Anemia Hemolitik
Anemia Hemolitik
Referensi : Hoffbrand AV, Petit JE, Moss PAH. Haemolytic Anemias. In: Essential
Haematology. 7th ed. London: Blackwell Science. 2016.
Anemia hemolitik didefinisikan sebagai anemia yang disebabkan oleh peningkatan laju destruksi
eritrosit. Anemia hemolitik dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu anemia hemolitik herediter yang
disebabkan oleh defek intrinsik dari sel darah merah, sedangkan anemia hemolitik didapat
disebabkan oleh perubahan extracorpuscular maupun perubahan lingkungan. Pada pasien
dengan anemia hemolitik didapatkan tanda klinis seperti pucat, ikterik ringan, dan splenomegali.
Temuan laboratorium dari anemia hemolitik dibagi menjadi 3 kategori, yaitu :
+Tidak adanya serum haptoglobin akibat destruksi oleh sel-sel dari system retikuloendotelial
+ Retikulositosis
+ Hyperplasia sumsum tulang eritroid, dengan sumsum tulang myeloid yang normal. Rasio
myeloid:eritroid (normal 2:1 hingga 12:1) menurun menjadi 1:1 atau kebalikannya
Kerusakan eritrosit
+ Kerapuhan osmotic
Terdapat 2 mekanisme destruksi eritrosit pada anemia hemolitik, yaitu hemolitik intravaskuler
dan ekstravaskuler. Pada hemolitik ekstravaskuler, terjadi pengingkatan hemolysis oleh sel-sel
dari sistem retikuloendotelial. Sedangkan pada hemolisis intravaskuler destruksi eritrosit terjadi
langsung di dalam sirkulasi.
Hereditary
spherocytosis
+ Abnormlitas Band 3
Hereditary elliptocytosis
+ Mutasi dari protein alpha atau beta spectrin menyebabkan gangguan pembentukan dimer
spectrin
+ Mutase dari protein alpha atau beta spectrin menyebabkan gangguan hubungan spectrin-
ankyrin
+ Delesi protein band 3, menyebabkan sel lebih rigid dan resisten terhadap infeksi malaria
+ Kondisi ini umum ditemukan di Melanesia, Malaysia, Indonesia, dan Filipina, sebagian besar
kasus asimtomtik dan tidak memberikan gambaran anemia.
Anemia jenis ini disebabkan oleh produksi antibody tubuh terhadap eritrositnya sendiri. Kelainan
ini ditandai dengan direct antiglobulin test/DAT atau yang sering dikenal dengan Coomb’s Test
yang positif, dan dibedakan menjadi tipe warm dan cold tergantung pada apakah antibody
bereaksi lebih kuat dengan eritrosit pada 37oC atau 4oC.
Eritrosit dilapiisi dengan immunoglobulin G (IgG) secara tersendiri atau dengan komplemen dan
oleh karena itu diambil oleh makrofag RE yang mempunyai Fc Receptor. Bagian dari membrane
yang terlapisi tersebut hilang, sehingga sel menjadi semakin sferis untuk mempertahankan
volume yang tetap dan akhirnya dihancurkan secara prematir, terutama di limpa dan sistem
Retikulo Endotelial.
Gambaran Klinis: Penyakit dapat terjadi pada segala usia, jenis kelamin, dan bermanifestasi
sebagai anemia hemolitik dengan keparahan bervariasi. Limpa sering kali membesar. Penyakit
ini cenderung pulih dan kambuh.
Temuan Laboratorium: didapatkan temuan hematologis dan biokimiawi khas untuk anemia
hemolitik ekstravaskuler dengan sferositosis yang nyata dalam darah tepi. DAT positif akibat
IgG, IgG dengan komplemen, atau IgA ada sel dan pada beberapa kasus autoantibodi
menunjukkan spesifisitas dalam system Rh. Antibody yang terdapat pada permukaan sel dan
yang bebas dalam serum yang paling baik dideteksi pada suhu 37oC.
+ Splenektomi mungkin berguna bagi pasien yang gagal berespons baiik atau gagal
mempertahankan kadar hemoglobin yang memuaskan dengan dosis steroid keci yang dapat
diterima.
+ Immunosupresi dapat dicoba jika steroid dan/atau splenektomi sudah gagal. Ii dapat dicapai
dengan obat atau antibody monoclonal. Azatioprin, siklofosfamid, klorambusil, siklosporin dan
mikofenolat mofetil dapat dicoba.
+ Antibody monoclonal. Anti CD20 (rituximab) telah menghasilkan remisi yang memanjang
pada sebagian kasus dan anti CD52 (campath-1H) telah dicoba dengan sukses pada beberapa
kasus.
+ Immunoglobulin dosis tinggi telah digunakan tetapi kurang berhasil dibandingkan pada ITP
+ Mungkin perlu untuk mengobati penyakit yang mendasarinya, misal leukemia limfositik
kronik atau limfoma.
Autoantibodi pada cold AIHA biasanya IgM dan berikatan dengan eritrosit terbaik pada suhu
4oC. Antibodi IgM sangat efisien untuk mengikat komplemen dan dapat terjadi hemolisis
intravascular dan ekstravaskular. Komplemen senddiri biasanya terdeteksi pada eritrosit,
antibody telah terlepas dari sel di bagian-bagian sirkulasi yang lebih hangat. Yang menarik, pada
hampir semua sindrom AIHA dingin, antibody ditujukan terhadap antigen “I” pada permukaan
eritrosit. Pada mononucleosis infeksiosa, antibody adalah anti-i.
Gambaran klinis: pasien menderita anemia hemolitik kronik yang diperburuk oleh dingin dan
disertai dengan hemolisis intravascular. Icterus ringan dan splenomegaly mungkin ditemukan.
Pasien mungkin mengalami akrosianosis (keunguan) pada ujung hidung, telinga, jari-jari tangan
dan jari-jari kaki yang disebabkan oleh aglutinasi eritrosit dalam pembuluh darah keciil.
Temuan laboratorium mirip dengan AIHA hangat kecuali bahwa sferositosis kurang nyata,
eritrosit beraglutinasi dalam suhu dingin dan DAT menunjukkan komplemen (C3d) hanya pada
permukaan eritrosit. Serum menunjukkan autoantibodi “dingin” terhadap eritrosit dengan titer
yang tinggi.
Pengobatan terdiri dari mempertahankan pasien tetap hangat dan mengobati penyebab yang
mendasari, jika ada. Zat pengalkil seperti klorambusil atau analog nukleotida purin (misal
fludarabin) mungkin bermanfaat pada varian yang kronik. Anti-CD20 (rituximab) dan anti-CD52
(campath-1H) telah digunakan. Rituximab khususnya efektif jika terdapat penyakit
limfoproliferatif B yang menyertai. Splenektomi biasanya tidak membantu kecuali terdapat
splenomegaly massif. Steroid tidak membantu. Limfoma yang mendasari harus disingkirkan
pada kasus-kasus “idiopatik”.
Temuan laboratorium: Pada pemeriksaan DAT hasil positif untuk IgG dan C3.
Pengobatan untuk mixed type AIHA merespon obat dengan cara yang mirip seperti AIHA
hangat. Pasien umumnya merespon steroid, agen immunosupresif, dan splenektomi dengan baik.
Penyakit lain yang mendasari terjadinya mixed type AIHA juga harus disingkirkan.
+ Anemia hemolitik autoimun sejati, pada keadaan ini peran obat belum jelas (misal metildopa)
Pada setiap kasus, anemia hemolitik hilang perlahan jika obat dihentikan.
Pada anemia hemolitik aloimun, antibod yang dihasilkan oleh seorang individu bereaksi dengan
eritrosit individu lain. Dua keadaan penting adalah transfusi darah yang tidak kompatibel ABO
(menyebabkan hemolisis yang parah) dan penyakit Rh pada neonatus. Reaksi transfusi yang
terlambat biasanya muncul 3 hingga 10 hari pasca transfusi dan biasanya disebabkan oleh titer
antibody yang rendah terhadap antigen eritrosit minor. Pada paparan berulang terhadap antigen
eritrosit, antibody ini terbentuk cepat dan menyebabkan hemolisis ekstravaskuler. Sedangkan
pada reaksi transfusi akut terjadi aglutinasi oleh IgM yang menyebabkan fiksasi komplemen
hemolisis intravaskuler yang cepat. Dalam hitungan menit, pasien menunjukkan gejala demam,
menggigil, dyspnea, hipotensi, dan shock.