Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS DAN REFERAT

KONJUNGTIVA HEMORAGIK

Dosen Pembimbing:
dr. Teguh Anamani, Sp. M

Disusun oleh:
Sendyka Rinduwastuty
G4A014128

SMF ILMU KESEHATAN MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN

2016
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dan referat berjudul


“Konjungtiva Hemoragik”

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh:
Sendyka Rinduwastuty
G4A014128

Telah dipresentasikan pada April 2016

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Teguh Anamani, Sp. M


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mata merupakan salah satu organ penting bagi manusia. Organ mata
merupakan salah satu alat komunikasi manusia terhadap dunia luar. Fungsi mata
sebagai salah satu panca indera menerima rangsang sensoris cahaya yang
kemudian akan divisualisasikan oleh otak kita sehingga kita dapat memahami
keadaan di sekitar kita. Mata merupakan panca indera yang halus yang
memerlukan perlindungan terhadap faktor-faktor luar yang berbahaya (Ilyas,
2008).
Begitu banyak kelainan pada mata, hal yang paling sering dilihat adalah
mata merah. Mulai dari iritasi ringan sampai perdarahan karena trauma akan
memberikan tampilan klinis mata merah. Konjungtiva hemoragik secara klinis
memberikan penampakan mata merah terang hingga gelap pada mata (Ilyas,
2008).
Namun begitu mata merah juga tidak boleh dianggap sebagai hal yang
biasa karena teriritasi oleh debu atau benda tertentu. Untuk itu, diperlukan
pengetahuan yang cukup untuk mengetahui bagaimana konjungtiva hemoragik
beserta faktor risiko dan penanganannya (Ilyas, 2008).

B. Tujuan
1. Mengetahui anatomi, histologi, dan fisiologi dari konjungtiva
2. Mengetahui definisi hingga prognosis dari konjungtiva hemoragik
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Konjungtiva
Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan
dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke
tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior
(pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera
menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum
orbital di forniks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini
memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva
sekretorik (Vaughan, 2010).

Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva

B. Histologi Konjungtiva
Secara histologis, konjungtiva terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan
epitel dan substansia propia. Konjungtiva memiliki drainase vaskularisasi dan
drainase limfatik yang baik menuju kelenjar preaurikuler dan sub mandibular.
Jaringan tersebut dipenuhi dengan sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag
yang berfungsi sebagai Antigen Presenting Cell (APC) (Stefanovic A, 2009).
Sel epitel konjungtiva adalah stratified nonkeratinizing squamous epithelium
yang tampak serupa pada ketiga daerah konjungtiva kecuali pada daerah lid
margin tampak tebal dan mempunyai lebih sedikit sel goblet. Ketebalan lapisan
epitelium yaitu 2 hingga 5 lapis sel. Sel basal berbentuk kuboid dan berkembang
menjadi pipih saat mencapai permukaan (American Academy of Opthalmology,
2014).
Jumlah lapisan sel epitel bervariasi khususnya pada daerah forniks dan
bulbi, hal ini disebabkan karena variasi derajat regangan pada saat fiksasi dari
jaringan. Tidak seperti jaringan lainnya, konjungtiva mempunyai sel goblet
diantara sel epitel. Terdapat variasi distribusi dan kepadatan sel goblet,
kepadatan paling tinggi terdapat pada forniks bagian medial dan palpebra yang
dekat dengan saluran air mata. Struktur dari sel goblet mirip dengan epitel
selapis. Sel goblet adalah kelenjar apokrin yang menghasilkan musin yang
mempunyai fungsi sebagai salah satu mekanisme proteksi. Substanstia propria
konjungtiva merupakan jaringan ikat longgar yang kaya akan pembuluh darah
dibandingkan dengan limbus dan kornea. Daerah ini juga kaya akan sel
fibroblast, sebagian besar limfosit dan sel mast, sel plasma dan netrofil
(American Academy of Opthalmology, 2014).

Gambar 2.2 Histologi Konjungtiva


Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima
lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal (Asbury, 2007). Sel-
sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi
mukus yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna
lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung pigmen
(Vaughan, 2010).
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis)
dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan
limfoid dan tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan.
Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng
tarsus dan tersusun longgar pada mata (Vaughan, 2010).

Gambar 2.3 Histologi konjungtiva


A. Epibulbar konjungtiva, epitel nonkeratinizing stratified skuamus; B.
Konjungtiva palpebral. Stroma berisi pembuluh darah dan sel inflamasi (tanda
panah); C. Forniks konjungtiva yang mengandung kelenjar Henle dengan sel
Goblet; D. Periodic acid-Schiff (PAS); E. Karunkula konjugtiva yang
mengandung kelenjar sebaseus
(Sumber : American Academy of Opthalmology, 2014)

C. Fisiologi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukus yang transparan yang
membentang di permukaan dalam kelopak mata dan permukaan bola mata
sejauh dari limbus. Ini memiliki suplay limfatik yang tebal dan sel
imunokompeten yang berlimpah. Mukus dari sel goblet dan sekresi dari kelenjar
aksesoris lakrimal merupakan komponen penting pada air mata. Konjungtiva
merupakan barier pertahanan dari adanya infeksi. Aliran limfatik berasal dari
nodus preaurikuler dan submandibula, yang berkoresponden dengan aliran di
kelopak mata. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu:
1. Konjungtiva palpebra dimulai dari hubungan mukokutaneus pada tepi
kelopak dan bergabung ke lapis tarsal posterior (Sidharta, 2008).
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva
melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus
jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris (Vaughan, 2010).
2. Konjungtiva forniks merupakan konjungtiva peralihan konjungtiva
palpebra dan bulbi (Vaughan, 2010).
3. Konjungtiva bulbi yang menutupi sklera anterior dan bersambung dengan
epitel kornea pada limbus. Punggungan limbus yang melingkar membentuk
palisade Vogt. Stroma beralih menjadi kapsula Tenon kecuali pada limbus
dimana dua lapisan menyatu (Sidharta, 2008). Konjungtiva bulbaris melekat
longgar ke septum orbitale di forniks dan melipat berkali – kali. Pelipatan
ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan
konjungtiva sekretorik. Lipatan konjungtiva bulbaris tebal, mudah bergerak
dan lunak (plika semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk
kelopak mata ketiga pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil
semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika
semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit
dan membran mukosa (Vaughan, 2010).

D. Definisi
Konjungtiva hemoragik atau dikenal dengan konjungtiva hemoragik akut
merupakan konjungtivitis disertai dengan timbulnya perdarahan
subkonjungtiva (Ilyas, 2008). Konjungtiva hemoragik ini merupakan bentuk
konjungtivitis yang sangat menular. Perdarahan subkonjungtiva adalah
perdarahan yang terjadi di bawah konjungtiva. Perdarahan yang terjadi akibat
rapuhnya pembuluh darah yang dapat terjadi di setiap jaringan mata. Perdarahan
ini akan tampak sebagai warna merah terang (paling banyak) atau merah gelap.
Perdarahan terdapat di antara konjungtiva dan sklera sehingga yang sering
dikeluhkan pasien terhadap penyakit ini adalah mata merah mendadak
(Mimura, et al., 2010).

E. Epidemiologi
Konjuntivitis hemoragik pertama kali diketahui di Ghana, Afrika pada
tahun 1969 yang kemudian menjadi pandemik. Seluruh benua dan kebanyakan
pulau di dunia mengalami epidemi besar konjungtiva hemoragik akut. Negara
lain seperti Cina, India, Jepang, Kuba dan Brazil dilaporkan terjadi pandemik
pada tahun 2006. Kebanyakan epidemik dari konjuntiva hemoragik adalah di
negara berkembang (Mellick dan Orlando, 2014). Sebuah sekolah di Amerika
pernah ditutup untuk mengehentikan epidemi penyakit ini (Vaughan, 2010).
Konjungtiva hemoragik dapat terjadi pada seluruh kelompok umur,
tetapi angka kejadiannya meningkat seiring bertambahnya usia seseorang
(Kaimbo, 2008). Virus ini ditularkan melalui kontak erat dari orang ke orang
dan oleh benda-benda penular seperti seprai, alat-alat optik yang
terkontaminasi, dan air (Ilyas, 2008).

F. Etiologi
Konjungtiva hemoragik dapat terjadi bila:
1. Berulang kali mengucek-ucek mata yang dapat mengakibatkan lecet pada
konjungtiva, tetapi ada kalanya pembuluh darah ikut terkena sehingga
pembuluh darah kecil ini pecah dan mengeluarkan darah.
2. Trauma yang berhubungan dengan perdarahan retrobulbar atau ruptur bola
mata. Bekas pukulan atau kemasukan benda asing dapat mengakibatkan
robeknya konjungtiva dan pembuluh darah ikut robek serta mengeluarkan
darah.
3. Disebabkan oleh virus pikorna, enterovirus tipe 70 dan sesekali oleh
coxsackievirus A24 (Vaughan, 2010). Virus ini ditularkan melalui kontak
erat dari orang ke orang dan oleh benda-benda penular seperti seprai, alat-
alat optik yang terkontaminasi, dan air (Ilyas, 2008).
4. Pasien memiliki riwayat hipertensi, dimana naiknya tekanan darah yang
dapat mengakibatkan tahanan pembuluh kapiler bertambah, akibatnya
pembuluh kapiler tidak mampu menahan tingginya tekanan sehingga
akhirnya pecah.
5. Manuver Valsava seperti batuk, tegang, muntah, bersin. Batuk, tegang,
muntah dan bersin yang terus-menerus dapat mengakibatkan naiknya
tekanan pembuluh darah setempat terutama di daerah leher dan kepala
sehingga kapiler mata menjadi pecah.
6. Gangguan perdarahan yang terjadi berulang pada pasien usia muda tanpa
adanya riwayat trauma atau pun infeksi, termasuk penyakit hati atau
hematologik, diabetes, lupus eritematosus, parasit dan defisiensi vitamin C.
Kelainan pada komposisi darah mengakibatkan konsentrasi darah jauh lebih
rendah yang berakibat terjadi perubahan tekanan hidrostatik pembuluh
darah sehingga darah merembes keluar dari dalam pembuluh darah.
7. Penggunaan lensa kontak.
8. Konjungtivokhalasis yaitu relaksasi dinding pembuluh darah konjungtiva
diduga menjadi salah satu faktor risiko konjuntiva hemoragik.

G. Patofisiologi
Konjungtiva merupakan lapisan pelindung terluar dari bola mata.
Konjungtiva mengandung serabut saraf dan sejumlah besar pembuluh darah
yang halus. Pembuluh-pembuluh darah ini umumnya tidak terlihat secara kasat
mata kecuali bila mata mengalami peradangan. Pembuluh-pembuluh darah di
konjungtiva cukup rapuh dan dindingnya mudah pecah sehingga
mengakibatkan terjadinya perdarahan konjungtiva (Ilyas, 2008).
Perdarahan konjungtiva tampak berupa bercak berwarna merah terang
di sklera. Karena struktur yang halus, sedikit darah dapat menyebar secara difus
di jaringan ikat konjungtiva dan menyebabkan eritem difus. Perdarahan
berkembang secara akut. Secara klinis, konjungtiva hemoragik tampak sebagai
perdarahan yang biasa, berwarna merah, dan dapat menjadi cukup berat hingga
menyebabkan kemosis yang akan menonjol di atas kelopak mata. Perdarahan
ini dapat terjadi secara spontan, trauma maupun infeksi. Perdarahan yang
berasal dari pembuluh darah konjungtiva atau episklera bermuara ke ruang
konjungtiva (Graber, 2000).

H. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis konjungtiva hemoragik dibuat berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Riwayat pasien harus jelas apakah terdapat trauma, atau
idiopatik, apakah terdapat hipertensi dan kelainan koagulasi (Graham, 2009).
Penyakit ini memiliki masa inkubasi yang pendek sekitar 8-48 jam dan
berlangsung singkat selama 5-7 hari (Vaughan, 2010).
Melalui pemeriksaan fisik harus memeriksa visus pasien, apakah
terdapat penurunan visus atau visus pasien baik-baik saja. Meskipun hanya
terdapat perdarahan di konjungtiva tetapi pemeriksaan visus tetap harus
dilakukan. Selain itu pemeriksaan pupil dilakukan untuk melihat adakah defek
pupil. Bila perlu, lakukan pemeriksaan slit lamp (Graham, 2009).
Gejala dan tanda yang biasa dirasakan berupa nyeri, fotofobia, sensasi
benda asing, banyak mengeluarkan air mata, kemerahan, edema palpebra, dan
perdarahan subkonjungtiva. Kadang-kadang juga terjadi kemosis. Perdarahan
subkonjungtiva umumnya difus, tetapi awalnya dapat berupa bintik-bintik
(ptekiae), dimulai dari konjungtiva bulbaris superior dan menyebar ke bawah.
Kebanyakan pasien mengalami limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva,
dan keratitis epitel. Uveitis anterior dapat terjadi tetapi sangat jarang (Vaughan,
2008).
Tanda lain yang dirasakan adalah kedua mata iritatif, seperti kelilipan,
nyeri periorbita. Edema kelopak, kemosis konjungtiva, sekret seromukus,
fotofobia disertai lakrimasi. Terdapat gejala akut dimana ditemukan adanya
konjungtiva folikular ringan, nyeri periorbita, keratitis.. Pada tarsus konjungtiva
terdapat hipertrofi folikular dan keratitis epitelial kransien yang berkurang
spontan dalam 3-4 hari. Sitologi yang ditemukan adalah limfosit (Ilyas, 2008).
I. Diagnosis Banding
1. Konjungtivitis viral
2. Konjungtivitis alergi
3. Perdarahan subkonjungtiva

J. Penatalaksanaan
Penyembuhan terjadi dalam 5-7 hari dan tidak ada pengobatan yang
dibutuhkan (Vaughan, 2010). Penyakit ini dapat sembuh sendiri (self limiting
disease) sehingga pengobatan yang diberikan hanyalah pengobatan yang
bersifat simptomatis. Pengobatan antibiotika spektrum luas dan sulfasetamid
dapat digunakan untuk mencegah infeksi sekunder (Ilyas, 2008).
Pencegahan adalah dengan mengatur kebersihan untuk mencegah
penularan (Ilyas, 2008). Edukasi pasien merupakan hal yang penting untuk
menjaga higienitas dan menghindari kontak dengan penderita (Mellick,
Orlando, 2015). Penyakit ini sembuh tanpa sekuele, dan mempunyai prognosis
visual yang baik. Terapi dengan steroid topikal harus dihindari karena dapat
mengakibatkan infeksi sekunder mikrobial kornea yang membutuhkan
antimikroba yang efektif. Kompres hangat dapat dilakukan (Plechaty, et al.,
2015).
Konjungtiva hemoragik harus segera dirujuk ke spesialis mata apabila
ditemukan kondisi:
1. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan
2. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau sulit untuk
melihat)
3. Terdapat riwayat gangguan perdarahan
4. Riwayat hipertensi
5. Riwayat trauma pada mata
K. Komplikasi
1. Ulkus kornea sekunder

2. Bila perdarahan konjungtiva menetap atau mengalami kekambuhan


didapatkan kesimpulan bahwa konjungtiva hemoragik merupakan awal dari
limfoma adneksa okuler (Riordan dan Whitcher, 2009)

L. Prognosis
Secara umum prognosis dari konjungtiva hemoragik adalah baik.
Karena sifatnya yang self-limited disease. Namun untuk keadaan tertentu
seperti sering mengalami kekambuhan, persisten atau disertai gangguan
pandangan maka dianjurkan untuk dievaluasi lebih lanjut lagi (Sjukur, 2012).
III. LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
1. Nama : Tn. Sandhiatma Kasmin
2. Usia : 68 tahun
3. Jenis kelamin : Laki-laki
4. Pekerjaan : Petani
5. Alamat : Pagelarang RT 002/003, Kemranjen

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Mata kiri merah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Mata Rumah Sakit Margono Soekarjo
pada hari Selasa, 12 April 2016 dengan keluhan mata merah di mata sebelah
kiri sejak 2 hari sebelum datang ke poliklinik. Kemerahan pada mata merah
ini dirasakan awalnya hanya sedikit lalu menjadi semakin banyak. Merah
pada mata ini dirasakan terus-menerus sepanjang hari. Keluhan mata merah
ini dirasakan semakin hari semakin tidak nyaman bagi pasien. Sebelumnya,
pada hari Minggu, pasien mengatakan mata kirinya terkena semut. Setelah
terkena semut pasien merasakan matanya gatal lalu dikucek-kucek hingga
memerah.
Selain mengeluhkan mata merah, pasien juga mengeluhkan mata
kirinya mengeluarkan air tetapi tidak nyerocos, mata kiri dirasakan terasa
perih. Pasien mengatakan matanya terasa mengganjal. Pasien menyangkal
adanya pandangan kabur, tetapi bila melihat jauh seperti melihat lampu,
melihat silau disangkal. Keluhan mata kering, pusing, mual, muntah, batuk,
pilek disangkal. Pasien belum menggunakan obat tetes mata.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat darah tinggi dan terkontrol dengan berobat
ke Puskesmas. Pasien menyangkal keluhan serupa sebelumnya, riwayat
kencing manis, alergi, asma, konsumsi obat tertentu selain anti hipertensi
dalam jangka waktu lama, riwayat penggunaan kacamata, riwayat operasi,
maupun riwayat trauma mata.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa, darah
tinggi, kencing manis, alergi, maupun asma.
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani tetapi jarang menggunakan alat
pelindung mata seperti kacamata atau caping.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : Tekanan darah 130/90 mmHg
Nadi 88 kali.menit
Frekuensi pernapasan 22 kali/menit
Suhu 36,5°C
Status ophtalmologik
Tabel 3.1 Status Oftalmologi
Pemeriksaan Mata Kanan Mata Kiri
Visus 0,5 0,3
Visus
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kacamata
Visus Koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Eksoftalmus (-), gerak ke segala Eksoftalmus (-), gerak ke
Bola Mata
arah (+) segala arah (+)
Madarosis (-), krusta (-), Madarosis (-), krusta (-),
Silia
skuama (-), trikiasis (-) skuama (-), trikiasis (-)
Palpebra Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),
Superior ptosis (-) ptosis (-)
Palpebra Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),
Inferior entropion (-), ektropion (-) entropion (-), ektropion (-)
Konjungtiva Edem (-), hiperemis (-), sekret Edem (-), hiperemis (-), sekret
Palpebra (-) (-)
Edem (-), hiperemis (-), sekret Edem (-), hiperemis (+), sekret
Konjungtiva
(-), injeksi konjungtiva (-), (-), injeksi konjungtiva (+),
Bulbi
injeksi silier (-) injeksi silier (-)
Ikterik (-), injeksi episklera
Sklera Ikterik (-), injeksi episklera (-)
(+)
Jernih (+), edem (-), infiltrat (-), Jernih (+), edem (-), infiltrat (-
Kornea
ulkus (-) ), ulkus (-)
Bilik Mata COA dalam, jernih, hifema (-), COA dalam, jernih, hifema (-
Depan hipopion (-) ), hipopion (-)
Cokelat gelap, reguler, kripte (- Cokelat gelap, reguler, kripte
Iris
), sinekia (-) (-), sinekia (-)
Bulat, isokor, refleks cahaya (+) Bulat, isokor, refleks cahaya
Pupil
3 mm (+) 3 mm
Lensa Jernih, shadow test (-) Jernih, shadow test (-)
Refleks
(+) cemerlang (+) cemerlang
Fundus
Korpus
Tidak dinilai Tidak dinilai
Vitreus
Tekanan
Normal (digitalis) Normal (digitalis)
Intraokuli
Sistem
Nyeri tekan (-), edema (-), Nyeri tekan (-), edema (-),
Kanalis
hiperemis (-) hiperemis (-)
Lakrimalis
Gambar 3.1 Mata Kiri Pasien dengan Konjungtiva Hemoragik

D. Ringkasan Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


1. Identitas: Tn. Sandhiatma Kasim (68 tahun)
2. Keluhan Utama
Mata kiri merah
3. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Onset : 2 hari yang lalu
b. Lokasi : Mata kiri
c. Kualitas : Awalnya sedikit menjadi banyak, mengganggu
kenyamanan pasien
d. Kuantitas : Dirasakan terus-menerus sepanjang hari
e. Faktor pemberat : Tidak ada
f. Faktor peringan : Tidak ada
g. Kronologis
Awalnya pasien terkena semut, kemudian merasa gatal dan dikucek.
Awalnya merah hanya sedikit menjadi banyak, berair.
h. Keluhan penyerta
Gatal, mengeluarkan air tetapi tidak nyerocos, mengganjal, terasa perih,
bila melihat jauh seperti melihat lampu, pandangan kabur (-), mual (-),
muntah (-), pilek (-), batuk (-), mata kering (-), pusing (-), silau (-)
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa (-), hipertensi (+), DM (-), alergi (-), asma (-), riwayat
operasi (-), riwayat penggunaan kacamata (-), riwayat trauma (-)
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa (-),hipertensi (+), DM (-), alergi (-), asma (-)
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah petani dan sering terpapar sinar matahari tanpa alat pelindung.
7. Pemeriksaan Fisik
KU/Kes: baik/CM
TD 130/90 mmHg, Nadi 88 kali/menit, RR 22 kali/menit, S 36,5°C
8. Pemeriksaan Status Lokalis Mata
a. OD: tidak ada keluhan
VOD: 0,5
b. OS:
VOS: 0,3

E. Diagnosis
1. Diagnosis Diferensial
a. Oculi Sinistra Konjungtiva Hemoragik
b. Oculi Sinistra Konjungtivitis Alergi
c. Oculi Sinistra Konjungtivitis Virus
2. Diagnosis Kerja
Oculi Sinistra Konjungtiva Hemoragik

F. Terapi
1. Medikamentosa
a. Triaxitrol eye drop 3x1 tetes mata kiri
b. Nelydex tetes mata 3x1 tetes mata kiri
2. Non Medikamentosa
a. Kompres hangat
b. Edukasi tentang penyakit mulai dari gejala sampai pengobatan
c. Edukasi pencegahan
d. Hindari kontak langsung
e. Menjaga higienitas
G. Prognosis
OD OS
Quo ad visam Ad bonam Ad bonam
Quo ad sanam Ad bonam Ad bonam
Quo ad vitam Ad bonam
Quo ad cosmeticam Ad bonam

H. Usulan/Rencana
Rujuk ke dokter spesialis mata untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
IV. KESIMPULAN

1. Konjungtiva hemoragik atau dikenal dengan konjungtiva hemoragik akut


merupakan konjungtivitis disertai dengan timbulnya perdarahan
subkonjungtiva.
2. Penyebab konjungtiva hemoragik adalah mengucek-ucek mata, trauma, virus
pikorna, enterovirus tipe 70 dan sesekali oleh coxsackievirus A24, riwayat
hipertensi, manuver Valsava, gangguan perdarahan, penggunaan lensa kontak,
konjungtivokhalasis.
3. Diagnosis konjungtiva hemoragik dibuat berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
4. Diagnosis Banding adalah konjungtivitis viral, konjungtivitis alergi, dan
perdarahan subkonjungtiva.
5. Konjungtiva hemoragik dapat sembuh sendiri. Pengobatan yang diberikan
bersifat simptomatis. Pencegahan adalah dengan mengatur kebersihan dan
menghindari kontak dengan penderita.
6. Komplikasinya adalah ulkus kornea sekunder, limfoma adneksa okuler.
7. Prognosis dari konjungtiva hemoragik adalah baik.
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthalmology Staff. 2015. Anatomy. In: Fundamentals dan


Principles of Opthalmology. Basic and Clinical Science Course, Chapter 1,
Section 2. San Fransisco: AAO: 34-35.

Asbury T., Sanitato J. J. 2007. Trauma dalam Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta:
Widia Medika.

Grabber, M. A., Toth P. P. Herting R. L. 2000. Buku Saku Dokter Keluarga


Universitas Lowa. Jakarta: EGC.

Ilyas, Sidarta. 2008. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: FK UI.

Kaimbo, D., Kaimbo W. 2008. Epidemiology of Conjunctival Hemorrhage. Congo:


Congo.

Mellick, Larry, Tara Orlando. 2015. Pearls & Pitfalls - Acute Hemorrhagic
Conjunctivitis. Available at: https://www.acep.org/content.aspx?id=83280.
Diakses pada Selasa, 19 April 2016 pukul 19.00.

Mimura, T., Usui T., Yamagami S. 2009. Recent Causes of Conjunctival


Hemorrhage. Jepang: Ophtalmologika.
Plechaty, George, Simon K. Law, Christopher J. Rapuano, Hampton Roy, Fernando
H. Murillo-Lopez. 2015. Acute Hemorrhagic Conjunctivitis. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1203216-medication. Diakses pada
Selasa, 19 April 2016 pukul 20.05.

Sjukur B. A., Yogiantoro M. 2012. Konjungtiva. Dalam: Pedoman Diagnosis dan


Terapi Penyakit Mata. Jakarta: Balai Pustaka

Vaughan, Daniel G. 2010. Oftalmologi Umum. Jakarta: Widia Meka.

Anda mungkin juga menyukai