PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang paling sering tumbuh
di daerah nasofaring. Karsinoma adalah kanker yang berasal dari sel-sel epitel dinding
dalam dan luar nasofaring (American Cancer Society, 2013)
Gejala yang berkaitan dengan KNF tahap awal biasanya tidak spesifik,
sebagian besar pasien KNF terdiagnosis pada stadium lanjut; padahal hasil
pengobatan KNF stadium lanjut tidak memuaskan, sehingga diagnosis dini dan
manajemen yang tepat penting untuk mencapai hasil pengobatan yang baik.
Pengembangan protokol skrining primer yang baik dapat berkontribusi pada deteksi
dini dan meningkatkan hasil pengobatan. (Wi, 2014).
ANATOMI
Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang
berhubungan dengan orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran
nasofaring pada orang dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada
dimensi anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar 8 cm dari aparatus
piriformis sepanjang dasar hidung (Chew, 1997). Bagian atap dan dinding
posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh basis sfenoid,
basis oksiput dan vertebra cervical I dan II. Dinding anterior nasofaring adalah
daerah sempit jaringan lunak yang merupakan batas koana posterior. Batas
inferior nasofaring adalah palatum molle. Batas dinding lateral merupakan
fasia faringobasilar dan m. konstriktor faring superior (Witte and Neel, 1998;
Lin, 2006)
Perdarahan
Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring
adalah arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina
desendens, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh
darah tersebut berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya.
Pembuluh darah vena berada di bawah membran mukosa yang berhubungan
dengan pleksus pterigoid di daerah superior dan fasia posterior atau vena
jugularis interna di bawahnya (Gibb, 1999).
Gambar 2. Perdarahan nasofaring, dikutip dari Atlas Netter
Persarafan
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di
atas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut
sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan
serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris
nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior
nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang mendapat persarafan sensoris
dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang
maksila saraf trigeminus (V1) (Gibb, 1999).
Gambar 3. Persarafan nasofaring, dikutip dari Atlas Netter
Sistem Limfatik
Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas.
Kelompok pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang
terdapat pada ruang retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia
faringobasilar dan fasia prevertebra (Chew, 1997). Pada dinding lateral
terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran
limfenya berjalan ke arah anterosuperior dan bermuara di kelenjar
retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi
rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini terletak di bawah
otot sternokleidomastoid pada tiap prosessus mastoid. Beberapa kelenjar dari
rantai jugular letaknya sangat dekat denan saraf-saraf kranial terakhir yaitu
saraf IX,X,XI,XII (Bourhis et al, 1999). Metastase ke kelenjar limfe ini dapat
terjadi sampai dengan 75% penderita KNF, yang mana setengahnya datang
dengan kelenjar limfe bilateral (Dhingra, 2004).
KARSINOMA NASOFARING
DEFENISI
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang muncul pada
daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang
menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau
ultrastruktur (Chan, 2013).
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data International Agency for Research on Cancer (IARC)
terdapat sekitar 86.691 kasus baru yang terdiagnosis di seluruh dunia pada
tahun 2012. Di Amerika Utara dan Eropa, insidens KNF kurang dari 1 kasus
per 100.000 penduduk/ tahun pada tahun 2007. Insidens yang tinggi dijumpai
di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong). Pada tahun 2007, kota
Zhongshan di provinsi Guangdong, Cina Selatan, memiliki prevalensi tertinggi
di dunia, yaitu sebesar 28,3 kasus per 100.000 penduduk laki-laki per
tahun.1-3 Pada tahun 2012, karsinoma nasofaring berada di urutan pertama,
yaitu 28%, dari seluruh kanker kepala leher di bagian THT-KL Indonesia.4
Insidens KNF di Indonesia berdasarkan GLOBOCAN (Global Burden of
Cancer Study) tahun 2012 mencapai 5,6 per 100.000 penduduk/ tahun, di
mana prevalensi tertinggi pada decade 4-5 dengan perbandingan laki-laki dan
perempuan adalah 2,3:1. (Ferlay J, 2013; Adham M, 2012)
ETIOLOGI
Penyebab karsinoma nasofaring adalah multifaktoral . Namun faktor-
faktor yang berhubungan dengan terjadinya karsinoma nasofaring adalah:
1. Faktor Genetik
Karsinoma nasofaring memang tidak termasuk dalam tumor
genetik.Namun kerentanan terhadap kasus ini terhadap kelompok
masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi keluarga.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa gen HLA (Human Leukocyte
Antigen) serta gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) adalah gen
yang rentan terhadap karsinoma nasofaring (Nasir, 2009)
2. Infeksi Virus Eipstein-Barr
Terdapat indikasi kuat bahwa virus eipstein-barr memiliki hubungan
langsung terhadap kasus karsinoma nasofaring. Pada pemeriksaan serum
pasien asia serta afrika dengan karsinoma primer maupun sekunder memiliki
hasil positif untuk antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) eipstein-
barr . Selain itu juga didapatkan Ig A terhadap VCA (VCA-IgA) dengan titer
yang tinggi (Nasir, 2009)
3. Faktor Lingkungan
Penelitian terkini menunjukan bahwa terdapat zat-zat yang dapat
memicu terjadinya karsinoma nasofaring yaitu golongan nitrosamin seperti
yang terdapat pada ikan asin, hidrokarbon polikistik yang terdapat pada asap
rokok dan unsur renik pada bahan-bahan yang mengandung renik (Nasir,
2009)
4. Tembakau
Sejak tahun 1950 sudah dinyatakan bahwa merokok menyebabkan
kanker. Merokok menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta per
tahunnya dan diperkirakan menjadi 10 juta per tahunnya pada 2030. Rokok
mempunyai lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk nitrosamin yang
meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring. Kebanyakan penelitian
menunjukkan merokok meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak 2
sampai 6 kali. Sekitar 60% karsinoma nasofaring tipe I berhubungan dengan
merokok sedangkan risiko karsinoma nasofaring tipe II atau III tidak
berhubungan dengan merokok. Perokok lebih dari 30 bungkus per tahun
mempunyai risiko besar terkena karsinoma nasofaring. Kebanyakan penderita
karsinoma nasofaring merokok selama minimal 15 tahun (51%) dan
mengkonsumsi tembakau dalam bentuk lain (47%). Merokok lebih dari 25
tahun meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Merokok lebih dari 40 tahun
meningkatkan 2 kali lipat risiko karsinoma nasofaring.
Konsumsi tembakau dan alkohol yang terus menerus 95%
berhubungan dengan kasus karsinoma sel skoamusa kepala dan leher.
peningkatan konsumsi tembakau dan alkohol juga meningkatkan resiko
terkena karsinoma sel skoamusa, Namun adapula penelitian yang
menunjukkan bahwa 41,5% pederita KNF adalah perokok dan 55,5% tidak
merokok (Leung & Lee, 2013).
DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF. Gejalanya
sangat bervariasi antara satu pasien dengan pasien yang lain (Munir,
2010). Demikian pula dengan keluhan yang ditimbulkannya. Pada
stadium dini, keluhan yang ada sering tidak menimbukan kecurigan
atas keberadan tumor ini. Jika ada biasanya berupa keluhan telinga,
hidung atau keduannya (Tabuchi, et al., 2011)
b. Pemeriksaan Penunjang
Endoskopi
Memainkan peran kunci dalam deteksi lesi awal Karsinoma
Nasofaring, dan biopsi endoskopik memungkinkan diagnosis
definitif Karsinoma Nasofaring (Vlantis, 2010)
Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada karsinoma nasofaring digunakan
untuk menilai adanya tumor, perluasan serta kondisi setelah
terapi. Modalitas CT Scan dan MRI dapat medeteksi kelainan
nasofaring yang tidak tampak pada endoskopi. (Tabuchi, 2011)
Serologi
Diagnosis Karsinoma Nasofaring ditunjang beberapa
pemeriksaan tambahan yaitu pemeriksaan serologi, misalnya
Imunoglobulin A anti-viral capsid antigen (Ig Anti-VCA), IgG anti-
early antigen (EA), imunohistokimia, dan Polymerase Chain
Reaction (PCR) (Li, 2010; ji, 2007)
c. Biopsi
Biopsi merupakan alat diagnostik pasti untuk menegakan karsinoma
nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari mulut dan
dari hidung. Biopsi yang dilakukan melalui hidungdapat dengan
bantuan endoskopi cunam biopsi dimasukan ke dalam rongga hidung,
lalu menyusuri konka media ke nasofaring, setelah itu cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi tumor dapat dilakukan
dengan anastesi topikal yaitu xylocain 10%. (Prakoso, 2015)
DNA EBV dihasilkan secara konsisten dari sel sel tumor KNF dapat secara
rutin dideteksi dalam plasma dari pasien dengan KNF dengan sensitifitas
lebih dari 95%.
Kemajuan lainnya dalam deteksi dini KNF termasuk didalamnya profil protein
seum, nilai metilasi spesifik plasma tumor, dan metilasi gen EBV diambil dari
teknik brushing langsung di daerah nasofaring.
N1 = metastasis kelenjar getah bening unilateral, ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N2 = metastasis kelenjar getah bening bilateral, ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3 = metastasis kelenjar getah bening bilateral
a. Stadium I : T1 N0 M0
b. Stadium II : T2 N0 M0
Lokasi metastasis yang paling sering ditemukan adalah pada tulang (70-80%),
diikuti dengan organ fisera (hati 30 %, paru-paru 18%) dan diikuti dengan nodus
limfe yang tidak berada di daerah servikal (lipatan aksila , mediastinal, pelvis, dan
inguinal)
PENATALAKSANAAN
a. Radioterapi
Radioterapi merupakan pengobatan terpilih dalam tatalaksana
kanker nasofaring yang telah diakui sejak lama dan dilakukan di
berbagai sentra dunia. Radioterapi dalam tatalaksana kanker
nasofaring dapat diberikan sebagai terapi kuratif definitif dan paliatif.
Radioterapi kuratif definitif pada sebagai modalitas terapi tunggal dapat
diberikan pada kanker nasofaring T1N0M0 (NCCN Kategori 2A), k
mnmonkuren bersama kemoterapi (kemoradiasi) pada T1N1-3,T2-T4
N0-3 (NCCN kategori 2A). (Lok et al, 2013)
Radiasi diberikan dengan sasaran radiasi tumor primer dan
KGB leher dan supraklavikula kepada seluruh stadium (I, II, III, IV
lokal) (NCCN, 2015)
dosis radioterapi diberikan pada tumor primer dengan dosis
antara 65 – 75 Gy dan jika ada keterlibatan nodul leher dosisnya 65 –
70 Gy. Radiasi elektif dengan tidak adanya nodul, dosis diberikan 50 –
60 Gy. Terapi dengan dosis tersebut pada derajat tumor T1 dan T2
berhasil pada 75% - 90% kasus, pada derajat tumor T3 dan T4
sebesar 50% - 75% kasus. Kasus dengan keterlibatan nodul pada N0
dan N1 memberikan keberhasilan dengan 90%, tetapi pada N2 dan N3
hanya 70% (Wei and Sham, 2005)
b. Kemoterapi
c. Pembedahan
Terapi bedah tidak banyak mendapat peran dalam
penganggulangan karsinoma nasofaring. Tindakan bedah terbatas
hanya untuk reseksi sisa masa tumor pasca radioterapi. Tindakan ini
biasa dilakukan apabila tumor primer sudah menghilang namun masih
tersisa nodul pada kelenjar leher dan belum terjadi metastasis jauh
(Munir, 2010).
KOMPLIKASI
Komplikasi umumnya terjadi akibat dari metastasis sel kanker ke
organ-organ penting seperti paru-paru, tulang, hati,dan otak. Hal ini
merupakan keadaan yang sangat buruk dan dapat mengakibatkan mortilitas.
Komplikasi dapat juga terjadi akibat dari pengobatan karena obat yang
diberikan tidak hanya menyerang sel tumor namun juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sel sumsum tulang, dan sel pada
traktus gastrointestinal. Dapat terjadi mual dan muntah, ulserasi saluran
cerna, anoreksia, mudah terkena infeksi, kerusakan saraf, dan yang paling
nyata terlihat adalah rambut rontok. Komplikasi yang umum terjadi pada
pembedahan kepala dan leher adalah gangguan pada telinga, gangguan
motorik pada otot-otot wajah dan lengan atas. Hal ini dikarenakan adanya
saraf yang terganggu pada saat tindakan pembedahan (American Cancer
Society, 2013)
PROGNOSIS
Pasien yang berobat ke institusi kesehatan memiliki gejala utama yaitu
pembesaran kelenjar getah bening yang dimana sudah merupakan stadium
lanjut. Jika sudah terdapat metastase , maka angka harapan hidupnya kira-
kira 10%. Dari beberapa penelitian, rata-rata angka harapan hidup pasien
karsinoma nasofaring sekitar 30 hingga 48% (Witte, 2013)
Angka harapan hidup secara terperinci dibagi atas stadium dari
penderita tersendiri. Dimana semakain tinggi stadiumnya , maka semakin
kecil angka harapan hidup pasien tersebut. Stadium 1 memiliki angka
harapan hidup tertinggi yaitu 72%, staduim 2 sebesar 64%, stadium 3
sebesar 62%, sedangkan stadium 4 sebesar 38% (American Cancer Society,
2013).