Anda di halaman 1dari 54

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Kekerasan Seksual Pada Anak


Kekerasan seksual salah satu kekerasan fisik yang termasuk tindakan
krimal. Pelaku tindak kekerasan seksual melakukan untuk memuaskan hasratnya
secara paksa. Tindakan kekerasan seksual tidak hanya berupa tindakan hubungan
seksual secara paksa, namun aktivitas lain seperti meraba, bahkan jika hanya
memandangi, hal ini sesuai dengan penuturan Orange dan Brodwin dalam Jurnal
Psikologi Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children yang menjelaskan
bahwa kekerasan seksual pada anak adalah pemaksaan, ancaman atau
keterperdayaan seorang anak dalam aktivitas seksual. Aktivitas seksual tersebut
meliputi melihat, meraba, penetrasi (tekanan), pencabulan dan pemerkosaan.
Dampak kekerasan seksual pada anak dapat berupa fisik, psikologis, maupun
sosial.Dampak secara fisik dapat berupa luka atau robek pada selaput
dara.Dampak psikologi meliputi trauma mental, ketakutan, malu, kecemasan
bahkan keinginan atau percobaan bunuh diri. Dampak sosial misalnya perlakuan
sinis dari masyarakat di sekelilingnya, ketakutan terlibat dalam pergaulan dan
sebagainya.

III.2. Anatomi Genitalia Wanita


Organ reproduksi perempuan terbagi atas organ genitalia eksterna dan
organ genitalia interna. Organ genitalia eksterna adalah bagian untuk
sanggama, sedangkan organ genitalia interna adalah bagian untuk ovulasi,
tempat pembuahan sel telur, transportasi blastokis, implantasi, dan tumbuh
kembang janin.
III.2.1 Organ Genitalia Eksterna
 Vulva atau pudenda
Vulva meliputi seluruh struktur eksternal yang dapat dilihat mulai dari
pubis sampai perineum, yaitu mons veneris, labia mayora dan labia
minora, klitoris, selaput darah (hymen), vestibulum, muara uretra, berbagai
kelenjar dan struktur vascular.
 Mons veneris (mons pubis)
Mons veneris (mons pubis) adalah bagian yang menonjol di atas simfisis
dan pada perempuan setelah pubertas ditutup oleh rambut kemaluan. Pada
perempuan umumnya batas atas rambut melintang sampai pinggir atas
simfisis, sedangkan ke bawah sampai sekitar anus dan paha.
 Labia mayora
Labia mayora (bibir-bibir besar) terdiri atas bagian kanan dan kiri, lonjong
mengecil kebawah, terisi oleh jaringan lemak yang serupa dengan yang
ada di mons veneris. Ke bawah dan ke belakang kedua labia mayora
bertemu dan membentuk kommisura posterior.Labia mayora analog
dengan skrotum pada pria.
 Labia minora (nymphae)
Labia minora (nymphae) adalah suatu lipatan tipis dari kulit sebelah dalam
bibir besar. Ke depan kedua bibir kecil bertemu yang diatas klitoris
membentuk preputium klitoridis dan yang di bawah klitoris membentuk
frenulum klitoridis. Ke belakang kedua bibir kecil juga bersatu dan
membentuk fossa navikulare. Kulit yang meliputi labia minora
mengandung banyak glandula sebasea dan juga ujung-ujung saraf yang
menyebabkan bibir kecil sangat sensistif.
 Klitoris
Klitoris kira-kira sebesar biji kacang ijo, tertutup oleh preputium klitoridis
dan terdiri atas glans klitoridis, korpus klitoridis dan dua krura yang
menggantungkan klitoris ke os pubis. Glans klitoridis terdiri atas jaringan
yang dapat mengembang, penuh dengan ujung saraf, sehingga sangat
sensitif.
 Vestibulum
Vestibulum berbentuk lonjong dengan ukuran panjang dari depan ke
belakang dan dibatas di depan oleh klitoris, kanan dan kiri oleh kedua bibir
kecil dan di belakang oleh perineum (fourchette).
 Introitus Vagina
Introitus vagina mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda.
Introitus vagina ditutupi oleh selaput dara.
 Hymen
Hymen merupakan suatu lipatan membran mukosa yang mengelilingi
liang vagina. Namanya berasal dari bahasa Yunani kuno "hymenaeus,"
yang berarti lipatan vagina. Hymen juga nama dewa yunani yaitu dewa
perkawinan. Nama slank dalam bahasa Inggerisnya 'CHERRY' seperti
pada frasa "popping one's cherry" (=menghilangkan virginitas seseorang).
Setelah melahirkan normal (per-vagina) sisa hymen disebut carunculae
atau tidak bersisa sama sekali. Secara anatomi tidak diketahui fungsinya,
diduga diciptakan Tuhan untuk memperlihatkan tanda kejujuran virginitas.
 Perineum
Perineum terletak antara vulva dan anus, panjangnya rata-rata 4 cm.
Jaringan yang mendukung perineum terutama ialah diafragma pelvis dan
diafragma urogenitalis. Diafragma pelvis terdiri atas otot levator ani dan
otot koksigis posterior serta fasia yang menutupi kedua otot ini. Diafragma
urogenitalis terletak eksternal dari diafragma pelvis, yaitu di daerah
segitiga antara tuber isiadika dan simfisis pubis. Diafragma urogenitalis
meliputi muskulus transverses perinea profunda, otot konstriktor uretra
dan fasia internal maupun eksternal yang menutupinya.

III.2.2 Organ Genitalia Interna


 Vagina (Liang Sanggama)
Vagina merupakan penghubung antara introitus vagina dan uterus.
Dinding depan dan belakang vagina berdekatan satu sama lain,
masingmasing panjangnya berkisar antara 6-8 cm dan 7-10 cm. Bentuk
vagina sebelah dalam yang berlipat-lipat dinamakan rugae. Di tengah-
tengahnya ada bagian yang lebih keras disebut kolumna rugarum. Lipatan
ini memungkinkan vagina dalam persalinan melebar sesuai dengan
fungsinya sebagai bagian lunak jalan-lahir. Di vagina tidak didapatkan
kelenjar bersekresi. Vagina dapat darah dari (1) arteri uterine, yang
melalui cabangnya ke serviks dan vagina memberikan darah ke vagina
bagian tengah 1/3 atas; (2) arteria vesikalis inferior, yang melalui
cabangnya memberikan darah ke vagina bagian 1/3 tengah; (3) arteria
hemoroidalis mediana dan arteria pedundus interna yang memberikan
darah ke bagian 1/3 bawah.
 Uterus
Berbentuk advokat atau buah pir yang sedikit gepeng ke arah depan
belakang. Ukurannya sebesar telur ayam dan mempunyai rongga.
Dindingnya terdiri dari otot-otot polos. Ukuran panjang uterus adalah 7-
7,5 cm, lebar diatas 5,25 cm, tebal 2,5 cm dan tebal dinding 1,25 cm.
Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksio (serviks ke
depan dan membentuk sudut dengan vagina, sedangkan korpus uteri ke
depan dan membentuk sudut dengan serviks uteri). Uterus terdiri atas (1)
fundus uteri; (2) korpus uteri dan (3) serviks uteri.
 Tuba Fallopi
Tuba Fallopi terdiri atas (1) pars interstisialis, yaitu bagian yang terdapat
di dinding uterus (2) pars ismikia, merupakan bagian medial tuba yang
sempit seluruhnya; (3) pars ampularis, yaitu bagian yang berbentuk
sebagai saluran agak lebar, tempat konsepsi terjadi; dan (4) infundibulum,
yaitu bagian ujung tuba yang terbuka ke arah abdomen dan mempunya
fimbria

 Ovarium (indung telur)


Perempuan pada umumnya mempunyai 2 indung telur kanan dan kiri.
Mesovarium menggantung ovarium di bagian belakang ligamentum latum
kiri dan kanan. Ovarium berukuran kurang lebih sebesar ibu jari tangan
dengan ukuran panjang kira-kira 4 cm, lebar dan tebal kira-kira 1,5 cm
III.3. Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)
Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang
dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan
fisik dan atau mental. Anak ialah individu yang belum mencapai usia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan seperti tertera dalam pasal 1 UU No
23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Kekerasan pada anak adalah tindakan
yang di lakukan seseorang atau individu pada mereka yang belum genap berusia
18 tahun yang menyebabkan kondisi fisik dan atau mentalnya terganggu.
Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu
tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjaga
dan melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual,
maupun emosi. Pelaku kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka
mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan bapak
kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek
pengantar ke sekolah, tukang kebun, dan seterusnya.
Seringkali istilah kekerasan pada anak ini dikaitkan dalam arti sempit
dengan tidak terpenuhinya hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak
kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan pada anak juga sering kali dihubungkan
dengan lapis pertama dan kedua pemberi atau penanggung jawab pemenuhan hak
anak yaitu orang tua (ayah dan ibu) dan keluarga. Kekerasan yang disebut terakhir
ini di kenal dengan perlakuan salah terhadap anak atau child abuse yang
merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence).72
Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan dan penelantaran
pada anak merupakan semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun
emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau
eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera atau kerugian nyata ataupun potensial
terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau
martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab,
kepercayaan atau kekuasaan.
Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi,
salah satu di antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga
(family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua,
atau situasi tertentu.73
1. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan
perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia
balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah
satu penyebab stres.
2. Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan jiwa
(psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu,
orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang
tua yang terbiasa dengan sikap disiplin.
3. Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (Pemutusan
Hubungan Kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering
bertengkar.
Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kental
dengan ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap
hukuman badan sebagai bagian dari mendidik anak, maka para pelaku makin
merasa sah untuk menyiksa anak. Dengan sedikit faktor pemicu, biasanya
berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan pada pelaku, terjadilah
penganiayaan pada anak yang tidak jarang membawa malapetaka bagi anak dan
keluarganya.73
Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury), patah tulang kepala,
geger otak, atau perdarahan otak. Perlukaan pada badan, anggota gerak dan alat
kelamin, mulai dari luka lecet, luka robek, perdarahan atau lebam, luka bakar,
patah tulang. Perlukaan organ dalam (visceral injury) tidak dapat dideteksi dari
luar sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dalam dengan melakukan otopsi.
Perlukaan pada permukaan badan seringkali memberikan bentuk yang khas
menyerupai benda yang digunakan untuk itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu
lidi, setrika, atau sundutan rokok. Karena perlakuan seperti ini biasanya berulang
maka perlukaan yang ditemukan seringkali berganda dengan umur luka yang
berbeda-beda, ada yang masih baru ada pula yang hampir menyembuh atau sudah
meninggalkan bekas (sikatriks). Di samping itu lokasi perlukaan dijumpai pada
tempat yang tidak umum sepertihalnya luka-luka akibat jatuh atau kecelakaan
biasa seperti bagian paha atau lengan atas sebelah dalam, punggung, telinga,
langit langit rongga mulut, dan tempat tidak umum lainnya.74
Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak
sadar bahkan mungkin tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan
pidana senjata atau denda yang tidak sedikit, bahkan jika pelaku ialah orang
tuanya sendiri maka hukuman akan ditambah sepertiganya yakni pada pasal 80
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, sebagai berikut :
1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan,
atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.00.
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000.00.
3. Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara
paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak RP. 200.000.000.004.
Pidana dapat ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2)yat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang
tuanya).

Tabel 1. Undang-undang no 23/2002 Perlindungan Anak


Pasal Tindakan Hukuman
77 Diskriminasi Penelantaran Anak 5 tahun, 100 juta
78 Sengaja anak dalam situasi darurat 5 tahun, 100 juta
Kekerasan terhadap anak, 3,5 tahun, denda 72 juta
80 luka berat, 5 tahun, 100 juta
mati 10 tahun, 200 juta
83 Menjual, menculik 3-15 tahun, 60-300 juta
88 Eksploitasi ekonomi/seksual 10 tahun, 200 juta

III.3.1.Bentuk Kekerasan pada Anak


Terdapat lima bentuk kekerasan pada anak (1999 WHO Consultation on
child abuse prevention) yaitu :75

1. Kekerasan fisik (Physical abuse)


Merupakan kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun
potensial terhadap anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi,
yang layaknya berada dalam kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan
tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Bentuk kekerasan yang sifatnya
bukan kecelakaan yang membuat anak terluka.
Contoh: menendang, menjambak (menarik rambut), menggigit, membakar,
menampar.
2. Kekerasan seksual (sexual abuse)
Merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual dimana ia sendiri tidak
sepenuhnya memahami, tidak mampu memberikan persetujuan atau oleh karena
perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yang
melanggar hukum atau pantangan masyarakat, atau merupakan segala tingkah
laku seksual yang dilakukan antara anak dan orang dewasa.
Contoh, pelacuran anak-anak, intercourse, pornografi, eksibionisme, oral sex, dan
lain-lain.
3. Mengabaikan (Neglect)
Merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan
untuk tumbuh kembangnya, seperti kesehatan, perkembangan emosional, nutrisi,
rumah atau tempat bernaung dan keadaan hidup yang aman di dalam konteks
sumber daya yang layaknya dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang
mengakibatkan atau sangat mungkin mengakibatkan gangguan kesehatan atau
gangguan perkembangan fisik, mental, moral dan sosial, termasuk didalamnya
kegagalan dalam mengawasi dan melindungi secara layak dari bahaya gangguan.

4. Kekerasan emosi (Emotional Abuse)


Merupakan kegagalan penyediaan lingkungan yang mendukung dan
memadai bagi perkembangannya, termasuk ketersediaan seorang yang dapat
dijadikan figur primer sehingga anak dapat berkembang secara stabil dengan
pencapaian kemampuan sosial dan emosional yang diharapkan sesuai dengan
potensi pribadina dalam konteks lingkungannya. Segala tingkah laku atau sikap
yang mengganggu kesehatan mental anak atau perkembangan sosialnya.
Contoh : tidak pernah memberikan pujian/ reinforcemen yang positif,
membandingkannya dengan anak yang lain, tidak pernah memberikan pelukan
atau mengucapkan” aku sayang kamu”.
5. Eksploitasi anak (child exploitation)
Merupakan penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk
keuntungan orang lain. Dampak dari tindak kekerasan terhadap anak yang paling
dirasakan yaitu pengalaman traumatis yang susah dihilangkan pada diri anak,
yang berlanjut pada permasalahan-permasalahan lain, baik fisik, psikologis
maupun sosial.
Stigma yang melekat pada korban :75
1. Stigma Interna
a. Kecenderungan korban menyalahkan diri.
b. Menutup diri.
c. Menghukum diri.
d. Menganggap dirinya aib
2. Stigma Eksternal
a. Kecenderungan masyarakat menyalahkan korban.
b. Media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami
korban secara terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban.
Faktor-faktor kausalitas yang signifikan :76
1. Masalah kemiskinan
2. Masalah gangguan hubungan sosial keluarga dan komunitas
3. Penyimpangan perilaku dikarenakan masalah psikososial
4. Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum
5. Pengaruh nilai sosial budaya di lingkungan sosial tertentu
6. Keengganan masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus
Kompleksitas faktor-faktor penyebab dan beban permasalahan yang
demikian berat dalam diri para korban tindak kekerasan, menuntut diambilnya
langkah penanganan yang holistik dan komprehensif melalui pendekatan
interdisipliner, interinstitusional dan intersektoral dengan dukungan optimal dari
berbagai sumber dan potensi dalam masyarakat.76

III.4. Kekerasan Seksual


Kekerasan seksual adalah salah satu bentuk dari kekerasan tubuh yang
merugikan kesehatan dan nyawa manusia. Ilmu Kedokteran Forensik berguna
dalam fungsi penyelidikan, yaitu untuk:
1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
3. Memperkirakan umur
4. Menentukan pantas tidaknya korban buat kawin
Kekerasan seksual merupakan segala kekerasan, baik fisik maupun
psikologis, yang dilakukan dengan cara-cara seksual atau dengan mentargetkan
seksualitas. Definisi kekerasan seksual ini mencakup pemerkosaan, perbudakan
seksual, dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual seperti penyiksaan seksual,
penghinaan seksual di depan umum, dan pelecehan seksual.Terdapat dua macam
bentuk kekerasan seksual, yaitu ringan dan berat.
Macam-macam kekerasan seksual ringan :
 Pelecehan seksual
 Gurauan porno
 Siulan, ejekan dan julukan
 Tulisan/gambar
 Ekspresi wajah,
 Gerakan tubuh
 Perbuatan menyita perhatian seksual tak dikehendaki korban, melecehkan
dan atau menghina korban
 Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam
jenis kekerasan seksual berat.
Macam-macam kekerasan seksual berat:
 Pelecehan, kontak fisik: raba, sentuh organ seksual, cium paksa, rangkul,
perbuatan yang rasa jijik, terteror, terhina
 Pemaksaan hubungan seksual
 Hubungan seksual dgn cara tidak disukai, merendahkan dan atau
menyakitkan
 Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain, pelacuran tertentu.
 Hubungan seksual memanfaatkan posisi ketergantungan / lemahnya
korban.
 Tindakan seksual + kekerasan fisik, dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka, atau cedera.

III.5. HUKUM KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI


INDONESIA
Bentuk kekerasan terhadap anak tidak hanya berupa kekerasan fisik saja,
seperti pembunuhan, penganiayaan, maupun seksual, tetapi juga kekerasan
non fisik, seperti kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi.
Sebagai bentuk perlindungan anak-anak di Indonesia, maka pembuat Undang-
Undang, melalui perundang-undangan (hukum positif), seperti Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 35 Tahun 2014
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2016 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan Undang-
Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
secara mutlak memberikan berbagai bentuk perlindungan hukum yang
berkaitan dengan masalah perlindungan anak. terhadap tindak kekerasan
seksual. Bentuk perlindungan anak yang diberikan oleh Undang-Undang
Perlindungan Anak dan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dan Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan adopsi,
kompilasi, atau reformulasi dari bentuk perlindungan anak yang sudah diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.5,33

a. Perlindungan Hukum menurut KUHP


Dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang memberikan perlindungan
bagi anak terhadap kekerasan seksual, perlindungan terhadap anak
ditunjukkan dengan pemberian hukuman (sanksi) pidana bagi pelaku. Hal ini
tercantum dalam KUHP pada pasal-pasal dalam sebagai berikut:10
1. Masalah persetubuhan diatur dalam Pasal 287, Pasal 288, Pasal 291
2. Perbuatan cabul diatur dalam Pasal 289, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294,
Pasal 295, Pasal 298
Jadi bentuk perlindungan hukum yang diberikan KUHP bagi anak
terhadap kekerasan seksual merupakan pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku, bukanlah pertanggung jawaban terhadap kerugian/penderitaan korban
secara langsung dan konkret, tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban
yang bersifat pribadi/individual.10

 Pasal 286
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada
dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Dokter perlu mencari tahu
apakah korban sadar waktu persetubuhan terjadi, adakah penyakit yang
diderita korban yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan korban
pingsan atau tidak berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi pingsan,
maka perlu diketahui bagaimana terjadinya pingsan itu, apakah terjadi
setelah korban diberi minuman atau makanan. Pada pemeriksaan perlu
diperhatikan apakah korban menunjukkan tanda-tanda bekas kehilangan
kesadaran, atau tanda-tanda telah berada di bawah pengaruh obat-obatan.
Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban
pingsan atau tidak berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak
pidana perkosaan, karena dengan membuat korban pingsan atau tidak
berdaya ia telah melakukan kekerasan.
Pada kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan
kejahatan dimana persetubuhan tersebut terjadi tanpa persetujuan wanita,
seperti yang dimaksud oleh pasal 285 dan 286 KUHP; maka untuk kasus-
kasus tersebut Visum et Repertum harus dapat membuktikan bahwa pada
wanita tersebut telah terjadi kekerasan dan persetubuhan. Kejahatan
seksual seperti yang dimaksud oleh pasal 285 KUHP disebut perkosaan,
dan perlu dibedakan dari pasal 286 KUHP. Kejahatan seksual yang
dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku tidak melakukan upaya
apapun; pingsan atau tidak berdayanya korban bukan diakibatkan oleh
perbuatan si pelaku kejahatan seksual.

 Pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa
umumnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas,
bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur
wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal
berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.
Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang
menurut Undang-Undang belum cukup umur. Jika umur korban belum
cukup 15 tahun tetapi sudah di atas 12 tahun, penuntutan baru
dilakukan bila ada pengaduan dari yang bersangkutan. Jadi dengan
keadaan itu persetubuhan tersebut merupakan delik aduan, bila tidak
ada pengaduan, tidak ada penuntutan. Tetapi keadaan akan berbeda
jika:

a. Umur korban belum sampai 12 tahun


b. Korban yang belum cukup 15 tahun itu menderita luka berat
atau mati akibat perbuatan itu (KUHP pasal 291); atau
c. Korban yang belum cukup 15 tahun itu adalah anaknya, anak
tirinya, muridnya, anak yang berada di bawah pengawasannya,
bujangnya atau bawahannya (KUHP pasal 294).
Dalam keadaan di atas, penuntutan dapat dilakukan walaupun
tidak ada pengaduan karena bukan lagi merupakan delik aduan. Pada
pemeriksaan akan diketahui umur korban. Jika tidak ada akte
kelahiran maka umur korban yang pasti tidak diketahui. Dokter perlu
memperkirakan umur korban baik dengan menyimpulkan apakah
wajah dan bentuk tubuh korban sesuai dengan umur yang
dikatakannya, melihat perkembangan payudara dan pertumbuhan
rambut kemaluan, melalui pertumbuhan gigi (molar ke-2 dan molar
ke-3), serta dengan mengetahui apakah menstruasi telah terjadi.
Hal di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat: padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa wanita itu
umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas
bahwa belum waktunya untuk dikawin. Perempuan yang belum
pernah mengalami menstruasi dianggap belum patut untuk dikawin.

 Pasal 288
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang
wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa
yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila
perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana
penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.
Dengan demikian dari Visum et Repertum yang dibuat oleh
dokter diharapkan dapat membuktikan bahwa korban memang belum
pantas dikawin, memang terdapat tanda-tanda persetubuhan, tanda-
tanda kekerasan dan dapat menjelaskan perihal sebab kematiannya.
Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang belum mampu
dikawin dapat timbul permasalahan bagi dokter karena penentuan
tersebut mencakup dua pengertian, yaitu pengertian secara biologis
dan pengertian menurut Undang-Undang. Secara biologis seorang
perempuan dikatakan mampu untuk dikawin bila ia telah siap untuk
dapat memberikan keturunan, dimana hal ini dapat diketahui dari
menstruasi, apakah ia belum pernah mendapat menstruasi atau sudah
pernah. Sedangkan menurut Undang-Undang perkawinan, maka batas
umur termuda bagi seorang perempuan yang diperkenankan untuk
melangsungkan perkawinan adalah 16 tahun. Dengan demikian dokter
diharapkan dapat menentukan berapa umur dari perempuan yang
diduga merupakan korban seperti yang dimaksud dalam pasal 288
KUHP.
Dalam kasus-kasus persetubuhan di luar perkawinan yang
merupakan kejahatan, dimana persetubuhan tersebut memang
disetujui oleh si perempuan maka dalam hal ini pasal-pasal dalam
KUHP yang dimaksud adalah pasal 284 dan 287.

 Pasal 289
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.”
 Pasal 290
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya
belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang
bersangkutan belum waktunya untuk dikawin:
3. Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas
tahun atau kalau umumya tidak jelas yang bersangkutan atau
belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar
perkawinan dengan orang lain.
 Pasal 291
(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan
290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara
paling lama dua belas tahun
(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286, 287, 289
dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
 Pasal 292
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun.”
 Pasal 293
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan,
atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum
dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal
tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus
diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap
dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini
adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
 Pasal 294
(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya,
anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum
dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang diserahkan
kepadanya untuk dipelihara, dididik atau dijaga, ataupun dengan
pembantunya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama:
1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang
penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.
2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh
dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan,
rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga
sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimasukkan ke dalamnya.
Dengan itu maka dihukum juga pegawai negeri yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang di bawahnya/orang
yang dipercayakan/diserahkan kepadanya untuk dijaga, serta
Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau bujang di penjara, di
tempat bekerja kepunyaan negeri, tempat pendidikan, rumah piatu,
RS jiwa atau lembaga semua yang melakukan perbuatan cabul
dengan orang yang dimaksudkan di situ.
 Pasal 295
(1) Diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa
dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya
perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya,
atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau
oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya,
pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun
oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur,
dengan orang lain;
2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa
dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan
cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas., yang
dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau
yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.
(3) Jika yang rs melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan,
maka pidana dapat ditambah sepertiga.
 Pasal 296
”Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul
oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai
pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama
satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas
ribu rupiah.”
 Pasal 297
“Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum
dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
 Pasal 298
(1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam
pasal 281, 284 – 290 dan 292 – 297, pencabutan hak-hak
berdasarkan pasal 35 No. 1 – 5 dapat dinyatakan.
(2) Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan berdasarkan
pasal 292 – 297 dalam melakukan pencariannya, maka hak untuk
melakukan pencarian itu dapat dicabut.
 Pasal 299
(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau
menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan
harapan bahwa karena pengobatan itu kandungannya dapat
digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu
rupiah.
(2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan,
atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pekerjaan atau
kebiasaan, atau jika dia seorang dokter, bidan atau juru obat,
pidananya dapat ditambah sepertiga
(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam
menjalankan pekerjaannya, dapat dicabut haknya untuk
menjalakukan pekerjaan itu.
b. Perlindungan Hukum menurut Undang – undang Perlindungan Anak
Dalam rangka perlindungan dan pencegahan kekerasan pada anak,
pemerintah juga telah memfasilitasi berdirinya lembaga independen yang
berfungsi untuk mengontrol keamanan, kenyamanan dan terpenuhinya hak-
hak anak yaitu dengan adanya Komisi Perlindungan Anak Indonesia melalui
Undang-Undang Republik Indonesia No.17 tahun 2016 tentang Perlindungan
Anak yang berfungsi untuk pemberian perlindungan khusus bagi hak-hak
anak dari berbagai macam kekerasan, dalam hal ini tindak kekerasan seksual.5

Secara tegas dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014


tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa, setiap Anak berhak untuk
memperoleh perlindungan dari:35

1. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik


2. Pelibatan dalam sengketa bersenjata
3. Pelibatan dalam kerusuhan sosial
4. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsure kekerasan
5. Pelibatan dalam peperangan
6. Kejahatan seksual
UU RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.35

 Pasal 54
(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib
mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis,
kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh
pendidik, tenaga kependidikan, sesama pesertapendidik, dan/atau
pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau
masyarakat.
 Pasal 64A dan 71D
Selanjutnya dalam hal anak yang menjadi korban dari tindak
kekerasan seksual, dalam hal ini Undang-Undang ini memberikan
perlindungan khusus dalam hal pemulihan korban yang diatur dalam
Pasal 64A serta pengajuan ganti rugi (restitusi) terhadap diri korban
secara langsung yang ditanggungkan kepada pelaku tindak kekerasan
seksual yang diatur dalam Pasal 71D.
 Pasal 76A, 76D dan 76E
Selanjutnya dalam Undang-Undang ini berisi tentang larangan-
larangan melakukan perbuatan yang melanggar hak-hak anak yang
diatur dalam BAB XIA yang terdiri dari Pasal 76A, 76D yang berisi
perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan terhadap anak. Khusus
untuk larangan melakukan tindak kekerasan seksual diatur dalam
Pasal 76D dan 76E.

- Pasal 76A
“Setiap orang dilarang:
a. memperlakukan Anak secara diskriminatif yang
mengakibatkan Anak mengalami kerugian, baik materiil
maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;
atau
b. memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas secara
diskriminatif. “
- Pasal 76D
“ Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain. “

- Pasal 76E
“ Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. “
Untuk selanjutnya ketika terdapat orang yang melanggar
larangan yang ada, melakukan kejahatan serta melanggar hak-hak anak
pada larangan yang telah diatur diatas dalam hal ini melakukan tindak
kekerasan seksual terhadap anak maka terhadap orang tersebut akan
dikenakan sanksi (hukuman) pidana untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya yang telah diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82 pada BAB
XII tentang Ketentuan Pidana dalam undang-undang ini.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang


Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun
2014 dimana, ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut: 5

 Pasal 81
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau
tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan
kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan
luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau
hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia,
pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan
berupa pengumuman identitas pelaku.
(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat
(5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan
alat pendeteksi elektronik.
(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan
bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka
waktu pelaksanaan tindakan.
(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 81A yang berbunyi sebagai berikut:
 Pasal 81A
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7)
dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan
dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di
bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial,
dan kesehatan.
(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan
dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 Pasal 82
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau
tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan
kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan
luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau
hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia,
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan
berupa pengumuman identitas pelaku.
(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai
dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan
pemasangan alat pendeteksi elektronik.
(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan
bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka
waktu pelaksanaan tindakan.
(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
UU RI No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT)8

Undang-Undang KDRT merupakan bentuk perundang-undangan


hukum positif Indonesia yang didalamnya mengatur tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga yang salah satu tujuannya memberikan
perlindungan bagi anak selain perempuan.

 Pasal 2 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa bahwa anak merupakan


bagian dari rumah tangga. Lingkup rumah tangga dalam Undang-
Undang ini meliputi :
a. Suami, isteri, dan anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
 Pasal 5 yang secara tegas mengatur adanya larangan kekerasan
seksual dalam rumah tangga (anak) dan berbunyi, Setiap orang
dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a. Kekerasan fisik
b. Kekerasan psikis
c. Kekerasan seksual
d. Penelantaran rumah tangga
Pemberian perlindungan korban kekerasan seksual dalam rumah
tangga diatur dalam BAB VI tentang Perlindungan dan pengaturan dalam
hal ini anak adalah korban.

 Pasal 27 berbunyi :
“Dalam hal korban adalah anak, laporan dapat dilakukan oleh orang
tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku”.
Diatur juga Pasal 46, Pasal 47dan Pasal 48 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga dalam hal pemberian hukuman pidana (sanksi) terhadap mereka
yang melakukan tindak kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga
(anak) yang dalam hal ini memberikan perlindungan bagi korban (anak).

UU RI No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 25

Anak korban kekerasan seksual juga mendapatkan perlindungan di


dalam proses peradilan menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di dalamnya terdapat Pasal-Pasal
mengenai perlindungan terhadap hak-hak anak korban dalam proses
beracara diantaranya:

 Pasal 18
“ Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak
Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan
Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan
Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan
kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana
kekeluargaan tetap terpelihara.”
 Pasal 19
(1) Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib
dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun
elektronik
Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi nama Anak,
nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan
hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau
Anak Saksi.

III.6. Peran Kedokteran Forensik Dalam Kasus Kekerasan Seksual:


1. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk
ke dalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan
atau tanpa terjadinya pancaran air mani.
Pemeriksaan dipengaruhi oleh : besarnya zakar dengan ketegangannya,
seberapa jauh zakar masuk, keadaan selaput dara serta posisi persetubuhan.
Adanya robekan pada selaput dara hanya menunjukkan adanya benda
padat/kenyal yang masuk (bukan merupakan tanda pasti persetubuhan).
Jika zakar masuk seluruhnya & keadaan selaput dara masih cukup baik,
pada pemeriksaan diharapkan adanya robekan pada selaput dara. Jika
elastis, tentu tidak akan ada robekan.
Adanya pancaran air mani (ejakulasi) di dalam vagina merupakan tanda
pasti adanya persetubuhan. Pada orang mandul, jumlah spermanya sedikit
sekali (aspermia), sehingga pemeriksaan ditujukan adanya zat-zat tertentu
dalam air mani seperti asam fosfatase, spermin dan kholin. Namun nilai
persetubuhan lebih rendah karena tidak mempunyai nilai deskriptif yang
mutlak atau tidak khas.
a. Sperma masih dapat ditemukan dalam keadaan bergerak dalam vagina
4-5 jam setelah persetubuhan.
b. Pada orang yang masih hidup, sperma masih dapat ditemukan (tidak
bergerak) sampai sekitar 24-36 jam setelah persetubuhan, sedangkan
pada orang mati sperma masih dapat ditemukan dalam vagina paling
lama 7-8 hari setelah persetubuhan.
c. Pada laki-laki yang sehat, air mani yang keluar setiap ejakulasi
sebanyak 2-5 ml, yang mengandung sekitar 60 juta sperma setiap
mililiter dan 90% bergerak (motile)
d. Untuk mencari bercak air mani yang mungkin tercecer di TKP,
misalnya pada sprei atau kain maka barang-barang tersebut disinari
dengan cahaya ultraviolet dan akan terlihat berfluoresensi putih,
kemudian dikirim ke laboratorium.
e. Jika pelaku kekerasan segera tertangkap setelah kejadian, kepala zakar
harus diperiksa, yaitu untuk mencari sel epitel vagina yang melekat
pada zakar. Ini dikerjakan dengan menempelkan gelas objek pada gland
penis (tepatnya sekeliling korona glandis) dan segera dikirim untuk
mikroskopis.
f. Robekan baru pada selaput dara dapat diketahui jika pada daerah
robekan tersebut masih terlihat darah atau hiperemi/kemerahan. Letak
robekan selaput dara pada persetubuhan umumnya di bagian belakang
(comisura posterior), letak robekan dinyatakan sesuai menurut angka
pada jam. Robekan lama diketahui jika robekan tersebut sampai ke
dasar (insertio) dari selaput dara.
g. VeR yang baik harus mencakup keempat hal tersebut di atas (fungsi
penyelidikan), dengan disertai perkiraan waktu terjadinya persetubuhan.
hal ini dapat diketahui dari keadaan sperma serta dari keadaan normal
luka (penyembuhan luka) pada selaput dara, yang pada keadaan normal
akan sembuh dalam 7-10 hari.
2. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
Kekerasan tidak selamanya meninggalkan bekas/luka, tergantung dari
penampang benda, daerah yang terkena kekerasan, serta kekuatan dari
kekerasan itu sendiri. Tindakan membius juga termasuk kekerasan, maka
perlu dicari juga adanya racun dan gejala akibat obat bius/racun pada
korban.
Adanya luka berarti adanya kekerasan, namun tidak ada luka bukan berarti
tidak ada kekerasan. Faktor waktu sangat berperan. Dengan berlalunya
waktu, luka dapat sembuh atau tidak ditemukan, racun/obat bius telah
dikeluarkan dari tubuh. faktor waktu penting dalam menemukan sperma.

3. Memperkirakan umur
Tidak ada satu metode tepat untuk menentukan umur, meskipun
pemeriksaannya memerlukan berbagai sarana seperti alat rontgen untuk
memeriksa pertumbuhan tulang dan gigi. Perkiraan umur digunakan untuk
menentukan apakah seseorang tersebut sudah dewasa (> 21 tahun)
khususnya pada homoseksual/lesbian serta pada kasus pelaku kekerasan.
Sedangkan pada kasus korban perkosaan perkiraan umur tidak diperlukan.
4. Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin
Secara biologis jika persetubuhan bertujuan untuk mendapatkan
keturunan, pengertian pantas/tidaknya buat kawin tergantung dari: apakah
korban telah siap dibuahi yang artinya telah menstruasi, namun untuk bukti
hal ini korban perlu diisolir untuk waktu cukup lama. Bila dilihat Undang-
Undang Perkawinan, yaitu pada Bab II pada pasal 7 ayat 1 berbunyi :
perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita
sudah mencapai 16 tahun. Namun terbentur lagi pada masalah penentuan
umur yang sulit diketahui kepastiannya.

III.6.1. Pemeriksaan Medis


1. Anamnesis
Anamnesis umum memuat:
 Identitas : Nama, umur, TTL, status perkawinan,
 Spesifik : Siklus haid, penyakit kelamin, peny. kandungan, peny.
lain, pernah bersetubuh, persetubuhan yang terakhir, kondom ?
Anamnesis khusus memuat waktu kejadian
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum memuat :
 Kesan penampilan (wajah, rambut), ekspresi emosional, tanda-
tanda bekas kehilangan kesadaran / obat bius / needle marks.
 Berat badan, tinggi badan, tanda vital, pupil, refleks cahaya, pupil
pinpoint, tanda perkembangan alat kelamin sekunder, kesan nyeri

Pemeriksaan fisik khusus memuat:


 Pembuktian persetubuhan :
o Ada / tidak penetrasi penis ke vagina / anus / oral
o Ejakulat / air mani pada vagina / anus
 Bukti Penetrasi :
o Robekan hymen, laserasi (mencakup perkiraan waktu)
o Variasi : korban 3 hari yang lalu / lebih hymen elastis
 Penetrasi tidak lengkap
o Bukti Ejakulat/air mani (mencakup perkiraan waktu)
o Perlekatan rambut kemaluan
o Ejakulat di liang vagina
o Pemeriksaan Pakaian
o Rapi / tidak,
o Robekan? lama/baru, melintang? pada jahitan? kancing putus?
o Bercak darah
o Air mani
o Lumpur / kotoran lain di TKP
2. Pemeriksaan Laboratorium
 Cairan dan sel mani dalam lendir vagina
 Pemeriksaan terhadap kuman N. gonorrhoea sekret ureter
 Pemeriksaan kehamilan
 Toksikologik darah dan urin
3. Pembuktian Adanya Kekerasan
 Luka-luka lecet bekas kuku, gigitan (bite marks), luka-luka memar
 Lokasi : Muka, leher, buah dada, bagian dalam paha dan sekitar alat
kelamin
4. Perkiraan Umur
 Dasar berat badan, tinggi badan, bentuk tubuh, gigi, ciri-ciri kelamin
sekunder
 Pemeriksaan sinar X : standar waktu penyatuan tulang
5. Penentuan sudah atau belum waktunya dikawin
 Pertimbangan kesiapan biologis : menstruasi,
 Wanita sudah ovulasi / belum : vaginal smear
 Berdasar umur ? : > 16 th
6. Pemeriksaan terhadap Pelaku
 Upaya pengenalan persetubuhan,
 Bercak sperma, darah, tanah dan pakaian, robekan.
 Bentuk tubuh : memungkinkan tindakan kekerasan.
 Tanda cedera : perlawanan korban ?
 Rambut terlepas.
 Pemeriksaan menyeluruh alat kelamin : mampu seksual ? cedera ?
 Tanda infeksi gonokokus,
 Sekret
 Smegma
7. Pemeriksaan Penentuan Golongan Darah
 Serologis air mani (antigen ABO) pada orang yg ’sekretor’
 Di cocokkan dengan golongan darah (pelaku / korban)
8. Homoseksual
 Homoseksual merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual
 Didalam Pasal 292 KUHP, terdapat ancaman hukuman bagi seseorang
yang cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
yang sama kelaminnya yang belum cukup umur

III.7. Perkembangan Sex Sekunder


Pertumbuhan fisik remaja merupakan pertumbuhan yang paling pesat.
Remaja tidak hanya tumbuh dari segi ukuran (semakin tinggi atau semakin besar),
tetapi juga mengalami kemajuan secara fungsional, terutama organ seksual atau
“pubertas”. hal ini ditandai dengan datangnya menstruasi pada perempuan dan
mimpi basah pada laki-laki. Pertumbuhan adalah suatu proses perubahan
fisiologis yang bersifat progresif dan kontinyu dan berlangsung dalam periode
tertentu. Perubahan ini berkisar hanya pada aspek-aspek fisik individu.
Pertumbuhan itu meliputi perubahan yang bersifat internal maupun eksternal.
Pertumbuhan internal meliputi perubahan ukuran alat pencernaan makanan,
bertambahnya ukuran besar dan berat jantung dan paru-paru, bertambah sempurna
sistem kelenjar kelamin, dan berbagai jaringan tubuh. Adapun perubahan
eksternal meliputi bertambahnya tinggi badan, bertambahnya lingkar tubuh,
perbandingan ukuran panjang dan lebar tubuh, ukuran besarnya organ seks, dan
munculnya atau tumbuhnya tanda-tanda kelamin sekunder.
Datangnya masa remaja, ditandai oleh adanya perubahan-perubahan fisik.
Hurlock (1992) menyatakan bahwa perubahan fisik tersebut, terutama dalam hal
perubahan yang menyangkut ukuran tubuh, perubahan proposisi tubuh,
perkembangan ciri-ciri seks primer, dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder.
Pertumbuhan yang terjadi pada fisik remaja dapat terjadi melalui perubahan-
perubahan, baik internal maupun eksternal.
III.8.1. Perubahan Internal
Perubahan yang terjadi dalam organ dalam tubuh remaja dan tidak tampak
dari luar. Perubahan ini nantinya sangat mempengaruhi kepribadian remaja.
Perubahan tersebut adalah:
a. Sistem Pencernaan
b. Sistem Peredaran Darah Jantung
c. Sistem Pernafasan
d. Sistem Endokrin
Kegiatan kelenjar kelamin yang meningkat pada masa remaja menyebabkan
ketidakseimbangan sementara dari seluruh sistem kelamin pada masa awal
remaja. Kelenjar seks berkembang pesat dan berfungsi, meskipun belum
mencapai ukuran yang matang sampai akhir masa remaja atau awal masa
dewasa.
e. Jaringan Tubuh
Perkembangan kerangka berhenti rata-rata pada usia delapan belas tahun.
Jaringan selain tulang, khususnya bagi perkembangan otot, terus berkembang
sampai tulang mencapai ukuran yang matang.
III.7.2. Perubahan Eksternal
Perubahan dalam tubuh seorang remaja yang mengalami datangnya masa
remaja ini terjadi sangat pesat. Perubahan yang terjadi, dapat dilihat pada fisik
luar anak.
Baik laki-laki maupun perempuan organ seks mengalami ukuran matang
pada akhir masa remaja, tetapi fungsinya belum matang sampai beberapa tahun
kemudian (dewasa).
Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian
pemeriksaan yang meliputi perkembangan fisik, ciri-ciri seks sekunder,
pertumbuhan gigi, fusi atau penyatuan dari tulang-tulang khususnya tengkorak
serta pemeriksaan radiologik lainnya.77 Salah satu cara memperkirakan umur pada
korban kekerasan seksual adalah dengan memperhatikan ciri-ciri seks sekunder.
Dalam hal ini termasuk perubahan pada genitalia, payudara dan tumbuhnya
rambut-rambut seksual yang pertama tumbuh hampir selalu di daerah pubis.78
Sexual Maturation Rate (SMR) atau dikenal juga dengan Tanner Staging
merupakan penilaian ciri seks sekunder. SMR didasarkan pada penampakan
rambut pubis, perkembangan payudara dan terjadinya menarke pada
perempuan.SMR stadium 1 menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan
prapubertal,sedangkan stadium 2-4 menunjukkan pubertas progress. SMR stadium
5 pematangan seksual sudah sempurna. Pematangan seksual berhubungan dengan
pertumbuhan liniar, perubahan berat badan dan komposisi tubuh, dan perubahan
hormonal.79
Sexual Maturating Rate (SMR) pada Perempuan berdasarkan Tanner Stage

Gambar 1. Sexual Maturating Rate (SMR) meliputi perkembangan payudara pada


Perempuan.70

Gambar 2. Sexual Maturating Rate (SMR) meliputi perubahan rambut pubis pada
Perempuan.70
Tabel 2. Sexual Maturating Rate (SMR) pada perempuan70

III.8. Gangguan Psikis Pada Korban Pelecehan Seksual Dan Perkosaan Post
Traumatic Stress Disorder
Sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan
kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah mengalami stress fisik
maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa.
Gejala:
1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan
peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami, flashback (merasa seolah-
olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi
buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional
dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang
menyedihkan.
2. Penghindaran dan emosional, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas,
tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan
trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, dan perasaan
terasing dari orang lain.
3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah
marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan
yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu.80
Kriteria Diagnostik
Kriteria Diagnostik Gangguan Stress Akut berdasarkan Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders III-Revisi atau DSM III-R:
1. Orang yang mengalami peristiwa luar biasa, dan dirasa amat menekan semua
orang.
2. Peristiwa traumatik itu secara menetap dapat dialami melalui cara teringat
kembali peristiwa secara berulang dan sangat mengganggu, mimpi yang
berulang tentang peristiwa yang membebani pikiran, perasaan atau tindakan
mendadak seolah peristiwa traumatik itu terjadi lagi, tekanan jiwa yang amat
sangat karena terpaku pada peristiwa yang melambangkan atau menyerupai
traumatiknya.
3. Pengelakan yang menetap terhadap rangsang yang terkait dengan trauma atau
kelumpuhan yang bereaksi terhadap situasi umum (yang tak ada sebelum
trauma itu). Keadaan ini paling tidak dapat ditunjukkan dengan sedikitnya 3
dari keadaan yang berupa: upaya untuk mengelak terhadap gagasan atau
perasaan yang terkait dengan trauma itu, upaya untuk mengelak dari kegiatan
atau situasi yang menimbulkan ingatan terhadap trauma itu, ketidakmampuan
untuk mengingat kembali aspek yang penting dari trauma itu, minat yang
sangat berkurang terhadap kegiatan yang penting, rasa terasing dari orang lain,
kurangnya afeksi, dan merasa tidak punya masa depan.
4. Gejala meningginya kesiagaan yang menetap (tak ada sebelum trauma)
dengan ditunjukkan oleh dua dari gejala: sulit masuk tidur atau
mempertahankan tidur yang cukup, iritable atau mudah marah, sulit
berkonsentrasi, amat bersiaga, reaksi kaget yang berlebihan, reaksi rentan faali
saat menghadapi peristiwa yang melambangkan atau menyerupai aspek dari
peristiwa traumatik.
5. Jangka waktu gangguan itu (gejala pada kriteria ke dua, tiga, dan empat)
sedikitnya sebulan
Gangguan Sosial PTSD:
- Panic attack (serangan panik).
Anak/remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan
panik ketika dihadapkan/menghadapi sesuatu yang mengingatkan mereka pada
trauma. Serangan panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau tidak
nyaman yang menyertai gejala fisik dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung
berdebar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada,sakit perut, pusing, merasa
kedinginan, badan panas, mati rasa.
- Perilaku menghindar.
Salah satu gejala PTSD adalah menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan
penderita pada kejadian traumatis. Kadang -kadang penderita mengaitkan semua
kejadian dalam kehidupannya setiap hari dengan trauma, padahal kondisi
kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah dialami. Hal ini sering
menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi takut untuk keluar rumah dan
harus ditemani oleh orang lain jika harus keluar rumah.
- Depresi.
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan
menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa
trauma. Mereka mengembangkan perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah,
menyalahkan diri sendiri, dan merasa peristiwa yang dialami merupakan
kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.
- Membunuh pikiran dan perasaan.
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya sudah
tidak berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50% korban kekerasan
mempunyai pikiran untuk bunuh diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan
anda mempunyai pemikiran untuk bunuh diri setelah mengalami peristiwa
traumatik, segeralah mencari pertolongan dan berkonsultasi dengan para
profesional.
- Merasa disisihkan dan sendiri.
Penderita PTSD memerlukan dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi
mereka seringkali merasa sendiri dan terpisah. Karena perasaan mereka tersebut,
penderita kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan
pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa orang lain dapat memahami
apa yang telah dia alami.
- Merasa tidak percaya dan dikhianati.
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin
kehilangan kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh
dunia, nasib atau oleh Tuhan. Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang
umum diantara penderita trauma. Tentu saja kita dapat salah kapan saja,
khususnya ketika penderita merasa tersakiti, marah adalah suatu reaksi yang wajar
dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat
mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk
berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di tempat terapi.
- Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa penderita PTSD mempunyai beberapa gangguan yang terkait dengan
fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam jangka waktu yang lama setelah
trauma. Seorang korban kekerasan mungkin menjadi sangat takut untuk tinggal
sendirian. Penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi
dan melakukan tugasnya di sekolah.

Pengobatan
- Profesi kedokteran : Sesuai standar pemeriksaan korban kekerasan dan
pembuatan visum et repertumnya
- Kendala → belum berkembangnya Ilmu Kedokteran Forensik Klinik di
Indonesia
- Didirikannya Pusat Krisis terpadu bagi perempuan dan anak-anak
- Menerima dan menatalaksana kekerasan terhadap perempuan, kekerasan fisik
maupun seksual, secara terpadu sehingga diharapkan dapat memperkecil
trauma psikologis akibat viktimisasi lanjutan pada korban.

Pengobatan psikoterapi.
Para terapis yang sangat berkonsentrasi pada masalah PTSD percaya bahwa ada
tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD,
yaitu: anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy .
1. Pada anxiety management:
a. relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan
secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama,
b. breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-
lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang
menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik
seperti jantung berdebar dan sakit kepala,
c. positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran
negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal–hal
yang membuat stress (stresor),
d. asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan,
opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,
e. thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita
sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress.80
2. Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang
tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan
kita. Misalnya seorang korban kekerasan mungkin menyalahkan diri sendiri
karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-
pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak
rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran
yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.80
3. Sementara itu, dalam exposure therapy para terapis membantu menghadapi
situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang meng -
ingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam
kehidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the
imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara
detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in
reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin
dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke
rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika
kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya.
Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu
menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat
diatasi.80
4. Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain ( play therapy) mungkin
berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk
menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai
topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak
lebih merasa nya -man dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya.80
5. Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun
ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum
dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam
systematic reviews-nya merekomendasikan perlu untuk melakukan debriefing
pada kasus korban-korban trauma (Rose et al, 2002). Mengenai debriefing
oleh bidan, Small gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya (Small et al.,
2000). Meski begitu, Boyce dan Condon merekomen-dasikan bidan untuk
melakukan debriefing pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian
traumatik ketika melahirkan (Boyce & Condon, 2000).
6. Selain itu, didapatkan pula support group therapy dan terapi bicara. Dalam
support group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang
mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban
gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang
pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka saling member penguatan satu
sama lain (Swalm, 2005).
7. Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah
studi penelitian dapat membukti kan bahwa terapi saling berbagi cerita
mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan
berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam.
Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik
dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang
diderita dan melawan kecemasan.80 Pendidikan dan supportive konseling juga
merupakan upaya lain untuk mengobati PTSD. Konselor ahli mem-
pertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan keluarganya) untuk
mempelajari gejala PTSD dan bermacam treatment (terapi dan pengobatan)
yan g cocok untuk PTSD. Walaupun seseorang mem-punyai gejala PTSD
dalam waktu lama, langkah pertama yang pada akhirnya dapat ditempuh
adalah mengenali gejala dan permasalahannya sehingga dia mengerti apa yang
dapat dilakukan untuk mengatasinya.80
BAB IV

KEKUATAN DAN KETERBATASAN JURNAL

A. KEKUATAN JURNAL UTAMA


 Jurnal ini menampilkan meneliti keseluruhan aspek yang dialami oleh
responden sehingga data yang didapatkan sangat akurat
 Jurnal ini memperlihatkan hal-hal yang dialami oleh responden
sehingga data yang didapatkan sesuai dengan target yang diharapkan

B. KETERBATASAN JURNAL UTAMA


 Metode penelitian yang digunakan membuat penelitian cenderung
lama dan hanya terpusat pada satu objek
 Jurnal ini memakan waktu yang cukup lama dalam proses
pengambilan data yang dibutuhkan
BAB V

PERBANDINGAN DENGAN JURNAL LAINNYA

NO Judul Jurnal Isi Jurnal


1. Violence against children, Jurnal ini melaporkan bahwa korban
later victimisation, and pelecehan seksual pada anak (wanita
mental health: a cross- 10,2%, pria 3,5%), kekerasan fisik anak-
sectional study of the general anak (wanita 4,9%, pria 5,1 %) dan
Norwegian population. pemerkosaan seumur hidup (wanita
9,4%, pria 1,1%). Kekerasan masa
Tanggal Publikasi : 13 kanak-kanak dalam segala bentuknya
Januari 2015 merupakan faktor risiko untuk menjadi
Lokasi : Norwegia korban di masa dewasa. Kecemasan /
depresi dewasa dikaitkan dengan baik
jumlah kategori kekerasan dan jenis
kekerasan masa kanak-kanak yang
dialami.
2. Health Risk Behaviors and Jurnal ini menjelaskan hubungan antara
Mental Health Problems as kekerasan fisik dan seksual masa kanak-
Mediators of the Relationship kanak dan perilaku risiko kesehatan di
Between Childhood Abuse masa dewasa.
and Adult Health
Tanggal publikasi : Mei 2009
Lokasi : Kanada
3. Dampak kekerasan seksual di Jurnal ini menjelaskan mengenai dampak
ranah domestik terhadap kekerasan seksual ranah domestik
keberlangsungan hidup anak terhadap keberlangsungan hidup anak.
Dampak yang ditemukan seperti emosi
tidak stabil; cenderung diam, tidak mau
Tanggal Publikasi : 20
keluar rumah; depresi, ketakutan, cemas;
Februari 2017
suka melamun; malu dan minder; putus
Lokasi : Indonesia
sekolah; diasingkan oleh keluarga;
diasingkan tetangga; keberlangsungan
hidup keluarga dan korban terganggu;
dan kejelasan status anak hasil inses;
anak yang dilahirkan mengalami
kelainan fisik dan psikis

BAB VI
PENUTUP

VI.1. Kesimpulan
Forensik Klinik adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang
mencakup pemeriksaan forensik terhadap korban hidup dan investigasinya,
kemudian aspek medikolegal, juga psikopatologinya. Namun, Untuk
menyelesaikan permasalahan kasus kekerasan seksual pada anak, tidak hanya
membutuhkan intervensi medis semata-mata, tetapi menuntut diambilnya langkah
penanganan yang holistik dan komprehensif termasuk dukungan psikososial yang
secara otomatis membutuhkan dukungan optimal dari keluarga dan masyarakat.
Tugas dokter tidak hanya menjalankan fungsi maksimal dalam bidang kesehatan,
namun dokter tersebut dituntut untuk mematuhi tuntutan undang-undang
terhadapnya terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan proses hukum. Peranan
seorang dokter dalam pengumpulan bukti salama pemeriksaan medis forensik
memiliki hubungan langsung dengan keberhasilan penuntutan kasus. Selain itu,
seorang dokter dituntut untuk dapat menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
dan adanya tanda-tanda kekerasan.

III.2. Saran
1. Bagi instansi kesehatan, khususnya rumah sakit agar lebih meningkatkan
kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana pemeriksaan penunjang,
khususnya bagi korban kekerasan seksual pada anak, sehingga diharapkan
dapat semakin membantu lancarnya proses peradilan.
2. Bagi orang tua agar memberikan pendidikan seksual atau pendidikan
kesehatan reproduksi bagi anak-anak sedini mungkin
3. Pada kasus kekerasan seksual pada anak,tidak hanya difokuskan pada
perawatan medisnya saja tetapi yang tak kalah penting adalah terapi psikis
pada anak,

LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

1. Brower, V. Mind-body research moves towards the mainstream. EMBO


Rep. 2006, 7, 358–361. [CrossRef] [PubMed]
2. Fagundes, C.P.; Glaser, R.; Kiecolt-Glaser, J.K. Stressful early life
experiences and immune dysregulation across the lifespan. Brain Behav.
Immun. 2013, 27C, 8–12. [CrossRef] [PubMed]
3. Leserman, J.; Drossman, D.A. Relationship of abuse history to functional
gastrointestinal disorders and symptoms, some possible mediating
mechanisms. Trauma Violence Abuse 2007, 8, 331–343. [CrossRef]
[PubMed]
4. Levine, P.A. In an Unspoken Voice: How the Body Releases Trauma and
Restores Goodness; North Atlantic Books: Berkeley, CA, USA, 2010;
ISBN 10-155-6-439-431.
5. Nelson, S.; Baldwin, N.; Taylor, J. Mental health problems and medically
unexplained physical symptoms in adult survivors of childhood sexual
abuse: An integrative literature review. J. Psychiatr. Ment. Health Nurs.
2012, 19, 211–220. [CrossRef] [PubMed]
6. Paras, M.L.; Hassan Murad, M.; Chen, L.P.; Goranson, E.N.; Sattler, A.L.;
Colbenson, K.M.; Elamin, M.B.; Seime, R.J.; Prokop, L.J.; Zirakzadeh, A.
Sexual abuse and lifetime diagnosis of somatic disorders: A systematic
review and meta-analysis. JAMA 2009, 302, 550–561. [CrossRef]
[PubMed]
7. Wegman, H.L.; Stetler, C. A meta-analytic review of the effects of
childhood abuse on medical outcomes in adulthood. Psychosom. Med.
2009, 71, 805–812. [CrossRef] [PubMed]
8. Chapman, D.P.; Wheaton, A.G.; Anda, R.F.; Croft, J.B.; Edwards, V.J.;
Liu, Y.; Sturgis, S.L.; Perry, G.S. Adverse childhood experiences and
sleep disturbances in adults. Sleep Med. 2011, 12, 773–779. [CrossRef]
[PubMed]
9. Sigurdardottir, S.; Halldorsdottir, S. Repressed and silent suffering:
Consequences of childhood sexual abuse for women’s health and well-
being. Scand. J. Caring Sci. 2013, 27, 422–432. [CrossRef] [PubMed]
10. Von Korff, M.; Alonso, J.; Ormel, J.; Angermeyer, M.; Bruffaerts, R.;
Fleiz, C.; de Girolamo, G.; Kessler, R.C.; Kovess-Masfety, V.; Posada-
Villa, J.; et al. Childhood psychosocial stressors and adult onset arthritis:
Broad spectrum risk factors and allostatic load. Pain 2009, 143, 76–83.
[CrossRef] [PubMed]
11. Dube, S.R.; Fairweather, D.; Person, W.S.; Felitti, V.J.; Anda, R.F.; Croft,
J.B. Cumulative childhood stress and autoimmune diseases in adults.
Psychosom. Med. 2009, 71, 243–250. [CrossRef] [PubMed]
12. Wilson, D.R. Health consequences of childhood sexual abuse. Perspect.
Psychiatr. Care 2010, 46, 56–64. [CrossRef] [PubMed]
13. Romans, S.; Belaise, C.; Martin, J.; Morris, E.; Raffi, A. Childhood abuse
and later medical disorders in women: An epidemiological study.
Psychother. Psychosom. 2002, 71, 141–149. [CrossRef] [PubMed]
14. Kendall-Tackett, K. Psychological trauma and physical health: A
psychoneuroimmunology approach to aetiology of negative health effects
and possible interventions. Psychol. Trauma 2009, 1, 35–48. [CrossRef]
15. Kuhlman, K.R.; Howell, K.H.; Graham-Berrmann, S.A. Physical health in
preschool children exposed to intimate partner violence. J. Fam. Violence
2012, 27, 499–510. [CrossRef]
16. Anda, R.F.; Brown, D.W.; Dube, S.R.; Bremner, J.D.; Felitti, V.J.;
Giles,W.H. Adverse childhood experiences and chronic obstructive
pulmonary disease in adults. Am. J. Prev. Med. 2008, 34, 396–403.
[CrossRef] [PubMed]
17. Talbot, N.L.; Chapman, B.; Conwell, Y.; McCollumn, K.; Franus, N.;
Cotescu, S.; Duberstein, P.R. Childhood sexual abuse is associated with
physical illness burden and functioning in psychiatric patients 50 years of
age and older. Psychosom. Med. 2009, 71, 417–422. [CrossRef] [PubMed]
18. Beck, J.J.; Elzevier, H.W.; Pelger, R.C.; Putter, H.;Woorham-van der
Zalm, P.J. Multiple pelvic floor complaints are correlated with sexual
abuse history. J. Sex. Med. 2009, 6, 193–198. [CrossRef] [PubMed]
19. Seith, A.; Teichman, J. Differences in the clinical presentation of
interstitial cystitis/painful bladder syndrome in patients with or without
sexual abuse history. J. Urol. 2008, 180, 2029–2033. [CrossRef] [PubMed]
20. Pereda, N.; Guilera, G.; Forns, M.; Gómez-Benito, J. The prevalence of
child sexual abuse in community and student samples: A meta-analysis.
Clin. Psychol. Rev. 2009, 29, 328–338. [CrossRef] [PubMed]
21. Wijma, B.; Schei, B.; Swahnberg, K.; Hilden, M.; Offerdal, K.; Pikarinen,
U.; Sidenius, K.; Steingrimsdottir, T.; Stoum, H.; Halmesmäki, E.
Emotional, physical and sexual abuse in patients visiting gynaecology
clinics: A Nordic cross sectional study. Lancet 2003, 361, 2107–2113.
[CrossRef]
22. Gault-Sherman, M.; Silver, E.; Sigfúsdóttir, I.D. Gender and the associated
impairment of childhood sexual abuse: A national study of Icelandic
youth. Soc. Sci. Med. 2009, 69, 1515–1522. [CrossRef] [PubMed]
23. Asgeirsdottir, B.B.; Sigfusdottir, I.D.; Gudjonsson, G.H.; Sigurdsson, J.F.
Associations between sexual abuse and family conflict/violence, self-
injurious behavior, and substance use: The mediating role of depressed
mood an anger. Child Abuse Negl. 2011, 35, 210–219. [CrossRef]
[PubMed]
24. Thoresen, S.; Myhre, M.;Wentzel-Larsen, T.; Aakvaag, H.F.; Hjemdal,
O.K. Violence against children, later victimisation, and mental health: A
cross-sectional study of the general Norwegian population. Eur. J.
Psychotraumatol. 2015, 13, 26259. [CrossRef] [PubMed]
25. Kloppen, K.; Haugland, S.; Svedin, C.G.; Mæhle, M.; Breivik, K.
Prevalence of child sexual abuse in the Nordic countries: A literature
review. J. Child Sex. Abuse 2016, 25, 1–19. [CrossRef] [PubMed]
26. Mohler-Kuo, M.; Landolt, M.A.; Maier, T.; Meidert, U.; Schönbucher, V.;
Schnyder, U. Child sexual abuse revisited: A population-based cross-
sectional study among Swiss adolescents. J. Adolesc. Health 2014, 54,
304–311. [CrossRef] [PubMed]
27. Finkelhor, D.; Hotaling, G.; Lewis, I.A.; Smith, C. Sexual abuse in a
national survey of adult men and women: Prevalence, characteristics and
risk factors. Child Abuse Negl. 1990, 14, 19–28. [CrossRef]
28. Briere, J.; Elliott, D.M. Prevalence and psychological sequelae of self-
reported childhood physical and sexual abuse in a general population
sample of men and women. Child Abuse Negl. 2003, 27, 1205–1222.
[CrossRef] [PubMed]
29. Finkelhor, D.; Shattuck, M.A.; Turner, H.A.; Hamby, S.L. The lifetime
prevalence of child sexual abuse and sexual assault assessed in late
adolescence. J. Adolesc. Health 2014, 55, 329–333. [CrossRef] [PubMed]
30. Bonomi, A.E.; Anderson, M.L.; Rivara, F.P.; Cannon, E.A.; Fishman,
P.A.; Carrell, D.; Reid, R.J.; Thompson, R.S. Healthcare utilization and
costs associated with childhood abuse. J. Gen. Intern. Med. 2008, 23, 294–
299. [CrossRef] [PubMed]
31. Chartier, M.J.;Walker, J.R.; Naimark, B. Health risk behavior and mental
health problems as mediators of the relationship between childhood abuse
and adult health. Am. J. Public Health 2009, 99, 847–854. [CrossRef]
[PubMed]
32. Fergusson, D.M.; McLeod, G.F.H.; Horwood, L.J. Childhood sexual abuse
and adult developmental outcomes: Findings from a 30-year longitudinal
study in New Zealand. Child Abuse Negl. 2013, 37, 664–674. [CrossRef]
[PubMed]
33. Singh, M.M.; Parsekar, S.S.; Nair, S.N. An epidemiological overview of
child sexual abuse. J. Fam. Med. Prim. Care 2014, 3, 430–435. [CrossRef]
[PubMed]
34. Monteiro, S.; Matos, A.P.; Oliveira, S. The moderating effect of gender:
Traumatic experience and depression in adolescence. Procedia Soc. Behav.
Sci. 2015, 165, 251–259. [CrossRef]
35. Kamiya, Y.; Timonen, V.; Kenny, R.A. The impact of childhood sexual
abuse on the mental and physical health, and healthcare utilization of older
adults. Int. Psychogeriatr. 2016, 28, 415–422. [CrossRef] [PubMed]
36. Sudbrack, R.; Manfro, P.H.; Kuhn, I.M.; Carvalho, H.W.; Lara, D.R. What
doesn’t kill you makes you stronger and weaker: How childhood trauma
relates to temperament traits. J. Psychiatr. Res. 2015, 62, 123–129.
[CrossRef] [PubMed]
37. Lind, M.J.; Aggen, S.H.; Kendler, K.S.; York, T.P.; Amstadter, A.B. An
epidemiologic study of childhood sexual abuse and adult sleep
disturbances. Psychol. Trauma 2016, 8, 198–205. [CrossRef] [PubMed]
38. Wilson, L.C.; Scarpa, A. Interpersonal difficulties mediate the relationship
between child sexual abuse and depression symptoms. Violence Vict.
2015, 30, 163–176. [CrossRef] [PubMed]
39. Soba´ nski, J.A.; Klasa, K.; Cyranka, K.; Müldner-Nieckowski, L.; Dembi´
nska, E.; Rutkowski, K.; Smiatek-Mazgaj, B.; Mielima˛ka, M. Influence of
cumulated sexual trauma on sexual life and relationship of a patient.
Psychiatr. Pol. 2014, 48, 739–758. [PubMed]
40. Cantón-Cortés, D.; Cantón, J. Coping with CSA among college students
and post-traumatic stress disorder: The role of continuity of abuse and
relationship with the perpetrator. Child Abuse Negl. 2010, 34, 496–506.
[CrossRef] [PubMed]
41. Brown, J.; Burnette, M.L.; Cerulli, C. Correlations between sexual abuse
histories, perceived danger and PTSD among intimate partner violence
victims. J. Interpers. Violence 2014, 16. [CrossRef] [PubMed]
42. Spitzer, C.; Barnow, S.; Wingenfeld, K.; Rose, M.; Löwe, B.; Grabe, H.J.
Complex post-traumatic stress disorder in patients with somatization
disorder. ANZJP 2009, 43, 80–86. [CrossRef] [PubMed]
43. Van der Hart, O.; van Ochten, J.M.; van Son, M.J.; Steele, K.; Lensvelt-
Mulders, G. Relations among peri-traumatic dissociation and post-
traumatic stress: A critical review. J. Trauma Dissoc. 2008, 9, 481–505.
[CrossRef]
44. Sigurdardottir, S.; Halldorsdottir, S.; Bender, S.S. Consequences of
childhood sexual abuse for health and well-being: Gender similarities and
differences. Scand. J. Public Health 2014, 42, 278–286. [CrossRef]
[PubMed]
45. Halldorsdottir, S. The Vancouver School of Doing Phenomenology. In
Qualitative Research Methods in the Service of Health; Fridlund, B.,
Hildingh, C., Eds.; Studentlitteratur: Lund, Sweden, 2000; pp. 47–78,
ISBN 91-44-01248-9.
46. Dowling, M.; Cooney, A. Research approaches related to phenomenology:
Negotiating a complex landscape. Nurse Res. 2012, 20, 21–27. [CrossRef]
[PubMed]
47. Yin, R.K. Case Study Research: Design and Methods, 5th ed.; SAGE:
Thousand Oaks, CA, USA, 2014; ISBN 9781452242569.
48. Mills, A.J.; Durepos, G.; Wiebe, E. Encyclopedia of Case Study Research;
SAGE: Thousand Oaks, CA, USA, 2010; ISBN 9781412956703.
49. Thomas, G. A typology for the case study in social science following a
review of definition, discourse and structure. Qual. Inq. 2011, 17, 511–
521. [CrossRef]
50. Spiegelberg, H. The Phenomenological Movement: A Historical
Introduction; Martinus Nijhoff: Haag, The Netherlands, 1984; ISBN 109-
0-24-72535-6.
51. Sigurdardottir, S.; Halldorsdottir, S.; Bender, S.S. Personal resurrection:
Female childhood sexual abuse survivors’ experience of the Wellness-
Program. Scand. J. Caring Sci. 2016, 30, 175–186. [CrossRef] [PubMed]
52. Arnaudo, E. Pain and dualism: Which dualism? J. Eval. Clin. Pract. 2017,
23, 1081–1086. [CrossRef] [PubMed]
53. Rothschild, B. The Body Remembers;W.W. Norton: New York, NY,
USA, 2000; ISBN 978-0-393-70327-6.
54. Nijenhuis, E.R.S.; van der Hart, O. Dissociation in trauma: A new
definition and comparison with previous formulations. J. Trauma Dissoc.
2013, 12, 416–445. [CrossRef] [PubMed]
55. Manzano-Mojica, J.; Martínez-Taboas, A.; Sayers-Montalvo, S.K.;
Cabiya, J.J.; Alicea-Rodríguez, L.E. Dissociation in sexually abused
Puerto Rican children: A replication utilizing social workers as informers.
J. Trauma Dissoc. 2012, 13, 330–344. [CrossRef] [PubMed]
56. Elklit, A.; Christiansen, D.M. Risk factors for posttraumatic stress disorder
in female help-seeking victims of sexual assault. Violence Vict. 2013, 28,
552–568. [CrossRef] [PubMed]
57. Pace, T.W.W.; Heim, C.M. A short review on the
psychoneuroimmunology of posttraumatic stress disorder: From risk
factors to medical comorbidities. Brain Behav. Immun. 2011, 25, 6–13.
[CrossRef] [PubMed]
58. Jia, H.; Li, J.Z.; Leserman, J.; Hu, Y.; Drossman, D.A. Relationship of
abuse history and other risk factors with obesity among female
gastrointestinal patients. Dig. Dis. Sci. 2006, 49, 872–877. [CrossRef]
59. Power, C.; Pinto Pereira, S.M. Childhood maltreatment and BMI
trajectories to mid-adult life: Follow-up to age 50y in a British Birth
Cohort. PLoS ONE 2015, 10, e0119985. [CrossRef] [PubMed]
60. Duncan, A.E.; Sartor, C.E.; Jonson-Reid, M.; Munn-Chernoff, M.A.;
Eschenbacher, M.A.; Diemer, E.W.; Nelson, E.C.; Waldron, M.; Bucholz,
K.K.; Madden, P.A.F.; et al. Associations between body mass index, post-
traumatic stress disorder, and child maltreatment in young women. Child
Abuse Negl. 2015, 45, 154–162. [CrossRef] [PubMed]
61. Blanco, L.; Nydegger, L.A.; Camarillo, G.; Trinidad, D.R.; Schramm, E.;
Ames, S.L. Neurological changes in brain structure and functions among
individuals with a history of childhood sexual abuse: A review. Neurosci.
Biobehav. R. 2015, 57, 63–69. [CrossRef] [PubMed]
62. Peters, E.M.J.; Liezmann, C.; Klapp, B.F.; Kruse, J. The neuroimmune
connection interferes with tissue regeneration and chronic inflammatory
disease in the skin. Ann. N. Y. Acad. Sci. 2012, 1262, 118–126.
[CrossRef] [PubMed]
63. Barnes, J.E.; Noll, J.G.; Putnam, F.W.; Trickett, P.K. Sexual and physical
re-victimization among victims of severe childhood sexual abuse. Child
Abuse Negl. 2009, 33, 412–420. [CrossRef] [PubMed]
64. D’Abreu, L.C.; Krahé, B. Vulnerability to sexual victimization in female
and male college students in Brazil: Cross-sectional and prospective
evidence. Arch. Sex. Behav. 2014, 45, 1101–1115. [CrossRef] [PubMed]
65. McClure, F.H.; Chavez, D.V.; Agars, M.D.; Peacock, M.J.; Matosian, A.
Resilience in sexually abused women: Risk and protective factors. J. Fam.
Violence 2008, 23, 81–88. [CrossRef]
66. Putman, S.E. The monsters in my head: Posttraumatic stress disorder and
the child survivor of sexual abuse. J. Couns. Dev. 2009, 87, 80–89.
[CrossRef]
67. Sperry, D.; Widom, C.S. Child abuse and neglect, social support, and
psychopathology in adulthood: A prospective investigation. Child Abuse
Negl. 2013, 37, 415–425. [CrossRef] [PubMed]
68. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap
Anak Bago Petugas Kesehatan, diakses tanggal 09 Juli 2018 dari
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-
content/uploads/downloads/2011/01/PEDOMAN-RUJUKAN-KASUS-
KtA-BAGI-PETUGAS-KESEHATAN.pdf. 2011
69. Centers for Disease Control and Prevention, Child Maltreatment
Surveillance: Uniform Definitions for Public Health and Recommended
Data Elements di akses tanggal 09 Juli 2018 dari
http://www.cdc.gov/violenceprevention/pdf/CM_Surveillance-a.pdf.2010
70. Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. EGC:
Jakarta, 2012.
71. Reneta Kristiani, Doni, Mira Nurcahyo budi W. Kekerasan Seksual Pada
Anak. (diakses tanggal 09 Juli 2018 dari
http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter%2015.pdf ).2010
72. Hobbs CJ, Hanks HGI, Wynne JM: Violence and criminality.
Dalam: Child Abuse and Neglect A Clinician’s Handbook. 2nd Edition.
Churchill Livingstone, London. 1999
73. Bittner S, Newberger EH: Pediatric understanding of child abuse and
neglect. Pediatric Rev 2:198, 1998.
74. Philip SL. Clinical Forensic Medicine: Much Scope for Development in
Hong Kong. Hongkong: Departement of Pathology Faculty of Medicine
University of Hongkong. 2007
75. Meadow R: ABC of child abuse. Edition. BMJ, 1993.
76. Sugiarto I. Aspek Klinis Kekerasan Pada Anak dan Pencegahannya.
Diakses tanggal 09 Juli 2018 dari
:http://www.lcki.org/images/seminar /anak/tatalaksana.pdf. [Update : Juli
2007]
77. Idries, AM. 1997. Kekerasan Seksual. Dalam: Idries, AM, Pedoman Ilmu
Kedokteran Forensik. Jakarta: Bina Rupa Aksara. p 216-27
78. Narendra et al, 2002. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta :
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
79. Stang, J., Story, M., 2005. Pubertal Growth and Development. Available
from: http://www.epi.umn.edu/let/pubs/img/adol_ch1.pdf. (Accesed: 2012,
March 3).
80. Anonim, “Expert Consensus Treatment Guidelines for Post Traumatic
Stress Disorder: A Guide for Patients and Families,” http://www.
psychguides. com, diakses 09 Juli 2018

Anda mungkin juga menyukai