Anda di halaman 1dari 9

FASILITAS KB DAN KITE:

ALTERNATIF PEMANFAATAN FASILITAS IMPOR


BAGI INDUSTRI BERORIENTASI EKSPOR

Oleh: AHMAD DIMYATI


Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai

I. Pendahuluan
Industri yang hasil produksinya ditujukan untuk diekspor dapat menggunakan salah satu
fasilitas pembebasan atau penangguhan bea masuk atas barang/bahan yang diimpornya.
Walaupun fasilitas bea masuk dan pajak dalam rangka impor bukan merupakan satu-satunya
faktor untuk mendorong pertumbuhan industri di dalam negeri, pemberian fasilitas tersebut
diharapkan dapat sebagai insentif bagi industri untuk efisiensi dan penekanan cost sehingga
industri dapat tumbuh berkembang dengan baik.
Barang impor/bahan baku yang dimasukkan ke Kawasan Berikat (KB) untuk diolah diberikan
penangguhan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor. Sedangkan barang
impor/bahan baku yang akan diproses/diolah oleh pengusaha penerima fasilitas Kemudahan
Impor Tujuan Ekspor (KITE) diberikan pembebasan bea masuk dan PPN/PPn.BM tidak dipungut,
atau jika bea masuknya sudah dibayar akan diberikan restitusi (pengembalian bea masuk).
Jika demikian mana yang lebih menguntungkan, fasilitas KB atau fasilitas KITE? Jika
pertanyaan tersebut ditujukan kepada pihak pabean, jawabannya adalah tidak ada yang
menguntungkan. Mengapa demikian? Barang yang masuk ke KB maupun yang diimpor oleh
pengusaha KITE tidak dipungut bea masuk, tidak ada kontribusinya bagi penerimaan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Fungsi pabean dalam konteks ini adalah sebagai fasilitator
terhadap industri agar industri dalam negeri tumbuh. Pihak pabean harus memastikan bahwa
kebijakan pemerintah tersebut harus berjalan sesuai dengan harapan. Tidak terjadi penyimpangan
tujuan. Namun jika pertanyaan tersebut diajukan oleh pihak pengusaha industri, maka jawabannya
tergantung dari industri itu sendiri. Fasilitas KB diberikan terhadap lembaganya, sedangkan
fasilitas KITE diberikan terhadap barangnya.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat
disebutkan bahwa Kawasan Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang
impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau
digabungkan, yang hasilnya terutama untuk diekspor. Dalam kaitan ini yang dimaksud dengan
Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi
persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan
mendapatkan penangguhan Bea Masuk.

1
Sedangkan mengenai pengertian KITE baik dalam Undang-undang Kepabeanan (Undang-
undang nomor 17 tahun 2006) maupun dalam Peraturan Menteri Keuangan terkait tidak
disebutkan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 253 dan 254/PMK.04/2011 dijelaskan
bahwa Impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan
tujuan untuk diekspor, diberikan pembebasan bea masuk atau pengembalian bea masuk yang
telah dibayar. Tulisan ini akan membahas komparasi fasilitas atas KB dan KITE berdasarkan
ketentuan KB yang baru, dan ketentuan KITE yang diberlakukan mulai tanggal 1 April 2012.

II. Pembahasan
Prinsip kepabeanan Indonesia adalah semua barang yang dimasukkan ke dalam daerah
pabean dianggap sebagai barang impor dan terutang bea masuk (pasal 2 Undang-undang
Kepabeanan). Barang impor merupakan obyek pengenaan bea masuk, namun kewajiban
pelunasan bea masuk terjadi jika barang impor tersebut “diimpor untuk dipakai”. Impor untuk
dipakai adalah: (1) memasukkan barang ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipakai;
atau (2) memasukkan barang ke dalam daerah pabean untuk dimiliki atau dikuasai oleh orang
yang berdomisili di Indonesia (pasal 10B Undang-undang Kepabeanan).
Dalam kasus barang impor untuk keperluan proses produksi pada Kawasan Berikat ataupun
pada KITE, barang tersebut tidak diimpor untuk dipakai melainkan diimpor untuk diekspor kembali.
Berikut ini digambarkan alur barang impor dalam fasilitas KB/KITE.

Alur barang impor dalam fasilitas KB/KITE

Barang/bahan Proses produksi Ekspor


baku asal impor menjadi barang barang jadi
jadi

Barang impor yang dimasukkan ke KB maupun barang impor untuk keperluan perusahaan
KITE setelah dilakukan proses produksi, hasilnya diekspor. Oleh karena barang tersebut diekspor
kembali, maka bea masuk dan pajak dalam rangka impornya tidak dipungut.

Fasilitas Kawasan Berikat


Fasilitas Kawasan Berikat diberikan terhadap industri yang telah berstatus sebagai Kawasan
Berikat (KB). Pengusaha yang melakukan kegiatan pengusahaan KB disebut Pengusaha
Kawasan Berikat, atau Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan
Berikat (PDKB). Untuk memperoleh fasilitas KB, pengusaha industri mengajukan permohonan
kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Bea dan Cukai melalui Kepala Kantor Bea dan
Cukai setempat. Permohonan dilampiri dengan fotocopy Nomor Induk Kepabeanan (NIK), NPWP,

2
izin usaha dan izin terkait lainnya, peta lokasi, serta mengisi daftar isian (lihat Peraturan DJBC no.
57/BC/2011 tentang Kawasan Berikat).

Alur proses perizinan KB

Permohonan Kepala Kantor 15 hr Dirjen BC a.n.


dsbBEkspor
dilampiri menyiapkan BA Men. Keu.
barang jadi
dokumen terkait peta lokasi, dan menerbitkan
rekomendasi 10 hr izin

Kepala Kantor Bea dan Cukai setelah meneliti berkas permohonan dan peninjauan
lapangan, dalam waktu paling lambat 15 hari meneruskan permohonan disertai dengan
rekomendasinya kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Selanjutnya Direktur Jenderal Bea dan
Cukai berdasarkan rekomendasi dari Kepala Kantor Bea dan Cukai, memutuskan apakah
permohonan ditolak atau diterima dalam jangka waktu paling lambat 10 hari kerja sejak
permohonan diterima dengan lengkap dan benar.
Setelah izin diperoleh, sebelum memulai kegiatan Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB
harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai yang
mengawasi dengan melampirkan: (a) saldo awal Barang Modal dan peralatan perkantoran; dan (b)
saldo awal persediaan Bahan Baku, bahan dalam proses, dan barang jadi.
Lokasi Kawasan Berikat harus berada di kawasan industri. Namun beberapa pengecualian
diberikan terhadap Kawasan Berikat yang berada di kawasan budi daya sepanjang Kawasan
Berikat tersebut diperuntukkan bagi:
a. perusahaan yang menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan
lokasi khusus;
b. perusahaan industri mikro dan kecil; dan/atau
c. perusahaan industri yang akan menjalankan industri di daerah kabupaten atau kota
yang belum memiliki kawasan industri, atau yang telah memiliki kawasan industri namun
seluruh kavling industrinya telah habis.
Industri Kawasan Berikat yang berada di lokasi budi daya antara lain dapat berupa: industri
kelapa sawit/CPO, industri pertambakan udang, industri semen dan lain-lain. Luas lokasi kawasan
budidaya tersebut paling sedikit 10.000 meter persegi. Di lokasi tersebut boleh berada satu atau
lebih Kawasan Berikat.
Fasilitas bagi industri yang telah diberikan izin sebagai Pengusaha Kawasan Berikat/PDKB
selain kemudahan pelayanan juga diberikan fasilitas penangguhan bea masuk, pembebasan
cukai, dan pajak dalam rangka impor (PDRI) tidak dipungut atas barang yang diimpornya.
Fasilitas penangguhan bea masuk dan PDRI tersebut tidak hanya diberikan atas barang/bahan
yang akan diproses produksi tetapi juga atas barang modal berupa peralatan untuk pembangunan,
atau konstruksi Kawasan Berikat, mesin-mesin, dan cetakan/moulding; dan peralatan kantor.

3
Pada Kawasan Berikat juga tidak dipungut pajak berupa PPN dan PPn.BM penyerahan
dalam negeri, seperti pemasukan dan pengeluaran barang yang berasal dari tempat lain dalam
daerah pabean (TLDDP), pemasukan dan pengeluaran barang/mesin dalam rangka subkontrak
dan sebagainya. Seperti diketahui bahwa Pengusaha Kawasan Berikat/PDKB juga boleh
melakukan sub kontrak sebagian pekerjaannya kepada industri di luar Kawasan Berikat.
Pengeluaran barang hasil produksi Kawasan Berikat disamping untuk diekspor ke luar
daerah pabean juga dapat ditujukan untuk:
a. Kawasan Berikat lainnya, untuk diproses lebih lanjut;
b. Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat (TPPB);
c. pengusaha di Kawasan Bebas (free trade zones); atau
d. dijual ke tempat lain dalam daerah pabean.
Disamping untuk tujuan ekspor, Pengusaha Kawasan Berikat/PDKB dapat menjual hasil
produksinya ke TLDDP. Jumlah yang dapat diizinkan untuk dijual ke TLDDP paling banyak 25%
dari nilai realisasi ekspor tahun sebelumnya dan nilai realisasi penyerahan ke Kawasan Berikat
lainnya tahun sebelumnya. Jika ketentuan mengenai batasan pengeluaran hasil produksi
dilampaui, diberlakukan pengurangan jumlah persentase penjualan ke TLDDP untuk periode tahun
berikutnya. Dalam hal pada periode tahun berikutnya tetap tidak dipenuhi, terhadap Pengusaha
Kawasan Berikat atau PDKB dilakukan pembekuan izin Kawasan Berikat untuk jangka waktu 3
(tiga) bulan.
Penjualan barang hasil produksi Kawasan Berikat ke TLDDP dikenakan bea masuk, cukai
(atas barang kena cukai) dan PDRI. Perhitungannya adalah sebagai berikut:
Bea Masuk dihitung berdasarkan nilai pabean dan klasifikasi yang berlaku pada saat barang
impor dimasukkan ke Kawasan Berikat; dan pembebanan (besaran tarif) pada saat pemberitahuan
pabean impor untuk dipakai didaftarkan. Sedangkan PDRI dihitung berdasarkan nilai impor yang
berlaku pada saat barang impor dimasukkan ke Kawasan Berikat. Artinya perhitungan bea masuk
maupun PDRI didasarkan pada barang/bahan baku yang diimpor, bukan barang jadi.
Dalam hal hasil produksi dalam kondisi rusak, Bea Masuk dihitung berdasarkan harga
transaksi pada saat pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke TLDDP; klasifikasi yang berlaku
pada saat barang impor dimasukkan ke Kawasan Berikat (bahan baku); dan pembebanan pada
saat pemberitahuan pabean impor untuk dipakai didaftarkan. Sedangkan PDRI dihitung
berdasarkan harga jual.
Kawasan Berikat merupakan suatu lembaga yang diawasi oleh pihak pabean karena di
dalamnya ditimbun barang impor yang kewajiban pabeannya belum sepenuhnya diselesaikan.
Barang impor sejak dibongkar di kawasan pabean di pelabuhan hingga ditimbun di Kawasan
Berikat berada di bawah pengawasan pabean hingga jelas penyelesaian ekspornya, atau
dipindahtangankan ke TLDDP. Oleh karena barang yang berada di dalam KB dibawah
pengawasan pabean, semua kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang dari/ke KB harus
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pihak pabean.

4
Fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE)
Fasilitas KITE semula dikenal sebagai “drawback system”. Barang/bahan baku impor yang
telah dibayar bea masuknya setelah menjadi barang jadi diekspor ke luar daerah pabean. Atas
realisasi ekspornya dimintakan restitusi (pengembalian bea masuk).
Perundang-undangan kepabeanan Indonesia memberikan dua pilihan fasilitas, pembebasan
atau pengembalian bea masuk. Ketentuannya adalah atas barang/bahan baku asal impor untuk
diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor, diberikan
pembebasan bea masuk atau pengembalian bea masuk yang telah dibayar. Dengan demikian ada
dua cara pemberian fasilitas, yaitu dengan pemberian pembebasan bea masuk, dan dengan
pemberian restitusi/pengembalian bea masuk.
Fasilitas pembebasan maupun pengembalian bea masuk dapat diberikan kepada badan
usaha yang telah memperoleh NIPER (Nomor Induk Perusahaan) Pembebasan, atau NIPER
Pengembalian. Untuk memperoleh NIPER dimaksud badan usaha mengajukan permohonan
kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai yang
mengawasi lokasi pabrik badan usaha yang bersangkutan. Permohonan dilampiri dengan copy
NIK, izin usaha, copy bukti kepemilikan atau penguasaan lokasi atas gudang penimbunan Bahan
Baku, pabrik tempat proses produksi, dan gudang penimbunan barang Hasil Produksi. Disamping
itu juga melampirkan daftar badan usaha penerima sub kontrak; dan daftar rencana Hasil
Produksi dan Bahan Baku (lihat Peraturan Menteri Keuangan no. 253 dan 254/PMK.04/2011).

Alur proses perizinan KITE

Permohonan
Badan Usaha Kepala
Permohonan KWBC/KPU
dilampiri Meneliti/meme
dokumen terkait riksa lokasi
NIPER
45 hr rekomendasi

KWBC/KPU setelah meneliti berkas permohonan dan peninjauan lapangan akan membuat
keputusan. Keputusan apakah permohonan ditolak atau diterima akan diberikan dalam waktu
paling lambat 45 hari sejak permohonan diterima dengan lengkap. Jika diterima diterbitkan NIPER.
Pada implementasinya penetapan NIPER pembebasan atau pengembalian ditentukan
berdasarkan profilling pengusaha. Kategori pengusaha sangat baik dapat memperoleh NIPER
pembebasan, dan kategori pengusaha baik dapat memperoleh NIPER pengembalian.

Mekanisme NIPER Pembebasan


Untuk memperoleh fasilitas pembebasan, Perusahaan mengajukan permohonan kepada
Kepala Kantor Wilayah atau KPU yang menerbitkan NIPER Pembebasan dengan melampirkan:

5
a. rencana Impor yang mencantumkan perkiraan jumlah dan nilai kebutuhan bahan baku
yang diperlukan dan daftar pelabuhan tempat pembongkaran;
b. rencana ekspor yang mencantumkan perkiraan jumlah dan nilai hasil produksi yang
dihasilkan dalam periode pembebasan;
c. penjelasan masa produksi, yaitu jangka waktu yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk
melakukan produksi;
d. ijin Impor dari instansi terkait atas barang yang diberlakukan petentuan
larangan/pembatasan;
e. konversi, yaitu komposisi pemakaian bahan baku untuk setiap satuan hasil produksi;
dan
f. kontrak ekspor.

Untuk merealisasikan impor bahan baku yang telah diberikan pembebasan berdasarkan
keputusan pemberian pembebasan, perusahaan mengajukan dokumen pemberitahuan impor
dengan mencantumkan nomor keputusan mengenai pembebasan pada kolom pemenuhan
persyaratan fasilitas impor. Pengusaha juga wajib menyerahkan jaminan sebesar bea masuk atas
bahan baku yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor.
Realisasi ekspor atas hasil produksi harus dilakukan dalam periode paling lama 12 (dua
belas) bulan. Perusahaan wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan ekspor dengan
menyerahkan laporan pertanggungjawaban kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU secara
berkala setiap 6 (enam) bulan sekali selama dalam periode pembebasan. Laporan
pertanggungjawaban harus dilampiri dengan:
a. dokumen pemberitahuan pabean impor yang telah mendapatkan persetujuan keluar
pejabat bea dan cukai;
b. dokumen pemberitahuan pabean ekspor yang telah mendapat persetujuan ekspor;
c. salinan bukti penerimaan transaksi ekspor berupa buku piutang, letter of credit, rekening
koran, telegraphic transfer dan/atau dokumen yang membuktikan adanya transaksi
ekspor;
d. laporan pemeriksaan ekspor; dan
e. daftar konversi dari pemakaian bahan baku yang dimintakan pembebasan .
Terhadap hasil produksi, termasuk hasil produksi rusak/reject, yang tidak diekspor atau tidak
dilaporkan sampai dengan periode pembebasan selesai, maka jaminan dicairkan; dan perusahaan
dikenai sanksi administrasi berupa denda.
Kepala Kantor Wilayah atau KPU menyetujui atau menolak laporan pertanggungjawaban,
dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak laporan
pertanggungjawaban diterima. Jika laporan pertanggungjawaban disetujui, maka jaminan
dikembalikan sebesar bea masuk dari bahan baku yang hasil produksinya diekspor.

6
Mekanisme NIPER Pengembalian
Terhadap Pengusaha yang mendapatkan fasilitas pengembalian, atas impor bahan baku
yang akan diajukan permohonan pengembalian diberlakukan ketentuan umum di bidang impor.
Bea masuk dan pungutan impornya dibayar lunas. Perusahaan mengajukan dokumen
pemberitahuan impor dengan mencantumkan NIPER Pengembalian pada kolom pemenuhan
persyaratan fasilitas Impor. Perusahaan wajib membongkar dan menimbun bahan baku dari
Kawasan Pabean ke lokasi yang tercantum dalam NIPER.
Ekspor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
pendaftaran dokumen pemberitahuan impor. Perusahaan yang memiliki masa produksi lebih dari
12 (dua belas) bulan dapat diberikan periode waktu yang lebih lama dengan izin dari Kepala
Kantor Wilayah atau KPU.
Pengembalian dapat diberikan terhadap bea masuk yang telah dibayar atas Impor bahan
baku yang hasil produksinya telah diekspor. Pengembalian diberikan sebesar bea masuk dari
bahan baku yang terkandung dalam hasil produksi yang telah diekspor.
Pengembalian dapat diberikan sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut: hasil produksi
telah diekspor dalam jangka waktu yang ditentukan, bea masuk atas impor bahan baku telah
dibayar, telah menyerahkan laporan konversi, tidak mempunyai tunggakan utang bea masuk.
Permohonan pengembalian bea masuk diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak tanggal Laporan Pemeriksaan Ekspor (LPE).
Untuk mendapatkan pengembalian bea masuk, perusahaan mengajukan permohonan
kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU dengan melampirkan:
a. Daftar Laporan Pemakaian Bahan Baku yang dimohonkan pengembalian;
b. dokumen impor dan dokumen ekspor serta LPE dari Kantor Bea dan Cukai tempat
pemuatan barang ekspor, dalam hal proses bisnis tidak menggunakan PDE;
c. salinan bukti penerimaan transaksi ekspor berupa buku piutang, letter of credit, rekening
koran, telegraphic transfer, dan/atau dokumen yang membuktikan adanya transaksi
ekspor;
d. daftar konversi dari pemakaian bahan baku yang dimintakan pengembalian.
Kantor Pabean hanya dapat memberikan restitusi terhadap bea masuk yang telah dibayar.
Terhadap PDRI yang telah dibayar dapat dimintakan restitusi pajak kepada Kantor Pelayanan
Pajak setempat.
Walaupun secara prinsipil tujuan pemberian fasilitas KITE sama dengan fasilitas KB,
terdapat beberapa perbedaan penanganan kedua fasilitas tersebut. Perbandingan KB dan KITE
adalah sebagai berikut:

7
Perbedaan KB dan KITE

KB KITE

1. Lokasi KB harus berada di Kawasan 1. Lokasi industri tidak diatur secara khusus.
Industri, kecuali dalam hal khusus.
2. Barang/bahan baku ditimbun di luar
2. Barang/bahan baku ditimbun di kawasan kawasan pabean (tidak diawasi langsung
pabean (diawasi langsung pihak pabean). pihak pabean).

3. Pemasukan ke KB dg BC 2.3 tanpa SK 3. Pemasukan ke pabrik dg BC 2.0 dilampiri


Penangguhan BM/PDRI. SK Pembebasan BM *)

4. Tidak perlu mempertaruhkan jaminan. 4. Mempertaruhkan jaminan BM *)

5. Fasilitas diberikan juga atas impor barang 5. Barang modal dan peralatan kantor tidak
modal dan peralatan kantor. termasuk dalam fasilitas KITE.

6. Barang yang dimasukkan ke KB belum 6. Atas barang yang diimpor berlaku


berlaku ketentuan pembatasan/tataniaga ketentuan larangan pembatasan
impor. /tataniaga impor.

7. Hasil produksi boleh dijual ke TLDDP 7. Hasil produksi 100% harus diekspor*),
sebanyak-banyaknya 25% dari realisasi kecuali barang reject/rusak.
ekspor/penyerahan ke KB lain tahun
sebelumnya.
*) Fasilitas KITE dengan NIPER Pengembalian
tidak perlu melampirkan SK Pembebasan dan
jaminan; dan hasil produksi tidak harus
diekspor, karena sudah dilunasi BM dan
PDRInya.

Barang/bahan baku yang diimpor untuk diproses produksi di KB tidak membayar bea masuk
dan PDRI, dan tidak perlu menyerahkan jaminan karena KB berada dibawah pengawasan pabean.
Sebaliknya pada KITE barang/bahan baku yang diimpor harus dibayar bea masuk dan PDRI
(NIPER Pengembalian); dalam hal mendapat pembebasan bea masuk (NIPER Pembebasan)
harus diserahkan jaminan sebesar bea masuk yang terutang.

8
Untuk menjawab pertanyaan mana yang lebih menguntungkan, fasilitas KB atau KITE,
tergantung dari efisiensi industri yang bersangkutan. Namun apabila industri tersebut
memproduksi barang selain untuk diekspor juga akan dijual ke peredaran bebas (TLDDP) maka
fasilitas yang dipilih adalah fasilitas Kawasan Berikat.
Disamping itu bagi industri yang berada di luar Kawasan Industri dan tidak bermaksud
mengekspor seluruh atau sebagian dari hasil produksinya, dapat menggunakan fasilitas KITE
dengan NIPER Pengembalian. Artinya barang/bahan baku diimpor dengan membayar penuh bea
masuk dan PDRI. Selanjutnya atas hasil produksi yang diekspor dapat dimintakan pengembalian
bea masuk (drawback system). Kawasan Berikat yang selama ini menjual sebagian hasil
produksinya ke peredaran bebas, dan lokasinya berada di luar Kawasan Industri, dapat
menggunakan fasilitas ini.

III. Penutup
Fasilitas KB maupun KITE merupakan insentif bagi industri di dalam negeri. Baik Fasilitas
KB maupun KITE sama-sama memberikan fasilitas bea masuk dan pajak atas bahan baku yang
hasil produksinya ditujukan untuk diekspor. Barang/bahan baku yang dimasukkan ke KB diberikan
fasilitas penangguhan bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Sedangkan barang/bahan baku
asal impor yang diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor,
diberikan pengembalian atas bea masuk dan PDRI yang telah dibayar. Pihak industri juga dapat
diberikan pembebasan bea masuk atas barang/bahan yang diimpornya dengan syarat
melampirkan Surat Keputusan Pembebasan BM, menyampaikan jaminan, dan pada waktunya
menyampaikan laporan realisasi ekspor.
Pihak pabean harus memastikan fasilitas yang diberikan berjalan sesuai dengan koridor
yang ditetapkan. Setiap penyimpangan atas fasilitas tersebut dapat mengakibatkan tidak
tercapainya tujuan pemberian fasilitas. Pihak industri diharapkan dapat memanfaatkan fasilitas
tersebut dengan sebaik-baiknya.

Kepustakaan

Republik Indonesia (2006). Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Republik Indonesia (2009). Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat.
Departemen Keuangan RI (2011), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.04/2011 tentang Pengembalian
Bea Masuk Yang Telah Dibayar Atas Impor Barang dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau dipasang Pada
Barang lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor.
Departemen Keuangan RI (2011), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2011 tentang Pembebasan Bea
Masuk Atas Impor Barang dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau dipasang Pada Barang lain Dengan
Tujuan Untuk Diekspor .
Departemen Keuangan RI (2011), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2011), Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 57/BC/2011 tentang
Kawasan Berikat.

Anda mungkin juga menyukai