Anda di halaman 1dari 18

PENGAYAAN

MIASTENIA KRISIS

Oleh :

Pembimbing

LABORATORIUM/SMF NEUROLOGI
RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia. Selama
beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia pada kelinci yang
diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR). Sedangkan pada manusia yang menderita
miastenia gravis, ditemukan adanya defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada
neuromuscular junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada miastenia gravis dan
peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini
meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita miastenia
gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun
kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek menguntungkan dari
plasmaparesis (Engel, 1984).

Miastenia krisis adalah bentuk kegawatdaruratan dari miastenia gravis pada bidang
kegawatan emergensi neurologis. Hal ini dapat terjadi pada pasien dengan riwayat terdiagnosis
miastenia gravis sebelumnya atau merupakan onset baru setelah 1 tahun terdiagnosis (Bedlack,
2002). Manajemen pada pasien bersifat menantang karena penanda utama terjadinya krisis ini
adalah kegagalan pernapasan dan penatalaksanaannya membutuhkan perawatan intensif
dimana pendekatan multidisiplin diperlukan (Bershad, 2008).

Walaupun terjadi peningkatan minat dan modalitas terbaru dari manajemen krisis
miastenia, tetap terjadi kekurangan dalam penatalaksanaan miastenia krisis. Tidak semua dokter
di ruang rawat intensif memiliki pengalaman dalam pendekatan terhadap aspek neurologis
menyeluruh. Dengan perawatan yang menyeluruh dan adekuat, angka mortalitas dari kondisi ini
dapat kurang dari 5% (Laconis, 2005).

Oleh karena itu, penting bagi tenaga kesehatan terutama dokter muda sebagai calon
dokter umum yang akan bertugas pada fasilitas kesehatan tingkat I atau II sebagai pemberi
penanganan awal untuk memahami bagaimana cara mendiagnosis krisis miastenia, mengenali
krisis miastenia, dan mampu memberikan penanganan awal sehingga dapat menyelematkan jiwa
pasien yang seharusanyat tidak boleh terlewatkan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari miastenia krisis?


2. Bagaimana epidemiologi dari miastenia krisis?
3. Apa saja etiologi dari miastenia krisis?
4. Bagaimana patofisiologi terjadinya miastenia krisis?
5. Bagaimana menegakkan diagnosis miastenia krisis?
6. Apa saja diagnosis banding dari miastenia krisis?
7. Bagaimana tatalaksana miastenia krisis?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dari miastenia krisis
2. Mengetahui epidemiologi dari miastenia krisis
3. Mengetahui etiologi miastenia krisis
4. Mengetahui patofisiologi terjadinya miastenia krisis
5. Mengetahui cara menegakkan diagnois miastenia krisis
6. Mengetahui diagnosis banding miastenia krisis
7. Mengetahui tatalaksana miastenia krisis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Miastenia Krisis

Miastenia krisis adalah pasien dengan miastenia gravis baik diperoleh (sejak neonatus)
atau autoimun dengan bentuk dari kegagalan nafas karena disebabkan oleh kelemahan otot dan
membutuhkan bantuan ventilator. Walaupun tidak ada definisi yang secara universal diterima,
krisis miastenia harus dipertimbangkan sebagai kegawatan dibidang neurologis yang ditandai
dengan “kelemahan hebat dari bulbar (diinervasi oleh saraf kranialis) dan / atau otot pernapasan,
yang cukup untuk menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan ventilasi dan / atau
permeabilitas dari jalan nafas atas, disebabkan gagal nafas yang memerlukan jalan nafas
bantuan atau bantuan ventilasi (Godoy et al, 2013). Pasien yang menjalani post operasi dari
penyakit miastenia gravis yang mengalami gagal nafas lebih dari 24 jam yang juga
dipertimbangkan krisis (Chaudhuri, 2008).

2.2 Epidemiologi

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada
berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih
sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang
menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih
muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun
(Ngoerah, 1991).

Insiden tahunan dari miastenia gravis adalah 1-2 kasus per 100.000 penduduk dengan
estimasi prevalensinya 5-15 per 100.000 penduduk (Nicolle, 2002). 21% dari pasien mengalami
onset setelah usia 60 tahun dan 30% dari mereka mengalami kelemahan jalan nafas dan
kelumpuhan saraf kranialis. Sekitar 15-20% pasien dengan miastenia gravis akan berkembang
menjadi miastenia krisis, biasanya dalam tahun pertama. Wanita lebih sering mengalami krisis
miastenia dibandingkan perempuan dua kali lebih banyak. Rata-rata usia dari pasien dengan
krisis miastenia adalah sekitat 59 tahun (Evoli, 2000).

Terjadinya miastenia gravis menunjukan distribusi bimodal dimana rasio antara pria
berbanding wanita adalah 3 : 7 jika berusia < 40 tahun, 1:1 pada usia 40-49 tahun dan 3:2 jika
berusia > 50 tahun. Luaran pasien dilaporkan meningkat secara signifikan, dan hingga saat ini
dilaporkan rerata mortalitas dari krisis miastenia sekitar 5% (Bershad, 2008).

2.3 Etiologi

Pasien dengan miastenia krisis biasanya mengalami presipitasi dari miastenia gravis yang
dialami, walapun 30-40% kasus tidak ditemukan faktor presipitasinya. Infeksi pernapasan (40%),
stress emosional dan mikroaspirasi (10%), perubahan regimen pengobatan (8%), pembedahan
atau trauma juga merupakan faktor predisposisi diantara yang paling sering (Wendell, 2011).
Banyak obat-obatan yang dapat menyebabkan eksaserbasi dari miastenia krisis seperti pada
tabel dibawah ini:
Tabel 2.1 Obat-obatan yang dapat memicu terjadinya miastenia krisis pada pasien yang
terdiagnosis miastenia gravis

Terdapat obat yang merupakan kontraindikasi absolut dari miastenia gravis yakni
telithromycin. Pemberian kortikosteroid sendiri berupa prednison pada awal terapi dapat
menyebabkan eksaserbasi miastenia gravis pada 50% pasien dan 9-18% diantaranya mengalami
krisis miastenia sehingga pemberian prednison harus dilakukan dirumah sakit.

Terdapat skor yang menentukan prediktor miastenia krisis yang dapat dilihat pada tabel
2.2. Vaksin hidup dapat memicu miastenia krisis pada pasien dengan terapi imunosupresan.
Agen kontras dan gangguan elektrolit (hipokalemia, hipofosfatemia) dapat menyebabkan
kelemahan otot hebat. Penyakit tiroid jika ada dapat memalsukan klinis dari miastenia gravis yang
berat dan penhentian levotiroksin mendadak dapat memicu miastenia krisis (Pascuzzi, 2004).
Tabel 2.2 Prediktor dikatakannya pasien mengalami miastenia krisis

Jika pasien dengan miastenia gravis akan dilakukan anestesi umum, agen penghambat
neuromuskular harus diberikan dengan hati-hati karena miastenia gravis sensitif dengan agen
non depolarisasi dan relatif pada agen pendepolarisasi. Miastenia krisis sering terjadi pada pasien
dengan timoma. Kehamilan dapat memperberat miastenia gravis pada 33% kasus dan miastenia
krisis pada kehamilan dapat menyebabkan angka kematian perinatal menjadi sangat tinggi
(Chaudhuri, 2009).

2.4 Patofisiologi

Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita
miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang
peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan
lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama
kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor
(anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia
gravis generalisata (Nicole, 2002). Gambaran skematis dijelaskan pada gambar 2.1

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin


pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat
dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B
justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai
semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel
T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih
awal pada pasien dengan gejala miastenia (Deymeer et al, 2007)

Gambar 2.1. Taut neuromuskular normal dan terjadinya miastenia gravis. Pada miastenia gravis
reseptor asetilkolin diikat oleh antibodi terhadap reseptor sehingga asetilkolin tidak mampu berikatan
dengan reseptor dan menyebabkan terjadinya degenerasi asetilkolin oleh enzim asetilkolinesterase
(Godoy, 2013).

Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang
berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada
subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor
asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap
antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post
sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-
reseptor asetilkolin yang baru disintesis (Howard, 2008).

Sekitar 10% pasien menunjukan antibod terhadap muscle-spesific tyrosine kinase (anti
MuSK). Pasien dengan MuSK biasanya adalah perempuan dengan keterlibatan kelemahan
bulbar, leher, bahu dan otot pernapasan. MuSK adalah protein pada membran post sinaps
yang berfungsi untuk membantu pengikatan AchR pada permukaan membran otot saat
perkembangan otot (Deymeer, 2007). Autoantibodi gen pada otot lainnya bereaksi dengan titin
dan ryanodin reseptor (RyR) pada 95% pasien dengan timoma dan 50% pada miastenia gravis
onset lambat. Titin adalah protein yang berhubungan langsung antara peregangan otot secara
mekanik dan aktivasi gen pada otot dan RyR adalah kanal kalsium pada retikulum
sarkoplasma yang terlibat pada eksitasi-kopling dari otot bergaris (Nicolle, 2002). Pasien
dengan RyR antibodi yang kadarnya tinggi terkait dengan penyakit yang parah yang
melibatkan bulbar, leher, dan otot leher.

Saat terjadi krisis miastenia, kegagalan nafas terjadi karena hipoksemia, hiperkapnea,
atau hasil dari patensi jalan nafas yang buruk. Disfungsi otot bulbar (orofaringeal) dapat
predominan. Pada miastenia gravis dengan MuSK, kelemahan bulbar selalu mendahului
kegagalan nafas (Chaudhuri, 2008). Tanda dari disfungsi bulbar adalah gangguan batuk,
refleks menelan, disfagia, regurgitasi hidung, kalimat staccato, kelemahan lidah dan dagu, dan
paresis bifasial. Sulit untuk mengatasi hipersekresi pada orofaring sehingga dapat memicu
mikroaspirasi, atelektasis, resistensi jalan nafas atas, dan peningkatan usaha nafas (Howard,
2008).

Kelemahan otot pada AchR-MG awalnya mempengaruhi otot interkostalis dan otot
aksesoris lalu diafragma. Keterlibatan ini menandakan adanya usaha nafas yang inadekuat.
Batuk lemah dan kelemahan melakukan ekspirasi adalah pertanda dari gejala ini sehingga
menyebabkan kelaparan oksigen. Ventilasi akan menjadi cepat namun dangkal yang
menyebabkan hipoksia dan hiperkapnea. Patofisiologi terjadinya gagal nafas secara ringkas
dijelaskan pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Patofisiologi dari krisis miastenia


Tanda dari krisis miastenia harus dicari pada pasien dengan miastenia gravis karena
adanya kelainan genetik sulit untuk diprediksi sehingga klinis menjadi penting. Otot pernapasan
dapat menjadi lelah secara mendadak, menyebabkan kolaps pernapasan. Pasien juga dapat
mengalami kekurangan pernapasan akibat kelemahan otot bulbar hingga ekstremitas. Peran
keseluruhan gejala ini dihubungkan dengan adanya kelainan genetik pada miastenia gravis yang
muncul akibat faktor presipitasi (Ping-Hung, 2012).

2.5 Diagnosis

2.5.1 Anamnesis

Sebagian besar pasien dengan MC memiliki diagnosis MG yang diketahui, meskipun


pasien dapat muncul pertama kali dengan distress pernapasan (Kozak et al, 2016). Gejala
neurologis yang membaik dengan istirahat, seperti kelemahan otot ekstremitas atau leher,
pandangan ganda, disfagia, atau kesulitan berbicara dapat mengarah kepada MG. Tinjuan sistem
terfokus penting, dengan fokus kepada sumber infeksi, gejala pernapasan, dan pajanan toksin
atau obat. Daftar obat-obatan saat ini, dengan perhatian khusus terhadap obat-obatan baru atau
perubahan obat-obatan baru-baru ini dapat membantu. Selain itu, riwayat trauma, pembedahan,
atau stressor baru-baru ini dapat membantu karena hal tersebut juga dapat mencetuskan MC
(Chaudhuri dan Behan, 2008).

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

2.5.2.1 Pemeriksaan Paru

Pemeriksaan paru pada pasien dengan MC dapat bervariasi. Beberapa pasien dengan
MG dapat muncul dengan distress yang nyata dengan penggunaan otot pernapasan tambahan,
retraksi, suara paru abnormal, atau hipoksia. Bagaimanapun, pemeriksaan pada pasien lain
dapat tidak tampak, membuat diagnosis gagal napas lebih sulit. Pasien tersebut dapat muncul
dengan “quiet distress” dengan suara paru bersih yang menurun pada bagian basal dengan
penggunaan otot napas tambahan sedikit atau tidak sama sekali. Penggunaan otot napas
tambahan dapat tidak tampak atau muncul lambat pada MC karena pergerakan udara yang buruk
dari kelemahan otot napas tambahan. Dokter harus memperhatikan laju pernapasan, kesulitan
fonasi, quiet voice, atau kelemahan otot leher, yang mana dapat menunjukkan distress
pernapasan atau impending failure (Jani-Acsadi dan Lisak, 2007).

2.5.2.2 Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis dapat membedakan MG dengan penyakit neuromuskular


lainnya. Pada pemeriksaan nervus kranialis, pasien dapat ditemukan ptosis baik unilateral atau
bilateral. Pemeriksaan pupil normal, namun kelemahan otot ekstraokuler unilateral atau bilateral
sering terjadi. Otot wajah dapat sangat lemah. Pasien dengan bulbar palsy dapat muncul dengan
disfonia, disartria, atau disfagia. Pemeriksaan kekuatan otot akan menunjukkan abnormalitas
terbesar pada bagian proksimal anggota gerak dan otot-otot leher. Sensasi dan refleks normal,
dan pasien akan menunjukkan respon Babinski dan klonus yang normal (Chaudhuri dan Behan,
2008; Tamai et al, 2015).
Bila status respirasi pasien terlalu lemah untuk dilakukan pemeriksaan neurologi secara
keseluruhan, pemeriksaan neurologi cepat selama 30 detik dapat membantu membedakan MC
dari penyakit neuromuskuler lainnya, seperti krisis kolinergik, GBS, polymyositis, botulismus,
penyakit motor neuron, atau penyakit medulla spinalis. Memeriska otot ekstraokuler, reaktivitas
pupil, sensasi pada setiap ekstremitas, kemampuan untuk mengangkat tangan, kaki, dan kepala
(memeriksa otot leher) melawan tahanan, refleks Babinski, dan refleks patella sembari
mengamati adanya ptosis, fasikulasi ekstremitas, peningkatan sekresi, dan tanda-tanda vital
dapat dilakukan dengan cepat dan membantu membedakan MG dari penyakit neuromuskuler
lainnya. Tabel 2.3 menunjukkan pemeriksaan neurologis selama 30 detik (Roper et al, 2017).

Tabel 2.3 Pemeriksaan Neurologis Terfokus

2.5.3 Laboratorium dan Uji Diagnostik Suportif

Mekanisme yang menyebabkan gangguan pernapasan pada MC dimulai dari kombinasi


kelemahan otot-otot pernapasan dan bulbar. Kelemahan otot-otot pernapasan termasuk
diafragma dan intercostalis menyebabkan penurunan progresif forced vital capacity (FVC),
dengan manifestasi klinis spesifik (Tabel 2.4). Pada mulanya, refleks batuk yang lemah
menyebabkan akumulasi sekret. Selanjutnya, gangguan refleks sigh menyebabkan atelektasis.
Terjadi hipoksia serta shunting aliran darah paru. Pada akhirnya, terjadi hipoventilasi yang
menyebabkan hiperkarbia dan asidosis. Uji bedside sederhana untuk memperkirakan FVC yaitu
meminta pasien menghitung angka sebanyak mungkin dalam satu tarikan napas; angka yang
dicapai oleh pasien dikalikan 100mL memperkirakan FVC. Sebagai contoh, bila pasien
menghitung hingga 10 dalam satu tarikan napas, perkiraan FVC sekitar 1000 mL. Penting untuk
melakukan uji fungsi paru bedside sesegera mungkin, untuk lebih akurat mengevaluasi FVC,
bersama dengan positive expiratory force (PEF), dan negative inspiratory force (NIF). Indikasi
ventilasi mekanik pada pasien MG yaitu FVC ≤15 mL/kg (normal ≥60 mL/kg), NIF ≤ cm H 2O
(normal ≥70 cm H2O), atau PEF <40 cm H2O (normal ≥100 cm H2O). Gas darah arteri
menunjukkan PaO2 ≤60 mmHg atau PaCO2 ≥60 mmHg mengindikasikan intubasi segera pada
pasien, bagaimanapun, klinisi seharusnya tidak menunggu hasil gas darah arteri menjadi
abnormal karena hal tersebut terjadi lambat pada MC, bila pada pasien sudah terjadi
dekompensasi. Uji fungsi paru bedside seharusnya dilakukan secara serial karena klinis pasien
MG dapat memburuk bahkan pada pasien yang awalnya tampak stabil (Bershad et al, 2008).
Bila MC merupakan presentasi pertama dari penyakit direkomendasikan untuk dilakukan
pemeriksaan EMG/NCS untuk mencari bukti penurunan dengan stimulasi saraf repetitif frekuensi
lambat, terutama pada otot yang paling lemah. Peningkatan jitter dapat terdeteksi dengan single
fiber electromyography pada laboratorium yang berpengalaman melakukan uji tersebut dan dapat
memberikan dukungan tambahan untuk diagnosis.

Bila diperlukan serum untuk reseptor anti-asetilkolin atau anti antibodi MUSK seharusnya
dikirim untuk analisis sebelum pemberian immunoterapi. Anti-AChR antibodi meningkat pada 85-
90% pasien dengan MG generalized. Thymoma yang berhubungan dengan MG dapat muncul
bersama krisis atau sebagai gagal napas dengan massa pada mediastinum dengan riwayat MG
yang tidak diketahui. Chest computerized tomography dapat membantu mengidentifikasi
penyebab gagal napas dan membantu menginisiasi terapi yang sesuai secara dini. Pada
beberapa kasus thymectomy untuk thymoma tanpa MG yang diketahui dapat menyebabkan
presentasi inisial MG pada periode paska operatif.

MG didapat autoimun yang berhubungan dengan MUSK muncul dengan sedikit


perbedaan fenotip dibandingkan MG umum tipikal yang diperantarai antibodi AChR. Predileksi
penyakit melibatkan utamanya wajah, bulbar, otot respirasi dan leher dengan ketidakterlibatan
relatif otot-otot anggota gerak membuat penilaian fungsi bulbar (menelan, gag) dan suction
secara reguler sangat diperlukan (Zhou et al, 2004; Stickler et al, 2005).

Tabel 2.4 Disfungsi Respirasi berhubungan dengan Penurunan FVC

2.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding MC sangat luas dan termasuk penyakit apapun yang menyebabkan
kelemahan otot, terutama kelemahan otot bulbar atau respirasi. Kelemahan dapat terjadi karena
malfungsi pada NMJ atau area lain dalam tubuh. Masalah yang menyebabkan kegagalan
transmisi impuls pada NMJ termasuk myasthenic syndrome. Selain MG, penyakit lain yang
mempengaruhi NMJ yaitu MG neonatal, Lambert-Eaton myasthenic syndrome (LEMS), D-
penicillamine-induced autoimmune disease, dan penyebab toksik (botulismus, keracunan
organofosfat dan karbamat, envenomasi neuroparalitik kutu atau ular, dan overdosis
antikolinesterase (Rezania et al, 2012).
Sindroma myasthenia didapat dapat dibagi menjadi autoimun dan bentuk toksik. MG
autoimun telah dijelaskan di atas. MG neonatal didapat oleh karena transfer pasif antibodi
maternal dan self-limiting (Longo dan Gilhus, 2016). LEMS merupakan gangguan autoimun yang
dicirikan dengan antibodi terhadap voltage-gated calcium channels pada sisi presinaps dari motor
end plate. Paling sering berhubungan dengan small cell lung cancer, meskipun beberapa kasus
berhubungan dengan MG autoimun. Pasien dengan LEMS dapat mengalami keterlibatan otot
bulbar ringan sementara atau ringan, namun gagal napas yang disebabkan oleh LEMS sendiri
sangat jarang. Dengan LEMS, stimulasi berulang menyebabkan peningkatan jumlah asetilkolin
pada celah sinaps, sehingga aktivitas motor meningkat. Hal tersebut berkebalikan dengan apa
yang terjadi pada MG. Obat D-penicillamine (digunakan pada penyakit Wilson atau penyakit
reumatik) juga diimplikasikan sebagai bentuk induksi MG yang disebabkan oleh mekanisme
autoimun, namun gejala biasanya menghilang secara total setelah penghentian obat. Paralisis
toksik transmisi NMJ dapat dilihat pada botulismus, envenomasi neuroparalitik (kutu dan gigitan
ular), keracunan organofosfat dan overdosis penghambat asetilkolinesterase (kedua terakhir
disebut krisis kolinergik). Hal tersebut dapat menyebabkan kelemahan otot berat dan gagal napas
(Chaudhuri dan Behan, 2008). Perbedaan antara MC dan CC dijelaskan pada tabel 2.5.

Tabel 2.5 Perbedaan Krisis Myasthenia dan Krisis Kolinergik

Selain itu, terdapat beberapa kelainan yang tidak mempengaruhi NMJ yang dapat
menyebabkan kelemahan otot secara simultan dan distress pernapasan, termasuk (namun tidak
terbatas pada) penyakit otot primer (myopati hipotiroid, myositis, rhabdomyolisis, distrofi otot, dll),
gangguan saraf tepi (sindroma Guillain-Barre (GBS) dan porfiria), penyakit kritis, neuropati
motorik, dan gangguan sistem saraf pusat (stroke, cedera medulla spinalis, infeksi seperti
tetanus, rabies, atau overdosis obat). Perlu upaya untuk membedakan antara gangguan toksik,
gangguan sistem saraf pusat dan tepi, dan MC melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik (Roper
et al, 2017).

2.7 Tatalaksana

Bila pasien dengan suspek MC telah teridentifikasi, tatalaksana segera harus dilakukan
untuk mengintubasi pasien. Seharusnya dilakukan melalui rapid sequence oral intubation. Pasien
seharusnya diberikan bag-masking hingga saturasi oksigen arteri >97%. Normal salin IV
diberikan untuk menghindari hipotensi yang berhubungan dengan intubasi. Monitor tekanan
darah secara terus menerus harus dilakukan. Agen paralitik seharusnya dihindari kecuali benar-
benar dibutuhkan karena pasien MG sensitif terhadap efeknya. Bila perlu, agen non depolarisasi
seperti vecuronium dianjurkan (Filho dan Suarez, 2003; Itoh et al, 2002).

Pengaturan ventilator inisial seharusnya dioptimalisasikan untuk mengistirahatkan pasien


yang kelelahan dan meningkatkan ekspansi paru. Dimulai dengan assist control (AC) dengan
positive end expiratory pressure (PEEP) 5 cm H2O, volum tidal yang rendah (6 mL/kg berat tubuh
ideal), dan laju pernapasan 12 hingga 16/menit. Literatur terbaru menyebutkan bahwa volum tidal
yang rendah (6 mL/kg) dan laju pernapasan yang lebih cepat (12-16 kali/menit) dapat membantu
mencegah lung injury pada pasien yang diventilasi. Menambah sigh secara intermittent (1,5 x
volum tidal) 3 hingga 4 kali per jam, dan PEEP 5 cm H2O dapat membantu mencegah atelektasis
(ARDSN, 2000).

Setelah pasien terintubasi dan terstabilisasi, penting untuk mencari pencetus MGC karena
pasien mungkin memerlukan terapi tambahan sesuai dengan pencetusnya. Pemeriksaan
diagnostik rutin termasuk melakukan x-ray dada, kultur sputum, urin dan darah, CBC, skrining
koagulasi, dan pemeriksaan kimiawi komprehensif perlu dilakukan. Bila terdapat keraguan
mengenai apakah pasien menderita MC, studi elektrodiagnostik (yaitu nerve conduction studies
dan elektromiografi) seharusnya dilakukan. Penurunan respon terhadap amplitudo potensial aksi
motor setelah stimulasi saraf repetitif mengarah pada MG. Diagnosis MG yang lebih definitif
bergantung pada identifikasi salah satu dari antibody patogen. Pada pasien dengan kecurigaan
MGC ketiga pemeriksaan antibodi reseptor asetilkolin seharusnya dilakukan. Bila hasilnya negatif
dan masih terdapat kecurigaan yang tinggi selanjutnya pemeriksaan antibody MuSK dilakukan
(Bershad et al, 2008).

Langkah selanjutnya terhadap tatalaksana pasien MC adalah untuk memberikan terapi


akut untuk membantu memfasilitasi perbaikan akut dari blokade neuromuskular (Tabel 2.6).
Terapi akut MC yaitu terapi pergantian plasma atau IV immunoglobulin (IVIg). Tidak ada peran
untuk penghambat asetilkolinesterase pada kondisi akut MC. Meskipun agen tersebut dapat
berkerja secara cepat untuk memperbaiki transmisi neuromuskuler, agen tersebut akan
menyebabkan sekresi yang berlebihan sehingga mengakibatkan mucous plugging. Masalah lain
yang penting untuk dieksplorasi adalah kemungkinan bahwa pasien mengalami overdosis
penghambat asetilkolinesterase. Presentasi klinisnya dapat menyerupai MC. Cara termudah
untuk mendapatkan informasi tersebut adalah dengan menanyakan kepada pasien atau keluarga
pasien apakah terdapat peningkatan dosis dari dosis yang biasanya diberikan baru-baru ini.
Tatalaksana overdosis asetilkolinesterase yaitu suportif (Bershad et al, 2008).
Terapi pergantian plasma yaitu mengeluarkan plasma yang mengandung antibodi
reseptor asetilkolin. Pasien biasanya merespon baik terhadap pergantian plasma dengan efikasi
yang dilaporkan sebesar 75%. Perbaikan terjadi dengan cepat dan biasanya terlihat setelah dua
hingga tiga sesi, namun pasien biasanya menjalani lima sesi pergantian plasma meskipun sudah
mengalami perbaikan. Meskipun efektif, pergantian plasma memiliki kekurangan, berkaitan
dengan perlunya large-bore indwelling vascular access, dan hemodinamik pergantian plasma.
Beberapa kejadian yang tidak diinginkan berkaitan dengan indwelling catheter yaitu perdarahan,
pneumothoraks, thrombosis vena, infeksi pemasangan line dan sepsis. Proses pergantian
plasma dapat menyebabkan koagulopati, trombositopenia, gangguan elektrolit, aritmia, dan
hipotensi. Koagulopati sering dikarenakan pengeluaran protein koagulan bersamaan dengan
antibodi saat pergantian plasma. Oleh karena itu pemantauan harian uji koagulasi, CBC, dan
serum elektrolit diperlukan (Bershad et al, 2008).

Sebagai alternatif pergantian plasma, dapat dipertimbangkan penggunaan IVIg. Efek


terapeutik IVIg dimulai sekitar 5 hari setelah inisiasi terapi (Filho dan Suarez, 2003). Efikasi IVIg
dibandingkan dengan pergantian plasma tidak diketahui. Tinjauan retrospektif melaporkan
keuntungan yang lebih besar dari pergantian plasma dibandingkan IVIg terhadap status respirasi
dalam 2 minggu dan outcome yang fungsional dalam 1 bulan; bagaimanapun, uji acak prospektif
kecil yang membandingkan IVIg dan pergantian plasma menemukan tidak ada perbedaan yang
signifikan terhadap efikasi dari kedua terapi. Kedua penelitian melaporkan insidensi kejadian
yang tidak diinginkan lebih kecil pada pasien yang diterapi dengan IVIg. Uji klinis yang lebih besar
diperlukan untuk mengetahui perbandingan efikasi pergantian plasma dan terapi IVIg. Dosis
optimal IVIg untuk MC belum diketahui. Penelitian randomized double-blinded baru-baru ini
menemukan bahwa dosis IVIg 2 g/kg berat badan ideal tidak secara signifikan lebih baik
dibandingkan 1 g/kg, meskipun terdapat tren perbaikan terhadap kekuatan otot secara
keseluruhan pada dosis yang lebih tinggi. Sehingga dosis terdahulu lebih dianjurkan (Tabel 2.6).
Kejadian yang tidak diinginkan terjadi pada kurang dari 10% pasien yang diterapi, termasuk sakit
kepala, demam, menggigil, myalgia, meningitis aseptik, dan kelebihan cairan. Sebelum
memberikan IVIg, perlu untuk memeriksa kadar IgA serum, karena anafilaksis dapat terjadi pada
pasien dengan defisiensi IgA (Gajdos et al, 2005).

Setelah MC teratasi, klinisi harus memulai rencana jangka panjang untuk mencegah
eksaserbasi lebih lanjut. Terapi jangka panjang untuk MG termasuk penghambat
asetilkolinesterase, kortikosteroid, dan agen immunomodulator. Terapi tersebut dapat mengobati
gejala MG, atau dapat membantu mencegah eksaserbasi MG di kemudian hari. Setiap medikasi
memiliki onset dan profil efek samping yang berbeda-beda yang harus dipertimbangkan secara
hati-hati (Tabel 2.6) (Kaminski, 2003).
Tabel 2.6 Terapi Jangka Pendek dan Jangka Panjang untuk Myasthenia Gravis Krisis
BAB III
KESIMPULAN

Miastenia krisis adalah bentuk kegawatdaruratan dari miastenia gravis pada bidang
emergensi neurologi. Hal ini dapat terjadi pada pasien dengan riwayat terdiagnosis miastenia
gravis sebelumnya atau merupakan onset baru miastenia gravis. Faktor predisposisi tersering
terjadinya miastenia krisis antara lain infeksi pernapasan, stress emosional, perubahan regimen
pengobatan, pembedahan atau trauma. Miastesnia krisis harus dipertimbangkan pada pasien
dengan kelemahan otot, terutama pasien dengan distress pernapasan. Pemeriksaan fisik
terfokus penting untuk pasien, melalui pemeriksaan status respirasi pasien dan pemeriksaan
neurologis yang penting untuk membedakan penyakit ini dari penyakit neuromuskuler lainnya.
Tatalaksana kegawatan jalan napas perlu segera dilakukan yaitu dengan mengintubasi dan
memasang ventilator mekanik. Setelah terstabilisasi baru diberikan terapi akut untuk miastenia
krisis yaitu IVIg atau dilakukan plasma exchange. Menentukan faktor pencetus pada miastenia
krisis sangat penting dan terapi tambahan diberikan sesuai dengan faktor pencetusnya. Pasien
miastenia krisis juga memerlukan terapi jangka panjang yaitu dengan penghambat
asetilkolinesterase, kortikosteroid, atau agen immunomodulator. Kepatuhan terapi sangat penting
untuk menurunkan risiko eksaserbasi krisis lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Kaminski H,2003. Treatment of Myasthenia Gravis. Myasthenia Gravis and Related Disorders.
Totowa, Humana Press, pp 197-221.

Gajdos P, Chevret S, Clair B, et al, 2005. Treatment of myasthenia gravis exacerbation with
intravenous immunoglobulin: a randomized double-blind clinical trial. Arch Neurol;62:1689-
1693.

The Acute Respiratory Distress Syndrome Network. Ventilation with lower tidal volume as
compared with traditional tidal volumes for acute lung injury and the acute respiratory
distress syndrome. N Engl J Med;342:1301-1308.

Itoh H, Shibata K, Nitta S, 2002. Sensitivity to vecuronium in seropositive and seronegative


patients with myasthenia gravis. Anesth Analg;95:109-113.

Zhou L, McConville J, Chaudhry V, et al, 2004. Clinical comparison of muscle-specific tyrosine


kinase (MuSK) antibody-positive and -negative myasthenic patients. Muscle
Nerve;30(1):55-60.

Stickler DE, Massey JM, Sanders DB. MuSK-antibody positive myasthenia gravis: clinical and
electrodiagnostic patterns. Clin Neurophysiol;116(9):2065-8.

Bershad EM, Feen ES, dan Suarez JI, 2008. Myasthenia Gravis Crisis. Southern Medical
Journal;101(1);63-69.

Filho J, Suarez J, 2003. Neurocritical care of myasthenia gravis crisis. In : Kaminski H, ed.
Myasthenia Gravis and Related Disorders. Totowa, Humana Press, pp 223-234.

Rezania K, Goldenberg FD, White S, 2012. Neuromuscular disorders and acute respiratory failure
in the emergency department. Turk J Emerg Med;30:161-85.

Longo DL, Gilhus NE, 2016. Myasthenia gravis. N Engl J Med;375:2570-81.

Chaudhuri A, Behan PO, 2008. Myasthenic crisis. QJM;102:97-107.

Roper J, Fleming ME, Long B, Koyfman A, 2017. Myasthenia gravis and crisis: evaluation and
management in the emergency department. Journal of Emergency Medicine;06:1-11.

Tamai M, Hashimoto T, Takashi I, et al, 2015. Treatment of myasthenia gravis with dropped head:
a report of 2 cases and review of the literature. Neuromuscul Disord;25:429-31.

Jani-Acsadi A, Lisak RP. Myasthenic crisis: guidelines for prevention and treatment. J Neurol
Sci;261:127-33.

Kozak HH, Uca AU, Teke T, et al, 2016. Myasthenia gravis with acute respiratory failure in the
emergency department. Turk J Emerg Med;16:80-2.

Engel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol 16: Page: 519-534.
1984.
Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms and
Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995.

Bedlack RS, Sanders DB. On the concept of myasthenic crisis. J Clin Neuromuscul Dis
2002;4:40-42.
D. Lacomis, “Myasthenic crisis,” Neurocritical Care, vol. 3, no. 3, pp. 189–194, 2005.

Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press. Page: 301-305.
1991.

Nicolle MW. Myasthenia gravis. Neurologist 2002;8:2-21.

Evoli A, Batocchi AP, Minisci C, et al. Clinical characteristics and prognosis of myasthenia gravis
in older people. J Am Geriatr Soc 2000;48:1442-1448.
Wendell LC, Levine JM. Myasthenic crisis. Neurohospit 2011;1:16-22.
Pascuzzi RM. Medications and myasthenia gravis. Myasthenia Gravis Foundation of America, Inc
2004. http://www.myasthenia.org/drugs.
Deymeer F, Gungor-Tuncer O, Yilmaz V, et al. Clinical comparison of Anti- MuSK-vs anti-ACHR-
positive and soronegative myasthenia gravis. Neurology 2007;68:609-611.
Nicolle MW. Myasthenia gravis. Neurologist 2002;8:2-21.

Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :


http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm.
Accessed : March 22, 2008.

Ping-Hung K, Pi-Chuan F. Respiratory care for myasthenic crisis, a look into myasthenia gravis,
Dr. Joseph A. Pruitt (Ed.), ISBN: 978-953-307 -821-2, InTech, 2012. Available from:
http://www.intechopen.com/books/ a-look-into-myasthenia-gravis/respiratory-care-for-
myasthenic-crisis.

Anda mungkin juga menyukai