Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

Mola Hidatidosa
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Kebidanan dan Kandungan FK Unsyiah/RSUDZA
Banda Aceh

Oleh:
Rahmat Aidil Fajar Siregar
1707101030074
Siti Rahmah
1707101030129

Pembimbing:
dr. Munawar, Sp. OG

BAGIAN/ SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala,


karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulisan laporan kasus ini dapat
diselesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam penulis panjatkan ke pangkuan Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah membimbing umat manusia
dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun laporan kasus dengan judul ” Mola Hidatidosa ” ini diajukan
sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada
Bagian/SMF Ilmu Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran Unsyiah /
BLUD Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pembimbing laporan kasus
kami, dr. Munawar, Sp. OG yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing
penulis untuk menyelesaikan penulisan tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moril
dan materil sehingga tugas ini dapat selesai pada waktunya. Penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sekalian demi
kesempurnaan laporan kasus ini.

Banda Aceh, Juni 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 2


2.1 Definisi .......................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi ................................................................................. 2
2.3 Etiologi .......................................................................................... 2
2.4 Patofisiologi................................................................................... 3
2.5 Klasifikasi ...................................................................................... 4
2.6 Manifestasi Klinis.......................................................................... 5
2.7 Diagnosis ....................................................................................... 7
2.8 Tatalaksana .................................................................................... 10
2.9 Diagnosis Banding ........................................................................ 11
2.10 Prognosis ....................................................................................... 12

BAB III LAPORAN KASUS ................................................................... 13


3.1 Identitas Pasien .............................................................................. 13
3.2 Anamnesis ..................................................................................... 13
3.3 Pemeriksaan Fisik.......................................................................... 14
3.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 15
3.5 Diagnosis ....................................................................................... 17
3.6 Tatalaksana .................................................................................... 17
3.7 Prognosis ....................................................................................... 17

BAB IV ANALISA KASUS ..................................................................... 18

BAB V KESIMPULAN ......................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional (FIGO), kehamilan


didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan
dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga
lahirnya bayi, kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40 minggu atau
10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional. Kehamilan normal
berakhir dengan lahirnya bayi yang cukup bulan dan tidak cacat. Tetapi hal
tersebut tidak selalu terjadi. Selain kehamilan normal, di dalam rahim juga dapat
berkembang suatu kehamilan abnormal. Salah satu bentuk kehamilan abnormal
adalah penyakit trofoblas ganas.(1)
Dalam klasifikasi Penyakit Trofoblas Gestasional (PTG) yang dibuat pada
tahun 2004 oleh American College of obstetrics and gynecology Mola hidatidosa
termasuk dalam salah satu jenis PTG Lesi Molar (benigna). Mola Hidatidosa
didefinisikan sebagai plasenta dengan vili korialis yang berkembang tidak
sempurna dengan gambaran adanya pembesaran, edema, dan vili vesikuler
sehingga menunjukkan berbagai ukuran trofoblas proliferatif tidak normal.(2)
Mola hidatidosa dibedakan menjadi mola hidatidosa komplit dan mola
hidatidosa parsial. Pada negara berkembang angka kejadian Mola Hidatidosa
komplit mencapai 1-3 per 1000 kehamilan dan pada mola hidatidosa parsial kurang
lebih 3 kejadian dalam 1000 kehamilan. Di Asia sendiri negara indonesia memiliki
angka kejadian mola hidatidosa komplit tertinggi yaitu 1 dari 77 kehamilan dan 1
dari 57 persalinan. Faktor risiko terjadinya mola hidatidosa adalah usia maternal,
sosioekonomi rendah dan asupan nutrisi. Sehingga negara berkembang dan negara
maju memiliki angka kejadian yang lebih rendah dibandingkan dengan negara
miskin dan negara berkembang. (3,4)
Penegakkan diagnosa mola hidatidosa dapat dilakukan dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
biasanya didapatkan keluhan berupa perdarahan pervaginam dan amenore. Keluhan
ini terjadi pada 84% pasien dengan mola hidatidosa. Selain itu, pada pemeriksaan
fisik menunjukkan adanya pembesaran uterus pada 50% pasien. Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan adanya peningkatan hingga beratus-ratus kali lipat hormon

1
β-HCG. Sedangkan pada pemeriksaan USG dapat ditemukan gambaran badai salju
(snow storm/snow flake pattern).(3)
Melihat tingginya angka kejadian mola hidatidosa di Indonesia dan
adanya risiko terjadinya keganasan pada mola hidatidosa maka penanganan yang
adekuat serta evaluasi yang berkelanjutan penting dilakukan oleh tenaga medis
yang ada di indonesia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar
dimana terjadi keabnormalan dalam konsepsi plasenta yang disertai dengan
perkembangan parsial atau tidak ditemukan adanya pertumbuhan janin, hampir
seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropobik. Janin
biasanya meninggal akan tetapi villus-villus yang membesar dan edematus itu
hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan adalah sebagai segugus buah
anggur. Jaringan trofoblast pada vilus berproliferasi dan mengeluarkan hormon
human chononic gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada
kehamilan biasa.(3,5)

2.2 Epidemiologi
Frekuensi mola hidatidosa umumnya pada wanita Asia lebih tinggi (1 per
120 kehamilan) dibandingkan pada wanita di negara Barat (1 per 2.000 kehamilan).
Di Indonesia, mola hidatidosa dianggap sebagai penyakit yang penting dengan
angka kejadiannya yang tinggi (1 dari 77 kehamilan). Faktor risiko mola hidatidosa
terdapat pada usia maternal yang hamil kurang dari 20 tahun dan di atas 35 tahun,
gizi buruk, riwayat obstetri, etnis dan genetik.(3,4)

2.3 Etiologi dan faktor risiko


Mola hidatidosa disebabkan oleh fertilisasi yang abnormal antara ovum dan
sel sperma. Ovum dibuahi oleh sebuah sel sperma haploid yang menduplikasikan
kromosomnya sendiri setelah meiosis (androgenesis). Dikarenakan kromosom
ovum yang tidak ada atau inaktif. Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat
menyebabkan terjadinya mola hidatidosa :
1. Faktor usia
Usia maternal yang hamil ketika usia terlalu muda atau terlalu tua dapat
menyebabkan terjadinya mola hidatidosa. Secara spesifik, remaja dan wanita
berusia 36-40 tahun memiliki risiko dua kali lipat dan untuk usia diatas 40 tahun
memiliki risiko hampir sepuluh kali lipat.(6)
2. Riwayat kehamilan mola

3
Terdapat peningkatan risiko substansial untuk penyakit trofoblastik rekuren.
Risikonya adalah 1,5% untuk mola hidatidosa komplit dan 2,7% untuk mola
hidatidosa parsial. Pada wanita yang telah mengalami 2x kehamilan mola 23%
kehamilan berikutnya adalah kehamilan mola.(7)
3. Faktor hormonal
Pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral dan dengan durasi yang lama
serta memiliki riwayat keguguran pada kehamilan sebelumnya meningkatkan
kemungkinan terjadinya kehamilan mola hingga dua kali lipat.(8)
4. faktor lain
Ibu dengan riwayat merokok atau perokok aktif, defisiensi vitamin, dan
peningkatan usia paternal merupakan faktor-faktor risiko lainnya yang dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan mola hidatidosa.(9)
2.4 Patofisiologi
Mola hidoatidosa komplit hanya mengandung materi genetik atau
kromosom paternal sehingga bersifat androgenic tanpa adanya jaringan janin.
Hal ini terjadi karena satu sel sperma membawa kromosom 23,X- melakukan
fertilisasi terhadap sel telur yang tidak membawa gen maternal (tidak aktif),
kemudian mengalami duplikasi membentuk 46XX homozigot. Namun,
fertilisasi juga dapat terjadi pada dua spermatozoa yang akan membentuk 46XX
dan 46 XY heterozigot. Secara makroskopik, pada kehamilan trimester II
molahidatidosa komplit berbentuk seperti anggur karena vili korialis
mengalami pembengkakan secara menyeluruh. Pada kehamilan trimester I, vili
korialis mengandung cairan dalam jumlah yang lebih sedikit, bercabang dan
mengandung sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas hiperplastik dengan banyak
pembuluh darah. Kehamilan yang sempurna harus termini dari unsur ibu yang
akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah untuk membentuk
bagian ekstraembrional. Karena tidak ada unsur maternal, pada MHK tidak ada
bagian embrional (janin). Yang ada hanya bagian ekstraembrional yang
patologis berupa vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik seperti
anggur. Ovum yang kosong bisa terjadi karena gangguan pada proses meiosis,
yang seharusnya diploid 46XX pencah menjadi 2 haploid 23X, terjadi peristiwa
non-dysfunction, dimana hasil pemecahannya adalah 0 dan 46XX. Pada MHK

4
ovum inilah yang dibauahi. Gangguan proses meiosis ini terjadi pada kelainan
struktural kromosom.
Sedangkan pada mola hidatidosa parsial (MHP) terjadi karena ovum ibu 23
X dibuahi secara dispermi. Bisa oleh dua haploid 23X dan atau satu haploid
23X dan haploid 23 Y. Hasil konsepsi berupa 69XXX, 69 XXY atau 69 XYY.
Koromosis 69 YYY tidak pernah ditemukan. Jadi MHP mempunyai satu
haploid ibu dan dua haploid ayah sehingga disebut Diandro triploid. Karena
disini terdapat unsur ibu, maka ditemukan janin (bagian embrional). Tetapi
komposisi unsur maternal dan paternal tidak seimbang. Unsur paternal yang
tidak normal menyebabkan pembentukan plasenta yang tidak wajar, yang
merupakan gabungan dari vili korialis yang normal dan degenerasi hidropik.
Oleh karena itu, fungsinya pun tidak bisa sempurna sehingga janin tidak bisa
bertahan sampai besar. Biasa kematian janin terjadi sangat dini. (3,10)

Gambar 2.1 Patofisiologi Molahidatidosa

2.5 Klasifikasi
Mola hidatidosa dapat terbagi menjadi :
a. Mola Hidatidosa komplit
Vili korionik berubah menjadi suatu massa vesikel-vesikel jernih. Ukuran
vesikel bervariasi dari yang sulit dilihat, berdiameter sampai sentimeter
dan sering berkelompok-kelompok menggantung pada tangkai kecil.
Temuan Histologik ditandai oleh :
 Degenerasi hidrofobik dan pembengkakan stroma vilus
 Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak

5
 Profilerasi epitel tropoblas dengan derajat bervariasi
 Tidak adanya janin dan amnion

b. Mola Hidatidosa Parsial


Apabila perubahan hidatidosa bersifat fokal dan kurang berkembang, dan
mungkin tampak sebagai jaringan janin. Terjadi perkembangan hidatidosa
yang berlangsung lambat pada sebagaian villi yang biasanya avascular,
sementara villi-villi berpembuluh darah lainnya dengan sirkulasi janin
plasenta yang masih berfungsi tidak terkena.(10)

Gambaran Mola Komplit Mola Parsial


Kariotipe 46,XX atau 46,XY Umumnya 69,XXX
atau 69,XXY
(tripoid)
Patologi

Edema villus Difus Bervariasi,fokal


Proliferasi trofoblastik Bervariasi, ringan s/d berat Bervariasi, fokal,
ringan s/d sedang
Janin Tidak ada Sering dijumpai
Amnion, sel darah Tidak ada Sering dijumpai
merah janin
Gambaran klinis

Diagnosis Gestasi mola Missed abortion


Ukuran uterus 50% besar untuk masa Kecil untuk masa
kehamilan kehamilan
Kista teka-lutein 25-30% Jarang
Penyulit medis Sering jarang
Penyakit pascamola 20% <5-10%
Kadar hCG Tinggi Rendah – tinggi
Tabel 2.1 pebedaan mola hidatidosa komlit dan parsial

2.6 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa.
Kecurigaaan biasanya terjadi pada minggu ke 14 - 16 dimana ukuran rahim
lebih besar dari kehamilan biasa, pembesaran rahim yang terkadang diikuti

6
perdarahan, dan bercak berwarna merah darah beserta keluarnya materi seperti
anggur pada pakaian dalam.

1. Terdapat tanda-tanda kehamilan. Mual dan muntah yang parah yang


menyebabkan 10% pasien masuk RS
2. Pembesaran rahim yang tidak sesuai dengan usia kehamilan (lebih besar)
3. Gejala – gejala hipertitoidisme seperti intoleransi panas, gugup, penurunan
BB yang tidak dapat dijelaskan, tangan gemetar dan berkeringat, kulit
lembab
4. Gejala – gejala pre-eklampsi seperti pembengkakan pada kaki dan tungkai,
peningkatan tekanan darah, proteinuria (terdapat protein pada air seni)(3)

Dan menurut Cuningham, 1995. Dalam stadium pertumbuhan mola yang


dini terdapat beberapa ciri khas yang membedakan dengan kehamilan normal,
namun pada stadium lanjut trimester pertama dan selama trimester kedua sering
terlihat perubahan sebagai berikut (Cunningham, 2006) :

1. Perdarahan
Perdarahan uterus merupakan gejala yang mencolok dan bervariasi
mulai dari spoting sampai perdarahan yang banyak. Perdarahan ini dapat
dimulai sesaat sebelum abortus atau yang lebih sering lagi timbul secara
intermiten selama berminggu-minggu atau setiap bulan. Sebagai akibat
perdarahan tersebut gejala anemia ringan sering dijumpai. Anemia
defisiensi besi merupakan gejala yang sering dijumpai.

2. Ukuran uterus
Uterus tumbuh lebih besar dari usia kehamilan yang sebenarnya dan
teraba lunak. Saat palpasi tidak didapatkan balotement dan tidak teraba
bagian janin.

3. Aktivitas janin
Meskipun uterus cukup membesar mencapai bagian atas sympisis,
secara khas tidak akan ditemukan aktivitas janin, sekalipun dilakukan test
dengan alat yang sensitive sekalipun. Kadang-kadang terdapat plasenta
yang kembar pada kehamilan mola hidatidosa komplit. Pada salah satu

7
plasentanya sementara plasenta yang lainnya dan janinnya sendiri terlihat
normal. Demikian pula sangat jarang ditemukan perubahan mola inkomplit
yang luas pada plasenta dengan disertai dengan janin yang hidup.

4. Embolisasi
Trofoblas dengan jumlah yang bervariasi dengan atau tanpa stroma
villus dapat keluar dari dalam uterus dan masuk aliran darah vena. Jumlah
tersebut dapat sedemikian banyak sehingga menimbulkan gejala serta tanda
emboli pulmoner akut bahkan kematian. Keadaan fatal ini jarang terjadi.
Meskipun jumlah trofoblas dengan atau tanpa stroma villus yang
menimbulkan embolisasi ke dalam paru-paru terlalu kecil untuk
menghasilkan penyumbatan pembuluh darah pulmoner namun lebih lanjut
trofoblas ini dapat menginfasi parenkin paru. Sehingga terjadi metastase
yang terbukti lewat pemeriksaan radiografi. Lesi tersebut dapat terdiri dari
trofoblas saja (koriokarsinoma metastasik) atau trofoblas dengan stroma
villus (mola hidatidosa metastasik). Perjalanan selanjutnya lesi tersebut bisa
diramalkan dan sebagian terlihat menghilang spontan yang dapat terjadi
segera setelah evakuasi atau bahkan beberapa minggu atau bulan kemudian.
Sementara sebagian lainnya mengalami proliferasi dan menimbulkan
kematian wanita tersebut tidak mendapatkan pengobatan yang efektif.

5. Ekspulsi Spontan
Kadang-kadang gelembung-gelembung hidatidosa sudah keluar
sebelum mola tersebut keluar spontan atau dikosongkan dari dalam uterus
lewat tindakan. Ekspulsi spontan paling besar kemungkinannya pada
kehamilan sekitar 16 minggu. Dan jarang lebih dari 28 minggu.

2.7 Diagnosa

1. Anamnesis
Ada kehamilan disertai gejala dan tanda kehamilan muda yang
berlebihan, perdarahan pervaginam berulang cenderung berwarna coklat
dan kadang bergelembung seperti busa.

8
(1) Perdarahan vaginal. Gejala klasik yang paling sering pada mola
komplet adalah perdarahan vaginal. Jaringan mola terpisah dari
desidua, menyebabkan perdarahan. Uterus membesar (distensi) oleh
karena jumlah darah yang banyak, dan cairan gelap bisa mengalir
melalui vagina. Gejala ini terdapat dalam 97% kasus.
(2) Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang
berat. Hal ini merupakan akibat dari peningkatan secara tajam
hormon β-HCG.
(3) Hipertiroid. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti
takikardi, tremor dan kulit yang hangat. Didapatkan pula adanya
gejala preeklamsia yang terjadi pada 27% kasus dengan karakteristik
hipertensi ( TD > 140/90 mmHg), protenuria (>300 mg.dl), dan
edema dengan hiperefleksia

2. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
 Palpasi :
 Uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan, teraba
lembek
 Tidak teraba bagian-bagian janin dan ballotement dan gerakan
janin.
 Auskultasi : tidak terdengar bunyi denyut jantung janin
 Pemeriksaan dalam :
 Memastikan besarnya uterus
 Uterus terasa lembek
 Terdapat perdarahan dalam kanalis servikalis

3. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan kadar B-hCG
BetaHCG urin > 100.000 mlU/ml
Beta HCG serum > 40.000 IU/ml
Berikut adalah gambar kurva regresi hCG normal yang menjadi
parameter dalam penatalaksanaan lanjutan mola hidatidosa.

9
Gambar 2.2 Nilai rata-rata dari 95 % confidence limit yang
menggambarkan kurva regresi normal gonadotropin korionik
subunit β pasca mola.
 Pemeriksaan kadar T3 /T4
B-hCG > 300.000 mIU/ml mempengaruhi reseptor thyrotropin,
mengakibatkan aktifitas hormon-hormon tiroid (T3/T4) meningkat.
Terjadi gejala-gejala hipertiroidisme berupa hipertensi, takikardia,
tremor, hiperhidrosis, gelisah, emosi labil, diare, muntah, nafsu makan
meningkat tetapi berat badan menurun dan sebagainya. Dapat terjadi
krisis hipertiroid tidak terkontrol yang disertai hipertermia, kejang,
kolaps kardiovaskular, toksemia, penurunan kesadaran sampai
delirium-koma.

4. Pemeriksaan Imaging

a. Ultrasonografi
 Gambaran seperti sarang tawon tanpa disertai adanya janin
 Ditemukan gambaran snow storm atau gambaran seperti
badai salju.

b. Plain foto abdomen-pelvis: tidak ditemukan tulang janin


2.8 Tatalaksana
1. Evakuasi
a. Perbaiki keadaan umum.

10
 Bila mola sudah keluar spontan dilakukan kuret atau kuret isap
 Bila Kanalis servikalis belum terbuka dipasang laminaria dan 12
jam kemudian dilakukan kuret.
b. Memberikan obat-obatan Antibiotik, uterotonika dan perbaiki keadaan
umum penderita.
c. 7-10 hari setelah kerokan pertama, dilakukan kerokan ke dua untuk
membersihkan sisa-sisa jaringan.
d. Histeriktomi total dilakukan pada mola resiko tinggi usia lebih dari 30
tahun, Paritas 4 atau lebih, dan uterus yang sangat besar yaitu setinggi
pusat atau lebih
2. Pengawasan Lanjutan
 Ibu dianjurkan untuk tidak hamil dan dianjurkan memakai
kontrasepsi oral pil.
 Mematuhi jadwal periksa ulang selama 2-3 tahun :
o Setiap minggu pada Triwulan pertama
o Setiap 2 minggu pada Triwulan kedua
o Setiap bulan pada 6 bulan berikutnya
o Setiap 2 bulan pada tahun berikutnya, dan selanjutnya setiap 3
bulan.
 Setiap pemeriksaan ulang perlu diperhatikan :
a. Gejala Klinis : Keadaan umum, perdarahan

b. Pemeriksaan dalam :

o Keadaan Serviks
o Uterus bertambah kecil atau tidak
c. Laboratorium

 Reaksi biologis dan imunologis :


o 1x seminggu sampai hasil negatif
o 1x2 minggu selama Triwulan selanjutnya
o 1x sebulan dalam 6 bulan selanjutnya
o 1x3 bulan selama tahun berikutnya

11
o Kalau hasil reaksi titer masih (+) maka harus dicurigai
adanya keganasan
3. Sitostatika Profilaksis

Metoreksat 3x 5 mg selama 5 hari

Gambar 1. Skema tatalaksana mola hidatidosa

2.9 Prognosis
Dinegara maju, kematian karena mola hidatidosa hampir tidak ada, mortalitas
akibat mola hidatidosa ini mulai berkurang oleh karena diagnosis yang lebih dini
dan terapi yang tepat. Akan tetapi di negara berkembang kematian akibat mola

12
masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Kematian pada mola
hodatidosa biasanya disebabkan oleh karena perdarahan, infeksi, eklamsia, payah
jantung dan tirotoksikosis.
Lebih dari 80% kasus mola hidatidosa tidak berlanjut menjadi keganasan
trofoblastik gestasional, akan tetapi walaupun demikian tetap dilakukan
pengawasan lanjut yang ketat, karena hampir 20% dari pasien mola hidatidosa
berkembang menjadi tumor trofoblastik gestasional.
Pada 10-15% kasus mola akan berkembang menjadi mola invasive, dimana
akan masuk kedalam dinding uterus lebih dalam lagi dan menimbulkan
perdarahan dan komplikasi yang lain yang mana pada akhirnya akan
memperburuk prognosisnya. Pada 2-3% kasus mola dapat berkembang menjadi
korio karsinoma, suatu bentuk keganasan yang cepat menyebar dan
membesar.(3,10)

13
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. YU
Tanggal Lahir/Umur : 08 juli 1988/ 29 tahun
Alamat : Jangka Buya, Pidie Jaya
Agama : Islam
Suku : Aceh
CM : 1-17-28-77
Jaminan : JKA
Tanggal masuk : 20 Mei 2018

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama :
Perdarahan pervaginam setelah kuretase 2 minggu sebelumnya
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang melalui surat pengantar dr. ahli kandungan dengan keluhan keluar
darah dari jalan lahir. Pasien 2 minggu sebelumnya telah melakukan kuretase di
Bireun. Pasien mengatakan kuretase yang dilakukan dibireun dikarenakan telah
hamil 3 bulan namun janinnya sudah meninggal didalam rahim, sehingga dilakukan
kuretase. Setelah 1 minggu dilakukan kuretase pasien kembali mengalami
perdarahan namun dalam bentuk bercak-bercak disertai dengan adanya nyeri perut
bagian bawah. Nyeri perut yang dirasakan hingga mengganggu aktivitas pasien dan
pasien berfikir jika itu adalah menstruasi biasa. Setelah 1 minggu mengalami
perdarah berulang dan sedikit-sedikit pasien akhirnya memutuskan untuk
melakukan pemeriksaan kembali dibanda aceh. Dan pada saat malam sebelum
pasien memutuskan untuk melakukan pemeriksaan di RSUZA pasien mengalami
perdarahan yang banyak sehingga segera dibawa ke dr ahli kandungan .

Riwayat Penyakit Dahulu :

14
Diabetes mellitus (-), hipertensi (-), asma (-), penyakit jantung(-),alergi (-).
Riwayat Penyakit Keluarga :
Diabetes mellitus (-), hipertensi (-), asma (-), penyakit jantung(-),alergi (-).
Riwayat Pemakaian Obat :
Tidak ada.
Riwayat Kebiasaan Sosial :
Pasien sehari-hari sebagai seorang Ibu rumah tangga, suami swasta
Riwayat Menarche :
Usia 12 tahun, teratur, selama 6-7 hari, 3-4x ganti pembalut, dismenorea (+).
Riwayat Pernikahan :
Pernikahan satu kali, saat berusia 18 tahun.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan :
I. Laki-laki, 11 tahun, BBL 2800 gr, lahir Pervaginam di Puskesmas oleh
bidan
II. Keguguran
III. Laki-laki, 6 tahun, 3200 gr, harir pervaginam di puskesmas oleh bidan
Riwayat KB : kontrasespsi oral

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Vital Sign
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/60 mmHg
Denyut nadi : 99 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 37 C
3.3.2 Status Generalisata
Wajah : Simetris, edema (-), deformitas (-), pucat (+)
Mata : Konjunctiva pucat (+/+) ikterik (-/-), sekret (-/-)
Telinga/ Hidung/Mulut : Dalam batas normal
Leher : Simetris, Pembesaran KGB (-)
Thorax : Simetris, Vesikular (+/+), Rh (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : BJ I > BJ II , reguler (+), bising (-)
Abdomen : Nyeri tekan (+), Tampak bekas operasi terbalut

15
perban
Ekstremitas : Edema (+/+), Sianosis (-/-), akral dingin (-/-)
3.3.3 Status Ginekologis
I : v/u tenang
Io : Porsio ukuran normal, tampak licin, erosi (-), stolsel (-), perdarahan aktif
(-), massa (-), peradangan (-) OUE tertutup , Fluor (-), Fluxus (+)
VT : nyeri goyang portio (-), cavum douglas menonjol (-)
3.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (4 April 2017)

Pemeriksaan
Hasil Nilai Normal
Laboratorium
Darah Rutin
Hemoglobin 12,0 gr/dl 12-15 gr/dl
Hematokrit 37 % 37-47 %
Leukosit 6,7/mm3 4.500-10.500/mm3
Eritrosit 4,7/mm3 4,2-5,4 x 106/mm3
Trombosit 217.000/mm3 150.000-450.000/mm3
MCV 78 fL 80-100 fL
MCH 25 pg 27-31 pg
MCHC 33 % 32-36 %
RDW 12,9 % 11,5-14,5 %
MPV 11,5 fL 7,2-11,1 fL
Hitung Jenis
Eosinofil 4% 0-6 %
Basofil 1% 0-2 %
Netrofil Batang 0% 2-6%
Netrofil segmen 58% 50-70 %
Limfosit 31% 20-40 %
Monosit 6% 2-8 %
Kimia Klinik
Diabetes
Glukosa Darah
167 mg/dL <200 mg/dL
Sewaktu
Ginjal Hipertensi
Ureum 15 mg/dL 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,53 mg/dL 0,51-0,95 mg/dL
Elektrolit Serum

16
Natrium 143 nmo/L 132-146 nmo/L
Kalium 3,7 nmo/L 3,7-5,4 nmo/L
Klorida 108 nmo/L 98-106 nmo/L

Hasil lab 21/05/2018


β-HCG darah : 28021,27 mIU/ml (nilai rujukan <5 mIU/mL)
Hasil lab 22/05/2018
T3 total 1,61 nmol/L (nilai rujukan 0,9-2,5 nmol/L)
T4 bebas 17,18 pmol/L ( 9-20 pmol/L)
TSH 0,45 (0,25 -5 µIU/mL

1. USG

Kesan :
Uterus membesar ukuran 9,9x6,6x8,2cm myometrium heterogen, pada
Cavum uterus tampak adanya massa hiperechoic dengan gambaran honey
Comb appearence doppler: corakan vaskuler meningkat ( moderate), pada
Adneksa tidak tampak adanya massa dan pada cavum douglas tidak tampak
Adanya cairan
2. Plano test : positive
3.5 Diagnosa Kerja
P3A1 perdarahan pervaginam e.c mola hidatidosa susp PTG

17
3.6 Tatalaksana
 Observasi tanda vital dan perdarahan
 Cek lab (β-HCG, T3/T4, TSHs)
 Kuretase vacum
 PA hasil kuretase vacum
 Pemeriksan β-hCG serial pada hari k-1 post kuretase, hari ke-7, hari ke-
14 dan hari ke-21.
3.7 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

18
BAB IV
ANALISA KASUS

Telah dilaporkan sebuah kasus, pasien perempuan berusia 29 tahun datang


kiriman dokter spesialis kandungan dengan riwayat post kuretase 2 minggu
sebelumnya. Pasien mengaku mendapatkan penjelasan jika kuretase yang
dilakukan karena pasien mengalami hamil 3 bulan namun janinnya mati didalam
kandungan dan pasien selama ini tidak mengetahui jika dia mengalami amenore.
Pasien juga mengaku mengalami perdarahan melalui jalan lahir 1 minggu SMRS
post kuretase. Perdarahan berupa bercak-bercak yang dianggap sebagai menstruasi
biasa oleh pasien. Perdarahan ini diikuti dengan nyeri perut bagian bawah dirasakan
hingga mengganggu aktivitas harian pasien. Perdarahan merupakan gejala utama
mola hidatidosa. Gejala perdarahan biasanya terjadi antara bulan pertama hingga
ketujuh dari awala amenore dengan rata-rata kejadainnya pada minggu ke 12-14.
Sifat perdarahan biasanya intermiten dan sedikit-sedikit.
Pada anamnesis pasien memiliki riwayat abortus pada kehamilan ke 2 dan
riwayat penggunaan kontrasespsi oral. Pada studi epidemiologi yang dilakukan oleh
palmer dan kawan-kawan riwayat oenggunaan kontrasepsi oral disertai dengan
adanya rowayat keguguran pada kehamilan sebelumnya meningkatkan
kemungkinan terjadi kehamilan mola hidatidosa hingga dua kali lipat.
Pada pemeriksaan fisik berupa ispeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
semuanya dalam batas normal. Pada pemeriksaan inspekulo didapatkan portio
dalam ukuran normal dan tampak licin. Tidak tampak adanya stolsel, massa,
peradangan dan OUE tertutup. Pada vagina tuche tidak ditemukan adanya nyeri
goyang portio dan cavum douglas tidak menonjol. Untuk menghilangkan
differential diagnose berupa kehamilan ektopik terganggu maka dilakukan
pemeriksaan nyeri goyang portio dan perabaan cavum douglas melalui forniks
posterior. Pada mola hidatidosa tidak dijumpai adanya nyeri goyang portio dan
cavum douglas menonjol.
Pada pemeriksaan penunjang berupa hasil lab didapatkan kadar beta HCG
yang meningkat drastis dari nilai normal. Adanya trofoblas yang berproliferasi
secara abnormal pada kehamilan mola menyebabkan peningkatan kadar beta HCG
hingga beribu-ribu kali lipat. Dilihat dari hasil USG didapatkan gambaran uterus

19
yang membesar dari ukuran normal dan tampak adanya gambaran sarang lebah
(honey comb). Gambaran sarang lebah pada hasil usg merupakan ciri khas dari
mola hidatidosa.
Penatalaksanaan untuk mola hidatidosa pada pasien ini adalah vacum
kuretase. Vakum kuretase yang dilakukan dengan menggunakan kuret tumpul
untuk mencegah terjadinya perforasi uterus. Tindakan kuretase biasa dilakukan
hanya satu kali saja. Kuretase kedua dilakukan jika terdapat indikasi. Pada pasien
ini dilakukan kuretase yang ke 2 dikarenakan masih adanya jaringan mola didalam
uterus. Tindakan hisaterektomi dapat dilakukan pada pasien mola hidatidosa
dengan pertimbangan usia dan paritas. Pasien dengan usia >35 tahun dan paritas
tinggi yang merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya keganasan. Untuk
batasannya ialah pasien dengan usia >35 tahun dengan anak hidup ≥ 3 orang.
Histerektomi juga dapat dilakukan bila hasil histopatologik menunjukkan adanya
tanda-tanda keganasan seperti mola invasif, koriokarsinoma, tumor trofoblastik
epitel dan tumor trofoblastik perlekatan plasenta.
Dengan dilakukannya kuretase kedua pada pasien ini dan ditakutkan
terjadinya neoplasia trofoblastik gestasional atau penyakit trofoblastik ganas maka
perlu dilakukan pemeriksaan kadar beta hcg serum setiap minggu (minggu ke 1, 7,
14 dan 21) serta 6 bulan kemudian. Sehingga pasien dianjurkan untuk
menggunakan kontrasespsi barier agar tidak terjadi fertilisasi hingga kehamilan
yang dapat mengacaukan pemeriksaan tindak lanjut ini.
Kejadian mola hidatidosa kecil kemungkinannya menyebabkan kematian
namun hal yag terpenting dalam mendiagnosis pasien dengan mola hidatidosa
adalah pertimbangan kemungkinan adanya neoplasia trofoblastik gestasional atau
penyakit trofoblastik ganas. Jika terdapat tanda keganasan dan dilihat dari scoring
prognostik oleh WHO wanita dengan score 7 atau lebih maka perlu
dipertimbangkan untuk dilakukannya kemoterapi.

20
BAB V
KESIMPULAN

Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar


dimana terjadi keabnormalan dalam konsepsi plasenta yang disertai dengan
perkembangan parsial atau tidak ditemukan adanya pertumbuhan janin, hampir
seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropobik.
Penegakkan diagnosa mola hidatidosa secara tepat ialah dengan telah melihat
keluarnya gelembung mola dari jalan lahir. Atau melalu hasil anamnesi,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang menunjukkan adanya tanda-
tanda mola hidatidosa.
Penatalaksanaan mola hidatidosa ialah dengan cara vacum kuretase yang
dilakukan hanya 1 kali namun tidak menutup kemungkinan kuretase yang kedua
kalinya. Kuretase yang dilakukan kedua kalinya dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya perforasi uterus.
Kasus mola hidatidosa memiliki angka mortalitas yang sangat kecil.
Kematian pada kasus mola hidatidosa disebabkan oleh perdarahan, infeksi, gagal
jantung atau tirotoksikosis. Hal yang terpenting dalam mendiagnosa mola
hidatidosa adalah pertimbangan adanya keganasan atau adanya penyakit trofoblas
ganas.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. FIGO Committee for the Ethical Aspects of Human Reproduction. Prenatal


diagnosis and screening. International Journal of Gynecology and
Obstetrics. 2012;

2. Hextan Y.S. Ngan, Ernest I. Kohorn, Laurence A. Cole, Robert J. Kurman,


Seung J. Kim JRL, Michael J. Seckl , Shigeru Sasaki JTS. Trophoblastic
Disease. Int J Gynecol Obstet [Internet]. 2015;131:S56–9. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijgo.2015.03.018

3. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan bina pustaka. 2014.

4. Lurain JR. Gestational trophoblastic disease I: Epidemiology, pathology,


clinical presentation and diagnosis of gestational trophoblastic disease, and
management of hydatidiform mole. Am J Obstet Gynecol [Internet].
2010;203(6):531–9. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2010.06.073

5. IBG M. Ilmu Kebiadanan, Penyakit Kandungan dan Penyakit Keluarga


Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Cetakan I. 1998.

6. Altman AD, Bentley B, Murray S, Bentley JR. Maternal age-related rates


of gestational trophoblastic disease. Obstet Gynecol. 2008;112(2):244–50.

7. Garrett LA, Garner EIO, Feltmate CM, Goldstein DP, Berkowitz RS.
Subsequent pregnancy outcomes in patients with molar pregnancy and
persistent gestational trophoblastic neoplasia. J Reprod Med. 2008
Jul;53(7):481–6.

8. Palmer JR, Driscoll SG, Rosenberg L, Berkowitz RS, Lurain JR, Soper J, et
al. Oral Contraceptive Use and Risk of Gestational Trophoblastic Tumors.
JNCI J Natl Cancer Inst [Internet]. 1999;91(7):635–40. Available from:
https://academic.oup.com/jnci/article-lookup/doi/10.1093/jnci/91.7.635

9. Milani HS, Abdollahi M, Torbati S, Asbaghi T, Azargashb E. Risk factors


for hydatidiform mole: Is Husband’s job a major risk factor? Asian Pacific
J Cancer Prev [Internet]. 2017;18(10):2657–62. Available from:
https://www.scopus.com/inward/record.uri?eid=2-s2.0-
85031897603&doi=10.22034%2FAPJCP.2017.18.10.2657&partnerID=40
&md5=f70e1a6332d263cc8ed0a320cdeadd0b

10. F. Gary Cunningham, John C. Hauth, Kenneth J. Leveno, Larry Gilstrap Iii,
Steven L. Bloom, Katharine D. Wenstrom. Williams obstetrics. Williams
Obstetrics. 2010.

22
23

Anda mungkin juga menyukai