Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk menambah pemahaman mengenai farmakologi pada sistem kardiovaskuler.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Untuk memahami pengertian dari berbagai macam obat-obatan pada sistem
kardiovaskuler
1.2.2.2 Untuk mengetahui jenis obat-obatan pada sistem kardiovaskuler
1.2.2.3 Untuk mengetahui mekanisme kerja obat-obatan pada sistem kardiovaskuler
1.2.2.4 Untuk mengetahui efek samping obat-obatan pada sistem kardiovaskuler
1.2.2.5 Untuk mengetahui kontraindikasi dari obat-obatan pada sistem kardiovaskuler
BAB II
TINJAUAN LITERATUR
Mekanisme Kerja
Diuretik juga memiliki fungsi untuk menghambat transport ion, hal ini akan
menurunkan laju reabsorbsi dari garam dan ion-ion lain salah satunya seperti klorin
yang terdapat dalam urin dengan jumlah yang sangat besar melebihi nilai normal
untuk menjaga keseimbangan osmotic. Natrium yang terdapat banyak didalam urin
akan meningkatkan tekanan dalam tubulus ginjal serta akan menyerap air lebih
banyak. Sehingga produksi urin menjadi lebih banyak (Halimudin, 2007).
Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi kerja dari diuretic. Faktor-
faktor tersebut adalah letak kerja diuretic yang berada di ginjal. Jenis diuretic yang
letak kerja pada tempat reabsorbsi natrium tergolong sedikit berbeda dengan golongan
diuretic yang letak kerjanya berada pada reabsorbsi natrium yang lebih banyak.
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi adalah fisiologi dari organ, misalnya sirosis
hati. Faktor yang ketiga adalah interaksi yang terjadi pada obat dengan reseptornya.
(Abraham, 2008).
Efek Samping
Efek samping yang sering terjadi karena penggunaan obat jenis ini adalah
membuat kalium dalam darah terlalu banyak (hanya untuk diuretic hemat kalium),
menyebabkan kadar sodium rendah, sakit kepala, menggigil, selalu merasa haus,
meningkatkan kadar gula darah, kram otot, meningkatkan kadar kolesterol,
menimbulkan bitnik-bintik kemerahan (rash) pada tubuh, menyebabkan gout dan
diare. Namun pada beberapa kasus yang jarang terjadi, diuretic dapat menimbulkan
efek samping yang serius yaitu reaksi alergi, gagal ginjal, dan irama jantung yang
irregular (Syamsudin, 2011).
Selain diatas efek samping yang dapat terjadi adalah tergantung pada
golongan diuretic itu sendiri. Golongan diuretic tiazid dan diuretic loop dapat
menyebabkan sensitivitas pada daerah kulit, golongan ini juga terkadang dapat
menyebabkan terjadinya peradangan pada ginjal. Selain itu diuretic loop Penggunaan
terhadap diuretic juga dapat menyebabkan efek samping yang serius yaitu kelainan
cairan dan elektrolit (Harvey RA, 2012).
Kontraindikasi
Kontraindikasi dari obat ini adalah apabila dikombinasikan dengan obat-
obatan lain seperti cyclosporine, obat antidepresan seperti fluoxetine dan venlafaxine,
lithium, digoxin dan obat lain untuk tekanan darah tinggi (Gunawan, 2007).
2.1.2 β Blocker
Definisi
Beta blocker pertama kali dikembangkan oleh Sir James Black pada jaman
industry kimia kerajaan di United pada tahun 1962. Beta blocker adalah salah satu
dari empat obat oral yang telah terbukti uji coba kontrol secara acar yang dapat
menurunkan mobiditas dan kematian pada sistem kardiovaskuler (Mukherjee D.
dalam Aijaz H Mansoor, dkk, 2009). Beta blocker dikenal juga dengan beta-
adrenergic blocking agents yaitu obat-obatan yang dapat menghambat
norephinephrine dan ephinephrine (adrenaline) berikatan dengan reseptor beta.
Jenis Obat
Contoh obat yang termasuk beta blocker secara umum adalah propranolol,
nadolol, labetalol dsb (Ye Richard, 2005). Beta blocker dapat digunakan untuk
mengatasi irama jantung yang tidak normal, tekanan darah tinggi, gagal jantung,
tremor, nyeri dada (angina), pheochromocytoma dan mencegah migraine. Beberapa
beta blocker juga memiliki fungsi untuk mengurangi produksi dari aqueous humor
pada mata sehingga dapat digunakan dalam pengobatan glukoma.
Terdapat 4 tipe dari beta blocker yaitu beta blocker yang selective, non-
selective beta blocker, beta blocker aktivitas simpatomimetik intrinsic, dan beberapa
beta blocker lain (Aijaz, 2009).
Labetalol adalah jenis obat yang memiliki aksi lebih kuat dalam proses
penurunan tekanan darah setelah 3 hari atau 72 jam. Penggunaan labetalol lebih
efektif menurunkan tekanan darah dibandingkan menggunakan metildopa dan
nifedipin.
Mekanisme Kerja
Terdapat tiga tipe reseptor beta yaitu reseptor beta 1, reseptor beta 2 dan
reseptor beta 3. Ketiga reseptor beta ini memiliki fungsi berbeda-beda berdasarkan
pada lokasi pada tubuh. Reseptor beta 1 dapat ditemukan di jantung, mata, otak,
neuron adrenergic perifer dan ginjal. Fungsi dari reseptor beta 1 adalah untuk
menstimulasi produksi katekolamin sehingga akan menstimulasi produksi renin.
Dengan penggunaan beta blocker pada reseptor beta 1 akan menyebabkan produksi
renin menurun sehingga cardiac output akan berkurang dengan disertai penurunan
tekanan darah.
Reseptor beta 2 ditemukan di dalam paru-paru, hati, saluran pencernaan,
rahim (uterus). Sedangkan reseptor beta 3 terdapat pada sel-sel adiposit. Obat-obatan
yang tergolong dalam beta blocker lebih sering menghambat reseptor beta 1 dan 2.
Penyekat reseptor beta adrenergic adalah obat yang bekerja dengan menghambat
reseptor β1 dan dapat menurunkan tekanan darah dengan mekanisme: dapat
menurunkan kontraktilitas miokard, keadaan ini juga dapat menurunkan curah
jantung, yang nantinya akan berfungsi sebagai penghambat dari sekresi renin yang
terletak pada bagian ginjal yaitu pada sel jukstagloeruler. Selanjutnya akibat dari
angiotensin II menurun, memberikan efek dapat memberikan pengaruh pada aktivitas
simpatis sehingga mengakibatkan sensitivitas baroreseptor mengalami perubahan,
neuron adrenergic perifer juga mengalami perubahan dan mengakibatkan biosintesis
prostasiklin mengalami peningkatan (Departemen Farmakologi dan Terapeutik UI,
2007). Selain mekanisme diatas beta blocker juga dapat menjadi menghambat pada
proses-proses kimia di hati, mekanisme tersebut juga dapat menghambat kerja enzim
lipase dan efek bronkospasme.
Efek Samping
Efek samping yang mungkin dapat disebabkan oleh penggunaan beta
blocker menurut Syamsudin (2010) seperti diare, kejang-kejang pada perut, mual
muntah, timbulnya ruam pada kulit, gangguan penglihatan (pandangan menjadi
kabur), kejang-kejang pada otot, dan kelelahan. Beta blocker juga dapat menyebabkan
efek yang serius yaitu dapat memperlambat denyut jantung, mengurangi tekanan
darah, dapat menyebabkan gagal jantung, sesak nafas (pada penderita asma),
disfungsi seksual, dan menyembunyikan gejala dari glukosa darah rendah
(hipoglikemia) pada pasien diabetes. Selain itu menyebabkan efek pada sistem saraf
pusat yaitu sakit kepala, depresi, kebingungan, mengalami mimpi buruk dan
berhalusinasi (Judith Deglin, 2005).
Berdasarkan jurnal penelitian Berth Gormer dalam Diana Lyrawati, 2008
menyatakan bahwa juga terdapat penyebab terjadinya bronkospasme pada saat
penggunaan beta blocker adalah beta blocker memblokade atau menghambat pada
reseptor beta 2 pada bronchi, apalagi jika menggunakan beta blocker jenis kardio
selektif. Pada penderita diabetes mellitus khususnya tipe 1 harus selalu memonitor
glukosa darah disebabkan karena gejala hipoglikemia tidak akan muncul. Kondisi ini
dapat terjadi akibat dari beta blocker memblokade kerja saraf simpatis, dimana saraf
simpatis adalah saraf yang bertugas untuk memperingati jika terjadi hipoglikemia.
Selain itu dapat terjadi mimpi buruk pada penggunaan propranolol, dan pada
penggunaan beta blocker golongan obat-obatan non selektif dapat menimbulkan efek
yaitu terjadinya peningkatan trigliserida dan HDL menjadi turun.
Kontraindikasi
Kontraindikasi pemberian beta blocker adalah pada seseorang dengan
penyakit paru obstruktif, diabetes mellitus terutama pada keadaan hipoglikemia,
seseorang dengan penyakit-penyakit vaskuler dan disfungsi jantung (Priyanto, 2008).
Penggunaan beta blocker juga tidak dapat dihentikan secara tiba-tiba karena dapat
menyebabkan nyeri dada (angina) dan menyebabkan serangan jantung.
Jenis Obat
Obat-obatan yang merupakan golongan ACE Inhibitor yaitu benazepril,
delazepril, enalapril maleat, Lisinopril, perindopril, kuinapril, kaptopril, ramipril dan
silazapril (Nafrialdi, 2007).
Mekanisme Kerja
ACE inhibitor menghambat pembuluh darah, pada bagian ginjal, organ
jantung (Departemen Farmakologi dan Terapeutik UI, 2007). Dimana angiotensin II
berperan sebagai vasokonstriktor dan menstimulasi aldosterone untuk keluar dan
mengaktifkan saraf simpatis sentral serta pada bagian perifer. Penggunaan ACE
inhibitor akan menghambat pembentukan angiotensin II yang mengakibatkan
penurunan tekanan darah. Selain itu ACE inhibitor memiliki tanggung jawab dalam
degradasi kinin yang merupakan salah satu mediator bradikinin, dalam hal ini
memiliki efek pelebaran sehingga akan menghasilkan efek antihiperhensi yang lebih
kuat (Departemen Farmakologi dan Terapeutik UI, 2007).
Penggunaan ACE inhibitor lebih efektif dalam menurunkan risiko penyakit
kardiovaskuler dibandingkan dengan antihipertensi lainnya, selain itu dapat
digunakan pada penyakit diabetes mellitus tipe 2, menurunkan morbiditas dan
mortalitas pada pasien gagal jantung dan memperlambat progress pada penyakit ginjal
kronis (Saseen JJ, 2003).
Efek Samping
Efek samping dari penggunaan ACE inhibitor adalah dapat menyebabkan
keadaan hipotensi atau penurunan tekanan darah, batuk kering, kalsium dalam darah
dalam jumlah banyak (hyperkalemia), timbulnya bitnik kemerahan (rash) pada kulit,
edema angioneurotik, proteinuria, gagal ginjal akut dan efek teratogenic (Nafrialdi,
2007).
Kontraindikasi
ACE inhibitor memiliki kontraindikasi untuk wanita hamil dan pasien yang
memiliki riwayat angioedema karena biasanya akan terjadi pembengkakan pada bibir
dan menyebabkan kemungkinan susah bernafas (bila ditemukan riwayat segera
hentikan pemberian ACE inhibitor).
Jenis Obat
Contoh obat yang termasuk pada golongan ARB adalah losartan, valsartan,
irbesartan, telmisartan dan candesartan (Vallerand, 2005).
Mekanisme Kerja
Obat yang bekerja secara langsung pada reseptor angiotensin, sehingga
menghambat kerja angiotensin II tipe 1 seperti vasokonstriksi, pelepasan aldosterone,
aktivitas saraf simpatik, pelepasan hormone antidiuretic, dan konstriksi dari
glomerulus dan eferen artiola. Namun ARB tidak menghambat reseptor angiotensin II
tipe 2 seperti pelebaran dan memperbaik keadaan jaringan(Priyanto, 2008). ARB
dapat digunakan pada seseorang yang tidak dapat mentolelir ACE inhibitor. Hal
tersebut dikarenakan ARB memiliki cara kerja yang hampir mirip dengan ACE
inhibitor namun ARB tidak bekerja untuk menghambat pemecahan bradikinin,
kondisi ini tidak akan menyebabkan efek batuk kering persisten nantinya akan
menghambat terapi yang dilakukan dengan ACE inhibitor (Pion BPOM, 2015).
Efek Samping
Dalam penggunaan ARB memiliki efek samping yaitu hipotensi,
hyperkalemia, dan fetotoksik (Nafrialdi, 2007).
Kontraindikasi
Kontraindikasi dari obat golongan ARB adalah pada wanita yang tengah hamil. Jika
kehamilan terdeteksi maka pengobatan harus segera dihentikan. Karena ini
berhubungan dengan kemungkinan interaksi dengan sistem renin angiotensin yang
dapat menyebabkan malformasi pada fetal dan kematian neonatal (Pion BPOM,
2015).
Jenis Obat
Obat-obat calsium channel blocker menurut Katzung (2002) yaitu:
a. Nifedipine
Nifedipine tergolong obat penghambat kanal kalsium yang bekerja
menurunkan tekanan darah arteri dengan cara meleburkan pembuluh darah
perifer. Dosis nifedipine : untuk mengontrol tekanan darah tinggi dapat
digunakan 10 mg 1-2 tablet sehari bila diperlukan, dosis dapat di naikkan sampai
60 mg sehari bila di perlukan.
Senyawa ini digolongkan ke dalam golongan kalsium antagonis yang
berupaya untuk menghalangi ion kalsium masuk pada sel-sel di otot pada
jantung dan juga di sel-sel pada otot- otot polos di dinding pembuluh darah
arteri. Maka dari itu, kontraksi pada sel-sel itu dapat dihambat dengan adanya
efek pelebaran pembuluh darah. Nifedipine biasanya dipergunakan pada
beberapa penyakit jantung seperti nyeri pada dada yang diakibatkan karena
kurangnya suplai oksigen pada jantung dengan menghindari terjadinya kontraksi
otot yang tidak terkendali sehingga distribusi sel sel darah pada oto jantung
menjadi lebih tinggi, dan di penyakit tekanan darah tinggi berkat adaya daya
pelebaran pada pembuluh darah perifernya. Jika pada spasme otot arteri, berguna
untuk menghilangkan kontaksi otot yang tidak terkendali pada otot tangan di jari-
jarinya.
b. Diltiazem
Rangkaian kerja pada kandungan obat ini untuk menurunkan kerja simpul
sinoatrial dan nodus atrioventrikular pada jantung, juga untuk memvasodilatasi
pembuluh darah arteri, arteri dari ventrikel kiri serta arteri-arteri yang ada pada
ujung bagian tubuh. Karena dari itu obat ini dapat mengurangi denyutan pada
jantung dan menurunkan kontraktilitas pada otot kardio, dan akhirnya dapat
terjadinya keselarasan diantara penyimpanan dengan penggunaan O2 di penyakit
akibat kekurangannya suplai O2 di jantung. Peresepan : pada usia dewasa
diberikan 4 x 30 miligram, bisa di tingkatkan hingga 360 miligram dalam 1 hari
bila diperlukan, untuk pemberiaannya dapat di berikan sebelum makan dan
waktu sebelum tidur.
c. Verapamil
Senyawa ini dapat menghambat masuknya ion kalsium melewati membran
ion miokard dan juga otot polos pada pembuluh darah, sehingga dapat mencegah
proses kontraktil pada otot polos di pembuluh darah jantung. Dosis : dosis
diberikan sebanyak 240-320 mg per hari yang di bagi menjadi tiga dosis
konsumsi.
Mekanisme Kerja
Mekanisme terjadinya hipertensi dimulai pada proses terjadinya kontraksi
otot, konsentrasi ion Ca2+ intraseluler meningkat pada saat masuk ke dalam sel dan
pada saat dilepaskan dari retikulum sarkoplasma. Kemudian Ca2+ berikatan dengan
molekul kalmodulin (CaM). Ikatan antara Ca2+ dengan kalmodulin (CaM)
mengaktifkan rantai ringan yang biasa disebut miosin kinase (RRMK). Lalu RRMK
memfosfolirasi rantai ringan yang ada pada kepala mioson dan mulai meningkatkan
aktivitas ATPase. Jembatan persilangan antara miosin yang aktif mulai bergeser
sepanjang aktin kemudian menghasilkan kontraksi pada otot (Campbell, 2002).
Peningkatan kadar Ca intraseluler menyebabkan kontraksi otot. Ada sedikit
perbedaan mekanisme regulasi Ca pada kontraksi otot polos dan otot jantung. Pada
otot polos, untuk bereaksi, Ca harus berikatan dengan reseptornya, yaitu suat protein
pengikat Ca yang disebut calmodulin , yang dijumpai pada semua sel eukariota
(umumnya 1% dari total massa protein). Calmodulin sendiri tidak memiliki aktivitas
enzim. Baru setelah berikatan dengan Ca menjadi kompleks Ca/Calmodulin, dia
bekerja dengan mengikat protein lain, misalnya golongan protein kinase yang
tergantung Ca/Calmudulin yang disebut Ca/Calmodulin-dependent protein kinse
(CaM-kinase).
Aksi CaM-kinase adalah memfosforilasi serine atau theroin pada protein
target sehingga akhirnya menimbulkan respons seluler. Salah satu CaM-kinase adalah
miosin light-chain kinase (MLCK) yang berperan dalam kontraksi otot polos. MLCK
akan mengaktifkan miosin. Perlu diketahui bahwa miosin merupakan protein motorik
yang akan berinteraksi dengan filamen aktin untuk menyebabkan kontraksi (Ikawati,
2014).
Pada proses relaksasi ion Ca2+ yang bebas di dalam sitosol mulai menurun
disaat ion kalsium mulai dipompa keluar dari dalam sel atau ion kalsium kembali ke
dalam retikulum sarkoplasma. Ion Ca2+ yang melepaskan diri dari molekul
kalmodulin (CaM) dapat membuat aktivitas pada RRMK mengalami penurunan.
Miosin fosfatase mulai melepas fosfat dari rangkaian rantai ringan miosin, yang dapat
menurunkan aktivitas pada ATPase miosin. Berkurangnya aktivitas yang terjadi pada
ATPase miosin ini dapat juga menurunkan tegangan pada otot (Campbell, 2002). Pada
sirkulasi darah untuk dapat dipertahankannya tekanan darah yang normal, semua
bergantung pada keseimbangan diantara tahanan perifer vaskuler dan curah jantung.
Beberapa pasien yang menderita hipertensi esensial pada umumnya
memiliki curah jantung normal, namun tahanan perifer pada pembuluh darahnya
meninggi. Kekuatan pembuluh darah perifer ini dapat dilihat bukan hanya dengan
arteri besar dan kecil, karena bisa juga dengan arteriola yang kecil, dimana
dindingnya juga memiliki sel-sel otot yang berjenis polos. Adanya kontraksi yang
terjadi pada jenis sel otot yang polos juga diduga berhubungan erat dengan
terjajdinya konsentrasi ion Ca yang meninggi yang terjadi di dalam sel
(Lumbantobing, 2008).
Obat CCB beraksi pada otot polos pembuluh darah dengan mengurangi
kontraksi arteri dan menyebabkan peningkatan diameter arteri, fenomena ini disebut
vasodilatasi (CCBs tidak bekerja pada vena otot polos). Dengan beraksi pada otot
jantung (miokardium) mereka mengurangi kekuatan kontraksi jantung. Dengan
memperlambat konduksi aktivitas listrik dalam hati mereka memperlambat detak
jantung. Dengan menghalangi sinyal kalsium pada sel-sel korteks adrenal, mereka
langsung menurunkan produksi aldosteron, yang menguatkan untuk menurunkan
tekanan darah . Kelas CCBs dikenal sebagai dihidropiridin terutama mempengaruhi
arteri otot polos pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah dengan
menyebabkan vasodilatasi (Yousef, 2005).
Efek Samping
a. Nifedipine
Efek samping utama penggunaan nifedipine adalah hipotensi (keadaan
tekanan darah rendah), hipotensi terjadi terutama pada titrasi awal atau pada saat
dosis dinaikkan, efek samping lainnya dapat berupa nyeri kepala, pusing
berputar, sembelit,mual, muntah dan mulut kering (Anonim, 2012).
b. Diltiazem
Efek samping yang ditimbulkan adalah pusing terutama saat duduk atau
pada saat bangkit berdiri, nyeri kepala, gangguan saluran cerna dan bradikardia
(Anonim, 2012).
c. Verapamil
Efek samping yang ditimbulkan adalah verapamil memiliki efek samping
yaitu konstipasi, lelah, pusing, sakit kepala, mual, pergelangan kaki bengkak
(Anonim, 2012).
Jenis Obat
Jenis obat α-blocker di bagi menjadi 2 menurut Yousef (2005) yaitu:
a. Alfa bloker Non selektif
o Jenis derivat haloalkilamin
Mekanisme kerja pada obat ini yaitu dengan adanya ikatan pada kovalen yang
stabil dengan adrenoreseptor alfa dapat dihasilkannya hambatan yang
irreversible. Biasa disebut juga dengan alfa bloker nonkompetitif dan kerja
panjang. Indikasi untuk dipergunakannya obat ini adalah pada pasien dengan
hipertensi ringan dan sedang serta pada penderita BPH yang tidak ganas. Pada
penderita Benign prostat hyperplasia yang tidak ganas dapat diberikan terapi
yaitu dilakukannya pembedahan atau bisa juga dengan menggunakan obat yang
mengandung alfa bloker serta bisa juga dengan pemberian obat anti androgen
finasteride.
o Jenis derivat imidazolin
Kandungan tolazolin serta fentolamin adalah jenis alfa bloker non selektif
kompetitif. Obat-obat ini bekerja dengan cara menghambat reseptor serotonin,
lalu melepaskan histamin dari sel mast, kemudian meragsang reseptor
muskarinik yang ada pada saluran cerna, setelah itu sekresi asam lambung
mulai dirangsang, serta pada saliva, air mata dan juga pada keringat. Obat-
obatan ini dipergunakan untuk mengatasi episode akut dari hipotensi, untuk
mengatasi pseudo-obstruksi pada usus, mengatasi nekrosis pada kulit, dan juga
disfungsi pada saat eksresi. Obat fentolamin disediakan dalam vial 5 mg untuk
pemberian pada intravena atau intramuskular, sedangkan untuk tolazolin
disediakan dalam dosis 25 mg/ml untuk suntikan melalui intavena.
o Alkaloid ergot
Merupakan salah satu alfa bloker yang pertama kali ditemukan, bekerja sebagai
agonis ataupun antagonis parsial pada reseptor alfa adrenergik, reseptor
serotonin, dan juga reseptor dopamin.
b. Alfa bloker selektif
o Prazosin
Mekanisme kerja obat ini yaitu antagonis adrenergik alfa-1 perifer mendilatasi
arteri maupun vena. Indikasi pemberian pada pasien yang mengalami hipertensi
dan gagal jantung kongestif. Dosis yang biasanya diberikan adalah 0,5 mg 2
kali sehari selanjutnya dosis di tingkatkan 1 mg 2 kali sehari atau sesuai dengan
anjuran dokter.
o Terazosin
Indikasi pemberian pada pasien hipertensi ringan sampai sedang dan pada
pasien dengan hiperplasia prostat yang jinak. Dosis yang dapat diberikan pada
pasien-pasien yang menderita hipertensi yaitu, 1 mg diberikan sebelum tidur;
bila perlu dosis dapat ditingkatkan menjadi 2 mg setelah 7 hari atau sesuai
dengan anjuran dokter dan dosis penunjang biasanya diberikan sekitar 2-4 mg
sekali dalam sehari pada pasien penderita hiperplasia prostat jinak atau sesuai
dengan anjuran dokter.
o Doksazosin
Mekanisme kerja obat ini yaitu antagonis adrenergik alfa-1 perifer mendilatasi
arteri maupun vena. Indikasi pemberian pada pasien hipertensi.
Efek Samping
Efek samping obat α-blocker menurut Syamsudin (2011) yaitu:
a. Alfa bloker Non selektif
o Derivat haloalkilamin: Hipotensi postural
o Derivat imidazolin: Hipotensi
o Alkaloid ergot: biasanya pasien akan mengalami pusing atau sakit kepala,
mengantuk, terjadi palpitasi, dan edema pada bagian perifer serta mual
c. Alfa bloker Selektif
o Prazosin
Sakit kepala, hipotensi postural, gangguan saluran pencernaan, gatal-gatal,
mulut kering.
o Terazosin
Pasien akan merasa mengantuk, sakit kepala/ pusing, tidak bertenaga atau
merasa lemas, edema pada bagian perifer tubuh, sering buang air kecil serta
priapismus.
o Doksazosin
Hipotensi postural, infeksi saluran kemih, nyeri otot, gangguan pencernaan,
sakit kepala, kelelahan, vertigo dan edema.
Beta bloker
Penghambat beta (selektif): metoprolol (tab 50mg dan 100mg) dan atenolol (tab 50mg
dan 100mg)
Penghambat beta (non selektif): propanolol (tab 10mg dan 40mg) dan pindolol (tab
5mg dan 10mg)
Calsium antagonis
Turunan verapamil: verapamil HC dan tiapamil
Turunan alkilarilamin: diltiazem
Turunan piperazin: sinarizin
Turunan fenildihidropiridin: felodipin dan nifedipin
2.2.5 Kontraindikasi
Menurut James (2004):
Nitrat organik
Anemia berat, wanita hamil, hipersensitivitas, hipotensi (<80 mmHg)
Beta bloker
DM dengan hipoglikemi, asma, disfungsi jantung, hipotensi
Glikosida mempunyai struktur gugus yang ada kandungan gula. Pada penduduk
amerika selatan dan afrika. Glikosida di daerah mereka gunakan untuk racun panah.
Efeknya terjadi untuk jantung. Pada glikosida ditemukan di tanaman keluarga yang
bernama : Apocynaceae, Liliaceae, Moraceae dan Ranunculaceae. Dan sumber
perdagangan glikosida sekarang ini bernama genus stropantus dan genus.
Tanaman genus mempunyai banyak suponin. Contoh senyawanya adalah senyawa
digotinin (aglikon: digitoksigenin) yang terdapat dari digitalis (Topalin S 2008, Mycek
2009). Glikosida ialah senyawa yang tersusun 2 unsur, ialah Glukosa dan Non- Glukosa.
Dan sama-sama mempunyai hubungan erat dengan bentuknya berupa jalan jembatan
oksigen (O-Glikosid, diosein), (N-glikosida, adenosine) seperti jembatan nitrogen, (S-
Glikosida, sinigrin) seperti contohnya sulfur, (C-glikosida, barbaloin) seperti karbon
(Rathbone, 2013). non-glikosida ialah aglikon sedangkan bagian glukosa disebut glikon.
Jika glikon dan aglikon saling berhubungan erat maka unsur ini bisa dinamakan
glikosida.
Glikosida alamiah yang diperloeh dari berbagai tanaman obat, antara lain:
a) Purpura folia digitalis: digifoksin, gitalin dan gitoksing
b) Lanata Folia digitalis : lanatasoid (hidrolisa yang menghasilkan digoksin).
c) Gratus stofantus : Jenis obat quabain
d) Kombe Stofantus : Jenis obat strofantin
e) Jenis maritma urginea (menghasilkan ganggang laut : skillaren)
Sediaan Obat-obat glikosida
Hidroklorthiazida
Senyawa sulvamoyl berikut adalah turunan dari klortthiazida yang dikembangkan
oleh sulfanilamide. Pengaruh bekerjanya pada muka tubuli distal.lalu untuk efek
diuretinya lemah dari diuretic lengkungan, namun dapat bertahan selama 6-12 jam.
Untuk daya hipotensifnya lebih kuat, obat ini sering digunakan sebagai pilhan
pertama sebagai obat untuk hipertensi ringan sampai sedang. Namun pada hal ini efek
kombinasi menjadikan obat ini menjdai lebih berat, yaitu pada khususnya B-Blocker.
Kemudian selanjutnya untuk efek optimal dari dosis yang ditetapkn sekitar 12,5 mg
dan dosis diatasnya tidak akan memperoleh penurunan tensi. Lalu klorthiazid
berkashiat 10 kali lebih lemah dari pada zat induknya, maka sekarang tidak digunakan
lagi
Reabsorpsinya dari usus ukurannya sampai 80%, PP-nya sekitar kurang lebih 70%,
dengan plasma t-0,5 dalam jangka waktu 6-15 jam. Ekskresinya utuh melewat kemih.
Untuk dosisnya : pada pasien Hipertensi diberiakan 12,5 mg pagi p.c, udema : 1-2 dd
25-100 mg, untuk cara pemeliharaan 25-100 mg 2-3x seminggu
Lalu untuk sediaan obat kombinasi ada sebagai berikut:
– obat loirinid, moduretic = HCT 50+ amilorida 5 mg
– obat dytenzide = HCT 25 + triamteren 50 mg
Gambar 17. Sediaan tablet furosemid lasix
Sumber: http://www.best-price-checker.com/lasix-furosemide/
Obat farmakologi ini masuk dalam golongan vasodilator secara kimiawi menurut
kinerjanya, yaitu :
A-Blockers : buflomedil, kodergokrin dan prazosin
Zat yang mangelilingi reseptor A-Adrenergik dan mempunya efek vasokonstriksi
yang lemah dan bersifat noradrenalin terhadap arteriole.
Beta-Adrenergik : obat isoxuprin
Zat ini mempunyai stimulus resptor yang mempunyai unsur Beta-Adrenergik di
arteiol dengan beberapa efek terjadi vasodilataso di bronchia dan otot, namun
dibagian yang terutama tidak sakit
Antagonis Ca : bensiklan, flunarizin dan sinazirisin, nifedipin dan nimodipin
Obat ini dapat memblok saluran Ca (calcium channels) terdapat pada pembuluh darah
dan otot jantung, sehingga menghindarkan kontraksi dengan efek vasodilatasi di
arteriole deinding vena tidak di pengaruhi karena jauh dari kesensitifan.
derivat nikotinat: inostol, metal, nikotinilalkohol, xantinol, dan tokoferolnikotinat.
Asam nikotinat dan derivat terutama pembuluh kulit di muka, leher, dan otot lengan
yang mendilatasi, sedangkan bagian tubuh yang bawah penyaluran darahnya justru
berkurang. Maka cara tersebut kurang efektif, karena kurang berguna terhadap
gangguan sirkulasi di betis atau kaki, dan lebih efektif terhadap vasospasme dikulit
obat farmakologi yang lainnya adalah sebagai berikut : pentoksifilin, ekstrak ginko
biloba dan siklandelat, dan iloprost
Kombinasi dari obat farmakologi yang lain dengan obat deuretik dapat
mengakibatkaninteraksi yang laini, seperti :
Hambatan ACE adapa menimbulkan hipotensi, maka seharusnya diberikan
pengobatan deuretikum diberhentikan 3 hari.
Obat NSAID efeknya memperlemah diuretis dan antihipertensi akibat retensi natrium
air
Kortiko steroid untuk menghilangkan kalium dari dalam tubuh.
Aminoglikosida: berhubungan diuretik sendiri sehingga menyebabkan ketulian
(reversibel) dan ototoksisitas diperkuat.
antidiabetik oral efeknya bila terjadi hiperglikemia.
Litium klorida ditingkatkan di dalam kadar darah akibat terhambatnya eksresi.
Berhenti minum simvastatin dan hubungi dokter segera jika mengalami efek samping
simvastatin yang cukup serius menurut Syamsudin (2011) seperti:
Sakit saat BAK dan urin berwarna gelap
Nyeri otot tanpa sebab
Bingung
Mual muntah serta hilangnya nafsu makan
Mulut kering
Demam
Rasa haus yang berlebih
2.4.5 Kontraindikasi
Menurut Syamsuir (2010) yaitu:
Hipersensitiv terhadap obat antisklerotik
Sedang menderita penyakit liver
Wanita yang sedang hamil dan menyusui
2.5 Obat Antiaritmia
2.5.1 Definisi
Obat antiaritmia memengaruhi aksi potensial dan konduksinya dengan beberapa cara.
Secara klinis, hal ini direfleksasikan dalam denyut nadi dan tekanan darah yang sama
baiknya, seperti pada EKG. Jadi, obat antiaritmia merupakan senyawa kimia yang
berfungsi menormalkan atau menstabilkan detak dan ritme jantung (Gunawan, 2009).
Aritmia yang terjadi pada jantung merupakan salah satu masalah pada sistem
kardiovaskular yang sering dijumpai pada praktek kesehatan yang sering timbul akibat
efek dari obat – obatan jenis digitalis, efek dari pasien yang dianastesi, dan sebagian besar
pada pasien yang mengalami infark miokard akut (Departemen Farmakologi dan
Terapeutik UI, 2007). Aritmia dapat menyebabkan gangguan yang serius pada jantung
bahkan bisa mengakibatkan kematian, misalnya terjadinya deplarisasi venrikel premature
yang lebih awal dapat memicu timbulnya fibrilasi ventrike (Abraham, 2008). Pada kondisi
tersebut obat anti aritmia sangat berpengaruh dalam mengatasi gangguan yang terjadi agar
tidak menimbulkan kematian, akan tetapi di sisi lain efek dari penggunaan obat anti
aritmia yang tidak sesuai aturan dan indikasi dapat mengakibatkan terjadinya aritmia yang
lebih fatal.
Prokainamid
Dosis IV dengan kecepatan tidak lebih dari 50mg/menit, apabila diberikan sebanyak
100 mg harus dipantau dengan EKG.
Infus IV, sebanyak 500-600 mg selama kurang lebih 25-30 menit dengan pemantauan
EKG, dengan kecepatan 2-6 mg/menit, dan diberikan secara oral bila diperlukan,
dilakukan setelah pemasangan infus dengan jarak 3-4 jam.
Efek dari obat anti aritmia ini dapat menyebabkan nodus sinoatrial mengalami depresi
tingkat berat, akan tetapi obat ini, disopiramid merupakan salah satu jenis obat yang efektif
untuk memperlambat kerja sinus SA pada jantung manusia yang mengalami aritmia.
Sedangkan kuinidin bekerja dengan menigkatkan irama pada sinus dan
menghambatmkolinergik atau dengan cara meningkatkan rangsang simpatis secara reflex.
Dalam dosis terapi, obat – obatan tersebut efektif dan mampu untuk memperlambat
rangsang dari serabut purkinje. cara kerjanya yaitu dengan mengurangi kemiringan
depolarisasi pada fase 4 dan menjadikan potensi ambang mendekat sampai ke angka 0.
Sistem yang terjadi diturunkan secara bertahap tanpa terjadinya perubahan yang mencolok
dari Vm.
Pada obat jenis ini (Disopiramid) hampir 100% dari peresepan obat dapat diabsorsi dengan
intake peroral dan sebagian lainnya dimetabolisme di lini awal pada hepar. Obat ini akan
berada pada puncak konsentarsinya dalam darah setelah satu sampai dua jam dari intake
oral pasien. Dalam dosis terapi sekitar sebanyak tujuh puluh persen diikat dalam protein
plasma darah, akan tetapi berbanding dengan fraksi yang berikatan dengan plasma..
Volume yang didistribusikan sekitar < 1 liter per kilogram, hal tersebut disesuyaikan
dengan dosis yang diberikan. Sebanyak setengah dari peresepan Disopiramid akan
dikeluarkan secara utuh oleh renal, sebanyak seperlima berbentruk padatan, dan sepuluh
persennya dalam bentuk yang lain. dalam bentuk padatan yang dikeluarkan oleh ginjal,
senyawa tersebut memeliki khasiat mengatasi gangguan irama jantung yang terjadi dan
mmempunyai sifat anti kolinergen walaupun lemah dari senyawa utamanya. Obat jenis ini
mempunyai rentang paruh pengeluaran obat lima sampai tujuh jam, dan hal tersebut akan
memakan waktu lebih lama yaoitu dsekitar dua puluh jam maupun lebih pada pasuien
dengan kondisi gagal ginjal.
Pada obat – obatan tipe IA mempunyai spectrum lebih luas dan efektif daripada jenis obat
– obat yang lain, maka dari itu sangat cocok jika digunakan untuk pengobatan jangka
panjang maupun jangnka pendek pada kejadian aritmia supraventrikel dan ventrikel.
Selain itu, dalam terapi pengobatan perlu diperhatikan kemungkinan efek toksik yang
timbul dan perlu dilakukan pengecekan rekam EKG secara berkala untuk melihat dan
mengontrol aritmia yang terjadi. Obat aritmia jenis ini dapat digunakan untuk pengobatan
takikardia supraventrikel paroksimal (PSVT) baik yang dikarenakan arus balik dari nodus
AV ataupun yang terjadi pada sindrom Wolf-Parkinson-White, sebagai obat yang
digunakan untuk mencegah munculnya kembali penyakit.
Dikarenakan efek samping dari kuinidin yang terlalu berbahaya, jadi rasio efek terapi dari
kuinidin juga rendah. Pada pemberian dosis obat yang tinggi, efek toksik yang ditimbulkan
juga semakin tinggi dan berbahaya pada jantung yang bisa memblok atau menghentikan
kerja SA, AV derajat tinggi, terjadinya aritmia ventrikel atau asistol yang bisa
menyebabkan aritmia menjadi semakin memburuk (bizarre arrhythmias). Selain hal
tersebut, bahaya dari kuinidin adalah dapat terjadi sinkop atau kematian mendadak. Efek
samping lain dari obat tersebut adalah cinchonism ringan dengan gejala, tuli, penglihatan
kabur, tunitus, dan keluhan pada sistem pencernaan. Pada kejadian toksisk berat, akan
menimbulkan diplopia, nyeri kepala, perubahan warna dalam penglihatan, bingung,
fotofobia, psikosis, dan delirium.
Prokainamid mempunyai side-effect yang hamper menyerupai kuinidin, hanya mungkin
pada derajat yang lebih ringan. Selain itu, obat ini dapat menimbulkan efek gejala
menyerupai penyakit lupus eritematosus sistemik (SLE). Penggunaan Disopiramid dengan
efek depresi langsung maupun kontriksi alerioal pada jantung bisa menyebabkan
penurunan curah jantung dan kinerja pada ventrikel kiri, sehingga harus diperhatikan dan
diberikan secara lebih berhati – hati pada pasien yang dicurigai mempunyai potensi gagal
jantung.
Interaksi obat yang biasa timbul pada obat aritmia jenis ini yaitu dengan obat yang dapat
menginduksi enzim hati, seperti fenobarbital atau fenitoin, yang mempunyai efek
memendekkan kinerja dari kuinidin dengan jalan mempercepat pengeluaran obat tersebut.
Di sisi lain, jika kuinidin diresepkan pada pasien dengan kadar digoksin plasma yang
stabil, maka akan terjadi peningkatan kadar digoksin dari efek menurunnya klirens. Selain
itu, masalah yang sering terjadi yaitu meningkatnya waktu protrombin setelah diberikan
kuinidin pada pasien yang telah mengkonsumsi anti koaguan secara oral. Karena kuinidin
mempunyai efek penyekat adrenoreseptor-alfa, pemberian vasodilatif atau obat yang dapat
menurunkan volume plasma dapat menyebabkan interaksi aditif pada pasien. Karena jika
terjadi peningkatan kandungan K+ di dalam plasma darah , dapat menyebabkan efek yang
ditimbulkan obat tersebut pada sistem konduksi jantung semakin besar.
Obat aritmia pada tipe kelas IB ini sedikit sekali mengubah depolarisasi fase 0 dan
kecepatan konduksi diserabut purkinje jika nilai Vm berada pada rentang normal. Obat tipe
ini, mempunyai kinerja yang berlawanan dengan tipe – tipe obat sebelumnya, yaitu tipe
obat kelas IA. Dalam dosis terapi, obat kelas IB jarang menekan nodus SA, akan tetapi
penekanan bisa muncul pada pasien yang mengidap gangguan sinus. Selain itu, obat ini
juga dapat mengurangi kemiringan depolarisasi pada fase 4 di serabut purkinje. Efek ini
terjadi karena menurunnya arus pacu dan meningkatnya arus ion K+ keluar sel.
Akan tetapi, kemampuan tokainid dan meksiletin untuk mengurangi automatisasi serabut
purkinje lebih mirip kuinodin, yaitu menggeser potensial ambang kearah nilai Vm yang
lebih positif. Selain itu, Lidokain juga dapat memberikan penekanan secara otomatis pada
serabut purkinje yang mengalami depolarisasi dan perenggangan, dan baik lidokain
amupun fenitoin efektif dalam meniadakan trigerred activity pada delayed
afterdepolarization yang disebabkan oleh digitalis. Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan
arus K+ yang dikeluarkan lebih banyak daripada yang masuk ke dalam sel yang kecil,
sehingga menyebabkan depolarisasi, maupun dikarenakan menurunnya arus Na+ ke dalam
sel.
Pada tipe obat kelas IB, terjadi peningkatan ambang arus listrik diastolic pada serabut
purkinje yaitu dengan jalan konduksi K+ ditingkatkan dan tanpa terjadi perubahan nilai
Vm atau potensial ambang. Dalam dosis terapeutik, lidokain bisa mengubah sedikit
hubungan Vmax dan Vm di serabut purkinje, jadi pada nilai Vm yang rendah dapat
dilakukan pencegahan terhadap terapi respon cepat yang terjadi. Efek tersebut merupakan
hasil dari peningkatan arus K+ keluar sel oleh Lidokain. Kejadian itu bisa muncul karena
kesigapan membran tergantung pada kadar K+ dalam sel; pengaruh lidokain akan menjadi
sedikit jika kadarnya rendah, dan begitu juga sebaliknya, apabila arus K+ tinggi atau
meningkat, maka lidokain pun akan menyesuaikan dengan kebutuhan terapinya. Lidokain
dan obat lain dalam kelas IB ini, biasanya tidak memberikan pengaruh terhadap cepat
lambatnya konduksi yang terjadi dalam sistem his-purkinje atau otot ventrikel yang
normal.
Pada keadaan tidak ada gangguan obat ini bisa meningkatkan atau menurunkan kecepatan
konduksi pada kedua jaringan tersebut. Pada jaringan iskemik obat kelas IB menurunkan
kecepatan konduksi secara nyata. Pada jaringan yang mengalami depolarisasi oleh
renggangan atau bila K+ ekstra sel yang rendah, lidokain bisa menimbulkan
hiperpolarisasi dan membuat konduksi meningkat secara nyata. Untuk obat selain lidokain,
belum diketahui secara pasti apakah menimbulkan efek yang sama seperti itu atau tidak.
Obat aritmia pada kelas IB hampir tidak berpengaruh terhadap lama potensial aksi pada
serabut atrium. Obat-obat ini mempunyai efek kerja menurunkan secara nyata lama
potensial aksi diserabut purkinje dan otot ventrikel. Hal tersebut terjadi karena arus Na+
yang dihambat selama terjadinya plateau potensial aksi. Perubahan yang terjadi terlihat di
bagian his-purkinje, dimana lama potensial aksi terjadi lebih panjang dari yang lain. Obat-
obat ini memendekkan masa refrakter efektif.
Obat kelas IB dapat menghilangkan arus-balik pada ventrikel yaitu dengan mem-blokade
dua arah atau dengan melakukan perbaikan konduksi. Blokade searah pada arus balik di
jaringan iskemik diubah menjadi blokade dua arah. Pada pasien yang menderita gangguan
nodus AV maupun konduksi ventrikel, tokainid dan meksiletin disarankan lebih efektif
untuk menurunkan konduksi dari pada pemberian lidokain.
Obat kelas IB ini dirasa jauh kurang efektif dibandingkan obat kelas IA dalam melakukian
perlambatan frekuensi denyut atrium pada flutter atau fibrilasi atrium, maupun untuk
mengubah aritmia menjadi irama sinus. Hal ini karena efek yang ditimbulkan dari obat-
obat kelas IB terhadap refractoriness dan kesigapan atrium sangat kecil. Obat kelas IB ini
tidak memberikan efek atau pengaruh terhadap sistem pada saraf otonom kecuali fenitoin.
Efek fenitoin kebanyakan berasal dari Sistem Saraf Pusat, serabut eferen vagus yang
dipengaruhi, dan serabut eferen saraf simpatis pada jantung yang terangsang karena
intoksikasi digitalis dapat ditekan oleh kerja fenitoin.
Dibandingkan dengan obat aritmia tipe kals I yang lain, obat tipe kelas IB ini mempunyai
efek samping pada jantung yang bisa dibilang lebih ringan. Efek yang sering ditimbulkan
oleh kinerja Lidokain yaitu banyak berefek pada sistem saraf pusat, yaitu antari lain mudah
mengantuk dan terjadi agitasi, parestia, disosiasi, dan bisa menyebabkan indra
pendengaran menurun karena tingginya konsentrasi yang diberikan, kejang, henti napas,
dan juga disorientasi. Sedangkan efek yang ditimbulkan oleh Fenitoin tidak berbeda jauh
dengan obat sebelumnya, yaitu terjadinya nistagmus, vertigo, mual, ataksia, dan mudah
mengantuk. Selain itu , obat jenis tokainid dan meksiletin mempunyai efek dengan
karakteriustik pusing kepala ringan, gangguan pada saluran cerna, dan tremor, serta
granulositopenia yang bisa diikuti infeksi, sepsis, maupun kematian merupakan salah satu
efek juga dari tokainid.
Menurunnya kelajuan metabolisme pada lidokain serta dapat membuat aliran darah ke
hepar pada pasien jantung berkurang, hal tersebut terjadi karena interaksi obat terhadap
beta blocker. Selain itu, juga dapat meningkatkan konsentarsi obat dalam plasma darah.
Selain itu, obat – obat yang mempunyai sifat basa bisa menjadi pengganti lidokain dari
ikatan obat tersebut.. Efek obat jenis suksinilkolin efeknya bisa diperkuat dengan
pemberian lidokain, dan pada penderita yang menrima resep simetidin konsentrasi lidokain
bisa meningkat jika dikonsumsi bersamaan. Pemberian rifampisin yang bersamaan dengan
fenitoin akan memperbesar laju metabilisme pada fenitoin.
Kelas IC : (enkainid, flekainid, indekainid, dan propafenon).
Jenis obat pada tipe ini mempunyai ikatan yang kuat terhadap Kanal Natrium yang berada
di Sarkolema. Obat kelas ini berafinitas tinggi terhadap kanal Na+ di sarkolema.
Antiaritmia pada kelas ini merupakan salah satu jenis yang efektif dalam mengurangi
kecepatan daya lecut listrik dan menghambat arus natrium masuk ke sel. Jika
dibandingkan dengan jenis – jenis obat yang digunakan untuk menghambat kanal natrium ,
obat kelas IC ini merupakan jenis yang paling efektif untuk digunakan.
Propafenon
Takaran yang diberikan di awal yaitu sebanyak 150 miligram dikonsumsi 3
kali dalam satu hari, setelah makan pada pasien yang memiliki BB sama
atau lebih dari 70 kg dan harus ditambahkan pemantauan EKG serta tekanan
darah. Jika Interval QRS memanjang lebih dari dua puluh persen, maka
dosis harus dikurangi atau jika perlu dihentikan untuk sementara waktu
sampai monitor EKG pada pasien kembali normal. Dan berlaku juga jika
BB dibawah 70 Kg, takaran harus dikurangi.
2. Kelas II: Pemblok adrenoreseptor beta (propanolol, esobutanol, dan esmolol)
Beta blocker memberikan kerja yang berfungsi sebagai anti aritmia dikarenakan
bisa mengurangi efek dari adrenoreseptor-beta
Pemberian propanolol melalui intake oranl memberikan efek penyerapan yang
baik terhadap obat, akan tetapi akan terjadi penurunan bioviabilitas sebesar
seperempat persen dari keseluruhan fungsi dari obat tersebut. Obat tersebut
mempunyai waktu bekerja di tubuh selama kurang lebih 4 jam, setelah itu akan
diekskresikan dan akan dieliminasi dalam hepar.
Asetobutalol mempunyai efektifitas pada intake oral sebesar setengahnya.
Memiliki waktu paruh selama 3 jam dan delapan sampai dua belas jam untuk
diasetolol. Obat ini mengalami liminasi di renal.
Esmolol diresepkan secara injeksi pada vena dan memilki waktu paruh selama
dua menit.
Obat ini digunakan untuk pasien yang terindikasi takiaritmia pada supraventrikel, yaitu
bisa berupa terjadinya fibrilasi, flutter pada atrium, maupun takikardia pada supraventrikel
paroksimal. output yang diharapkan dari pemberian obat ini yaitu mengurangi laju atau
kecepatan pada denyut ventrikel tanpa mengeliminasi aritmia yang terjadi. Esmolol
difungsikan untuk memonitor secara cepat denyut nadi ventrikel pada pasien yang terjadi
flutter atrium maupun fibrilasi sesudah pembedahan maupun keadaan emergency dimana
dibutuhkan obat yang bekerja secara cepat. Dalam pengujian yang telah dilakukan,
timolol, propanolol, maupun metoprolol memperluhatkan kefektifannya dalam
menurunkan terjadinya moratlitas serta terjadinya infark ringan dalam kurun waktu satu
tahun dari kejadoian infark yang awal.
Sedangkan efek samping yang ditimbulkan yaitu terjadinya hipotensi yang terjadi pada
penderita kegagalan jantung. Jika dilakukan pemberhentian mendadak dalam konsumsi
beta-blocker ini pada pasien dengan angina pectoris ditakutkan memberikan efek angina
yang terjadi semakin parah, maupun aritmia pada jantung dan juga dikhawatirkan
memunculkan infark miokard jenis akut.
Bretilium merupakan salah satu jenis obat dalam golongan ini yang mempunyai daya
serap yang kurang baik jika diberikan secara injeksi. Tidak akan termetabolisme dan
di dalam ginjalpun langsung di eliminasi secara utuh. Obat ini mempunyai waktu
paruh dalam tubuh selama kurang lebih Sembilan jam dan akan mengalami kenaikan
sampai lebih dari 15 jam pada penderita renal failure. Pemberian obat (bretilirum) ini
harus diberikan di ruang perawatan intensif. Obat ini diindikasikan untuk kejadian
aritmia pada ventrikel dalam keadaan emergency.
Amivadron adalah salah satu jenis obat kelas III yang absorbsinya lambat jika
dikonsumsi secara peroral. Obat ini mempunyai efektifitas kurang dari 50% dan
konsentrasinya berada pada puncak selang lima sampai enam jam setelah dikonsumsi.
Di Hepar oabat ini akan dimetabolisme walaupun secara lambat. Obat ini mempunyai
waktu paruh yang lumayansangat panjang dibandingkan dengan yang lain yaitu
sekitar 25 sampai 60 hari, metabolismenya masih aktif. Obat ini berkhasiat untuk
mencegah atau menangani fibrilasi yang berulang pada atrium dan takikardi yang
tidak stabil dan berlarut – larut pada bagian ventrikel.
Sotalol merupakan salah satu jenis dari obat ini yang bisa terabsorbsi dengan cepat
melalui intake oral. Memiliki bioviabilitas hampir sempurna daripada obat yang lain
dalam kelas ini. Mencapai konsentrasi maksimal setelah dua sampai tiga jam dan
waktu paruhnya yaitu 10 – 11 jam. Dieleminasi melalui air seni dan meruapakan obat
yang aman dan direkomendasikan daripada jenis amiodaron, sehingga diharapkan
obat ini dapat digunakan untuk lini pertama dalam penanganan kasus aritmia maligna
yang terjadi pada ventrikel. selain itu, obat ini efektif juga jika digunakan untuk
menangani kejadian fibril pada atrium maupuan takikardia di supraventrikel
paroksimal jantung.
Side effect yang ditimbulkan akibat konsumsi obat jenis Bretilium tekanan darah menjadi
rendah. Sedangkan efek samping obat dari jenis pemakaian Amidoran baru akan dirasakan
dan semakin meningkat setelah penggunaan selama 1 tahun dan dapat berefek pada
kematian pada pasien.
Ditinjau dari interaksi dengan obat lain, amidoran merupakan salah satu jenis yang berefek
dalam peningkatan konsentrasi digoksin, warfarin, prokainamid, dan obat anti aritmia
sejenisnya yang dapat berinteraksi dengan amidoran. Obat ini juga memiliki efek
memberikan pemningkatan terhadap kejadian bradikardia, berhentinya sinus, dan
menghambat AV jika diberikan dengan obat jenis beta-blocker maupun penghambat kanal
natrium.
Verapamil maupun Diltiazem, kedua jenis obat ini mempunyai efek samping yang
dominant terhadap cardiac maupun sistem digestive. Pemberian dengan jalan injeksi pada
intravena tidak direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung skala berat, tekanan
darah tinggi,
Efek sampingnya yang utama dari verapamil, kelainan sindrom sinus blok AV, sindrom
Parkinson serigala putih, maupun ventrikel takikardi. Obat ini mempunyai interaksi
terhadap peresepan beta-blocker maupun jenis obat digitalis dan secara aditif akan
memunculkan gejala bradikardia maupun tterjadinya blok AV. Sedangkan jika
dikombinasikan dengan reserpin ataupun metildopa, akan berakibat fatal yaitu membuat
sinus menjadi terdepresi dan meningkatkan kejadian bradikardia.
Magnesium memiliki khasiat terhadap kerja jantung secara langsung maupun tidak
dengan efek yang berpengaruh terhadap keseimbangan Ca+ dan K dalam jantung.
Unsur Magnesium membuat siklus sinus yang terjadi menjadi panjuang,
melambatkan hantaran Av, maupuan hantaran oada intraartial dan intravena. Selain
itu, memberikan efek perpanjangan masa terhadap beberapa siklus yang berakiatan
dengan konduksi dan nodus yang terjadi di jantung.
Jenis obat anti aritmia bekerja dengan menormalkan sistem/ alur terbentuknya kejutan –
kejutan listrik yang memunculkan ritme jantung. Sistem kerjanya yaitu dengan jalan
memblok saluran Na+ maupun Ca+ dengan selektif. Beberapa jenis obat memuiliki efek
afinitas yang maksimum pada saluran aktif (fase 0) dan sebaliknya, ada yang memberikan
efek minimal pada saluran yang pasif (pada fase 2).. Oleh karena hal tersebut, mekanisme
obat yang bekerja pada sistem ini mengacu pada konduktivitas listrik dan nodus – nodus
yang muncul pada jantung. jika lecutan – lecutan listrik semakin banyak dan cepat maka
obat ini bekerja denfgan menurunkan afinitasnya bagitu juga sebaliknya (Abraham, 2008).
Mekanisme yang terjadi pada obat ini dalam mekanismenya untuyk menormalkan
gangguan ritme yang terjadi jantung sering digambarkan sebagai “ use or state dependent “
dikarenakan hal tersebut merupakan perantara yang sering dimanfaatkan pada fase tak
aktif dan lebih mudah dalam melakukan kerja obat ini.
2.5.4 Side-Effect
Kelas I; Terjadinya tekanan darah rendah, dalam kasus toksis skala berat bisa
menimbulkan nyeri kepala, kebingungan, delirium, perubahan penerimaan warna oleh
panca indera. Selain itu berakibat timbul rasa kantuk, pada obat jenis tokainid maupun
meksiletin berefek tremor, kepala pusing ringan, dan gangguan pada saluran pencernaan.
Kelas II; berakibat tekanan darah menjadi turun, aritmia dan angina pada jantung malah
semakin berat, dapat menyebabkan terjadinya infark miokard akut pada jantung.
Kelas III; Tidak berbeda jauh dari efek obat yang ditimbulkan oleh dua kelas obat
sebelumnya. Obat kelas ini selain menimbulkan hipotensi, juga mengakibatkan gangguan
pada paru, hati, merubah kulit menjadi berwarna biru, dan kulit menjadi sensitive
terhadap paparan cahaya mmatahari.
Kelas IV; Sedangkan pada tipe – tipe obat dalam kelas ini dapat berakibat pada saluran
digestive dan terjadinya hipotensi (Syamsudin, 2011).
2.5.5 Kontraindikasi
Kelas I; Obat ini tidak direkomendasikan dan tidak dianjurkan pada penderita yang
mengkonsumsi digoksin maupuan digitoksin dikarenakn efenya akan membuat tosik
menjadi meningkat. Untuk pasien yang mengidap penyakit jantung bisa berakibat
metabolisme lidokain menurun dan mengalami peningkatan dalam plasma. Sealin itu,
obat kelas ini dilarang digunakan berbarengan dengan simetidin.
Kelas II ; kontraindikasi jika dialkukan terapi dengan kurun waktu yang lama dengan
jenis digitalis akan berakibat gagal jantung. Pemberhentian yang tiba – tiba juga berakibat
memperparah nyeri pada jantung dan dapat berakibat infark pada miokard secara akut.
Kelas III ; kontraindikasi apabila terjadi pertemuan obat kelas ini dengan obat jenis
amiodaron bisa berakibat peningkatan konsentrasi dan efeknya terhadap tubuh. Hal
tersebut akan terus terjadi sampai lebih dari satu minggu setelah pemberhantian konsumsi
obat.
Kelas IV; kontraindikasi obat ini berlaku pada penderita hipertensi, heart failure chronic,
sindrom sinus, blok AV, sindrom Parkinson serigala putih, dan yang mempunyai
takikardia pada ventrikelnya (Syamsuir, 2010).
BAB III
KESIMPULAN
Jantung adalah organ yang mempunyai peranan penting yang berfungsi untuk transportasi
darah keseluruh bagian tubuh serta juga sebagai pembawa zat gizi bagi organ yang ada pada tubuh
yang sistemnya sangat dinamik. Penyakit-penyakit kardiovaskuler masih mendominasi sebagai
penyakin terbanyak dan sebagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian walaupun tidak menular.
Semakin banyak teknik diagnostik canggih yang memungkinkan kita dapat terdeteksi penyakit
jantung dan cacat klinisnya. Namun penggunaan teknik-teknik ini hanya sebagai pelengkap penilaian
klinis dan sistematis dari pasien yang bersangkutan, tetapi bukan merupakan suatu pemeriksaan yang
menggantikan, anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap dari pasien tersebut.
Diagnosis penyakit jantung dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan (1) penilaian
klinis yang terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, denyut dan tekanan arteria, tekanan dan denyut
vena, gerakan prekordial jantung, bunyi jantung. (2) prosedur diagnostik non invasif, yang terdiri dari
ektrokardiogram permukaan, ekokardiografi, CT (Computed Tomography) scan. (3) prosedur
diagnostik invasif terdiri dari study elektrofisiologi, kateterisasi pada penyakit katup jantung,
pemantauan hemodinamik.
Namun ada berbagai cara juga sebelum penyakit itu terjadi yaitu, dengan cara memberikan
obat – obatan kardiovaskuler sehingga kita dapat cegah terlebih dahulu sebelum terjadi dan pada
akhirnya kalau lama-lama tidak dicegah bakal memburuk. Dan terdapat berbagai macam obat-obatan
yang efektif untuk mengatasi kelainan pada jantung. Jantung merupakan pusat awal transportasi aliran
darah, terdapat denyutan yang berotot secara berulang. Setiap denyutan akan menyalurkan darah yang
terdapat di jantung, yang dialirkan ke seluruh bagian tubuh melalui jaringan yang tertutup.
Dimakalah ini meringkas sebuah obat-obatan kardiovaskular yang pertama adalah obat
Hipertensi ada beberapa jenis obat ini yaitu
I. Diuretika. Merupakan salah satu obat garis pertama, Jenis : diuretik thiazide dan diuretik
loop. Obat ini mempunyai cara kerja : obat ini akan menghambat terjadinya retensi air dan garam
serta ekskresi air dan garam akan mengalami peningkatan. Terapinya dalam jangka panjang. Dan efek
sampingnya : penurunan kadar kalium dibawah normal, dapat menyebabkan terjadinya asam urat,
gula darah akan mengalami peningkatan diatas normal, hipomagnesemia.
2. B-Blocker yaitu Prototip : propranolol (b1 dan b2 receptor blocker). Cara kerja : akan
menurunkan beban kerja jantung, pelepasan renin terhambat dari ginjal, menghambat kerja sistem
saraf simpatis. Aktif per oral, mengalami metabolisme lintas pertama. Efek Samping : bradikardi,
hipotensi, letargi, insomnia, halusinasi, meningkatkan TG dan menurunkan HDL, disfungsi seksual.
3. ACE Inhibitor Efek Samping: batuk kering (akibat peningkatan bradikinin), rash, demam,
altered taste, hipotensi (pada keadaan hipovolemia), hiperkalemia.
4. Angiotensin Receptor Blocker Prototip : losartan, valsartan, irbesartan, candesartan. Efek
farmakologis mirip ACE inhibitor menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan sekresi aldosteron. 5.
Calcium Channel Blocker Cara Kerja : Kalsium masuk sel melalui kanal yg sensitif terhadap
voltase, CCB memblok masuknya kalsium melalui kanal tipe L yang terdapat pada otot polos jantung
dan pembuluh darah koroner dan perifer menyebabkan relaksasi pembuluh darah melebar,
Mempunyai efek natriuretik intrinsik. Efek Samping : konstipasi (10%), pusing, sakit kepala,
hipotensi. pemberian 3x sehari. Contoh obat CCB dan Efeknya sebagai berikut : VERAPAMIL CCB
yang tidak selektif, Berefek pada otot polos jantung dan pembuluh darah, Efek inotropik negatif
DILTIAZEM Berefek pada otot polos jantung dan pembuluh darah, Efek inotropik negatif dan efek
sampingnya lebih sedikit. DIHYDROPYRIDINES Generasi I : Nifedipine, Generasi II a interaksi
dengan obat CV lain sedikit, Berefek pada otot polos jantung dan pembuluh darah, Efektif untuk
terapi hipertensi.
5. A-Blocker Prototipe : Prazosin, doxazosin, terazosin Cara Kerja : alfa blocker akan
memblok kerja adrenoseptor a1 -> kemudian akan menyebabkan terjadinya relaksasi otot polos arteri
dan vena -> keadaan tersebut menyebabkan penurunan tahanan yang ada pada vaskuler perifer.
Jangka panjang : takikardi. Efek Samping : tekanan darah dibawah normal, jantung akan berdetak
lebih cepat dan diatas rata-rata orang normal (takikardi), syncope (dosis I)
Hipertensi atau tekanan darah tinggi didefinisikan sebagai adanya peningkatan pada tekanan
darah sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan pada tekanan sistolile yang melebihi angka 140
mmHg dan tekanan diastole yang melebihi angka 90 mmHg. Obat yang termasuk jenis dari
antihipertensi berfungsi sebagai penurun tekanan darah yang mengalami peningkatan dari batas
normal. Sebagian besar obat-obatan yang termasuk jenis obat antihipertensi mempunyai kerja pada
tempat kontrol anatomis serta mekanisme kerja itu akan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan
dalam regulasi.
Yang kedua yaitu antiangina merupakan salah satu obat-obatan untuk mengatasi kondisi
angina pectoris (nyeri yang sangat berat pada bagian dada yang terjadi akibat ketidakcukupan oksigen
yang akan disalurkan menuju ke jantung.). Obat Antiangina lainnya yaitu nitrat organic, β-bloker dan
penghambat Ca⁺⁺.Obat yang digunakan pada bloker β yaitu propanolol, pada bloker kanal Ca⁺⁺ yaitu
nifedipin,ditiazem,verapamil,amlodipin dan pada nitrat digunakan gliseril trinitrat,isosorbid dinitrat,
isosorbid mononitrat. Pengobatan angina pectoris dapat menggunakan kombinasi beberapa obat
dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping serta rasa nyeri yang dirasakan
sangat tajam pada daerah dada, biasanya nyeri ini dapat menjalar sampai ke bagian lengan,
dipresipitasi oleh aktivitas kemudian gejala ini dapat berkurang bila dilakukan istirahat dan juga dapat
diberikan obat-obatan (nitrat).
Aritmia adalah suatu keadaan yang terjadi pada frekuensi serta irama jantung yang
mengalami perubahan disebabkan oleh keabnormalan yang terjadi pada sitem konduksi elektrolit.
Aritmia dapat timbul dari perubahan elektrofisiologi yang terdapat pada bagian sel-sel miokardium.
Penyebab kondisi aritmia adalah iskemi dan infark, penyakit ini kebanyakan disertai dengan
perubahan gangguan elektrolit yang biasanya mengalami perubahan, metabolisme yang cenderung
mengalami perubahan.
Obat-obat antiaritmia terdiri dari 4 kelas yaitu :
a) Antiaritmia yang tergolong kelas I
Contoh obat: ((blokade Na primer dan Kr sekunder) prokainamid)
b) Antiaritmia yang tergolong kelas II
Contoh obat: Beta blocker
c) Antiaritmia yang tergolong kelas III
Contoh obat: Amiodarone
d) Antiaritmia yang tergolong kelas IV
Contoh obat: Verapamil