Anda di halaman 1dari 3

Kriminalisasi ganja di Indonesia lebih banyak

menimbulkan dampak buruk dibandingkan


dampak positif
09 March 2017
Article
Also available in English

Penyebaran ganja sintetis tidak akan berhenti selama ganja masih berstatus ilegal. Langkah
yang lebih tepat adalah perancangan regulasi untuk konsumsi dan produksi ganja.
Authors
Dania Putri, Tom Blickman
Published at
The Jakarta Post
Projects
Drugs & Democracy
Akhir-akhir ini, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kementrian Kesehatan
(Kemenkes) Indonesia memutuskan untuk mengkriminalisasi jenis ganja
sintetis yang dikenal dengan nama “tembakau super” atau “tembakau Gorila), yang
sekaligus merupakan bagian dari upaya anti narkotika pemerintah. Bagaimanapun
juga, penyebaran ganja sintetis tidak akan berhenti selama ganja masih berstatus
ilegal. Langkah yang lebih tepat adalah perancangan regulasi untuk konsumsi dan
produksi ganja.

Popularitas produk ganja sintetis mulai meningkat tidak lama setelah Presiden Joko
Widodo mengintensifikasi perang melawan narkotika di Indonesia. Sejak saat itu,
aksi-aksi penyitaan dan pemberantasan ganja juga semakin meningkat. Di tengah
menurunnya persediaan ganja di pasar gelap, terdapat banyak pengguna yang
berpaling ke arah pasar online untuk membeli produk ganja sintetis, yang umumnya
dijual sebagai produk tembakau dengan efek psikoaktif yang mirip dengan ganja.
Pada tanggal 9 Januari lalu, “tembakau Gorilla” – yang secara kimia disebut sebagai AB-CHMINACA
- digolongkan di dalam kategori narkotika yang paling ketat (Golongan I) sesuai dengan Undang-
undang Narkotika No. 35 Tahun 2009, bersama dengan 27 zat lainnya. Dengan memilih pendekatan
ini, BNN mengabaikan risiko terjadinya “efek balon” (balloon effect) dari bentuk pelarangan baru ini.
Mengkriminalisasi satu jenis ganja sintetis (atau obat-obatan sintetis dan NPS pada umumnya) hanya
akan mendorong produsen untuk beradaptasi dan menemukan zat baru; dengan demikian dapat
menyebabkan munculnya varietas lain (yang mungkin lebih berbahaya).

Penyebaran produk-produk ganja sintetis akan terus berlanjut selama ganja masih
berstatus ilegal. Langkah yang lebih strategis ialah pembentukan kebijakan regulasi
untuk konsumsi dan produksi ganja, yang berdasarkan data laporan BNN tahun
2015, masih merupakan jenis narkotika ilegal yang paling banyak digunakan di
Indonesia.
Sebelum merancang dan menerapkan sebuah skema regulasi legal untuk konsumsi,
penjualan, dan produksi ganja, pemerintah Indonesia – disertai oleh restu dari BNN
dan Kemenkes - sebaiknya mulai menanggapi isu konsumsi narkotika dari sudut
pandang harm reduction (pengurangan dampak buruk konsumsi narkotika).

Terlepas dari pelarangan, konsumsi zat psikoaktif merupakan realita sosial.


Bagaimanapun juga, akan selalu ada orang yang memilih untuk menggunakan zat
psikoaktif. Maka dari itu, kebijakan yang lebih pragmatis harus dirancang untuk
meminimalisasi risiko penggunaan ganja.

Terlepas dari kemungkinan dampak buruk ganja bagi perkembangan otak anak-
anak dan remaja, atau bagi individu yang rentan terhadap penyakit-penyakit mental
tertentu, sebagian besar risiko dari penggunaan ganja di Indonesia dapat dikaitkan
dengan status ilegalnya. Beberapa contohnya adalah risiko penangkapan, tuntutan,
pemerasan, pemenjaraan, atau risiko terkait akses zat-zat yang lebih “keras” dan
zat-zat sintetis yang dipasarkan sebagai ganja.

Dengan ini, langkah berikutnya adalah pemberlakuan dekriminalisasi atas


kepemilikan jumlah kecil ganja untuk konsumsi pribadi. Dekriminalisasi, sebagai
tahap awal, seharusnya dapat membantu mengurangi biaya-biaya ekonomi dan
sosial yang diakibatkan oleh pelarangan ganja (terutama over-kapasitas penjara,
pemerasan dan penyuapan). Sementara itu, pemerintah dapat memanfaatkan
jangka waktu ini untuk membangun infrastruktur untuk mendukung implementasi
bentuk regulasi (ganja di Indonesia) yang lebih matang.

Terkait sisi produksi ganja, pemerintah dapat mengikuti model Cannabis Social
Club (CSC) seperti yang diterapkan di Spanyol dan Uruguay. CSC dapat didirikan
oleh sekelompok individu yang ingin membudidayakan ganja secara kolektif, dan
menggunakan hasil budidaya tersebut hanya untuk tujuan konsumsi pribadi.

Sistem keanggotaan CSC pada umumnya bersifat tertutup, sehingga individu yang
ingin bergabung sebagai anggota memerlukan pernyataan rekomendasi baik dari
salah satu anggota yang ada atau dari seorang dokter. Selain itu, CSC memiliki
kewajiban untuk mempromosikan konsumsi ganja yang sehat dan
bertanggungjawab, dan juga untuk memastikan bahwa produk (ganja) yang
dihasilkan tidak masuk ke pasar gelap narkotika, dengan cara menetapkan batas
terhadap jumlah ganja yang diproduksi. CSC hendaknya dikelola dengan prinsip
nirlaba, dan khusus untuk Indonesia, CSC dapat menjalin sistem kontrak dengan
petani ganja tradisional yang selama ini sering terabaikan, sehingga mereka pun
dapat diintegrasikan ke dalam ekonomi formal.

Di Indonesia, memfasilitasi munculnya CSC tidak hanya akan membantu


melemahkan jaringan kriminal yang seringkali meningkatkan kerentanan pengguna,
kurir skala kecil, dan petani tradisional, tetapi juga akan membatasi potensi arus
komersialisasi yang seringkali muncul bersamaan dengan bentuk regulasi yang mirip
dengan konteks industri tembakau dan alkohol.

Pendekatan ini sesuai dengan posisi Indonesia sebagai negara produsen ganja,
serta mengingat kuatnya nilai-nilai budaya gotong royong yang pada umumnya lebih
dihormati oleh masyarakat Indonesia, dibandingkan dengan budaya kerja Barat yang
cenderung berorientasi pada keuntungan.

Pemerintah dapat memberlakukan biaya perizinan bagi pendaftaran CSC, sembari


mengurangi beban ekonomi terkait dengan upaya penegakan hukum anti-ganja.
Sementara itu, di saat yang sama, pemerintah dapat bekerja sama dengan para ahli,
LSM, dan berbagai komunitas yang terkena dampak kebijakan, untuk merancang
sistem regulasi bercakup luas untuk keperluan medis, misalnya dalam mendirikan
fasilitas-fasilitas tertentu untuk uji klinis.

Petani tradisional dan petani skala kecil yang berasal dari daerah budidaya ganja
seperti Lampung, Mandailing Natal, dan lainnya, sebaiknya disertakan di dalam
proses ini, bersama dengan anggota-anggota komunitas yang berpengetahuan luas
tentang penggunaan ganja sebagai obat tradisional, yang sejarah panjangnya dapat
ditemukan mulai dari Aceh sampai Ambon.

Sementara itu, pemerintah juga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan


di Indonesia, untuk memastikan bahwa ganja medis yang tersedia akan bermanfaat
bukan hanya bagi mereka yang kaya dan berkuasa, tetapi juga mereka yang kurang
mampu secara ekonomi.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, menyaksikan pemerintah Indonesia


melegalisasi tanaman ganja, yang telah lama didemonisasi, mungkin merupakan hal
yang sulit untuk dibayangkan. Tetapi, dengan terjadinya bentuk-bentuk reformasi
utama di Amerika Serikat, Kanada, dan berbagai negara Amerika Latin seperti
Uruguay, serta mengingat tanda-tanda kemajuan di Thailand, sudah saatnya bagi
Indonesia untuk merangkul kembali ikatan budayanya dengan tanaman ganja.
Dengan ini, sudah saatnya juga bagi Indonesia untuk memilih bentuk peraturan yang
bersifat adil dan efektif.

Sumber:
 di Indonesia G. Kriminalisasi ganja di Indonesia lebih banyak menimbulkan dampak buruk
dibandingkan dampak positif. Policy. 2017 Feb 24.

Anda mungkin juga menyukai