A. Latar Belakang
Keselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja di rumahsakit dan fasilitas medis
lainnya perlu di perhatikan. Demikian pula penanganan faktor potensi berbahaya yang
ada di rumah sakit serta metode pengZse45iembangan program keselamatan dan
kesehatan kerja disana perlu dilaksanakan, seperti misalnya perlindungan baik terhadap
penyakit infeksi maupun non-infeksi, penanganan limbah medis, penggunaan alat
pelindung diri dan lain sebagainya. Selain terhadap pekerja di fasilitas medis/klinik
maupun rumah sakit, Keselamatan dan Kesehatan Kerja di rumah sakit juga “concern”
keselamatan dan hak-hak pasien, yang masuk kedalam program patient safety.
Merujuk kepada peraturan pemerintah berkenaan dengan keselamatan dan
kesehatan kerja di tempat kerja, pedoman ini juga mengambil dari beberapa sumber “best
practices” yang berlaku secara Internasional, seperti National Institute for Occupational
Safety and Health (NIOSH), the Centers for Disease Control (CDC), the Occupational
Safety and Health Administration (OSHA), the US Environmental Protection Agency
(EPA), dan lainnya. Data tahun 1988, 4% pekerja di USA adalah petugas medis. Dari
laporan yang dibuat oleh The National Safety Council (NSC), 41% petugas medis
mengalami absenteism yang diakibatkan oleh penyakit akibat kerja dan injury, dan angka
ini jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor industri lainnya. Survei yangdilakukan
terhadap 165 laboratorium klinis di Minnesota memperlihatkan bahwa injury yang
terbanyak adalah needle sticks injury (63%) diikuti oleh kejadian lain seperti luka dan
tergores (21%). Selain itu pekerja di rumah sakit sering mengalami stres, yang
merupakan faktor predisposisi untuk mendapatkan kecelakaan. Ketegangan otot dan
keseleo merupakan representasi dari low back inju’
ry yang banyak didapatkan dikalangan petugas rumah sakit.systems.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya
untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan,
sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi
pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara
menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat
luas.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan
dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari
angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa
pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor
penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta
keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko
kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam
penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah
mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan
kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan
lingkungan disekitarnya.
Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahaya-bahaya
lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan,
kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber
cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan
psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas mengancam jiwa
dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun para pengunjung yang ada
di lingkungan RS.
1. Bahaya kebakaran dan ledakan dari zat/bahan yang mudah terbakar atau meledak
(obat– obatan).
3. Bahaya radiasi .
4. Luka bakar .
6. Luka sayat akibat alat gelas yang pecah dan benda tajam .
7. Bahaya infeksi dari kuman, virus atau parasit. Pada umumnya bahaya tersebut dapat
dihindari dengan usaha-usaha pengamanan, antara lain dengan penjelasan, peraturan
serta penerapan disiplin kerja. Pada kesempatan ini akan dikemukakan manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit / instansi kesehatan.
Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 2008 menunjukkan bahwa terjadinya
kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi
adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, dan
penyakit infeksi dan lain-lain. Sejumlah kasus dilaporkan mendapatkan kompensasi pada
pekerja RS, yaitu sprains, strains : 52%;contussion, crushing, bruising : 11%; cuts,
laceration, punctures: 10.8%; fractures: 5.6%; multiple injuries: 2.1%; thermal burns:
2%; scratches, abrasions: 1.9%; infections: 1.3%; dermatitis: 1.2%; dan lain-lain: 12.4%
(US Department of Laboratorium, Bureau of Laboratorium Statistics, 1983).
Laporan lainnya yakni di Israel, angka prevalensi cedera punggung tertinggi pada
perawat (16.8%) dibandingkan pekerja sektor industri lain. Di Australia, diantara 813
perawat, 87% pernah low back pain, prevalensi 42% dan di AS, insiden cedera
musculoskeletal 4.62/100 perawat per tahun. Cedera punggung menghabiskan biaya
kompensasi terbesar, yaitu lebih dari 1 milliar $ per tahun. Khusus di Indonesia, data
penelitian sehubungan dengan bahaya-bahaya di RS belum tergambar dengan jelas,
namun diyakini bahwa banyak keluhan-keluhan dari para petugas di RS, sehubungan
dengan bahaya-bahaya yang ada di RS.
Selain itu, tercatat bahwa terdapat beberapa kasus penyakit kronis yang diderita petugas
RS, yakni hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita), penyakit ginjal dan saluran
kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57% wanita) serta nyeri tulang belakang
dan pergeseran diskus intervertebrae.
Ditambahkan juga bahwa terdapat beberapa kasus penyakit akut yang diderita petugas
RS lebih besar 1.5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan parasit,
saluran pernafasan, saluran cerna dan keluhan lain, seperti sakit telinga, sakit kepala,
gangguan saluran kemih, masalah kelahiran anak, gangguan pada saat kehamilan,
penyakit kulit dan sistem otot dan tulang rangka.
Dari berbagai potensi bahaya tersebut, maka perlu upaya untuk mengendalikan,
meminimalisasi dan bila mungkin meniadakannya, oleh karena itu K3 RS perlu dikelola
dengan baik. Agar penyelenggaraan K3 RS lebih efektif, efisien dan terpadu, diperlukan
sebuah pedoman manajemen K3 di RS, baik bagi pengelola maupun karyawan RS.
B. Tujuan
1. Melakukan identifikasi risiko seperti faktor fisik, kimiawi serta biologis, bekerja
di rumah sakit serta fasilitas medis lainnya.
2. Mengembangkan upaya kontrol terhadap faktor risiko tersebut.
3. Mengembangkan program pencegahan seperti menetapkan alat pelindung diri
yang diperlukan.
4. Mengembangkan program pemeriksaan kesehatan yang sesuai dengan jenis
pekerjaan (“job-related”)
5. Memahami program patient safety.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dimembagi kegiatan atau fungsi manajemen tesebut
menjadi :
1. Planning /(perencanaan)
2. Organizing/ (organisasi)
3. Actuating /(pelaksanaan)
4. Controlling /(pengawasan)
1. Planning/ (Perencanaan)
2. Organizing/ (Organisasi)
4. Controlling/ (Pengawasan)
a. Adanya rencana
b. Adanya instruksi-instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.
Rumahsakit tidak terlepas dari peraturan-peraturan ini karena teknologi dan sarana
kesehatan, kondisi fisik rumah sakit dapat membahayakan pasien, keluarga, serta
pekerja. Jika tidak dikelola, rumahsakit tidak terhindar dari kebakaran, bencana, atau
dampak buruk pada kesehatan.
Ringkasan studi tentang penerapan K3RS di bawah ini bisa dijadikan kasus bagaimana
lemahnya komitmen rumahsakit dalam hal ini.
K3RS di Indonesia telah memiliki 22 peraturan. Di antara seluruh peraturan itu, paling
banyak adalah peraturan menteri (9 buah) dan belum ada sama sekali peraturan daerah.
Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat sendiri tidak memiliki semua dokumen
peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Dinas kesehatan bahkan tidak
memiliki satu staf yang mengurusi bidang ini. Tidak ada tim khusus K3RS. Penjabaran
dari regulasi tersebut oleh pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah belum ada
sama sekali. Padahal mengacu pada PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan propinsi sebagai otonom maka pemerintah daerah mempunyai legalitas
dalam mengatur regulasi K3RS.
Kenyataan ini barang kali bisa mencerminkan keadaan sebelum desentralisasi. Daerah
melaksanakan apa yang menjadi keputusan pusat dan barang kali karena keputusan pusat
itu pula, regulasi K3RS ini lemah.
Penelitian Bambang mengukur sembilan aspek yang bisa dijadikan tolok ukur bahwa
rumahsakit itu memberikan komitmen pelaksanaan K3RS. Seluruh rumahsakit
menyediakan sejumlah dana untuk keperluan K3RS. Seperti terlihat dalam tabel di
bawah ini, 6 dari 7 rumahsakit belum memiliki sistem keamanan dan tenaga khusus
bidang K3RS. Lima rumahsakit belum memiliki sarana IPAL dan sistem pengawasan
yang memadai. Selain itu, observasi di lapangan, rumahsakit-rumahsakit ini tidak
memiliki sistem pelaporan tentang kecelakaan maupun penyakit akibat kerja.
1 Dana P P P P P P P 7 100.0
2 Kebijakan P P P . . . . 3 42.9
3 Pengawasan P P . . . . . 2 28.6
4 Penghargaan dan P . . . . . .
Sanksi 1 14.3
5 Organisasi P P P . P . . 4 57.1
6 Ketenagaan P . . . . . . 1 14.3
9 Membangun sistim P . . . . . .
keamanan 1 14.3
. JUMLAH 9 6 4 2 3 2 2 . .
Tekait dengan peran regulasi dinas kesehatan, standar K3RS bisa dijadikan sebagai
persyaratan pendirian atau operasi rumahsakit.
Pelaksanaan K3RS pada masa yang lalu ditekankan dengan pola pembinaan dinas
kesehatan.
Kebijakan kita selama ini dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja adalah berupa
sosialisasi program, pelatihan tentang K3RS, menyediakan tenaga khusus, dan membuat
pedoman pelaksanaan.
Cara-cara pembinaan seperti itu memperlihatkan hasil yang minimal. Satu rumahsakit
dalam penelitian ini, kebetulan swasta, bisa menjadi contoh karena mereka telah secara
sadar menerapkan standar lebih internasional. Rumahsakit swasta yang berorientasi
internasional menganggap K3RS adalah strategis bagi pelanggan yang sudah makin
kritis. Sifat kesukarelaan seperti ini bagi rumahsakit pemerintah dan swasta lokal bisa
berakibat buruk. Pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan mau tidak mau perlu
membuat tekanan dari luar agar kesehatan dan keselamatan kerja betul-betul terjaga.
Pemerintah daerah hendaknya lebih peduli dengan K3RS, dengan membuat peraturan
daerah khusus yang diberlakukan di daerahnya. Dinas kesehatan bisa mengawasi
pelaksanaan K3RS, diikuti dengan tindakan sanksi bagi yang tidak menerapkannya.
Lebih tegas, perlindungan publik dan pekerja seperti ini harus menjadi persyaratan
mutlak dalam pemberian izin pendirian suatu rumahsakit.