Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN K3

A. Latar Belakang
Keselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja di rumahsakit dan fasilitas medis
lainnya perlu di perhatikan. Demikian pula penanganan faktor potensi berbahaya yang
ada di rumah sakit serta metode pengZse45iembangan program keselamatan dan
kesehatan kerja disana perlu dilaksanakan, seperti misalnya perlindungan baik terhadap
penyakit infeksi maupun non-infeksi, penanganan limbah medis, penggunaan alat
pelindung diri dan lain sebagainya. Selain terhadap pekerja di fasilitas medis/klinik
maupun rumah sakit, Keselamatan dan Kesehatan Kerja di rumah sakit juga “concern”
keselamatan dan hak-hak pasien, yang masuk kedalam program patient safety.
Merujuk kepada peraturan pemerintah berkenaan dengan keselamatan dan
kesehatan kerja di tempat kerja, pedoman ini juga mengambil dari beberapa sumber “best
practices” yang berlaku secara Internasional, seperti National Institute for Occupational
Safety and Health (NIOSH), the Centers for Disease Control (CDC), the Occupational
Safety and Health Administration (OSHA), the US Environmental Protection Agency
(EPA), dan lainnya. Data tahun 1988, 4% pekerja di USA adalah petugas medis. Dari
laporan yang dibuat oleh The National Safety Council (NSC), 41% petugas medis
mengalami absenteism yang diakibatkan oleh penyakit akibat kerja dan injury, dan angka
ini jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor industri lainnya. Survei yangdilakukan
terhadap 165 laboratorium klinis di Minnesota memperlihatkan bahwa injury yang
terbanyak adalah needle sticks injury (63%) diikuti oleh kejadian lain seperti luka dan
tergores (21%). Selain itu pekerja di rumah sakit sering mengalami stres, yang
merupakan faktor predisposisi untuk mendapatkan kecelakaan. Ketegangan otot dan
keseleo merupakan representasi dari low back inju’
ry yang banyak didapatkan dikalangan petugas rumah sakit.systems.

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya
untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan,
sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.

Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi
pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara
menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat
luas.

Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan
dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari
angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa
pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor
penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta
keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko
kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam
penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah
mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan
kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan
lingkungan disekitarnya.

Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya. Dalam


bekerja Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang sangat penting
untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam
bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu komponen
yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah tenaga kesehatan. Tenaga
kesehatan mempunyai kemampuan untuk menangani korban dalam kecelakaan kerja dan
dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya
keselamatan dan kesehatan kerja.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan


bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua
tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah
terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Jika
memperhatikan isi dari pasal di atas maka jelaslah bahwa Rumah Sakit (RS) termasuk ke
dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan
dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi
juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah seharusnya pihak
pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS.

Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahaya-bahaya
lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan,
kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber
cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan
psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas mengancam jiwa
dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun para pengunjung yang ada
di lingkungan RS.

Dalam pekerjaan sehari-hari petugas keshatan selalu dihadapkan pada bahaya-bahaya


tertentu, misalnya bahaya infeksius, reagensia yang toksik , peralatan listrik maupun
peralatan kesehatan. Secara garis besar bahaya yang dihadapi dalam rumah sakit atau
instansi kesehatan dapat digolongkan dalam :

1. Bahaya kebakaran dan ledakan dari zat/bahan yang mudah terbakar atau meledak
(obat– obatan).

2. Bahan beracun, korosif dan kaustik .

3. Bahaya radiasi .
4. Luka bakar .

5. Syok akibat aliran listrik .

6. Luka sayat akibat alat gelas yang pecah dan benda tajam .

7. Bahaya infeksi dari kuman, virus atau parasit. Pada umumnya bahaya tersebut dapat
dihindari dengan usaha-usaha pengamanan, antara lain dengan penjelasan, peraturan
serta penerapan disiplin kerja. Pada kesempatan ini akan dikemukakan manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit / instansi kesehatan.

Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 2008 menunjukkan bahwa terjadinya
kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi
adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, dan
penyakit infeksi dan lain-lain. Sejumlah kasus dilaporkan mendapatkan kompensasi pada
pekerja RS, yaitu sprains, strains : 52%;contussion, crushing, bruising : 11%; cuts,
laceration, punctures: 10.8%; fractures: 5.6%; multiple injuries: 2.1%; thermal burns:
2%; scratches, abrasions: 1.9%; infections: 1.3%; dermatitis: 1.2%; dan lain-lain: 12.4%
(US Department of Laboratorium, Bureau of Laboratorium Statistics, 1983).

Laporan lainnya yakni di Israel, angka prevalensi cedera punggung tertinggi pada
perawat (16.8%) dibandingkan pekerja sektor industri lain. Di Australia, diantara 813
perawat, 87% pernah low back pain, prevalensi 42% dan di AS, insiden cedera
musculoskeletal 4.62/100 perawat per tahun. Cedera punggung menghabiskan biaya
kompensasi terbesar, yaitu lebih dari 1 milliar $ per tahun. Khusus di Indonesia, data
penelitian sehubungan dengan bahaya-bahaya di RS belum tergambar dengan jelas,
namun diyakini bahwa banyak keluhan-keluhan dari para petugas di RS, sehubungan
dengan bahaya-bahaya yang ada di RS.

Selain itu, tercatat bahwa terdapat beberapa kasus penyakit kronis yang diderita petugas
RS, yakni hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita), penyakit ginjal dan saluran
kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57% wanita) serta nyeri tulang belakang
dan pergeseran diskus intervertebrae.

Ditambahkan juga bahwa terdapat beberapa kasus penyakit akut yang diderita petugas
RS lebih besar 1.5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan parasit,
saluran pernafasan, saluran cerna dan keluhan lain, seperti sakit telinga, sakit kepala,
gangguan saluran kemih, masalah kelahiran anak, gangguan pada saat kehamilan,
penyakit kulit dan sistem otot dan tulang rangka.

Dari berbagai potensi bahaya tersebut, maka perlu upaya untuk mengendalikan,
meminimalisasi dan bila mungkin meniadakannya, oleh karena itu K3 RS perlu dikelola
dengan baik. Agar penyelenggaraan K3 RS lebih efektif, efisien dan terpadu, diperlukan
sebuah pedoman manajemen K3 di RS, baik bagi pengelola maupun karyawan RS.
B. Tujuan
1. Melakukan identifikasi risiko seperti faktor fisik, kimiawi serta biologis, bekerja
di rumah sakit serta fasilitas medis lainnya.
2. Mengembangkan upaya kontrol terhadap faktor risiko tersebut.
3. Mengembangkan program pencegahan seperti menetapkan alat pelindung diri
yang diperlukan.
4. Mengembangkan program pemeriksaan kesehatan yang sesuai dengan jenis
pekerjaan (“job-related”)
5. Memahami program patient safety.

C. MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN

Manajemen adalah pencapaian tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya, dengan


mempergunakan bantuan orang lain. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi dampak
kelalaian atau kesalahan ( malprektek) serta mengurangi penyebaran langsung dampak
dari kesalahan kerja.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dimembagi kegiatan atau fungsi manajemen tesebut
menjadi :

1. Planning /(perencanaan)
2. Organizing/ (organisasi)
3. Actuating /(pelaksanaan)
4. Controlling /(pengawasan)

1. Planning/ (Perencanaan)

Fungsi perencanaan adalah suatu usaha menentukan kegiatan yang akan


dilakukan di masa mendatang guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam hal ini adalah keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit dan instansi
kesehatan.perencanaan ini dilakukan untuk memenuhi standarisasi kesehatan
pacsa perawatan dan merawat ( hubungan timbal balik pasien – perawat / dokter,
serta masyarakat umum lainnya ). Dalam perencanaan tersebut, kegiatan yang
ditentukan meliputi :

a. Hal apa yang dikerjakan


b. Bagaiman cara mengerjakannya
c. Mengapa mengerjakan
d. Siapa yang mengerjakan
e. Kapan harus dikerjakan
f. Dimana kegiatan itu harus dikerjakan
g. hubungan timbal balik ( sebab akibat)
Kegiatan kesehatan ( rumah sakit / instansi kesehatan ) sekarang tidak lagi
hanya di bidang pelayanan, tetapi sudah mencakup kegiatan-kegiatan di
bidang pendidikan dan penelitian, juga metode-metode yang dipakai makin
banyak ragamnya. Semuanya menyebabkan risiko bahaya yang dapat terjadi
dalam ( rumah sakit / instansi kesehatan ) makin besar. Oleh karena itu usaha-
usaha pengamanan kerja di rumah sakit / instansi kesehatan harus ditangani
secara serius oleh organisasi keselamatan kerja rumah sakit / instansi
kesehatan.

2. Organizing/ (Organisasi)

Organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan


dapat dibentuk dalam beberapa jenjang, mulai dari tingkat rumah sakit / instansi
kesehatan daerah (wilayah) sampai ke tingkat pusat atau nasional. Keterlibatan
pemerintah dalam organisasi ini baik secara langsung atau tidak langsung sangat
diperlukan. Pemerintah dapat menempatkan pejabat yang terkait dalam organisasi
ini di tingkat pusat (nasional) dan tingkat daerah (wilayah), di samping
memberlakukan Undang-Undang Keselamatan Kerja. Di tingkat daerah (wilayah)
dan tingkat pusat (nasional) perlu dibentuk Komisi Keamanan Kerja rumah sakit /
instansi yang tugas dan wewenangnya dapat berupa :

a. Menyusun garis besar pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi


kesehatan .
b. Memberikan bimbingan, penyuluhan, pelatihan pelaksana- an keamanan kerja
rumah sakit / instansi kesehatan .
c. Memantau pelaksanaan pedoman keamanan kerja rumah sakit / instansi
kesehatan .
d. Memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan penerbitan izin rumah
sakit / instansi kesehatan.
e. mengatasi dan mencegah meluasnya bahaya yang timbul dari suatu rumah
sakit / instansi kesehatan.

Perlu juga dipikirkan kedudukan dan peran organisasi /Cermin Dunia


Kedokteran No. 154, 2007 5/ background image Manajemen keselamatan
kerja profesi (PDS-Patklin) ataupun organisasi seminat (Patelki, HKKI)
dalam kiprah organisasi keselamatan dan kesehatan kerja rumah sakit /
instansi kesehatan ini. Anggota organisasi profesi atau seminat yang terkait
dengan kegiatan rumah sakit / instansi kesehatan dapat diangkat menjadi
anggota komisi di tingkat daerah (wilayah) maupun tingkat pusat (nasional).
Selain itu organisasi-organisasi profesi atau seminar tersebut dapat juga
membentuk badan independen yang berfungsi sebagai lembaga penasehat
atau Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit /
Instansi Kesehatan.
3. Actuating/ (Pelaksanaan)

Fungsi pelaksanaan atau penggerakan adalah kegiatan mendorong semangat


kerja, mengerahkan aktivitas, mengkoordinasikan berbagai aktivitas yang akan
menjadi aktivitas yang kompak (sinkron), sehingga semua aktivitas sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Pelaksanaan program kesehatan dan
keselamatan kerja rumah sakit / instansi kesehatan sasarannya ialah tempat kerja
yang aman dan sehat. Untuk itu setiap individu yang bekerja maupun masyarakat
dalam rumah sakit / instansi kesehatan wajib mengetahui dan memahami semua
hal yang diperkirakan akan dapat menjadi sumber kecelakaan kerja dalam rumah
sakit / instansi kesehatan, serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang
cukup untuk melaksanakan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan kerja
tersebut. Kemudian mematuhi berbagai peraturan atau ketentuan dalam
menangani berbagai spesimen reagensia dan alat-alat. Jika dalam pelaksanaan
fungsi penggerakan ini timbul permasalahan, keragu-raguan atau pertentangan,
maka menjadi tugas semua untuk mengambil keputusan penyelesaiannya.

4. Controlling/ (Pengawasan)

Fungsi pengawasan adalah aktivitas yang mengusahakan agar pekerjaan-


pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang
dikehendaki. Untuk dapat menjalankan pengawasan, perlu diperhatikan 2 prinsip
pokok, yaitu :

a. Adanya rencana
b. Adanya instruksi-instruksi dan pemberian wewenang kepada bawahan.

Dalam fungsi pengawasan tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi tentang


perlunya disiplin, mematuhi segala peraturan demi keselamatan kerja bersama
di rumah sakit / instansi kesehatan. Sosialisasi perlu dilakukan terus menerus,
karena usaha pencegahan bahaya yang bagaimanapun baiknya akan sia-sia
bila peraturan diabaikan. Dalam rumah sakit / instansi kesehatan perlu
dibentuk pengawasan rumah sakit / instansi kesehatan yang tugasnya antara
lain :

1. Memantau dan mengarahkan secara berkala praktek- praktek rumah sakit


/ instansi kesehatan yang baik, benar dan aman.
2. Memastikan semua petugas rumah sakit / instansi kesehatan memahami
cara- cara menghindari risiko bahaya dalam rumah sakit / instansi
kesehatan.
3. Melakukan penyelidikan / pengusutan segala peristiwa berbahaya atau
kecelakaan.
4. mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan tentang keamanan kerja
rumah sakit / instansi kesehatan .
5. Melakukan tindakan darurat untuk mengatasi peristiwa berbahaya dan
mencegah meluasnya bahaya tersebut.

Penegakan Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumahsakit (K3RS) dan


Peran Dinas Kesehatan

1. Peraturan Kesehatan Kerja

UU Kesehatan Nomor 23 tahun 2002 pasal 23 tentang kesehatan kerja menyatakan


bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan
kesehatan. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.05/Men. 2006 juga mengatur bahwa
setiap perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100 orang atau lebih dan atau yang
mengandung potensi bahaya wajib menerapkan sistem manajemen K3 (Bab III Pasal 3).

Rumahsakit tidak terlepas dari peraturan-peraturan ini karena teknologi dan sarana
kesehatan, kondisi fisik rumah sakit dapat membahayakan pasien, keluarga, serta
pekerja. Jika tidak dikelola, rumahsakit tidak terhindar dari kebakaran, bencana, atau
dampak buruk pada kesehatan.

Ringkasan studi tentang penerapan K3RS di bawah ini bisa dijadikan kasus bagaimana
lemahnya komitmen rumahsakit dalam hal ini.

K3RS di Indonesia telah memiliki 22 peraturan. Di antara seluruh peraturan itu, paling
banyak adalah peraturan menteri (9 buah) dan belum ada sama sekali peraturan daerah.
Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat sendiri tidak memiliki semua dokumen
peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Dinas kesehatan bahkan tidak
memiliki satu staf yang mengurusi bidang ini. Tidak ada tim khusus K3RS. Penjabaran
dari regulasi tersebut oleh pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah belum ada
sama sekali. Padahal mengacu pada PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan propinsi sebagai otonom maka pemerintah daerah mempunyai legalitas
dalam mengatur regulasi K3RS.

Kenyataan ini barang kali bisa mencerminkan keadaan sebelum desentralisasi. Daerah
melaksanakan apa yang menjadi keputusan pusat dan barang kali karena keputusan pusat
itu pula, regulasi K3RS ini lemah.

1. Kesehatan dan Keselamatan Kerja sebagai Pilihan Rasional Rumahsakit

Penelitian Bambang mengukur sembilan aspek yang bisa dijadikan tolok ukur bahwa
rumahsakit itu memberikan komitmen pelaksanaan K3RS. Seluruh rumahsakit
menyediakan sejumlah dana untuk keperluan K3RS. Seperti terlihat dalam tabel di
bawah ini, 6 dari 7 rumahsakit belum memiliki sistem keamanan dan tenaga khusus
bidang K3RS. Lima rumahsakit belum memiliki sarana IPAL dan sistem pengawasan
yang memadai. Selain itu, observasi di lapangan, rumahsakit-rumahsakit ini tidak
memiliki sistem pelaporan tentang kecelakaan maupun penyakit akibat kerja.

Tabel 1. Komitmen rumahsakit dengan kebijakan Regulasi K3RS

No Jenis komitmen RS1 RS2 RS3 RS4 RS5 RS6 RS7


yang ditunjukkan Jumlah %

1 Dana P P P P P P P 7 100.0

2 Kebijakan P P P . . . . 3 42.9

3 Pengawasan P P . . . . . 2 28.6

4 Penghargaan dan P . . . . . .
Sanksi 1 14.3

5 Organisasi P P P . P . . 4 57.1

6 Ketenagaan P . . . . . . 1 14.3

7 Pengadaan APD P P P P P P P 7 100.0

8 Pengadan IPAL P P . . . . . 2 28.6

9 Membangun sistim P . . . . . .
keamanan 1 14.3

. JUMLAH 9 6 4 2 3 2 2 . .

. PERSENTASE (%) 100 67 44 22 33 22 22 44,4 .

Tabel 2. Tahun Penerbitan, Isi Regulasi dan Bentuk Regulasi K3RS

TAHUN REGULASI Jenis

1970 Keselamatan Kerja Undang-undang

1975 Keselamatan kerja terhadap radiasi Peraturan


Pemerintah
1975 Izin pemakaian zat radioaktif Peraturan
Pemerintah

1980 Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja Peraturan Menteri


dalam penyelenggaraan K3

1980 Syarat-syarat pemasangan dan Peraturan Menteri


pemeliharaan alat pemadam api ringan

1981 Kewajiban melapor penyakit akibat Peraturan Menteri


kerja

1983 Pelayanan kesehatan tenaga kerja Peraturan Menteri

1989 Ketentuan KK terhadap radiasi Keputusan Dirjen

1992 Kesehatan Undang-undang

1992 Persyaratan Kesling RS Peraturan Menteri

1993 Penyakit yang timbul karena hubungan Keputusan


kerja Presiden

1993 Komite K3 Keputusan Menteri

1993  Persyaratan kesehatan Keputusan Dirjen


lingkungan ruang & Bangunan
serta fasilitas sanitasi rumah
sakit
 Persyaratan kesehatan
konstruksi ruang di rumah sakit.
 Persyaratan & petunjuk teknis
tata cara penye hatan
lingkungan RS

1996 Sistem Manajemen K3 (SMK3) Peraturan Menteri

1996 Pengamanan bahan berbahaya bagi Peraturan Menteri


Kesehatan

1997 Pelaksanaan Audit system manajemen Peraturan Menteri


K3

1997 Penyelenggaraan pelayanan radiology Peraturan Menteri

1997 Pembentukan Panitia K3 Rumah Sakit Surat Edaran


1997 Inspeksi K3 Keputusan Menteri

1998 Persyaratan kesling kerja Keputusan Menteri

1999 Perubahan PP18 /1999 terhadap PP


pemgelolaan limbah B3

2003 Komite Kesehatan dan Keselamatan Keputusan Menteri


Kerja

Tekait dengan peran regulasi dinas kesehatan, standar K3RS bisa dijadikan sebagai
persyaratan pendirian atau operasi rumahsakit.

Pelaksanaan K3RS pada masa yang lalu ditekankan dengan pola pembinaan dinas
kesehatan.

Kebijakan kita selama ini dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja adalah berupa
sosialisasi program, pelatihan tentang K3RS, menyediakan tenaga khusus, dan membuat
pedoman pelaksanaan.

Cara-cara pembinaan seperti itu memperlihatkan hasil yang minimal. Satu rumahsakit
dalam penelitian ini, kebetulan swasta, bisa menjadi contoh karena mereka telah secara
sadar menerapkan standar lebih internasional. Rumahsakit swasta yang berorientasi
internasional menganggap K3RS adalah strategis bagi pelanggan yang sudah makin
kritis. Sifat kesukarelaan seperti ini bagi rumahsakit pemerintah dan swasta lokal bisa
berakibat buruk. Pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan mau tidak mau perlu
membuat tekanan dari luar agar kesehatan dan keselamatan kerja betul-betul terjaga.

Pemerintah daerah hendaknya lebih peduli dengan K3RS, dengan membuat peraturan
daerah khusus yang diberlakukan di daerahnya. Dinas kesehatan bisa mengawasi
pelaksanaan K3RS, diikuti dengan tindakan sanksi bagi yang tidak menerapkannya.
Lebih tegas, perlindungan publik dan pekerja seperti ini harus menjadi persyaratan
mutlak dalam pemberian izin pendirian suatu rumahsakit.

Anda mungkin juga menyukai