Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pasien kesepian
Pasien yang ketakutan dan cemas
Pasien menghadapi pembedahan
Alat Pengkajian
B = belief system
E = Ethics or value
L = Live style
E = Education
F = Future events
Skala Spiritual Well Being (SWB)(Gray, 2006) èkehidupan dan kekuatan tertinggi
The spiritual perspective scale (SPS)(Gray,2006) è hubungan dengan kekuatan tertinggi,
orang laindan diri sendiri.
kepercayaan/ keyakinan, kehidupan/ tanggung jawab diri, kepuasan hidup/aktualisasi diri.
1. Alifiasi nilai
2. Keyakinan agama dan spiritual
3. Nilai agama atau spiritual
Diagnosa Keperawatan :
Distress spiritual
Koping inefektif
Ansietas
Disfungsi seksual
Harga diri rendah
Keputusasaan
NOC
Menunjukkan harapan
Menunjukkan kesejahteraan spiritual:
Berarti dalam hidup
Pandangan tentang spiritual
Ketentraman, kasih sayang dan ampunan
Berdoa atau beribadah
Berinteraksi dengan pembimbing ibadah
Keterkaitan denganorang lain, untuk berbagi pikiran, perasaan dan kenyataan
Klien tenang
NIC
NOC
Koping efektif
Kemampuan untuk memilih antara 2 alternatif
Pengendalian impuls : kemampuan mengendalikan diri dari prilaku kompulsif
Pemrosesan informasi : kemampuan untuk mendapatkan dan menggunakan informasi
NIC
Pelaksanaan
Sesuai dengan NOC yang telah ditentukan
Evaluasi
Evaluasi dengan melihat NOC yang telah ditentukan , secara umum tujuan tercapai apabila klien
(Achir Yani, 1999) :
Pengertian :
Patofisiologi :
Patofisiologi distress spiritual tidak bisa dilepaskan dari stress dan struktur serta fungsi
otak.
Stress adalah realitas kehidupan manusia sehari-hari. Setiap orang tidak dapat dapat
menghindari stres, namun setiap orang diharpakan melakukan penyesuaian terhadap
perubahan akibat stres. Ketika kita mengalami stres, otak kita akan berespon untuk terjadi.
Konsep ini sesuai dengan yang disampikan oleh Cannon, W.B. dalam Davis M, dan
kawan-kawan (1988) yang menguraikan respon “melawan atau melarikan diri” sebagai
suatu rangkaian perubahan biokimia didalam otak yang menyiapkan seseorang
menghadapi ancaman yaitu stres.
Stres akan menyebabkan korteks serebri mengirimkan tanda bahaya ke hipotalamus.
Hipotalamus kemudian akan menstimuli saraf simpatis untuk melakukan perubahan.
Sinyal dari hipotalamus ini kemudian ditangkap oleh sistem limbik dimana salah satu
bagian pentingnya adalah amigdala yang bertangung jawab terhadap status emosional
seseorang. Gangguan pada sistem limbik menyebabkan perubahan emosional, perilaku
dan kepribadian. Gejalanya adalah perubahan status mental, masalah ingatan, kecemasan
dan perubahan kepribadian termasuk halusinasi (Kaplan et all, 1996), depresi, nyeri dan
lama gagguan (Blesch et al, 1991).
Kegagalan otak untuk melakukan fungsi kompensasi terhadap stresor akan menyebabkan
seseorang mengalami perilaku maladaptif dan sering dihubungkan dengan munculnya
gangguan jiwa. Kegagalan fungsi kompensasi dapat ditandai dengan munculnya
gangguan pada perilaku sehari-hari baik secara fisik, psikologis, sosial termasuk spiritual.
Gangguan pada dimensi spritual atau distres spritual dapat dihubungkan dengan
timbulnya depresi.
Tidak diketahui secara pasti bagaimana mekanisme patofisiologi terjadinya depresi.
Namun ada beberapa faktor yang berperan terhadap terjadinya depresi antara lain faktor
genetik, lingkungan dan neurobiologi.
Perilaku ini yang diperkirakan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam
memenuhi kebutuhan spiritualnya sehingga terjadi distres spritiual karena pada kasus
depresi seseorang telah kehilangan motivasi dalam memenuhi kebutuhannya termasuk
kebutuhan spritual.
Karakteristik Distres Spritual menurut Nanda (2005) meliputi empat hubungan dasar yaitu :
1. Ungkapan kekurangan
a. Harapan
b. Arti dan tujuan hidup
c. Perdamaian/ketenangan
d. Penerimaan
e. Cinta
f. Memaafkan diri sendiri
g. Keberanian
2. Marah
3. Kesalahan
4. Koping yang buruk
Penyebab :
Menurut Vacarolis (2000) penyebab distres spiritual adalah sebagai berikut :
F : Faith atau keyakinan (apa keyakinan saudara?) Apakah saudara memikirkan diri
saudara menjadi sesorang yang spritual ata religius? Apa yang saudara pikirkan tentang
keyakinan saudara dalam pemberian makna hidup?
I : Impotance dan influence. (apakah hal ini penting dalam kehidupan saudara). Apa
pengaruhnya terhadap bagaimana saudara melakukan perawatan terhadap diri sendiri?
Dapatkah keyakinan saudara mempengaruhi perilaku selama sakit?
C : Community (Apakah saudara bagian dari sebuah komunitas spiritual atau religius?)
Apakah komunitas tersebut mendukung saudara dan bagaimana? Apakah ada seseorang
didalam kelompok tersebut yang benar-benar saudara cintai atua begini penting bagi
saudara?
A : Adress bagaimana saudara akan mencintai saya sebagai seorang perawat, untuk
membantu dalam asuhan keperawatan saudara?
Pengkajian aktifitas sehari-hari pasian yang mengkarakteristikan distres spiritual,
mendengarkan berbagai pernyataan penting seperti :
Faktor Predisposisi :
Gangguan pada dimensi biologis akan mempengaruhi fungsi kognitif seseorang sehingga
akan mengganggu proses interaksi dimana dalam proses interaksi ini akan terjadi transfer
pengalaman yang pentingbagi perkembangan spiritual seseorang.
Faktor frediposisi sosiokultural meliputi usia, gender, pendidikan, pendapattan, okupasi,
posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan, politik, pengalaman sosial, tingkatan
sosial.
Faktor Presipitasi :
Kejadian Stresful
Mempengaruhi perkembangan spiritual seseorang dapat terjadi karena perbedaan tujuan hidup,
kehilangan hubungan dengan orang yang terdekat karena kematian, kegagalan dalam menjalin
hubungan baik dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan dan zat yang maha tinggi.
Ketegangan Hidup
Beberapa ketegangan hidup yang berkonstribusi terhadap terjadinya distres spiritual adalah
ketegangan dalam menjalankan ritual keagamaan, perbedaan keyakinan dan ketidakmampuan
menjalankan peran spiritual baik dalam keluarga, kelompok maupun komunitas.
Respon Kognitif
Respon Afektif
Respon Fisiologis
Respon Sosial
Respon Perilaku
Sumber Koping :
Menurut Safarino (2002) terdapat lima tipe dasar dukungan sosial bagi distres spiritual :
1. Dukungan emosi yang terdiri atas rasa empati, caring, memfokuskan pada kepentingan
orang lain.
2. Tipe yang kedua adalah dukungan esteem yang terdiri atas ekspresi positif thingking,
mendorong atau setuju dengan pendapat orang lain.
3. Dukungan yang ketiga adalah dukungan instrumental yaitu menyediakan pelayanan
langsung yang berkaitan dengan dimensi spiritual.
4. Tipe keempat adalah dukungan informasi yaitu memberikan nasehat, petunjuk dan
umpan balik bagaimana seseorang harus berperilaku berdasarkan keyakinan spiritualnya.
5. Tipe terakhir atau kelima adalah dukungan network menyediakan dukungan kelompok
untuk berbagai tentang aktifitas spiritual. Taylor, dkk (2003) menambahkan dukungan
apprasial yang membantu seseorang untuk meningkatkan pemahaman terhadap stresor
spiritual dalam mencapai keterampilan koping yang efektif.
PSIKOFARMAKA :
Psikofarmaka pada distres spiritual tidak dijelaskan secara tersendiri. Berdasarkan dengan
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia III aspek
spiritual tidak digolongkan secara jelas apakah masuk kedalam aksis satu, dua, tiga,
empat atau lima
Diagnosa :
Distters Spritual
Intervensi :
Sp. 1-P : Bina hubungan saling percaya dengan pasien, kaji faktor penyebab distress
spiritual pada pasien, bantu pasien mengungkapkan perasaan dan pikiran terhadap agama
yang diyakininya, bantu klien mengembangkan kemampuan untuk mengatasi perubahan
spritual dalam kehidupan.
Sp. 2-P : Fasilitas klien dengan alat-alat ibadah sesuai keyakinan klien, fasilitas klien
untuk menjalankan ibadah sendiri atau dengan orang lain, bantu pasien untuk ikut serta
dalam kegiatan keagamaan.
RENCANA KEPERAWATAN DISTRES SPIRITUAL
Nama Klien :
Ruang :
Perencanaan Rasional
Diagnosis
No. Intervensi
Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi
1 2 3 4 5
Distres TUM :
spritual Klien mampu
menyatakan
mencapai
kenyamanan dari
pelaksanaan
praktik spiritual
sebelumnnya
dan merasa
kehidupannya
berarti/bermakna
TUK I :
Setelah dua kali
pertemuan Klien 1. Ekspresi wajah 1. Bina hubungan sali
dapat membina bersahabat, dengan menggunak
hubungan saling menunjukkan rasa teknik komunikasi t
percaya. senang ada kontak
mata, mau berjabat a. Sapa klien dengan ramah baik verb
tangan, mau non verbal
menyebutkan b. Perkenalkan diri dengan sopan
nama, mau c. Tanyakan nama lengkap klien dan
menjawab salam, panggilan yang disukai klien
mau duduk d. Jelaskan tujuan pertemuan
berdampingan e. Jujur dan menepati janji
dengan perawat, f. Tunjukkan sikap empati dan mene
mau mengutarakan adanya
masalah yang g. Beri perhatian kepada klien dan pe
dihadapi. kebutuhan dasar klien
TUK 2 : 2.1 Klien mampu 2.1.1 Gunakan komunikasi terapeutik untuk mem
Setelah satu kali hubungan saling percaya dan menunjukka
pertemuan klien a. Mengungkapkan harapan 2.1.2 Menggunakan alat untukmemonitor dan m
dapat masa depan yang positif. spiritual well-being sebagai pendekatan
mengatakan 2.1.3 Mendorong individu untuk melihat kemba
b. Mengungkapkan arti hidup
1 2 3 4 5
kepada perawat c. Mengungkapkan optimis dan memfokuskan pada kejadian dan hubu
atau pemimpin d. Mengungkapkan memberikan kekuatan dan dukungan spiri
spiritual tentang keyakinan dalam diri 2.1.4 Rawat klien dengan bermartabat dan horm
kondlik spiritual e. Mengungkapkan cara menghargai pendapat dan keyakinan
dan keyakinan kepada orang2.1.5 Dorong partisipasi dalam hubungan denga
kegelisahannya. lain keluarga, teman dan orang lain.
f. Menentukan tujuan hidup
2.1.6 Jaga privacy dan ketenangan untuk kegiata
2.1.7 Dorong partisipasi dalam kelompok spiritu
dengan keyakinan yang dianut.
A. Latar Belakang
Kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk
mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan, kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan
maaf. Dimensi spiritual ini berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan
dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang
menghadapi stress emosional, penyakit fisik atau kematian (Hamid, 2000).
Di Indonesia, pelayanan kesejahteraan sosial bagi warga usia lanjut secara umum boleh
dikatakan masih merupakan hal yang baru. Hal ini dikarenakan prioritas yang diberikan pada
populasi usia lanjut memang baru saja mulai diperhatikan. Sebelum GBHN 1993, upaya kepada
populasi usia lanjut selalu dikaitkan dengan istilah “usia lanjut dan jompo“. Pandangan ini mulai
diperbaiki, seiring dengan peningkatan pengertian dan pemahaman tentang usia lanjut, sehingga
dalam GBHN 1993 usia lanjut mendapat perlakuan tersendiri, walaupun masih dalam seksi
bersama dengan wanita dan remaja. GBHN 1998 diharapkan memberikan perhatian yang lebih
bagi para usia lanjut. Dibanding negara maju, misalnya Amerika atau Australia, Indonesia sangat
tertinggal dalam hal pemberian kesejahteraan bagi lansia ini.
Populasi usia lanjut merupakan populasi yang heterogen : Tidak semua individu dalam populasi
usia lanjut memerlukan pelayanan sosial dalam bentuk yang sama. Ini dikarenakan populasi usia
lanjut, walaupun secara keseluruhan termasuk golongan populasi yang rapuh
kesehatan/kesejahteraan, tetapi dalam derajat yang berbeda–beda. Perbedaan ini terlihat bukan
saja dari aspek kesehatan (ada yang “ sehat “, setengah sehat setengah sakit, sakit akut, sakit
kronis sampai sakit terminal), tetapi juga dari segi psikologik dan sosial ekonomi (Hadi Wartono,
1997).
Pelayanan kesejahteraan sosial pada usia lanjut membutuhkan keterkaitan antara semua bidang
kesejahteraan, antara lain : kesehatan, sosial, agama, olah raga, kesenian, koperasi dan lain–lain.
Aspek spiritual pada lansia menjadi penting mengingat :Populasi usia lanjut yang “sehat” :
secara fungsional masih tidak tergantung pada orang lain, aktivitas hidup sehari–hari (AHS)
masih penuh, walaupun mungkin ada keterbatasan dari segi sosial–ekonomi yang memerlukan
beberapa pelayanan, misalnya perumahan, peningkatan pendapatan dan pelayanan lain.
Pelayanan kesehatan yang diperlukan terutama adalah dari segi prevensi dan promosi.
Kebutuhan spiritual merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia untuk mencari tujuan dan
harapan hidup. Aspek dalam spiritual antara lain: harapan, kedamaian. Cinta, kasih, sayang,
bersyukur dan keyakinan. Perawat sebagai tenaga kesehatan yang profesional mempunyai
kesempatan paling besar untuk memberikan pelayanan atau asuhan keperawatan yang
komprehensif dengan membantu klien memenuhi kebutuhan dasar yang holistic. Perawat
memandang klien sebagai mahluk bio–psiko–sosio– cultural dan spiritual yang berespon secara
holistic dan unik terhadap perubahan kesehatan atau pada keadaan krisis. Asuhan keperawatan
yang diberikan perawat tidak bisa lepas dari aspek spiritual yang merupakan bagian integral dari
interaksi perawat dengan klien (Martono, 2004).
Berdasarkan kegiatan spiritual, kondisi lanjut usia meliputi dua hal yaitu mengenai ibadah agama
dan kegiatan didalam organisasi sosial keagamaan. Dalam hal ini kehidupan spiritual mempunyai
peranan penting, seseorang yang mensyukuri nikmat umurnya tentu akan memelihara umurnya
dan mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat (Depsos, 2007).
B. Tujuan khusus
Mahasiswa diharapkan mampu melaksanakan atau memberikan asuhan keperawatan sosial
spiritual kepada lansia
a. Tujuan Khusus :
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Defenisi Spiritual
Spiritual adalah kebutuhan dasar dan pencapaian tertinggi seorang manusia dalam kehidupannya
tanpa memandang suku atau asal-usul. Kebutuhan dasar tersebut meliputi: kebutuhan fisiologis,
keamanan dan keselamatan, cinta kasih, dihargai dan aktualitas diri. Aktualitas diri merupakan
sebuah tahapan Spiritual seseorang, dimana berlimpah dengan kreativitas, intuisi, keceriaan,
sukacita, kasih sayang, kedamaian, toleransi, kerendahatian serta memiliki tujuan hidup yang
jelas (Maslow 1970, dikutip dari Prijosaksono, 2003).
Spiritual adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta
(Hamid, 1999). Spiritual juga disebut sebagai sesuatu yang dirasakan tentang diri sendiri dan
hubungan dengan orang lain, yang dapat diwujudkan dengan sikap mengasihi orang lain, baik
dan ramah terhadap orang lain, menghormati setiap orang untuk membuat perasaan senang
seseorang. Spiritual adalah kehidupan, tidak hanya doa, mengenal dan mengakui Tuhan (Nelson,
2002).
Beberapa istilah yang membantu dalam pemahaman tentang spiritual adalah : kesehatan spiritual adalah
rasa keharmonisan saling kedekatan antara diri dengan orang lain, alam, dan lingkungan yang tertinggi
(Hungelmann et al, 1985 dalam Potter & Perry, 1995). Ketidakseimbangan spiritual (Spirituality
Disequilibrium) adalah sebuah kekacauan jiwa yang terjadi ketika kepercayaan yang dipegang teguh
tergoncang hebat. Kekacauan ini seringkali muncul ketika penyakit yang mengancam hidup berhasil
didiagnosis (Taylor, 2002 dikutip dari Young, 2007).
Pengkajian Individu atau Anggota Keluarga Pada Saat Klien Dengan Dying
Reaksi kehilangan, ditandai dengan dada merasa tertekan, bernafas pendek dan rasa tercekik.
Faktor yang mempengaruhi terhadap reaksi kehilangan :
o Arti dari kehilangan yang tergantung kepada persepsi individu tentang pengalaman kehilangan.
o Umur berpengaruh terhadap tingkat pengertian dan reaksi terhadap kehilangan serta kematian.
o Kultur pada setiap suku/bangsa terhadap kehilangan berbeda-beda.
o Keyakinan spiritual, anggota keluarga dengan sakaratul maut melakukan praktek spiritual dengan
tata cara yang dilakukan sesuaI dengan agama dan keyakinannya.
o Peranan seks, untuk laki-laki diharapkan kuat dan tidak memperlihatkan kesedihan dan
perempauan dianggap wajar atau dibolehkan untuk mengekspresikan perasaannya atau
kesedihannya (menangis) sepanjang tidak mengganggu lingkungan sekitar (menangis dengan
meraung – raung atau merusak).
o Status sosial ekonomi, berpengaruh terhadap sistem penunjang, sehingga akan berpengaruh pula
terhadap rekasi kehilanga akibat adanya kematian.
Pengkajian Terhadap Reaksi Kematian dan Kehilangan ; Berduka Cita
1. Karakteristik dari duka cita :
Individu mengalami kesedihan dan merupakan reaksi dari shock dan keyakinannya terhadap
kehilangannya.
Merasa hampa dan sedih.
Ada rasa ketidak nyamanan, misalnya rasa tercekik dan tertekan pada daerah dada.
Membayangkan yang telah meninggal, merasa berdosa.
Ada kecenderungan mudah marah.
2. Tingkatan dari duka cita :
Shock dan ketidak yakinan, karena salah satu anggota keluarga akan meninggal, bahkan
menolak seolah-olah masih hidup.
Berkembangnya kesadaran akan kehilangan dengan perilaku sedih, marah pada diri sendiri atau
pada orang lain.
Pemulihan, dimana individu sudah dapat menerima dan mau mengikuti upacara keagamaan
berhubungan dengan kematian.
Mengatasi kehilangan yaitu dengan cara mengisi kegiatan sehari – hari atau berdiskusi dengan
orang lain mengenai permasalahannya.
Idealisasi, dimana individu menyesal karena kurang memperhatikan almarhum selama masih
hidup dan berusaha menekan segala kejelekan dari almarhum.
Keberhasilan, tergantung dari seberapa jauh menilai dari obyek yang hilang, tingkat
ketergantungan kepada orang lain, tingkat hubungan sosial dengan orang lain dan banyaknya
pengalaman kesedihan yang pernah dialami.
DX
Distress spiritual berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dalam melaksanakan
alternatif ibadah sholat dalam keadaan sakit ditandai dengan klien merasa lemah dan tidak
berdaya dalam melakukan ibadah sholat
Tujuan :
Kebutuhan spiritual dapat terpenuhi yaitu dapat melakukan sholat dalam keadaan sakit
Intervensi :
Kaji tingkat pengetahuan klien mengenai ibadah sholat.
Ajarkan pada klien cara sholat dalam keadaan berbaring.
Ajarkan tata cara tayamum.
Ajarkan kepada klien untuk berzikir.
Datangkan seorang ahli agama.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan kegiatan spiritual, kondisi lanjut usia meliputi dua hal yaitu mengenai ibadah agama
dan kegiatan didalam organisasi sosial keagamaan. Dalam hal ini kehidupan spiritual mempunyai
peranan penting, seseorang yang mensyukuri nikmat umurnya tentu akan memelihara umurnya
dan mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat
SARAN
percaya pada kehidupan atau masa depan, ketenangan pikiran, serta keselarasan dengan diri-
sendiri. Kekuatan yang timbul dari diri seseorang membantunya menyadari makna dan tujuan
hidupnya, diantaranya memandang pengalaman hidupnya sebagai pengalaman yang positif,
kepuasan hidup, optimis terhadap masa depan, dan tujuan hidup yang semakin jelas
ASUHAN KEPERAWATAN
KEBUTUHAN SPIRITUAL
1. PENGKAJIAN
Pengkajian dapat menunjukan kesempatan yang dimiliki perawat dalam mendukung atau
menguatkan spiritualitas klien. Pengkajian tersebut dapat menjadi terapeutik karena pengkajian
menunjukkan tingkat perawatan dan dukungan yang diberikan. Perawat yang memahami
pendekatan konseptual menyeluruh tentang pengkajian siritual akan menjadi yang paling berhasil
(Farran , 1989 cit Potter and perry, 1997).
Ketepatan waktu pengkajian merupakan hal penting yaitu dilakukan setelah pengkajian
aspek psikososial pasien. Pengkajian aspek spiritual memerlukan hubungan interpersonal yang
baik dengan pasien. Oleh karena itu pengkajian sebaiknya dilakukan setelah perawat dapat
membentuk hubungan yang baik dengan pasien atau dengan orang terdekat pasien, atau perawat
telah merasa nyaman untuk membicarakannya.
Craven dan Hirnle (1996), Blais dan Wilkinson (1995) serta Tayler, Lillis dan Le Mane (1997),
pada dasarnya informasi awal yang perlu digali secara umum adalah :
a. Afiliasi agama
1) Partisipasi agama klien dalam kegiatan keagamaan
2) Jenis partisipasi dalam kegiatan keagamaan
b. Keyakinan / spiritual agama
1) Praktik kesehatan : diet, mencari dan menerima terapi / upacara keagamaan
2) Persepsi penyakit : hukuman, cobaan terhadap keyakinan
3) Strategi koping
Pengkajian data subyektif meliputi :
a. Konsep tentang Tuhan atau ketuhanan
b. Sumber harapan dan kekuatan
c. Praktik agama dan ritual
d. Hubungan antara keyakinan dan kondisi kesehatan.
Sedangkan pengkajian data objektif dilakukan melalui pengkajian klinik yang meliputi :
a. Pengkajian afek dan sikap (Apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah, cemas, agitasi,
apatis atau preokupasi)
b. Perilaku (Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca kitab suci atau buku
keagamaan, dan apakah pasien seringkali mengaluh, tidak dapat tidur, bermimpi buruk, dan
berbagai bentuk gangguan tidur lainnya, serta bercanda yang tidak sesuai atau mengekspresikan
kemarahannya terhadap agama)
c. Verbalisasi (Apakah pasien menyebut Tuhan, doa, rumah ibadah atau topik keagamaan lainnya,
apakah pasien pernah minta dikunjungi oleh pemuka agama, dan apakah pasien mengekspresikan
rasa takutnya terhadap kematian)
d. Hubungan interpersonal (Siapa pengunjung pasien, bagaimana pasien berespon terhadap
pengunjung, apakah pemuka agama datang mengunjungi pasien, dan bagaimana pasien
berhubungan dengan pasien yang lain dan juga dengan perawat)
e. Lingkungan (Apakah pasien membawa kitab suci atau perlengkapan ibadah lainnya, apakah
pasien menerima kiriman tanda simpati dari unsur keagamaan dan apakah pasien memakai tanda
keagamaan misalnya jilbab). Terutama dilakukan melalui observasi. (Hamid, 2000).
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ketika meninjau pengkajian spiritual dan mengintegrasikan informasi kedalam diagnosa
keperawatan yang sesuai, perawat harus mempertimbangkan status kesehatan klien terakhir dari
perspektif holistik, dengan spiritualitas sebagai prinsip kesatuan (Farran, 1989). Setiap diagnosa
harus mempunyai faktor yang berhubungan dengan akurat sehingga intervensi yang dihasilkan
dapat bermakna dan berlangsung (Potter and Perry, 1997).
Diagnosa keperawatan yang berkaitan dengan masalah spiritual menurut North American
Nursing Diagnosis Association (2006) adalah distres spiritual. Pengertian dari distres spiritual
adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup
seseorang dihubungkan dengan agama, orang lain, dan dirinya.
Menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA, 2006) batasan diagnosa
keperawatan distres spiritual adalah :
a. Berhubungan dengan diri, meliputi mengekspresikan kurang dalam harapan, arti, tujuan hidup,
kedamaian, penerimaan, cinta, memaafkan diri, keberanian, marah, rasa bersalah, koping yang
buruk.
b. Berhubungan dengan orang lain, meliputi menolak berinteraksi dengan teman, keluarga, dan
pemimpin agama, mengungkapkan terpisah dari sistem dukungan, mengekspresikan keterasingan.
c. Berhubungan dengan seni, musik, literatur dan alam, meliputi tidak mampu mengekspresikan
kondisi kreatif (bernyanyi), tidak ada ketertarikan kepada alam, dan tidak ada ketertarikan
kepada bacaan agama
d. Berhubungan dengan kekuatan yang melebihi dirinya, meliputi tidak mampu ibadah, tidak
mampu berpartisipasi dalam aktifitas agama, mengekspresikan marah kepada Tuhan, dan
mengalami penderitaan tanpa harapan.
Menurut North American Nursing Diagnosis Association (2006) faktor yang berhubungan
dari diagnosa keperawatan distres spiritual adalah mengasingkan diri, kesendirian, atau
pengasingan sosial, cemas, kurang sosiokultural/ deprivasi, kematian dan sekarat diri atau orang
lain, nyeri, perubahan hidup, dan penyakit kronis diri atau orang lain.
a. Bagaimana penyesuaian terhadap penyakit yang berhubungan dengan ketidakmampuan
merekonsilasi penyakit dengan keyakinan spiritual.
b. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kehilangan agama sebagai dukungan utama
c. Takut yang berhubungan dengan belum siap untuk menghadapai kematian dan pengalaman
kehidupan setelah kematian.
d. Berduka yang disfungsional : keputusasaan berhubungan dengan keyakinan bahwa agama tidak
mempunyai arti.
e. Keputusasaan berhubungan dengan keyakinan bahwa tidak ada yang peduli termasuk tuhan
f. Ketidakberdayaan berhubungan dengan perasaan menjadi korban
g. Disfungsi seksual berhubungan dengan konflik nilai
h. Pola tidur berhubungan dengan distress spiritual
i. Resiko tindak kekerasan terhadap diri sendiri berhubunga ndengan perasaan bahwa hidup tidak
berarti
3. PERENCANAAN
Dengan menetapkan rencana perawatan, tujuan ditetapkan secara individual, dengan
mempertimbangkan riwayat klien, area beresiko, dan tanda-tanda disfungsi serta data obyektif
yang relevan (Hamid, 2000).
Menurut (Munley, 1983 cit Potter and Perry, 1997) terdapat tiga tujuan untuk pemberian
perawatan spiritual yaitu klien merasakan perasaan percaya pada pemberi perawatan, klien
mampu terkait dengan anggota sistem pendukung, pencarian pribadi klien tentang makna hidup
meningkat. Tujuan askep klien distress spiritual berfokus pada menciptakan lingkungan yang
mendukung praktik keagamaan dan keyakinan yang biasa dilakukannya.
Klien dengan distress spiritual akan :
a. Mengidentifikasi keyakinan spiritual yang memenuuhi kebutuhan
b. Menggunakan kekuatan keyakinan, harapan dan rasa nyaman ketika menghadapi penyakit.
c. Mengembangkan praktik spiritual yang memupuk komunikasi dengan diri sendiri, Tuhan dan
dunia luar
d. Mengekspresikan kepuasan dengan keharmonisan antara keyakinan spiritual dengan kehidupan
sehari-hari.
Kriteria hasil yang diharapkan klien akan :
a. Menggali akar keyakinan dan praktik spiritual
b. Mengidentifikasi factor dala mkehiduapn yang menantang keyakinan spiritual
c. Menggali alternative : menguatkan keyakinan
d. Mengidentifikasi dukungan spiritual
e. Melaburkan / mendemonstrasikan berkurangnya distress spiritual setelah keberhasilan intervensi
Pada dasarnya perencanaan pada klien distress spiritual dirancang untuk memenuhi kebutuhan
klien dengan membantu klien memnuhi kewajiban agamanya dan menggunakan sumber dari
dalam dirinya.
4. IMPLEMENTASI
Pada tahap implementasi, perawat menerapkan rencana intervensi dengan melakukan prinsip -
prinsip kegiatan asuhan keperawatan sebagai berikut (Hamid, 2000) :
a. Periksa keyakinan spiritual ibadah
b. Fokuskan perhatian pada persepsi klien terhadap kebutuhan spritualnya.
c. Jangan mengasumsi klien tidak mempunyai kebutuhan spiritual
d. Mengetahui pesan non verbal tentang kebutuhan spiritual pasien
e. Berespon secara singkat, spesifik dan factual
f. Mendengarkan secara aktif dan menunjukkan empati yang berarti menghayati masalah klien
g. Menerapkan tehnik komunikasi terapeutik dengan tehnik mendukung menerima, bertanya,
memberi infomasi, refleksi, menggali perasaan dan kekuatan yang dimiliki klien
h. Meningkatkan kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau pesan verbal kien
i. Memahami masalah klien tanpa menghukum walaupun tidak berarti menyetujui klien
j. Menentukan arti dari situasi klien, bagaimana klien berespon terhadap penyakit. Apakah klien
menganggap penyakit yang dideritanya merupakan hukuman, cobaan atau anugrah dari Tuhan ?
k. Membantu memfasilitasi klien agar dapat memenuhi kewajiban agamanya
l. Memberitahu pelayanan spiritual yang tersedia di Rumah Sakit.
Menurut Amenta dan Bohnet (1986) cit Govier (2000) ada empat alat / cara untuk membantu
perawat dalam menerapkan perawatan spiritual yaitu :
a. Menyimak dengan perilaku wajar
b. Selalu ada
c. Menyetujui apa yang dikatakan klien
d. Menggunakan pembukaan diri
Perawat berperan sebagai komunikator bila pasien menginginkan untuk bertemu dengan petugas
rohaniawan atau bila menurut perawat memerlukan bantuan rohaniawan dalam mengatasi
masalah spiritualnya.
Menurut McCloskey dan Bulechek (2006) dalam Nursing Interventions Classification (NIC),
intervensi dan diagnosa distres spiritual salah satunya adalah support spiritual. Definisi support
spiritual adalah membantu pasien untuk merasa seimbang dan berhubungan dengan kekuatan
Maha Besar. Adapun aktivitasnya meliputi :
a. Buka ekspresi pasien terhadap kesendirian dan ketidakberdayaan
b. Beri semangat untuk menggunakan sumber – sumber spiritual
c. Siapkan artikel tentang spiritual, sesuai pilihan pasien
d. Tunjuk penasihat spiritual pilihan pasien
e. Gunakan teknik klarifikasi nilai untuk membantu pasien mengklarifikasi kepercayaan dan nilai,
jika diperlukan
f. Mampu untuk mendengar perasaan pasien
g. Fasilitasi pasien dalam meditasi, berdoa atau ritual keagamaan
h. Dengarkan dengan baik komunikasi pasien dan kembangkan rasa pemanfaatan waktu untuk
berdoa atau ritual keagamaan
i. Yakinkan kepada pasien bahwa perawat dapat mensupport pasien ketika sedang menderita
j. Buka perasaan pasien terhadap rasa sakit dan kematian
k. Bantu pasien untuk berekpresi yang sesuai dan bantu mengungkapkan rasa marah dengan cara
yang baik.
5. EVALUASI
Perawat mengevaluasi apakah intervensi keperawatan membantu menguatkan
spiritualitas klien. Perawat membandingkan tingkat spiritualitas klien dengan perilaku dan
kebutuhan yang tercatat dalam pengkajian keperawatan. Klien harus mengalami emosi sesuai
dengan situasi, mengembangkan citra diri yang kuat dan realistis, dan mengalami hubungan
interpersonal yang terbuka dan hangat. Keluarga dan teman, dengan siapa klien telah membentuk
persahabatan dapat dijadikan sumber informasi evaluatif. Klien harus juga mempertahankan misi
dalam hidup dan sebagian individu percaya dan yakin dengan Tuhan Yang Maha Kuasa atau
Maha Tinggi. Bagi klien dengan penyakit terminal serius, evaluasi difokuskan pada keberhasilan
membantu klien meraih kembali harapan hidup (Potter anfd Perry, 1997).
Untuk mengatahui apakah pasien telah mencapai kriteria hasil yang ditetapkan pada fase
perencanaan, perawat perlu mengumpulkan data terkait dengan pencapaian tujuan asuhan
keperawatan.
Tujuan asuhan keperawatan tercapai apabila secara umum pasien mampu :
a. Mampu beristirahat dengan tenang
b. Menyatakan penerimaan keputusan moral / etika
c. Mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan Tuhan
d. Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama
e. Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya
f. Menunjukkan afek positif tanpa perasaan marah, rasa bersalah dan ansietas
g. Menunjukkan perilaku lebih positif
h. Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya
KEBUTUHAN SPIRITUAL
A. Konsep dasar:
1. Pengertian
2. Karakteristik
3. Perkembangan spiritual
4. Konsep terkini dalam kesehatan spiritual
5. Hubungan antara spiritual – kesehatan dan sakit
6. Manifestasi perubahan fungsi spiritual
7. Intervensi dalam kesehatan spiritual
Setiap orang dalam hidupnya pasti akan menghadapi yang namanya masalah, sikap
seseorang dalam menghadapi sangat ditentukan oleh keyakinan mereka masing-masing.
Keyakinan yang dimiliki setiap orang selalu dikaitkan dengan kepercayaan atau agama. Spiritual,
keyakinan dan agama merupakan hal yang berbeda namun seringkali diartikan sama. Penting
sekali bagi seorang perawat memahami perbedaan antara Spiritual, keyakinan dan agama guna
menghindarkan salah pengertian yang akan mempengaruhi pendekatan perawat dengan pasien.
Pasien yang sedang dirawat dirumah sakit membutuhkan asuhan keperawatan yang holistik
dimana perawat dituntut untuk mampu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif
bukan hanya pada masalah secara fisik namun juga spiritualnya. Untuk itulah materi spiritual
diberikan kepada calon perawat guna meningkatkan pemahaman dan kemampuan perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan kebutuhan spiritual.
SPIRITUAL
A. Pengertian
1. Spiritual
Berasal dari bahasa latin spiritus, yang berrti bernafas atau angin. Ini berarti segala sesuatu yang
menjadi pusat semua aspek dari kehidupan seseorang (McEwan, 2005).
Spiritual adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta
(Achir Yani, 2000).
Spiritual merupakan kompleks yang unik pada tiap individu dan tergantung pada budaya,
perkembangan, pengalaman hidup, kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan seseorang (Mauk
dan Schmidt, 2004 cit Potter Perry, 2009)
Menurut Burkhardt (1993) spiritual meliputi aspek sebagai berikut:
a. Berhubungan dengan sesuatu yang tidk diketahui
b. Menemukan arti dan tujuan hidup
c. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri.
2. Kepercayaan (faith)
Kepercayaan artinya mempunyai kepercayaan atau komitmen terhadap sesuatu atau seseorang
(Achir Yani, 2000)
3. Agama merupakan sistem ibadah yang teratur dan terorganisasi (Achir Yani, 2000)
B. Karakteristik
1. Hubungan dengan diri sendiri
Kekuatan dalam dan self relience
a. Pengetahuan diri (siapa dirinya dan apa yang dapat dilakukannya)
b. Sikap (percaya diri sendiri, percaya pada kehidupan/ masa depan, ketenangan pikiran, harmoni/
keselarasan dengan diri sendiri)
2. Hubungan dengan alam
Harmoni
a. Mengetahui tentang alam,iklim, margasatwa
b. Berkomunikasi dengan alam (berjalan kaki, bertanam), mengabdikan dan melindungi alam
3. Hubungan dengan orang lain
Harmoni/ Suportif
a. Berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik
b. Mengasuh anak, orang tua dan orang sakit
c. Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat)
Tidak harmonis
a. Konflik dengan orang lain
b. Resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi
4. Hubungan dengan Ketuhanan
Agamis atau tidak agamis
a. Sembahyang/ berdoa/ meditasi
b. Perlengkapan keagamaan
a. Bersatu dengan alam
C. Perkembangan spiritual
1. Bayi dan todler (1-3 tahun)
Tahap awal perkembangan spiritual adalah rasa percaya dengan yang mengasuh dan sejalan
dengan perkembangan rasa aman, dan dalam hubungan interpersonal, karena sejak awal
kehidupan mengenal dunia melalui hubungan dengan lingkungan kususnya orangtua. Bayi dan
todler belum memiliki rasa bersalah dan benar, serta keyakinan spiritual. Mereka mulai meniru
kegiatan ritual tanpa tau arti kegiatan tersebut dan ikut ketempat ibadah yang mempengaruhi
citra diri mereka.
2. Prasekolah
Sikap orang tua tentang moral dan agama mengajarkan pada anak tentang apa yang dianggap
baik dan buruk.anak pra sekolah belajar dari apa yang mereka lihat bukan pada apa yang
diajarkan. Disini bermasalah jika apa yang terjadi berbeda dengan apa yang diajarkan.
3. Usia sekolah
Anak usia sekolah Tuhan akan menjawab doanya, yang salah akan dihukum dan yang baik akan
diberi hadiah. Pada mas pubertas , anak akan sering kecewa karena mereka mulai menyadari
bahwa doanya tidak selalu dijawab menggunakan cara mereka dan mulai mencari alasan tanpa
mau menerima keyakinan begitu saja.
Pada masa ini anak mulai mengambil keputusan akan meneruskan atau melepaskan agama yang
dianutnya karena ketergantungannya pada orang tua. Remaja dengan orang tua berbeda agama
akan memutuska memilih pilihan agama yang dianutnya atau tidak memilih satupun dari agama
orangtuanya.
4. Dewasa
Kelompok dewasa muda yang dihadapkan pada pertanyaan bersifat keagamaan dari anaknya
akan menyadari apa yang diajarkan padanya waktu kecil dan masukan tersebut dipakai untuk
mendidik anakya.
5. Usia pertengahan
Usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama dan berusaha
untuk mengerti nilai agama yang di yakini oleh generasi muda.
A. Pengkajian
Pengkajian dilakukan untuk mendapatkan data subyektif dan obyektif
Spiritual sangat bersifat subyektif, ini berarti spiritual berbeda untuk individu yang berbeda pula
(Mcsherry dan ross, 2002)
Pada dasarnya informasi awal yang perlu digali adalah
1. Alifiasi nilai
a. Partisipasi klien dalam kegiatan agama apakah dilakukan secara aktif atau tidak
b. Jenis partisipasi dalam kegiatan agama
2. Keyakinan agama dan spiritual
a. Praktik kesehatan : diet, mencari dan menerima ritual atau upacara agama
b. Strategi koping
Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi:
a. Tujusn dan arti hidup
b. Tujuan dan arti kematian
c. Kesehatan dan arti pemeliharaan
d. Hubungan dengan Tuhan, diri sendiri dan orang lain
B. Diagnosa
1. Distress spiritual
2. Koping inefektif
3. Ansietas
4. Disfungsi seksual
5. Harga diri rendah
6. Keputusasaan
C. Perencanaan
1. Distress spiritual b.d anxietas
Definisi : gangguan pada prinsip hidup yang meliputi semua aspek dari seseorang yang
menggabungkan aspek psikososial dan biologis
NOC :
a. Menunjukkan harapan
b. Menunjukkan kkan kesejahteraan spiritual:
- Berarti adlam hidup
- Pandangan tentang spiritual
- Ketentraman, kasih sayang dan ampunan
- Berdoa atau beribadah
- Berinteraksi dengan pembimbing ibadah
- Keterkaitan denganorang lain, untuk berbagi pikiran, perasaan dan kenyataan
c. Klien tenang
NIC :
- Kaji adanya indikasi ketaatan dalam beragama
- Tentukan konsep ketuhanan klien
- Kaji sumber-sumber harapan dan kekuatan pasisien
- Dengarkan pandangan pasien tentang hubungan spiritiual dan kesehatan
- Berikan prifasi dan waktu bagi pasien untuk mengamati praktik keagamaan
- Kolaborasi dengan pastoral
2. Koping inefektif b.d krisis situasi
Definisi : ketidakmampuan membuat penilaian yang tepat terhadat stressor, pilihan respon untuk
bertindak secara tidak adekuat dan atau ketidakmampuan menggunakan sumber yang tersedia
NOC:
- Koping efektif
- Kemampuan untuk memilih antara 2 alternatif
- Pengendalian impuls : kemampuan mengendalikan diri dari prilaku kompulsif
- Pemrosesan informasi : kemampuan untuk mendapatkan dan menggunakan informasi
NIC :
- Identifikasi pandangan klien terhadap kondisi dan kesesuaiannya
- Bantu klien mengidentifikasi kekuatan personal
- Peningkatan koping:
nilai kesesuaian pasien terhadap perubahan gambaran diri
nilai dampak situasi kehidupan terhadap peran
evaluasi kemampuan pasien dalam membuat keputusan
Anjurkan klien menggunakan tehnik relakssi
Berikan pelatihan ketrampilan sosial yang sesuai
- Libatkan sumber – sumber yang ada untuk mendukung pemberian pelayanan kesehatan
D. Pelaksanaan
Dilaksanakan sesuai dengan NIC yang telah ditentukan
E. Evaluasi
Evaluasi dengan melihat NOC yang telah ditentukan , secaara umum tujuan tercapai apabila
klien ( Achir Yani, 1999)
1. Mampu beristirahat dengan tenang
2. Menyatakan penerimaan keputusan moral
3. Mengekspresikan rasa damai
4. Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka
5. Menunjukkan sikap efektif tanpa rasa marah, rasa berslah dan ansietas
6. Menunjukkan prilaku lebih positif
7. Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya
DAFTAR PUSTAKA
Dochterman, J. M and Bulecheck, G. M., 2004, Nursing Interventions Clasification (NIC), Mosby:
St. Louis, Missouri
Doenges, M. E., Moorhouse. M. F., Geisler. A. C., Rencana Asuhan Keperawatan, EGC: Jakarta
Hamid, Achir Yani, 1999, Buku ajar Aspek Spiritual dalam Keperawatan, Widya medika: Jakarta
Intansari Nurjanah, 2010, Intan’s Screening Diagnoses Assesment (ISDA), Mocomedia: Yogyakarta
Intansari Nurjanah, 2004, Pedoman Penanganan pada Gangguan Jiwa, Mocomedia: Yogyakarta
NANDA, 2007, Nursing Diagnoses: Definitions and Clasification 2007-2008, Philadelphia
NANDA, 2010, Diagnosa Keperawatan: Definisi dan klasifikasi 2009-2010, EGC: Jakarta
Potter, P. A., Perry, A. G., Fundamental Keperawatan, Salemba medika: Jakarta
Sue Moorhead., Johnson, M., Mass. M., 2004, Nursing Outcomes Clasification (NOC), Mosby: St.
Louis, Missouri
Taylor, Lilis, Lemone, Lyn, 2011, Fundamental of Nursing The art and Sience of Nursing
Care, lippincott