Bab 1
Bab 1
Oleh :
Pembimbing :
penulisan ini dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak, maka tidak lupa
2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan paper ini baik secara
Penulis menyadari bahwa penulisan paper ini masih jauh dari katasempurna,
oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul........................................................................................... 1
Kata Pengantar .......................................................................................... 2
Daftar Isi.................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi ......................................................... 6
2.2 Definisi................................................................................. 9
2.3 Epidemiologi ........................................................................ 9
2.4 Etiologi................................................................................. 10
2.5 Sumber dan Cara penularan ................................................. 12
2.6 Patifisiologi .......................................................................... 13
2.7 Manifestasi Klinis ................................................................ 13
2.8 Diagnosa .............................................................................. 15
2.9 Diagnosa Banding ................................................................ 17
2.10 Faktor Resiko ....................................................................... 17
2.11 Komplikasi ........................................................................... 19
2.12 Tatalaksana .......................................................................... 20
2.13 Pencegahan .......................................................................... 20
BAB III KESIMPULAN
Kesimpulan .................................................................................. 22
Laporan Kasus ............................................................................ 24
Diskusi Kasus............................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal ginjal kronik (GGK) atau Chronic Kidney Diseases (CKD)
merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali,
dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme, gagal memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum. Pada
pasien gagal ginjal kronik mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa
disembuhkan dan memerlukan pengobatan berupa hemodialisis, dialisis peritoneal,
transplantasi ginjal dan rawat jalan dalam jangka waktu yang lama.1
Gagal ginjal kronik saat ini telah menjadi suatu masalah kesehatan publik
di seluruh dunia. Hal ini diakui sebagai suatu kondisi umum yang dikaitkan dengan
peningkatan penyakit jantung dan gagal ginjal kronik.2 Gagal ginjal kronik memiliki
prevalensi global yang tinggi dengan prevalensi GGK global yang konsisten antara
(11%) sampai (13%) dengan mayoritas stadium tiga.3 Pada Desember 2014, terdapat
678.383 kasus ESRD, berdasarkan prevalensi yang tidak disesuaikan (proporsi kasar)
terdapat 2.067 orang per sejuta penduduk Amerika Serikat. (United States Renal Data
System [USRDS], 2016). Pada akhir tahun 2013, ada sekitar 3,2 juta pasien yang
dirawat karena penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) di seluruh dunia. Jumlah ini
meningkat sekitar (6%) setiap tahunnya, yang secara signifikan lebih tinggi dari pada
tingkat pertumbuhan penduduk. Dari 3,2 juta pasien tersebut, sekitar 2,5 juta orang
menjalani perawatan dialisis (baik hemodialisis atau dialisis peritoneal), dan sekitar
678.000 orang hidup dengan transplantasi ginjal.4
Di Indonesia gagal ginjal kronik menjadi salah satu penyakit yang masuk
dalam 10 penyakit kronik. Prevalensi gagal ginjal kronik berdasarkan yang pernah
didiagnosis dokter sebesar (0,2%) dari penduduk indonesia. Jika saat ini penduduk
Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa maka terdapat 504.248 jiwa yang menderita
gagal ginjal kronik. Hanya (60%) dari pasien gagal ginjal kronik tersebut yang
menjalani terapi dialisis. Di provinsi Sumatera Barat prevalensi gagal ginjal kronik
yaitu (0,2%) dari pasien gagal ginjal kronik di Indonesia mencakup pasien yang yang
menjalani pengobatan, terapi pengganti ginjal, dialisis peritoneal, dan hemodialisis.5
Gagal ginjal kronik stadium End Stage Renal Disease (ESRD) dimana
ginjal mengalami kerusakan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih
kembali, yaitu tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat peningkatan ureum.6 ESRD
ditandai dengan azotemia, uremia, dan sindrom uremik.1 Saat ini ada tiga terapi
modalitas pengobatan yang tersedia untuk gagal ginjal kronik yang telah mencapai
derajat V (End-Stage Renal Disease) yaitu hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal.7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Organ utama dari sistem saluran kemih terdiri atas dua ginjal, dua saluran dari
ginjal ke kandung kemih (ureter), satu kandung kemih dan satu saluran dari kandung
kemih keluar tubuh (uretra). Panjang uretra pada pria sekitar 20-25 cm yang berfungsi
untuk tempat keluarnya urin yang diproduksi oleh ginjal sekaligus menjadi saluran
keluarnya sperma. Pada wanita uretra jauh lebih pendek sekitar 2,5-3,8 cm dan
terletak di depan organ reproduksi. Berhubung letak uretra pada wanita yang dekat
sekali dengan organ reproduksi dan anus, maka pada wanita kasus infeksi saluran
kencing lebih banyak didapat karena rawan terinfeksi kuman yang berasal dari
saluran pencernaan. Sistem saluran kemih merupakan salah satu sistem ekskresi
tubuh dimana fungsinya yang mengeluarkan racun dan cairan yang harus dibuang
keluar tubuh. 7
Apabila dilihat melalui potongan longitudinal, ginjal terbagi menjadi dua
bagian yaitu korteks bagian luar dan medulla di bagian dalam. Medulla terbagi-bagi
menjadi biji segitiga yang disebut piramid, piramid-piramid tersebut diselingi oleh
bagian korteks yang disebut kolumna bertini. Piramid-piramid tersebut tampak
bercorak karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron.
Papilla (apeks) dari piramid membentuk duktus papilaris bellini dan masuk ke dalam
perluasan ujung pelvis ginjal yang disebut kaliks minor dan bersatu membentuk
kaliks mayor, selanjutnya membentuk pelvis ginjal. 7
Ciri-ciri korteks berwarna coklat tua, tersusun atas nefron (satuan unit
struktural dan fungsional ginjal) sebagai alat penyaring darah, korteks terletak di
dalam di antara piramida-piramida medulla yang bersebelahan untuk membentuk
kolumna ginjal yang terdiri dari tubulus-tubulus pengumpul yang mengalir ke duktus
pengumpul. Sedangkan ciri-ciri medulla berwarna coklat agak terang, tersusun atas
tubulus renalis, mengandung massa triangular yang disebut piramida ginjal yang
setiap ujung sempitnya papilla masuk ke dalam kaliks minor dan ditembus duktus
pengumpul urin. Setiap ginjal orang dewasa memiliki sekitar satu juta unit nefron
sebagai unit pembentuk urin. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut
(terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian
mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa
cairan lainnya akan dibuang. Setiap nefron tersusun oleh badan malphigi dan saluran
panjang (tubulus) yang bergulung. Sebuah nefron merupakan suatu struktur yang
menyerupai mangkuk dengan dinding yang berlubang (kapsula Bowman), yang
mengandung seberkas pembuluh darah (glomelurus). Badan malphigi ini tersusun
atas glomerulus dan kapsula Bowman membentuk korpuskulum renalis. Glomerulus
merupakan anyaman pembuluh darah kapiler sebagai lanjutan pembuluh darah arteri
ginjal. Kapsula Bowman berbentuk seperti mangkuk, yang di dalamnya berkumpul
gelungan pembuluh darah kapiler yang halus. Tubulus merupakan saluran lanjutan
dari kapsula Bowman. Saluran panjang yang melingkar-lingkar letaknya bersebelahan
dengan glomerulus. Tubulus proksimal adalah saluran yang dekat dengan badan
malphigi, sangat berliku dan panjangnya sekitar 15 mm. Sedangkan yang jauh dari
badan malphigi disebut tubulus distal, sangat berliku dan panjangnya sekitar 5 mm
yang membentuk segmen terakhir nefron. Kedua tubulus ini dijembatani oleh
lengkung Henle yang berupa leher angsa yang turun ke arah medulla ginjal kemudian
naik kembali menuju korteks. Bagian akhir dari tubulus ini adalah saluran pengumpul
(ductus collectivus) yang terletak pada medulla yang mengalirkan urin ke kaliks
minor menuju kaliks mayor dan menuju piala ginjal. Medulla merupakan tempat
saluran dari kapsula Bowman ini berkumpul. Saluran ini mengalirkan urin ke saluran
yang lebih besar ke arah pelvis atau piala ginjal. Lalu urin disalurkan ke ureter
kemudian ditampung di kandung kemih. Pada jumlah urin tertentu di mana dinding
kandung kemih ini tertekan sehingga otot melingkar pada pangkal kandung kemih
meregang akan memberikan sinyal ke saraf untuk menimbulkan rangsang berkemih
untuk disalurkan ke ureter sebagai saluran pembuangan keluar. 8
2.1.2 Fisiologi Ginjal
A. Fungsi Ginjal
Menurut Price (2006) ginjal mempunyai berbagai macam fungsi yaitu ekskresi dan
fungsi non-ekskresi. Fungsi ekskresi diantaranya adalah:9
1) Mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah-
ubah ekskresi air.
2) Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang normal.
3) Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+
dan membentuk kembali HCO.
4) Mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolism protein, terutama urea,
asam urat dan kreatinin.
Sedangkan fungsi non-ekresi ginjal adalah :
1) Menghasilkan rennin yang penting untuk pengaturan tekanan darah.
2) Menghasilkan eritropoetin sebagai factor penting dalam stimulasi produksi sel
darah merah oleh sumsum tulang.
3) Metabolism vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
4) Degradasi insulin.
5) Menghasilkan prostaglandin.
2.3 Etiologi
Menurut Sylvia Anderson (2006) klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik
adalah sebagai berikut :15
a) Penyakit infeksi tubulointerstitial : Pielonefritis kronik atau refluks nefropati.
Pielonefritis kronik adalah infeksi pada ginjal itu sendiri, dapat terjadi akibat
infeksi berulang, dan biasanya dijumpai pada penderita batu. Gejala–gejala umum
seperti demam, menggigil, nyeri pinggang, dan disuria. Atau memperlihatkan
gambaran mirip dengan pielonefritis akut, tetapi juga menimbulkan hipertensi dan
gagal ginjal.13
b) Penyakit peradangan : Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak.
Peradangan akut Glomerulus terjadi akibat peradangan komplek antigen dan
antibodi di kapiler – kapiler glomerulus. Komplek biasanya terbentuk 7 – 10 hari
setelah infeksi faring atau kulit oleh Streptococcus ( glomerulonefritis
pascastreptococcus) tetapi dapat timbul setelah infeksi lain.13
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel – sel
glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak
membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering timbul
beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus sub klinis yang disertai
oleh hematuria (darah dalam urin) dan proteinuria ( protein dalam urin ) ringan,
yang sering menjadi penyebab adalah diabetes mellitus dan hipertensi kronik.
Hasil akhir dari peradangan adalah pembentukan jaringan parut dan menurunnya
fungsi glomerulus. Pada pengidap diabetes yang mengalami hipertensi ringan,
memiliki prognosis fungsi ginjal jangka panjang yang kurang baik. 13
c) Penyakit vaskuler hipertensif : Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis
maligna, Stenosis arteria renalis
Nefrosklerosis Benigna merupakan istilah untuk menyatakan berubah ginjal
yang berkaitan dengan skerosis pada arteriol ginjal dan arteri kecil. Nefrosklerosis
Maligna suatu keadaan yang berhubungan dengan tekanan darah tinggi (hipertensi
maligna), dimana arteri-arteri yang terkecil (arteriola ) di dalam ginjal mengalami
kerusakan dan dengan segera terjadi gagal ginjal.
Stenosis arteri renalis (RAS) adalah penyempitan dari satu atau kedua
pembuluh darah (arteri ginjal) yang membawa darah ke ginjal. Ginjal membantu
untuk mengontrol tekanan darah. Renalis menyempit menyulitkan ginjal untuk
bekerja. RAS dapat menjadi lebih buruk dari waktu ke waktu. Sering
menyebabkan tekanan darah tinggi dan kerusakan ginjal.
d) Gangguan jaringan ikat : Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistemik progresif
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES)
adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga
karena adanya perubahan sistem imun.
e) Gangguan congenital dan herediter : Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus
ginjal
f) Penyakit metabolic : Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
g) Nefropati toksik : Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah
h) Nefropati obstruktif : Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi,neoplasma,
fibrosis, retroperitineal), traktus urinarius bawah (hipertropi prostat, striktur
uretra, anomaly congenital leher vesika urinaria dan uretra).
2.4 Patofisiologi
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan
penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang
sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal
ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih
fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkat kecepatan filtrasi,
reabsorpsi, dan sekresinya serta mengalami hipertrofi. Seiring dengan makin
banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi tugas yang
semkain berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati.
Sebagaian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-
nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Seiring dengan penyusutan
progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal
mungkin berkurang.12
Meskipun penyakit ginjal terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang
harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah berubah,
kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun
secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap
ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami
hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi
peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap
nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun
di bawah nilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi
ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron sudah
hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian
tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus (keseimbangan antara peningkatan
filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus tidak dapat lagi dipertahankan.
Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air
menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan
yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR (yang berarti maikn sedikit nefron
yang ada) semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per nefron. Hilangnya
kemampuan memekatkan atau mengencerkan urine menyebabkan berat jenis urine
tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsm (yaitu sama dengan plasma) dan merupakan
penyebab gejala poliuria dan nokturia.9
Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang dimiliki oleh
pasien sekaligus sebagai dasar penentuan terapi oleh dokter. Semakin parah CKD
yang dialami, maka nilai GFRnya akan semakin kecil.15
Chronic Kidney Disease stadium 5 disebut dengan gagal ginjal.
Perjalanan klinisnya dapat ditinjau dengan melihat hubungan antara bersihan
kreatinin dengan GFR sebagai presentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin
serum dan kadar blood urea nitrogen (BUN).
Menurut Suwitra (2006) penatalaksanaan untuk CKD secara umum antara lain
adalah sebagai berikut :
1. Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan penyakit dasar CKD adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga peningkatan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasono grafi, biopsi serta
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya bila LFG sudah menurun sampai 20–30
% dari normal terapi dari penyakit dasar sudah tidak bermanfaat.
2. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada
pasien penyakit CKD, hal tersebut untuk mengetahui kondisi komorbid yang
dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat- obat nefrotoksik, bahan radio
kontras, atau peningkatan aktifitas penyakit dasarnya. Pembatasan cairan dan
elektrolit pada penyakit CKD sangat diperlukan. Hal tersebut diperlukan
untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Asupan
cairan diatur seimbang antara masukan dan pengeluaran urin serta Insesible
Water Loss (IWL). Dengan asumsi antara 500-800 ml/hari yang sesuai dengan
luas tubuh. Elektrolit yang harus diawasi dalam asupannya adalah natrium
dan kalium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemi dapat
mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu pembatasan obat
dan makanan yang mengandung kalium (sayuran dan buah) harus dibatasi
dalam jumlah 3,5- 5,5 mEg/lt. sedangkan pada natrium dibatasi untuk
menghindari terjadinya hipertensi dan edema. Jumlah garam disetarakan
dengan tekanan darah dan adanya edema.
7. Terapi dialisis dan transplantasi dapat dilakukan pada tahap CKD derajat 4-5.
Terapi ini biasanya disebut dengan terapi pengganti ginjal.
2.9 Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001)
serta Suwitra (2006) antara lain adalah :6
1. Hiperkalemia akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoeitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.