Anda di halaman 1dari 27

Skenario

SANTI PUCAT DAN LEMAH

Nn. Santi, umur 25 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan nafsu makan
menurun, cepat lemah, dada berdebar-debar, dan sesak nafas. Empat bulan terakhir Santi
mengalami menstruasi yang lebih banyak dan lebih lama dari biasanya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kulit dan konjungtiva pucat, serta kelainan pada
kuku berupa koilonichia. Pada pemeriksaan labiratorium didapatkan kadar hemoglobin (Hb)
8,9 gr/dl, hematokrit 28 vol%, jumlah eritrosit 3,88 x 106/μl, Mean Corpuscular Volume
(MCH) 65 fL (normal 82-92 fL), Mean Corpusvular Hemoglobin (MCH) 23 pg (normal 27-
31 pg), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) 28% (normal 32-36%),
jumlah leukosit 5.200/μL dengan hitung jenis didapatkan basofil 0%, eosinofil 2%, batang
3%, neutrofil 68%, limfosit 23%, monosit 4%, (0/2/3/68/23/4), jumlah trombosit 365.000/μL.
Pada sediaan apus darah tepi dijumpai kelainan morfologi eritrosit berupa sel pensil dan sel
eritrosit mikrositik hipokrom.
Dokter menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan kadar besi serum, kadar ferritin
serum, kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity (TIBC)), dan saturasi
transferrin.
Sasaran Belajar

1. Memahami dan mejelaskan eritropoiesis


1.1. Proses pembentukan
1.2. Morfologi normal
1.3. Kelainan mofologi

2. Memahami dan menjelaskan hemoglobin


2.1. Proses pembentuka
2.2. Faktor yang mempengaruhi pembentukan
2.3. Reaksi oksigen dan hemoglobin

3. Memahami dan menjelaskan anemia


3.1. Definisi
3.2. Etiologi
3.3. Klasifikasi
3.4. Manifestasi
3.5. Pemeriksaan penunjang

4. Memahami dan mejelaskan anemia defisiensi besi


4.1. Definisi
4.2. Etiologi
4.3. Manifestasi
4.4. Patofisiologi
4.5. Pemeriksaan fisik dan penunjang
4.6. Diagnosis
4.7. Diagnosis banding
4.8. Tatalaksana
4.9. Pencegahan

1
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
1. Memahami dan menjelaskan eritropoiesis

1.1. Proses pembentukan


Hematopoesis atau hemopoesis adalah proses pembentukan darah. Tempat
hematopoesis pada manusia berpindah pindah sesuai dengan umur:
a. Yolk sac : umur 0-3 bulan intrauterin
b. Hati & lien : umur 3-6 bulan intrauterin
c. Sumsum tulang : umur 4 bulan intrauterin-dewasa
Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit, pada janin dan bayi proses ini
berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya pada
sumsum tulang. Sistem eritroid terdiri dari sel darah merah atau erotrosit dan precursor
eritroid. Unit fungsional disebut eritron dan berfungsi sebagai pembawa oksigen.

Mekanisme Eritropoesis

Gambar 1. Pembentukan Eritrosit

Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum tulang.
Sel ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepi. Asal sel yang akan
terbentuk selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat menghasilkan unit
pembentuk koloni eritrosit (CFU-E) dan unit granulosit dan monosit (CFU-GM). Pada
eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel proeritroblas sesuai dengan rangsangan.
Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah merah matur
yaitu basofil eritroblas. Sel ini sedikit sekali mengumpulkan hemoglobin. Selanjutnya sel
ini akan berdifferensiasi menjadi retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi dengan
hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik. Bahan basofilik ini
akan menghilang dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur. Precursor eritrosit
berasal dari sel induk hemopoietik di sumsum tulang, kemudian menjadi sel induk
myeloid, kemudian menjadi sel induk eritroid (BFU-E dan CFU-E).

Proses eritropoiesis secara skematis:


Stem sel hemopoietik (hemositoblas) → proeritroblas (pronormosit/rubriblas) →
eritroblas basofilik (early normoblas/ prorubriblas) → eritroblas polikromatofilik (late
normoblas/rubrisit) → normoblas (normoblas asidofilik/ortokroamtofilik) → eritrosit
polikromatik (retikulosit) → eritrosit.

2
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Sel Seri Eritropoesis

a. Rubriblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritrosit, merupakan sel termuda dalam
sel eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin yang halus.
Dengan pulasan Romanowsky, inti berwarna biru kemerah-merahan sitoplasmanya
berwarna biru. Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron. Dalam keadaan normal,
jumlah rubriblast dalam sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel
berinti.

b. Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Pada pewarnaan
kromatin inti tampak kasar dan anak inti menghilang atau tidak tampak, sitoplasma
sedikit mengandung hemoglobin sehingga warna biru dari sitoplasma akan tampak
menjadi sedikit kemerah-merahan. Ukurannya lebih kecil dari rubriblast. Jumlahnya
dalam keadaan normal 1-4% dari seluruh sel berinti.

c. Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik. Inti sel ini
mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur, di beberapa tempat
tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel
lebih kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandung warna
biru karena kandungan asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena
kandungan hemoglobin, tetapi warna merah biasanya lebih dominan. Jumlah sel ini
dalam sumsum tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %.

d. Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Inti sel ini
kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah mengandung
lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun masih ada sisa-sisa
warna biru dari RNA. Jumlahnya dalam keadaan normal adalah 5-10 %.

e. Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan penglepasan inti
sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian
proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi.
Pada saat proses maturasi akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa RNA juga
mengandung berbagai fragmen mitokondria dan organel lainnya. Pada stadium ini
eritrosit disebut retikulosit atau eritrosit polikrom. Retikulum yang terdapat di dalam
sel ini hanya dapat dilihat dengan pewarnaan supravital. Tetapi sebenarnya retikulum
ini juga dapat terlihat segai bintik-bintik abnormal dalam eritrosit pada sediaan apus
biasa. Polikromatofilia yang merupakan kelainan warna eritrosit yang kebiru-biruan
dan bintik-bintik basofil pada eritrosit sebenarnya disebabkan oleh bahan ribosom ini.
Setelah dilepaskan dari sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai retikulosit

3
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
selama 1-2 hari. Kemudian sebagai eritrosit matang selama 120 hari. Dalam darah
normal terdapat 0,5-2,5 % retikulosit

f. Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan ukuran diameter 7-
8 μm dan tebal 1,5-2,5 um. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada bagian tepi.
Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena
mengandung hemoglobin. Eritrosit sangat lentur dan sangat berubah bentuk selama
beredar dalam sirkulasi. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan dihancurkan
bila mencapai umurny aoleh limpa. Banyak dinamika yang terjadi pada eritrosit selama
beredar dalam darah, baik mengalami trauma, gangguan metabolisme, infeksi
Plasmodium hingga di makan oleh parasit.

1.2. Faktor yang mempengaruhi


Keseimbangan jumlah eritrosit yang beredar di dalam darah mencerminkan
adanya keseimbangan antara pembentukan dan destruksi eritrosit. Keseimbangan ini
sangat penting, karena ketika jumlah eritrosit turun akan terjadi hipoksia dan ketika
terjadi kenaikan jumlah eritrosit akan meningkatkan kekentalan darah. Untuk
mempertahankan jumlah eritrosit dalam rentang hemostasis, sel-sel baru diproduksi
dalam kecepatan yang sangat cepat yaitu lebih dari 2 juta/detik pada orang yang sehat.
Proses ini dikontrol oleh hormone dan tergantung pada pasokan yang memadai dari besi,
asam amino dan vitamin B tertentu.

Hormonal Control

Stimulus langsung untuk pembentukan eritrosit disediakan oleh hormone eritropoetin


(EPO) dan hormon glikoprotein. Ginjal memainkan peranan utama dalam produksi EPO.
Ketika sel-sel ginjal mengalami hipoksia (kekurangan O2), ginjal akan mempercepat
pelepasan eritropoetin. Penurunan kadar O2 yang memicu pembentukan EPO :
1. Kurangnya jumlah sel darah merah atau destruksi eritrosit yang berlebihan
2. Kurang kadar hemoglobin di dalam sel darah merah (seperti yang terjadi pada
defisiensi besi)
3. Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada penderita
pneumonia
Peningkatan aktivitas eritropoesis ini menambah jumlah sel darah merah
dalam darah, sehingga terjadi peningkatan kapasitas darah mengangkut O2 dan
memulihkan penyaluran O2 ke jaringan ke tingkat normal. Apabila penyaluran O2 ke
ginjal telah normal, sekresi eritropoetin dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi,
hipoksia tidak mengaktifkan langsung sumsum tulang secara langsung, tapi merangsang
ginjal yang nantinya memberikan stimulus hormon yang akan mengaktifkan sumsum
tulang. Selain itu, testosterone pada pria juga meningkatkan produksi EPO oleh ginjal.
Hormon seks wanita tidak berpengaruh terhadap stimulasi EPO, itulah sebabnya jumlah
SDM pada wanita lebih rendah daripada pria.

4
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Gambar 2. Stimulasi EPO

1.3. Morfologi normal (sifat fisis, fungsi, kadar normal)

Sifat Fisis
Eritrosit matang merupakan suatu cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7 mikron.
Eritrosit merupakan sel dengan struktur yang tidak lengkap. Sel ini hanya terdiri atas
membran dan sitoplasma tanpa inti sel.

Komponen eritrosit terdiri atas:


1. Membrane eritrosit, tersusun dari lapisan lipid bilayer, protein membrane integral,
dan suatu rangka membrane.
2. Sistem enzim yang terpenting: dalam Embden Meyerboff pathway: pyruvate kinase,
dalam pentose pathway: enzim G6PD (glucose 6-phosphate dehydrogenase)
3. Hemoglobin, terdiri atas heme (gabungan protoporfirin dan besi) dan globin (bagian
protein yang terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai beta)

Fungsi
a. Sel darah merah berfungsi mengedarkan O2, CO2 dan proton.
b. Berfungsi dalam penentuan golongan darah.
c. Eritrosit juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Ketika sel darah merah
mengalami proses lisis oleh patogen atau bakteri, maka hemoglobin di dalam sel
darah merah akan melepaskan radikal bebas yang akan menghancurkan dinding dan
membran sel patogen, serta membunuhnya.
d. Eritrosit juga melepaskan senyawa S-Nitrosothiol saat hemoglobin terdeoksigenasi,
yang juga berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah dan melancarkan arus darah
supaya darah menuju ke daerah tubuh yang kekurangan oksigen.

5
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Kadar Normal

Hematocrit (Hct) Reticulocyte

Normal Value: Normal Value:

Male: 40-52% Adult: 0.5-1.5%

Female: 37-46% Infant: 0.5-3.1%

Child: 31-43% Newborn: 1.1-4.5%

Hemoglobin (Hg, Hgb) RBC Mean Cell Volume (MCV)


Normal Value: Normal Value:
Male: 13.2-16.2 gm/dL Male: 82-102 fL
Female: 12.0-15.2 gm/dL Female: 78-101 fL

Red Blood Cell Count (RBC) Mean Cell Hemoglobin Concentration


(MCHC)
Normal Value:
Normal Value: 31-35 gm/dl
Male: 4.3-6.2x106/μl
Female: 3.8-5.5x106/μl
Platelet Count (Plt)
Child: 3.8-5.5x106/μl
Normal Value: 140-450x103/μl

Ferritin

Normal Value: Total Serum Iron (TSI)


Male: 18-250 ng/ml Normal Value:
Female: 12-160 ng/ml Male: 76-198 μg/dl
Female: 26-170 μg/dl
Total Iron-Binding Capacity (TIBC)

Normal Value: 262-474 μg/dl Transferrin

Normal Value: 204-360 mg/dl


Sumber: University of Minnesota

1.4. Kelainan morfologi


Eritrosit normal berukuran 6-8 um. Dalam sediaan apus, eritrosit normal
berukuran sama dengan inti limposit kecil dengan area ditengah berwarna pucat.
Kelainan morfologi eritrosit berupa kelainan ukuran (size), bentuk (shape), warna
(staining characteristics) dan benda-benda inklusi.

Kelainan ukuran eritrosit :


1. Mikrosit
Sel ini dapat berasal dari fragmentasi eritrosit yang normal seperti pada anemia
hemolitik, anemia megaloblastik dan dapat pula terjadi pada anemia defisiensi besi.

2. Makrosit
Makrosit adalah eritrosit yang berukuran lebih dari 8 um. Sel ini didapatkan pada
anemia megaloblastik.

6
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
3. Anisositosis
Anisositosis tidak menunjukkan suatu kelainan hematologik yang spesifik. Keadaan
ini ditandai dengan adanya eritrosit dengan ukuran yang tidak sama besar dalam
sediaan apus darah tepi. Anisositosis jelas terlihat pada anemia mikrositik yang ada
bersamaan dengan anemia makrositik seperti pada anemia gizi.

Kelainan bentuk eritrosit :


1. Ovalosit
Ovalosit adalah eritrosit yang berbentuk lonjong. Bentuk sangat bervariasi seperti
pensil dan cerutu dengan konsentrasi Hb umumnya tidak menunjukkan hipokromik.
Hb berkumpil pada kedua kutub sel. Ditemukan pada:
- Elliptositosis herediter ( 90 – 95% eritrosit berbentuk ellips)
- Anemia megaloblastik dan anemia hipokromik (gambaran elliptosit tidak > 10 %)
- Elliptositosis dapat menyolok pada mielosklerosis

2. Sperosit
Sperosit adalah eritrosit yang berbentuk lebih bulat, lebih kecil dan lebih tebal dari
eritrosit normal. Eritrosit tidak berbentuk bikonkaf tetapi bentuknya sferik dengan
tebal 3 mikron atau lebih. Diameter biasanya kurang dari 6.5 mikron dan kelihatan
lebih hiperkromik daqn tidak mempunyai sentral akromia. Ditemukan pada:
- Sferositosis herediter
- Luka bakar
- Anemia hemolitik

3. Schitosit atau fragmentosit ( fragmented cell; keratocytes)


Merupakan suatu pecahan eritrosit dengan berbagai macam bentuk. Ukurannya lebih
kecil dari eritrosit normal. Bentuk fragmen dapat bermacam-macam seperti helmet
cell, triangular cell, dan sputnik cell. Ditemukan pada:
- Anemia hemolitik
- Purpura trombotik trombosistik
- Kelainan katup jantung
- Talasemia Major
- Penyakit keganasan
- Hipertensi maligna
- Uremia

4. Sel target atau leptosit atau sel sasaran


Eritrosit yang mempunyai masa kemerahan di bagian tengahnya, berbentuk tipis atau
ketebalan kurang dari normal dengan bentuk target di tengah (target like
appearance). Ratio permukaan/volume sel akan meningkat, ditemukan pada:
- Talasemia
- Penyakit hati kronik
- Hb-pati
- Pasca splenektomi

7
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
5. Sel sabit atau sickle cell
Sel seperti ini didapatkan pada penyakit sel sabit yang homozigot (SS). Untuk
mendapatkan eritrosit yang berbentuk sabit, eritrosit diinkubasi terlebih dahulu
dalam keadaan anoksia dengan menggunakan zat reduktor (Na2S2O5 atau Na2S2O3).
Hal ini terutama dilakukan pada penyakit sel sabit heterozigot.

6. Krenasi
Sel seperti ini merupakan artefak, dapat dijumpai dalam sediaan apus darah tepi yang
telah disimpan 1 malam pada suhu 200 C atau eritrosit yang berasal dari “washed
packed cell”. Ditemukan pada hemolisis intravaskuler.

7. Sel Burr
Sel ini adalah eritrosit yang kecil atau fragmentosit yang mempunyai duri satu atau
lebih pada permukaan eritrosit. Ditemukan pada:
- Penyakit ginjal menahun (uremia)
- Karsinoma lambung
- Artefak waktu preparasi
- Hepatitis
- Bleeding peptic ulcer
- Defisiensi pyruvate kinase
- Sirosis hepatik
- Anemia hemolitik

8. Akantosit
Sel ini disebabkan oleh metabolisme fosfolipid dari membrane eritrosit. Pada
keadaan ini tepi eritrosit mempunyai tonjolan-tonjolan berupa duri.

9. Tear drop cells


Eritrosit yang mempunyia bentuk seperti tetesan air mata atau buah pir. Ditemukan
pada:
- Anemia megaloblastik
- Myelofibrosis
- Hemopoesis ekstramedullar
- Kadang-kadang pada talasemia

10. Poiklositosis
Poiklositosis adalah istilah yang menunjukkan bentuk eritrosit yang bermacam-
macam dalam sediaan apus darah tepi.

11. Kristal Hemoglobin C


Bentuk kristal tetragonal. Ditemulan pada penderita hemoglobin C yang telah di
Splenektomi.

8
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
12. Rouleaux atau auto aglutinasi
Rouleaux tersusun dari 3-5 eritrosit yang membentuk barisan sedangkan auto
aglutinasi adalah keadaan dimana eritrosit bergumpal.

Kelainan warna eritrosit


1. Hipokrom
Eritrosit yang tampak pucat. Eritrosit hipokrom disebabkan kadar hemoglobin dalam
eritrosit berkurang.

2. Polikrom
Eritrosit polikrom adalah eritrosit yang lebih besar dan lebih biru dari eritrosit
normal. Polikromasi suatu keadaan yang ditandai dengan banyak eritrosit polikrom
pada preparat sediaan apus darah tepi, keadaan ini berkaitan dengan retikulositosis.

3. Hiperkrom
Hiperkrom adalah eritrosit yang tampak lebih merah/gelap dari warna normal.
Keadaan ini kurang mempunyai arti penting karena dapat disebabkan oleh penebalan
membrane sel dan bukan karena naiknya Hb (oversaturation). Kejenuhan Hb yang
berlebihan tidak dapat terjadi pada eritrosit normal sehingga true hypercromia tidak
dapat terbentuk.

Benda-benda Inklusi dalam Eritrosit


1. Benda Howell Jolly
Benda howell jolly adalah sisa inti eritrosit. Merupakan sisa pecahan inti eritrosit,
diameter pecahan rat-rata 1 mikron, berwarna ungu kehitaman, biasanya tunggal.
Ditemukan pada:
- Pasca splenektomi
- Anemia hemolitik
- Anemia megaloblastik
- Kelainan metabolisme hemoglobin
- Steatorrhoe
- Osteomyelodisplasia
- Talasemia

2. Parasit malaria
3. Titik basofil
Terdapatnya titik biru yang difus dalam eritrosit dikenal sebagai titik basofil atau
basophilic stippling. Titik-titik basofil ini tidak dapat dijumpai dalam sediaan apus
darah EDTA. Disebabkan oleh;
- Keracunan timah
- Anemia megaloblastik
- Myelodisplastik Syndrom (MDS)
- Talasemia minor
- Unstable hemoglobin disease

9
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
4. Eritrosit berinti
Eritrosit muda bentuk metarubrisit. Adanya inti darah tepi disebut “normoblastemia”.
Ditemukan pada:
- Perdarahan mendadak dengan sumsum tulang meningkat
- Penyakit hemolitik pada anak
- Kelemahan jantung kongestif
- Anemia megaloblastik
- Metastase karsinoma pada tulang

5. Benda Papenheimer
Eritrosit dengan granula kasar, dengan diameter ± 2 mikron yang mengandung Fe,
feritin, berwarna biru oleh karena memberikan reaksi Prusian blue positif. Eritrosit
yang mengandung benda inklusi disebut siderosit dan bila ditemukan > 10% dalam
sediaan hapus, petanda adanya gangguan sintesa hemoglobin. Ditemukan pada:
- Anemia Sideroblastik
- Pasca splenektomi
- Beberapa anemia hemolitik

6. Cincin Cabot (“Cabot Ring”)


Merupakan sisa dari membrane inti, warna biru keunguan, bentuk cincin angka ‘8’.
Terdapat dalam sitoplasma. Ditemukan pada:
- Talasemia
- Anemia pernisiosa
- Anemia hemolitik
- Keracunan timah
- Pasca splenektomi
- Anemia megaloblastik

7. Benda Heinz
Hasil denaturasi hemoglobin yang berubah sifat. Tidak jelas terlihat dengan
pewarnaan Wright’s, tetapi dengan pengecatan kristal violet seperti benda-benda
kecil tidak teratur berwarna dalam eritrosit. Ditemukan pada:
- G-6-PD defesiensi
- Anemia hemolitik karena obat
- Pasca splenektomi
- Talasemia
- Panyakit Hb Kohn Hamme

10
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Gambar 3 Kelainan morfologi eritrosit

2. Memahami dan menjelaskan Hemoglobin

2.1. Proses pembentukan


Eritrosit mengandung protein khusus yaitu hemoglobin, yang berguna untuk mengangkut
oksigen, CO2 dan proton. Hemoglobin terdiri dari dua bagian, yaitu gugus heme yang
terkonjugasi dengan globin. Heme tersusun dari protoporfirin dan besi, sedangkan globin
adalah dua subunit rantai polipeptida yang berbeda (α, β, δ, γ) membentuk tertramer .
Hemoglobin yang umum dijumpai adalah:
a. HbA (hemoglobin dewasa normal) = α2β2 (96-98%)
b. HbF (hemoglobin janin) = α2γ2 (0.5-0.8%)
c. HbA2 (hemoglobin dewasa minor) = α2δ2 (1.5-3.2%)
c. HbS (hemoglobin sel sabit) = α2S2

Gambar 4 Stuktur hemoglobin

11
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Sintesis heme Sintesis heme terjadi di mitokondria melalui suatu rangkaian
reaksi biokimia yang bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil koenzim A oleh
kerja enzim kunci yang bersifat membatasi kecepatan reaksi yaitu asam
aminolevulinat sintase membentuk asam aminolevulinat/ALA. Dalam reaksi ini
glisin mengalami dekarboksilasi. Piridoksal fosfat (B6) adalah koenzim untuk reaksi
ini yang dirangsang oleh eritropoietin. Dalam reaksi kedua pada pembentukan
hem yang dikatalisis oleh ALA dehidratase, 2 molekul ALA menyatu membentuk
pirol porfobilinogen. Empat dari cincin-cincin pirol ini berkondensasi membentuk
sebuah rantai linear dan mengandung gugus asetil (A) dan propionil (P). Gugus
asetil mengalami dekarboksilasi untuk membentuk gugus metil. Kemudian dua
rantai sisi propionil yang pertama mengalami dekarboksilasi dan teroksidasi ke
gugus vinil, membentuk protoporfirinogen Akhirnya, Jembatan metilen mengalami
oksidasi untuk membentuk protoporfirin IX. Protoporfirin bergabung dengan Fe2+
untuk membentuk heme. Masing-masing molekul heme bergabung dengan satu
rantai globin yang dibuat pada poliribosom dalam suatu “kantung” lalu bergabunglah
tetramer yang terdiri dari empat rantai globin dan heme nya membentuk hemoglobin.
Pada saat sel darah merah tua dihancurkan, bagian globin dari hemoglobin
akan dipisahkan, dan hemenya diubah menjadi biliverdin. Lalu sebagian besar
biliverdin diubah menjadi bilirubin dan diekskresikan ke dalam empedu. Sedangkan
besi dari heme digunakan kembali untuk sintesis hemoglobin. Pada langkah terakhir
jalur ini, besi dalam bentuk ferro (Fe2+) digabungkan ke dalam protoporfirin IX
dalam reaksi yang dikatalisis oleh ferokelatase (dikenal sebagai heme sintase).

Gambar 5. Proses pembentukan heme

12
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
2.2. Faktor yang mempengaruhi
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah :
1. Kecukupan Besi dalam Tubuh
Menurut Parakkasi, Besi dibutuhkan untuk produksi hemoglobin, sehingga anemia
gizi besi akan menyebabkan terbentuknya sel darah merah yang lebih kecil dan
kandungan hemoglobin yang rendah. Besi juga merupakan mikronutrien essensil
dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengantar oksigen dari paru-paru
ke jaringan tubuh, untuk dieksresikan ke dalam udara pernafasan, sitokrom, dan
komponen lain pada sistem enzim pernafasan seperti sitokrom oksidase, katalase,
dan peroksidase. Besi berperan dalam sintesis hemoglobin dalam sel darah merah
dan mioglobin dalam sel otot. Kandungan ± 0,004 % berat tubuh (60-70%) terdapat
dalam hemoglobin yang disimpan sebagai ferritin di dalam hati, hemosiderin di
dalam limpa dan sumsum tulang.
Kurang lebih 4% besi di dalam tubuh berada sebagai mioglobin dan senyawa-
senyawa besi sebagai enzim oksidatif seperti sitokrom dan flavoprotein. Walaupun
jumlahnya sangat kecil namun mempunyai peranan yang sangat penting. Mioglobin
ikut dalam transportasi oksigen menerobos sel-sel membran masuk kedalam sel-sel
otot. Sitokrom, flavoprotein, dan senyawa-senyawa mitokondria yang mengandung
besi lainnya, memegang peranan penting dalam proses oksidasi menghasilkan
Adenosin Tri Phosphat (ATP) yang merupakan molekul berenergi tinggi. Sehingga
apabila tubuh mengalami anemia gizi besi maka terjadi penurunan kemampuan
bekerja. Pada anak sekolah berdampak pada peningkatan absen sekolah dan
penurunan prestasi belajar.
Menurut Kartono J dan Soekatri M, Kecukupan besi yang direkomendasikan
adalah jumlah minimum besi yang berasal dari makanan yang dapat menyediakan
cukup besi untuk setiap individu yang sehat pada 95% populasi, sehingga dapat
terhindar kemungkinan anemia kekurangan besi (Zarianis, 2006).

2. Metabolisme Besi dalam Tubuh


Menurut Wirakusumah, Besi yang terdapat di dalam tubuh orang dewasa sehat
berjumlah lebih dari 4 gram. Besi tersebut berada di dalam sel-sel darah merah atau
hemoglobin (lebih dari 2,5 g), myoglobin (150 mg), phorphyrin cytochrome, hati,
limpa sumsum tulang (> 200-1500 mg). Ada dua bagian besi dalam tubuh, yaitu
bagian fungsional yang dipakai untuk keperluan metabolik dan bagian yang
merupakan cadangan. Hemoglobin, mioglobin, sitokrom, serta enzim hem dan
nonhem adalah bentuk besi fungsional dan berjumlah antara 25-55 mg/kg berat
badan. Sedangkan besi cadangan apabila dibutuhkan untuk fungsi-fungsi fisiologis
dan jumlahnya 5-25 mg/kg berat badan. Ferritin dan hemosiderin adalah bentuk besi
cadangan yang biasanya terdapat dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Metabolisme
besi dalam tubuh terdiri dari proses absorpsi, pengangkutan, pemanfaatan,
penyimpanan dan pengeluaran.
Besi diserap dalam bentuk fero (Fe2+). Karena bersifat toksik di dalam tubuh,
besi bebas biasanya terikat ke protein. Besi diangkut di dalam darah (sebagai Fe3+)
oleh protein, apotransferin. Besi membentuk kompleks dengan apotransferin menjadi

13
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
transferin. Besi dioksidasi dari Fe2+ menjadi Fe3+ oleh feroksidase yang dikenal
sebagai seruloplasmin (enzim yang mengandung tembaga). Besi dapat diambil
dari simpanan feritin, diangkut dalam darah sebagai transferin dan diserap oleh
sel yang memerlukan besi melalui proses endositosis diperantarai oleh resptor
(misalnya oleh retikulosit yang sedang membentuk hemoglobin). Apabila terjadi
penyerapan besi berlebihan dari makanan, kelebihan tersebut disimpan sebagai
hemosiderin, suatu bentuk feritin yang membentuk kompleks dengan besi tambahan
yang tidak mudah diimobilisasi segera.

3. Keasaman atau pH
Keasaman bertambah atau pH semakin turun dan kadar ion H+ meningkat akan
melemahkan ikatan antara oksigen dan hemoglobin sehingga kurva disosiasi
oksigen-hemoglobin bergerak ke kanan (Afinitas Hb terhadap O2 berkurang)
sehingga menyebabkan hemoglobin melepaskan lebih banyak oksigen ke jaringan.
Misal peningkatan asam laktat dan asam karbonat yang dihasilkan oleh jaringan yang
aktif secara metabolik. Keasaman turun atau pH naik afinitas Hb terhadap O2
bertambah sehingga kurva disosiasi oksigen hemoglobin bergerak ke kiri (afinitas Hb
tehadap O2 Bertambah) dan hemoglobin banyak mengikat O2. Hb bekerja sbg buffer
utk ion H+.

4. PO2 atau Tekanan Parsial O2


Apabila PO2 darah meningkat , misalnya seperti di kapiler paru, Hb berikatan dg
sejml besar O2 mendekati 100% jenuh, PO2 60-100 mmHg : Hb >/90% jenuh
(afinitas Hb terhadap O2 bertambah) dan kurva disosiasi oksigen hemoglobin
bergerak ke kiri.
Dan apabila PO2 menurun, misal di kapiler sistemik PO2 antara 40 & 20 mmHg (75-
35% jenuh): sejumlah besar O2 dilepas dr Hb setiap penurunan PO2 , afinitas Hb
terhadap O2 berkurang dan kurva disosiasi oksigen hemoglobin bergeser ke kanan.

5. PCO2 atau tekanan parsial CO2


PCO2 darah meningkat di kapiler sistemik sehingga CO2 berdifusi dari sel ke darah
mengikuti penurunan gradiennya menyebabkan penurunan afinitas Hb terhadap O2
(Hb lebih banyak membebaskan O2) kurva disosiasi oksigen hemoglobin bergeser ke
kanan.
PCO2 darah menurun di kapiler paru sehingga CO2 berdifusi dari darah ke alveoli
menyebabkan peningkatan afinitas Hb terhadap O2 (Hb lebih banyak mengikat O2)
kurva disosiasi oksigen hemoglobin bergeser ke kiri.

6. Temperatur atau suhu


Panas yang dihasil reaksi metabolism dari kontraksi otot melepaskan banyak asam &
panas menyebabkan temperatur tubuh naik dan sel aktif perlu banyak O2 memacu
pelepasan O2 dr oksiHb (afinitas Hb tehadap O2 berkurang) kurva bergeser ke kanan.

14
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Hipotermia menyebabkan metabolisme sel lambat sehingga O2 yang
dibutuhkan jaringan sedikit pelepasan O2 dari Hb juga lambat (afinitas Hb terhadap
O2 berkurang) dan kurva disosiasi oksigen hemoglobin bergeser ke kiri.

7. BPG
Peningkatan BPG yang dihasikan dari suatu metabolit glikolisis dan terdapat dalam
darah sehingga Hb berikatan dg BPG dapat mengurangi afinitas Hb thd O2 dan kurva
bergeser ke kanan. Hormon tiroksin, GH, epinefrin, norepi & testosteron dapat
meningkatkan pembentukan BPG dan kadar BPG meningkat pada orang yg tinggal
di dataran tinggi.
Penurunan BPG di darah menyebabkan ikatan Hb terhadap O2 semakin kuat
karena Hb tidak diikat oleh BPG afinitas Hb terhadap O2 bertambah, kurva disosiasi
oksigen hemoglobin bergeser ke kiri.

2.3. Reaksi oksigen dengan hemoglobin


Hemoglobin mengikat oksigen untuk membentuk oksihemoglobin, oksigen menempel
pada Fe2+ dalam heme. Masing-masing dari keempat atom besi dapat mengikat satu
molekul oksigen secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam bentuk ferro, sehingga
reaksi pengikatan oksigen merupakan suatu reaksi oksigenasi.
Dengan reaksi : Hb + O2 ↔ HbO2
Bila tekanan O2 tinggi, seperti dalam kapiler paru, O2 berikatan dengan hemoglobin.
Sedangkan jika tekanan oksigen rendah, oksigen akan dilepas dari hemoglobin
(deoksihemoglobin).
Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen adalah kurva yang menggambarkan hubungan %
saturasi kemampuan hemoglobin mengangkut O2 dengan PO2 yang memiliki bentuk
signoid khas yang disebabkan oleh interkonversi T-R. Pengikatan O2 oleh gugus heme
pertama pada satu molekul Hb akan meningkatkan afinitas gugus heme kedua terhadap
O2, dan oksigenase gugus kedua lebih meningkatkan afinitas gugus ketiga, dan
seterusnya sehingga afinitas Hb terhadap molekul O2 keempat berkali-kali lebih besar
dibandingkan reaksi pertama.

Gambar 6 Kurva disosiasi Hb dan O2

15
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
3. Memahami dan menjelaskan anemia

3.1. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke
jaringan tubuh.
Pada anemia terjadi penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit.
Perubahan volume plasma sirkulasi total dan massa hemoglobin sirkulasi total
menentukan konsentrasi hemoglobin.

3.2. Etiologi
1. Cacat sel darah merah (SDM)
Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-tiap
komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan masalah bagi
SDM sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan dengan
cepat mengalami penuaan dan segera dihancurkan. Pada umumnya cacat yang
dialami SDM menyangkut senyawa-senyawa protein yang menyusunnya. Oleh
karena kelainan ini menyangkut protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan
oleh gen di DNA.

2. Kekurangan zat gizi


Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor
luar tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena kelainan dalam SDM
disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel tersebut. Anemia jenis ini tidak
dapat diobati, yang dapat dilakukan adalah hanya memperpanjang usia SDM
sehingga mendekati umur yang seharusnya, mengurangi beratnya gejala atau bahkan
hanya mengurangi penyulit yang terjadi.

3. Perdarahan
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya
jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar
dan dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi
karena kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya,
segala usaha akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin
mengembalikan jumlah darah ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi.

4. Karena autoimun
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan menghancurkan
bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini sebanarnya tidak
seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi terhadap SDM, umur
SDM akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh sistem imun.

16
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
3.3. Klasifikasi
1. Klasifikasi morfologi eritrosit:
A. anemia hipokromik mikrositer (MCV <80fl, MCH <27pg)
 Anemia defisiensi besi
 Tahalssemia
 Anemia akibat oenyakit kronik
 Anemia sideroblastik (sel-sel darah merah imatur (sideroblas) dalam sirkulasi
dan sumsum tulang)
B. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95fl, MCH 27-34pg)
 Anemia pascapendarahan akut
 Anemia aplastic-hipoplastik
 Anemia hemolitik
 Anemia akibat penyakit kronik
 Anemia mieloptisik (akibat penggantian sumsum tulang oleh infiltrate sel-sel
tumor)
 Anemia pada gagal ginjal kronik
 Anemia mielofibrosis (akibat penggantian sumsum tulang oleh jarimgan
fibrosa)
 Anemia sindrom mielodsiplastik
 Anemia leukemia akut
C. Anemia makrositer (MCV >95fl)
 Megaloblastik
a. Anemia defisiensi folat
b. Anemia defisiensi B12
 Nonmegaloblastik
a. Anemia pada penyakit hati kronik
b. Anemia hipertiroid
c. Anemia pada sindrom mielodisplastik

2. Berdasarkan etiopatogenesis
A. Produksi eritrosit menurun
B. Kekurangan bahan untuk eritrosit
~ Besi: anemia defisiensi besi
~ Vitamin B12 dan asam folat, disebut sebagai anemia megaloblastik
C. Gangguan utilisasi besi
~ Anemia akibat penyakit kronik
~ Anemia sideroblastik
D. Kerusakan pada jaringan sumsum tulang
~ Atrofi dengan penggantian oleh jaringan lemak: anemia aplastik/hipoplastik
~ Penggantian oleh jaringan fibrotic / tumor: anemia leukoeritroblastik/mieloptisik
E. Fungsi sumsum tulang kurang baik karena tidak diketahui
~ Anemia diseritropoetik
~ Anemia pada sindrom mielodisplastik

17
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
F. Kehilangan eritrosit dari tubuh
~ Anemia pascaperdarahan akut
~ Anemia pascaperdarahan kronik
~ Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis)
G. Faktor ekstrakorpuskuler
~ Antibodi terhadap eritrosit: autoantibody-AHA (autoimmune hemolytic anemia)
dan isoantibodi-HDN (hemolytic disease of the newborn)
~ Hipersplenisme
~ Pemaparan terhadap bahan kimia
~ Akibat infeksi bakteri / parasit
~ Kerusakan mekanik
H. Faktor intrakorpuskuler
~ Gangguan membran: hereditary spherocytosis dan hereditary elliptocytosis
~ Gangguan enzim: defisiensi pyruvate kinase dan defisiensi G6PD (glucose-6
phosphate dehydrogenase)
~ Gangguan hemoglobin: hemoglobinopati structural dan thalassemia
I. Bentuk campuran
J. Bentuk yang patogenesisnya belum jelas

3.4. Manifestasi
Gambaran klinis anemia ditentukan dari 4 kriteria utama;
1. Kecepatan awitan
2. Keparahan
3. Usia
4. Kurva disosiasi hemoglobin O2

Gejala dapat dibedakan menjadi Gejala khusus, umum, dan dasar;


1. Gejala khusus
Sesuai dengan jenis anemia.
 Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papilla lidah, stomatitis angularis
 Anemia defisiensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)
 Anemia hemolitik: icterus dan hepatosplenomegali
 Anemia aplastic: pendarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi

2. Gejala umum (sindrom anemia)


Gejala pada anemia biasa muncul pada kadar hemoglobin kurang dari 9-10gr/dl. Jika
pasien bergejala, maka yang biasa muncul adalah nafas pendek, terutama saat
berolahraga, kelemahan, letalergi (penurunan kesadaran dan pemusatan perhatian
serta kesiagaan), palpitasi (denyut jantung tidak teratur), dan sakit kepala. Pada pasien
berusia tua, mungkin ditemukan gejala gagal jantung, angina pectoris, klaudikasio
intermitten (rasa gatal atau nyeri kram pada tungkai ketika berjalan), atau kebingunan
(konfusi).

18
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
 Sistem kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak waktu kerja,
angina pectoris dan gagal jantung.
 Sistem saraf: sakit kepala, pusing, telinga berdengin, mata berkunang-kunang,
kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas.
 Sistem urogenital: gangguan haid dan libido menurun
 Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, jika hemoglobin kurang dari 9-
10gr/dl, elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan halus.

3. Tanda akibat penyakit dasar


Gejala penyakit dasar yang menyebabkan anemia. Misalnya, anemia defisiensi besi
karena infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan gejala seperti pembesaran
parotis dan telapak tangan berwarna kuning jerami.

3.5. Pemeriksaan penunjang


1. Tes penyaring dilakukan untuk menentukan kadar hemoglobin; indeks eritrosit (mean
corpuscular volume (MCV), mean corpuscular hemoglobin (MCH), dan mean
corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) dan hapusan darah tepi.
2. Pemeriksaan rutin dilakukan untuk menentukan laju endap darah; hitung deferensial
dan hitung retikulosit.
3. Pemeriksaan sumsum tulang.
4. Pemeriksaan atas indikasi khusus yaitu untuk anemia defesiensi besi dinilai dengan
serum iron, total iron-binding capacity (TIBC) dan saturasi transferin; untuk anemia
megaloblastik dinilai dengan asam folat darah/eritrosit dan vitamin B12; untuk
anemia hemolitik dinilai dengan tes Coomb dan elektroforesis Hb; untuk leukemia
akut dilakukan pemeriksaan sitokimia dan untuk diatesa hemoragik dilakukan tes faal
hemostasis.
5. Pemeriksaan laboratorium nonhematologik untuk mengetahui anemia akibat penyakit
dasar; faal ginjal, faal endokrin, asam urat, faal hati, biakan kuman, dll

4. Memahami dan menjelaskan anemia defisiensi besi

4.1. Definisi
Adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh (depleted iron store)
sehingga penyediaan besi untuk erotropoiesis berkurang, pada akhirnya pembentukan
hemoglobin berkurang. Ditandai dengan anemia hipokromik mikrositer, besi serum
turun, TIBC (Total Iron Binding Capacity) meningkat, saturasi transferrin menurn,
ferritin serum menurun, penegcatan besi sumsum tulang negatif dan adanya respon
terhadap pengobatan dengan preparat besi.

4.2. Etiologi
Ada tiga penyebab anemia defisiensi zat besi, yaitu :
a. Kehilangan darah secara kronis

19
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Pada pria dewasa, sebagian besar kehilangan darah disebabkan oleh proses
perdarahan akibat penyakit atau akibat pengobatan suatu penyakit. Sementara pada
wanita, terjadi kehilangan darah secara alamiah setiap bulan. Jika darah yang keluar
selama haid sangat banyak akan terjadi anemia defisiensi zat besi.
Selain itu, kehilangan zat besi dapat pula diakibatkan oleh infestasi parasit,
seperti cacing tambang, schistosoma dan trichuris trichiura. Hal ini sering terjadi di
negara tropis, lembab dan keadaan sanitasi yang buruk.
Darah yang hilang akibat infestasi cacing tambang bervariasi antara 2-100
cc/hari, tergantung pada beratnya infestasi. Jika jumlah zat besi dihitung berdasarkan
banyaknya telur cacing yang terdapat dalam tinja, jumlah zat besi yang hilang per
seribu adalah sekitar 0,8 mg untuk necator americanus sampai 1,2 mg untuk
ancylostoma duodenale.

b. Asupan dan serapan tidak adekuat


Makanan yang banyak mengandung zat besi adalah bahan makanan yang berasal dari
daging hewan. Selain banyak mengandung zat besi, serapan zat besi dari sumber
makanan tersebut mempunyai angka keterserapan sebesar 20-30%. Sebagian besar
penduduk di negara yang sedang berkembang tidak mampu menghadirkan bahan
makanan tersebut. Kebiasaan konsumsi makanan yang dapat mengganggu penyerapan
zat besi seperti kopi dan teh secara bersamaan pada waktu makan menyebabkan
serapan zat besi semakin rendah.

c. Peningkatan kebutuhan
Kebutuhan meningkat seperti pada prematuritas, anak dalam amsa pertuumbuhan dan
kehamilan. Asupan zat besi harian diperlukan untuk mengganti zat besi yang hilang
melalui tinja, air seni dan kulit. Berdasarkan jenis kelamin, kehilangan zat besi untuk
pria dewasa mendekati 0,9 mg dan 0,8 untuk wanita.
Sebagian peningkatan ini dapat terpenuhi dari cadangan zat besi, serta peningkatan
adaptif jumlah persentase zat besi yang terserap melalui saluran cerna. Namun, jika
cadangan zat besi sangat sedikit sedangkan kandungan dan serapan zat besi dalam dan
dari makanan sedikit, pemberian suplementasi pada masa-masa ini menjadi sangat
penting.

4.3. Manifestasi
1. Gejala umum
Sindrom anemia pada defisiensi besi terjadi jika kadar hemoglobin turun di bawah 7-
8gr/dl. Gejala berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, telinga
berdenging. Penurunan kadar hemoglobin pada anemia defisiensi besi terjadi
perlahan-lahan.

2. Gejala khas
Tidak dijumpai pada anemia lain;
a. Koilonichia: kuku sendok (spoon nail): kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertical dan menjadi cekung mirip sendok.

20
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Gambar 7. Kuku sendok

b. Atrofi papilla lidah: permukaan lidah jadi licin dan mengilap karena papilla lidah
menghilang.

Gambar 8. Atrofi papila lidah

c. Stomatitis angularis: radang pada sudut mulut sehingga tampak bercak pucat
keputihan.

Gambar 9. Stomatitis angularis

d. Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.


e. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia (kekurangan asam
lambung)

3. Gejala penyakit dasar


Gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisienis besi tersebut.
Misalnya, anemia defisiensi besi karena infeksi cacing tambang berat akan
menimbulkan gejala seperti pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning
jerami. Atau pendarahan kronik akibat kanker.

4.4. Patofisiologi
1. Stadium 1

21
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Kehilangan zat besi melebihi asupannya, sehingga menghabiskan cadangan dalam
tubuh, terutama di sumsum tulang. Kadar ferritin (protein yang menampung zat besi)
dalam darah berkurang secara progresif.
2. Stadium 2
Cadangan besi yang telah berkurang tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk
pembentukan sel darah merah, sehingga sel darah merah yang dihasilkan jumlahnya
lebih sedikit.
3. Stadium 3
Mulai terjadi anemia. Pada awal stadium ini, sel darah merah tampak normal, tetapi
jumlahnya lebih sedikit. Kadar hemoglogin dan hematokrit menurun.
4. Stadium 4
Sumsum tulang berusaha untuk menggantikan kekurangan zat besi dengan
mempercepat pembelahan sel dan menghasilkan sel darah merah dengan ukuran yang
sangat kecil (mikrositik), yang khas untuk anemia karena kekurangan zat besi.
5. Stadium 5
Dengan semakin memburuknya kekurangan zat besi dan anemia, maka akan timbul
gejala-gejala karena kekurangan zat besi dan gejala-gejala karena anemia semakin
memburuk.

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi


makin menurun. Jika cadangan besi menurun keadaan ini disebut iron depleted state atau
negative iron balance . Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum,
peningkatan absorbsi besi dalam usus. Serta pengecatan besi dalam sumsum tulang
negative. Apabila kekurangan besi terus berlanjut maka cadangan besi akan menjadi
kosong sama sekali. Peneydiaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan
gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi keadaan ini
disebut iron deficient erytropoiesis . Pada fase ini kelainan pertama yang dapat dijumpai
adalah peningkatan kadar free protophorphyn atau zinc protophoryn dalam eritrosit.
Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir-
akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor transferin dalam
serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggusehingga
kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik
disebut iron defeciency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel
serta beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring
serta berbagai gejala lainnya.

Skema pathogenesis:
Pendarahan → cadangan besi ↓ (iron depleted state ) → penyediaan besi eritropoiesis <<
→ gangguan bentuk eritrosit (iron deficient erythropoiesis) → anemia hipokromik
mikrositer (iron deficiency anemia) → kekurangan besi pada epitel dan enzim → gejala
pada kuku, dll.

22
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
4.5. Pemeriksaan fisik & pemeriksaan penunjang utk anemia defisiensi besi
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit: didapat anemia hipokromik mikrositer
dengan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC, MCH
menurun, MCV<70fl hanya terjadi pada anemia defisiensi besi dan thalassemia
mayor. dan hapusan darah tepi. RDW (Red Cell Distribution Width) meningkat tanda
adanya anisositosis.
Apusan darah ditemukan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis,
anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target.
2. Kadar besi serum menurun <50mg/dl, TIBC meningkat >350mg/dl, saturasi
transferrin <15%.
3. Kadar ferritin < 20 μg/dl (ada juga 12-15 μg/dl). Inflamasi, maka feritin serum 60
μg/dl masih menunjukkan defisiensi besi.
4. Protoporfirin eritrosit meningkat (>100 μg/dl)
5. SST: hyperplasia normoblastik dengan mikronormoblas.
6. Lab: diperiksa kadar reseptor transferrin meningkat pada defisiensi besi, normal pada
thalassemia dan anemia penyakit kronik.
7. Pengecatan SST dengan biru prusia menunjukkan cadangan besi negative (butir
hemosiderin negative).
8. Pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi; pemeriksaan feses
untuk cacing tambang → pemeriksaan semu-kuantitatif (Kato Katz), pem. darah
samar pada feses, endoskopi, barium intake atau barium loop, dll.

4.6. Diagnosis
Penegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang diteliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Secara
laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dipakai kriteria
diagnosis anemia defisiensi besi sebagai berikut :
1. Anemia hipokrimatik mikrositer pada apusan darah tepi, MCV <80 fl, MCHC < 31%.
2. Dua dari tiga dibawah:
a. besi serum <50mg/dl
b. TIBC >350mg/dl
c. Saturasi transferrin <15%
3. Ferritin serum < 20 μg/dl
4. Pengecatan SST dengan biru prusia menunjukkan cadangan besi negative (butir
hemosiderin negatif.
5. Pemberian sulfas ferosus 3 x 200mg/hari (atau preparat besi lain) selama 4 minggu
disertai kenaikan hemoglobin lebih dari 2gr/dl.

4.7. Diagnosis banding


Dibedakan dari anemia hipokromik lainnya:
1. Anemia akibat penyakit kronik
2. Thalassemia
3. Anemia sideroblastik

23
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Anemia Anemia akibat Trait Anemia
defisiensi besi penyakit thalassemia sideroblastik
kronik
MCV ↓ ↓/N ↓ ↓/N
MHC ↓ ↓/N ↓ ↓/N
Besi Serum ↓ ↓ N N
TIBC ↑ ↓ N/↑ N/↑
Saturasi ↓ ↓/N ↑ ↑
transferrin <15% 10-20% >20% >20%
Besi SST (-) (+) (+) kuat (+) dg sideroblas
Protoporfirin ↑ ↑ N N
eritrosit
Ferritin serum ↓ N ↑ ↑
<20μg/dl 20-200μg/dl >50μg/dl >50μg/dl
Elektroforesis N N Hb A2 N
Hb
Sumber: Hematologi Klinik Ringkas

4.8. Tatalaksana
Pada setiap terapi kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip :
1. Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan
2. Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional dan efisien
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Pemberian
preparat Fe dapat secara peroral maupun parenteral.
Setelah diagnosis ditegakkan maka akan dibuat rencana pemberian terapi.
Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah :
1. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan, misalnya pengobatan cacing
tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus
dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh lagi.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy)
3. Terapi besi oral, merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah dan
aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphate (preparat pilihan pertama oleh
karena paling murah tetapi efektif). Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Preparat lain:
ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, ferrous succinate.
4. Terapi besi parenteral, sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih besar dan
harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini maka besi parenteral hanya diberikan
atas indikasi tertentu, seperti: Intoleransi terhadap pemberian besi oral, kepatuhan
terhadap obat rendah, penyerapan besi terganggu, keadaan dimana kehilangan darah
banyak, kebutuhan besi besar dalam waktu pendek, defisiensi besi fungsional relatif.

Kebutuhan besi (mg) = (15 – Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg

24
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Pengobatan lain
1. Diet, sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama
berasal dari protein hewani.
2. Vitamin C, diberikan 3 x 100 mg/hari untuk meningkatkan absorposi besi
3. Transfusi darah, ADB jarang memerlukan transfusi darah. Diberikan hanya pada
keadaan anemia yang sangat berat atau disertai infeksi yang dapat mempengaruhi
respons terapi. Jenis darah yang diberikan adalah PRC untuk mengurangi bahaya
overload.
Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan:
*pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum, dosis besi kurang, masih ada
perdarahan cukup berat, ada penyakit lain seperti peny.kronik, ada defisiensi
asam folat. Serta kemungkinan salah mendiagnosis ADB. Jika dijumpai keadaan
tersebut, lakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang tepat.

4.9. Pencegahan
1. Meningkatkan konsumsi Fe  dari sumber alami terutama sumber hewani yang
mudah diserap. Juga perlu peningkatan konsumsi makanan yang mengandung
vitamin C dan A.
2. Pendidikan kesehatan, yaitu:
3. Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, dan perbaikan
lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki.
4. Penyuluhan gizi: untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorpsi
besi.
5. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling
sering di daerah tropic.
6. Suplementasi besi: terutama untuk segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil
dan anak balita  cara paling tepat untuk menanggulangi ADB di daerah yang
prevalensinya tinggi.
7. Fortifikasi bahan makanan  dengan cara menambah masukan besi dengan
mencampurkan senyawa besi kedalam makanan sehari-hari

25
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik
Daftar Pustaka

Hoffbrand, AV, Pettit, JE, dan Moss, PAH. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta:
EGC. Hlm 1-51.

Bakta, IM. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC. Hlm.1-38.

Syam, AF, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Interna
Publishing

Sadikin Muhamad. 2002. Biokimia Darah. Jakarta: Widia Medika

Price, SA dan Wilson, LA. 2002. Patofisiologi, Jilid1. Jakarta: EGC

http://books.google.co.id/books?isbn=9793027762

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/107/jtptunimus-gdl-aristakurn-5312-2-bab2.pdf

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/107/jtptunimus-gdl-aristakurn-5312-2-bab2.pdf

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/107/jtptunimus-gdl-sumantig0c-5311-2-bab2.pdf

http://henzprima.files.wordpress.com/2010/11/makalah-zat-besi-primahendri.pdf

http://id.shvoong.com/exact-sciences/biochemistry/2113294-faktor-faktor-yang-
mempengaruhi-afinitas/#ixzz2AzDfO6dS

http://journal.unhas.ac.id

http://www.majalah-farmacia.com

http://www.pediatrik.com

http://ppni-klaten.com/index.php?option=com_content&view=article&id=76:anemia
&catid=38:ppni-ak-category&Itemid=66

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20481/4/Chapter%20II.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21127/4/Chapter%20II.pdf

http://www.student.med.umn.edu/wardmanual/normallabs.php

26
PBL A4 - Blok Darah dan Sistem Limfatik

Anda mungkin juga menyukai