Anda di halaman 1dari 18

“RESUME JURNAL”

“Evidence Based Nursing Self Management untuk Mengurangi


Konstipasi pada Pasien kanker Payudara yang Menjalani Kemoterapi”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Departemen Maternitas


di Ruang 9 Rumah Sakit Umum dr Saiful Anwar Malang

Penyusun:
Lala Aisyana
170070301111022

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker payudara merupakan tumor ganas yang menyerang jaringan sel-
sel payudara. Kanker payudara merupakan masalah paling besar bagi wanita
di seluruh dunia dan menyebabkan kematian utama bagi penderita kanker
payudara. Kanker payudara adalah salah satu keganasan terbanyak dan
memiliki angka kematian cukup tinggi pada wanita. Setiap tahun terdapat 7
juta penderita kanker payudara dan 5 juta orang meninggal. Kasus kematian
kanker payudara di dunia pada tahun 2011 menunjukkan terdapat sekitar
508.000 kasus (WHO, 2013). Menurut data dari Globocan, International
Agency for Research on Cancer (IARC) tahun 2012, kanker payudara
merupakan kanker dengan persentase kasus baru tertinggi di dunia, yakni
sebesar 43,3% atau sebesar 40 per 100.000 perempuan sedangkan
persentase kasus kematian akibat kanker payudara sebesar 12,9%
(Kemenkes, 2014). Kanker payudara di Indonesia menempati urutan kedua
se telah kanker serviks yaitu sebanyak 26 kasus per 100.000 penduduk
wanita setiap tahun yang mengalami kanker payudara (Ibrahim, 2008).
Ada beberapa faktor risiko yang berperan dalam penyakit kanker
payudara, diantaranya yaitu jenis kelamin dan usia. Perempuan mempunyai
peluang 100 kali lebih besar mengalami kanker payudara dibandingkan
dengan laki-laki dan insiden tersebut meningkat seiring dengan
bertambahnya usia (LeMone & Burke, 2008). Menurut American Cancer
Society (2004), kanker payudara lebih banyak terjadi pada kelompok usia 50
tahun ke atas (ACS, 2004 dalam Smeltzer & Bare, 2008). Prevalensi penyakit
kanker tertinggi yaitu pada umur 75 tahun keatas (5,0%), dan prevalensi
terendah yaitu pada umur 1-4 tahun dan 5-14 tahun (0,1%). Terjadi
peningkatan yang cukup tinggi pada umur 25-34 tahun dan 45-54 tahun
(Kemenkes RI, 2015).
Penatalaksanaan yang diberikan pada pengobatan kanker payudara pada
dasarnya sama dengan kasus kanker lainnya yaitu meliputi pembedahan,
terapi radiasi, kemoterapi dan terapi pengubahan respon biologis yang juga
mungkin digunakan pada berbagai waktu selama proses pengobatan (Lamas,
2011). Kemoterapi merupakan salah satu modalitas pengobatan kanker yang
sering dan dipilih terutama untuk mengatasi kanker stadium lanjut lokal
maupun metastase (Desen, 2011 ). Kemoterapi bekerja dengan cara
menghentikan atau memperlambat pertumbuhan sel kanker tersebut (Lamas,
2009). Efek samping dari kemoterapi sangat banyak, salah satunya adalah
konstipasi pada pasien kanker payudara yang mendapatkan antiemetic 5-
hydroxytryptamine (serotonin; 5HT3) (Hanai, Ishiguro, Sozu, Tsuda, Arai,
Mitani, et al., 2016).
Konstipasi adalah adanya gangguan buang air besar yang ditandai
dengan berkurangnya frekuensi defekasi (kurang dari 3 kali dalam satu
minggu), adanya sensasi tidak puas dalam buang air besar, ada rasa sakit
pada perut dan perlu proses mengedan atau feses yang keras untuk
mengeluarkannya. (Bharucha A E, 2007).
Insiden konstipasi pada pasien kanker payudara akibat dari antiemetik
5HT3 selama menjalani kemoterapi yaitu sebesar 84%. Dampak dari
konstipasi meliputi perubahan fisik dengan gejala berikut : anoreksia,
inkontinensia urine, kebingungan, mual dan muntah, disfungsi kemih, impaksi,
fisura, prolaps dubur, wasir, obstruksi usus, dan sinkop dan dapat juga dapat
menyebabkan kecemasan dan isolasi sosial (Koch & Hudson, 2000 dalam
Folden , 2002).
Intervensi untuk mengurangi konstipasi pada pasien kanker payudara
yang menjalani kemoterapi yaitu mendapatkan antiemetik 5HT3. Selain
mendapatkan terapi farmakologis, penanganan konstipasi dapat dilakukan
secara non farmakologi. Salah satu terapi nonfarmakologi yang dapat
digunakan yaitu self-management (SM). SM terdiri dari abdominal massage,
abdominal streching, dan pendidikan posisi buang air besar yang tepat
(Hanai , et al., 2016).
Menurut beberapa penelitian yang RCT ditemukan bahwa abdominal
massage dan abdominal streching dapat meningkatkan peristaltik sehingga
dapat meningkatkan frekuensi buang air besar dan dapat mengurangi
konstipasi kronik (Sinclair, 2011). Abdominal massage dan abdominal
stretching tidak boleh dilakukan dalam keadaan demam, menderita penyakit
kulit menular, menderita penyakit infeksi menular, dan gangguan jantung
seperti radang pembuluh darah atau trombosis serta tidak boleh juga
dilakukan kepada yang mempunyai varises, luka baru, luka memar, dan
tulang sendi yang meradang atau bergeser (McClurg, 2011). Selain itu
abdominal massage dan abdominal stretching tidak boleh dilakukan pada
penderita riwayat obstruksi usus ganas, riwayat penyakit radang usus,
spactic colon akibat sindrom iritasi usus besar, cedera tulang belakang yang
tidak stabil, jaringan parut, dan lesi kulit (Lindley, 2014). Pemberian
pendidikan kesehatan tentang cara buang air besar yang tepat dan benar
adalah posisi jongkok. Salah satu faktor yang berperan pada proses buang
air besar adalah sudut anorektal. Pada posisi jongkok, sudut anorektal
menjadi lebih lurus sehingga akan mempermudah dalam buang air besar. Hal
ini juga mengurangi tenaga pada proses buang air besar dan dapat
mencegah serta mengatasi konstipasi. Pada beberapa penelitian
menyatakan bahwa posisi jongkok dapat mengurangi periode waktu buang
air besar dan episode ketegangan pada proses buang air besar (Hanai et al,
2016).
SM dapat dipertimbangkan sebagai salah satu intervensi pertama yang
diberikan pada pasien yang sedang menjalani kemoterapi yang mendapatkan
antiemetik 5HT3 yaitu ondansentron. Beberapa bukti atau hasil penelitian
melaporkan bahwa latihan atau pijat efektif untuk mengurangi jenis konstipasi
lainnya, walaupun sebelumnya tidak ada bukti bahwa program SM dapat
membantu mengurangi konstipasi akibat penggunaan antiemetik 5HT3.
Pasien juga melaporkan bahwa SM dapat meningkatkan kesejahteraan
secara psikologis. Oleh karena itu, program SM yang sederhana, efektif,
nyaman, dan biaya yang rendah dalam mengurangi konstipasi akibat
antiemetik ini mungkin berlaku untuk jenis pasien kanker atau pasien lain
yang menderita konstipasi jenis lain, seperti penggunaan opioid atau yang
mengalami konstipasi kronik.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa program SM dapat
dipertimbangan sebagai salah satu intervensi pertama yang diberikan kepada
pasien yang sedang menajlani kemoterapi yang mendapatkan antiemetik
5HT3 yaitu ondansentron.
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Teoritis
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan tentang program self management dapat diberikan kepada
pasien yang sedang menajlani kemoterapi yang mendapatkan antiemetik
5HT3 yaitu ondansentron
2. Bagi Praktisi
Penulisan makalah ini diharapkan dapat membantu praktisi dalam
menerapkan self management kepada pasien kemoterapi yang
menggunakan antiemetic 5HT3 yaitu ondansentron
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Self Management
1. Definisi
Self-management suatu keterlibatan individu didalam kegiatan
maupun praktek yang bertujuan mempertahankan dan meningkatkan

kesehatan, kesejahteraan dengan membuat penderita aktif dan

berpartisipasi dalam mengambil keputusan perihal program khusus untuk


pengobatan mereka; membangun dan mempertahankan kemitraan atau
hubungan dengan orang yang terlibat dalam membantu mengatasi
meningkatkan kesehatan serta memiliki kapasitas pengetahuan, sumber
daya dan kepercayaan diri yang baik dalam mengelola dampak dari
masalah kesehatan mereka, fungsi sehari-hari seperti mengontrol emosi
dan hubungan interpersonal (Quensland Health dalam Primanda &
Kritpracha, 2012).
Self-management adalah suatu perilaku terampil, menekankan
pada peran, serta tanggung jawab individu dalam pengelolaan
penyakitnya sendiri (Kisokanth et al., 2013). Proses ini biasanya
difasilitasi oleh tenaga kesehatan yang sudah terlatih dalam menangani
program terkait self-management, dukungan keluarga merupakan bagian
terpenting dari terlaksananya program (Primanda& Kritpracha,2012).
2. Faktor yang dapat meningkatkan self management
Hasil identifikasi bahwa usia, jenis kelamin, pendapatan,
pendidikan, dukungan sosial, keparahan gejala dan komorbiditas
merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi self-management
pada pasien dengan penyakit kronis, salah satunya penyakit kanker
(Peñarrieta et al., 2015). Chlebowy et.all dalam Adwan dan Najjar, 2013
menjelaskan bahwa faktor eksternal dan faktor internal dapat
mempengaruhi self-management. Faktor eksternal meliputi kepatuhan
penderita terhadap self-management itu sendiri yang meliputi dukungan
keluarga, kelompok sebaya, dan tim medis yang dapat memberikan
arahan yang dapat memberikan arahan, penghargaan serta
pengetahuan terkait penyakit yang mereka derita. Faktor internal terkait
rintangan untuk melakukan self-management itu sendiri seperti ketakutan
untuk melakukan deteksi dini, rendahnya kesadaran untuk mengontrol
diri sendiri terkait kebiasaan makan, fikiran-fikiran terkait kegagalan
dalam melakukan program, serta perasaan merasa kurangnya kontrol
diri terhadap control penyakitnya.
3. Massage abdomen
Tindakan pijatan atau masase yang dilakukan pada area perut
untuk merangsang pergerakan usus besar dan membantu
menyembuhkan sembeliit serta rasa sakit perut intens. Teknik ini sangat
bermanfaat terutama saat terjadi masalah-masalah seperti masalah
pencernaan. Perut adalah pusat dan inti dari tubuh. Banyak kebudayaan
di seluruh dunia telah menggunakan teknik ini untuk membantu penyakit
tertentu dan mempertahankan sirkulasi yang tepat di organ visceral. Pijat
ke daerah perut juga dapat mempengaruhi pusat keseimbangan klien
sehingga klien akan nyaman selama dan setelah masase diberikan.
Tujuan massage abdomen adalah untuk menekan laju tekanan
darah, meningkatkan sirkulasi darah, mengendurkan otot, seklaigus
menrangsang otot yang lemah untuk bekerja dan menghilangkan nyeri.
Massage abdomen tidak boleh dilakukan pada pasien dengan masalah
pada saraf motorik bladder, sedang menstruasi, menggunakan IUD,
setelah pembedahan, memiliki infeksi atau kanker region pelvic, dan batu
ginjal.
4. Abdominal stretching
5. Posisi BAB yang benar
B. Konstipasi
1. Definisi
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air
besar, biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-
kecil dan keras dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit
saat buang air besar (NIDDK, 2000).
Konstipasi adalah suatu keluhan, bukan penyakit (Holson,
2002;Azer, 2001). Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara
tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan
antara individu (Azer,2001). Penggunaan istilah konstipasi secara keliru
dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya
hal ini (Hamdy, 1984). Sedangkan batasan dari konstipasi klinik yang
sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah feses pada kolon, rektum
atau keduanya yang tampak pada foto polos perut (Harari, 1999).
Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan
frekuensi buang air besar, kesulitan dalam mengeluarkan feses, atau
perasaan tidak tuntas ketika buang air besar. Studi epidemiologik
menunjukkan kenaikan pesat konstipasi berkaitan dengan usia terutama
berdasarkan keluhan penderita dan bukan karena konstipasi klinik.
Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar setiap
hari. Sering ada perbedaan pandangan antara dokter dan penderita
tentang arti konstipasi (cheskin dkk, 1990).
2. Etiologi
Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari
penumpukan sensasi saraf, tidak sempurnanya pengosongan usus, atau
kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk defekasi. Konstipasi
merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas,
kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.
Faktor-faktor risiko konstipasi pada usia lanjut:
1. Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan
analgetik, golongan diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat
kalsium, preparat besi, antasida aluminium, penyalahgunaan
pencahar.
2. Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson, trauma medula
spinalis, neuropati diabetic.
3. Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroidisme.
4. Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk
BAB, mengabaikan dorongan BAB, konstipasi imajiner.
5. Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, divertikel, ileus, hernia,
volvulus, iritable bowel syndrome, rektokel, wasir, fistula/fisura ani,
inersia kolon.
6. Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat,
imobilitas/kurang olahraga, bepergian jauh, paska tindakan bedah
parut
3. Penatalaksanaan
a. Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi.
Kecuali ada kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk
minum sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari)
untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia
cairan/minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula
cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih
banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi
jantungnya stabil.
b. Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna
menurunkan waktu transit (transit time). Pada orang lanjut usia
disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-10 gram per hari. Ada
juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak 15-20
per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah,
sayur, kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan usus
dengan meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit usus.
Serat juga menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan
produksi gas dan asam lemak rantai pendek yang meningkatkan
gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah efektif tanpa cairan yang
cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan impaksi tinja
(skibala) atau dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat
menyebabkan gejala kembung, banyak gas, dan buang besar tidak
teratur terutama pada 2-3 minggu pertama, yang seringkali
menimbulkan ketidakpatuhan obat.
c. Bowel training
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah
lupa untuk buang air besar. Hal tersebut akan menyebabkan
rektum lebih mengembang karena adanya penumpukan feses.
Membuat jadwal untuk buang air besar merupakan langkah awal
yang lebih baik untuk dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga
diterapkan pada pasien usia lanjut yang mengalami gangguan
kognitif. Pada pasien yang sudah memiliki kebiasaan buang air besar
pada waktu yang teratur, dianjurkan meneruskan kebiasaan
teresebut. Sedangkan pada pasien yang tidak memiliki jadwal teratur
untuk buang air besar, waktu yang baik untuk buang air besar adalah
setelah sarapan dan makan malam.
d. Latihan jasmani
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang
sederhana tetapi bermanfat bagi orang usia lanjut yang masih
mampu berjalan. Jalan kaki satu setengah jam setelah makan cukup
membantu. Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari tampat tidur,
dapat didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat
tidur. Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak,
meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan
interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus
dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring dapat
dibantu dengan menyediakan toilet atau komod dengan tempat tidur,
jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-hati mungkin
dapat pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
e. Evaluasi penggunaan obat
Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu
dilakukan untuk mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti
obat yang diperkirakan menimbulkan konstipasi. Obat antidepresan,
obat Parkinson merupakan obat yang potensial menimbulkan
konstipasi. Obat yang mengandung zat besi juga cenderung
menimbulkan konstipasi, demikian obat anti hipertensi (antagonis
kalsium). Antikolinergik lain dan juga narkotik merupakan obat-obatan
yang sering pula menyebabkan konstipasi.
f. Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi
kolon; hasil yang kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak
memadai. Enema harus digunakan secara hati-hati pada usia lanjut.
Pasien usia lanjut yang mengalami tirah baring mungkin
membutuhkan enema secara berkala untuk mencegah skibala.
Namun, pemberian enema tertentu terlalu sering dapat
mengakibatkan efek samping. Enema yang berasal dari kran (tap
water) merupakan tipe paling aman untuk penggunaan rutin, karena
tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari air
sabun (soap-suds) sebaiknya tidak diberikan pada orang usia lanjut.
C. Kanker Payudara

BAB III
REVIEW JURNAL

3.1 Identitas jurnal


Judul : Evidence Based Nursing Self Management untuk
Mengurangi Konstipasi pada Pasien Kanker Payudara
yang Menjalani Kemoterapi
Negara : Indonesia
Metode : Quasi experiment
Penerbit : Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 2 (1)
Tahun terbit : 2017
3.2 Desain penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan EBN (Evidence Based
Nursing) diawali dengan menemukan fenomena di ruangan yang dirumuskan ke
dalam bentuk pertanyaan klinis dengan format PICO (Problem, Intervention,
Comparation and Outcome) dan dilakukan pencarian terhadap artikel yang
sesuai yang dapat menajwab pertanyaan klinis.
3.3 Instrumen
Penelitian ini diawali dengan menemukan fenomena di ruangan yang
dirumuskan ke dalam bentuk pertanyaan klinis dengan format PICO (Problem,
Intervention, Comparation and Outcome)
3.4 Prosedur
Penerapan EBN dilakukan di ruangan rawat inap teratai dan melati
Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta pada tanggal 17 April sampai 28 April
2017. Dan dilakukan identifikasi subjek yang dilibatkan dalam penerapan EBN ini
dengan kriteria inklusi:
a. pasien yang menjalani kemoterapi dan mendapatkan antiemetik 5HT3
(ondansentron),
b. pasien yang memiliki skala ECOG 0 atau 1,
c. pasien yang memiliki kemampuan buang air besar normal sebelum
menjalani kemoterapi, dan
d. pasien yang bersedia ikut serta dalam pelaksanaan EBN dan telah
menandatangai informed consent,
sedangkan kriteria ekslusi adalah:
a. pasien yang mengalami kesulitan berkomunikasi karena gangguan mental,
gangguan kognitif, atau cacat fisik,
b. pasien yang mendapatkan morfin,
c. pasien yang mendapatkan agen kemoterapi FAC,
d. pasien hamil,
e. pasien yang memiliki keterbatasan dalam melakukan exercise atau latihan,
dan
f. pasien yang menolak jadi responden penelitian.
Prosedur dalam penerapan EBN ini dilakukan dengan memperhatikan
konsisi klinis pasien, mengkaji data dasar pasien yang meliputi umur, berat
badan, tinggi badan, IMT, dan protokol atau agen kemoterapi, mengkaji BAB
pasien (normal atau konstipasi), dilakukan pengukuran skor CAS sebelum
pelaksanaan intervensi, melakukan SM (pijat perut, peregangan otot perut, dan
menerapkan posisi BAB yang benar dan tepat) selama menjalani kemoterapi,
dan dilakukan pengukuran skor CAS kembali setelah dilakukan intervensi SM.
Langkah-langkah SM yang dilakukan adalah:
1. Pijat perut menggunakan dua atu tiga jari, diusap ke perut searah jarum jam,
dilakukan selama kira-kira 1 menit dan diulang sebanyak 10 kali;
2. Peregangan otot perut dilakukan dengan cara :
a. Wind-relieving pose : pasien meletakkan kedua tangannya pada satu
lutut dan menariknya kearah dada dengan lemah lembut kemudian
menarik kepalanya kearah lutut. Posisi ini dilakukan selama 15-30 detik,
dalam keadaan yang tenang pasien disuruh tarik nafas dalam secara
perlahan-lahan. Hal yang sama dilakukan pada lutut yang berlawanan.
Posisi ini dilakukan 10 kali perhari.
b. Knees-to-chest-pose : pasien berbaring kemudian mengangkat lutut ke
arah dada dengan meletakkan kedua tangan pada lutut. Posisi ini
dilakukan 10 kali perhari.
c. Reclined Spinal Twist: pasien disuruh berbaring di tempat tidur kemudian
memutar pinggul kearah kanan atau kiri sehingga kaki dalam keadaan
menekuk hingga membentuk sudut 90°. Posisi ini dilakukan 10 kali
perhari.
3. Posisi buang air yang tepat adalah dengan semi jongkok. Outcome utama
yang diukur adalah penurunan skor konstipasi dengan SM yang diukur
menggunakan Constipation Assessment Scale (CAS).
3.5 Hasil Penelitian
Dalam penerapan EBN ini, pasien yang terlibat adalah sebanyak 10
orang pasien. Karakteristik dan hasil penerapan EBN yang dilakukan pada
pasien adalah sebagai berikut:
Berdasarkan tabel 3.1 diatas, lebih dari separuh pasien (70%) tidak
mempunyai riwayat kanker dalam keluarga. Agen kemoterapi yang
digunakan yang paling banyak adalah TC (Paclitaxel-Cisplatin) sebesar 60%
dan AC (Doxorubicin-Cychlosphamide) sebesar 40%. Stadium kanker
payudara terdapat 60% stadium II dan 40% stadium III. Dan siklus
kemoterapi sebagian besar siklus 2 yaitu sebanyak 50%, siklus 3 terdapat
30%, dan siklus 4 sebanyak 20%.

Berdasarkan tabel 3.3 didapatkan bahwa ratarata skor CAS pada


kelompok intervensi setelah dilakukan intervensi self-management (SM)
adalah 3,2 dengan standar deviasinya adalah 0,447 dengan skor terendah 3
dan skor tertinggi 4. Sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata skor CAS
adalah 7,6 dengan standar deviasi 0,548 dengan skor terendah 7 dan skor
tertinggi 8.
3.6 Kelebihan dan kekurangan jurnal
3.6.1 Kelebihan
Artikel jurnal tersebut mudah diterapkan di Indonesia, karena media
dan intervensi yang diberikan cukup mudah, yaitu praktek secara
mandiri dan pendidikan kesehatan. dan tentunya tujuan awal
dilakukannya penelitian ini dapat tercapai, yaitu menurunkan konstipasi
pada pasien kanker payudara yang menjalankan kemoterapi.
3.6.2 Kekurangan
a. Jurnal tersebut hanya menggunakan 10 sampel sehingga hasil
yang didapatkan kurang mewakili, disarankan untuk menambahkan
waktu penelitian sehingga dapat menambah jumlah sampel.
b. Peneliti kurang menjelaskan apa saja intervensi yang diberikan
kepada kelompok kontrol
3.7 Jurnal pendukung
a. Estri (2016) dalam penelitian yang berjudul “Perbandingan Abdominal
Massage dengan Teknik Swedish Massage dan teknik Effleurge terhadap
Kejadian Konstipasi Pasien yang Terpasang Ventilasi Mekanik di ICU”
kepada 22 responden menunjukkan bahwa abdominal massage dapat
menurunkan kejadian konstipasi khususnya abdominal massage dengan
teknik effleurage yang dapat menggunaan waktu akan lebih efisien,
energy yang dikeluarkan lebih minimal dan meningkatkan kenayamanan.
b. Suarsyaf (2015) dlama penelitian yang berjudul “Pengaruh Terapi Pijat
terhadap Konstipasi” menunjukkan bahwa pija abdomen dapat
mendorong feses dengan meningkatkan tekanan intraabdominal. Pijat
memberikan manfaat pada konstipasi dengan cara menstimulasi gerak
peristaltic dan menruunkan waktu transit kolon sehingga dapat
meningkatkan frekuensi buang air besar.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan
Mekanisme abdominal massage dan abdominal streching bisa mengurangi
konstipasi adalah dapat mendorong feses dengan adanya peningkatan tekanan
pada intaabdominal. Pada beberapa kasus neurologi, abdominal massage dan
abdominal stretching dapat memproduksi gelombang rektum yang menstimulasi
atau merangsang refleks somatoautonomik yang memberikan sensasi pada usus
besar. Abdominal massage dan abdominal streching dapat menurunkan waktu
transit kolon, merangsang atau menstimulasi gerakan peristaltik, meningkatkan
frekuensi buang air besar pada pasien yang mengalami konstipasi, dan dapat
mengurangi perasaan tidak nyaman pada saat buang air besar, serta dapat
membantu mempercepat perbaikan konstipasi kronis fungsional. Pada umumnya
abdominal massage dan abdominal stretching dapat menstimulasi metabolisme
seluler dan meningkatkan distribusi nutrisi ke sel dan jaringan. Pada saat nutrisi
telah digunakan, tubuh akan mengenali kebutuhan nutrisi dan akhirnya
meningkatkan nafsu makan setelah melakukan latihan tersebut. Selain itu secara
mekanik abdominal massage dan abdominal streching dapat mendorong sisa
pencernaan ke usus, tetapi juga dapat memicu sistem syaraf simpatik yang
meningkatkan aktivitas pencernaan sehingga dapat meningkatkan rasa lapar
(Braun & Simonson, 2005; Liu, 2005; Sinclair, 2011).
Tujuan dari penerapan EBN SM ini adalah untuk mengurangi konstipasi
akibat antiemetik (ondansentron) selama menjalani kemoterapi pada pasien
kanker payudara. Dalam penerapan EBN ini tidak terdapat kendala yang berarti
dan efek yang merugikan. Penerapan EBN ini dilakukan terhadap 10 orang
pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di ruangan rawat inap.
Penelitian lain mengemukakan bahwa abdominal massage efektif dalam
mengurangi konstipasi dengan nilai p=0,003 (Lamas, et al., 2009). Abdominal
massage dan abdominal streching dapat meningkatkan peristaltik sehingga
dapat meningkatkan frekuensi buang air besar dan dapat mengurangi konstipasi
kronik (Sinclair, 2011).
Pemberian pendidikan kesehatan tentang cara buang air besar yang tepat
dan benar adalah posisi jongkok. Salah satu faktor yang berperan pada proses
buang air besar adalah sudut anorektal. Pada posisi jongkok, sudut anorektal
menajdi lebih lurus sehingga akan mempermudah dalam buang air besar. Hal ini
juga mengurangi tenaga pada proses buang air besar dan dapat mencegah serta
mengatasi konstipasi. Pada beberapa penelitian menyatakan bahwa posisi
jongkok dapat mengurangi periode waktu buang air besar dan episode
ketegangan pada proses buang air besar (Hanai et al, 2016).
SM dapat dipertimbangkan sebagai salah satu intervensi pertama yang
diberikan pada pasien yang sedang menjalani kemoterapi yang mendapatkan
antiemetik 5HT3 yaitu ondansentron. Pasien melaporkan bahwa SM dapat
meningkatkan kesejahteraan secara psikologis. Oleh karena itu, program SM
yang sederhana, efektif, nyaman, dan biaya yang rendah dalam mengurangi
konstipasi akibat antiemetik ini mungkin berlaku untuk jenis pasien kanker atau
pasien lain yang menderita konstipasi jenis lain, seperti penggunaan opioid atau
yang mengalami konstipasi kronik.
Dengan dilakukannya penerapan EBN ini dan ditunjang oleh penelitian-
penelitian yang telah dilakukan, maka seorang perawat spesialis dapat
melaksanakan penerapan SM sehingga dapat mengurangi konstipasi pada
pasien yang mendapatkan antiemetik 5HT3 selama menjalani kemoterapi pada
pasien kanker payudara dan akan membuat pasien merasakan kenyamanan
serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Selain itu, EBN ini dapat
dijadikan sebagai salah satu intervensi keperawatan yang sederhana, murah,
aman , mudah diterapkan dan tidak memiliki efek samping serta dapat
memperkaya intervensi keperawatan pada area onkologi khususnya dalam
mengurangi konstipasi akibat antiemetik 5HT3 selama menjalani kemoterapi
pada pasien kanker payudara.

BAB V
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pasien yang mengalami konstipasi sangat terkait dengan peran perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan dalam mengurangi konstipasi
pasien. Intervensi terapi non farmakologi merupakan intervensi penting untuk
menjamin perawatan yang berkualitas tinggi. Beberapa hasil penelitian telah
melaporkan bahwa intervensi SM merupakan metode yang mudah dilakukan
dan sangat efektif dalam mengurangi konstipasi pada pasien kanker
payudara sehingga dapat meningkatkan kenyamanan pasien dan
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan.
4.2 Saran
a. Intervensi SM dapat direkomendasikan sebagai pedoman bagi
perawat dalam melakukan terapi non farmakologi untuk
mengurangi konstipasi pada pasien kanker payudara.
b. Intervensi SM hendaknya dapat menjadi suatu standar prosedur
operasional sebagai intervensi keperawatan dalam mengurangi
konstipasi pada pasien kanker khususnya kanker payudara yang
menjalani kemoterapi yang mendapatkan antiemetic 5HT3.

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, Weny. 2017. Evidence Based Nursing Self-Management Untuk


Mengurangi Konstipasi Pada Pasien Kanker Payudara Yang
Menjalani Kemoterapi. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah

Anda mungkin juga menyukai