Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
PENDAHULUAN
Kulit diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai estetika dan perlindungan bagi
tubuh manusia. Kulit adalah organ terbesar yang dimiliki oleh manusia, dengan berat 5 kg
dan luas 2 m2 pada seseorang dengan berat badan 70 kg. kulit merupakan organ yang esensial
dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit sangat kompleks, elastis
dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga sangat
Penyakit kulit masih menjadi masalah bagi sebagian besar daerah di Indonesia. Hal ini
dibuktikan dengan adanya prevalensi penyakit kulit infeksi dan penyakit kulit alergi
cenderung menetap. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu lima tahun
terakhir penyakit kulit di Indonesia masuk dalam urutan sepuluh besar. Prevalensi di kota
Jambi penyakit kulit alergi sebesar 42.600 kasus (2015)2, kota Palu sebesar 11.363 kasus
(2016)5, Buton sebesar 4.477 kasus (2015)1, Manado sebesar 4.477 kasus (2015)4, Nusa
Tenggara Barat sebesar 72.377 kasus (2016)7, kota Madiun sebesar 2.817 kasus (2016)3, dan
Menurut BPS kota Madiun penyakit kulit alergi menyumbangkan 2.817 kasus pada
anak usia 5-14 tahun dan 6.052 kasus pada usia 55 tahun ke atas pada tahun 2016.3
steroid dikeluarkan pada bagian korteks, yaitu glukokortikoid (kortisol dan kortikosteron)
yang dikeluarkan pada zona fasikulata dan mineralokortikoid (aldosteron) yang dikeluarkan
Kortikosteroid sistemik (KS) sangat bermanfaat dalam bidang Dermatologi karena obat
1
dapat digunakan pada penyakit pemphigus, penyakit alergi, lupus eritematous sistemik,
Menurut Thohiroh dan Zulkarnain pada tahun 2017, Kortikosetroid Oral digunakan pada 40
(7.2%) pasien anak di Divisi Dermatologi Anak URJ Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo
1.3 Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1 Histologi Kulit. superficial reactive unit (SRU), Epidermis (E), junction zone (J),
dan papillary body (PB) dengan superficial plexus microvascular. dermal reactive unit (DRU)
terdapat reticular dermis (RD) dan the deep dermal microvascular plexus (DVP). Subcutaneous
reactive unit (S) lobulus (L) dan septa (Sep), A(rambut), HF (Hair folicle), (Sumber
kepustakaan nomor 9)
2.1 Anatomi kulit dan Fisiologi Kulit
Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti perlindungan
terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik maupun pengaruh kimia, serta
mencegah kelebihan kehilangan air dari tubuh dan berperan sebagai termoregulasi. Kulit
bersifat lentur dan elastis yang menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan 15% dari
total berat badan orang dewasa. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi tubuh dari
kehilangan cairan elektrolit, trauma mekanik dan radiasi ultraviolet, sebagai barier dari invasi
mikroorganisme patogen, merespon rangsangan sentuhan, rasa sakit dan panas karena
terdapat banyak ujung saraf, tempat penyimpanan nutrisi dan air yang dapat digunakan
apabila terjadi penurunan volume darah dan tempat terjadinya metabolisme vitamin D.12
3
Kulit terdiri dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang
merupakan lapisan epitel dan lapisan dalam yaitu dermis yang merupakan suatu lapisan
jaringan ikat.12
Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel berlapis bertanduk,
mengandung sel malonosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada
berbagai tempat di tubuh, paling tebal terdapat pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan
Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam)
yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum
Dermis
Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan, dermis terutama
terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen
akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Sedangkan serabut elastin terus
meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali dari
fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen akan saling bersilang dalam jumlah yang besar
dan serabut elastin akan berkurang mengakibatkan kulit terjadi kehilangan kelenturanannya
Di dalam dermis terdapat folikel rambut, papilla rambut, kelenjar keringat, saluran
keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf dan
sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit.12
4
Subkutis
Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri dari lapisan lemak.
Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan
di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah tubuh dan keadaan nutrisi
2.2 Definisi
yang memiliki efek utama terhadap penyimpanan glikogen pada hepar dan memikiki efek
alami. Dan yang kedua adalah golongan mineralokortikoid merupakan kortikosteroid yang
mempunyai aktivitas utama menahan garam dan mengontrol keseimbangan air dan elektrolit.
Umumnya golongan ini tidak mempunyai efek anti-inflamasi yang berarti, sehingga jarang
5
2.3 Farmakologi
Stuktur dari kortikosteroid yaitu ikatan rantai 21 (C21), dengan inti cyclophenanthrene
empat cincin dan rantai samping. Empat cincin tersebut diberi nama mulai dari huruf A
sampai dengan huruf D, dengan tiga cincin memiliki enam anggota dan satu cincin dengan
lima anggota. Kortikosteroid sintetis yang digunakan adalah kortisol atau hidrokortison
alami. Kortison merupakan kortikosteroid pertama yang dilakukan penelitian untuk penyakit
kulit namun tidak memiliki aktivitas topikal. Kemudian hidokortison dikembangkan dengan
melakukan pengurangan gugus karbonil pada rantai nomor 11 (C11), yang merupakan
Setalah itu, dilakukan pengembangan ikatan rangkap antara rantai nomor 4 (C4) dan
rantai nomor 5 (C5) dan gugus keto pada rantai nomor 3 (C3) memberikan sifat
sintetis memiliki gugus -OH pada posisi rantai nomor 21 (C21) pada cincin D seperti pada
molekul kortikosteroid alami. Pengenalan ikatan rangkap antara rantai nomor 1 (C1) dan
rantai nomor 2 (C2) meningkatkan aktivasi glukokortikoid dan menurunkan laju inaktivasi
metabolisme, yang terbentuk melalui penyisipan ikatan rangkap rantai nomor 1-2 (C1-2)
sampai hidrokortison, memiliki aktivitas anti-inflamasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan
6
2.4 Penggunaan kortikosteroid sistemik pada Pemphigus Bullosa
Pemphigus Bulosa merupakan penyakit inflamasi kronis autoimun yang terdapat pada
kulit, oral, okular, genital, nasofaring, esophagus dan membran mukosa laring yang ditandai
dengan timbulnya bula subepidermal. Penyakit ini paling sering timbul pada orang tua yang
ditandai gejala klinis berupa pruritus, urtikaria, dan bula yang mengeras. Gambaran klinis
pada lesi kulit pemphigus bullosa adalah lesi luas, bula berdinding tegang yang timbul pada
kulit normal atau eritematosa, hemorargik, eksudat, Nikolsky’s sign negatif. Bula yang timbul
biasanya simetris dan bertahan selama beberapa hari sehingga dapat terjadi erosi dikemudian
Prevalensi pemphigus bulosa tersering pada pasien usia lebih dari 60 tahun dengan
puncak insidensi pada usia 80 tahun atau lebih. Etiologi pemphigus bullosa adalah autoimun,
tetapi faktor pencetus yang memperngaruhi penyakit ini belum banyak diketahui secara
pasti.13
Faktor-faktor yang dapat memicu penyakit ini antara lain trauma, suhu panas, luka
bakar, radioterapi dan radiasi sinar ultraviolet (UV). Pada sebagian kasus pemphigus bullosa
dapat timbul akbat obat seperti furosemide, sulfasalazine, penisilamin, dan kaptopril.15
dan usia pasien. Pengobatan imunosupresif merupakan modalitas pengobatan yang utama.
Pada kasus ringan sampai dengan sedang, kortikosteroid topikal dapat digunakan, sedangkan
Kortikosteroid sistemik juga dapat digunakan jika tidak didapatkan perubahan pada
gambaran klinis atau berkembang menyerang okular, nafaring, esofagus atau laring.13,15
Kortikosteroid oral yang dapat diberikan pada penderita pemphigus bullosa adalah
prednisone dengan dosis 0.75-1.0 mg/kg/hari atau dapat digunakan rentang dosis prednisone
7
yaitu 40-60 mg per hari. pada anak, pilihan utamanya adalah topikal kortikosteroid, tetapi
pada kasus yang berat atau resisten terhadap topikal kortikosteroid, kortikosteroid sistemik
padanya perbaikan lesi, kemudian dilakukan tapering off. Cara yang digunakan adalah
penurunan dosis prednisone 5 mg per minggu untuk mencapai dosis 30 mg. kortikosteroid
sistemik bersifat immunosupresif akan memberikan efek supresi pembentukan lepuh pada
peningkatan dosis dan lama pemberian. Efek samping yang perlu diawasi adalah
osteoporosis. Pemantauan, lama pemberian, dan dosis kortikosteroid dapat menurunkan efek
13,15
samping obat.
dan F. C. Johnson pada tahun 1922 di kota New York. SJS ditemukan pertama kali pada dua
orang anak yang mengalami penyakit yang diperantarai oleh bakteri. Pada tahun 1956, A.
Lyell menggunakan istilah Nikrolisis Epidermal Toksik (NET) pada chafed-looking pada
kulit yang diderita oleh ke empat pasiennya. Penyakit ini muncul oleh karena adanya toxin.
Pada tahun 1956, istilah NET digunakan oleh Lang dan Walker.8
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) memiliki proses
patologis yang sama. SJS dan NET merupakan kelainan kulit berat ditandai oleh bula di kulit
bersifat akut dan erosi membran mukosa. Data insidensi kasus SSJ dan NET yakni 2,6-7,1
8
Mekanisme terjadi nya SJS dan NET masih belum jelas. Pada lesi terjadi reaksi
yang terjadi melibatkan sel NK dan del limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat
penyebab. Berbagai mediator inflamasi yang terlibat dalam patogenesis penyakit ini antara
lain IL-6, TNF-, IFN-, IL-18, Fas-L, granulisin, perforin, granzim-B. sebagian besar SJS
dan NET disebabkan oleh alergi obat. Berbagai obat yang dilaporkan merupakan penyebab
SJS dan NET seperti sulfonamide, anti-kejang, allopurinol, anti-inflamasi non-steroid dan
nevirapin. Pada beberapa obat tertentu, misalnya karbamazepin dan allopurinol, faktor
genetic yaitu system HLA berperan pada proses terjadinya SJS-NET. Infeksinya juga dapat
menjadi penyebab SJS-NET, namun tidak sebanyak kasus eritema multiforme; misalnya
yakni SSJ, SSJ overlap NET, dan NET. SSJ luasnya kerusakan epidermal kurang dari 10%,
SSJ overlap NET luasnya kerusakan epidermal antara 10-30%, dan NET luas kerusakan
epidermal lebih dari 30%. SSJ dan NET membutuhkan pertolongan kegawat daruratan cepat
dan tepat.14,8
Gejala prodromal SJS dan NET antara lain fever, malaise, anorexia, faringitis dan sakit
kepala yang dirasakan 2-3 hari, gejala ini dapat bertahan hingga 10-11 hari. Gejala awal yang
9
dapat muncul lesi mukosa dan kemudian muncul lesi kulit. Mukosa yang sering terkena yaitu
konjungtiva dan mukosa oral berupa eritema dan erosi. Selain itu dapat juga ditemukan erosi
pada mukosa genital Lesi pada kulit tersebar secara simetris pada wajah badan dan bagian
proksimal ekstremitas, berupa macula eritematosa dan purpura, selain itu dapat dijumpai lesi
target. Lesi pada kulit ini dapat berkembang menjadi nekrotik seiring berjalannya waktu,
sehingga dapat timbul bula yang mudah pecah sehingga dapat ditemukan Nikolsky sign
positif. Keterlibatan organ dalam juga dapat terjadi, namun jarang, misalnya paru, saluran
Prognosis SJS dan TEN dapat dinilai dari Score of Toxic Epidermal Nekrolisis
(SCORTEN) menurut Bastuji-Garin dkk. antara lain dapat dilihat pada tabel 1.
SJS dan NET merupakan penyakit yang mengancam nyawa dan membutuhkan
tatalaksana yang optimal berupa deteksi dini dan penghentian obat penyebab, serta perawatan
suportif yang dilaksanakan di rumah sakit dengan ruangan khusus. Perawatan suportif
optimal 28-30 C, nutrisi makanan yang cukup dan sesuai kebutuhan, perawatan kulit secara
10
Penggunaan medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid sistemik, hasilnya masih
sangat beragam, sehingga penggunaannya belum dapat dianjurkan. Pada ruang rawat Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM adalah menggunakan kortikosteroid sistemik pada
setiap kasus SJS dan NET dan didapatkan hasil yang cuckup baik pada periode 2010-2013.12
Penelitian pada tahun 2016 yang dilakukan Rahmawati dan Indramaya. Dari 37 pasien
SSJ dan NET mendapatkan terapi dexametason dengan dosis 0,15-0,2 mg/KgBB/hari dan
berdasarkan dari perbaikan kondisi pasien. Titik tangkap penggunaan kortikosteroid pada SJS
dan NET berdasar pada patogenesis dari SSJ dan NET yang merupakan reaksi alergi tipe
empat (reaksi imun tipe lambat), sedangkan pada penelitian pada 2018 mengungkapkan
datang dengan manifestasi yang mengancam jiwa sistemik pada Sistemik LE (SLE),
sedangkan yang lain mengekspresikan pada lesi kulit yang terdapat pada Discoid LE (DLE).9
Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa dampak manifestasi kulit pada pasien
dengan SLE didahului hanya oleh rasa sakit dan kelelahan yang terkait dengan penyakit
mereka. Malar atau rash butter telah dilaporkan pada penelitian kohort sebesar 20-60%
Patogenesis penyakit kulit LE-specific tidak dapat dipisahkan dengan patogenesis SLE.
Sederhananya, SLE adalah gangguan di mana interaksi antara faktor host (faktor keturunan,
lingkungan hormonal) dan faktor lingkungan [radiasi sina ultraviolet (UV), virus, dan obat-
obatan] menyebabkan hilangnya toleransi diri, dan induksi autoimunitas. Ini diikuti oleh
11
aktivasi dan perluasan sistem kekebalan tubuh, dan menimbulkan cedera imunologis pada
pada pasien dengan LE pada kulit. Methilprednisolon secara intravena telah digunakan pada
penyakit kulit dan gejala yang berat. Dalam kasus akut, dosis harian harian glukokortikoid
oral (prednisone, 20-40 mg/hari, diberikan sebagai dosis pagi tunggal). Dosis harus dikurangi
pada waktu sedini mungkin karena komplikasi terapi glukokortikoid jangka panjang,
terutama efek samping avascular bone necrosis yang sering terjadi pada LE. 9
Karena kehilangan tulang yang diinduksi steroid terjadi paling cepat dalam 6 bulan
pertama. Ketika aktivitas penyakit dikontrol, dosis harian harus dikurangi dengan
pengurangan 5-10 mg atau hingga dosis harian 20 mg/hari telah tercapai. Dosis harian
kemudian harus diturunkan dengan pengurangan 2,5 mg. Terapi glukokortikoid belum
berhasil dalam menekan aktivitas penyakit pada kebanyakan pasien pada SLE. Penggunaan
prednisolone harus diperhatikan pada pasien yang memiliki penyakit hepar, karena prednison
membutuhkan hidroksilasi di hati untuk menjadi aktif secara biologis. Setiap jumlah
prednison yang diberikan sebagai dosis oral tunggal di pagi hari memiliki aktivitas yang
rendah untuk menekan kelenjar adrenal. Obat dapat digunakan dalam dosis terbagi karena
memiliki aktivitas LE-suppressing yang lebih besar daripada jumlah obat yang sama yang
lambat. Reaksi reversal memiliki sinonim “upgrading”, merupakan hasil dari perkembangan
dari reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Gambaran klinis reaksi HS tipe lambat terjadi karena
konversi tiba-tiba plak torpid ke lesi tumid, dan lesi tumor baru yang timbul pada kulit dan
12
dapat terjadi tanpa adanya gejala neuritis. Warna eritematus yang berwarna keunguan
Gangguan yang terjadi pada saraf antara lain Iritis dan lymphedema yang dapat muncul
secara bersamaan. Neuritis dapat menyebabkan berkurangnya persepsi nyeri dan pada kasus
yang parah dapat mengakibatkan hilangnya sensasi rasa nyeri. Hal ini disebut sebagai "Glove
Stocking Pattern” yang terjadi gangguan sensorik. Selain kehilangan sensasi pada saraf dapat
Kehilangan fungsi motorik dengan keterlibatan saraf mototik pada bagian lengan dan kaki
bagian distal. 9
Eritema Nodosum Leprosi adalah respon spesifik lepra, yang memiliki beberapa
gambaran klinis dan histologis. Hal ini dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah
kemoterapi. Secara klinis, reaksi ini ditandai dengan bercak-bercak yang terasa nyeri dan
lunak, berwarna merah muda pada lapisan dermis dan subkutan. Gejala lain yang dapat
muncul antara lain demam, anoreksia, dan malaise. Arthralgia dan arthritis lebih sering
terjadi pada ENL daripada neuritis, adenitis, orkitis/epididimitis, atau iritis. Lesi pada
ekstremitas superior dan inferior dapat menjadi targetoid, vesikuler, pustular, ulseratif, atau
nekrotik. 9
Fenomena Lusio biasanya terjadi akibat infark hemorargik pada kulit. Fenomena lusio
memiliki prevalensi tertinggi di kota Mexico dan Caribbean. Gambaran klinis pada kulit
berupa infiltrasi difus, warna keunguan pada ekstremitas, telangiektasis, perforasi septum
nasal, alopesia total, dan glove stocking yang terjadi akibat gangguan pada saraf. 9
Lusio pada Morbus Hansen menurut Goldsmith et al pada tahun 2012 reaksi yang muncul
tersebut dapat diterapi menggunakan Prednison atau Prednisolon dengan dosis 0.5-1 mg/kg.
Pada reaksi reversal penggunaan prednisone atau prednisolone bersama Rifampisin dapat
meningkatkan katabolisme, sehingga untuk menghindari hal ini tapering off kortikosteroid
13
dapat dilakukan. Pada ENL, penggunaan kortikosteroid prednison atau prednisolone dapat
digunakan jika ketersediaan obat thalidomide belum memadahi. Sedangkan, pada fenomena
lusio penggunaan kortikosteroid dapat digunakan untuk membantu mengurangi gejala yang
muncul. 9
Urtikaria dalah lesi pada kulit yang terdiri atas wheal and flare reaction yang terdapat
pada edema intrakutan yang dikelilingi oleh makula eritematosa yang bersifat gatal. Penderita
dapat merasakan gatal selama 30 menit sampai 36 jam. Gambaran urtikaria tampak mulai
Faktor-faktor yang dapat terlibat pada urtikaria antara lain usia, ras, jenis kelamin,
pekerjaan, lokasi geografik, dan musim pada daerah tertentu. Prevalensi urtikaria pada siswa
sekolah sekitar 15-20%. Urtikaria dapat muncul mulai dari usia 9 tahun pada anak-anak dan
14
Urtikaria akut dapat terjadi dalam waktu kurang dari 6 minggu. Episode akut ini dapat
muncul akibat reaksi alergi pada pengobatan atau makanan, sedangkan urtikaria kronis dapat
dosis maximal. Pengobatan steroid dapat digunakan, tetapi disarankan tidak melebihi 10 mg
per hari. jika pada evaluasi dapat terjadi perbaikan, dosis steroid haru dilakukan tapering off
setiap 2-3 minggu. Tablet prednisone 1 mg dapat membantu mengobati urtikaria. Pengobatan
urtikaria harus dilakukan evaluasi pada tekanan darah, serum kreatinin, blood gas analysis,
Sindrom Behcet adalah penyakit multisistem berupa proses inflamasi yang tidak
diketahui etiologinya, manifestasi klinis berupa ulkus oral rekuren, ulkus genital rekuren, lesi
kulit, lesi mata, gangguan persendian, saluran cerna, sistem saraf pusat, dan vaskuler.
Sindrom Behcet mulai dikenal tahun 1908 oleh Bluthe yang menjelaskan trias iritis, ulkus
Sindrom Behcet umumnya ada di negara yang berbatasan dengan rute jalur sutera di
Asia Timur seperti Jepang, Korea, China, Irak, Iran, dan Turki. Prevalensi sindrom Behcet
penduduk dan di Iran 80/100.000. Sindrom Behcet biasanya mulai pada usia 30-40 tahun,
rasio wanita dan pria hampir sama. Pria sering memiliki gejala yang lebih berat. 16
Diagnosis sindrom Behcet hanya berdasarkan gejala klinis, belum ada pemeriksaan
laboratorium yang spesifik. Gejala sering rekuren dan dapat terpisah satu sama lain dengan
selang waktu berbeda, dapat menahun, sehingga menyulitkan diagnosis. Terapi dini dapat
15
Tujuan terapi adalah mempercepat proses
penyembuhan dan mencegah gejala
sisa,
mempertahankan remisi agar tidak muncul lesi baru. Terapi lini pertama adalah
cyclophosphamide digunakan pada kasus berat dan kasus relaps. Pengobatan sistemik
Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit keradangan kulit yang kronis, ditandai rasa
gatal ringan sampai berat, bersifat kumat-kumatan, sebagian besar muncul pada saat bayi dan
anak.11
sebesar 10-20% dan pada dewasa sekitar 1-3%. Sebesar 50% kasus DA muncul pada tahun
pertama kehidupan. Prevalensi DA di Asia Tenggara bervariasi antar negara dari 1,1% pada
usia 13-14 tahun di Indonesia sampai 17,9% pada usia 12 tahun di Singapura.11
Berbagai faktor turut berperan pada patogenesis DA, antara lain faktor genetik terkait
dengan kelainan sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor lingkungan. Terdapat
peningkatan transepidermal water loss (TEWL), kulit kering, dan peningkatan kadar serum
IgE pada pasien DA. Kulit kering memudahkan masuknya alergen, iritan, dan keadaan
patologik kulit. Sitokin IL-2, IL-6, dan IL-8 berperan pada pruritus pasien DA. Berdasarkan
gambaran klinis, DA dapat dibagi menjadi bentuk yaitu DA pada bayi (2 bulan-2 tahun),
anak (2–10 tahun), dan dewasa (lebih dari 10 tahun). Gejala utama DA berupa gatal
Steroid oral yang paling banyak diberikan adalah deksametason pada 59 pasien
(86,8%). Pengobatan antibiotik oral yang paling banyak diberikan adalah eritromisin dan
16
kloksasilin pada 4 pasien (40%). Steroid topikal yang paling banyak diberikan adalah
Kortikosteroid sistemik digunakan pada 68 pasien (10,5%), yang paling banyak adalah
kortikosteroid sistemik jangka pendek sampai dengan 6 minggu dengan kombinasi modalitas
lain seperti kortikosteroid topikal maupun kalsineurin inhibitor (contoh: pada eksaserbasi
karena efek samping dan efek rebound yang tinggi. Kortikosteroid sistemik dapat
dipertimbangkan untuk penggunaan jangka pendek pada kasus-kasus tertentu misalnya pada
saat regimen sistemik lain dan fototerapi sedang diberikan secara optimal. 11
17
BAB III
KESIMPULAN
korteks kelenjar adrenal. Dalam Ilmu kesehatan Kulit dan Kelamin penggunaan
kortikosteroid sistemik sangat bermanfaat pada banyak penyakit antara lain pemphigus
bulosa, steven Johnson sindrom, Lupus Eritematosa, Reaksi reversal, ENL, Fenomena lusio
pada morbus hansen, penyakit behcet dan dermatitis atopi, meskipun penggunaan sangat
18