BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
L2 terdiri dari sel blas berukuran lebih besar, ukuran inti tidak beraturan,
kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti, dan membran
nukleolus yang irregular serta sitoplasma yang berbeda warna. Sekitar
27% kasus LLA, didapati morfologik tipe L2 dan lebih sering terjadi pada
pasien usia di atas 15 tahun (Gamal, 2011).
• LLA-L3
L3 terdiri dari sel blas berukuran besar, ukurannya homogen, ukuran inti
bulat atau oval dengan kromatin berbercak, anak inti banyak ditemukan,
sitoplasma yang sangat basofilik disertai dengan vakuolisasi. Pada tipe ini,
terjadi mitosis yang cepat sebagai pertanda dari adanya tahapan aktifitas
dari makrofag (Gambar 1) (Gamal, 2011).
Gambar 1 :
(A)L1 limfoblas
(B)L2 limfoblas
(C)L3 limfoblas
(Howard dan
Hamilton, 2008)
3. Klasifikasi Imunofenotip
Klasifikasi berdasarkan imunofenotip dapat mengklasifikasikan leukemia
sesuai dengan tahap-tahap maturasi normal yang dikenal. Klasifikasi ini
membagi LLA ke dalam prekursor sel-B atau sel-T. Prekursor sel B
termasuk CD 19, CD 22, CD 34, dan CD 79. Sedangkan prekursor sel T
membawa imunofenotip CD 2, CD 3, CD 4, CD 5, CD 7, atau CD 8
(Gamal, 2011).
Gambar 2 : Asal sel dan evolusi dari sel kanker (Roganovic, 2013)
2. Jumlah leukosit
Jumlah leukosit awal pada saat penengakan diagnosis LLA sangat
bermakna tinggi sebagai suatu faktor prognostik. Ditemukan adanya
hubungan antara hitung jumlah leukosit dengan outcome pasien LLA pada
anak, yaitu pada pasien dengan jumlah leukosit > 50.000/mm3 akan
mempunyai prognosis yang buruk.
3. Jenis kelamin
Beberapa penelitian menyatakan bahwa anak perempuan cenderung
mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan anak laki-laki. Hal ini
dikarenakan anak laki-laki mempunyai kecenderungan untuk terjadi relaps
testis, insidensi leukemia sel-T yang tinggi, hiperleukositosis, dan
organomegali serta massa pada mediastinum.
4. Imunofenotipe
Imunofenotipe juga berperan dalam menentukan faktor prognostik pasien
LLA. Leukemia sel-B (L3) dengan antibodi “kappa” dan “lambda” pada
permukaannya diketahui mempunyai prognosis buruk tetapi dengan
pengobatan yang spesifik, prognosisnya membaik. Sel-T leukemia juga
mempunyai prognosis yang buruk dan digolongkan sebagai kelompok
resiko tinggi.
5. Respon terhadap terapi
Respon pasien terhadap terapi dapat kita ukur dari jumlah sel blas yang
ditemukan pada pemeriksaan darah tepi seminggu setelah dimulai terapi
prednison. Prognosis dikatakan buruk apabila pada fase induksi hari ke-7
atau 14 masih ditemukan adanya sel blas pada sumsum tulang.
6. Kelainan jumlah kromosom
LLA hiperdiploid (>50 kromosom/sel) mempunyai prognosis yang baik,
sedangkan LLA hipodiploid (< 45 kromosom/sel) mempunyai prognosis
yang buruk. Adanya translokasi t(9;22) atau t(4;11) pada bayi
berhubungan dengan prognosis buruk.
Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas
gejala klinis leukemia. Selain itu, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah
sel blas <5% dari sel berinti, hemoglobin >12gr/dL tanpa transfusi, jumlah
leukosit > 3.000/uL dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit >
2.000/uL, jumlah trombosit > 100.000/uL, dan pemeriksaan cairan serebrospinal
normal (Permono dan Urgasena, 2010).
pada sel yang normal disebut sebagai efek samping. Efek samping yang
paling sering dikeluhkan adalah sebagai berikut :
- Anemia
- Alopecia
- Lebam, perdarahan dan infeksi
- Mual dan muntah
- Perubahan selera makan
- Konstipasi
- Diare
- Masalah kesehatan mulut, gusi, dan tenggorokan
- Gangguan otot dan saraf
- Gangguan pada kulit dan kuku
- Gangguan ginjal, vesika urinaria, dan urine
- Weight gain (ACS, 2013).
hal. Sekitar 50-60% anak yang menderita kanker mengalami malnutrisi yang
dipengaruhi oleh jenis keganasan dan negara tempat tinggal, baik negara
berkembang ataupun negara maju (Alcazar, 2013).
Menurut penelitian Underzo et al. (1996) dan Reilly J, et al. (1999) dalam
Alcazar A. M., et al (2013), prevalensi malnutrisi pada pasien yang didiagnosis
menderita LLA sekitar 7% untuk negara berkembang, dan pada penelitian yang
lainnya menunjukkan angka sekitar 21-23%. Prevalensi anak-anak yang
mengalami obesitas setelah selesai pengobatan adalah sekitar 20-34%. Nutrisi
menjadi salah satu faktor yang penting dalam menentukan prognosis dan harapan
hidup dari pasien LLA.
Pada pasien LLA yang mengalami malnutrisi pada saat ditegakkan
diagnosis, ditemukan bahwa kemoterapi lebih berbahaya dan tidak begitu efektif
dibandingkan dengan pasien LLA yang mempunyai nutrisi adekuat. Toksisitas
hematologi adalah penyebab paling sering dari komplikasi yang terjadi, seperti
meningkatkanya resiko infeksi, perdarahan, dan relapse yang disebabkan oleh
neutropenia, trombositopenia, dan pengobatan yang dihentikan (Alcazar, 2013).
IL-1β, dan IL-6 yang dihasilkan oleh jaringan tumor, sel stroma, sistem
imun selain itu juga disebabkan TNF- α, dan INF-γ (Bauer, 2011).
Sitokin-sitokin tersebut akan mempengaruhi asupan makanan dan
penggunaan energi sehingga menyebabkan gejala klinis dari cachexia.
Sitokin akan dibawa melewati blood-brain barier dan berinteraksi dengan
sel endotel yang berada di permukaan lumen otak yang menyebabkan
suatu substansi dikeluarkan dan mempengaruhi selera makan (Bauer,
2011).
Reseptor TNF- α dan IL-1 ditemukan berada di daerah
hipotalamus, yang berperan dalam pengaturan nafsu makan. Semua sitokin
ini akan menyebabkan terjadinya anoreksia. Selain itu, prostaglandin juga
berperan sebagai mediator penekan nafsu makan (Tisdale, 2009).
Selain itu, hal-hal seperti meningkatnya jumlah nutrisi yang
dibutuhkan oleh pasien kanker, gangguan penyerapan nutrient disebabkan
adanya gangguan saluran pencernaan oleh karena efek samping
pengobatan, gangguan metabolik dan hormonal, nyeri yang tidak
terkontrol, dan gangguan pada pengecapan akan memicu penurunan
asupan energi sehingga resiko terjadinya cachexia lebih tinggi (Bauer,
Jacqueline, 2011).
• Mekanisme obesitas
Obesitas atau overweight merupakan hal yang perlu diperhatikan
sebagai akibat dari pengobatan kanker jangka panjang. Mekanisme pasti
dari terjadinya obesitas belum dapat dijelaskan secara pasti, namun ada
beberapa hipotesis yang menjelaskan adanya akumulasi berlebihan dari
lemak tubuh sehingga menyebabkan IMT yang berlebihan (Alcazar,
2013).
Terapi kortikosteroid selain digunakan untuk pengobatan LLA,
juga dapat meningkatkan sintesis leptin. Setelah leptin dihasilkan dan
masuk ke dalam aliran darah, leptin akan mencapai sistem saraf pusat dan
berikatan dengan reseptornya yang terdapat di hipotalamus. Aktivasi dari
Untuk anak-anak, IMT spesifik terhadap usia dan jenis kelamin, sehingga sering
disebut BMI-for-age.