Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kulit diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai estetika dan perlindungan bagi

tubuh manusia. Kulit adalah organ terbesar yang dimiliki oleh manusia, dengan berat 5 kg

dan luas 2 m2 pada seseorang dengan berat badan 70 kg. kulit merupakan organ yang esensial

dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit sangat kompleks, elastis

dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga sangat

bergantung pada lokasi tubuh.12

Penyakit kulit masih menjadi masalah bagi sebagian besar daerah di Indonesia. Hal ini

dibuktikan dengan adanya prevalensi penyakit kulit infeksi dan penyakit kulit alergi

cenderung menetap. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu lima tahun

terakhir penyakit kulit di Indonesia masuk dalam urutan sepuluh besar. Prevalensi di kota

Jambi penyakit kulit alergi sebesar 42.600 kasus (2015)2, kota Palu sebesar 11.363 kasus

(2016)5, Buton sebesar 4.477 kasus (2015)1, Manado sebesar 4.477 kasus (2015)4, Nusa

Tenggara Barat sebesar 72.377 kasus (2016)7, kota Madiun sebesar 2.817 kasus (2016)3, dan

Lamongan sebesar 21.032 kasus (2016)6.

Menurut BPS kota Madiun penyakit kulit alergi menyumbangkan 2.817 kasus pada

anak usia 5-14 tahun dan 6.052 kasus pada usia 55 tahun ke atas pada tahun 2016.3

Pada kelenjar suprarenalis dapat menghasilkan hormone-hormon steroid. Hormon

steroid dikeluarkan pada bagian korteks, yaitu glukokortikoid (kortisol dan kortikosteron)

yang dikeluarkan pada zona fasikulata dan mineralokortikoid (aldosteron) yang dikeluarkan

pada zona gromerulosa).10

Kortikosteroid sistemik (KS) sangat bermanfaat dalam bidang Dermatologi karena obat

tersebut memiliki khasiat sebagai anti-inflamasi dan imunosupresi. Kortikosteroid sistemik

1
dapat digunakan pada penyakit pemphigus, penyakit alergi, lupus eritematous sistemik,

penyakit kusta, urtikaria, dan penyakit kulit lainnya.12

Menurut Thohiroh dan Zulkarnain pada tahun 2017, Kortikosetroid Oral digunakan pada 40

(7.2%) pasien anak di Divisi Dermatologi Anak URJ Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo

Surabaya Periode 2010–2012.17

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana penggunaan kortikosteroid sitemik dalam ilmu Dermatologi ?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui penggunaan kortikosteroid sistemik dalam ilmu Dermatologi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1 Histologi Kulit. superficial reactive unit (SRU), Epidermis (E), junction zone (J),
dan papillary body (PB) dengan superficial plexus microvascular. dermal reactive unit (DRU)
terdapat reticular dermis (RD) dan the deep dermal microvascular plexus (DVP). Subcutaneous
reactive unit (S) lobulus (L) dan septa (Sep), A(rambut), HF (Hair folicle), (Sumber
kepustakaan nomor 9)
2.1 Anatomi kulit dan Fisiologi Kulit

Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti perlindungan

terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik maupun pengaruh kimia, serta

mencegah kelebihan kehilangan air dari tubuh dan berperan sebagai termoregulasi. Kulit

bersifat lentur dan elastis yang menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan 15% dari

total berat badan orang dewasa. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi tubuh dari

kehilangan cairan elektrolit, trauma mekanik dan radiasi ultraviolet, sebagai barier dari invasi

mikroorganisme patogen, merespon rangsangan sentuhan, rasa sakit dan panas karena

terdapat banyak ujung saraf, tempat penyimpanan nutrisi dan air yang dapat digunakan

apabila terjadi penurunan volume darah dan tempat terjadinya metabolisme vitamin D.12

3
Kulit terdiri dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang

merupakan lapisan epitel dan lapisan dalam yaitu dermis yang merupakan suatu lapisan

jaringan ikat.12

Epidermis

Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel berlapis bertanduk,

mengandung sel malonosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada

berbagai tempat di tubuh, paling tebal terdapat pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan

epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit.12

Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam)

yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum

basale (stratum Germinatum).12

Dermis

Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan, dermis terutama

terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen

akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Sedangkan serabut elastin terus

meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali dari

fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen akan saling bersilang dalam jumlah yang besar

dan serabut elastin akan berkurang mengakibatkan kulit terjadi kehilangan kelenturanannya

dan tampak berkeriput.12

Di dalam dermis terdapat folikel rambut, papilla rambut, kelenjar keringat, saluran

keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf dan

sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit.12

4
Subkutis

Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri dari lapisan lemak.

Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan

di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah tubuh dan keadaan nutrisi

individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.12

2.2 Definisi

Kortikosteroid merupakan suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian

korteks kelenjar adrenal. Bagian korteks mengeluarkan hormon-hormon steroid yaitu

glukokortikoid (oleh zona fasikulata) dan mineralokortikoid (oleh zona glomerulosa).10

Kortikosteroid hormonal digolongkan menjadi 2 yaitu glukokortikoid dan

mineralokortikoid. Yang pertama adalah golongan glukokortikoid merupakan kortikosteroid

yang memiliki efek utama terhadap penyimpanan glikogen pada hepar dan memikiki efek

anti-inflamasinya. Prototipnya adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid

alami. Dan yang kedua adalah golongan mineralokortikoid merupakan kortikosteroid yang

mempunyai aktivitas utama menahan garam dan mengontrol keseimbangan air dan elektrolit.

Umumnya golongan ini tidak mempunyai efek anti-inflamasi yang berarti, sehingga jarang

digunakan. Mineralokortikoid yang terpenting pada manusia adalah aldosterone.10

5
2.3 Farmakologi

Gambar 2. Struktur kimia kortikosteroid, (Kepustakaan nomor 10)

Stuktur dari kortikosteroid yaitu ikatan rantai 21 (C21), dengan inti cyclophenanthrene

empat cincin dan rantai samping. Empat cincin tersebut diberi nama mulai dari huruf A

sampai dengan huruf D, dengan tiga cincin memiliki enam anggota dan satu cincin dengan

lima anggota. Kortikosteroid sintetis yang digunakan adalah kortisol atau hidrokortison

alami. Kortison merupakan kortikosteroid pertama yang dilakukan penelitian untuk penyakit

kulit namun tidak memiliki aktivitas topikal. Kemudian hidokortison dikembangkan dengan

melakukan pengurangan gugus karbonil pada rantai nomor 11 (C11), yang merupakan

kortikosteroid topikal pertama dan digunakan terus dalam praktik kulit.10

Setalah itu, dilakukan pengembangan ikatan rangkap antara rantai nomor 4 (C4) dan

rantai nomor 5 (C5) dan gugus keto pada rantai nomor 3 (C3) memberikan sifat

glukokortikoid dan mineralokortikoid pada molekul kortikosteroid. Sebagian besar molekul

sintetis memiliki gugus -OH pada posisi rantai nomor 21 (C21) pada cincin D seperti pada

molekul kortikosteroid alami. Pengenalan ikatan rangkap antara rantai nomor 1 (C1) dan

rantai nomor 2 (C2) meningkatkan aktivasi glukokortikoid dan menurunkan laju inaktivasi

metabolisme, yang terbentuk melalui penyisipan ikatan rangkap rantai nomor 1-2 (C1-2)

sampai hidrokortison, memiliki aktivitas anti-inflamasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan

untuk hidrokortison. Contohnya triamsinolon dan betametason.10

6
2.4 Penggunaan kortikosteroid sistemik pada Pemphigus Bullosa

Pemphigus Bulosa merupakan penyakit inflamasi kronis autoimun yang terdapat pada

kulit, oral, okular, genital, nasofaring, esophagus dan membran mukosa laring yang ditandai

dengan timbulnya bula subepidermal. Penyakit ini paling sering timbul pada orang tua yang

ditandai gejala klinis berupa pruritus, urtikaria, dan bula yang mengeras. Gambaran klinis

pada lesi kulit pemphigus bullosa adalah lesi luas, bula berdinding tegang yang timbul pada

kulit normal atau eritematosa, hemorargik, eksudat, Nikolsky’s sign negatif. Bula yang timbul

biasanya simetris dan bertahan selama beberapa hari sehingga dapat terjadi erosi dikemudian

hari dan tampat daerah berkrusta.15

Prevalensi pemphigus bulosa tersering pada pasien usia lebih dari 60 tahun dengan

puncak insidensi pada usia 80 tahun atau lebih. Etiologi pemphigus bullosa adalah autoimun,

tetapi faktor pencetus yang memperngaruhi penyakit ini belum banyak diketahui secara

pasti.13

Faktor-faktor yang dapat memicu penyakit ini antara lain trauma, suhu panas, luka

bakar, radioterapi dan radiasi sinar ultraviolet (UV). Pada sebagian kasus pemphigus bullosa

dapat timbul akbat obat seperti furosemide, sulfasalazine, penisilamin, dan kaptopril.15

Penatalaksanaan pemphigus bullosa berdasarkan gambaran klinis, luas lesi, predileksi,

dan usia pasien. Pengobatan imunosupresif merupakan modalitas pengobatan yang utama.

Pada kasus ringan sampai dengan sedang, kortikosteroid topikal dapat digunakan, sedangkan

pada kasus berat menggunakan kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid sistemik dapat

digunakan sebagai monoterapi atau dapat dikombinasi dengan topikal imunosupresif.

Kortikosteroid sistemik juga dapat digunakan jika tidak didapatkan perubahan pada

gambaran klinis atau berkembang menyerang okular, nafaring, esofagus atau laring.13,15

Kortikosteroid oral yang dapat diberikan pada penderita pemphigus bullosa adalah

prednisone dengan dosis 0.75-1.0 mg/kg/hari atau dapat digunakan rentang dosis prednisone

7
yaitu 40-60 mg per hari. pada anak, pilihan utamanya adalah topikal kortikosteroid, tetapi

pada kasus yang berat atau resisten terhadap topikal kortikosteroid, kortikosteroid sistemik

dapat digunakan. penggunaan kortikosteroid sistemik harus dilakukan pengawasan sampai

padanya perbaikan lesi, kemudian dilakukan tapering off. Cara yang digunakan adalah

penurunan dosis prednisone 5 mg per minggu untuk mencapai dosis 30 mg. kortikosteroid

sistemik bersifat immunosupresif akan memberikan efek supresi pembentukan lepuh pada

penderita pemphigus bulosa. 13,15

Efek samping penggunaan kortikosteroid oral cenderung meningkat seiring dengan

peningkatan dosis dan lama pemberian. Efek samping yang perlu diawasi adalah

hiperglikemia, hipertensi, obesitas, psikosis, gangguan mata, ulkus peptikum dan

osteoporosis. Pemantauan, lama pemberian, dan dosis kortikosteroid dapat menurunkan efek
13,15
samping obat.

2.5 Penggunaan Kortikosteroid Sistemik pada Steven-Johnson Sindrom dan

Nikrolisis Epidermal Toksik (NET)

Steven-Johnson Sindrom (SJS) pertama kali ditemukan oleh pediatrik A. M. Stevens

dan F. C. Johnson pada tahun 1922 di kota New York. SJS ditemukan pertama kali pada dua

orang anak yang mengalami penyakit yang diperantarai oleh bakteri. Pada tahun 1956, A.

Lyell menggunakan istilah Nikrolisis Epidermal Toksik (NET) pada chafed-looking pada

kulit yang diderita oleh ke empat pasiennya. Penyakit ini muncul oleh karena adanya toxin.

Pada tahun 1956, istilah NET digunakan oleh Lang dan Walker.8

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) memiliki proses

patologis yang sama. SJS dan NET merupakan kelainan kulit berat ditandai oleh bula di kulit

bersifat akut dan erosi membran mukosa. Data insidensi kasus SSJ dan NET yakni 2,6-7,1

per 1.000.000 populasi per tahun di Amerika Serikat.14,8

8
Mekanisme terjadi nya SJS dan NET masih belum jelas. Pada lesi terjadi reaksi

sitotoksik terhadap keratinosit sehingga mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik

yang terjadi melibatkan sel NK dan del limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat

penyebab. Berbagai mediator inflamasi yang terlibat dalam patogenesis penyakit ini antara

lain IL-6, TNF-, IFN-, IL-18, Fas-L, granulisin, perforin, granzim-B. sebagian besar SJS

dan NET disebabkan oleh alergi obat. Berbagai obat yang dilaporkan merupakan penyebab

SJS dan NET seperti sulfonamide, anti-kejang, allopurinol, anti-inflamasi non-steroid dan

nevirapin. Pada beberapa obat tertentu, misalnya karbamazepin dan allopurinol, faktor

genetic yaitu system HLA berperan pada proses terjadinya SJS-NET. Infeksinya juga dapat

menjadi penyebab SJS-NET, namun tidak sebanyak kasus eritema multiforme; misalnya

infeksi virus dan mycoplasma.12

Tabel 1 Obat penyebab Steven-Johnson Sindrom dan Nikrolisis Epidermal Toksik,


(Kepustakaan nomor 8)

SSJ dan NET di klasifikasikan menjadi 3 berdasarkan luasnya kerusakan epidermal,

yakni SSJ, SSJ overlap NET, dan NET. SSJ luasnya kerusakan epidermal kurang dari 10%,

SSJ overlap NET luasnya kerusakan epidermal antara 10-30%, dan NET luas kerusakan

epidermal lebih dari 30%. SSJ dan NET membutuhkan pertolongan kegawat daruratan cepat

dan tepat.14,8

Gejala prodromal SJS dan NET antara lain fever, malaise, anorexia, faringitis dan sakit

kepala yang dirasakan 2-3 hari, gejala ini dapat bertahan hingga 10-11 hari. Gejala awal yang

9
dapat muncul lesi mukosa dan kemudian muncul lesi kulit. Mukosa yang sering terkena yaitu

konjungtiva dan mukosa oral berupa eritema dan erosi. Selain itu dapat juga ditemukan erosi

pada mukosa genital Lesi pada kulit tersebar secara simetris pada wajah badan dan bagian

proksimal ekstremitas, berupa macula eritematosa dan purpura, selain itu dapat dijumpai lesi

target. Lesi pada kulit ini dapat berkembang menjadi nekrotik seiring berjalannya waktu,

sehingga dapat timbul bula yang mudah pecah sehingga dapat ditemukan Nikolsky sign

positif. Keterlibatan organ dalam juga dapat terjadi, namun jarang, misalnya paru, saluran

cerna dan ginjal.12

Tabel 2 Score of Toxic Epidermal Nekrolisis (SCORTEN), (Kepustakaan nomor 8)

Prognosis SJS dan TEN dapat dinilai dari Score of Toxic Epidermal Nekrolisis

(SCORTEN) menurut Bastuji-Garin dkk. antara lain dapat dilihat pada tabel 1.

SJS dan NET merupakan penyakit yang mengancam nyawa dan membutuhkan

tatalaksana yang optimal berupa deteksi dini dan penghentian obat penyebab, serta perawatan

suportif yang dilaksanakan di rumah sakit dengan ruangan khusus. Perawatan suportif

mencangkup: mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, suhu, lingkungan yang

optimal 28-30 C, nutrisi makanan yang cukup dan sesuai kebutuhan, perawatan kulit secara

aseptic tanpa debridement, perawatan mata dan mukosa mulut.12

10
Penggunaan medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid sistemik, hasilnya masih

sangat beragam, sehingga penggunaannya belum dapat dianjurkan. Pada ruang rawat Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM adalah menggunakan kortikosteroid sistemik pada

setiap kasus SJS dan NET dan didapatkan hasil yang cuckup baik pada periode 2010-2013.12

Penelitian pada tahun 2016 yang dilakukan Rahmawati dan Indramaya. Dari 37 pasien

SSJ dan NET mendapatkan terapi dexametason dengan dosis 0,15-0,2 mg/KgBB/hari dan

100 mengalami penyembuhan. Pemberian kortikosteroid dilakukan dengan tappering off

berdasarkan dari perbaikan kondisi pasien. Titik tangkap penggunaan kortikosteroid pada SJS

dan NET berdasar pada patogenesis dari SSJ dan NET yang merupakan reaksi alergi tipe

empat (reaksi imun tipe lambat), sedangkan pada penelitian pada 2018 mengungkapkan

bahwa penggunaan kortikosteroid sistemik tidak berhubungan dengan efektivitas obat

tersebut terhadap mortalitas dan mobiditas SJS dan NET.8,14

2.6 Penggunaan kortikosteroid sistemik pada Lupus Eritematosa (LE)

Lupus eritematosus (LE) adalaH penyakit yang berhubungan oleh perkembangan

autoimunitas yang melibatkan molekul nukleosom dan ribonukleoprotein. Beberapa pasien

datang dengan manifestasi yang mengancam jiwa sistemik pada Sistemik LE (SLE),

sedangkan yang lain mengekspresikan pada lesi kulit yang terdapat pada Discoid LE (DLE).9

Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa dampak manifestasi kulit pada pasien

dengan SLE didahului hanya oleh rasa sakit dan kelelahan yang terkait dengan penyakit

mereka. Malar atau rash butter telah dilaporkan pada penelitian kohort sebesar 20-60%

pasien dengan LE. 9

Patogenesis penyakit kulit LE-specific tidak dapat dipisahkan dengan patogenesis SLE.

Sederhananya, SLE adalah gangguan di mana interaksi antara faktor host (faktor keturunan,

lingkungan hormonal) dan faktor lingkungan [radiasi sina ultraviolet (UV), virus, dan obat-

obatan] menyebabkan hilangnya toleransi diri, dan induksi autoimunitas. Ini diikuti oleh

11
aktivasi dan perluasan sistem kekebalan tubuh, dan menimbulkan cedera imunologis pada

organ-organ akhir dan gambaran klinis. 9

Setiap upaya harus dilakukan untuk menghindari penggunaan glukokortikoid sistemik

pada pasien dengan LE pada kulit. Methilprednisolon secara intravena telah digunakan pada

penyakit kulit dan gejala yang berat. Dalam kasus akut, dosis harian harian glukokortikoid

oral (prednisone, 20-40 mg/hari, diberikan sebagai dosis pagi tunggal). Dosis harus dikurangi

pada waktu sedini mungkin karena komplikasi terapi glukokortikoid jangka panjang,

terutama efek samping avascular bone necrosis yang sering terjadi pada LE. 9

Karena kehilangan tulang yang diinduksi steroid terjadi paling cepat dalam 6 bulan

pertama. Ketika aktivitas penyakit dikontrol, dosis harian harus dikurangi dengan

pengurangan 5-10 mg atau hingga dosis harian 20 mg/hari telah tercapai. Dosis harian

kemudian harus diturunkan dengan pengurangan 2,5 mg. Terapi glukokortikoid belum

berhasil dalam menekan aktivitas penyakit pada kebanyakan pasien pada SLE. Penggunaan

prednisolone harus diperhatikan pada pasien yang memiliki penyakit hepar, karena prednison

membutuhkan hidroksilasi di hati untuk menjadi aktif secara biologis. Setiap jumlah

prednison yang diberikan sebagai dosis oral tunggal di pagi hari memiliki aktivitas yang

rendah untuk menekan kelenjar adrenal. Obat dapat digunakan dalam dosis terbagi karena

memiliki aktivitas LE-suppressing yang lebih besar daripada jumlah obat yang sama yang

diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari. 9

2.7 Penggunaan kortikosteroid sitemik pada Reaksi Reversal, Erythema Nodosum

Leprosum (ENL) dan Fenomena Lusio pada Morbus Hansen

Reaksi reversal berhubungan dengan terjadinya reaksi hipersensitivitas (HS) tipe

lambat. Reaksi reversal memiliki sinonim “upgrading”, merupakan hasil dari perkembangan

dari reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Gambaran klinis reaksi HS tipe lambat terjadi karena

konversi tiba-tiba plak torpid ke lesi tumid, dan lesi tumor baru yang timbul pada kulit dan

12
dapat terjadi tanpa adanya gejala neuritis. Warna eritematus yang berwarna keunguan

merupakan gambaran klinis khas. 9

Gangguan yang terjadi pada saraf antara lain Iritis dan lymphedema yang dapat muncul

secara bersamaan. Neuritis dapat menyebabkan berkurangnya persepsi nyeri dan pada kasus

yang parah dapat mengakibatkan hilangnya sensasi rasa nyeri. Hal ini disebut sebagai "Glove

Stocking Pattern” yang terjadi gangguan sensorik. Selain kehilangan sensasi pada saraf dapat

Kehilangan fungsi motorik dengan keterlibatan saraf mototik pada bagian lengan dan kaki

bagian distal. 9

Eritema Nodosum Leprosi adalah respon spesifik lepra, yang memiliki beberapa

gambaran klinis dan histologis. Hal ini dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah

kemoterapi. Secara klinis, reaksi ini ditandai dengan bercak-bercak yang terasa nyeri dan

lunak, berwarna merah muda pada lapisan dermis dan subkutan. Gejala lain yang dapat

muncul antara lain demam, anoreksia, dan malaise. Arthralgia dan arthritis lebih sering

terjadi pada ENL daripada neuritis, adenitis, orkitis/epididimitis, atau iritis. Lesi pada

ekstremitas superior dan inferior dapat menjadi targetoid, vesikuler, pustular, ulseratif, atau

nekrotik. 9

Fenomena Lusio biasanya terjadi akibat infark hemorargik pada kulit. Fenomena lusio

memiliki prevalensi tertinggi di kota Mexico dan Caribbean. Gambaran klinis pada kulit

berupa infiltrasi difus, warna keunguan pada ekstremitas, telangiektasis, perforasi septum

nasal, alopesia total, dan glove stocking yang terjadi akibat gangguan pada saraf. 9

Penatalaksanaan reaksi reversal, Erythema Nodosum Leprosum (ENL) dan Fenomena

Lusio pada Morbus Hansen menurut Goldsmith et al pada tahun 2012 reaksi yang muncul

tersebut dapat diterapi menggunakan Prednison atau Prednisolon dengan dosis 0.5-1 mg/kg.

Pada reaksi reversal penggunaan prednisone atau prednisolone bersama Rifampisin dapat

meningkatkan katabolisme, sehingga untuk menghindari hal ini tapering off kortikosteroid

13
dapat dilakukan. Pada ENL, penggunaan kortikosteroid prednison atau prednisolone dapat

digunakan jika ketersediaan obat thalidomide belum memadahi. Sedangkan, pada fenomena

lusio penggunaan kortikosteroid dapat digunakan untuk membantu mengurangi gejala yang

muncul. 9

Gambar 3 Pemakaian Obat Kortikosteroid pada Reaksi Morbus Hansen,


(Kepustakaan nomor 9)
2.8 Penggunaan kortikosteroid sistemik pada Urtikaria

Urtikaria dalah lesi pada kulit yang terdiri atas wheal and flare reaction yang terdapat

pada edema intrakutan yang dikelilingi oleh makula eritematosa yang bersifat gatal. Penderita

dapat merasakan gatal selama 30 menit sampai 36 jam. Gambaran urtikaria tampak mulai

dari kecil atau 6-8 cm pada giant urticarial. 9

Faktor-faktor yang dapat terlibat pada urtikaria antara lain usia, ras, jenis kelamin,

pekerjaan, lokasi geografik, dan musim pada daerah tertentu. Prevalensi urtikaria pada siswa

sekolah sekitar 15-20%. Urtikaria dapat muncul mulai dari usia 9 tahun pada anak-anak dan

30-40 tahun pada usia produktif. 9

14
Urtikaria akut dapat terjadi dalam waktu kurang dari 6 minggu. Episode akut ini dapat

muncul akibat reaksi alergi pada pengobatan atau makanan, sedangkan urtikaria kronis dapat

terjadi dalam waktu lebih dari 6 minggu. 9

Penatalaksanaan urtikaria menggunakan antihistamin generasi pertama sampai dengan

dosis maximal. Pengobatan steroid dapat digunakan, tetapi disarankan tidak melebihi 10 mg

per hari. jika pada evaluasi dapat terjadi perbaikan, dosis steroid haru dilakukan tapering off

setiap 2-3 minggu. Tablet prednisone 1 mg dapat membantu mengobati urtikaria. Pengobatan

urtikaria harus dilakukan evaluasi pada tekanan darah, serum kreatinin, blood gas analysis,

dan urinalisis harus diperiksan setiap 6-8 minggu. 9

2.9 Penggunaan kortikosteroid sistemik pada Penyakit Behcet

Sindrom Behcet adalah penyakit multisistem berupa proses inflamasi yang tidak

diketahui etiologinya, manifestasi klinis berupa ulkus oral rekuren, ulkus genital rekuren, lesi

kulit, lesi mata, gangguan persendian, saluran cerna, sistem saraf pusat, dan vaskuler.

Sindrom Behcet mulai dikenal tahun 1908 oleh Bluthe yang menjelaskan trias iritis, ulkus

mukokutan dan genital.16

Sindrom Behcet umumnya ada di negara yang berbatasan dengan rute jalur sutera di

Asia Timur seperti Jepang, Korea, China, Irak, Iran, dan Turki. Prevalensi sindrom Behcet

tertinggi di negara-negara Timur Tengah, seperti Turki, yang mencapai 370/100.000

penduduk dan di Iran 80/100.000. Sindrom Behcet biasanya mulai pada usia 30-40 tahun,

rasio wanita dan pria hampir sama. Pria sering memiliki gejala yang lebih berat. 16

Diagnosis sindrom Behcet hanya berdasarkan gejala klinis, belum ada pemeriksaan

laboratorium yang spesifik. Gejala sering rekuren dan dapat terpisah satu sama lain dengan

selang waktu berbeda, dapat menahun, sehingga menyulitkan diagnosis. Terapi dini dapat

mengurangi risiko komplikasi. 16

15
Tujuan terapi adalah mempercepat proses
 penyembuhan dan mencegah gejala
 sisa,

mempertahankan remisi agar tidak
 muncul lesi baru. Terapi lini pertama adalah

kortikosteroid sistemik. Obat-obatan imunosupresif seperti azathioprine dan

cyclophosphamide digunakan pada kasus berat dan kasus relaps. Pengobatan sistemik

menggunakan metilprednisolon 2 x 8 mg selama 10 hari. 16

2.10 Penggunaan Kortikosteroid Sistemik pada Dermatitis Atopi

Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit keradangan kulit yang kronis, ditandai rasa

gatal ringan sampai berat, bersifat kumat-kumatan, sebagian besar muncul pada saat bayi dan

anak.11

DA merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia, dengan prevalensi pada anak

sebesar 10-20% dan pada dewasa sekitar 1-3%. Sebesar 50% kasus DA muncul pada tahun

pertama kehidupan. Prevalensi DA di Asia Tenggara bervariasi antar negara dari 1,1% pada

usia 13-14 tahun di Indonesia sampai 17,9% pada usia 12 tahun di Singapura.11

Berbagai faktor turut berperan pada patogenesis DA, antara lain faktor genetik terkait

dengan kelainan sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor lingkungan. Terdapat

peningkatan transepidermal water loss (TEWL), kulit kering, dan peningkatan kadar serum

IgE pada pasien DA. Kulit kering memudahkan masuknya alergen, iritan, dan keadaan

patologik kulit. Sitokin IL-2, IL-6, dan IL-8 berperan pada pruritus pasien DA. Berdasarkan

gambaran klinis, DA dapat dibagi menjadi bentuk yaitu DA pada bayi (2 bulan-2 tahun),

anak (2–10 tahun), dan dewasa (lebih dari 10 tahun). Gejala utama DA berupa gatal

didapatkan pada semua tingkatan DA. 11

Steroid oral yang paling banyak diberikan adalah deksametason pada 59 pasien

(86,8%). Pengobatan antibiotik oral yang paling banyak diberikan adalah eritromisin dan

16
kloksasilin pada 4 pasien (40%). Steroid topikal yang paling banyak diberikan adalah

desoksimetason pada 75 pasien. 11

Kortikosteroid sistemik digunakan pada 68 pasien (10,5%), yang paling banyak adalah

deksametason pada 59 pasien (86,8%). Beberapa klinisi menunjukkan manfaat pemberian

kortikosteroid sistemik jangka pendek sampai dengan 6 minggu dengan kombinasi modalitas

lain seperti kortikosteroid topikal maupun kalsineurin inhibitor (contoh: pada eksaserbasi

akut). Kortikosteroid sistemik jangka panjang harus dihindari pada penatalaksanaan DA

karena efek samping dan efek rebound yang tinggi. Kortikosteroid sistemik dapat

dipertimbangkan untuk penggunaan jangka pendek pada kasus-kasus tertentu misalnya pada

saat regimen sistemik lain dan fototerapi sedang diberikan secara optimal. 11

17
BAB III
KESIMPULAN

Kortikosteroid merupakan suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian

korteks kelenjar adrenal. Dalam Ilmu kesehatan Kulit dan Kelamin penggunaan

kortikosteroid sistemik sangat bermanfaat pada banyak penyakit antara lain pemphigus

bulosa, steven Johnson sindrom, Lupus Eritematosa, Reaksi reversal, ENL, Fenomena lusio

pada morbus hansen, penyakit behcet dan dermatitis atopi, meskipun penggunaan sangat

bermanfaat kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan digunakan pada jangka panjang

karenabanyak efek samping yang ditimbulkan

18

Anda mungkin juga menyukai