TINJAUAN PUSTAKA
Pasal 286
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada
dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Dokter perlu mencari tahu
apakah korban sadar waktu persetubuhan terjadi, adakah penyakit yang
diderita korban yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan korban
pingsan atau tidak berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi pingsan,
maka perlu diketahui bagaimana terjadinya pingsan itu, apakah terjadi
setelah korban diberi minuman atau makanan. Pada pemeriksaan perlu
diperhatikan apakah korban menunjukkan tanda-tanda bekas kehilangan
kesadaran, atau tanda-tanda telah berada di bawah pengaruh obat-obatan.
Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban
pingsan atau tidak berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak
pidana perkosaan, karena dengan membuat korban pingsan atau tidak
berdaya ia telah melakukan kekerasan.
Pada kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan
kejahatan dimana persetubuhan tersebut terjadi tanpa persetujuan wanita,
seperti yang dimaksud oleh pasal 285 dan 286 KUHP; maka untuk kasus-
kasus tersebut Visum et Repertum harus dapat membuktikan bahwa pada
wanita tersebut telah terjadi kekerasan dan persetubuhan. Kejahatan
seksual seperti yang dimaksud oleh pasal 285 KUHP disebut perkosaan,
dan perlu dibedakan dari pasal 286 KUHP. Kejahatan seksual yang
dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku tidak melakukan upaya
apapun; pingsan atau tidak berdayanya korban bukan diakibatkan oleh
perbuatan si pelaku kejahatan seksual.
Pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa
umumnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas,
bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur
wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal
berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.
Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang
menurut Undang-Undang belum cukup umur. Jika umur korban belum
cukup 15 tahun tetapi sudah di atas 12 tahun, penuntutan baru
dilakukan bila ada pengaduan dari yang bersangkutan. Jadi dengan
keadaan itu persetubuhan tersebut merupakan delik aduan, bila tidak
ada pengaduan, tidak ada penuntutan. Tetapi keadaan akan berbeda
jika:
Pasal 288
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang
wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa
yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila
perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana
penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.
Dengan demikian dari Visum et Repertum yang dibuat oleh
dokter diharapkan dapat membuktikan bahwa korban memang belum
pantas dikawin, memang terdapat tanda-tanda persetubuhan, tanda-
tanda kekerasan dan dapat menjelaskan perihal sebab kematiannya.
Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang belum mampu
dikawin dapat timbul permasalahan bagi dokter karena penentuan
tersebut mencakup dua pengertian, yaitu pengertian secara biologis
dan pengertian menurut Undang-Undang. Secara biologis seorang
perempuan dikatakan mampu untuk dikawin bila ia telah siap untuk
dapat memberikan keturunan, dimana hal ini dapat diketahui dari
menstruasi, apakah ia belum pernah mendapat menstruasi atau sudah
pernah. Sedangkan menurut Undang-Undang perkawinan, maka batas
umur termuda bagi seorang perempuan yang diperkenankan untuk
melangsungkan perkawinan adalah 16 tahun. Dengan demikian dokter
diharapkan dapat menentukan berapa umur dari perempuan yang
diduga merupakan korban seperti yang dimaksud dalam pasal 288
KUHP.
Dalam kasus-kasus persetubuhan di luar perkawinan yang
merupakan kejahatan, dimana persetubuhan tersebut memang
disetujui oleh si perempuan maka dalam hal ini pasal-pasal dalam
KUHP yang dimaksud adalah pasal 284 dan 287.
Pasal 289
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.”
Pasal 290
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya
belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang
bersangkutan belum waktunya untuk dikawin:
3. Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas
tahun atau kalau umumya tidak jelas yang bersangkutan atau
belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar
perkawinan dengan orang lain.
Pasal 291
(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan
290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara
paling lama dua belas tahun
(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286, 287, 289
dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
Pasal 292
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun.”
Pasal 293
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan,
atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum
dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal
tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus
diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap
dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini
adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
Pasal 294
(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya,
anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum
dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang diserahkan
kepadanya untuk dipelihara, dididik atau dijaga, ataupun dengan
pembantunya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama:
1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang
penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.
2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh
dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan,
rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga
sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimasukkan ke dalamnya.
Dengan itu maka dihukum juga pegawai negeri yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang di bawahnya/orang
yang dipercayakan/diserahkan kepadanya untuk dijaga, serta
Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau bujang di penjara, di
tempat bekerja kepunyaan negeri, tempat pendidikan, rumah piatu,
RS jiwa atau lembaga semua yang melakukan perbuatan cabul
dengan orang yang dimaksudkan di situ.
Pasal 295
(1) Diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa
dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya
perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya,
atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau
oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya,
pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun
oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur,
dengan orang lain;
2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa
dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan
cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas., yang
dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau
yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.
(3) Jika yang rs melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan,
maka pidana dapat ditambah sepertiga.
Pasal 296
”Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul
oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai
pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama
satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas
ribu rupiah.”
Pasal 297
“Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum
dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
Pasal 298
(1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam
pasal 281, 284 – 290 dan 292 – 297, pencabutan hak-hak
berdasarkan pasal 35 No. 1 – 5 dapat dinyatakan.
(2) Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan berdasarkan
pasal 292 – 297 dalam melakukan pencariannya, maka hak untuk
melakukan pencarian itu dapat dicabut.
Pasal 299
(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau
menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan
harapan bahwa karena pengobatan itu kandungannya dapat
digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu
rupiah.
(2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan,
atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pekerjaan atau
kebiasaan, atau jika dia seorang dokter, bidan atau juru obat,
pidananya dapat ditambah sepertiga
(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam
menjalankan pekerjaannya, dapat dicabut haknya untuk
menjalakukan pekerjaan itu.
b. Perlindungan Hukum menurut Undang – undang Perlindungan Anak
Dalam rangka perlindungan dan pencegahan kekerasan pada anak,
pemerintah juga telah memfasilitasi berdirinya lembaga independen yang
berfungsi untuk mengontrol keamanan, kenyamanan dan terpenuhinya hak-
hak anak yaitu dengan adanya Komisi Perlindungan Anak Indonesia melalui
Undang-Undang Republik Indonesia No.17 tahun 2016 tentang Perlindungan
Anak yang berfungsi untuk pemberian perlindungan khusus bagi hak-hak
anak dari berbagai macam kekerasan, dalam hal ini tindak kekerasan seksual.5
Pasal 54
(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib
mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis,
kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh
pendidik, tenaga kependidikan, sesama pesertapendidik, dan/atau
pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau
masyarakat.
Pasal 64A dan 71D
Selanjutnya dalam hal anak yang menjadi korban dari tindak
kekerasan seksual, dalam hal ini Undang-Undang ini memberikan
perlindungan khusus dalam hal pemulihan korban yang diatur dalam
Pasal 64A serta pengajuan ganti rugi (restitusi) terhadap diri korban
secara langsung yang ditanggungkan kepada pelaku tindak kekerasan
seksual yang diatur dalam Pasal 71D.
Pasal 76A, 76D dan 76E
Selanjutnya dalam Undang-Undang ini berisi tentang larangan-
larangan melakukan perbuatan yang melanggar hak-hak anak yang
diatur dalam BAB XIA yang terdiri dari Pasal 76A, 76D yang berisi
perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan terhadap anak. Khusus
untuk larangan melakukan tindak kekerasan seksual diatur dalam
Pasal 76D dan 76E.
- Pasal 76A
“Setiap orang dilarang:
a. memperlakukan Anak secara diskriminatif yang
mengakibatkan Anak mengalami kerugian, baik materiil
maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya;
atau
b. memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas secara
diskriminatif. “
- Pasal 76D
“ Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain. “
- Pasal 76E
“ Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. “
Untuk selanjutnya ketika terdapat orang yang melanggar
larangan yang ada, melakukan kejahatan serta melanggar hak-hak anak
pada larangan yang telah diatur diatas dalam hal ini melakukan tindak
kekerasan seksual terhadap anak maka terhadap orang tersebut akan
dikenakan sanksi (hukuman) pidana untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya yang telah diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82 pada BAB
XII tentang Ketentuan Pidana dalam undang-undang ini.
Pasal 81
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau
tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan
kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan
luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau
hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia,
pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan
berupa pengumuman identitas pelaku.
(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat
(5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan
alat pendeteksi elektronik.
(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan
bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka
waktu pelaksanaan tindakan.
(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 81A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 81A
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7)
dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan
dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di
bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial,
dan kesehatan.
(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan
dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 82
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau
tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan
kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan
luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau
hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia,
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan
berupa pengumuman identitas pelaku.
(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai
dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan
pemasangan alat pendeteksi elektronik.
(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan
bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka
waktu pelaksanaan tindakan.
(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
UU RI No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT)8
Pasal 27 berbunyi :
“Dalam hal korban adalah anak, laporan dapat dilakukan oleh orang
tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku”.
Diatur juga Pasal 46, Pasal 47dan Pasal 48 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga dalam hal pemberian hukuman pidana (sanksi) terhadap mereka
yang melakukan tindak kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga
(anak) yang dalam hal ini memberikan perlindungan bagi korban (anak).
Pasal 18
“ Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak
Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan
Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan
Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan
kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana
kekeluargaan tetap terpelihara.”
Pasal 19
(1) Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib
dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun
elektronik
Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi nama Anak,
nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan
hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau
Anak Saksi.
3. Memperkirakan umur
Tidak ada satu metode tepat untuk menentukan umur, meskipun
pemeriksaannya memerlukan berbagai sarana seperti alat rontgen untuk
memeriksa pertumbuhan tulang dan gigi. Perkiraan umur digunakan untuk
menentukan apakah seseorang tersebut sudah dewasa (> 21 tahun)
khususnya pada homoseksual/lesbian serta pada kasus pelaku kekerasan.
Sedangkan pada kasus korban perkosaan perkiraan umur tidak diperlukan.
4. Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin
Secara biologis jika persetubuhan bertujuan untuk mendapatkan
keturunan, pengertian pantas/tidaknya buat kawin tergantung dari: apakah
korban telah siap dibuahi yang artinya telah menstruasi, namun untuk bukti
hal ini korban perlu diisolir untuk waktu cukup lama. Bila dilihat Undang-
Undang Perkawinan, yaitu pada Bab II pada pasal 7 ayat 1 berbunyi :
perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita
sudah mencapai 16 tahun. Namun terbentur lagi pada masalah penentuan
umur yang sulit diketahui kepastiannya.
Gambar 2. Sexual Maturating Rate (SMR) meliputi perubahan rambut pubis pada
Perempuan.70
Tabel 2. Sexual Maturating Rate (SMR) pada perempuan70
III.8. Gangguan Psikis Pada Korban Pelecehan Seksual Dan Perkosaan Post
Traumatic Stress Disorder
Sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan
kilas balik dari pengalaman yang amat pedih setelah mengalami stress fisik
maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa.
Gejala:
1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan
peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami, flashback (merasa seolah-
olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi
buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional
dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang
menyedihkan.
2. Penghindaran dan emosional, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas,
tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan
trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, dan perasaan
terasing dari orang lain.
3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah
marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsentrasi, kewaspadaan
yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu.80
Kriteria Diagnostik
Kriteria Diagnostik Gangguan Stress Akut berdasarkan Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders III-Revisi atau DSM III-R:
1. Orang yang mengalami peristiwa luar biasa, dan dirasa amat menekan semua
orang.
2. Peristiwa traumatik itu secara menetap dapat dialami melalui cara teringat
kembali peristiwa secara berulang dan sangat mengganggu, mimpi yang
berulang tentang peristiwa yang membebani pikiran, perasaan atau tindakan
mendadak seolah peristiwa traumatik itu terjadi lagi, tekanan jiwa yang amat
sangat karena terpaku pada peristiwa yang melambangkan atau menyerupai
traumatiknya.
3. Pengelakan yang menetap terhadap rangsang yang terkait dengan trauma atau
kelumpuhan yang bereaksi terhadap situasi umum (yang tak ada sebelum
trauma itu). Keadaan ini paling tidak dapat ditunjukkan dengan sedikitnya 3
dari keadaan yang berupa: upaya untuk mengelak terhadap gagasan atau
perasaan yang terkait dengan trauma itu, upaya untuk mengelak dari kegiatan
atau situasi yang menimbulkan ingatan terhadap trauma itu, ketidakmampuan
untuk mengingat kembali aspek yang penting dari trauma itu, minat yang
sangat berkurang terhadap kegiatan yang penting, rasa terasing dari orang lain,
kurangnya afeksi, dan merasa tidak punya masa depan.
4. Gejala meningginya kesiagaan yang menetap (tak ada sebelum trauma)
dengan ditunjukkan oleh dua dari gejala: sulit masuk tidur atau
mempertahankan tidur yang cukup, iritable atau mudah marah, sulit
berkonsentrasi, amat bersiaga, reaksi kaget yang berlebihan, reaksi rentan faali
saat menghadapi peristiwa yang melambangkan atau menyerupai aspek dari
peristiwa traumatik.
5. Jangka waktu gangguan itu (gejala pada kriteria ke dua, tiga, dan empat)
sedikitnya sebulan
Gangguan Sosial PTSD:
- Panic attack (serangan panik).
Anak/remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan
panik ketika dihadapkan/menghadapi sesuatu yang mengingatkan mereka pada
trauma. Serangan panik meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau tidak
nyaman yang menyertai gejala fisik dan psikologis. Gejala fisik meliputi jantung
berdebar, berkeringat, gemetar, sesak nafas, sakit dada,sakit perut, pusing, merasa
kedinginan, badan panas, mati rasa.
- Perilaku menghindar.
Salah satu gejala PTSD adalah menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan
penderita pada kejadian traumatis. Kadang -kadang penderita mengaitkan semua
kejadian dalam kehidupannya setiap hari dengan trauma, padahal kondisi
kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah dialami. Hal ini sering
menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi takut untuk keluar rumah dan
harus ditemani oleh orang lain jika harus keluar rumah.
- Depresi.
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan
menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa
trauma. Mereka mengembangkan perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah,
menyalahkan diri sendiri, dan merasa peristiwa yang dialami merupakan
kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.
- Membunuh pikiran dan perasaan.
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya sudah
tidak berharga. Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50% korban kekerasan
mempunyai pikiran untuk bunuh diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan
anda mempunyai pemikiran untuk bunuh diri setelah mengalami peristiwa
traumatik, segeralah mencari pertolongan dan berkonsultasi dengan para
profesional.
- Merasa disisihkan dan sendiri.
Penderita PTSD memerlukan dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi
mereka seringkali merasa sendiri dan terpisah. Karena perasaan mereka tersebut,
penderita kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan mendapatkan
pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa orang lain dapat memahami
apa yang telah dia alami.
- Merasa tidak percaya dan dikhianati.
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin
kehilangan kepercayaan dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh
dunia, nasib atau oleh Tuhan. Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang
umum diantara penderita trauma. Tentu saja kita dapat salah kapan saja,
khususnya ketika penderita merasa tersakiti, marah adalah suatu reaksi yang wajar
dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat
mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk
berinteraksi dengan orang lain di rumah dan di tempat terapi.
- Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa penderita PTSD mempunyai beberapa gangguan yang terkait dengan
fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam jangka waktu yang lama setelah
trauma. Seorang korban kekerasan mungkin menjadi sangat takut untuk tinggal
sendirian. Penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi
dan melakukan tugasnya di sekolah.
Pengobatan
- Profesi kedokteran : Sesuai standar pemeriksaan korban kekerasan dan
pembuatan visum et repertumnya
- Kendala → belum berkembangnya Ilmu Kedokteran Forensik Klinik di
Indonesia
- Didirikannya Pusat Krisis terpadu bagi perempuan dan anak-anak
- Menerima dan menatalaksana kekerasan terhadap perempuan, kekerasan fisik
maupun seksual, secara terpadu sehingga diharapkan dapat memperkecil
trauma psikologis akibat viktimisasi lanjutan pada korban.
Pengobatan psikoterapi.
Para terapis yang sangat berkonsentrasi pada masalah PTSD percaya bahwa ada
tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD,
yaitu: anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy .
1. Pada anxiety management:
a. relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan
secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot-otot utama,
b. breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-
lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang
menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik
seperti jantung berdebar dan sakit kepala,
c. positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran
negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal–hal
yang membuat stress (stresor),
d. asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan,
opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,
e. thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita
sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress.80
2. Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang
tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan
kita. Misalnya seorang korban kekerasan mungkin menyalahkan diri sendiri
karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-
pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak
rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran
yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.80
3. Sementara itu, dalam exposure therapy para terapis membantu menghadapi
situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang meng -
ingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam
kehidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the
imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara
detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in
reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin
dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke
rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika
kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya.
Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu
menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat
diatasi.80
4. Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain ( play therapy) mungkin
berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk
menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai
topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak
lebih merasa nya -man dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya.80
5. Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun
ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum
dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam
systematic reviews-nya merekomendasikan perlu untuk melakukan debriefing
pada kasus korban-korban trauma (Rose et al, 2002). Mengenai debriefing
oleh bidan, Small gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya (Small et al.,
2000). Meski begitu, Boyce dan Condon merekomen-dasikan bidan untuk
melakukan debriefing pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian
traumatik ketika melahirkan (Boyce & Condon, 2000).
6. Selain itu, didapatkan pula support group therapy dan terapi bicara. Dalam
support group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang
mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban
gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang
pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka saling member penguatan satu
sama lain (Swalm, 2005).
7. Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah
studi penelitian dapat membukti kan bahwa terapi saling berbagi cerita
mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan
berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam.
Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik
dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang
diderita dan melawan kecemasan.80 Pendidikan dan supportive konseling juga
merupakan upaya lain untuk mengobati PTSD. Konselor ahli mem-
pertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan keluarganya) untuk
mempelajari gejala PTSD dan bermacam treatment (terapi dan pengobatan)
yan g cocok untuk PTSD. Walaupun seseorang mem-punyai gejala PTSD
dalam waktu lama, langkah pertama yang pada akhirnya dapat ditempuh
adalah mengenali gejala dan permasalahannya sehingga dia mengerti apa yang
dapat dilakukan untuk mengatasinya.80
BAB IV
BAB VI
PENUTUP
VI.1. Kesimpulan
Forensik Klinik adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang
mencakup pemeriksaan forensik terhadap korban hidup dan investigasinya,
kemudian aspek medikolegal, juga psikopatologinya. Namun, Untuk
menyelesaikan permasalahan kasus kekerasan seksual pada anak, tidak hanya
membutuhkan intervensi medis semata-mata, tetapi menuntut diambilnya langkah
penanganan yang holistik dan komprehensif termasuk dukungan psikososial yang
secara otomatis membutuhkan dukungan optimal dari keluarga dan masyarakat.
Tugas dokter tidak hanya menjalankan fungsi maksimal dalam bidang kesehatan,
namun dokter tersebut dituntut untuk mematuhi tuntutan undang-undang
terhadapnya terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan proses hukum. Peranan
seorang dokter dalam pengumpulan bukti salama pemeriksaan medis forensik
memiliki hubungan langsung dengan keberhasilan penuntutan kasus. Selain itu,
seorang dokter dituntut untuk dapat menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
dan adanya tanda-tanda kekerasan.
III.2. Saran
1. Bagi instansi kesehatan, khususnya rumah sakit agar lebih meningkatkan
kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana pemeriksaan penunjang,
khususnya bagi korban kekerasan seksual pada anak, sehingga diharapkan
dapat semakin membantu lancarnya proses peradilan.
2. Bagi orang tua agar memberikan pendidikan seksual atau pendidikan
kesehatan reproduksi bagi anak-anak sedini mungkin
3. Pada kasus kekerasan seksual pada anak,tidak hanya difokuskan pada
perawatan medisnya saja tetapi yang tak kalah penting adalah terapi psikis
pada anak,
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA