Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutuhan masyarakat akan daging babi saat ini semakin meningkat
khususnya di daerah Bali. Secara tradisional ternak babi memiliki peran penting di
dalam kegiatan keagamaan, adat dan sosial. Ternak babi juga merupakan sumber
protein utama bagi konsumsi domestik dan komponen usaha rumah tangga yang
penting sebagai sumber penghasilan (Ratundima, 2012).
Banyaknya kebutuhan daging babi di Bali menyebabkan banyak dikalangan
masyarakat yang berternak babi, baik peternakan besar maupun peternakan yang
kecil dan perkembangan peternakan babi di Bali cukup pesat seiring dengan
meningkatnya pengetahuan masyarakat akan nilai gizi khususnya yang berasal dari
protein hewani.
Pemeliharaan ternak babi relatif lebih mudah karena babi cepat tumbuh dan
mempunyai adaptasi yang baik terhadap kondisi iklim yang beragam mulai dari
beriklim sejuk sampai daerah tropis (Ardana dan Putra, 2008), dan dapat
memanfaatkan berbagai jenis sumber pakan. Kendala yang dihadapi pengelolaan
peternakan babi di Bali salah satunya adalah penyakit yang menyerang ternak babi.
Penyakit yang umum dijumpai adalah mencret putih, hog cholera, ngorok dan
cacingan, penyakit ini menyerang anak babi maupun babi dewasa.
Hog Cholera adalah suatu penyakit yang sering terjadi pada babi muda
hingga babi dewasa dengan gejala yang cepat menular dan menimbulkan kerugian
ekonomi yang sangat besar. Hog Cholera terjadi sepanjang tahun, namun peningkatan
yang signifikan hanya ada pada saat terjadi outbreak. Penyebaran penyakit hampir
merata di seluruh kabupaten di Bali dan lebih banyak terjadi pada peternakan
tradisional yang belum dikelola secara baik. Kandang ternak babi masih sederhana
beralaskan tanah, pembersihan kandang hampir tidak ada, upaya penanggulangan
penyakit baik dengan vaksinasi maupun pengobatan penyakit jarang dilakukan.
Penyakit ini lebih banyak menyerang babi yang masih muda dan dikenal
sebagai penyakit yang paling merugikan pada babi sehingga sangat ditakuti terutama

1
oleh peternak babi. Virus menular dengan cepat pada babi yang dapat berlangsung
subakut, akut, atau kronik dengan gejala penyakit yang parah atau tanpa menunjukkan
gejala sama sekali tergantung pada berbagai faktor virus dan inang seperti usia hewan,
virulensi virus, dan waktu infeksi (prenatal atau postnatal).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang diangkat dalam pembuatan laporan ini adalah sebagai
berikut:
1. Berapakah jumlah kasus dan prevalensi kejadian Hog Cholera pada
peternakan babi di Provinsi Bali?
2. Apa saja tindakan pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan yang
dapat dilakukan untuk menanggulangi penyakit Hog Cholera pada ternak
babi?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui tingkat
prevalensi penyakit Hog Cholera pada ternak babi di Provinsi Bali Tujuan
lainnya yaitu untuk mengetahui pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
yang sudah dilakukan oleh Dinas Peternakan Dan Kesehatan Hewan Provinsi
Bali untuk meminimalisir tersebarnya penyakit Hog Cholera pada ternak babi.
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan laporan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan
penulis maupun pembaca tentang penyakit yang tingkat kejadian tinggi pada
hewan khususnya penyakit Hog Cholera pada ternak babi, serta mengetahui
cara yang tepat untuk melakukan tindakan pengobatan dan pencegahan penyakit
Hog Cholera pada ternak babi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geografi Wilayah Provinsi Bali

Provinsi Bali merupakan salah satu dari 33 Provinsi yang ada di


Indonesia. Propinsi Bali terdiri dari Pulau Bali, Pulau Nusa Penida serta beberapa
Pulau-pulau kecil lainnya memiliki luas wilayah 5.632,82 kilometer persegi. Secara
administrasi Pulau Bali terdiri dari delapan Kabupaten, satu wilayah kota, 53
kecamatan dan 658 Desa/Kelurahan, 3563 Banjar/Dusun/lingkungan. Pulau Bali
adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km
sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara geografis, Bali terletak di 8°25′23″ Lintang
Selatan dan 115°14′55″ Bujur Timur yang membuatnya beriklim tropis seperti
bagian Indonesia yang lain. Selain Pulau Bali, Provinsi Bali juga terdiri atas pulau-
pulau kecil lainnya, yaitu: Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa
Ceningan di wilayah Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah Kota
Denpasar, dan Pulau Menjangan di Kabupaten Buleleng. Walaupun Provinsi Bali
tidak begitu luas dibanding dengan pulau-pulau di wilayah Nusantara ini namun
daerah Bali mempunyai potensi yang cukup besar dalam mengembangkan
peternakan disamping itu bidang peternakan merupakan salah satu penunjang
sektor pariwisata yang merupakan sektor andalan dalam pemasukan devisa daerah
Bali. Ternak merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki fungsi sosial
budaya dan ekonomi yang cukup penting bagi masyarakat Bali. Ternak dan hasil
ternak dibutuhkan hampir setiap hari dalam penyelenggaraan kehidupan ekonomi
dan sosial budaya masyarakat Bali.

Gambar 2.1. Peta Pulau Bali

3
2.2 Etiologi Hog Cholera
Hog Cholera juga dikenal dengan nama Classical Swine Fever (CSF) atau
Swine Fever adalah penyakit virus yang sangat menular pada babi, dapat terjadi
secara akut, sub akut dan kronis disertai angka morbiditas dan mortalitas tinggi.
Bentuk akut ditandai oleh demam tinggi, depresi berat, perdarahan dalam dan
sebatas permukaan mukosa. Bentuk kronis ditandai oleh depresi,, anoreksia,
demam ringan dan kesembuhan dapat terjadi pada babi dewasa.. Virus Hog
Cholera masuk Famili Flaviviridae dan Genus Pestvirus yang memiliki
hubungan antigenic yang sangat dekat dengan Bovine Viral Diarrhea Virus
(BVDV) (Berata, 2009).
Virus Hog Cholera berbentuk bundar dengan diameter berkisar antara 40-
50 nm, mempunyai nucleocapsid berbentuk hexagonal berukuran sekitar 29
nm, dan mengandung material genetik RNA berbentuk single stranded dan
polarity positif (Horzinek, 1981). Nucleocapsid tersebut diselaputi oleh sebuah
selubung (envelope) yang mengandung tiga glikoprotein yakni glikoprotein El,
E2, dan E3 (Thiel et al., 1991). Didalam biakan sel virus menyebar ke sel
dekatnya melalui jembatan sitoplasma, dan dari sel induk ke sel turunannya.
Virus Hog Cholera menjadi dewasa di dalam membran intrasitoplasma hingga
antigen virus tidak dapat dikenali dari permukaan sel yang terinfeksi.
Virus Hog Cholera dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni virus dengan
virulensi tinggi, virulensi sedang dan virulensi rendah. Akan tetapi
pengelompokan virus berdasarkan virulensi ini kadang-kadang sangat sulit
dilakukan karena virus yang biasanya mempunyai virulensi rendah kadang-
kadang dapat juga menimbulkan penyakit yang parah (Dahle dan Liess, 1995).
Virus Hog Cholera termasuk virus yang resisten terhadap lingkungan yang
buruk. Akan tetapi viabilitasnya sangat tergantung pada media dimana virus
tersebut berada. Pada media yang sederhana seperti supernatan kultur sel, virus
dapat diinaktivasi dengan pemanasan pada suhu 56oC selama 1 jam, atau pada
suhu 60oC selama 10 menit, sedangkan dalam darah yang didefibrinasi
infektivitas virus masih bertahan setelah mengalami pemanasan selama 1 jam
pada suhu 60oC atau selama 30 menit pada suhu 68oC. Virus juga stabil dalam

4
kisaran pH yang panjang (antara pH 4 - pH 11). Karena selubung atau
envelopenya mengandung lipid, virus sangat rentan terhadap pelarut lemak
seperti eter, chloroform, dan detergent seperti desoxycholate, nonidet P40 dan
saponin (Terpstra, 1991).
Hog Cholera adalah penyakit yang sangat menular dengan tingkat kematian
mendekati 100% pada daerah wabah baru (Moennig, 2000). Penyakit ini
tersebar di seluruh dunia. Negara yang dilaporkan positif Hog Cholera antara
lain Jerman, sebagian negara di Eropa Timur, Afrika Timur, Afrika Tengah,
India, China, Asia Timur dan Tenggara, Amerika Tengah serta banyak Negara
di Amerika Selatan (DAFF, 2008). Di Indonesia, Hog Cholera dilaporkan
pertama kali tahun 1994 terjadi di pulau Sumatra dan secara bertahap menyebar
ke Jawa pada awal tahun 1995, Bali dan Kalimantan pada akhir tahun 1995 dan
Papua tahun 2004 (DAFF, 2008). Dari 3 Provinsi yang berada di wilayah kerja
Balai Besat Veteriner (BBVet) Denpasar yaitu diantaranya Bali, Nusa
Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), ternak babi
umumnya lebih banyak dipelihara di Bali dan NTT, dan hanya sedikit di NTB.
Namun demikian bahwa aspek strategis dari unsur Penyakit Hewan menular
Strategis (PHMS) yang menonjol di wilayah ini adalah tingginya angka
kematian dan cepatnya penyebaran penyakit. Berbeda dengan situasi Hog
Cholera di Provinsi Bali yang cenderung sudah dapat dikendalikan, kejadian
Hog Cholera di Provinsi NTT cenderung semakin meluas dari tahun ke tahun
(Tenaya dan Diarmita, 2013). Apabila penyakit ini berjangkit maka akan
timbul kerugian ekonomi yang tinggi karena program pengendalian penyakit
melalui program vaksinasi dan pemusnahan memerlukan biaya yang besar.

2.3 Epidemilogi
Hog Cholera adalah penyakit yang sangat menular dengan tingkat kematian
mendekati 100% pada daerah wabah baru (Moennig, 2000). Penyakit ini
tersebar di seluruh dunia. Negara yang dilaporkan positif Hog Cholera antara
lain Jerman, sebagian negara di Eropa Timur, Afrika Timur, Afrika Tengah,
India, China, Asia Timur dan Tenggara, Amerika Tengah serta banyak Negara

5
di Amerika Selatan (DAFF, 2008). Di Indonesia, Hog Cholera dilaporkan
pertama kali tahun 1994 terjadi di pulau Sumatra dan secara bertahap menyebar
ke Jawa pada awal tahun 1995, Bali dan Kalimantan pada akhir tahun 1995 dan
Papua tahun 2004 (DAFF, 2008).
Dari 3 Provinsi yang berada di wilayah kerja Balai Besat Veteriner (BBVet)
Denpasar yaitu diantaranya Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa
Tenggara Timur (NTT), ternak babi umumnya lebih banyak dipelihara di Bali
dan NTT, dan hanya sedikit di NTB. Namun demikian bahwa aspek strategis
dari unsur Penyakit Hewan menular Strategis (PHMS) yang menonjol di
wilayah ini adalah tingginya angka kematian dan cepatnya penyebaran
penyakit. Berbeda dengan situasi Hog Cholera di Provinsi Bali yang cenderung
sudah dapat dikendalikan, kejadian Hog Cholera di Provinsi NTT cenderung
semakin meluas dari tahun ke tahun (Tenaya dan Diarmita, 2013). Apabila
penyakit ini berjangkit maka akan timbul kerugian ekonomi yang tinggi karena
program pengendalian penyakit melalui program vaksinasi dan pemusnahan
memerlukan biaya yang besar.
2.4 Cara Penularan
Babi adalah satu-satunya host alami virus Hog Cholera, oleh karena itu babi
penderita merupakan sumber penularan yang terpenting. Virus masuk ke dalam
tubuh babi biasanya melalui rute oronasal. Cara penularan bisa dengan kontak
langsung ataupun tidak langsung. Penularan bisa secara horizontal ataupun
vertikal, yakni dari induk kepada fetus yang dikandung. Penularan
transplasental terjadi pada kebuntingan 68 dan 88 hari ditandai dengan viremia
pada anak yang dilahirkan dan mati setelah 1-8 minggu (Fenner et al., 2003).
Virus disebarkan lewat cairan mulut, hidung, mata, kemih, semen, tinja dan
darah (Gregg, 2002). Babi yang sembuh dari Hog Cholera atau yang menderita
penyakit kronis dapat menyebarkan virus selama berbulan-bulan.
Karena virus Hog Cholera cukup resisten terhadap lingkungan yang kurang
menguntungkan diluar host, penularan dengan cara tidak langsung juga sering
terjadi. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui alat transportasi, sepatu
dan pakaian petugas, serta alat suntik yang dipakai berulang. Virus Hog

6
Cholera dapat bertahan dalam waktu yang lama dalam daging babi dan
beberapa produk olahannya, terutama dalam keadaan dingin atau beku.
2.5 Patogenesis
Virus yang masuk kedalam tubuh babi yang secara alamiah melalui rute
oronasal, mengalami proses absorbsi dan multiplikasi awal pada sel epitel
tonsil, kemudian menyebar ke bagian jaringan limforetikuler dari target organ
primer ini. (Ressang, 1973). Setelah mengalami replikasi pada tonsil, virus
menyebar ke limfoglandula regional (limfoglandula mandibula, retrofaringeal,
parotid dan cervical). Setelah mengalami replikasi di limfoglandula ini, virus
masuk kedalam peredaran darah yang mengakibatkan terjadinya viremia awal
. Virus tertahan dan mengalami multiplikasi yang cepat pada limpa yang
merupakan target organ sekunder. Multiplikasi virus yang cepat ini berakibat
viremia bertambah hebat. Selanjutnya virus tertahan dan menginvasi
limfoglandula visceral dan superficial, sumsum tulang dan jaringan-jaringan
limfoid lain di mukosa usus. Virus mencapai seluruh tubuh 5-6 hari setelah
inokulasi peroral . Pada akhir stadium viremia, virus menetap dan menginvasi
seluruh organ tubuh yang sering berakibat kematian (Wood et al., 1988). Selain
menginvasi sel limfold, virus ini juga menyebabkan degenerasi dan nekrosa
pada sel endotel pembuluh darah. Kerusakan pada pembuluh darah,
trombositopenia dan gangguan sintesa fibrinogen mengakibatkan perdarahan
berupa ptekie dan echymosa yang meluas, yang merupakan salah satu kelainan
patologis yang menonjol pada penyakit ini.
Babi bunting yang terkena Hog Cholera dapat menulari embrio atau fetus
yang dikandungnya. Virus Hog Cholera dapat menembus barier plasenta pada
semua umur kebuntingan. Virus menyebar secara hematogenous pada plasenta
kemudian menyebar kesemua fetus (Van Oirschot, 1979). Akibat infeksi in
utero pada fetus tergantung pada saat terjadinya infeksi dan virulensi dari virus.
Fetus yang terinfeksi pada saat 45 hari pertama kebuntingan lebih mudah
mengalami kematian prenatal dibandingkan dengan fetus yang terinfeksi saat
umur kebuntingan 65 hari atau lebih. Disamping itu, fetus yang terinfeksi oleh
virus virulensi sedang pada umur kebuntingan 45 hari terakhir, berpeluang

7
lebih besar untuk memperlihatkan gejala klinis Hog Cholera pada saat atau
beberapa saat setelah kelahiran. Sedangkan, fetus yang terinfeksi oleh virus
virulensi rendah pada saat kebuntingan yang sama biasanya tidak berakibat
buruk karena fetus dapat mengeliminasi virus tersebut (van Oirschot, 1979).
2.6 Tanda Klinis
Penyakit dapat berjalan perakut, akut, subakut, kronis atau tidak tipikal.
Bentuk klasik Hog Cholera merupakan infeksi akut yang disertai demam
tinggi, kelesuan, penurunan nafsu makan dan konjungtivitis. Gejala muncul
setelah masa inkubasi 2-4 hari, diikuti adanya muntah, diare dan atau
konstipasi, pneumonia, paresis, paralisis, letargi, tremor, berputar dan konvulsi.
Perubahan patologi anatomi yang ditemukan pada kasus Hog Cholera
dicirikan dengan terjadinya perdarahan ptekie pada ginjal terutama pada
permukaan korteks sehingga ginjal sering terlihat berbintik-bintik seperti telur
kalkun (turkey-egg kidney). Pada kulit mengalami perdarahan titik ptekie
sampai ekhimosa sehingga terlihat gejala kemerahan (eritema) dan dapat juga
terjadi pada mukosa usus. Limpa biasanya tidak atau hanya sedikit
membengkak, tetapi sering memperlihatkan infark yang hemorrhagic yang
ditandai dengan benjolan berwarna gelap terutama pada bagian tepi . Infark
pada limpa, yang disebabkan oleh thrombosis pada pembuluh darah kapiler,
merupakan lesi yang khas dan dianggap lesi yang mendekati pathognomonis
(Tarigan et al, 1997). Infark yang meluas di buluh darah submukosa usus besar,
sekum, dan kolon, memicu terbentuknya lesi yang berbentuk seperti kancing
baju, bundar, menonjol di kenal sebagai "button ulcer". Lesio button ulcer pada
usus besar tersebut memiliki arti diagnostik yang sangat penting dalam
diagnosa babi penderita Hog Cholera bersifat spesifik dan mendekati lesi
pathognomonis (Gregg, 2002). Pada otak sering terlihat kelainan berupa
perivascular cuffing (Harkness, 1985). Pada kasus Hog Cholera akut dan
subakut paru-paru mengalami infark dan perdarahan, yang selanjutnya
terbentuk proses radang paru-paru dan pleura. Jantung terlihat pucat di sertai
kongesti miokard (Tarigan et al, 1997).

8
Pada bentuk akut ditandai dengan anoreksia, depresi, suhu meningkat
sampai 41- 42º C berlangsung selama 6 hari. Jumlah leukosit menurun
(leukopenia) dari 9.000 menjadi 3.000/ml darah. Pada awal sakit hewan
mengalami konjungtivitis, dengan air mata berlebihan. Sekresi mata berlebihan
bersifat mucous atau mukopurulen. Demam tinggi diikuti konstipasi dan
radang saluran gastrointestinal menyebabkan diare encer, berlendir, warna abu
kekuningan dan babi terlihat kedinginan.
Pada kasus subakut yang kurang tipikal, masa inkubasi menjadi panjang dan
kelangsungan penyakit klinis yang lebih lama dengan kematian yang terjadi
setelah berminggu atau berbulan-bulan. Pada kasus kronis dilaporkan ada 3
fase yakni fase permulaan yang ditandai dengan gejala anorexia, depresi, suhu
tubuh naik dan lekopenia. Setelah beberapa minggu nafsu makan dan keadaan
umum terlihat membaik dan suhu tubuh turun ke suhu normal atau sedikit di
atas normal. Fase kedua ditandai dengan leukopenia yang persisten. Pada fase
ketiga, terlihat gejala nafsu makan menurun, depresi, suhu tubuh meningkat
sampai terjadi kematian. Babi menunjukkan pertumbuhan yang terhambat,
mempunyai lesi pada kulit dan berdiri dengan punggung terlihat melengkung
(opistotonus) dan babi dapat bertahan hidup lebih dari 100 hari.
Pada hewan bunting ditandai dengan kematian fetus, mumifi kasi, lahir
prematur, anomali, lahir dalam keadaan lemah dan tremor. Anak babi terinfeksi
in utero yang mati setelah lahir sering menunjukkan perdarahan berupa ptekie
pada kulit dan organ dalam.

Gambar 2.6 Babi Terinfeksi Penyakit Hog Cholera


2.7 Diagnosis
Diagnosa Hog Cholera dapat didasarkan pada data epidemiologi, gejala
klinis, patologis anatomi dan histopatologi. Identifikasi virus dapat dilakukan

9
dengan Flourescent antibody technique (FAT), Agar gel precipitation test
(AGPT), Complement fixation test (CFT), Hemagglutination inhibition (HI),
capture ELISA dan peneguhan penyakit dengan teknik reverse
transcriptasepolymerase chain reaction (RT-PCR) dilaporkan memberikan
hasil akurat (Suartha et al., 2008).
Selama ini, diagnosis penyakit Hog Cholera umumnya dilakukan dengan
melihat gejala klinik dan lesi-lesi bedah bangkai pada hewan penderita.
Berdasarkan pendekatan itu, penyakit Hog Cholera sering dikelirukan dengan
penyakit lain. Diagnosis banding antara lain African swine fever, porcine
dermatitis and nephropathy syndrome (PDNS), post-weaning multisystemic
wasting syndrome (PMWS), thrombocytopenic purpura, salmonellosis,
erysipelas, pasteurellosis, actinobacillosis, dan infeksi Haemophilus parasuis
(OIE, 2008). Berbagai agen bakteri yang tersebut tadi memang sering
menyebabkan infeksi ikutan sehingga menutupi kasus Hog Cholera (Gregg,
2002).
Secara umum, gejala-gejala, perubahan patologi, dan lesi histopatologi yang
ditemukan pada kasus-kasus tersangka Hog Cholera pada kajian ini tidak
konsisten. Inkonsistensi tersebut merupakan fenomena khas Hog Cholera.
Gejala dan lesi-lesi yang beragam menyebabkan Hog Cholera tidak dapat
didiagnosis tanpa konfirmasi laboratorium (OIE, 2008). Diagnosis dan
identifikasi virus Hog Cholera di Bali juga sudah dilaporkan (Wirata et al,
2010).
2.8 Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan yang efektif untuk mengatasi penyakit Hog Cholera adalah
vaksinasi dan stamping out. Tindakan yang paling efektif untuk mencegah atau
mengendalikan penyakit adalah melakukan vaksinasi dengan menggunakan
vaksin aktif yang sudah diatenuasi. Keberhasilan program vaksinasi sangat
tergantung dari strain, dosis dan aplikasi vaksin serta status kesehatan hewan
yang divaksinasi.
Pencegahan yang efektif untuk mengatasi penyakit Hog Cholera adalah
vaksinasi dan stamping out (Subronto, 2003). Vaksinasi yang diberikan akan

10
merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi terhadap
virus Hog Cholera sehingga antibodi akan terdeteksi pada babi yang
divaksinasi. Pada babi yang tidak divaksinpun ada kemungkinan ditemukan
antibodi. Hal ini bisa terjadi karena babi sudah mengalami infeksi alam ataupun
sudah memiliki maternal antibodi (Szent-Ivanyi, 1977; van Oirschot, 2003).
Vaksin aktifstrain Cina (C-strain) adalah jenis vaksin yang paling banyak
digunakan. Strain ini diperoleh dari isolat virus yang virulen yang diatenuasi
pada kelinci. Vaksin ini sangat efektif, menginduksi kekebalan dengan cepat
dan bertahan lama. Kekebalan terjadi 1 minggu setelah vaksinasi, dan bertahan
selama 2-3 tahun (van Oirschot, 2003). Anak babi dari induk yang divaksin
terlindungi tehadap infeksi Hog Cholera selama 5-8 minggu (Terpstra dan
Robijns, 1977). Selain strain C, vaksin aktif seperti Japanese GPE-strain dan
French Thiverval strain juga banyak digunakan (Van Oirchot, 2003). Kedua
vaksin terakhir ini diatenuasi pada tissue culture. Vaksin inaktif yang
diproduksi dengan menginaktifkan virus virulen dengan crystal violet dipakai
secara luas di Eropa Barat pada tahun 1961-1968. Akan tetapi pemakaian
vaksin ini malah menghambat usaha pemberantasan penyakit (Terpstra dan
Robuns, 1977). Hal ini disebabkan inaktivasi virus kadang-kadang tidak
sempurna sehingga babi yang divaksin menjadi terkena Hog Cholera.
Disamping itu kekebalan yang diinduksi vaksin inaktif tebentuknya lama (2
minggu setelah vaksinasi) dan bertahan tidak lama. Oleh karena itu vaksin
inaktif tidak dipakai lagi.
Pengendalian dapat dilakukan dengan melalui tindakan karantina. Untuk
negara atau daerah yang bebas Hog Cholera usaha dipusatkan pada
pencegahan masuknya virus Hog Cholera. Usaha ini meliputi larangan import
atau pemasukan ternak babi beserta produknya dari daerah tertular atau
tersangka. Disamping itu sisa sisa dapur dari angkutan darat, laut atau udara
internasional dari daerah tertular perlu dimusnahkan untuk menjaga
kemungkinan masuknya virus Hog Cholera (Terpstra, 1991). Apabila Hog
Cholera muncul dinegara yang sebelumnya bebas Hog Cholera, langkah awal
yang paling penting untuk segera dilakukan adalah mencari sumber penularan

11
dan menetapkan luas penyebaran virus yang telah terjadi. Tindakan penutupan
sementara dilakukan terhadap peternakan tertular. Semua babi yang pernah
kontak dan tertular Hog Cholera dilakukan isolasi, stamping out atau tindakan
pemotongan bersyarat. Lalu lintas ternak babi dan hasil olahannya dari daerah
tertular dilarang keluar atau diperjual belikan. dan di lokasi kasus dicantumkan
tanda larangan “Awas Penyakit Menular”.
Sesuai dengan peraturan International Terrestial Animal Health Code (OIE)
dan European Community (EC) negara pengekspor babi dan hasil olahannya
ke negara bebas Hog Cholera harus menunjukkan pernyataan bebas swine
fever berdasarkan investigasi serologis. Hewan yang menderita Hog Cholera
tidak dianjurkan untuk dipotong, tetapi dimusnahkan.

12
BAB III
METODELOGI

3.1 Metode
Metode kepustakaan merupakan metode yang dilakukan dengan
menggunakan referensi dari buku, jurnal dan internet yang berhubungan dengan
topik yang dibahas, dalam hal ini topik yang dibahas yaitu mengenai penyakit Hog
Cholera pada babi. Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan, disusun dalam
bentuk tabel, dan dilakukan perhitungan terhadap jumlah kasus Hog Cholera pada
babi, guna mengetahui persentase. Data yang digunakan dalam membuat laporan
ini diperoleh dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali selama
lima tahun terahkir yaitu dari tahun 2014 - 2018.
3.2 Parameter
Data yang diperoleh berupa jumlah populasi ternak sapi bali serta data kasus
positif terhadap penyakit Hog Cholera pada babi di Provinsi Bali selama lima tahun
terakhir selanjutnya dengan membandingkan terjadinya kasus penyakit Hog
Cholera pada babi di Provinsi Bali dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2018. Pada
penulisan laporan ini juga dijelaskan tentang prevalensi dari kasus Hog Cholera
pada babi. Selanjutnya dihitung prevalensi Hog Cholera dengan menggunakan
rumus :

jumlah hewan yang sakit


Prevalensi = x 100%
jumlah populasi yang beresiko

3.3 Lokasi dan Waktu Pengambilan Data


Pengambilan data mengenai kejadian kasus penyakit Hog Cholera pada babi di
Provinsi Bali diambil di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali.
Pengambilan data diambil dari rekapan data Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi Bali selama lima tahun terakhir yaitu dari tahun 2014-2018.

13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Berdasarkan data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, kasus
penyakit Hog Cholera pada babi tahun 2014-2018 dapat dilihat seebagai berikut :

POPULASI TERNAK BABI DI PROVINSI


BALI TAHUN
2014 S/D 2018

1000
800
600
817.489 794.936 803.517 852.319
400 682.389
200
0
2014 2015 2016 2017 2018

Column1 Column2 Column3

Gambar 4.1 Populasi Ternak Babi di Provinsi Bali Tahun 2014 - 2018

Tabel 4.1 Perbandingan Jumlah Kasus penyakit Hog Cholera pada babi dan
Populasi Babi yang ada di Provinsi Bali Tahun 2014-2018

No. Tahun Jumlah kasus Hog Jumlah populasi Prevalensi (%)


Cholera pada babi di babi
Provinsi Bali
(ekor)
1 2014 304 ekor 817.489 0,03
2 2015 375 ekor 794.936 0,04
3 2016 304 ekor 803.517 0,03
4 2017 222 ekor 682.389 0,03
5 2018 130 ekor 852.319 0,01

Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi bali, 2018

14
Jika data tersebut dihitung prevalensinya, kasus Hog Cholera pada babi di
Provinsi Bali tahun 2014-2018 memiliki prevalensi masing-masing :

jumlah hewan yang sakit tahun x


Prevalensi = x 100%
jumlah populasi yang beresiko tahun x
Prevalensi tahun 2014 = 0,03 %
Prevalensi tahun 2015 = 0,04%
Prevalensi tahun 2016 = 0,03%
Prevalensi tahun 2017 = 0,03%
Prevalensi tahun 2018 = 0,01%

PREVALENSI HOG CHOLERA


Prevalensi Column1 Column2

0.045
0.04
0.04
0.035
0.03 0.03 0.03
0.03
0.025
0.02
0.015
0.01
0.01
0.005
0
2014 2015 2016 2017 2018

Gambar 4.1 Diagram kejadian Hog Cholera di Provinsi Bali pada tahun
2014-2018

4.2 Pembahasan
Di Provinsi Bali, terdapat 3 jenis peternakan babi yaitu babi lokal, saddleback
dan landrace, dengan jumlah populasi pada tahun 2014-2018 berturut-turut
817.489, 794.936, 803.517, 682.389, dan 852.319 ekor. Ketiganya merupakan jenis
babi yang termasuk populasi rentan terhadap penyakit Hog Cholera.

15
Catatan data penyakit strategis Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Bali menunjukkan bahwa kasus Hog Cholera pada beberapa tahun 2014-2018 secara
berturut-turut sebanyak 304, 375, 304, 222, dan 130 ekor. Total jumlah kasus Hog
Cholera pada babi tahun 2014 hingga tahun 2018 adalah 1.335 ekor, dimana ini
merupakan 1% dari seluruh kejadian penyakit strategis di Provinsi Bali.
Total prevalensi penyakit Hog Cholera selama dari tahun 2014-2018 berturut-
turut yaitu 0,03 %, 0,04 %, 0,03 %, 0,03%, dan 0,01 %. Prevalensi penyakit Hog
Cholera yang tinggi terjadi pada tahun 2015. Data tersebut menunjukkan terjadi
perubahan pada jumlah kejadian Hog Cholera di Provinsi Bali, dimana dari tahun
2014-2017 jumlah kasus mengalami fluktuasi hingga pada tahun 2018 mengalami
penurunan yang sangat pesat.
Data tersebut sesuai dengan pernyataan Tenaya dan Diarmita (2013) yang
menyatakan bahwa Hog Cholera di Provinsi Bali yang cenderung sudah dapat
dikendalikan. Pengendalian untuk mengatasi penyakit Hog Cholera adalah
vaksinasi dan stamping out (Subronto, 2003). Vaksinasi yang diberikan akan
merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi terhadap virus
Hog Cholera sehingga antibodi akan terdeteksi pada babi yang divaksinasi. Pada
babi yang tidak divaksinpun ada kemungkinan ditemukan antibodi. Hal ini bisa
terjadi karena babi sudah mengalami infeksi alam ataupun sudah memiliki maternal
antibodi (Szent-Ivanyi, 1977; van Oirschot, 2003). Vaksinasi yang diberikan akan
merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi terhadap virus
Hog Cholera sehingga antibodi akan terdeteksi pada babi yang divaksinasi. Pada
babi yang tidak divaksinpun ada kemungkinan ditemukan antibodi. Hal ini bisa
terjadi karena babi sudah mengalami infeksi alam ataupun sudah memiliki maternal
antibodi (Szent-Ivanyi, 1977; van Oirschot, 2003).
Kejadian Hog Cholera biasanya terjadi akibat tertular dari babi yang sakit
atau akibat dari bahan asal hewan yang mengandung agen penyakit. Upaya
penanggulangan penyakit, manajemen kesehatan ternak yang buruk, suhu dingin
atau lingkungan yang lembab.
Upaya yang perlu dilakukan adalah dengan menerapkan manajemen lalu
lintas hewan yang baik, apabila ada hewan atau bahan asal hewan yang masuk ke

16
daerah harus dilengkapi dengan surat-surat kesehatan dari tempat asal hewan.
Upaya lain yang dapat dilakukan yaitu dengan mengadakan sosialisasi kepada
peternak tentang penyakit tersebut, sanitasi, vaksinasi, dan disarankan kepada
peternak jika pada ternaknya ditemukan gejala penyakit yang mengarah ke Hog
Cholera agar segera melapor kepada dinas peternakan atau dokter hewan setempat
supaya dapat dilakukan tindakan sesegera mungkin.

17
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN
1. Berdasarkan pengamatan lapangan, tabulasi data sekunder, dan sitasi artikel
ilmiah, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi kejadian outbreak Hog
Cholera di Provinsi Bali. Angka kejadian kasus Hog cholera dari tahun 2014
hingga 2018 secara berturut-turut adalah 304, 375, 304, 222, dan 130 . Total
jumlah kasus Hog cholera pada babi tahun 2014 hingga tahun 2018 adalah
1.335.
2. Upaya yang perlu dilakukan adalah dengan menerapkan manajemen lalu
lintas hewan yang baik, sosialisasi kepada peternak tentang penyakit
tersebut, vaksinasi, sanitasi, dan disarankan kepada peternak jika pada
ternaknya ditemukan gejala penyakit yang mengarah ke Hog Cholera agar
segera melapor kepada dinas peternakan atau dokter hewan setempat supaya
dapat dilakukan tindakan sesegera mungkin.
5.2 SARAN
1. Perlu dilakukan sosialisasi kepada peternak tentang penyakit tersebut, dan
disarankan kepada peternak jika pada ternaknya ditemukan gejala penyakit
yang mengarah ke Hog Cholera agar segera melapor kepada dinas
peternakan atau dokter hewan setempat supaya dapat dilakukan tindakan
sesegera mungkin.
2. Disarankan menerapkan manajemen lalu lintas hewan, bahan asal hewan,
hasil bahan asal hewan antar daerah untuk mencegah terjadinya Hog
Cholera, dan didukung oleh pemberian pakan yang mampu memenuhi
kebutuhan tubuh hewan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ardana, IBK. dan Putra, DKH. 2008. Ternak Babi; Manajemen Reproduksi,
Produksi, dan Penyakit. Cetakan Pertama. Udayana University Press.

Berata, IK., Winaya, IBO., Suarjana, IGK., Suardana, IBK.2009, Pemberantasan


Penyakit dan Vaksinasi Hog Cholera Pada Ternak Babi Di Desa Kelating
Tabanan. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana

Dahle, J . and Liess, B. 1995. Comparative Study With Clones Classical Swine
Fever Virus Strains Alfort And, Glentorf: Clinical, Pathologi Cal, Virological
and Serological Findings In Weaner Pigs . Wiener Tierarztliche Monatsschrift
82: 232-238.

Departemen of Agriculture, Fisheries and Forestry (DAFF), 2008. Classical Swine


Fever. Departemen of Agriculture, Fisheries and Forestry. Australia.
http://www.daff.gov.au/animal-plant-health/pests-diseases-weeds/animal/
swinefever. Tanggal Akses 25 Juli 2018.

Gregg, D. 2002. Update On Classical Swine Fever (Hog Cholera). J Swine Health
Prod 10(1). Hal. 33-37.Harkness, JW. 1985 . Classical Swine Fever Dan Its
Diagnosis: A Current View. Vet. Rec. 116: 288-293.

Horzinek. 1981. Non Arthropod Borne Toga Viruses. Academic Press, New Work.

OIE. 2008. Classical swine fever (hog cholera) dalam OIE Terrestrial Manual.
www.oie.int. hal. 1092-1106.

Ratundima, EM., Suartha, IN., Mahardhika, IGNK..2012. Deteksi Antibodi


Terhadap Virus Classical Swine Fever Dengan Teknik Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay. Indonesia Medicus Veterinus 2012 1(2) : 217 – 227

Ressang, AA. 1973. Studieson Thepathogenesis Of Hog cholera. I.


Demonstrationof Hog Cholera Virus Subsequent To Oral Exposure. Zb/. Vet.
Med. B 20: 256-271.

Suartha, IN., Mahardika, IGNK., Dewi, CIAS., Nursanty, KD., Kote, YLS.,
Handayani, AD., Suartini, GAA. 2008. Penerapan teknik Reverse
Transcriptase-Polymerase Chain Reaction untuk peneguhan diagnosis
penyakit Distemper pada anjing. Jurnal Veteriner, Vol.9 No.1: 25-32.

Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia). Gadjah Mada UniversityPress.


Yogyakarta

Szent-Ivanyi, T., 1977. Eradication of classical swine fever in Hungary.


Proceedings of the CEC Seminar on Hog Cholera/Classical Swine Fever and
African Swine Fever. EUR 5904 EN, Hannover, pp. 443–440.

19
Tarigan, S., Bahm, S., Sarosa, A. 1997. Hog Cholera pada Babi. Balai Penelitian
Veteriner. Wartazoa. Vol. 6 No. 1

Tenaya, IWM. dan Diarmita, IK. 2013. Gambaran Situasi dan Hasil Surveilan
Penyakit Hog Cholera di Wilayah Kerja BBVet Denpasar 2009-2012. Buletin
Veteriner. Vol. 25 No. 82 :1-9

Terpstra, C. 1991 . Hog Cholera: An Update Of Present Knowledge. British Vet . J.


147: 397406.

Thiel, HJ ., Stark, R., Weiland, E., Rumenapf, T. and Meyers, G. 1991. Hog Cholera
Virus : Molecular Composition Of Virions From A Pestivirus. J. Viro 65:
4705-4712
Van Oirschot, JT. 1979. Experimental Production Of Congenital Persistent Swine
Fever Infections. Ii. Effect On Functionsof Theimmune System. Veterinary
Microbiology 101, 201-215

Van Oirschot, JT. 2003. Vaccinology of Classical Swine Fever: From Lab to Field.
Veterinary Microbiology 96, 367-384.

Wirata, IW., Chandra, IAS., Narendra, IGN., Wiyana, IBO., Suardana, IBK.,
Mahardika, IGNK. 2010. Konfirmasi Virus Classical Swine Fever dari
Kasus-Kasus Tersangka pada Babi di Bali Tahun 2007-2008 dengan Reverse
Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Laboratorium
Biomedik Veteriner, Universitas Udayana, Denpasar. Jurnal Veteriner. Vol.
11 No. 3 : 144-151

Wood, L., Brockman, S., Harkness, J. W. And Edwards, S. 1988. Classical Swine
Fever: Virulence Dan Tissue Distribution Of A 1986 English Isolate In Pigs.
Vet. Rec. 122: 391394.

20

Anda mungkin juga menyukai