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh sistem imun.
16
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
3.3. Klasifikasi
1. Klasifikasi morfologi eritrosit:
A. anemia hipokromik mikrositer (MCV <80fl, MCH <27pg)
Anemia defisiensi besi
Tahalssemia
Anemia akibat oenyakit kronik
Anemia sideroblastik (sel-sel darah merah imatur (sideroblas) dalam sirkulasi
dan sumsum tulang)
B. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95fl, MCH 27-34pg)
Anemia pascapendarahan akut
Anemia aplastic-hipoplastik
Anemia hemolitik
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia mieloptisik (akibat penggantian sumsum tulang oleh infiltrate sel-sel
tumor)
Anemia pada gagal ginjal kronik
Anemia mielofibrosis (akibat penggantian sumsum tulang oleh jarimgan
fibrosa)
Anemia sindrom mielodsiplastik
Anemia leukemia akut
C. Anemia makrositer (MCV >95fl)
Megaloblastik
a. Anemia defisiensi folat
b. Anemia defisiensi B12
Nonmegaloblastik
a. Anemia pada penyakit hati kronik
b. Anemia hipertiroid
c. Anemia pada sindrom mielodisplastik
2. Berdasarkan etiopatogenesis
A. Produksi eritrosit menurun
B. Kekurangan bahan untuk eritrosit
~ Besi: anemia defisiensi besi
~ Vitamin B12 dan asam folat, disebut sebagai anemia megaloblastik
C. Gangguan utilisasi besi
~ Anemia akibat penyakit kronik
~ Anemia sideroblastik
D. Kerusakan pada jaringan sumsum tulang
~ Atrofi dengan penggantian oleh jaringan lemak: anemia aplastik/hipoplastik
~ Penggantian oleh jaringan fibrotic / tumor: anemia leukoeritroblastik/mieloptisik
E. Fungsi sumsum tulang kurang baik karena tidak diketahui
~ Anemia diseritropoetik
~ Anemia pada sindrom mielodisplastik
17
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
F. Kehilangan eritrosit dari tubuh
~ Anemia pascaperdarahan akut
~ Anemia pascaperdarahan kronik
~ Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis)
G. Faktor ekstrakorpuskuler
~ Antibodi terhadap eritrosit: autoantibody-AHA (autoimmune hemolytic anemia)
dan isoantibodi-HDN (hemolytic disease of the newborn)
~ Hipersplenisme
~ Pemaparan terhadap bahan kimia
~ Akibat infeksi bakteri / parasit
~ Kerusakan mekanik
H. Faktor intrakorpuskuler
~ Gangguan membran: hereditary spherocytosis dan hereditary elliptocytosis
~ Gangguan enzim: defisiensi pyruvate kinase dan defisiensi G6PD (glucose-6
phosphate dehydrogenase)
~ Gangguan hemoglobin: hemoglobinopati structural dan thalassemia
I. Bentuk campuran
J. Bentuk yang patogenesisnya belum jelas
3.4. Manifestasi
Gambaran klinis anemia ditentukan dari 4 kriteria utama;
1. Kecepatan awitan
2. Keparahan
3. Usia
4. Kurva disosiasi hemoglobin O2
18
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Sistem kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak waktu kerja,
angina pectoris dan gagal jantung.
Sistem saraf: sakit kepala, pusing, telinga berdengin, mata berkunang-kunang,
kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas.
Sistem urogenital: gangguan haid dan libido menurun
Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, jika hemoglobin kurang dari 9-
10gr/dl, elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan halus.
4.1. Definisi
Adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store)
sehingga penyediaan besi untuk erotropoiesis berkurang, pada akhirnya pembentukan
hemoglobin berkurang. Ditandai dengan anemia hipokromik mikrositer, besi serum
turun, TIBC (Total Iron Binding Capacity) meningkat, saturasi transferrin menurn,
ferritin serum menurun, penegcatan besi sumsum tulang negatif dan adanya respon
terhadap pengobatan dengan preparat besi.
4.2. Etiologi
Ada tiga penyebab anemia defisiensi zat besi, yaitu :
a. Kehilangan darah secara kronis
19
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Pada pria dewasa, sebagian besar kehilangan darah disebabkan oleh proses
perdarahan akibat penyakit atau akibat pengobatan suatu penyakit. Sementara pada
wanita, terjadi kehilangan darah secara alamiah setiap bulan. Jika darah yang keluar
selama haid sangat banyak akan terjadi anemia defisiensi zat besi.
Selain itu, kehilangan zat besi dapat pula diakibatkan oleh infestasi parasit,
seperti cacing tambang, schistosoma dan trichuris trichiura. Hal ini sering terjadi di
negara tropis, lembab dan keadaan sanitasi yang buruk.
Darah yang hilang akibat infestasi cacing tambang bervariasi antara 2-100
cc/hari, tergantung pada beratnya infestasi. Jika jumlah zat besi dihitung berdasarkan
banyaknya telur cacing yang terdapat dalam tinja, jumlah zat besi yang hilang per
seribu adalah sekitar 0,8 mg untuk necator americanus sampai 1,2 mg untuk
ancylostoma duodenale.
c. Peningkatan kebutuhan
Kebutuhan meningkat seperti pada prematuritas, anak dalam amsa pertuumbuhan dan
kehamilan. Asupan zat besi harian diperlukan untuk mengganti zat besi yang hilang
melalui tinja, air seni dan kulit. Berdasarkan jenis kelamin, kehilangan zat besi untuk
pria dewasa mendekati 0,9 mg dan 0,8 untuk wanita.
Sebagian peningkatan ini dapat terpenuhi dari cadangan zat besi, serta peningkatan
adaptif jumlah persentase zat besi yang terserap melalui saluran cerna. Namun, jika
cadangan zat besi sangat sedikit sedangkan kandungan dan serapan zat besi dalam dan
dari makanan sedikit, pemberian suplementasi pada masa-masa ini menjadi sangat
penting.
4.3. Manifestasi
1. Gejala umum
Sindrom anemia pada defisiensi besi terjadi jika kadar hemoglobin turun di bawah 7-
8gr/dl. Gejala berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, telinga
berdenging. Penurunan kadar hemoglobin pada anemia defisiensi besi terjadi
perlahan-lahan.
2. Gejala khas
Tidak dijumpai pada anemia lain;
a. Koilonichia: kuku sendok (spoon nail): kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertical dan menjadi cekung mirip sendok.
20
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Gambar 7. Kuku sendok
b. Atrofi papilla lidah: permukaan lidah jadi licin dan mengilap karena papilla lidah
menghilang.
c. Stomatitis angularis: radang pada sudut mulut sehingga tampak bercak pucat
keputihan.
4.4. Patofisiologi
1. Stadium 1
21
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Kehilangan zat besi melebihi asupannya, sehingga menghabiskan cadangan dalam
tubuh, terutama di sumsum tulang. Kadar ferritin (protein yang menampung zat besi)
dalam darah berkurang secara progresif.
2. Stadium 2
Cadangan besi yang telah berkurang tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk
pembentukan sel darah merah, sehingga sel darah merah yang dihasilkan jumlahnya
lebih sedikit.
3. Stadium 3
Mulai terjadi anemia. Pada awal stadium ini, sel darah merah tampak normal, tetapi
jumlahnya lebih sedikit. Kadar hemoglogin dan hematokrit menurun.
4. Stadium 4
Sumsum tulang berusaha untuk menggantikan kekurangan zat besi dengan
mempercepat pembelahan sel dan menghasilkan sel darah merah dengan ukuran yang
sangat kecil (mikrositik), yang khas untuk anemia karena kekurangan zat besi.
5. Stadium 5
Dengan semakin memburuknya kekurangan zat besi dan anemia, maka akan timbul
gejala-gejala karena kekurangan zat besi dan gejala-gejala karena anemia semakin
memburuk.
Skema pathogenesis:
Pendarahan → cadangan besi ↓ (iron depleted state ) → penyediaan besi eritropoiesis <<
→ gangguan bentuk eritrosit (iron deficient erythropoiesis) → anemia hipokromik
mikrositer (iron deficiency anemia) → kekurangan besi pada epitel dan enzim → gejala
pada kuku, dll.
22
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
4.5. Pemeriksaan fisik & pemeriksaan penunjang utk anemia defisiensi besi
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit: didapat anemia hipokromik mikrositer
dengan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC, MCH
menurun, MCV<70fl hanya terjadi pada anemia defisiensi besi dan thalassemia
mayor. dan hapusan darah tepi. RDW (Red Cell Distribution Width) meningkat tanda
adanya anisositosis.
Apusan darah ditemukan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis,
anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target.
2. Kadar besi serum menurun <50mg/dl, TIBC meningkat >350mg/dl, saturasi
transferrin <15%.
3. Kadar ferritin < 20 μg/dl (ada juga 12-15 μg/dl). Inflamasi, maka feritin serum 60
μg/dl masih menunjukkan defisiensi besi.
4. Protoporfirin eritrosit meningkat (>100 μg/dl)
5. SST: hyperplasia normoblastik dengan mikronormoblas.
6. Lab: diperiksa kadar reseptor transferrin meningkat pada defisiensi besi, normal pada
thalassemia dan anemia penyakit kronik.
7. Pengecatan SST dengan biru prusia menunjukkan cadangan besi negative (butir
hemosiderin negative).
8. Pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi; pemeriksaan feses
untuk cacing tambang → pemeriksaan semu-kuantitatif (Kato Katz), pem. darah
samar pada feses, endoskopi, barium intake atau barium loop, dll.
4.6. Diagnosis
Penegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang diteliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Secara
laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dipakai kriteria
diagnosis anemia defisiensi besi sebagai berikut :
1. Anemia hipokrimatik mikrositer pada apusan darah tepi, MCV <80 fl, MCHC < 31%.
2. Dua dari tiga dibawah:
a. besi serum <50mg/dl
b. TIBC >350mg/dl
c. Saturasi transferrin <15%
3. Ferritin serum < 20 μg/dl
4. Pengecatan SST dengan biru prusia menunjukkan cadangan besi negative (butir
hemosiderin negatif.
5. Pemberian sulfas ferosus 3 x 200mg/hari (atau preparat besi lain) selama 4 minggu
disertai kenaikan hemoglobin lebih dari 2gr/dl.
23
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Anemia Anemia akibat Trait Anemia
defisiensi besi penyakit thalassemia sideroblastik
kronik
MCV ↓ ↓/N ↓ ↓/N
MHC ↓ ↓/N ↓ ↓/N
Besi Serum ↓ ↓ N N
TIBC ↑ ↓ N/↑ N/↑
Saturasi ↓ ↓/N ↑ ↑
transferrin <15% 10-20% >20% >20%
Besi SST (-) (+) (+) kuat (+) dg sideroblas
Protoporfirin ↑ ↑ N N
eritrosit
Ferritin serum ↓ N ↑ ↑
<20μg/dl 20-200μg/dl >50μg/dl >50μg/dl
Elektroforesis N N Hb A2 N
Hb
Sumber: Hematologi Klinik Ringkas
4.8. Tatalaksana
Pada setiap terapi kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip :
1. Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan
2. Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional dan efisien
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Pemberian
preparat Fe dapat secara peroral maupun parenteral.
Setelah diagnosis ditegakkan maka akan dibuat rencana pemberian terapi.
Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah :
1. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan, misalnya pengobatan cacing
tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus
dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh lagi.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy)
3. Terapi besi oral, merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah dan
aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphate (preparat pilihan pertama oleh
karena paling murah tetapi efektif). Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Preparat lain:
ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, ferrous succinate.
4. Terapi besi parenteral, sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih besar dan
harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya diberikan
atas indikasi tertentu, seperti: Intoleransi terhadap pemberian besi oral, kepatuhan
terhadap obat rendah, penyerapan besi terganggu, keadaan dimana kehilangan darah
banyak, kebutuhan besi besar dalam waktu pendek, defisiensi besi fungsional relatif.
24
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Pengobatan lain
1. Diet, sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama
berasal dari protein hewani.
2. Vitamin C, diberikan 3 x 100 mg/hari untuk meningkatkan absorposi besi
3. Transfusi darah, ADB jarang memerlukan transfusi darah. Diberikan hanya pada
keadaan anemia yang sangat berat atau disertai infeksi yang dapat mempengaruhi
respons terapi. Jenis darah yang diberikan adalah PRC untuk mengurangi bahaya
overload.
Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan:
*pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum, dosis besi kurang, masih ada
perdarahan cukup berat, ada penyakit lain seperti peny.kronik, ada defisiensi
asam folat. Serta kemungkinan salah mendiagnosis ADB. Jika dijumpai keadaan
tersebut, lakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang tepat.
4.9. Pencegahan
1. Meningkatkan konsumsi Fe dari sumber alami terutama sumber hewani yang
mudah diserap. Juga perlu peningkatan konsumsi makanan yang mengandung
vitamin C dan A.
2. Pendidikan kesehatan, yaitu:
3. Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, dan perbaikan
lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki.
4. Penyuluhan gizi: untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorpsi
besi.
5. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling
sering di daerah tropic.
6. Suplementasi besi: terutama untuk segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil
dan anak balita cara paling tepat untuk menanggulangi ADB di daerah yang
prevalensinya tinggi.
7. Fortifikasi bahan makanan dengan cara menambah masukan besi dengan
mencampurkan senyawa besi kedalam makanan sehari-hari
25
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Daftar Pustaka
Hoffbrand, AV, Pettit, JE, dan Moss, PAH. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta:
EGC. Hlm 1-51.
Syam, AF, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Interna
Publishing
http://books.google.co.id/books?isbn=9793027762
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/107/jtptunimus-gdl-aristakurn-5312-2-bab2.pdf
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/107/jtptunimus-gdl-aristakurn-5312-2-bab2.pdf
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/107/jtptunimus-gdl-sumantig0c-5311-2-bab2.pdf
http://henzprima.files.wordpress.com/2010/11/makalah-zat-besi-primahendri.pdf
http://id.shvoong.com/exact-sciences/biochemistry/2113294-faktor-faktor-yang-
mempengaruhi-afinitas/#ixzz2AzDfO6dS
http://journal.unhas.ac.id
http://www.majalah-farmacia.com
http://www.pediatrik.com
http://ppni-klaten.com/index.php?option=com_content&view=article&id=76:anemia
&catid=38:ppni-ak-category&Itemid=66
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20481/4/Chapter%20II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21127/4/Chapter%20II.pdf
http://www.student.med.umn.edu/wardmanual/normallabs.php
26
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik