Anda di halaman 1dari 3

12 Language and Literature SL

Latihan IOC

Pertanyaan panduan:

1. Apa yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui teks ini?

2. Bagaimana sudut pandang pengarang mempengaruhi pemahaman pembaca akan


teks ini?

[01] Ini tiga hari menjelang lebaran. Jalan raya itu padat luar biasa oleh
berbagai kendaraan terutama yang datang dari barat. Tidak mudah bagi Karsim
buat menyeberang. Apalagi matanya mulai baur. Sudah tiga kali dia mencoba
namun selalu gagal. Setiap kali mencoba melangkah dia harus surut lagi dengan
tergesa. Klakson-

[05] klakson mobil dan motor ramai-ramai membentaknya. Wajah-wajah


pengendara adalah wajah para raja jalanan. Wajah-wajah yang mengusung
semua lambang kekotaan, keakuan yang kental, manja dan kemaruk luar biasa.
Pamer. Ah, tetapi Karsim tahu, pamer diri itu penting. Karsim pernah
mendengar itu diucapkan oleh dalang dalam sebuah pentas wayang.

[10] Maka Karsim mengalah, menunggu barangkali ada peluang menyeberang.


Kesadarannya sebagai orang kampung yang miskin adalah nrimo. “Mereka yang
sedang mengusai jalan raya tentulah manusia sesungguhnya, sedangkan aku
hanyalah Karsim yang hanya punya secuil ladang di pinggir kali, itu pun hanya
di musim kemarau.”

[15] Karsim tahu mereka yang sedang berkuasa atas jalan raya itu sedang
bergegas karena mau berlebaran di tempat asal. Sungkem kepada orangtua,
ziarah, kangen-kangenan, dan semua itu penting. Semua itu merupakan
kebutuhan. Juga pamer tidak kalah penting.
Di bawah matahari yang mulai terik Karsim setia menunggu. Untung ada

[20] caping bambu yang menahan sengatan sinar sehingga kepalanya tidak
terpanggang. Namun kepala Karsim tetap terasa pusing karena deru ribuan
kendaraan yang melintas cepat di hadapannya dan tak putus-putus entah
sampai kapan.

Atau pusing karena Karsim sadar dirinya harus segera menyeberang demi
tanaman padinya di tepi sungai. Bulir-bulir padinya yang sudah berisi pasti
menjadi

[25] sasaran ratusan burung emprit. Bila dibiarkan burung-burung itu akan
menghabiskan padi di kebun yang hanya beberapa depa luasnya itu.

Karsim merasa seperti kuda yang tersentak oleh bunyi cemeti. Rongga
matanya penuh oleh ratusan burung emprit yang sedang menyisil gabah padinya
dengan rakus dan cepat. Terbayang anak-istrinya yang akan tetap makan
singkong

[30] karena panen padi yang sangat dinantikan ternyata gagal karena habis dimakan
burung.

Ada perintah menyeberang menghunjam langsung ke dasar hati Karsim.


Perintah itu datang dari sepiring nasi yang harus diselamatkan dari serbuan
burung-burung. “Bapa langit, biyung bumi, aku menyeberang!” Tekad Karsim.

[35] Karsim melangkah dan dalam setengah detik Karsim tergilas. Setengah
detik berikut dia masih bisa mendengar suara orang-orang menjerit dan
benturan mobil-mobil. Kemudian semuanya berubah: ringan dan mengambang.
Lengang. Hening. Karsim mengapung di udara. Dia melihat tubuhnya di angkat
dari tengah puluhan kendaraan yang terpaksa berhenti lintang-pukang. Jerit
memilukan, suara-suara keluh kesah, marah bahkan kutukan terdengar di
tengah jalan raya, tiga hari menjelang lebaran.

“Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan” – Ahmad Tohari

Anda mungkin juga menyukai