Isi (BS)
Isi (BS)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai aspek penanganan awal serta kegawatdaruratan pada kasus peritonitis
yang berlandaskan teori sehingga dapat ditatalaksana dengan sebaik mungkin
sesuai kompetensinya pada tingkat pelayanan primer.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Peritonitis
2.2.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi
rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyulit berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari
luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme
yang hidup dalam kolon (pada kasus ruptura appendik) yang mencakup Eschericia
coli atau Bacteroides. Sedangkan stafilokokus dan streptokokus sering kali masuk
dari luar.6,7
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) di antara perlekatan fibrinosa
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
5
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak
akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi.8,9,10
Disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal seperti:
Iritasi Kimiawi : Perforasi gaster, pankreas, kandung empedu, hepar, lien,
kehamilan extra tuba yang pecah
6
Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii pecah,
ruptur buli dan ginjal.
Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
3. Peritonitis Tersier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, super infeksi kuman, dan
akibat tindakan operasi sebelumnya. 7,8
2.2.3 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.7
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.7,10
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.7
7
seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah
epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau
enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh
perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase
peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium
berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi
keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.7,8
Pada apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena
sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.7,10
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai
organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai
dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia
sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat
dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah
lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula
tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritonium.7,9,13
9
Terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus peritonitis di Inggris, dan biasanya
sekunder dari perforasi ulkus gaster atau duodenal. Peritonitis steril dapat
berkembang menjadi bakterial peritonitis dalam beberapa jam mengikuti
transmigrasi dari mikroorganisme (contohnya dari usus).
Peritonitis bilier
2.2.6 Diagnosis
A. Anamnesa
Sekitar 30% pasien dengan peritonitis cenderung asimtomatik, dan pada
pasien-pasien simtomatik maka dapat dijumpai beberapa gejala seperti berikut:
- Demam dan menggigil (dialami ≥80% pasien)
- Nyeri perut atau rasa tidak nyaman pada perut (dialami 70% pasien)
- Diare
- Asites yang tidak membaik dengan pemberian diuretik
- Ileus
Nyeri perut merupakan keluhan utama yang paling sering dijumpai pada pasien
peritonitis. Nyeri perut yang dirasakan bersifat tumpul dan sulit dilokalisir
(peritoneum viseral); lama-kelamaan nyeri semakin memberat dan semakin
terlokalisir (parietal peritoneum). Nyeri perut pada peritonitis akan semakin
memberat terutama saat pasien batuk, meregangkan pinggul dan penekanan lokal
pada daerah abdomen.15
B. Pemeriksaan Fisik
2.2.7 Tatalaksana
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,
kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.2
A. Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang
intersisial. Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui
intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status
hemodinamik tubuh.16
Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan
transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan
koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang. Secara teori, cairan
koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan
ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi
membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat
ginjal. Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan
dan ginjal telah adekuat dan urin telah diproduksi.17,18
B. Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri
aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan
bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,
Peptostreptococci. 18
Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik
secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi
peritoneum. Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan
hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika
masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai
dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan
15
antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari
uji sensitivitas.16,18
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisikondisi seperti:
(1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau
nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi
menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan
setelah operasi. Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1
gram harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika
dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan
streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan
beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai
didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang
sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara
parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.16,18
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram
negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob. Daya cakupan
dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan terapi
tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat
berperan dalam kegagalan terapi.17,18
Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena
gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan
penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel.
Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan
hitung sel darah putih yang normal.18
Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun
anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum.17
.
B. Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter)
dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta
bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna
bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-
iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level
bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian
bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat
menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini
menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua
cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat
mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang
permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri.17
C. Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis
lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas
tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang
merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi.
Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan
abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna
pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan
untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.18
peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal,
penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik.
Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis.
Pelepasankateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan
resiko infeksi sekunder.18
2.2.8.1 Preoperatif
2.2.9 Komplikasi
Syok septik, abses intraabdomen, dan adhesi merupakan komplikasi yang
dapat terjadi pada peritonitis. Pasien dengan syok septik membutuhkan perawatan
di ICU. Sepsis abdomen membawa mortalitas 30-60%. Keluaran dari sepsis
abdomen biasanya buruk meskipun telah dirawat di ICU. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan risiko mortalitas antara lain usia, skor APACHE II (skor
prognostik), syok septik, penyakit kronik, jenis kelamin wanita, sepsis yang
berasal dari saluran cerna atas, dan kegagalan mengatasi sumber sepsis. Adhesi
dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna atau volvulus.20
2.2.10 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-
faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit
primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan,
serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada
pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien
dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih
awal.19
19
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
KU : Nyeri seluruh area perut
Telaah : Hal ini dialami ± 6 jam sebelum masuk rumah sakit dan
semakin memberat 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri perut
dirasakan di seluruh area perut. Nyeri tidak menjalar, dan bersifat
terus menerus. Nyeri memberat ketika pasien menggerakkan
anggota gerak bawah. Sebelumnya pasien mengalami luka tusuk
pada perut bagian kiri ± 20 jam sebelum masuk rumah sakit.
Demam dijumpai. Menggigil tidak dijumpai. Riwayat jatuh saat
ditusuk disangkal. Riwayat mual tidak dijumpai. Riwayat muntah
tidak dijumpai. BAK dan BAB dalam batas normal. Pasien
sebelumnya sudah dibawa ke klinik di daerah Perbaungan dan
kemudian dirujuk ke RSUP HAM.
20
Primary Survey
A : Clear, S/G/C: -/-/-
B : Spontan, RR : 22x/i
C : HR: 106 x/i, TD: 110/70 mmHg
D : Sens: Compos Mentis. Pupil isokor 3mm/3mm, RC : +/+, VAS : 6
E : fraktur (-/-), oedem (-/-)
03/05/2018
Pasien datang ke IGD RS HAM pukul 15.00
wib
03/05/2018
-Pukul 19.00 wib Konsul tindakan
Anestesi
-Pukul 19.30 wib ACC tindakan
anestesi
04/05/2018
Pukul 00.30 wib
Explorasi laparatomi
21
3.6. RIWAYAT
Allergies : -
Medication : -
Past Illness : -
Last Meal : 2 Mei 2018 pukul 19.30 WIB
Exposure : Laserasi pada flank sinistra
Laboratorium (IGD)
Lab (3/5/2018) Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 11,5 g/dL 13 – 18 g/dL
Eritrosit 3,98 jt/ µL 4,50-6,50 jt/ µL
Leukosit (WBC) 21.220 /µL 4,0 – 11,0 x 103/µL
Hematokrit 33 % 39 – 54; %
Trombosit (PLT) 257.000 150 – 450 x 103/µL
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 138 mEq/L 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 4,5 mEq/L 3,6 – 5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 110 mEq/L 96 – 106 mEq/L
23
METABOLISME KARBOHIDRAT
Gula Darah (Sewaktu) 105 mg/dl <200mg/dL
GINJAL
BUN 19 mg/dL 7– 19 mg/dL
Ureum 41 mg/ dL 15 – 40 mg/dL
Kreatinin 1,14 mg/dL 0,6 – 1,1 mg/dL
3.9. Diagnosis
Diagnosis : Diffuse Peritonitis d/t Penetrating Abdominal Injury
Tindakan : Laparatomi Explorasi
PS ASA : 2E
Teknik Anestesi : GA ETT
Posisi : Supine
3.10. Rencana
Pemeriksaan Darah Rutin, AGDA, KGD ad random, Elektrolit post
operasi
Monitoring kesadaran, RR, HR, TD, Saturasi O2, UOP selama di ruang
Pasca Bedah
25
BAB 4
FOLLOW UP
S Lemas (+)
Airway : clear, RR: 20 x/i, SP: vesikuler , ST: (-), Wheezing (-),
S/G/C : -/-/-, NGT terpasang, SO2 98%
S Lemas (+)
Airway : clear, RR: 22 x/i, SP: vesikuler , ST: (-), Wheezing (-),
S/G/C : -/-/-, SO2 98%
Airway : clear, RR: 20 x/i, SP: vesikuler , ST: (-), Wheezing (-),
S/G/C : -/-/-, Sp O2 98%,
R/ PBJ
29
BAB 5
DISKUSI KASUS
N TEORI KASUS
O
1 Definisi
Pria, 31 tahun datang ke IGD
Peritonitis didefinisikan sebagai suatu
dengan keluhan nyeri pada seluruh
inflamasi pada membrane serosa yang
area perut. Hal ini dialami ± 6 jam
membatasi rongga abdomen dan organ-
sebelum masuk rumah sakit dan
organ didalamnya. Peritonitis dapat
semakin memberat 3 jam sebelum
diklasifikasikan menjadi peritonitis
masuk rumah sakit. Nyeri perut
primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis
dirasakan di seluruh area perut.
sekunder merupakan infeksi peritonium
Nyeri tidak menjalar, dan bersifat
akut yang disebabkan oleh kontaminasi
terus menerus. Nyeri memberat
mikroba melalui dinding sel yang sudah
ketika pasien menggerakkan anggota
tidak intak, bisa disebabkan oleh
gerak bawah. Sebelumnya pasien
perforasi, laserasi, atau segmen traktus
mengalami luka tusuk pada perut
gastrointestinal yang nekrotik
bagian kiri ± 20 jam sebelum masuk
rumah sakit. .
30
h. Leukositosis
i. Terdapat dehidrasi.
Gambaran Radiologi
1. Foto thorax
Kesimpulan:
32
- Pneumoperitoneum
BAB 6
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA