Anda di halaman 1dari 10

SYARAT-SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSMISI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Studi Hadits

Dosen Pengampu
Sheyla Nichlatus Sovia, Lc., M.Ag.

Oleh
Widya Retno Putri
211317079/ IPA C

JURUSAN TADRIS ILMU PENGETAHUAN ALAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2018
BAB I

PENDAHULUAN

0
A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Ilmu
hadits adalah suatu ilmu tentang sabda, perbuatan, ketepatan, gerak-gerik dan
bentuk jasmaniyah Rasulullah SAW beserta sanad – sanadnya dan ilmu
pengetahuan untuk membedakan kesahihan, kehasanan dan kedha’ifannya
daripada lainnya, baik secara matan maupun sanadnya. Penghimpunan dan
periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan
diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya
berdasarkan kaidah – kaidah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan
diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat – syarat yang amat rumit
yang telah ditetapkan oleh ulama’ jumhur. Adapun salah satu ilmu yang
sangat berpengaruh dalam pemeliharaan, penejlasan, pemahaman, dan
pengenalan terhadap para perawi hadits adalah tahammul wa ‘ada’ul hadits.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja syarat dalam penerimaan hadits (tahammul)?
2. Apa saja syarat dalam penerimaan hadist (ada’)?
3. Bagaimana shighot dalam proses tahammul wal ‘ada dan kualitas
persambungannya?

BAB II

PEMBAHASAN

1
A. Syarat Dalam Penerimaan Hadits (Tahammul)
Jumhur ulama ahli hadits berpendapat bahwa penerimaan periwayatan
suatu hadits oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap
sah bila periwayatan hadits tersebut disampaikan kepada orang lain pada
waktu sudah mukallaf.1 Hal ini didasarkan kepada keadaan para sahabat,
tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadits, seperti
Hasan, Abdullah bin Zubeir, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Salib bin Yazid,
dan lain-lain dengan tanpa mempersalahkan apakah mereka telah baligh atau
belum Namun, sebagian ahli ilmu tidak memperbolehkannya. Mereka yang
memperbolehkan kegiatan penerimaan atau mendengar hadits yang dilakukan
oleh anak kecil, berbeda pendapat tentang batas usianya.
Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima tahun.2 Hujjah yang
digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari. Kedua, pendapat
al-Hafidz Musa Ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang
dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan
antara sapi dengan himar.3 Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam
mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak telah memahami
pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan
absah pendengarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Umumnya
kemampuan memahami pembicaraan dan kemampuan memberikan jawaban
ada pada diri anak yang sudah mumayyiz. Pendapat ini merupakan pendapat
mayoritas ulama mutaqaddimin.4

B. Syarat Dalam Penyampaian Hadits (Ada’)


Al-ada’ adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang
lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah
barang tentu memiliki pertanggungjawaban yang cukup berat, sebab sah atau
tidaknya suatu hadits juga sangat tergantung padanya.5 Mengingat hal-hal

1
Tihammi M.A, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 176.
2
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 201.
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Tihammi M.A, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 183.

2
seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fikih menetapkan beberapa
syarat bagi periwayatan hadits sebagai berikut:
1. Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seseorang perawi harus
muslim dan menurut ijma periwayatan kafir tidak sah.
2. Baligh
Baligh yang dimaksud adalah perawinya cukup usia ketika ia
meriwayatkan hadits, walaupun penerimaannya sebelum baligh. 6 Usia
baligh merupakan usia dugaan adanya kemampuan menangkap
pembicaraan dan memahami hukum-hukum syari’at, karena pada
umumnya tidak dijumpai kemampuan menangkap pembicaraan dan
berakal sebelum usia baligh. Ulama mengecualikan penerimaan riwayat
dari anak di bawah usia baligh, karena khawatir akan kedustaannya.
Kemudian, syara’ juga tidak memberikan kekuasaan bagi anak kecil dalam
masalah keduniaannya, apalagi dalam masalah agama.
3. Adil (‘Adalah)
Adil yang dimaksud adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa
seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut tetap
taqwa, menjaga kepribadian, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian
dosa kecil, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah.
4. Dhabit
Dhabit yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan
memahaminya ketika mendengarkan serta menghafalnya sejak menerima
sampai menyampaikannya kepada orang lain.7 Dhabit mencakup hafalan
dan tulisan. Adapun cara mengetahui kedhabitan seorang perawi adalah
dengan membandingkan haditsnya dengan hadits perawi-perawi yang lain
yang tsiqat, dhabit, dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal
riwayat pada umumnya meski hanya dari segi makna, maka ia dinilai
dhabit.
C. Shigot Dalam Proses Tahammul Wal Ada’ dan Kualitas
Persambungannya
Para ulama ahli hadis menggolongkan metode menerima suatu
periwayatan hadis menjadi delapan macam:

6
Ibid.
7
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 203.

3
a. Al-Sima’
Yaitu suatu cara penerimaan hadis dengan cara mendengarkan sendiri
dari perkataan gurunya dengan cara didektekan baik dari hafalannya
maupun tulisannya. Menurut jumhur ahli hadis cara ini merupakan cara
penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya, sebab terjamin
kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibanding cara cara lainnya.8
Lafadz-lafadz yang digunakan oleh rawi dalam menyampaikan hadis atas
dasar sama’ adalah:

 ‫ أخبرنا‬،‫( أخبرنى‬seseorang mengabarkan kepadaku/kami)


 ‫ حدثنا‬،‫(حدثنى‬seseorang telah bercerita kepadaku/kami)
 ‫ سمعنا‬،‫( سمعت‬saya telah mendengar, kami telah mendengar)
b. Al-Qira’ah “Ala Al-Syaikh atau ‘Aradh Al-Qira’ah
Yaitu suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang
membacakan hadis di hadapan gurunya, baik dia sendiri yang
membacakan maupun orang lain, sedangkan sang guru mendengarkan atau
menyimaknya, baik guru itu hafal maupun tidak tetapi dia memegang
kitabnya atau mengetahui tulisannya.
Para ulama sepakat bahwa cara seperti ini dianggap sah, namun
mereka berbeda pendapat mengenai derajat al-qira’ah. Diantara mereka,
seperti Al-Lais bin Sa’ad, Syu’ban, Ibnu Juraih, Sufyan Al-Tsauri, serta
Abu Hanifah menganggap bahwa al-qira’ah lebih baik jika dibanding al-
sama’, sebab dalam al-sama’ bila bacaan guru salah, murid tidak leluasa
menolak kesalahan, tetapi dalam al-qira’ah bila bacaan murid salah, guru
segera membenarkannya. Imam Malik, Bukhori sebagian besar ulama
Hijaz dan Kufah menganggap bahwa antara al-qira’ah dengan al-sama’
mempunyai derajat yang sama. Sementara Ibnu Al-Shalāh, Imam Nawawi
dan Jumhur ulama memandang bahwa al-sama’ lebih tinggi derajatnya

8
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakata: Rajagrafindo PERSADA, 2013).

4
dibanding dengan cara al-qira’ah.9 Lafadz-lafadz yang digunakan untuk
menyampaikan hadis-hadis yang berdasarkan al-qir’ah diantaranya:

 ‫( قرآت عليه‬aku telah membacakan dihadapannya)


 ‫( قرئ على فلنا و أنا أسمع‬dibacakan seseorang dihadapannya sedang aku
mendengarkannya)
 ‫( حدثنا أو أخبرنا قراءة عليييه‬telah mengabarkan/menceritkan padaku secara
pembacaan dihadapannya)
c. Al-Ijāzah
Yaitu seorang guru memberika izin kepada muridnya untuk
meriwayatkan hadis atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu,
sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar
bacaan gurunya.10 Lafadz-lafadz penyampaiannya ialah:
 ‫( أﺠاﺯلﻲ فلنا‬seseorang telah memberikan kepadaku untuk meriwayatkan
hadits)
 ‫( ﺤﺩﺜنا ﺇﺠاﺯة‬telah menyampaikan riwayat kepadaku dengan disertai izin,
untuk meriwayatkan kembali)
 ‫( أﺨبﺭنا ﺇﺠاﺯة‬telah mengabarkan kepada kami dengan ijazah). Kode ini
sering dipakai oleh ulama hadits generasi akhir atau mutaakhirin.
d. Al-Munāwalah
Yaitu seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis kepada
muridnya untuk diriwayatkan. Hadits yang diperoleh dengan
metode munawalah yang disertai ijazah, boleh untuk diriwayatkan sedang
yang tanpa ijazah tidak diperbolehkan (menurut pendapat yang shahih).11
Adapun lafadz-lafadz yang digunakan adalah:

 ‫( ناوﻟنﻲ‬seseorang guru hadits telah memberikan naskahnya kepadaku)


 ‫( ناوﻟنﻲ وﺇﺠاﺯنﻲ‬seorang guru hadits telah memberikan naskahnya
kepadaku dengan disertai ijazah)

9
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)
10
Ibid.
11
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakata: Rajagrafindo PERSADA, 2013).

5
 ‫( ﺤﺩﺜنا مناوﻟﺔ‬telah menyampaikan riwayat kepadaku secara munawalah)
 ‫( أﺨبﺭنايي مناوﻟﺔيي ﺇﺠاﺯة‬telah menyampaikan berita kepadaku secara
munawalah disertai ijazah
e. Al-Mukātabah
Yaitu seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain
untuk menuliskan sebagian hadisnya guna diberikan kepada murid
yangada dihadapannyaatau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat
melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.12 Metode
Mukatabah apabila disertai ijazah maka hukumnya sah dan mempunyai
martabat kuat, sedangkan mukatabah yang tidak disertai ijazah
menimbulkan perbedaan pendapat tentang sah dan tidaknya. adapun
ungkapan untuk metode ini yaitu :

 ‫( كتابييﺔ فلنا حييدثنى‬seseorang telah bercerita padaku dengan surat


menyurat)
 ‫( كتابﺔ فلنا أخبرنى‬seseorang telah mengkhabarkan padaku)
f. Al-I’lam
Yaitu pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa hadis
yang diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru) dengan tanpa
memberikan izin kepada muridnya untuk meriwatkannya. Dalam hal ini,
mayoritas ulama mengatakan bahwa metode ini di anggap sah, sekalipun
sebagian kecil menganggapnya tidak sah.13 Lafadz-lafadz yang dipakai
adalah :

 ‫أعلمنﻲي ﺸيﺨﻲ بﻜﺫا‬ (guru hadits telah memberitahukan sebuah


riwayat hadits)
g. Al-Wāsiyāh
Yaitu seorang guru, ketika akan meninggal atau berpergian
meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis, setelah
sang guru meninggal atau berpergian. Periwayatan hadis dengan cara ini

12
Ibid.
13
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)

6
oleh jumhur dianggap lemah, sementara Ibnu Sirin membolehkan
mengamalkan hadis yang diriwayatkan dengan cara ini.14 Lafadz yang
digunakan ialah :
 ‫( بكذا فلنا حدثنى‬seseorang telah memberitahukan kepadaku begini)
h. Al-Wijadah
Yaitu seorang memperoleh hadis orang lain dengan mempelajari kitab-
kitab hadis, tetapi ia tidak mengenal sang guru tersebut. Haditsnya pun
belum pernah didengar ataupun ditulis oleh si perawi. Para ulama
berpendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadis dan ahli fiqih dari
madzab malikiyah tidak memperboleh meriwayatkan hadis dengan cara
ini. Imam syafi’i dan segolong pengikutnya memperbolehkan beramal
dengan hadis dengan periwayatannya melalui cara ini. Ibnu Al-shalah
mengatakan, bahwa sebagaian ulama muhaqqiqin mewajibkan
mengamalkan bila diyakini kebenarannya.15 Lafadz-lafadz yang digunakan
adalah:

 ‫وﺠﺩت بﺨﻁ فلنا‬- (aku telah menemukan tulisan seorang guru


hadits)

 ‫قﺭأت بﺨﻁ فلناﻜﺫ‬ (aku telah membaca hadits tulisan seorang guru).

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Jumhur ulama ahli hadits berpendapat bahwa penerimaan periwayatan
suatu hadits oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap
sah bila periwayatan hadits tersebut disampaikan kepada orang lain pada
waktu sudah mukallaf. Jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fikih
menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits sebagai berikut:
1. Islam
2. Baligh
3. Adil (‘Adalah)
14
Tihammi M.A, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010)
15
Tihammi M.A, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010)

7
4. Dhabit
Para ulama ahli hadis menggolongkan metode menerima suatu
periwayatan hadis menjadi delapan macam yaitu Al-Sima’, Al-Qira’ah “Ala
Al-Syaikh atau ‘Aradh Al-Qira’ah, Al-Ijāzah, Al-Munāwalah, Al-
Mukātabah, Al-I’lam, Al-Wāsiyāh, dan Al-Wijadah.
B. Saran
Demikianlah makalah mengenai materi rasm utsmani, tentunya banyak
kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan kurangnya
rujukan atau referensi yang saya peroleh hubungannya dengan makalah ini
Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan
kritik saran yang membangun kepada saya demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus
pada penulis.

8
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. 2007. Ushul Al-Hadits. Jakarta: Gaya Media


Pratama.
M.A, Tihammi. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Suparta, Munzier.2013. Ilmu Hadis. Jakata: Rajagrafindo PERSADA.
Khaeruman, Badri. 2010. Ulum Al-Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai