Anda di halaman 1dari 28

BAB II

DASAR TEORI
2.1.Bahaya dan Bencana
Menurut peraturan kepala BNPB no 2 tahun 2012 bencana adalah peristiwa
atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non
alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis,
klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada
suatu kawasan untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan
mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk
menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
Selanjutnya menurut permen P.U. No. 21 Tahun 2007 pengertian tentang
bencana dan bahaya adalah sebagai berikut :
a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa Bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan angin topan dan tanah longsor.
b. Lokasi rawan bencana alam adalah wilayah yang sering atau berpotensi tinggi
mengalami bencana alam.
c. Kerentanan adalah kondisi atau karakteristik biologis, geografis, sosaial,
ekonomi, politik, budaya, dan teknologi masyarakat disuatu wilayah untuk
jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, merendam,
mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya/bencana alam tertentu.
Kerentanan di kaitkan dengan kemampuan manusia untuk melindungi dirinya
dari dampak bahaya/bencana alam tanpa bantuan dari luar.
d. Rawan bencana adalah kondisi atau karakterisitik geologis, biologis,
hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi.

4
kemampuan mencegah, merendam, mencapai kesepian dan mengurangi
kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tersebut.
Resiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian,
luka, sakit, jiwa terancam hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta atau gangguan kegiatan masyarakat.
Tingkat kerentanan adalah indicator tingkat kerawanan pada kawasan
yang belum di manfaatkan sebagai kawasan budi daya, dengan hanya
mempertimbangkan aspek kondisi alam, tanpa memperhitungkan besarnya
kerugian yang di akibatkan.
Tingkat kerawanan adalah ukuran yang menyatakan besar-kecilnya/tinggi
rendahnya kemungkinan suatu kawasan atau zona dapat mengalami bencana.
Serta besarnya korban dan kerugian bila terjadi bencana yang diukur
berdasarkan tingkat kerawanan fisik alamiah dan tingkant kerawanan karena
aktifitas manusia.
Tingkat resiko adalah tingkat kerwanan karena aktifitas manusaia yakni
ukuran yang menyatakan besar kecilnya kerugian manusia dari kejadian
bencana atau kemungkinan kejadian bencana yang di akibatkan oleh intensitas
penggunaan lahan yang melebihi daya dukung , serta dampak yang
ditimbulkan dari aktifitas manusia sesuai jenis usahanya, serta sarana dan
prasarana.
Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007,
Bencana dapat didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Bencana dapat terjadi karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau
gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability)

5
masyarakat. Hubungan keduanya dapat digambarkan bila gangguan atau ancaman
tersebut muncul kepermukaan tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti
masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu tersebut,
sementara bila kondisi masyarakat rentan tetapi tidak terjadi peristiwa yang
mengancam maka tidak akan terjadi bencana. Adapun Bencana dibagi ke dalam
tiga kategori yaitu:
a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor.
b. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik
sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.(UU RI No
24 Tahun 2007).
Salah satu hal yang terpenting dalam bencana adalah melakukan mitigaasi
bencana atau melakukan perkiraan, pengawasan serta tidak preventif dalam
menghadapi suatu bencana. Mitigasi ini dapat dilakukan dengan
memperhitungkan sejak awal dampak dari tsunami, perhitungannya bisa
berdasarkan ramalan cuaca, prediksi tsunami dengan merekam data-data atau
membuat persiapan evakuasi (Prabowo, 2012).

2.2. Tsunami
Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak lautan
“tsu” berarti lautan, “nami” berarti gelombang ombak. Tsunami adalah
serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena adanya
pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi (BNPB No.8 Tahun 2011).

6
Menurut Bakornas PB (2007), Tsunami dapat diartikan sebagai gelombang laut
dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut.
Gangguan impulsive tersebut bisa berupa gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik
atau longsoran.
Tsunami merupakan gelombang laut dengan periode panjang yang
ditimbulkan oleh gangguan impulsif pada medium laut yang bersifat transien
(gelombangnya bersifat sesar) dan nondispersive (fase gelombang tidak
bergantung pada panjang gelombang). Gangguan impulsif tersebut disebabkan
oleh aktivitas gempa tektonik, erupsi vukanik atau longsoran bawah laut
(Diposaptono dan Budiman, 2006).
Tsunami bergerak keluar dari daerah pembangkitannya dalam bentuk
serangkaian gelombang. Kecepatannya bergantung pada kedalaman perairan,
akibatnya gelombang tersebut mengalami percepatan atau perlambatan sesuai
dengan bertambah atau berkurangnya kedalaman dasar laut. Proses ini
menyebabkan arah pergerakan gelombang berubah dengan energi gelombang bisa
menjadi terfokus atau menyebar (UNESCO-IOC, 2006).
Tsunami bersifat unik karena bentuk gelombangnya memanjang sampai ke
seluruh kolom air yaitu dari permukaan sampai ke dasar lautan. Karakteristik
inilah yang menjadi penyebab gelombang tsunami berbeda dengan gelombang
laut yang terjadi karena terpaan angin dan pasang surut yang hanya mengganggu
permukaan laut. Hal ini juga yang merupakan penyebab dasar besarnya jumlah
tenaga yang dibentuk oleh suatu gelombang tsunami (UNESCO-IOC, 2006).
Pada laut dalam, gelombang tsunami dapat bergerak pada kecepatan 500
sampai 1.000 kilometer per jam. Periode tsunami (waktu untuk siklus satu
gelombang) bisa berkisar dari beberapa menit hingga satu jam. Saat mendekati
pantai, kecepatan gelombang melambat menjadi beberapa puluh kilometer per
jam dan tinggi tsunami bisa mencapai hingga puluhan meter pada garis pantai
seperti yang terlihat pada Gambar 2.1 (UNESCO-IOC, 2006).

7
Gambar 2.1. Hubungan panjang, tinggi, dan kecepatan
tsunami di laut(UNESCO-IOC, 2006)

Tinggi tsunami tersebut disebabkan karena terjadi konversi energi kinetik


gelombang menjadi energi potensial. Artinya, kehilangan energi akibat
berkurangnya kecepatan ditransfer ke dalam bentuk pembesaran tinggi gelombang
(run up). Kecepatan run up ke daratan bisa mencapai 25-100 km/jam. Kecepatan
gelombang tsunami ini yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa, rusaknya lahan
pertanian, sarana prasarana wilayah, dan dataran rendah menjadi tergenang
membentuk lautan baru. Kembalinya air ke laut setelah mencapai puncak
gelombang (run-down) juga bersifat merusak karena menyeret segala sesuatu
kembali ke laut (Diposaptono dan Budiman, 2006).

2.2.1 Penyebab Tsunami

Secara umum faktor penyebab terjadinya tsunami adalah gempa tektonik


letusan vulkanik, dan longsoran (landslide) (BMG, 2007; Fauzi dan Wandono,
2005; Diposaptono dan Budiman, 2006).

a. Gempa tektonik
Gempa tektonik merupakan gempa yang diakibatkan oleh aktivitas
tektonik, yaitu pergerakan, pergeseran dan tumbukan lempeng tektonik
(Diposaptono dan Budiman, 2006). Gempa ini merupakan penyumbang

8
terbesar terjadinya tsunami.yang biasanya terjadi di zona subduksi atau
zona tumbukan antarlempeng tektonik. Pada zona ini, lempeng yang
mempunyai berat jenis yang lebih tinggi (lempeng samudera) akan
menyusup di bawah lempeng yang berat jenisnya lebih ringan (lempeng
benua). Apabila akumulasi tegangan lempeng benua di sekitar tumbukan
mencapai batas maksimum maka ujung lempeng samudera akan melenting
ke atas yang mengakibatkan terjadinya patahan (sesar) dan selanjutnya
menimbulkan tsunami (UNESCO-IOC, 2006; Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Proses terjadinya tsunami akibat gempa


tektonik (UNESCO-IOC, 2006)
Secara umum karakteristik gempa yang dapat menimbulkan
terjadinya tsunami adalah sebagai berikut :
1. Lokasi pusat gempa (episenter) berada di laut dengan magnitudo
lebih besar dari 6.0 SR.
2. Kedalaman pusat gempa (hiposenter) kurang dari 60 km dari
permukaan bumi (gempa dangkal).
3. Mekanisme patahan gempa tektonik bertipe sesar naik (reverse fault)
atau sesar turun (normal fault) (BMG, 2007; International Tsunami
Information Center, 2006; Himpunan Ahli Geologi Indonesia, 2006
dan Diposaptono dan Budiman, 2006).

9
Wilayah NTT merupakan kawasan aktif gempa tektonik karena berada
dekat lempeng Australia yang menyusup ke lempeng Eurasia. Selain itu,
terdapat sesar busur muka dan sesar busur belakang di bagian utara Pulau
Flores dan sesar lokal yang memotong Pulau Flores. Sesar busur muka
(fore arc) merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan zona
tumbukan atau sering di sebut sebagai zona aktif akibat patahan yang
biasa terdapat di darat maupun di laut. Sesar busur belakang (back arc)
merupakan bagian paling belakang dari rangkaian busur tektonik. Sesar
atau patahan merupakan perpanjangan gaya yang ditimbulkan oleh
gerakan-gerakan lempeng utama yang akan menghasilkan gempa bumi di
daratan dan tanah longsor (Wah, 2006).

b. Letusan vulkanik
Aktivitas erupsi vulkanik dapat juga menyebabkan tsunami, namun
frekuensinya sangat jarang terjadi karena kekuatan aktivitas vulkanik
biasanya tidak terlalu besar dan hanya bersifat lokal (Diposaptono dan
Budiman, 2006). Untuk Indonesia, daerah yang berpotensi mengalami
tsunami akibat letusan vulkanik merupakan bagian dari lingkar api pasifik
(The Pasific Ring of Fire) yang bermula dari Kamchatka Alaska, Jepang,
Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Flores, Sulawesi dan berakhir di Filipina
(Gambar 2.3; USGS, 2006).

10
Gambar 2.3. Lingkar api di daerah Pasifik (USGS, 2006)
Menurut data historis, sejak tahun 1814 sampai tahun 2006, dari 25
kali kejadian tsunami di wilayah NTT, hanya dua kejadian yang dipicu
oleh letusan gunung berapi yakni meletusnya Gunung Rokatenda tahun
1928 dan longsornya Gunung Werung tahun 1979 (Wah, 2006).

c. Longsoran (Landslide)
Longsoran (landslide) dapat mengakibatkan terjadinya tsunami dan
biasanya longsoran ini terjadi akibat gempa bumi yang kuat, letusan
vulkanik, longsor di dasar laut dan longsor di atas permukaan laut (sea
level) (Diposaptono dan Budiman, 2006).

2.2.2 Klasifikasi tsunami

Berdasarkan jaraknya, tsunami diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:


tsunami lokal (near field/local field tsunami) dan tsunami jarak jauh (far field
tsunami) (Puspito, 2007 dan ITIC, 2006).

a. Tsunami lokal (near field/local field tsunami)


Tsunami lokal adalah tsunami yang terjadi bilamana jarak antara pusat
gempa dan daerah bencana tsunami kurang dari 100 km (ITIC, 2006). Dari
segi waktu terjadinya tsunami, tsunami lokal terjadi antara 5 sampai 40

11
menit setelah gempa utamanya. Hal ini menyebabkan bahwa secara
teoritis kejadian tsunami lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan
kejadian gempa (Puspito, 2007). Adanya tenggang waktu antara terjadinya
gempa dan tibanya tsunami di pantai memungkinkan tindakan untuk dapat
menganalisis karakteristik apakah suatu gempa dapat menimbulkan
tsunami atau tidak.
Secara umum tsunami yang terjadi di Indonesia adalah tsunami lokal
dan mengingat sistem informasi di Indonesia belum memadai maka
biasanya sebelum informasi kejadian tsunami sampai ke masyarakat,
gelombang tsunami telah menyapu pantai. Hal ini menyebabkan Indonesia
belum bisa memaksimalkan sistem peringatan dini tsunami (Tsunami
Early Warning System) (Puspito, 2007).
b. Tsunami jarak jauh (far field tsunami)
Tsunami jarak jauh (far field tsunami) adalah tsunami yang diakibatkan
oleh gempa laut yang jaraknya ribuan kilometer dari pantai (ITIC, 2006).
Waktu datang tsunami berkisar antara beberapa jam sampai 24 jam setelah
gempa utamanya. Contoh tsunami jarak jauh ini adalah tsunami Aceh
yang terjadi tahun 2004, dimana gelombang tsunami tersebut merambat
menyebrangi Samudera Hindia sampai ke Pantai Afrika Selatan.
2.2.3 Karakteristik Tsunami
Tsunami memiliki karakteristik dalam hal panjang gelombang, jarak
antar puncak gelombang, periode, dan tinggi gelombang yang
membedakannya dengan jenis gelombang lain (Synolakis, 2003).
Kecepatan tsunami bergantung pada kedalaman laut, demikian pula
dengan panjang gelombangnya, semakin dalam lautnya semakin besar
panjang gelombang tsunami dan semakin tinggi kecepatannya. Sebaliknya
amplitudo tsunami di laut dalam jauh lebih kecil dibanding di laut
dangkal.

12
Gambar 2.1 Kecepatan Dan Ketinggian Tsunami Tergantung Pada
Kedalaman Laut, BMKG (2010)
Tsunami dapat dinyatakan dalam skala magnitudo. Skala magnitudo
didasarkan pada ukuran gelombang tsunami dari alat pengukur tinggi
muka air laut. Magnitudo berperan sebagai variabel dependen di dasar dua
logaritmik dimana ketinggian gelombang maksimum pada saat terjadi
tsunami, dan memiliki rentang magnitudo antara -1 sampai 4 (Iida et al,
1972 dalam UNESCO, 2006). Semakin besar skala magnitudo yang
terjadi maka semakin besar kerusakan yang ditimbulkan akibat tsunami,
hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Klasifikasi Kerusakan Berdasarkan Besar Magnitudo
Tsunami,Diposaptono dan Budiman (2008)

N Skala Magnitudo Ketinggian Kerusakan


o Imamura dan Iida Tsunami
1 -1 Di bawah 50 cm Tidak ada
2 0 1m Sangat sedikit
3 1 2m Kerusakan sepanjang pantai dan
kapal
4 2 4–6m Sedikit sampai di daratan dan
kerugian dari segi manusia
5 3 10 – 20 m Kerusakan yang nyata di garis
pantai lebih dari 400 km
6 4 30 m Kerusakan yang nyata di garis

pantai lebih dari 500 km

13
Run-up tsunami merupakan jarak vertikal antara ketinggian
maksimum yang dicapai oleh gelombang pada pantai dan rata-rata
permukaan muka air laut (Pararas-Carayannis, 2000). Apabila gelombang
tsunami bukan merupakan gelombang pecah, maka ketinggian run-up
kira-kira sama ketinggian asalnya. Akan tetapi apabila gelombang tsunami
merupakan gelombang pecah (gelombang bore atau surge), maka energi
kinetik yang tersimpan akan mengubah ketinggian run-up semakin besar
dan membentuk ombak berputar. Pada Gambar 2.2 yang menjelaskan
mengenai run-up tsunami. Luas daerah patahan dan besaran gempa bumi
mempunyai kaitan yang erat untuk menentukan parameter karakteristik
skala Tsunami (Carpenter, 2005).

Gambar 2.2 Run-up Tsunami, Diposaptono dan Budiman (2008)

Berdasarkan data pengukuran ketinggian tsunami di pantai selatan


Pulau Jawa tahun 2006, ketinggian maksimum tsunami adalah 15,7 meter
terjadi di Pangandaran. Lavigne et al (2007) juga melakukan observasi
kejadian tsunami Jawa tahun 2006 mulai dari Pangandaran sampai
Yogyakarta. Ketinggian run-up maksimum adalah 10,4 m di Batukaras,
Pangandaran dan 15,7 m di Pulau Nusakambangan.

14
Tabel 2.3 Data Pengukuran Run-up Tsunami tahun 1921, 1994, dan
2006 di Pantai Selatan Pulau Jawa, Lavigne et al (2007)

Magnitude Run-up
Tahu Episentrum
Gempa Bumi Maksimum
n
1921 7.5 111°BT, 11° LS -
1994 7.8 112.83° BT, 10.48° LS 14m
2006 7.7 107.32° BT, 9.22° LS 15.7m

2.2.4 Cepat Rambat Gelombang Tsunami dan Hubungannya Dengan


Proses Evakuasi Tsunami
Menurut Diposaptono dan Budiman (2005), ancaman tsunami dapat
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu jarak dekat (local field atau near
fiel tsunami) dan jarak jauh (far field tsunami). Kejadian tsunami di Indonesia
umumnya berupa tsunami jarak dekat dengan lama waktu antara 10 s/d 20
menit setelah kejadian gempa.
Menurut Edward (1992) bila beberapa orang berjalan bergerombol, maka
kecepatan rata-ratanya adalah 1,14 meter/detik (68,4 m/menit). Ahli joging
Dr.George Sheehan, dalam bukunya mendefinisikan bahwa joging 4 adalah
aktifitas berlari dengan kecepatan dibawah 6 mil/jam (9.7 km/jam) atau sama
dengan 1 km membutuhkan waktu 6.2 menit.
Jika kecepatan gelombang tsunami ini dihubungkan dengan kecepatan
berjalan ataupun berlarinya manusia, tentu saja akan dapat ditentukan berapa
lama waktu dan jarak yang dibutuhkan untuk korban bencana tsunami bisa
menyelamatkan diri menuju daerah evakuasi dan tempat/gedung tinggi yang
telah disediakan oleh pemerintah dalam hal mitigasi bencana tsunami.
Dapat disimpulkan bahwa jika rata-rata lama berjalan manusia secara
bergerombol sekitar 1.14 meter/detik (68.4 meter/menit ) dan waktu
datangnya gelombang tsunami setelah terjadinya gempa adalah 20 menit,
maka dalam hitungan waktu 20 menit tersebut manusia dapat berjalan untuk
menyelamatkan diri sejauh 1368 meter atau 1.368 km (1368 meter dalam 20

15
menit). Dan untuk proses evakuasi dengan berlari dalam hitungan waktu 20
menit manusia dapat berlari sejauh 3225.81 meter (3.23 km).

2.2.5 Jalur Evakuasi Tsunami


Jalur evakuasi adalah lintasan yang digunakan sebagai pemindahan
langsung dan cepat dari orang-orang yang akan menjauh dari ancaman atau
kejadian yang dapat membahayakan bahaya (Abrahams, 1994). Ada dua jenis
evakuasi yang dapat dibedakan yaitu evakuasi skala kecil dan evakuasi skala
besar. Contoh dari evakuasi skala kecil yaitu penyelematan yang dilakukan
dari sebuah bangunan yang disebabkan karena ancaman bom atau kebakaran.
Contoh dari evakuasi skala besar yaitu penyelematan dari sebuah daerah
karena banjir, letusan gunung berapi ,tsunami atau badai. Dalam situasi ini
yang melibatkan manusia secara langsung atau pengungsi sebaiknya
didekontaminasi sebelum diangkut keluar dari daerah yang terkontaminasi.
Dalam situasi ini yang melibatkan manusia secara langsung atau
pengungsi sebaiknya didekontaminasi sebelum diangkut keluar dari daerah
yang terkontaminasi. Dalam modul Siap Siaga Bencana Alam (2009:36)
dikemukakan syarat-syarat jalur evakuasi yang layak dan memadai tersebut
adalah:
a. Keamanan Jalur
Jalur evakuasi yang akan digunakan untuk evakuasi haruslah benar-benar
aman dari benda-benda yang berbahaya yang dapat menimpa diri.
b. Jarak Tempuh Jalur
Jarak jalur evakuasi yang akan dipakai untuk evakuasi dari tempat tinggal
semula ketempat yang lebih aman haruslah jarak yang akan
memungkinkan cepat sampai pada tempat yang aman.
c. Kelayakan Jalur
Jalur yang dipilih juga harus layak digunakan pada saat evakuasi sehingga
tidak menghambat proses evakuasi.( Suryono,dkk, 2014)

16
2.3. Citra Satelit
2.3.1 Pengertian Citra Satelit
Citra satelit merupakan citra yang di hasilkan dari pemotretan
menggunakan wahana satelit. Saat ini banyak satelit mengorbit diluar angkasa
dengan fungsinya yang beragam seperti satelit militer, satelit komunikasi,
satelit pengindraan jauh antarplanet, dan satelit pengindraan jauh sumber daya
bumi. Oleh karena itu, perkembangan teknik pengindraan jauh system satelit
lebih maju dibandingkan sietem air-borne ( foto udara) (Andy, 2017).
Kualitas gambar citra penginderaan jauh dapat dilihat berdasarkan resolusi
yang digunakan. Paling utama dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: resolusi
spasial, temporal, dan spektral (Suwargana Nana, 2013)
1. Resolusi spasial
Resolusi spasial merupakan ukuran terkecil obyek di lapangan yang
dapat direkam pada data digital maupun pada citra. Pada data digital resolusi
dilapangan dinyatakan dengan pixel. Semakin kecil ukuran terkecil yang
dapat direkam oleh suatu sistem sensor, berarti sensor itu semakin baik karena
dapat menyajikan data dan informasi yang semakin rinci. Resolusi spasial
yang baik dikatakan resolusi tinggi atau halus, sedang yang kurang baik
berupa resolusi kasar atau rendah. Dalam menentukan range resolusi, ada
tiga tingkat ukuran resolusi yang perlu diketahui, yaitu:
a. Resolusi spasial tinggi, berkisar : 0.6-4 m.
b. Resolusi spasial menengah, berkisar : 4-30 m
c. Resolusi spasial rendah, berkisar : 30 - > 1000 m.
Pixel Size (resolustion) merupakan ukuran citra yang sebenarnya di
lapangan (ground resolution) sedangkan Pixel Output merupakan ukuran
citra yang tertera pada layar monitor (display).

17
2. Resolusi temporal
Resolusi temporal ialah frekuensi perekaman ulang kembali ke daerah
yang sama pada rentang waktu tertentu. Rentang waktu perulangan ke asal
daerah yang sama satuannya dinyakan dalam jam atau hari, contoh resolusi
temporal ini:
a. Resolusi temporal tinggi berkisar antara : <24 jam - 3 hari.
b. Resolusi temporal sedang berkisar antara : 4-16 hari
c. Resolusi temporal rendah berkisar antara:> 16 hari
3. Resolusi spektral
Resolusi spektral dari suatu sensor adalah lebar dan banyaknya saluran
yang dapat diserap oleh sensor. Semakin banyak saluran yang dapat
diserap dan semakin sempit lebar spektral tiap salurannya maka resolusi
spektralnya semakin tinggi. Resolusi spektral ini berkaitan langsung
dengan kemampuan sensor untuk dapat mengidentifikasi obyek.
Resolusi spektral sensor yang spesifik menentukan jumlah band
spektral, di mana sensor dapat memilih radiasi yang direfleksikan
(dipantulkan). Tetapi jumlah band-band bukanlah hanya aspek yang
penting dari resolusi spektral. Bebarapa contoh satelit bumi yang
mempunyai resolusi spektral:
a. Resolusi spektral tinggi berkisar antarara: - 220 band
b. Resolusi spektral sedang berkisar antara: 3 - 15 band
c. Resolusi spektral rendah berkisar antara: - 3 band
2.3.2 Citra Quickbird
Satelit QuickBird merupakan satelit resolusi tinggi dengan resolusi
spasial 61 cm yang mengorbit pada ketinggian 450 km secara sinkron
matahari. Satelit ini memiliki dua sensor utama, yaitu pankromatik dan
multispectral. QuickBird diluncurkan pada bulan oktober 2001 di California,
AS.QuickBird.

18
Fungsi dari satelit QuickBird adalah untuk mendukung aplikasi kekotaan,
pengenalan pola pemukiman, perluasan daerah terbangun, menyajikan variasi
fenomena yang terkait dengan kota dan untuk lahan pertanian. Satelit ini juga
berkaitan dengan umur, kesehatan, dan kerapatan tanaman semusim sehingga
sering digunakan untuk menaksir tingkat produksi secara regional (Andy,
2017).
2.3.3 Interpretasi Citra

Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau citra


dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya
objek tersebut (Estes dan Simonett dalam Sutanto, 1994:7). Secara umum
unsur interpretasi citra terdiri dari 8 bagian, yaitu: rona dan warna; bentuk;
ukuran; tekstur; pola; bayangan; situs; dan asosiasi (Thoha, 2008).
2.4. Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem yang berbasiskan


komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-
informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan
menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan
karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG
merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam
menangani data yang bereferensi geografi : a.) masukan, b.) manajemen data
(penyimpanan dan pemanggilan data), c.) analisis dan manipulasi data, d.)
keluaran (Aronoff, 1998 dalam Prahasta, 2002).

2.4.1 Komponen SIG

SIG adalah sistem berbasis komputer yang terdiri perangkat keras


komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan
sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan,
memperbarui, menampilkan, dan menganalisis informasi yang

19
bereferensi geografis (Jaya, 2002). SIG terdiri atas empat sub sistem
menurut (Aronoff, 1989) , yaitu:

1. Data masukan (Input)

Berfungsi untuk mengumpulkan dan menyiapkan data spasial dan data


atribut serta mengkonversi atau mentransformasi format data aslinya ke
dalam format data SIG.

2. Data keluaran (Output)

Berfungsi untuk menampilkan atau menyajikan keluaran seluruh basis


data baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy, seperti : grafik,
tabel, peta dan lain-lain.

3. Data Management

Berfungsi mengorganisasikan data spasial dan data atribut dalam basis


data sehingga mudah dipanggil, diperbaharui, dan diedit. Pada
dasarnya dalam SIG terdapat lima proses yang akan dilakukan yaitu
input data, manipulasi data, manajemen data, query, dan analisis
visualisasi.

4. Data Analisis dan Manipulasi

Berfungsi untuk menentukan informasi informasi yang dapat


dihasilkan oleh SIG serta melakukan manipulasi dan pemodelan data
untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

20
2.9.1. Analisis Spasial

SIG merupakan sistem komputer yang sangat powerfull baik dalam


menangani masalah basis data spasial (peta digital) maupun basis data non
spasial (atribut). Sistem ini merelasikan lokasi geografi (data spasial) dengan
informasi- informasi deskripsinya (non-spasial) sehingga para penggunannya
dapat membuat peta (analog dan digital) dan menganalisa informasinya
dengan berbagai cara (Prahasta, 2002).

Kemampuan SIG dapat juga dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang


dapat dilakukannya (Prahasta, 2002) :

1. Klasifikasi

Fungsi ini mengklasifikasikan atau mengklasifikasikan kembali suatu


data spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan
menggunakan kriteria tertentu.

21
22

2. Overlay

Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial
yang menjadi masukannya. Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil
interaksi atau gabungan dari beberapa data peta yang menggambarkan luasan
atau poligon yang terbentuk dari irisan dari beberapa peta. Selain itu overlay
juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta yang saling beririsan.

Analisis spasial yang ada didalam SIG memungkinkan adanya pemodelan


numerik tsunami yaitu pemodelan genangan tsunami berdasarkan nilai koefisein
kekerasan permukaan (Berryman, 2006). Format data yang digunakan berupa data
raster, karena data ini sesuai untuk membuat model spasial dan analisis aliran atau
pola data yang merepresentasikan permukaan bumi dan pemodelan inundasi yang
terjadi pada daerah penelitian. Spasial analisis menunjukkan perspektif lokasi
dalam masing-masing lokasi sel dan nilai diasosiasikan dengan identitas sel.
Fungsi dengan sel raster dapat dilakukan pemodelan, dengan perlakukan pada
satu sel (fungsi lokal), sel dan tetangganya, sel dan zonanya (fungsi zonal), dan
perlakuan sel secara menyeluruh pada satu raster (fungsi global). Fungsi yang
digunakan untuk pemodelan genangan (inundasi) tsunami adalah cost distance
(Berryman, 2006). Cost distance adalah prasyarat untuk menentukan bagian harga
yang paling kecil dan koridornya. Fungsi cost distance menyediakan pemodelan
untuk membuat harga permukaan dan menghitung koridor optimum di permukaan
(ESRI 2010)
23

Gambar 2.4 Ilustrasi cost distance, ESRI (2010)

2.5.Bangunan Penyelamatan (Shelter)


Bangunan penyelamatan untuk evakuasi menurut Departemen Pekerjaan
Umum (2010) mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. Bangunan umum seperti halnya mesjid, sekolah, pasar atau perkantoran pemerintah
yang tidak memiliki tingkat kerahasiaan tinggi seperti halnya bank.
b. Terletak tidak lebih dari 1 km dari konsentrasi penduduk yang harus diselamatkan.
c. Terletak pada daerah diperkirakan hanya akan rusak ringan, bila berada di daerah
yang diperkirakan akan rusak berat, maka bangunan t harus diperkuat konstruksinya.
d. Terletak pada jaringan jalan yang aksesibel/mudah dicapai dari semua arah dengan
berlari/berjalan kaki.
e. Diperkirakan setiap orang akan membutuhkan , sehingga daya tampung bangunan
penyelamatan dapat dihitung sebagai luas lantai dibagi 2.
f. untuk bangunan yang lantainya masih satu lantai di rekomendasikan menjadi 2atau
3
g. merupah atap bangunan mesjid yang tadinya berupa kubah dan mengerucut menjadi
lantai beton yang dapat dijadikan tempat untuk orang berdiri.
24

h. Membangun tangga untuk orang naik kelantai beton diatap bangunan secara
bersamaan.
Penentuan ruang bangunan yang dapat digunakan sebagai lokasi evakuasi
vertikal (Shelter) untuk kondisi siang hari dengan asumsi 100 % ruang bangunan
dihuni oleh pemakai (pegawai, pelajar dsb) namun masih terdapat ruang yang dapat
digunakan untuk evakuasi. Untuk perkantoran 23.6 % dari luas bangunan dapat
digunakan untuk evakuasi, sedangkan untuk sekolah 30 % dari luas bangunan, untuk
arena pertokoan atau pasar swalayan 23 % dari luas bangunan, hotel 26.3 % dari luas
bangunan, sedangkan untuk bank dikatagorikan sebagai perkantoran. Sedangkan
pada waktu malam hari diasumsikan seluruh bangunan dalam keadaan tidak
terpakai, kecuali yang peralatan lainnya. Kriteria lainnya selain ruang yang tersedia
dalam menentukan wilayah cakupan bangunan evakuasi adalah waktu tempuh
disyaratkan < 10 menit. Jika mengadopsi pada ketentuan Sugimoto (2003) tentang
kecepatan pejalan kaki yang berkisar antara 1.07 m/sec, maka untuk waktu tempuh <
10 menit jarak yang harus dicapai adalah 582 m – 642 m. Namun demikian dalam
kajian ini untuk memberikan keleluasaan bagi pengungsi maka jarak yang digunakan
adalah 500 m , sehingga konsekuensinya luas cakupann bangunan akan lebih kecil
sehingga waktu pencapaian dapat kurang dari 10 menit.Kapasitas bangunan shelter
yang terbatas serta pendeknya waktu yang tersedia saat evakuasi, apabila tanpa
dilengkapi dengan informasi aksesibilitas akan mengakibatkan terhambatnya proses
evakuasi. Untuk itu informasi berupa peta aksesibilitas dapat memudahkan
masyarakat yang melakukan evakuasi.

2.6.Network Analyst
Jaringan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari elemen-elemen yang saling
terkoneksi, sebagaimana jalan yang saling terhubung pada persimpangan jalan, yang
25

merepresentasikan rute-rute yang mungkin dari suatu lokasi ke lokasi yang lain (
Muhajir Ahmad,dkk, 2013):
Layer Network Analyst dapat dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu:
1. Route
Ekstensi ini digunakan untuk menemukan rute terbaik untuk bergerak dari suatu
lokasi ke lokasi lain. Rute terbaik dapat memiliki beragam arti. Rute terbaik dapat
berarti terdekat, tercepat atau terindah tergantung pada impedansi yang dipakai. Bila
impedansi yang dipakai adalah waktu, maka rute terbaik adalah rute yang tercepat.
2. Closest Facility
Closest facility merupakan ekstensi yang digunakan untuk menemukan fasilitas
mana yang paling dekat, seperti rumah sakit yang terdekat dari sekian banyak rumah
sakit, sekolah mana yang terdekat dengan rumah dan lain-lain. Setelah menemukan
fasilitas terdekat, maka ekstensi ini juga dapat menampilkan rute yang terbaik untuk
menuju fasilitas tersebut.
3. Service Areas
Service areas digunakan untuk menemukan area yang dapat diakses dari suatu titik
yang ada pada suatu jaringan. Sebagai contoh, service area 10 menit dari suatu
fasilitas akan menunjukkan seluruh jalan yang dapat mencapai fasilitas tersebut
dalam waktu 10 menit.
4. OD cost matrix
OD (Origin-Destination) cost matrix adalah suatu tabel yang berisi impedansi
jaringan dari berbagai titik asal ke berbagai titik tujuan.

5. Vehicle routing problem


Tool ini berfungsi untuk menyediakan pelayanan tingkat tinggi terhadap pelanggan
dengan memperhatikan waktu operasi secara keseluruhan dan biaya yang harus
dikeluarkan untuk setiap rute sekecil mungkin.
26

2.7. Peta
1.7.1 Pengertian Peta
Definisi peta menurut Erwin Raisz (1948), adalah ”Gambaran konvensional
daripada permukaan bumi seperti kenampakannya kalau dilihat tegak lurus dari atas
dan diberi tulisan serta keterangan bagi kepentingan pengenalan”. Sedangan definisi
peta menurut I.C.A (International Cartographic Assosiation) ialah: ”Peta adalah
gambaran konvensional dan selektif yang diperkecil, biasanya dibuat pada bidang
datar, dapat meliputi perujudan-perujudan features) dari pada permukaan bumi atau
benda angkasa, letak maupun data yang ada kaitannya dengan permukaan bumi atau
benda angkasa”. Kemudian oleh Board (1990) peta diberi pengertian sebagai
”penyajian atau abstraksi kenyataan geografik. Suatu alat untuk menyajikan
informasi geografi dengan cara visual, digital atau nyata”.
Dari berbagai definisi yang ada maka pengertian peta dapat disederhanakan
sebagai berikut: ”Peta adalah gambaran dari permukaan bumi dengan ukuran yang
lebih kecil biasanya dengan skala tertentu dan digambarkan di atas bidang datar
dalam bentuk simbol-simbol yang sifatnya selektif serta melalui suatu sistem
proyeksi tertentu”. Untuk menggambar peta, diperlukan data yang diperoleh dari
survei langsung di lapangan maupun tidak langsung. Data tersebut dikumpulkan,
dikelompokkan, diproses dan ditampilkan dalam bentuk simbol-simbol. Supaya peta
informatif dan mudah dibaca oleh orang lain, elemenelemen yang membentuk peta
harus disusun sedemikian rupa menurut aturan kartografi.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial pada
pasal 1 butir 4 disebutkan bahwa: Informasi Geospasial adalah data geospasial yang
sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan
kebijakan, pengambilan keputusan dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan
dengan keruangan. Sedangkan yang dimaksud dengan data geospasial adalah data
yang mengidentifikasi lokasi geografis dan/atau karakteristik obyek alam dan/atau
buatan manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi. Dengan
27

demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan Informasi Geospasial dalam


pengertian ini adalah identik dengan pengertian peta.
1.7.2 Fungsi Peta
Suatu peta dapat dianggap sebagai suatu sistem informasi geospasial yang
memberi jawaban atas banyak pertanyaan mengenai daerah yang digambarkan: jarak
antara titik-titik, posisi titik-titik yang menyangkut satu sama lain, ukuran suatu
daerah dan sifat pola persebarannya( Indradi Ig,dkk, 2014).
Fungsi peta yang paling utama barangkali untuk orientasi dan navigasi.
Dalam setiap kasus, kebanyakan peta yang dijumpai masyarakat umum, diproduksi
untuk membantu dalam hal orientasi dan navigasi. Orang menggunakan peta
orientasi (peta jalan, peta topografi,chart) untuk dapat mencapai dari suatu tempat ke
tempat lain dalam suatu rute yang telah ditentukan sebelumnya, dan ingin dapat
mengecek peta apakah mereka masih pada jalan yang benar selama dalam perjalanan
mereka.( Indradi Ig,dkk, 2014).
Peta untuk penyimpanan atau tujuan pemantauan umumnya peta berskala
besar. Sedangkan di bidang pendidikan, peta berfungsi sebagai alat peraga, media
pembelajaran, catatan visual permanen, alat komunikasi, alat analisis. Di bidang
pertanahan peta berfungsi sebagai sarana penyimpan data, menunjukkan posisi atau
letak dan memperlihatkan bentuk dan ukuran dari bidang tanah, misalnya
menunjukkan situasi yang sah sebagaimana adanya, misal suatu hak milik tanah.(
Indradi Ig,dkk, 2014)
Peta tidak hanya menyajikan apa yang dapat dilihat dari permukaan bumi atau dari
suatu ketinggian tertentu, tetapi juga menyajikan apa yang diketahui tentang bumi.
Dari apa yang diuraikan tersebut, dapat dikemukakan di sini bahwa ada 4 (empat)
fungsi peta, yaitu ( Indradi Ig,dkk, 2014):
a. Menunjukkan posisi atau lokasi relative
b. Memperlihatkan ukuran
c. Memperlihatkan bentuk, sehingga dimensinya dapat terlihat dalam peta
28

d. Mengumpulkan dan menyeleksi data dari suatu daerah/ruang dan menyajikannya di


atas peta.
Beberapa syarat agar peta merupakan sebuah peta yang baik sesuai dengan
hakekat peta serta dapat berfungsi dengan baik, maka persyaratan yang diharapkan
adalah peta itu haruslah:
a. Tidak boleh membingungkan.
b. Mudah dimengerti atau ditangkap maknanya oleh si pengguna peta.
c. Dapat memberikan gambaran yang sebenarnya. Ini berarti peta itu harus cukup teliti
,sesuai dengan tujuannya.
d. Sedap dipandang sehingga berarti peta itu harus rapi dan bersih.
Berbagai peta dibuat dengan maksud untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Adapun mengenai tujuan serta kegunaan dari pembuatan peta antara lain untuk:
a. Komunikasi informasi keruangan (spasial): memberikan petunjuk letak tempat
b. Menyimpan informasi: peta bidang tanah, titik dasar teknis
c. Membantu suatu pekerjaan : pendaftaran tanah, perencanaan pembangunan wilayah
d. Media pembelajaran dalam bidang pendidikan
e. Membantu dalam suatu desain: desain jalan, desain tata ruang
f. Analisis data spasial: perhitungan volume, perhitungan luas bidang/ wilayah.
g. Mengetahui potensi kekayaan alam, seperti berbagai macam tambang.
h. Mengetahui keadaan sosio-grafis, fisiografis, dan klimatologis dalam konteks
keruangan dan kewilayahan, serta
i. Mengikuti perkembangan kebutuhan dan perkembangan administrasi, baik dalam
keperluan sipil,militer maupun politik.
1.7.3 Jenis Peta Dan Macam Peta
a. Jenis Peta
Perlu disadari bahwa nama sebuah peta seharusnya didasarkan pada ide yang
disajikan. Apabila isi peta tersebut merupakan gambaran topografi, maka peta itu
dinamakan peta topografi, kalau isi peta itu gambaran tentang tanah, maka nama peta
itu adalah peta tanah dan demikian seterusnya. Peta juga dapat dibedakan
29

berdasarkan bentuk tampilannya. Peta dapat ditampilkan dalam bentuk foto, analog
dan digital.( Indradi Ig,dkk, 2014).
1. Peta Analog dibedakan atas peta planimetri dan peta stereometri.
a) Peta planimetri adalah peta yang dibuat dalam bentuk datar (dua dimensi) dapat
disebut juga sebagai peta garis. Peta ini dibuat di suatu bidang datar, dapat
menggunakan kertas ataupun bahan lain. Perbedaan kenampakan bentuk-bentuk
permukaan bumi atau daratan dan perairan digambarkan dengan perbedaan warna
atau simbol lain.
b) Peta stereometri adalah peta yang dibuat dalam bentuk timbul (tiga dimensi). Peta ini
dibuat berdasarkan bentuk permukaan bumi yang sebenarnya. Pada peta ini dapat
dilihat kenampakan permukaan bumi dengan relief yang jelas, misalnya gunung
yang tampak menjulang, dataran dan lembah posisinya lebih berada di bawah. Untuk
mengamati peta ini dapat dilihat dari arah samping maupun dari atas.
c) Peta Foto adalah peta yang dihasilkan dari mosaik foto udara yang dilengkapi
dengan garis kontur, nama dan keterangan. Obyek peta digambarkan sesuai dengan
ujud sebenarnya. Peta foto terektifikasi adalah peta foto yang sudah dilakukan
pembetulan dan disesuaikan dengan proyeksi sentral, sedang yang melalui proyeksi
ortogonal disebut orthofoto.
d) Peta Digital, adalah peta yang merupakan konversi dalam bentuk digital (angka)
yang tersimpan dalam komputer. Peta digital mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan peta analog, antara lain adalah: Peta ini dibuat dengan
menggunakan komputer sehingga proses pembuatannya lebih cepat dan hasilnya
lebih bagus. Untuk pembaruan (revisi) peta pun dapat dilakukan lebih cepat.
Sedangkan untuk penyimpanannya, tidak memerlukan ruang sebanyak yang
diperlukan untuk menyimpan peta analog. Peta digital juga dapat ditampilkan dalam
bentuk planimetri maupun stereometri.
Peta digital ini datanya dapat diperoleh dari beberapa cara, antara lain
adalah: dari citra satelit, dari dijitasi foto udara dan atau peta garis, serta dari hasil
pengukuran dengan alat ukur Total Station (TS). Penggambaran peta digital dapat
30

dilakukan dengan menggunakan program-program Arc Info, Map Info, Auto Cad ,
Arc View dan lain sebagainya.
b. Macam Peta
Peta itu dapat diklasifikasikan dengan berbagai macam aspek. Peta dapat
dikelompokkan berdasarkan: isi dan skalanya ( Indradi Ig,dkk, 2014).
1. Macam Peta menurut Isi Peta
Menurut isi peta dapat dikelompokkan menjadi peta umum, khusus dan chart.
a) Peta umum isinya adalah gambaran umum daripada permukaan bumi seperti
gunung-gunung, sungai-sungai, permukiman-permukiman dan lainlain. Jenis peta ini
ada yang berskala besar (Contoh: peta topografi, yaitu peta berskala besar, dan ada
yang berskala kecil (misalnya Atlas)
b) Peta khusus adalah peta yang isinya gambaran yang bersifat khusus seperti
penyebaran penduduk yang memberikan gambaran umum tentang penduduk, curah
hujan, penggunaan tanah. Jenis peta ini dapat dikelompokkan lagi berdasarkan tema-
nya, sehingga dikenal dengan nama peta tematik.
c) Peta chart sebenarnya merupakan peta khusus pula dan dipergunakan hanya untuk
menamakan peta navigasi laut, penerbangan dan perjalanan. Apa yang digambarkan
dalam peta tersebut, kecuali rute perjalanan juga faktor-faktor yang sangat
berpengaruh atau sangat perlu untuk diperhatikan bagi kepentingan keselamatan
perjalanan tersebut. Contoh: untuk chart penerbangan sebaiknya digambarkan up
and down daerah yang dilewati. Ketinggian bukit-bukit sangat penting bagi seorang
penerbang untuk keselamatan pesawat terbang.
d) Macam Peta menurut Skala Peta
Berdasarkan besarnya skala angka yang digunakan, peta dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut:
1) Peta kadaster/peta teknik, berskala 1 : 100 – 1 : 10.000
2) Peta skala besar adalah peta berskala < 1 : 5.000 – 1 : 250.000
3) Peta skala sedang adalah peta berskala < 1:250.000–1 : 500.000
4) Peta skala kecil adalah peta berskala <1:500.000– 1 : 1.000.000
31

5) Peta skala tinjau adalah peta berskala < 1 : 1.000.000


Perlu disadari bahwa bahwa tidak ada kriteria angka absolut yang
membatasi antar macam peta tersebut( Indradi Ig,dkk, 2014).

Anda mungkin juga menyukai