Anda di halaman 1dari 15

Aku keluar dari ruangan dengan ekspresi yang entah bagaimana.

Selama kurang lebih 1 jam aku


berkutat dengan soal-soal olimpiade yang menegangkan. Enak sih enak mengerjakannya, tapi kan
aku perlu waktu untuk menganalisa soal cerita. Jadinya kebawa tegang. Setidaknya di luar kelas aku
bisa bernafas lega.

“Hei, Va, udah selesai?”

Aku lumayan terkejut begitu Kak Ian menyapaku. “Kak Ian juga?”

Kak Ian mengangguk. Ia mengajakku duduk di sampingnya. Aku menurut.

“Gimana?”

“Aduh.... kejar-kejaran sama waktu deh Kak, padahal aku bisa sih, cuman ya itu, mesti cepet. Jadinya
tegang sepanjang waktu,” keluhku. Kak Ian hanya tersenyum. “Wajar, baru pertama kalinya ikut
olimpiade. Nanti juga terbiasa kok.”

“Kak Ian gimana? Kok cepet banget selesainya?”

“Iya dong, aku malah gak betah lama-lama di dalam kelas. Mati gaya. Hehehe...”

Aku hanya mengangguk menyengir.

“Iran udah selesai apa belum?” tanya Kak Ian lagi.

“Gak tau nih Kak, belom ada batang hidungnya yang muncul. Kita tunggu aja,” kataku, “Eh, aku aja
deh yang nunggu. Siapa tau Kak Ian ada urusan lain.”

Kak Ian menggeleng sejenak. “Gak ada. Kamu mau ke kantin gak, Va? Sambil nungguin Iran. Nanti
sms aja Iran kalo kita lagi di kantin, siapa tau dia nyari kamu.”

Aku baru akan menyahut ketika kulihat Iran setengah berlari menuju ke arah kami. Dia tampak
tersenyum lebar. Senang banget kayaknya.

“Rivaaaaaa........” serunya senang.

“Gimana? Gimana?” tanyaku antusias.

“Gue duduk di samping Kak Imran tadi.....! Omaigad! Kebayang gak?” Iran masih dengan euforia
senangnya, nggak sadar kalau ada Kak Ian di dekatku yang juga mendengar kata-katanya barusan.

“Kamu naksir Imran ya?” tanya Kak Ian, membuat Iran mendadak malu dan rasanya ingin kabur tapi
sudah terlanjur ketahuan.
“Hehehe, jujur aja, Ran, siapa sih yang gak suka Imran? Senior baik hati yang gak cuman cakep tapi
juga pintar,” goda Kak Ian.

“Ih.... Kak Ian jangan berisik dong! Kan gue malu...” Iran merengut sambil menoleh sekeliling. Untung
saja tidak ada yang mendengar obrolan mereka.

Aku dan Kak Ian hanya tertawa, membuat Iran makin malu. “Udah ah, jangan dibahas lagi. Muka gue
kayaknya udah merah nih saking malunya.”

“Eh, tadi Kak Ian ngajak ke kantin. Ran, ke kantin juga yuk!” ajakku mengalihkan pembicaraan. Iran
mengangguk sejenak. “Kebetulan gue juga laper.”

***

Tidak pernah kubayangkan sebelumnya kalau aku akan berteman dengan Kak Ian, dan akhirnya
nonton bareng. Berdua. Aku berusaha tidak deg-degan saat duduk di sampingnya. Kulirik arah Kak
Ian. Ia tampak santai sambil menyeruput minumannya.

“Kenapa, Va?”

Ups, aku ketahuan melirik Kak Ian. Akhirnya aku menoleh padanya dan menggeleng dengan senyum
tipis. “Gak papa.” Kemudian aku kembali fokus pada layar bioskop. Untung saja kami mengambil film
genre komedi, akhirnya terbawa suasana dan tertawa sepanjang film. Gila, lucu banget.
Keteganganku jadi cair semua. Fiuhhh......

Setelah nonton, Kak Ian mengajakku ke toko kue. Rupanya ia sudah memesan sebuah kue tart. Aku
hanya mengamati ia membayar kue dan mengajakku pergi lagi.

“Kok Kak Ian gak beli di mall aja tadi kuenya? Di Bre*dt*lk kan juga ada,” sahutku.

“Iya sih Va, tapi toko tadi udah jadi langgananku. Sejak kelas 3 SMP sampe sekarang aku sering beli
di situ buat mamaku. Enak loh. Nanti kamu coba ya,” kata Kak Ian tersenyum.

“Jadi hari ini ultah mama Kak Ian?” tebakku.

Kak Ian mengangguk. “Sekarang kita bakal ke rumah mama,” sahutnya tersenyum pelan. Aku
memandangnya sejenak.

“Ke rumah mama Kak Ian? Maksudnya ke rumah Kak Ian?” tanyaku memastikan.

Kak Ian tersenyum lalu menggeleng. “Mama udah nggak tinggal di rumah,” katanya pelan, “sejak
pisah dengan papa.”
Aku tidak tahu harus berekspresi apa, hanya menatap simpati. Aku tidak tahu persis rasanya
bagaimana jika orang tua berpisah, dan semoga aku tidak pernah mengalaminya. Kak Ian kembali
tersenyum. “Udah yuk, kamu mau kan temenin aku ke rumah mama?”

Aku mengangguk pada Kak Ian.

Tidak butuh waktu lama untuk kami sampai di sebuah rumah sederhana bercat kuning pucat dan
dikelilingi beraneka pot bunga. Aku langsung suka suasana di rumah ini. Walau sangat terasa
sepinya. Kak Ian mengajakku mengikutinya melangkah menuju halaman rumah, dan kami sampai di
teras rumah. Kak Ian mengetuk sejenak pintu itu. “Ma.... assalamu alaikum....!”

Seraut wajah muncul setelah pintu terbuka, dan menjawab, “Waalaikum salam...”

“Happy birthday Ma!” sahut Kak Ian tersenyum lebar seraya menyodorkan sebuah kue tart. Mama
Kak Ian, yang kutahu bernama Tante Meva, tersenyum haru menerima kue itu dan langsung
memeluk Kak Ian. Aku tersenyum melihat mereka, dan ikut berucap, “Selamat ulang tahun, Tante!”

Tante Meva yang mendengar suaraku lantas melepas pelukannya pada Kak Ian dan menatapku,
“Terima kasih, Cantik. Riva ya?”

Aku hanya terkejut mendengar Tante Meva yang sudah tahu namaku lebih dulu. “Tante tau
namaku?” tanyaku.

“Bukan hanya tau nama kamu, tapi Tante juga tau bagaimana dulu Ian bikin kamu marah sampai
akhirnya bisa berteman seperti sekarang, hehehe....”

“Ma....” sela Kak Ian malu.

Aku mengangkat alis sejenak, masih merasa heran. Aduh, jangan-jangan Kak Ian menceritakan
tentang diriku kepada mamanya, termasuk saat aku marah dan hampir menolak permintaan maaf
Kak Ian. Aku jadi malu sendiri. Tapi Tante Meva malah memelukku hangat. Ia tersenyum.

“Masuk yuk.... kita rayakan di dalam,” ujar Tante Meva. Aku dan Kak Ian mengangguk, lalu mengikuti
Tante Meva ke dalam rumah.

“Rumah Tante cantik,” pujiku setelah mengamati sekeliling ruangan. Sederhana tapi cantik.
Nuansanya menenangkan.

“Secantik kamu ya, Va,” ujar Tante Meva menyengir lebar. Aku tersipu. Sementara itu Kak Ian
menyiapkan berbagai perlengkapan makan. Aku ingin membantu, tapi Tante Meva menahanku.
“Khusus hari ultah Tante, Ian pengennya dia sendiri yang menyiapkan semuanya. Jadi tunggu aja.”
“Tante...... tinggal sendiri di sini?” tanyaku perlahan, takut menyinggung perasaan Tante Meva.
Beliau diam sejenak, lalu menghela nafas. “Kadang-kadang Ian nemenin Tante di sini, tapi gak
nginap.”

Aku hanya mengangguk, tidak ingin bertanya lebih lanjut. Daripada membahas masalah pribadi,
lebih baik kami membahas ulang tahun Tante Meva saja. Untung saja Kak Ian sudah selesai
menyiapkan perlengkapan makan. Kami berdoa bersama dan kemudian Kak Ian meminta mamanya
untuk memotong kue. Sebelumnya, Kak Ian memasang tripod dan kamera untuk merekam perayaan
sederhana itu. Tante Meva tersenyum selama memotong kue, dan memberikan potongan pertama
kue itu kepada Kak Ian sambil mencium keningnya. Aku tersenyum melihat mereka. Sederhana tapi
berkesan. Meski kurang sosok ayah Kak Ian dalam merayakannya. Senyumku terhenti saat Tante
Meva menyodorkan potongan kue kedua kepadaku. Aku menerimanya dengan gembira, dan
memeluk Tante Meva. “Semoga panjang umur ya Tante...” doaku tulus.

“Terima kasih, Cantik.”

Kak Ian yang sudah selesai merekam, lantas mengambil kameranya dan mengajak kami selfie
bertiga, seperti biasa. Hobinya memang selfie, sepertinya. Setelah mengambil foto beberapa kali,
Kak Ian melihat jam tangannya.

“Ma, gak papa ya kami pulang? Udah jam 8. Kasian Riva, udah kuculik sejak sore tadi,” kata Kak Ian
menyengir padaku. Aku hanya tersipu, lagi-lagi.

“Iya, Sayang. Tapi janji nanti bawa Riva lagi ke sini ya kapan-kapan? Mama pengen ngobrol banyak
sama Riva. Mau ya, Va?” tanya Tante Meva memandang kami bergantian. Aku hanya tersenyum
mengiyakan. Kak Ian mengangguk. “Iya, Ma. Sekarang mama istirahat ya. Kami pamit. Assalamu
alaikum, Ma,” ujar Kak Ian mencium pipi mamanya. Aku ikut pamit.

Setiba di rumah, aku mengajak Kak Ian mampir tapi mengingat sudah malam, Kak Ian berkata,
“Kapan-kapan aja ya Va, aku main lagi ke sini. Makasih udah nemenin aku merayakan ultah mama,
sama nemenin nonton juga.”

Aku mengangguk tersenyum. “Sama-sama, Kak.”

Setelah Kak Ian pamit, aku segera membuka pagar dan masuk. Kulihat sebuah motor terparkir di
samping rumah. Motor siapa ya? Kayak kenal. Aku melepas sepatu dan mengucapkan salam.

“Nah, itu dia Riva, akhirnya udah pulang.....” seru Papa yang tak beranjak dari sofa, sedang asik
bermain gaplek dengan Kak Aris. Aku terbelalak sejenak. Kak Aris ngapain malam-malam ke sini?
“Loh.... Kak Aris?”

“Bukan.. ini ketua preman sekolah,” katanya menyengir sejenak, sambil memandangku. Kulihat Papa
tergelak mendengarnya. Aku mengerutkan dahi.

“Kak Aris udah lama?” tanyaku lagi. “Ada apa Kak?”

“Ada apa gimana? Orang kami lagi main gaplek kok ini,” ujar Kak Aris, “Main, Om..”

Aku mengernyitkan alis melihat mereka berdua, terutama Papa yang kembali asik bermain gaplek
bersama Kak Aris. Aku ikut duduk di sofa, di samping Papa. “Mama mana, Pa?”

“Di kamar,” jawab Papa singkat, “Ah... udah ah, Om berhenti. Nih si Riva aja yang main, pegang kartu
Papa,” Papa menyodorkan kartu itu padaku, “Papa masuk dulu ya. Yang menang nanti Papa traktir
makan ayam goreng.”

“Makasih Om, malam ini aja gimana? Kebetulan kami mau makan sekarang,” kata Kak Aris
tersenyum pada Papa.

“Oke... Va, ajak Aris makan tuh. Ada ayam di meja makan,” Papa menepuk pundakku, lalu berganti
menepuk pundak Kak Aris, “Gak usah bayar ya, gratis!”

“Aman, Om.”

Sepeninggal Papa, Kak Aris lantas meletakkan kartunya di meja, “Makan yuk!”

“Kak Aris mau makan sekarang?” tanyaku.

“Gak, besok.. Ya sekarang lah...” sahutnya sambil berdiri. Aku mengerutkan dahi. Siapa yang tamu,
siapa yang galak? Daripada berdebat, aku segera mengajak Kak Aris menuju meja makan.

“Kak Aris malam-malam ke sini cuman buat main gaplek sama Papa?” tanyaku seraya menyodorkan
piring yang rupanya sudah disiapkan di meja. Kak Aris tersenyum sejenak. “Menurutmu?”

Aku menggeleng, tanda nggak tahu. Rasanya aneh duduk berdua di meja makan bersama Kak Aris
seperti ini. Kenapa Papa dan mama harus masuk di kamar sih? Bukannya menemani kami. Kak Aris
mulai makan, sementara aku masih bertanya-tanya tujuan Kak Aris datang ke sini.

“Udaaah, liatinnya biasa ajaaa, aku tau aku ini ganteng,” seru Kak Aris sibuk mengunyah tanpa
menatapku. Aku terkejut sejenak. “Siapa yang liat? Aku lagi mikir kok.”

“Mikir kok bisa makan berdua sama aku?”


Aku mencibir. Narsis banget sih Kak Aris ini.

“Gak, mikir jam berapa Kak Aris mau pulang. Udah malam, nanti banyak begal.”

“Ooooh, ngusir?”

“Gak... ini malah perhatian,” aku menjulurkan lidah, dan lanjut makan. Kak Aris terkekeh. Tidak
butuh waktu lama untuknya menghabiskan makanan. Untung saja aku hanya mengambil sedikit
makanan, sehingga kami selesai makan hampir bersamaan.

Kak Aris berdehem sejenak. Aku menoleh.

“Ri udah pernah ke taman burung kan?”

Aku mengangguk walau bingung. Pernah, walau hanya sekali.

“Oh.. tapi ke sana bareng aku belum pernah kan?”

Aku menatap Kak Aris yang tersenyum memamerkan lesung pipinya, dan matanya balas menatapku.
Sepertinya aku sudah tahu maksud Kak Aris datang ke sini malam-malam begini. Ia ingin mengajakku
jalan-jalan ke taman burung besok. Dasar Kak Aris.....

“Gimana?” tanyanya meminta jawaban.

“Jam berapa Kak?” tanyaku melihat ke arah jam dinding. Untung besok hari Minggu. Kebetulan aku
sudah lama tidak ke sana.

“Jam 9 aku jemput.”

Setelah Kak Aris pulang, aku segera masuk ke kamar. Rasanya lelah seharian, tapi entah mengapa
menyenangkan juga. Aku merebahkan diri di atas ranjang. Baru saja ingin memejamkan mata, aku
menerima sebuah pesan singkat. Dari K. Alias Kak Aris.

Aku tau aku ganteng, tapi gak usah mimpiin aku. Besok kita jumpa lagi kok.

Ih... dasar Kak Aris narsis dan tukang gombal. Tapi anehnya aku justru tersenyum membaca
pesannya.

***

Aku sedang bersiap-siap dijemput Kak Aris ketika mama masuk ke kamarku dan bertanya, “Pagi-pagi
udah rapi aja. Mau ngedate sama cowok ganteng ya Sayang?”
Aku mengerutkan dahi, “Ha? Kok ngedate sih Ma? Cuma jalan-jalan biasa kok. Tapi.... bukan sama
Kak Ian.”

“Jadi sama siapa? Iran?” tanya mama lagi.

Aku menggeleng. “Kak Aris.”

Kali ini mama yang mengerutkan dahi. “Aris yang preman itu?”

Aku mengangguk, walau kesannya kok negatif banget ya disebut preman? Tapi kan papa dulu juga
seorang preman, tapi sekarang baik-baik saja. Nggak pernah aneh-aneh.

“Sayang, kamu yakin mau jalan-jalan sama dia?” tanya mama sedikit khawatir.

“Kenapa Ma? Dia udah kenal sama Papa kok. Lagian kami cuma teman, mama nggak usah khawatir.”

“Iya, teman kan bagimu. Gimana kalo dia naksir sama kamu, Sayang? Anak mama kan cantik, siapa
yang nggak tertarik, coba? Mama sih lebih milih cowok ganteng ya untuk jadi menantu mama.”

Aku sedikit bergidik. Apa mama bilang? Menantu? Umurku masih 16 tahun, masih jauh menuju
pernikahan. Aku agak geli membayangkannya. Ih, mama ada-ada aja deh.

“Emang kalian mau jalan-jalan ke mana?” tanya mama kepo.

“Katanya sih Kak Aris mau ngajak ke taman burung gitu,” jawabku sambil memandang kembali
wajahku di cermin. Aku tidak berdandan, hanya sedikit memoles bedak tipis dan lipbalm agar lebih
fresh dan natural.

“Hmm yaudah tapi hati-hati ya, tetap jaga diri. Duh, kalo papa kamu dulu bukan preman, mama
sekarang udah panik begitu tau kamu mau jalan sama preman sekolah,” ujar mama masih kurang
ikhlas aku akan menghabiskan hari minggu bersama Kak Aris. Aku hanya tersenyum sejenak dan
mengangguk. Bersamaan dengan itu terdengar suara salam dari luar, “Assalamu alaikum.”

“Kayaknya Kak Aris udah datang tuh Ma,” kataku, “Keluar yuk.”

Aku mengajak mama menuju ruang tamu, dan benar, Kak Aris sudah datang. Penampilannya simpel
saja, baju kaos warna hitam dan celana jins biru. Kak Aris tersenyum pada mama. “Selamat pagi
Tante.”

Mama tersenyum, walau kutahu senyumannya tidak sesumringah jika Kak Ian yang datang
berkunjung. “Pagi juga. Tante titip Riva ya, jangan sampai kenapa-kenapa loh.”
Kak Aris menyalami mama sambil tersenyum lebar, “Siap, Tante. Kalo sama aku, Ri ini aman luar
dalam.”

“Bener yaa... Tante titip Riva. Kalian kalo mau jalan-jalan seputaran mall aja, lebih aman, jangan
jauh-jauh. Mau nonton bisa, makan bisa, belanja bisa......”

“Ma, kami berangkat dulu ya, assalamu alaikum,” aku memutuskan segera pamit sebelum mama
berceramah panjang lebar. Aku jadi tidak enak pada Kak Aris. Kesannya dia dicurigai oleh mama.
Duh...

“Waalaikum salam.”

“Assalamu alaikum, Tante.”

“Waalaikum salam. Ingat pesan Tante yaaa....”

Aku memberi isyarat pada Kak Aris agar segera mengikutiku keluar rumah. Dan setelah motor sudah
beranjak menjauhi rumah, barulah aku bernafas lega.

“Haduh......”

“Kenapa? Grogi?” tanya Kak Aris menyengir dari balik spion.

“Siapa yang grogi? Kak Aris tadi gak denger petuah-petuahnya mamaku?” sahutku setengah
mencibir.

Kak Aris tergelak. “Denger. Trus kenapa?”

“Kak Aris emangnya gak tersinggung dibilang kayak gitu? Kesannya kan Kak Aris ini kayak apaaa gitu,
disuruh jaga aku baik-baik.”

“Ya aku preman sekolah, trus kenapa? Emangnya preman kayak aku gak bisa jaga kamu?”

Aku menepuk jidat. “Justru mama takutnya Kak Aris lah yang ngapa-ngapain aku. Preman kan identik
dengan penjahat.”

Ups.... sesaat aku lantas menyesal mengucapkan kalimatku barusan. Duh, Kak Aris bisa beneran
tersinggung nih. Tapi kulihat dia masih menyengir.

“Sekarang aku tanya, papa kamu preman gak?”

“Iya, tapi dulu.”


“Dulu beliau jadi preman, apa beliau jadi penjahat juga?”

“Ya enggak lah.”

“Yaudah..... aku juga gitu. Aku preman tapi aku bukan penjahat. Ri paham kan?”

Aku menghela nafas, dan mengiyakan. “Sori deh Kak, kan bukan aku yang mikir gitu. Mama cuma
khawatir aja.”

Kak Aris tersenyum perlahan. Ia berupaya mencari tatapanku dari balik spion.

“Apa sih liat-liat?” tanyaku risih, sekaligus agak salting. Aku menghindari menatap kaca spion.

“Siapa yang liat kamu, coba? Aku kan lagi ngaca. Gimana? Aku udah keren kan?” akhirnya Kak Aris
menoleh ke belakang, ke arahku.

“Narsis... awas nabrak! Hadap depan sana, Kak!” perintahku.

Kak Aris hanya tertawa kemudian kembali mengalihkan perhatian ke jalanan di depan, sedangkan
aku bernafas lega karena dia tidak sempat melihat perubahan warna wajahku. Fiuh.....

***

Taman burung sudah buka pagi ini. Baru beberapa pengunjung yang terlihat, termasuk aku dan Kak
Aris. Selain burung-burung, ada juga beraneka hewan lain yang sudah mulai agak langka, seperti
beberapa jenis ikan, biawak, ular, kura-kura besar, sampai gajah juga ada. Sudah lama sekali aku
tidak ke sini, bahkan sekarang jenis hewannya bertambah. Ada hewan semacam angsa tapi
bentuknya sedikit berbeda, dan kadal.

“Wah sekarang lebih rame lagi hewannya ya Kak,” ujarku kagum. Aku memandang dua orang anak
kecil, sepertinya bersaudara, yang begitu gembira memberi makan kura-kura.

“Belanja makanan dulu yok di sana. Biar kamu juga bisa ngasih makan hewannya kalo mau,” ujar Kak
Aris mengajakku ke gerai makanan hewan. Aku mengikutinya. Seorang karyawan menawarkan satu
paket makanan lengkap.

“Daun-daun ini untuk kadal, trus jangkrik ini nanti di kandang burung.. yang biji-bijian ini buat kura-
kura, trus ini buat ikan,” ujar karyawan itu menjelaskan, “Mau foto sama burung hantu sekalian
mbak? Kuponnya cuma sepuluh ribu aja. Foto bareng ular juga bisa.”
Aku terbelalak. Yang benar saja, masa foto bareng ular? Ih, serem. Aku menggeleng, tapi Kak Aris
justru membeli kupon itu. Ia kemudian mengajakku ke tiap-tiap stand hewan. Pertama-tama kami
memberi makan ikan-ikan, kemudian kura-kura. Setelah itu Mas Aris mengajakku ke stand kadal.

“Lucu juga ya kadalnya,” aku menunjuk beberapa kadal yang terlihat memanjat tubuh kawannya.
“Aku foto dulu deh,” aku mengambil ponsel dan menjepret sekumpulan kadal itu beberapa kali.
“Ngapain foto dari luar? Masuk yok...” Kak Aris meraih tanganku dan bergegas membuka pintu
stand. Di dalamnya ada seorang karyawan yang sedang memberi makan kadal-kadal.

“Aduh, geli. Aku dari luar aja deh, nanti digigit,” bisikku. Tapi Kak Aris tetap menahan tanganku. “Apa
gunanya daun-daunnya kalo gak dikasih ke kadalnya? Yokk.....”

“Dari luar aja deh Kak, kan bisa.”

“Silakan masuk, Mbak, Mas kalo mau ngasih makan kadal,” karyawan itu malah menyuruh kami
masuk. Aduh, aku jadi merinding. Jangan sampai digigit deh. Aku berjalan di belakang Kak Aris. Ia
justru menyengir lebar.

“Takut nih yeee.....” ledeknya. “Sini Ri, jongkok. Pegang daunnya kayak gini,” Kak Aris menunjukkan
cara memberi makan kadal-kadal itu. Serentak para kadal mulai berdatangan untuk menyambut
daun di tangan Kak Aris.

“Ayok.... inget, pegang daunnya, jangan dilempar.”

Aku memegang daun itu di pangkalnya, sejauh mungkin dari ujung daun, agar kadal itu tidak
menggigit tanganku.

“Mendekat dong, Ri, cara pegangnya.. Dijulurkan ke kadalnya dong,” Kak Aris menarik tanganku dan
mendekatkannya ke arah kadal. Aku ingin melepasnya tapi tanganku malah ditahan.

“Aduh, geli Kak, sumpah... takut digigit!” seruku. Tetap saja, tanganku ditahannya, dan segera saja
para kadal mendatangiku. Aku menutup mata, berasa ngeri, tapi kemudian kubuka dan kulihat kadal
itu menelan daun di tanganku dengan caranya yang unik. Lucu.

“Eh, liat Kak, lucu yaa cara makannya,” aku menunjuk kadal itu.

“Tadi ada yang ketakutan, sekarang udah enggak ya?” ledek Kak Aris lagi sambil tertawa, tapi
kemudian diberikannya padaku kotak berisi daun-daun. “Nih, kasih lagi.”
Aku menerimanya dan mulai memberanikan diri menjulurkan daun itu pada kadal yang lain. Aku
terkekeh menyaksikan aksi mereka, sampai memanjat tubuh kawannya demi meraih daun, tapi
sayangnya gagal mendapat jatah daun.

“Yah, daunnya habis,” ujarku menunjuk kotak makanan kadal di tanganku yang sudah kosong. Yang
tersisa hanya kotak makanan untuk burung. Kak Aris lantas mengajakku keluar dan menuju stand
kandang burung yang cukup besar. Di dalamnya burung-burung beterbangan dengan bebas. Ada dua
karyawan yang bertugas menjaga kandang.

“Gimana nih?” tanyaku.

“Nih, kamu pegang gelas berisi jangkriknya, tapi tutup dulu bagian atasnya ya.. nanti aku kasih aba-
aba, kamu buka aja tutupnya,” kata Kak Aris.

“Jangkriknya gak dilempar?” tanyaku.

Kak Aris menggeleng. “Pokoknya pegang aja dulu gelasnya, jangan buka tutupnya. Oke?”

“Kak Aris mau ke mana?”

“Aku mau fotoin kamu. Oke, tunggu...” Kak Aris berjalan menjauh sekitar lima meter dan mulai
berseru, “Oke, buka tutupnya!”

Aku mengikuti aba-abanya dan langsung saja burung-burung kecil beterbangan ke arahku, bahkan
hinggap di atas kepalaku, di atas lenganku, untuk mengambil jangkrik itu. Sontak aku kaget dan
berteriak. Aku cepat-cepat menutup kembali gelas itu agar burung-burung itu pergi.

Kak Aris menggeleng-geleng dan menghampiriku. “Payah. Nih liatin yaa,” Kak Aris mengambil alih
gelas itu, membuka tutupnya, dan serentak burung-burung menghinggapinya. Aku bergidik, merasa
geli.

“Ayo sini, Ri,” panggil Kak Aris.

Aku menggeleng, tapi Kak Aris tetap membujukku agar mau memberi makan burung-burung. “Masa
gitu aja gak berani? Ayo, gantian. Nanti jangkriknya keburu habis loh. Sayang.”

Tapi akhirnya aku menurut juga. Aku mendekatinya, dan Kak Aris memindahkan gelas itu perlahan-
lahan ke tanganku. “Pokoknya jangan kaget, jangan teriak. Diem aja, ya. Gak papa kok,” ujarnya
memberi sugesti. Aku menghela nafas. “Iya, iya.”
Akhirnya aku berhasil juga dipotret sambil memberi makan burung. Bahkan burung itu hinggap di
atas kepalaku. Dan aku tertawa lebar.

“Aduh.... capek juga ya,” sahutku begitu kami sudah selesai memberi makan hewan-hewan. Aku
duduk sejenak di bangku taman. Kak Aris ikut duduk di sampingku.

“Haus gak Ri? Mau es krim?” tawarnya.

Aku mengangguk. “Boleh deh, Kak. Panas banget lagian ini.”

Kak Aris juga mengangguk. “Tunggu di sini ya, aku beli es krim dulu. Kalo ada yang macam-macam,
bilang aja kalo kamu ceweknya preman SMAN 1,” serunya sambil menyengir dan berjalan menuju
gerai minuman. Aku tergelak sejenak. Narsis banget sih senior satu itu? Mentang-mentang preman.

Aku menunggu sambil memainkan ponsel. Ternyata ada sms dari Iran.

Hayoooo pergi sama siapa lo?

Aku membalasnya.

Sama Kak Aris. Kok tau?

Yee gue liat kalian tadi di jalan.

Tapi kok bukan sama Kak Ian sih? 

Aku baru akan membalasnya namun Kak Aris sudah datang dengan memegang dua cup es krim.
“Mau satu apa dua-duanya?”

Aku mengernyitkan alis. “Satu aja.”

“Kenapa gak dua?”

“Satu aja udah cukup, Kak.”

Kak Aris menyodorkan satu cup es krim. “Sama kayak aku, cukup kamu aja, gak perlu yang lain.” Ia
tersenyum dan duduk di sampingku.
Hampir saja aku salah tingkah lagi, tapi begitu Kak Aris segera melahap es krimnya, aku juga ikut
melahap. Seger...... dingin..... manis.

“Udah habis?” tanya Kak Aris beberapa saat kemudian.

Aku mengangguk.

“Oke, yok....” tau-tau Kak Aris berdiri dan siap berjalan lagi.

“Ke mana?”

“Foto sama burung hantu...”

Aku lantas bangkit dan mengejarnya, “Kak Aris aja deh. Nanti aku yang fotoin.”

Ia hanya tersenyum sambil tetap berjalan menuju kandang burung hantu yang cukup besar. Seorang
karyawan yang berjaga di dalamnya lantas meminta kupon kami. Kak Aris menyodorkannya.
Karyawan itu lantas berupaya meraih burung hantu dengan sepotong bambu yang cukup panjang,
sementara Kak Aris membantuku memakai sarung tangan yang sangat tebal.

“Kenapa bukan Kak Aris aja sih?” tanyaku.

Yang ditanya malah tetap tersenyum, lantas mencubit pelan hidungku. “Bawel.”

Aku lantas terdiam, berupaya agar wajahku tidak merah padam setelah ini.

***

Aku baru saja meletakkan tas di bangku, ketika Iran langsung membombardirku dengan rentetan
pertanyaan kepo. Sudah kuduga, pagi ini Iran akan rese, mencecarku dengan segudang pertanyaan
yang nggak ada habisnya.

“Kok bisa sih Va, lo jalan sama cowok kayak gitu?”

“Va, kalian cuman temenan aja kan?”

“Kalian ke mana aja seharian kemarin?”

“Jadi Kak Ian lo kemanain?”

“Aduh Va, lo kesambet apa sih?”

Aku menghela nafas mendengar pertanyaan-pertanyaan Iran yang bahkan belum kujawab satu pun.
“Gue gak kesambet apa-apa, lagian gue cuman jalan biasa sama Kak Aris kok,” jawabku cuek, “Lagian
gue kan gak jadian ama Kak Ian, kok lo bilang gue kemanain Kak Ian?”

“Iiiiih, Va, cowok gak jelas kayak dia itu mencurigakan. Liat gayanya, mirip Kak Andra, lebih
premanan lagi, slengean banget. Ih.... jangan-jangan dia make juga tuh,” ujar Iran nggak terima.

“Huss... kok malah nuduh dia itu make? Juga? Emang Kak Andra positif make, sampe bilang Kak Aris
make juga?”

“Yeee... waspada Va, orang yang gayanya bener aja banyak yang ternyata pecandu narkoba, coba lo
liat beberapa artis, gayanya bagus kan? Tapi ternyata jadi pecandu. Apalagi kayak dia, yang jelas-
jelas gayanya nggak banget deh!”

Aku mendecak-decakkan lidah. “Ran, jangan nuduh orang sembarangan deh. Kak Aris orangnya gak
sejahat itu. Coba lo jalan bareng dia, pasti lo juga yakin dia orang baik,” ujarku.

“Jalan bareng? Ogah..... mending jalan bareng Kak Imran, hahaha.”

Aku menyengir sejenak. Iya deh iya, semua hal mendingan Kak Imran bagi Iran. Aku mengangkat
bahu. “Intinya Ran, kita gak bisa nilai orang dari penampilannya aja. Ya kan?”

Iran menghela nafas. “Va, gue cuman gak mau lo bergaul dengan orang yang salah. Udah ada Kak
Ian, ngapain lagi bareng Kak Aris?”

Aku memandang Iran sejenak. Kenapa semuanya harus disangkutpautkan dengan Kak Ian?

“Ran, gue tau lo memihak Kak Ian, tapi lo juga harus ingat, kami cuman berteman. Dan gue bukan
orang yang pilah pilih teman. Gue berteman sama Kak Ian, gue berteman sama Kak Aris, dan gue gak
kenapa-kenapa. Buktinya gue baik-baik aja kan? Lagian Ran, Kak Aris itu udah beberapa kali datang
ke rumah, kenalan sama papa dan mama juga.”

Iran mengangkat bahu. “Gue cuman gak suka aja sama orang macam dia. Belagu jadi senior. Gak
jelas. Lo inget kan waktu pertama kita ke kelasnya?”

“Itu kan waktu pertama kali, Ran. Lo inget waktu gue sakit pas latihan kerja soal olimpiade? Dia yang
bawa gue pulang. Itu salah satu bukti kalo Kak Aris itu bukan orang jahat. Lagian gue seharian sama
dia kemarin juga gak kenapa-napa, gue aman, gue baik-baik aja. Malah gue dianter pulang lagi,
ketemu sama papa, sama mama, gak macam-macam.”
Iran terdiam sejenak. Ia kembali mengangkat bahu. Sebelum beranjak dari bangkunya menuju keluar
kelas, Iran menatapku. “Sesenangnya lo aja deh, Va, bergaul ama siapa. Mau sama Andra, mau sama
Aris, itu hak lo.”

***

Anda mungkin juga menyukai