Anda di halaman 1dari 35

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perforasi dari saluran gastrointestinal adalah salah satu penyebab
mematikan dari akut abdomen yang ditandai dengan nyeri abdomen akut dan
penderitaan berat bagi pasien. Sepertiga dari pasien mengalami keterlambatan
dalam diagnosis peritonitis. Peritonitis oleh karena perforasi dari saluran cerna
adalah kegawatdaruratan bedah yang umum di seluruh dunia, terjadi sekitar 2 - 14
% pasien dengan penyakit ulkus yang aktif. Penatalaksanaan operasi pada pasien
dengan peritonitis perforasi sangat direkomendasikan dan termasuk kombinasi
dengan teknik bedah, antimikroba, dan penunjang terapi yang baik dapat
meningkatkan hasil terapi.1
Perforasi artinya adalah segala kerusakan dalam kontinuitas dari organ
berongga yang menyebabkan kontaminasi pada rongga peritoneum dengan isi
intraluminal dan peritonitis adalah inflamasi pada peritoneum oleh perforasi yang
disebabkan kontaminasi bakterial. Pemeriksaan yang ditemukan biasanya nyeri
perut, perut rigid, distensi perut, suara usus melemah, demam, takikardia,
takipneu, oliguria dan syok. Peritonitis dapat primer maupun sekunder ataupun
tersier. Primer disebabkan oleh infeksi dari organisme sedangkan sekunder oleh
karena lesi atau luka pada saluran cerna, saluran kemih atau sistem bilier seperti
asam lambung dari perforasi lambung, cairan empedu dari perforasi kandung
empedu serta laserasi hepar akibat trauma.2,3 Peritonitis tersier merupakan
peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung yang sering terjadi pada pasien
immunocompromised dan orang-orang dengan kondisi komorbid.2
Di Indonesia, pada tahun 2008 jumlah penderita peritonitis berjumlah
sekitar 7% dari jumlah penduduk atau sekitar 179.000 orang. Di jawa tengah
tahun 2009 jumlah kasus peritonitis dilaporkan sebanyak 5.980 dan 177
diantaranya mengalami kematian.4
Perforasi peritonitis merupakan kondisi yang berbahaya dan berhubungan
dengan risiko tinggi untuk morbiditas dan mortalitas. Mayoritas pasien datang
2

terlambat, dengan peritonitis purulenta dan septikemia. Deteksi awal dan


pengobatan dini memiliki peran dalam menurunkan mortalitas.3 Oleh karena hal
tersebut, kita sebaiknya mampu mendeteksi awal penyakit ini dan menentukan
terapi yang tepat.
1.2 Tujuan
a. Memahami alur kegawatdaruratan di Instalasi Gawat darurat khususnya
pada penatalaksanaan peritonitis.
b. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di
bidang kedokteran.
c. Memenuhi salah satu syarat kelulusan kepaniteran klinik senior (KKS) di
Departemen Anestesi & Terapi Intensif fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

1.3 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai aspek penanganan awal serta kegawatdaruratan pada kasus peritonitis
yang berlandaskan teori sehingga dapat ditatalaksana dengan sebaik mungkin
sesuai kompetensinya pada tingkat pelayanan primer.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Lapisan Peritoneum


Peritoneum ialah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.
Peritoneum terdiri atas dua bagian utama yaitu peritoneum parietal, yang melapisi
dinding rongga abdominal dan peritoneum viseral yang menyelaputi semua organ
yang berada di dalam rongga itu. Ruang yang biasa terdapat di antara dua lapis ini
disebut rongga peritoneum atau cavum peritoneum. Normalnya terdapat 50 mL
cairan bebas dalam rongga peritoneum, yang memelihara permukaan peritoneum
tetap licin. Pada laki-laki peritoneum berupa kantong tertutup sedangkan pada
perempuan saluran telur (tuba Fallopi) membuka masuk ke dalam rongga.5
Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan pada perempuan merupakan
saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga peritoneum, di dalam
peritoneum banyak terdapat lipatan atau kantong.5

Gambar 2.1. Bagian melintang inferior


Dilihat secara embriologi peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis
yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari
sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang
4

merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua


rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm
tersebut kemudian menjadi peritonium.
Lipatan besar (omentum mayor) banyak terdapat lemak yang terdapat di
sebelah depan lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvatura
minor, dan lambung berjalan ke atas dinding abdomen dan membentuk
mesenterium usus halus.
Fungsi peritonium :
a. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis.
b. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang
ada dalam rongga peritoneum tidak saling bergesekan.
c. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding
posterior abdomen.
d. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi
terhadap infeksi.

Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:


a. Lapisan yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika
serosa).
b. Lapisan yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
c. Lapisan yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.5

2.2 Peritonitis
2.2.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi
rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyulit berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari
luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme
yang hidup dalam kolon (pada kasus ruptura appendik) yang mencakup Eschericia
coli atau Bacteroides. Sedangkan stafilokokus dan streptokokus sering kali masuk
dari luar.6,7
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) di antara perlekatan fibrinosa
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
5

infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat


menetap sebagai pita-pita fibrosa yang kelak dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi usus.7
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata.
Dengan timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang ke dalam lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi,
gangguan sirkulasi, oliguria, dan mungkin shock.7,8
2.2.2 Etiologi
Peritonitis bakterial diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder
1. Peritonitis primer
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung
dari rongga peritoneum. Banyak terjadi pada penderita : 8,9
 Sirosis hepatis dengan asites
 Nefrosis
 SLE
 Bronkopnemonia dan tbc paru
 Pyelonefritis

2. Peritonitis sekunder
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak
akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi.8,9,10
Disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal seperti:
 Iritasi Kimiawi : Perforasi gaster, pankreas, kandung empedu, hepar, lien,
kehamilan extra tuba yang pecah
6

 Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii pecah,
ruptur buli dan ginjal.
 Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.

3. Peritonitis Tersier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, super infeksi kuman, dan
akibat tindakan operasi sebelumnya. 7,8
2.2.3 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.7
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.7,10
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.7
7

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut


meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi
sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul
peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.6,7,9
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa
ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.10
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan
dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung,
sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di
ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan
dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi
pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri
kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans
muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.9,11
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang
mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat
8

seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah
epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau
enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh
perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase
peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium
berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi
keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.7,8
Pada apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena
sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.7,10
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai
organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai
dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia
sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat
dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah
lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula
tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritonium.7,9,13
9

2.2.4 Jenis Peritonitis


 Peritonitis Aseptik.

Terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus peritonitis di Inggris, dan biasanya
sekunder dari perforasi ulkus gaster atau duodenal. Peritonitis steril dapat
berkembang menjadi bakterial peritonitis dalam beberapa jam mengikuti
transmigrasi dari mikroorganisme (contohnya dari usus).
 Peritonitis bilier

Relatif jarang dari peritonitis steril dan dapat disebabkan dari :


1. iatrogenic (ligasi duktus sistikus saat cholesistektomi)
2. kolesistitis akut
3. trauma
4. idiopatik
Bentuk lain dari peritonitis steril, ada 4 penyebab :
1. Cairan pankreas
Misalnya dari pankreatitis akut, trauma. Pankreatitis bisa disebabkan karen
proses diagnostik laparotomi pada pasien yang tidak mengalami peningkatan
serum amilase.
2. Darah.
Misalnya ruptur kista ovarium, aneurisma aorta yang pecah.
3. Urine
Misalnya intraperitoneal ruptur dari kandung kemih.
4. Meconium
Adalah campuran steril dari sel epitel, mucin, garam,, lemak, dan bilier
dimana dibentuk saat fetus mulai menelan cairan amnion. Peritonitis mekonium
berkembang lambat di kehidupan intra uteri atau di periode perinatal saat
mekonium memasuki rongga peritoneum melalui perforasi inestinal.
 Peritonitis TB

Biasanya terjadi pada imigran atau pasien dengan imunokompromise.


Menyebar ke peritoneum melalui:
10

1. secara langsung melalui limfatik nodul, regio ileocaecal atau pyosalping


TB.
2. Melalui darah (blood-borne) infeksi dari TB paru.
Kejadiannya dapat secara akut (seperti peritonitis pada umumnya), dan
kronik (onsetnya lebih spesifik, dengan nyeri perut, demam, penurunan berat
badan, keringat malam, massa abdomen). Makroskopik, ada 4 bentuk dari
penyakit ini : ascitic, encysted, plastic, atau purulent. Terapinya berdasarkan
terapi anti-TB, digabungkan dengan laparotomi (apabila di indikasikan) untuk
komplikasi intraabdominal.
 Peritonitis Klamidia

Fitz Hugh Curtis sindroma dapat menyebabkan inflamasi pelvis dan


digambarkan oleh nyeri hipokondrium kanan, pireksia, dan hepatic rub.
 Obat-obatan dan benda asing.

Pada pemakaian isoniazid, practolol, dan kemoterapi intraperitoneal dapat


menyebabkan peritonitis akut. Bedak dan starch dapat menstimulus
perkembangan benda asing granulomata apabila benda-benda itu bertemu pada
rongga peritoneum (contohnya sarung tangan bedah).6

2.2.5 Manifestasi Klinis


Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan
tanda–tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri
tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di
bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan
sementara usus.9
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan
ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran
peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita
bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri
jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lain.9,10
11

2.2.6 Diagnosis

A. Anamnesa
Sekitar 30% pasien dengan peritonitis cenderung asimtomatik, dan pada
pasien-pasien simtomatik maka dapat dijumpai beberapa gejala seperti berikut:
- Demam dan menggigil (dialami ≥80% pasien)
- Nyeri perut atau rasa tidak nyaman pada perut (dialami 70% pasien)
- Diare
- Asites yang tidak membaik dengan pemberian diuretik
- Ileus
Nyeri perut merupakan keluhan utama yang paling sering dijumpai pada pasien
peritonitis. Nyeri perut yang dirasakan bersifat tumpul dan sulit dilokalisir
(peritoneum viseral); lama-kelamaan nyeri semakin memberat dan semakin
terlokalisir (parietal peritoneum). Nyeri perut pada peritonitis akan semakin
memberat terutama saat pasien batuk, meregangkan pinggul dan penekanan lokal
pada daerah abdomen.15
B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut


nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan
pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi
atau sepsis juga perlu diperhatikan.6

Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak


baik. Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis
hebat akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena
dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang disebabkan
karena mual damuntah, demam, kehilangan cairan yang banyak dari rongga
abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien
bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin
berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan
syok sepsis.13
12

Inspeksi: Pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi


menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran
usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis
biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended.6,7
Palpasi: Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral
yang sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling
sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak
dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak
nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity)
menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri
somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada
inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot
dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi
bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat. 6,10
Perkusi: Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya
udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui
pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis,
pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya
udara bebas tadi.12,13
Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan
pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan
diagnosis. Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum doglasi kurang
memberikan informasi pada peritonitis murni; nyeri pada satu sisi menunjukkan
adanya kelainan di daeah panggul, seperti apendisitis, abses, atau adneksitis.
Nyeri pada semua arah menunjukkan general peritonitis. Colok dubur dapat pula
membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus, karena pada paralisis
dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula
biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk kemungkinan
kelainan pada alat kelamin dalam perempuan.6,7
13

Auskultasi: Dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara


bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau
menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh
sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik).
Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal.8,12
C. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :10,13
1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior ( AP ).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP.
Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu :terlihat kekaburan pada cavum
abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas
subdiafragma atau intra peritoneal.7,13
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah Lengkap, biasanya ditemukan leukositosis, hematocrit yang
meningkat.
2. BGA, menunjukan asidosis metabolic, dimana terdapat kadar
karbondioksida yang disebabkan oleh hiperventilasi.
3. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel
diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.7,14
14

2.2.7 Tatalaksana
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,
kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.2

2.2.7.1 Penanganan Preoperatif

A. Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang
intersisial. Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui
intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status
hemodinamik tubuh.16
Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan
transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan
koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang. Secara teori, cairan
koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan
ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi
membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat
ginjal. Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan
dan ginjal telah adekuat dan urin telah diproduksi.17,18

B. Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri
aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan
bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,
Peptostreptococci. 18
Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik
secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi
peritoneum. Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan
hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika
masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai
dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan
15

antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari
uji sensitivitas.16,18
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisikondisi seperti:
(1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau
nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi
menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan
setelah operasi. Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1
gram harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika
dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan
streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan
beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai
didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang
sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara
parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.16,18
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram
negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob. Daya cakupan
dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan terapi
tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat
berperan dalam kegagalan terapi.17,18
Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena
gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan
penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel.
Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan
hitung sel darah putih yang normal.18

C. Oksigen dan Ventilator


Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis
cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism
tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator
16

dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk


menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO 250
mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang
dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal.18
D. Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,
mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada
usus.Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan
pengeluaran urin.Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration
rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk
serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis.18

2.2.7.2 Penanganan Operatif


Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini
berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau
dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang
didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum
peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan
membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.18
A. Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan
semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis
dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi
midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang
terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus
dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan
organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu
diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung
empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut).
17

Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun
anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum.17
.
B. Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter)
dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta
bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna
bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-
iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level
bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian
bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat
menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini
menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua
cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat
mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang
permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri.17
C. Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis
lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas
tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang
merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi.
Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan
abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna
pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan
untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.18

2.2.7.3 Pengananan Postoperatif


Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak
stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi
organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian
cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan
18

peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal,
penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik.
Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis.
Pelepasankateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan
resiko infeksi sekunder.18

2.2.8. Teknik Anastesi pada Peritonitis

2.2.8.1 Preoperatif

2.2.9 Komplikasi
Syok septik, abses intraabdomen, dan adhesi merupakan komplikasi yang
dapat terjadi pada peritonitis. Pasien dengan syok septik membutuhkan perawatan
di ICU. Sepsis abdomen membawa mortalitas 30-60%. Keluaran dari sepsis
abdomen biasanya buruk meskipun telah dirawat di ICU. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan risiko mortalitas antara lain usia, skor APACHE II (skor
prognostik), syok septik, penyakit kronik, jenis kelamin wanita, sepsis yang
berasal dari saluran cerna atas, dan kegagalan mengatasi sumber sepsis. Adhesi
dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna atau volvulus.20

2.2.10 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-
faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit
primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan,
serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada
pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien
dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih
awal.19
19

BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Status Orang Sakit


Nama : Tn. N
Umur : 31 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Desa Pasar Miring, Perbaungan
Tanggal Masuk : 3 Mei 2018
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 165 cm

3.2 Anamnesis
KU : Nyeri seluruh area perut
Telaah : Hal ini dialami ± 6 jam sebelum masuk rumah sakit dan
semakin memberat 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri perut
dirasakan di seluruh area perut. Nyeri tidak menjalar, dan bersifat
terus menerus. Nyeri memberat ketika pasien menggerakkan
anggota gerak bawah. Sebelumnya pasien mengalami luka tusuk
pada perut bagian kiri ± 20 jam sebelum masuk rumah sakit.
Demam dijumpai. Menggigil tidak dijumpai. Riwayat jatuh saat
ditusuk disangkal. Riwayat mual tidak dijumpai. Riwayat muntah
tidak dijumpai. BAK dan BAB dalam batas normal. Pasien
sebelumnya sudah dibawa ke klinik di daerah Perbaungan dan
kemudian dirujuk ke RSUP HAM.
20

Primary Survey
A : Clear, S/G/C: -/-/-
B : Spontan, RR : 22x/i
C : HR: 106 x/i, TD: 110/70 mmHg
D : Sens: Compos Mentis. Pupil isokor 3mm/3mm, RC : +/+, VAS : 6
E : fraktur (-/-), oedem (-/-)

3.3 Time Sequences

03/05/2018
Pasien datang ke IGD RS HAM pukul 15.00
wib

03/05/2018
-Pukul 19.00 wib Konsul tindakan
Anestesi
-Pukul 19.30 wib ACC tindakan
anestesi

04/05/2018
Pukul 00.30 wib
Explorasi laparatomi
21

3.4. Primary Survey


B1 (Breath) : Airway clear; RR: 22 x/menit; SP: Vesikuler ST: (-),
Wheezing (-) S/G/C: -/-/-.
B2 (Blood) : Akral: hangat/merah/kering; TD: 110/70 mmHg; HR:
106 x/menit, reguler, t/v: kurang/lemah; Temperatur:
38,1°C
B3 (Brain) : Sensorium: apatis; pupil: isokor; Ø: ± 3 mm / 3 mm; RC
+/+.
B4 (Bladder) : UOP (+); volume ± 200 cc/jam, warna: kuning , kateter
urin tidak terpasang.
B5 (Bowel) : Abdomen: distensi, defence muscular (+), peristaltik
lemah, mual-muntah(-),
B6 (Bone) : Fraktur(-) ; edema (-/-)

3.5. Secondary Survey


Kepala : Kepala dalam batas normal, tidak dijumpai
fraktur ataupun laserasi.
Leher : Neck mobility dalam batas normal.
Thoraks : Tidak dijumpai peninggalan pernapasan,
dalam batas normal.
Abdomen : Distensi, defence muscular (+) peristaltik
lemah, nyeri tekan (+) seluruh lapangan abdomen.
Ekstremitas atas kanan : Dalam batas normal.
Ekstremitas atas kiri : Dalam batas normal.
Ekstremitas bawah kanan : Dalam batas normal.
Ektremitas bawah kiri : Dalam batas normal.
VAS :6
RPT : Tidak ada
RPO : Tidak ada
22

3.6. RIWAYAT
Allergies : -
Medication : -
Past Illness : -
Last Meal : 2 Mei 2018 pukul 19.30 WIB
Exposure : Laserasi pada flank sinistra

3.7. Tatalaksana di IGD


- Bed rest+head up 30o
- IVFD Ringer laktat 20gtt/i
- Inj. Ceftriaxon 1gr/24jam
- Inj. Ranitidine 50mg/12jam
- Inj. Ketorolac 30mg/8jam

3.8. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (IGD)
Lab (3/5/2018) Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 11,5 g/dL 13 – 18 g/dL
Eritrosit 3,98 jt/ µL 4,50-6,50 jt/ µL
Leukosit (WBC) 21.220 /µL 4,0 – 11,0 x 103/µL
Hematokrit 33 % 39 – 54; %
Trombosit (PLT) 257.000 150 – 450 x 103/µL

ELEKTROLIT
Natrium (Na) 138 mEq/L 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 4,5 mEq/L 3,6 – 5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 110 mEq/L 96 – 106 mEq/L
23

METABOLISME KARBOHIDRAT
Gula Darah (Sewaktu) 105 mg/dl <200mg/dL

GINJAL
BUN 19 mg/dL 7– 19 mg/dL
Ureum 41 mg/ dL 15 – 40 mg/dL
Kreatinin 1,14 mg/dL 0,6 – 1,1 mg/dL

FOTO THORAX (3 Mei 2018)

Kesimpulan Foto Thorax: Pneumoperitonium.


24

FOTO ABDOMEN (3 Mei 2018)

Kesimpulan Foto Abdomen : Pneumoperitonium.

3.9. Diagnosis
 Diagnosis : Diffuse Peritonitis d/t Penetrating Abdominal Injury
 Tindakan : Laparatomi Explorasi
 PS ASA : 2E
 Teknik Anestesi : GA ETT
 Posisi : Supine

3.10. Rencana
Pemeriksaan Darah Rutin, AGDA, KGD ad random, Elektrolit post
operasi
Monitoring kesadaran, RR, HR, TD, Saturasi O2, UOP selama di ruang
Pasca Bedah
25

BAB 4
FOLLOW UP

KBE (4 Mei 2018)

S Operasi 04 Mei 2018 pukul 00.30 – 03.15 tanggal 04 Mei 2018

 Pukul 03.15 04 Mei 2018 (post operasi)

 Airway clear , terintubasi, S/G/C: -/-/-, SP: vesikuler, ST: (-/-), RR


: 16 x/i, SpO2 99 %, NGT terpasang

 TD : 110/70 mmHg, HR: 90 x/i reguler t/v: cukup, Akral H/M/K,


CRT < 3”
O
 Sensorium di bawah pengaruh obat ,GCS : 10t E4 M6Vt RC +/+

 UOP (+), warna kuning, kateter (+)

 Abdomen soepel, peristaltik (-), luka operasi tertutup lebar

 Oedem (-) Fraktur (-)

Post eksplorasi laparatomi a/i diffuse peritonitis d/t penetrating abdominal


A
injury
04 Mei 2018 Pukul 01.00 (Durante Operasi)
 Transfusi PRC 1 bag @175 cc
 IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/i

P  Inj Fentanyl 100 mcg + Midazolam 3 mg (Analgesic)

 Inj. Propofol 100 mg (Sedative)

 Inj. Recoronium 40 mg (Muscle Relaxant)


26

04 Mei 2018 Pukul 09.00 (ACC Pindah Ruangan ke RB2A)

RB2A (04 Mei 2018)

S Lemas (+)

 Airway : clear, RR: 20 x/i, SP: vesikuler , ST: (-), Wheezing (-),
S/G/C : -/-/-, NGT terpasang, SO2 98%

 TD : 100/70 mmHg, HR: 78 x/i, reguler, T/V: cukup , CRT < 3


detik

O  Sens : CM , GCS E4V5M6, VAS 3, pupil isokor, ø 3mm/3mm,


RC +/+

 UOP (+) volume 300 cc/jam , warna kuning

 Oedem (-) Fraktur (-)

Post eksplorasi laparatomi a/i diffuse peritonitis d/t penetrating abdominal


A
injury
 Bed Rest
 IVFD RL 20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxone 1 gr (IV)

P  Inj. Ketorolac 30mg/8 jam


 Inj Ranitidine 50 mg/12j
 Inj Transamin 500mg/8j
 R/ Cek Laboratorium post operasi
27

RB2A (05 Mei 2018)

S Lemas (+)

 Airway : clear, RR: 22 x/i, SP: vesikuler , ST: (-), Wheezing (-),
S/G/C : -/-/-, SO2 98%

 TD : 110/70 mmHg, HR: 82 x/i, reguler, T/V: cukup , CRT < 3


detik

O  Sens : CM , GCS E4V5M6, VAS 3, pupil isokor, ø 3mm/3mm,


RC +/+

 UOP (+) volume 300 cc/jam , warna kuning

 Oedem (-) Fraktur (-)

Post eksplorasi laparatomi a/i diffuse peritonitis d/t penetrating abdominal


A
injury
 Bed Rest
 IVFD RL 20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxone 1 gr (IV)
 Inj. Ketorolac 30mg/8 jam
 Inj Ranitidine 50 mg/12j
 Inj Transamin 500mg/8j
P
HASIL LABORATORIUM
Hb/Ht/Leu/Plt :
10,8/31/9.480/292.000
Albumin : 2,6 g/dL
Na/K/Cl :
139/3,5/109
28

RB2A (06 Mei 2018)

S Lemas (+) berkurang

 Airway : clear, RR: 20 x/i, SP: vesikuler , ST: (-), Wheezing (-),
S/G/C : -/-/-, Sp O2 98%,

 TD : 110/80 mmHg, HR: 80 x/i, reguler, T/V: cukup , CRT < 3


detik

O  Sens : CM , GCS E4V5M6, VAS 2, pupil isokor, ø 3mm/3mm,


RC +/+

 UOP (+) volume 300 cc/jam , warna kuning

 Oedem (-) Fraktur (-)

Post eksplorasi laparatomi a/i diffuse peritonitis d/t penetrating abdominal


A
injury
 Bed Rest
 IVFD RL 20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxone 1 gr (IV)
 Inj. Ketorolac 30mg/8 jam
P  Inj Ranitidine 50 mg/12j
 Inj Transamin 500mg/8j

R/ PBJ
29

BAB 5
DISKUSI KASUS

N TEORI KASUS
O
1 Definisi
Pria, 31 tahun datang ke IGD
Peritonitis didefinisikan sebagai suatu
dengan keluhan nyeri pada seluruh
inflamasi pada membrane serosa yang
area perut. Hal ini dialami ± 6 jam
membatasi rongga abdomen dan organ-
sebelum masuk rumah sakit dan
organ didalamnya. Peritonitis dapat
semakin memberat 3 jam sebelum
diklasifikasikan menjadi peritonitis
masuk rumah sakit. Nyeri perut
primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis
dirasakan di seluruh area perut.
sekunder merupakan infeksi peritonium
Nyeri tidak menjalar, dan bersifat
akut yang disebabkan oleh kontaminasi
terus menerus. Nyeri memberat
mikroba melalui dinding sel yang sudah
ketika pasien menggerakkan anggota
tidak intak, bisa disebabkan oleh
gerak bawah. Sebelumnya pasien
perforasi, laserasi, atau segmen traktus
mengalami luka tusuk pada perut
gastrointestinal yang nekrotik
bagian kiri ± 20 jam sebelum masuk
rumah sakit. .
30

2 Manifestasi Klinis Pada pasien dijumpai nyeri di


seluruh area perut. Nyeri terjadi
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara
secara terus-menerus, namun tidak
klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut
menjalar.
abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan
Pada pemeriksaan fisik abdomen
tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum
yang dilakukan pada pasein
visceral) yang makin lama makin jelas
dijumpai:
lokasinya (peritoneum parietal). Nyeri
Inspeksi : Simetris, distensi (+)
abdomen yang hebat biasanya memiliki
Auskultasi : Peristaltik (+) lemah
punctum maximum ditempat tertentu
Perkusi : Hipertimpani
sebagai sumber infeksi. Dinding perut
Palpasi : Soepel, nyeri tekan
akan terasa tegang karena mekanisme
(+)
antisipasi penderita secara tidak sadar
untuk menghindari palpasinya yang
Vital Sign:
menyakinkan atau tegang karena iritasi
peritoneum. Pada wanita dilakukan  Sensorium di bawah
pemeriksaan vagina bimanual untuk pengaruh obat ,GCS : 10t E4
membedakan nyeri akibat pelvic M6Vt RC +/+
inflammatorium disease.
 TD : 110/70 mmHg, HR: 90
Gejala Klinis menurut Ahmad H. x/i
Asdie, 1995: 1612
a. Nyeri abdomen akut dan nyeri
tekan
b. Badan lemas
c. Peristaltik dan suara usus
menghilang
d. Hipotensi
e. Tachicardi
f. Oligouria
g. Nafas dangkal
31

h. Leukositosis
i. Terdapat dehidrasi.

3 Pemeriksaan Penunjang Hasil laboratorium pada pasien


Pada pemeriksaan laboratorium
dijumpai:
ditemukan adanya leukositosis.
Hb/ Eri/ Leu/ Ht/ PLT: 11.5/ 3.98
Gambaran Radiologi
/21,220 /33/ 257,000
1. Foto thorax Kesan: anemia ringan +
leukositosis

Gambaran Radiologi
1. Foto thorax

Gambaran udara bebas subdiafragma

Kesimpulan:
32

- Pneumoperitoneum

4 Penatalaksanaan Pada pasien telah diberikan


tatalaksana farmakologi:
a. Penggantian cairan dan elektrolit
yang hilang secara intravena. - IVFD Ringer laktat 20gtt/i
Resusitasi dengan larutan saline - Inj. Ceftriaxon 1gr/24jam
isotonik sangat penting.
- Inj. Ranitidine 50mg/12jam
b. Antibiotik spektrum luas diberikan
secara empirik dan kemudian diubah - Inj. Ketorolac 30mg/8jam
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Dilakukan laparotomi explorasi.
c. Pemberian analgetik.
d. Dekompresi saluran cerna dengan
pemasangan nasogastrik tube.
Membantu mengurangi distensi
abdomen dan mengurangi resiko
aspirasi pada pasien.
e. Pembuangan fokus septik atau
penyebab radang lain dilakukan
dengan operasi laparotomi.
f. Lavase peritoneum dilakukan pada
peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid
(saline).
33

BAB 6
KESIMPULAN

N, laki-laki, 31 tahun, datang ke IGD RS Haji Adam Malik dengan nyeri


seperti ditusuk-tusuk dan terasa panasdi seluruh area perut, dan didiagnosis
dengan Diffuse Peritonitis d/t Penetrating Abdominal Injury dan ditatalaksana
awal dengan bed rest dan head up 300, Bed rest+head up 30o, IVFD Ringer laktat
20gtt/i, inj. Ceftriaxon 1gr/24jam, inj. Ranitidine 50mg/12jam, inj. Ketorolac
30mg/8jam.
Kemudian pasien ditempatkan di KBE dan dioperasi pada 04 April 2018. Lalu
ditatalaksana dengan Transfusi PRC 1 bag @175 cc, IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/i, inj
Fentanyl 100 mcg + Midazolam 3 mg, inj. Propofol 100 mg, inj. Recoronium 40
mg. Lalu pasien pindah ke ruangan (RB2A). Saat ini pasien sudah pulang berobat
jalan.
34

DAFTAR PUSTAKA

1. Heidari S. Peritonitis following pre-pyloric ulcer perforation : A case Report.


Ann Clin Lab.2017; 5(2): 178.
2. Japanesa A, Zahari A, Rusjdi SR. Pola kasus dan penatalaksanaan
peritonitis akut di bangsal bedah RSUP. Dr. M. Djamil Padang. J Kes And.
2016; 5 (1) : 209-14.
3. Masud M, khan A, Adil M, et al. Etiological spectrum of perforation
peritonitis. Pak Armed Forces Med J. 2016 ; 66(5) : 756-60.
4. Depkes RI, 2008. Millenium Development Goals. 2015. Jakarta.
5. Menicheti F, Sganga G. Definition and Classification of intra-abdominal
Infections. J Chemother. 2009;21(supI) :3-4.
6. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
7. Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam
Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489 – 493
35

8. Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah,


Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
9. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta.
10. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997.Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu
Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
11. Price, Sylvia. 2005.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6. Jakarta : EGC.
12. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of
Medicine,third edition,1997, Toronto.
13. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I.1999. Abdomen Akut, dalam Radiologi
Diagnostik, Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta.
14. Rosalyn Carson-De Witt MD. Peritonitis Health Article. Diakses dari
http://www.css/healthlinestyles.v1.01.cs
15. Dalley BJ. Peritonitis and abdominal sepsis. Medscape [internet] . 2017 jan
[cited 2018 Mar 01]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#a2
16. Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition.
AppeltonCentury Corp, Hal 784-795
17. Doherty, G.M., Current Diagnosis & Treatment. 2010, USA : McGraw Hill
Company
18. Schwartz, S.I et al, Principal of Surgery, 9th edition, 2006, USA : McGraw
Hill Company; Hal1459-1467
19. Doherty,Gerrad M,MD and way,Lawrence w, MD 2006 Current surgical
Diagnosis and Treatment:454
20. WH Cordell, KK Keene, BK Giles, et al. The high prevalence of pain in
emergency medical care. Am J Emerg Med 20:165-169, 2002.

Anda mungkin juga menyukai