Anda di halaman 1dari 17

DETEKSI DINI KARSINOMA NASOFARING

Aditiya Yuda P. A. Simbolon, Ashri Yudhistira

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang paling sering tumbuh
di daerah nasofaring. Karsinoma adalah kanker yang berasal dari sel-sel epitel dinding
dalam dan luar nasofaring (American Cancer Society, 2013)

Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak


dijumpai diantara tumor ganas Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT) di Indonesia,
dimana KNF termasuk dalam lima besar tumor ganas, dengan frekuensi tertinggi
(bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor
kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (KNF
mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor
ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut,
tonsil, hipofaring dalam persentase rendah) (Pahala, 2009)

Prevalensi karsinoma nasofaring di Indonesia adalah 3,9 per 100.000


penduduk setiap tahunnya. Di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, Provinsi
Sumatera Utara, penderita karsinoma nasofaring ditemukan pada lima kelompok
suku, dimana suku yang terbanyak menderita karsinoma nasofaring ialah Suku Batak,
yaitu 46,7% dari 30 kasus. Pada penelitian yang dilakukan di Medan (2008),
ditemukan perbandingan penderita laki-laki dan perempuan 3:2. Hormon testosterone
yang dominan pada laki-laki dicurigai mengakibatkan penurunan respon imun dan
surveillance tumor sehingga laki-laki lebih rentan terhadap infeksi Virus Eipstein-
Barr dan kanker (Munir, 2010)

Gejala yang berkaitan dengan KNF tahap awal biasanya tidak spesifik,
sebagian besar pasien KNF terdiagnosis pada stadium lanjut; padahal hasil
pengobatan KNF stadium lanjut tidak memuaskan, sehingga diagnosis dini dan
manajemen yang tepat penting untuk mencapai hasil pengobatan yang baik.
Pengembangan protokol skrining primer yang baik dapat berkontribusi pada deteksi
dini dan meningkatkan hasil pengobatan. (Wi, 2014).
ANATOMI
Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang
berhubungan dengan orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran
nasofaring pada orang dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada
dimensi anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar 8 cm dari aparatus
piriformis sepanjang dasar hidung (Chew, 1997). Bagian atap dan dinding
posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh basis sfenoid,
basis oksiput dan vertebra cervical I dan II. Dinding anterior nasofaring adalah
daerah sempit jaringan lunak yang merupakan batas koana posterior. Batas
inferior nasofaring adalah palatum molle. Batas dinding lateral merupakan
fasia faringobasilar dan m. konstriktor faring superior (Witte and Neel, 1998;
Lin, 2006)

Fossa russenmuller mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya,


sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Tepat di atas apeks
dari fossa russenmuller terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis
interna dengan sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah
penyebaran KNF ke sinus kavernosus melalui karotis yang berjalan naik.
Tepat di anterior fossa russenmuller, terdapat nervus mandibula (V3) yang
berjalan di dasar tengkorak melalui foramen ovale. Kira-kira 1.5 cm posterior
dari fossa russenmuller terdapat foramen jugulare, yang dilewati oleh saraf
kranial IX-XI, dengan kanalis hipoglosus yang terletak paling medial (Witte
and Neel, 1998).

Fossa russenmuller yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini


merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini
menjadi 3 kompartemen, yaitu : 1) kompartemen prestiloid, berisi a.
maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris inferior; 2) kompartemen poststiloid,
yang berisi sarung karotis; dan 3) kompartemen retrofaring, yang berisi
kelenjar Rouviere. Kompartemen retrofaring ini berhubungan dengan
kompartemen retrofaring kontralateral, sehingga pada keganasan nasofaring
mudah terjadi penyebaran menuju kelenjar limfa leher kontralateral. Lokasi
fossa russenmuller yang demikian itu dan dengan sifat KNF yang invasif,
menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran KNF ke daerah sekitarnya yang
melibatkan banyak struktur penting sehingga timbul berbagai macam
gambaran klinis (Witte and Neel, 1998; Lin, 2002).

Dinding daerah nasofaring mengandung komponen lapisan otot,


jaringan fibrosa dan mukosa. Dinding lateral daerah nasofaring dibentuk oleh
muskulus konstriktor superior. Ruang antara tepi atas muskulus konstriktor
superior dan dasar tengkorak disebut sinus Morgagni. Daerah ini dilindungi
oleh fasia faringobasilar yang ditunjang oleh muskulus levator veli palatini.
Ujung medial dari tuba Eustachius membentuk sebuah penonjolan (torus
tubarius) yang terletak di bagian atas dinding lateral. Dari tepi posterior
orifisium tuba Eustachius terdapat sebuah lipatan mukosa yang dibentuk oleh
muskulus salpingofaringeus, berjalan ke bawah dan turun secara bertahap
pada dinding faring bagian lateral. Lapisan fibrosa terdiri dari dua lapisan yan
berada di sebelah dalam dan di sebelah luar muskulus konstriktor. Kedua
lapisan ini bersambunng dengan fasia di leher. Lapisan luar atau fasia
bukofaring menutupi bagian superfisial muskulus konstriktor superior.
Komponen dalam atau aponeurosis faringeal yang berada di antara lapisan
mukosa dan muskulus konstriktor adalah bagian dari fasia faringobasilar.
Kedua lapisan fasia pada tepi atas muskulus konstriktor superior naik ke arah
dasar tengkorak sebagai bagian tersendiri. Lapisan mukosa ialah daerah
nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan epitel kubus berlapis semu
bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar atap, sedangkan pada
daerah posterior dan inferior nasofaring terdiri dari epitel skuamosa berlapis.
Daerah dengan epitel transisional terdapat pada daerah pertemuan antara
atap nasofaring dan dinding lateral. Lamina propria seringkali diinfiltrasi oleh
jaringan limfoid, sedangkan lapisan submukosa mengandung kelenjar serosa
dan mukosa (Gibb, 1999).
gambar 1 : Anatomi Nasofaring (Witte and Neel, 1998)

Perdarahan
Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring
adalah arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina
desendens, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh
darah tersebut berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya.
Pembuluh darah vena berada di bawah membran mukosa yang berhubungan
dengan pleksus pterigoid di daerah superior dan fasia posterior atau vena
jugularis interna di bawahnya (Gibb, 1999).
Gambar 2. Perdarahan nasofaring, dikutip dari Atlas Netter

Persarafan
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di
atas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut
sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan
serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris
nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior
nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang mendapat persarafan sensoris
dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang
maksila saraf trigeminus (V1) (Gibb, 1999).
Gambar 3. Persarafan nasofaring, dikutip dari Atlas Netter

Sistem Limfatik
Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas.
Kelompok pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang
terdapat pada ruang retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia
faringobasilar dan fasia prevertebra (Chew, 1997). Pada dinding lateral
terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran
limfenya berjalan ke arah anterosuperior dan bermuara di kelenjar
retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi
rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini terletak di bawah
otot sternokleidomastoid pada tiap prosessus mastoid. Beberapa kelenjar dari
rantai jugular letaknya sangat dekat denan saraf-saraf kranial terakhir yaitu
saraf IX,X,XI,XII (Bourhis et al, 1999). Metastase ke kelenjar limfe ini dapat
terjadi sampai dengan 75% penderita KNF, yang mana setengahnya datang
dengan kelenjar limfe bilateral (Dhingra, 2004).

KARSINOMA NASOFARING
DEFENISI
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang muncul pada
daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang
menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau
ultrastruktur (Chan, 2013).

EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data International Agency for Research on Cancer (IARC)
terdapat sekitar 86.691 kasus baru yang terdiagnosis di seluruh dunia pada
tahun 2012. Di Amerika Utara dan Eropa, insidens KNF kurang dari 1 kasus
per 100.000 penduduk/ tahun pada tahun 2007. Insidens yang tinggi dijumpai
di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong). Pada tahun 2007, kota
Zhongshan di provinsi Guangdong, Cina Selatan, memiliki prevalensi tertinggi
di dunia, yaitu sebesar 28,3 kasus per 100.000 penduduk laki-laki per
tahun.1-3 Pada tahun 2012, karsinoma nasofaring berada di urutan pertama,
yaitu 28%, dari seluruh kanker kepala leher di bagian THT-KL Indonesia.4
Insidens KNF di Indonesia berdasarkan GLOBOCAN (Global Burden of
Cancer Study) tahun 2012 mencapai 5,6 per 100.000 penduduk/ tahun, di
mana prevalensi tertinggi pada decade 4-5 dengan perbandingan laki-laki dan
perempuan adalah 2,3:1. (Ferlay J, 2013; Adham M, 2012)

ETIOLOGI
Penyebab karsinoma nasofaring adalah multifaktoral . Namun faktor-
faktor yang berhubungan dengan terjadinya karsinoma nasofaring adalah:

1. Faktor Genetik
Karsinoma nasofaring memang tidak termasuk dalam tumor
genetik.Namun kerentanan terhadap kasus ini terhadap kelompok
masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi keluarga.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa gen HLA (Human Leukocyte
Antigen) serta gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) adalah gen
yang rentan terhadap karsinoma nasofaring (Nasir, 2009)
2. Infeksi Virus Eipstein-Barr
Terdapat indikasi kuat bahwa virus eipstein-barr memiliki hubungan
langsung terhadap kasus karsinoma nasofaring. Pada pemeriksaan serum
pasien asia serta afrika dengan karsinoma primer maupun sekunder memiliki
hasil positif untuk antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) eipstein-
barr . Selain itu juga didapatkan Ig A terhadap VCA (VCA-IgA) dengan titer
yang tinggi (Nasir, 2009)
3. Faktor Lingkungan
Penelitian terkini menunjukan bahwa terdapat zat-zat yang dapat
memicu terjadinya karsinoma nasofaring yaitu golongan nitrosamin seperti
yang terdapat pada ikan asin, hidrokarbon polikistik yang terdapat pada asap
rokok dan unsur renik pada bahan-bahan yang mengandung renik (Nasir,
2009)
4. Tembakau
Sejak tahun 1950 sudah dinyatakan bahwa merokok menyebabkan
kanker. Merokok menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta per
tahunnya dan diperkirakan menjadi 10 juta per tahunnya pada 2030. Rokok
mempunyai lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk nitrosamin yang
meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring. Kebanyakan penelitian
menunjukkan merokok meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak 2
sampai 6 kali. Sekitar 60% karsinoma nasofaring tipe I berhubungan dengan
merokok sedangkan risiko karsinoma nasofaring tipe II atau III tidak
berhubungan dengan merokok. Perokok lebih dari 30 bungkus per tahun
mempunyai risiko besar terkena karsinoma nasofaring. Kebanyakan penderita
karsinoma nasofaring merokok selama minimal 15 tahun (51%) dan
mengkonsumsi tembakau dalam bentuk lain (47%). Merokok lebih dari 25
tahun meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Merokok lebih dari 40 tahun
meningkatkan 2 kali lipat risiko karsinoma nasofaring.
Konsumsi tembakau dan alkohol yang terus menerus 95%
berhubungan dengan kasus karsinoma sel skoamusa kepala dan leher.
peningkatan konsumsi tembakau dan alkohol juga meningkatkan resiko
terkena karsinoma sel skoamusa, Namun adapula penelitian yang
menunjukkan bahwa 41,5% pederita KNF adalah perokok dan 55,5% tidak
merokok (Leung & Lee, 2013).

DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF. Gejalanya
sangat bervariasi antara satu pasien dengan pasien yang lain (Munir,
2010). Demikian pula dengan keluhan yang ditimbulkannya. Pada
stadium dini, keluhan yang ada sering tidak menimbukan kecurigan
atas keberadan tumor ini. Jika ada biasanya berupa keluhan telinga,
hidung atau keduannya (Tabuchi, et al., 2011)

b. Pemeriksaan Penunjang
 Endoskopi
Memainkan peran kunci dalam deteksi lesi awal Karsinoma
Nasofaring, dan biopsi endoskopik memungkinkan diagnosis
definitif Karsinoma Nasofaring (Vlantis, 2010)
 Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada karsinoma nasofaring digunakan
untuk menilai adanya tumor, perluasan serta kondisi setelah
terapi. Modalitas CT Scan dan MRI dapat medeteksi kelainan
nasofaring yang tidak tampak pada endoskopi. (Tabuchi, 2011)
 Serologi
Diagnosis Karsinoma Nasofaring ditunjang beberapa
pemeriksaan tambahan yaitu pemeriksaan serologi, misalnya
Imunoglobulin A anti-viral capsid antigen (Ig Anti-VCA), IgG anti-
early antigen (EA), imunohistokimia, dan Polymerase Chain
Reaction (PCR) (Li, 2010; ji, 2007)

c. Biopsi
Biopsi merupakan alat diagnostik pasti untuk menegakan karsinoma
nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari mulut dan
dari hidung. Biopsi yang dilakukan melalui hidungdapat dengan
bantuan endoskopi cunam biopsi dimasukan ke dalam rongga hidung,
lalu menyusuri konka media ke nasofaring, setelah itu cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi tumor dapat dilakukan
dengan anastesi topikal yaitu xylocain 10%. (Prakoso, 2015)

DETEKSI DINI KARSINOMA NASOFARING


Gejala yang berkaitan dengan KNF tahap awal biasanya tidak spesifik,
sebagian besar pasien KNF terdiagnosis pada stadium lanjut; padahal hasil
pengobatan KNF stadium lanjut tidak memuaskan, sehingga diagnosis dini
dan manajemen yang tepat penting untuk mencapai hasil pengobatan yang
baik. Pengembangan protokol skrining primer yang baik dapat berkontribusi
pada deteksi dini dan meningkatkan hasil pengobatan (Tabuchi, 2011).
Gejala Karsinoma Nasofaring dibagi menjadi 4 kategori :
1. Gejala akibat massa tumor di nasofaring ( epistaksis, sumbatan hidung
dan sekret hidung)
2. Gejala akibat gangguan fungsi tuba eustachius (gangguan
pendengaran)
3. Gejala akibat perluasan massa tumor (sakit kepala, diplopia, nyeri dak
kebas daerah wajah)
4. Benjolan pada leher (Wei and Sham, 2005)

Fase preklinis dari KNF biasanya berhubungan dengan reaktivasi EBV,


penilaian status serologis EBV sangat penting untuk memprediksi
perkembangan simpromatik selanjutnya. Tingginya IgA Viral Capsid Antigen
(VCA), IgA diffuse early antigen (D-EA), dan EBV DNAse dengan
peningkatan titer berhubungan tengan diagnosis KNF. Namun bagaimanapun
kemungkinan terjadi false-positive 2% sampai 18% jika hanya dengan tes
serologi saja.

DNA EBV dihasilkan secara konsisten dari sel sel tumor KNF dapat secara
rutin dideteksi dalam plasma dari pasien dengan KNF dengan sensitifitas
lebih dari 95%.
Kemajuan lainnya dalam deteksi dini KNF termasuk didalamnya profil protein
seum, nilai metilasi spesifik plasma tumor, dan metilasi gen EBV diambil dari
teknik brushing langsung di daerah nasofaring.

DNA metilasi dianggap sebagai keadaan epigenetik penting dalam


karsinogenesis KNF dan telah terbukti dapat mendeteksi tumor. Profil
promotor TSG metilasi dapat bervariasi sesuai dengan jenis tumor. Metilasi
menyimpang dari 5 TSG diidentifikasi sebagai penanda independen untuk
deteksi dini KNF dengan nilai tambah untuk serologi IgA EBV dan DNA.
Untuk Negara berkembang seperti Indonesia, tes sejenis ini harus ekonomis
dengan tekhnologi sederhana namun terstandarisasi yang cocok untuk
skrining dalam populasi besar. (hutajulu, 2011)

Karsinoma Nasofaring berhubungan dengan Eipstein-Barr Virus (EBV)


meskipun patogenesisnya masih belum jelas. Titer Antibodi IgA terhadap
kapsid antigen EBV dan tes imunofloresens antigen EBV dapat digunakan
sebagai skrining awal untuk Karsinoma Nasofaring. Tes ini dilakukan sebagai
penanda tumor pada karsinoma nasofaring yang dapat dilihat sebelum
adanya gejala klinis. (Yi, Yuxi, & Chunren, 1980; Nadala, Tan, Wong & Ting,
1996)
Ji dkk, melakukan penelitian propesktif untuk menilai antibodi IgA pada
EBV pada kasus Karsinoma Nasofaring. Penelitian ini mengkonfirmasi
adanya peningkatan nilai antibodi EBV sebelum dijumpai gejala klinis pada
kasus Karsinoma Nasofaring. Mereka juga elaporkan adanya Window
Periode sekitar 3 tahun hingga munculnya onset klinis sejak meningkatnya
nilai antibodi dan menetap pada nilai yang tinggi (Ji, 2007)

Endoskopi memegang peranan penting dalam deteksi dini Karsinoma


Nasofaring untuk menilai adanya lesi awal Karsinoma Nasofaring, dan biopsi
dengan endoskopi juga dibutuhkan untuk diagnosis. Lesi awal biasanya
muncul di dinding lateral atau atap dari nasofaring. Namun harus diingat oleh
klinisi bahwa untuk mendeteksi karsinoma nasofaring dengan endosopi bukan
hal yang mudah, temuan endoskopi pada deteksi dini karsinoma nasofaring
mungkin hanya berupa penebaran pada fossa rosenmuller atau benjolan kecil
atau gambaran asimetris pada atap nasofaring. ( Vlantis, 2010)

STADIUM KARSINOMA NASOFARING

Klasifikasi menurut American Joint Committee on Cancer

a. Tumor Primer (T)


TX = tumor tidak dapat dinilai
T0 = tumor tidak terlihat

Tis = tumor in situ


T1 = tumor terbatas di nasofaring

T2 = tumor meluas ke jarigan lunak

 T2a = tanpa perluasa ke parafaring


 T2b = dengan perluasaan ke parafaring

T3 = tumor mengivasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 = tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial,


fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

b. Kelenjar Getah Bening Regional (N)

NX = kelenjar getah bening tidak dapat dinilai


N0 = tidak ada perluasan ke kelenjar getah bening

N1 = metastasis kelenjar getah bening unilateral, ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula

N2 = metastasis kelenjar getah bening bilateral, ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3 = metastasis kelenjar getah bening bilateral

 N3a = ukuran lebih dari 6 cm


 N3b = di dalam fossa supraklavikula

C. Metastasis Jauh (M)

MX = metastasis jauh tidak dapat dinilai


M0 = tidak ada metastasis jauh
M1 = terdapat metastasis jauh

Dari keterangan diatas, maka karsinoma nasofaring dikelompokkan menjadi 4


stadium, yaitu :

a. Stadium I : T1 N0 M0

b. Stadium II : T2 N0 M0

c. Stadium III : T1/2/3 N1 M0 atau T3 N0 M0

d. Stadium IV : T4 N0 M0 atau T1/2/3/4 N2/3 M0 atau T1/2/3/4 N0/1/2/3 M1.

Angka kejadian metastasis berkaitan dengan ukuran tumor (T), terutama


keterlibatan getah bening (N), dan yang paling sering terjadi pada tumor dengan
ukuran T3-4 atau N2-3.

Lokasi metastasis yang paling sering ditemukan adalah pada tulang (70-80%),
diikuti dengan organ fisera (hati 30 %, paru-paru 18%) dan diikuti dengan nodus
limfe yang tidak berada di daerah servikal (lipatan aksila , mediastinal, pelvis, dan
inguinal)

Prognosisnya tergantung pada lokasinya: keterlibatan hepar dan daerah


medulla berakhir dengan prognosis lebih buruk, sedangkan metastasis tulang yang
terisolasi memiliki angka bertahan hidup yang lenih panjang.

PENATALAKSANAAN
a. Radioterapi
Radioterapi merupakan pengobatan terpilih dalam tatalaksana
kanker nasofaring yang telah diakui sejak lama dan dilakukan di
berbagai sentra dunia. Radioterapi dalam tatalaksana kanker
nasofaring dapat diberikan sebagai terapi kuratif definitif dan paliatif.
Radioterapi kuratif definitif pada sebagai modalitas terapi tunggal dapat
diberikan pada kanker nasofaring T1N0M0 (NCCN Kategori 2A), k
mnmonkuren bersama kemoterapi (kemoradiasi) pada T1N1-3,T2-T4
N0-3 (NCCN kategori 2A). (Lok et al, 2013)
Radiasi diberikan dengan sasaran radiasi tumor primer dan
KGB leher dan supraklavikula kepada seluruh stadium (I, II, III, IV
lokal) (NCCN, 2015)
dosis radioterapi diberikan pada tumor primer dengan dosis
antara 65 – 75 Gy dan jika ada keterlibatan nodul leher dosisnya 65 –
70 Gy. Radiasi elektif dengan tidak adanya nodul, dosis diberikan 50 –
60 Gy. Terapi dengan dosis tersebut pada derajat tumor T1 dan T2
berhasil pada 75% - 90% kasus, pada derajat tumor T3 dan T4
sebesar 50% - 75% kasus. Kasus dengan keterlibatan nodul pada N0
dan N1 memberikan keberhasilan dengan 90%, tetapi pada N2 dan N3
hanya 70% (Wei and Sham, 2005)

b. Kemoterapi

Penatalaksanaan KNF pada stadium lanjut, kemoterapi


dikombinasikan dengan radioterapi. Kemoterapi biasanya digunakan
pada kasus KNF yang rekuren atau yang telah bermetastasis (Wei and
Sham, 2005).
Kemoterapi memiliki mekanisme kerja sebagai antimetabolit,
menggangu struktur dan fungsi DNA serta inhibitor mitosis.
Antimetabolit bekerja dengan cara menghambat biosintesis purin dan
pirimidin, sehingga dapat mengubah struktur DNA dan menahan
replikasi sel. Dactinomycin dan doxorubicin dapat mengikat dan
menyelip diantara rangkaian nukleotida molekul DNA, sehingga
menghambat produksi mRNA. Alkaloid vinka seperti vincristine dan
vinblastine, menyebabkan inhibitor mitosis dengan mekansime kerja
menahan pembelahan sel dan menggangu filamen mikro pada
kumparan mitosis (Wei, 2005).
Cara pemberian kemoterapi terbagi 3 cara, yaitu :
1. Kemoterapi neoadjuvant.
Yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi.
Kemoterapi neoadjuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya
tumor sebelum radioterapi. Disamping itu, kemoterapi yang
diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik
seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala
leher stadium II – IV dilaporkan overall response rate sebesar 80 –
90 % dan CR (Complete Response) sebesar 50%. (Lan, 2017)
2. Kemoterapi konkomitan
Yaitu kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan
radioterapi. Dimaksudkan untuk mempertinggi anfaat radioterapi.
Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang
sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang
radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. (Lan, 2017)
3. Kemoterapi Adjuvan
Tujuan pemberian kemoterapi adjuvant adalah pemberian
kemoterapi yang dilakukan dengan radioterapi defenitif. Regimen
kemoterapi biasanya mengandung cisplatin. Pemberian kemoterapi
ini menunjukkan hasil yang lebih baik untuk harapan hidup bebas
penyakit dan pencegahan metastase jauh (Paiar, 2012)

c. Pembedahan
Terapi bedah tidak banyak mendapat peran dalam
penganggulangan karsinoma nasofaring. Tindakan bedah terbatas
hanya untuk reseksi sisa masa tumor pasca radioterapi. Tindakan ini
biasa dilakukan apabila tumor primer sudah menghilang namun masih
tersisa nodul pada kelenjar leher dan belum terjadi metastasis jauh
(Munir, 2010).
KOMPLIKASI
Komplikasi umumnya terjadi akibat dari metastasis sel kanker ke
organ-organ penting seperti paru-paru, tulang, hati,dan otak. Hal ini
merupakan keadaan yang sangat buruk dan dapat mengakibatkan mortilitas.
Komplikasi dapat juga terjadi akibat dari pengobatan karena obat yang
diberikan tidak hanya menyerang sel tumor namun juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sel sumsum tulang, dan sel pada
traktus gastrointestinal. Dapat terjadi mual dan muntah, ulserasi saluran
cerna, anoreksia, mudah terkena infeksi, kerusakan saraf, dan yang paling
nyata terlihat adalah rambut rontok. Komplikasi yang umum terjadi pada
pembedahan kepala dan leher adalah gangguan pada telinga, gangguan
motorik pada otot-otot wajah dan lengan atas. Hal ini dikarenakan adanya
saraf yang terganggu pada saat tindakan pembedahan (American Cancer
Society, 2013)

PROGNOSIS
Pasien yang berobat ke institusi kesehatan memiliki gejala utama yaitu
pembesaran kelenjar getah bening yang dimana sudah merupakan stadium
lanjut. Jika sudah terdapat metastase , maka angka harapan hidupnya kira-
kira 10%. Dari beberapa penelitian, rata-rata angka harapan hidup pasien
karsinoma nasofaring sekitar 30 hingga 48% (Witte, 2013)
Angka harapan hidup secara terperinci dibagi atas stadium dari
penderita tersendiri. Dimana semakain tinggi stadiumnya , maka semakin
kecil angka harapan hidup pasien tersebut. Stadium 1 memiliki angka
harapan hidup tertinggi yaitu 72%, staduim 2 sebesar 64%, stadium 3
sebesar 62%, sedangkan stadium 4 sebesar 38% (American Cancer Society,
2013).

Anda mungkin juga menyukai