Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

SINUSITIS

Disusun Oleh:
Adyzka Marshalivia
1102013011

Pembimbing:
Mayor (CKM) dr. Moh Andi, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


PERIODE 6 AGUSTUS- 7 SEPTEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI
RUMAH SAKIT MOH. RIDWAN MEURAKSA

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam kepada
Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir jaman.
Karena atas rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat ini
sebagai syarat kelulusan dalam Program Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu
Bedah di RS TK. II Moh. Ridwan Meuraksa.
Penyelesaian referat ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak baik moril
maupun materiil, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
kepada:
1. Mayor (CKM) dr. Moh Andi, Sp.THT-KL selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam proses
penyelesaian referat ini sekaligus kepala SMF Departemen Ilmu THT di
RS TK. II Moh. Ridwan Meuraksa yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis di kepaniteraan klinik Departemen Ilmu THT.
2. dr. Tri Damijatno, Sp.THT-KL selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan masukan kepada penulis dalam proses penyelesaian referat
ini.
3. Seluruh staf pengajar FK Universitas YARSI atas ilmu yang telah
diberikan di masa preklinik sebagai bekal penulis dalam menjalani
program kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu THT.
4. Seluruh staf dan perawat Departemen Ilmu THT atas bimbingannya dan
kesempatan yang diberikan selama kepaniteraan klinik di Departemen
Ilmu THT.
5. Kedua orangtua tercinta, ayahanda dr. Surachtono, Sp.An, KIC. dan
Ibunda drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH. atas doa yang tidak pernah
putus, kasih sayang, serta segala dukungan yang telah diberikan kepada
penulis baik berupa moril maupun materiil.
6. Kakak dan adikku, Putrizka Novidya dan Adrianzka Mayreswara atas
segala dukungan dan perhatian yang diberikan.
7. Seluruh rekan rekan sejawat peserta Program Kepaniteraan Klinik di RS
TK II Moh Ridwan Meuraksa atas dukungan dan perhatian yang
diberikan.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

2
sehingga penyusunan ini dapat lebih baik sesuai dengan hasil yang
diharapkan.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

3
Sinusitis mengenai sekitar 16% populasi dewasa di Amerika Serikat, yang
menyebabkan biaya kesehatan sejumlah 5,8 milyar dollar Amerika pada tahun
1996. Mayoritas pasien datang ke unit pelayanan kesehatan primer yaitu sebanyak
18 juta kunjungan per tahun. Derajat gangguan aktivitas yang ditimbulkan sangat
mendasar dan sebanding dengan penyakit kronik lainnya seperti penyakit paru
obstruktif kronis, angina dan nyeri punggung.1
Komplikasi akibat sinus paranasal sangat bervariasi, baik lokal, intra
orbital maupun intrakranial. Sinusitis dengan komplikasi intra orbita adalah
penyakit yang berpotensi fatal yang telah dikenal sejak zaman Hippocrates.
Diperkirakan bahwa 1 dari 5 pasien mengalami komplikasi sinusitis sebelum era
antibiotik.2,3 Pada era antibiotik saat ini 17% dari penderita dengan selulitis orbita
meninggal karena meningitis dan 20% mengalami kebutaaan.4 Komplikasi
intrakranial sinusitis jarang terjadi pada era antibiotik dimana angka kejadiannya
sekitar 4% pada pasien yang dirawat dengan sinusitis akut atau kronik. Meskipun
jarang, komplikasi ini dapat mengancam jiwa akibat komplikasi dari meningitis,
epidural empiema serta abses, trombosis sinus kavernosus, dan abses serebri.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

4
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.6,7
Rhinitis dan sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada
kebanyakan individu, sehingga terminologi yang digunakan saat ini adalah
rinosinusitis. Rinosinusitis (termasuk polip nasi) didefinisikan sebagai inflamasi
hidung dan sinus paranasal yang ditandai adanya dua atau lebih gejala, salah
satunya harus termasuk sumbatan hidung/ obstruksi nasi/ kongesti atau pilek
(sekret hidung anterior/ posterior)
± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
± penurunan/ hilangnya penghidu
dan salah satu dari
 Temuan nasoendoskopi:
o
Polip dan atau
o
Sekret mukopurulen dari meatus medius dan atau
o
Edema/ obstruksi mukosa di meatus medius
dan atau
 Gambaran tomografi komputer:
o
Perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus.8

2.2 Anatomi Rongga Hidung dan Sinus Paranasal


Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus etmoid,
sinus maksila, dan sinus sfenoid. Sinus-sinus ini pada dasarnya adalah rongga-
rongga udara yang berlapis mukosa di dalam tulang wajah dan tengkorak.
Pembentukannya dimulai sejak dalam kandungan, akan tetapi hanya ditemukan
dua sinus ketika baru lahir yaitu sinus maksila dan etmoid. 9 Sinus frontal mulai
berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia sekitar 8 tahun dan menjadi
penting secara klinis menjelang usia 13 tahun, terus berkembang hingga usia 25
tahun. Pada sekitar 20% populasi, sinus frontal tidak ditemukan atau rudimenter,
dan tidak memiliki makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi
sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan
atau dua puluhan.6 Dinding lateral nasal mulai sebagai struktur rata yang belum
berdiferensiasi. Pertumbuhan pertama yaitu pembentukan maxilloturbinal yang
kemudian akan menjadi kokha inferior. Selanjutnya, pembentukan ethmoturbinal,

5
yang akan menjadi konka media, superior dan supreme dengan cara terbagi
menjadi ethmoturbinal pertama dan kedua. Pertumbuhan ini diikuti pertumbuhan
sel-sel ager nasi, prosesus uncinatus, dan infundibulum etmoid. Sinus-sinus
kemudian mulai berkembang. Rangkaian rongga, depresi, ostium dan prosesus
yang dihasilkan merupakan struktur yang kompleks yang perlu dipahami secara
detail dalam penanganan sinusitis, terutama sebelum tindakan bedah.9 Tulang-
tulang pembentuk dinding lateral hidung dijelaskan dalam gambar 1.10

Gambar 1. Tulang-tulang pembentuk dinding lateral hidung (1. Nasal; 2. Frontal;


3. Etmoid; 4. Sfenoid; 5. Maksila; 6. Prosesus palatina horizontal; 7.
Konka superior (etmoid); 8. Konka media (etmoid); 9. Konka inferior;
10. Foramene sfenopalatina; 11. Lempeng pterigoid media; 13.
Hamulus pterigoid media)10

Dari struktur di atas, dapat dilihat atap kavum nasi dibentuk oleh tulang-
tulang nasal, frontal, etmoid, sfenoid dan dasar kavum nasi dibentuk oleh maksila
dan prosesus palatina, palatina dan prosesus horizontal. Gambar 1 menunjukkan
anatomi tulang-tulang pembentuk dinding nasal bagian lateral. Tiga hingga empat
konka menonjol dari tulang etmoid, konka supreme, superior, dan media. Konka
inferior dipertimbangkan sebagai struktur independen. 10 Masing-masing struktur
ini melingkupi ruang di baliknya di bagian lateral yang disebut meatus, seperti
terlihat pada gambar 2.

6
Gambar 2. Meatus pada dinding lateral hidung10

Sebuah lapisan tulang kecil menonjol dari tulang etmoid yang menutupi
muara sinus maksila di sebelah lateral dan membentuk sebuah jalur di belakang
konka media. Bagian tulang kecil ini dikenal sebagai prosesus unsinatus.9 Jika
konka media diangkat, maka akan tampak hiatus semilunaris dan bulla etmoid
seperti tampak pada gambar 3. Dinding lateral nasal bagian superior terdiri dari
sel-sel sinus etmoid yang ke arah lateral berbatasan dengan epitel olfaktori dan
lamina kribrosa yang halus. Superoanterior dari sel-sel etmoid terdapat sinus
frontal. Aspek postero-superior dari dinding lateral nasal merupakan dinding
anterior dari sinus sfenoid yang terletak di bawah sela tursika dan sinus
kavernosa.10

10
Gambar 3. Struktur di balik konka

Sinus paranasal dalam kondisi normal mengalirkan sekresi dari mukosa ke


daerah yang berbeda dalam kavum nasi seperti terlihat dalam gambar 4. Aliran
sekresi sinus sfenoid menuju resesus sfenoetmoid, sinus frontal menuju
infundibulum meatus media, sinus etmoid anterior \menuju meatus media, sinus

7
etmoid media menuju bulla etmoid dan sinus maksila menuju meatus media.
Struktur lain yang mengalirkan sekresi ke kavum nasi adalah duktus
nasolakrimalis yang berada kavum nasi bagian anterior.10

Gambar 4. Aliran sekresi sinus10

2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi sinusitis


Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
infeksi bakteri, jamur, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal
pada wanita hamil. Faktor lokal seperti anomali kraniofasial, obstruksi nasal,
trauma, polip hidung, deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan komplek
osteomeatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, juga dapat menjadi faktor predisposisi
sinusistis. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab
terjadinya sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan
sumbatan dan menyembuhkan rinosinositisnya. Faktor lain yang juga berpengaruh
adalah polusi udara, udara dingan dan kering serta kebiasaan merokok.7,11

2.4 Klasifikasi Sinusitis


Berdasarkan beratnya penyakit, rinosinusitis dapat dibagi menjadi ringan,
sedang dan berat berdasarkan total skor visual analogue scale (VAS) (0-10cm):8
- Ringan = VAS 0-3
- Sedang = VAS >3-7
- Berat= VAS >7-10
Untuk menilai beratnya penyakit, pasien diminta untuk menentukan dalam VAS
jawaban dari pertanyaan:

8
Berapa besar gangguan dari gejala rinosinusitis saudara?
│_______________________________________________________________│
Tidak mengganggu 10 cm Gangguan terburuk yang masuk akal
Nilai VAS > 5 mempengaruhi kulaitas hidup pasien
Berdasarkan durasi penyakit, rhinosinusitis diklasifikasikan menjadi:8
Akut
< 12 minggu
Resolusi komplit gejala
Kronik
> 12 minggu
Tanpa resolusi gejala komplit
Termasuk rinosinusitis kronik eksaserbasi akut
Rinosinusitis kronik tanpa bedah sinus sebelumnya terbagi menjadi
subgrup yang didasarkan atas temuan endoskopi, yaitu:8
1. Rinosinusitis kronik dengan polip nasal
Polip bilateral, terlihat secara endopskopi di meatus media
2. Rinosinusitis kronik tanpa polip nasal
Tidak ada polip yang terlihat di meatus media, jika perlu setelah
penggunaan dekongestan.8
2.5 Patogenesis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam kompleks osteo meatal (KOM).
Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan. 7
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak
dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi
didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi
mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk
tumbuhnya bakteri patogen.7

9
Gambar 5. Patogenesis Sinusitis12
Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan
jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista. Polip nasi dapat
menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema
mukosa, dimana stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang
sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang
sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil
membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.13
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini,
yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan :13
1. Jaringan submukosa di infiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya
kering. Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
2. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat edema dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada
kelainan epitel.
3. Setelah beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar
melalui epitel yang melapisi mukosa. Kemudian bercampur dengan bakteri,
debris, epitel dan mukus. Pada beberapa kasus perdarahan kapiler terjadi
dan darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula encer dan
sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadi koagulasi
fibrin dan serum.
4. Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorpsi eksudat dan
berhentinya pengeluaran leukosit memakan waktu 10 – 14 hari.

10
5. Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke
tipe purulen, leukosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali. Resolusi
masih mungkin meskipun tidak selalu terjadi, karena perubahan jaringan
belum menetap, kecuali proses segera berhenti. Perubahan jaringan akan
menjadi permanen, maka terjadi perubahan kronis, tulang di bawahnya
dapat memperlihatkan tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis
tulang.13
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi : (1) Melalui suatu
tromboflebitis dari vena yang perforasi; (2) Perluasan langsung melalui bagian
dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik; (3) Dengan terjadinya defek; dan (4)
melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan apakah
infeksi dapat disebarkan dari sinus secara limfatik.13

2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Berdasarkan beratnya penyakit, sinusitis dapat dibagi
menjadi ringan, sedang dan berat sesuai dengan klasifikasi EPOS. Sedangkan
berdasarkan lamanya penyakit sinusitis dibagi menjadi akut dan kronik.
Berdasarkan EPOS yang dikatakan akut adalah bila gejala berlangsung <12
minggu, sedangkan kronik bila gejala berlangsung >12 minggu termasuk
rinosinusitis kronik eksaserbasi akut.7,8
2.6.1 Sinusitis Akut
Sinusitis akut umumnya dimulai dari infeksi saluran pernafasan atas oleh
virus yang melebihi 10 hari. Organisme yang umum menyebabkan sinusitis akut
termasuk Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza dan Moraxella
catarrhalis. Diagnosis dari sinusitis akut dapat ditegakkan ketika infeksi saluran
napas atas oleh virus tidak sembuh salama 10 hari atau memburuk setelah 5-7
hari.14
Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi
virus, terdapat transudasi di rongga-rongga sinus, mula-mula serous yang
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Selanjutnya diikuti oleh
infeksi bakteri , yang bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus

11
merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi
purulen. 7
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama sinusitis akut ialah hidung
tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang sering
sekali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat juga disertai gejala sistemik
seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang
terkena, merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga
dirasakan di tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi, gigi, dahi dan depan telinga
menandakan sinusitis maksila. Nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata
dan pelipis menandakan sinusitis etmoid. Nyeri di dahi atau seluruh kepala
menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks,
oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Gejala lain adalah sakit kepala,
hipoosmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak
pada anak.7,8
Gejala sugestif untuk menegakkan diagnosis terlihat pada tabel 1. Gejala yang berat dapat menyebabkan beberapa komplikasi,

dan pasien tidak seharusnya menunggu sampai 5-7 hari sebelum mendapatkan pengobatan.14

Tabel 1. Gejala Mayor dan Minor pada Diagnosis Sinusitis Akut3


Gejala Mayor
Nyeri atau rasa tertekan pada muka
Kebas atau rasa penuh pada muka
Obstruksi hidung
Sekret hidung yang purulen, post nasal drip
Hiposmia atau anosmia
Demam (hanya pada rinosinusitis akut)

Gejala Minor
Sakit kepala
Demam (pada sinusitis kronik)
Halitosis
Kelelahan
Sakit gigi
Batuk
Nyeri, rasa tertekan atau rasa penuh pada telinga

12
Diagnosis ditegakkan dengan dua gejala mayor atau satu gejala minor ditambah
dengan dua gejala minor.3
Pada rinoskopi anterior tampak pus keluar dari meatus superior atau nanah
di meatus medius pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid
anterior, sedangkan pada sinusitis etmoid posterior dan sinusitis sfenoid tampak
pus di meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak pus di nasofaring (post
nasal drip). Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap.7
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters, PA dan lateral.
Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air
fluid level) pada sinus yang sakit.7

Gambar 6. Pemeriksaan Radiologi untuk Sinus Paranasal15


Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus medius atau meatus superior. Lebih baik lagi bila
diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. Dalam interpretasi biakan
hidung, harus hati-hati, karena mungkin saja biakan dari sinus maksilaris dapat
dianggap benar, namun pus tersebut berlokasi dalam suatu rongga tulang.
Sebaiknya biakan dari hidung depan, akan mengungkapkan organisme dalam
vestibulum nasi termasuk flora normal seperti Staphilococcus dan beberapa kokus
gram positif yang tidak ada kaitannya dengan bakteri yang dapat menimbulkan
sinusitis. Oleh karena itu, biakan bakteri yang diambil dari hidung bagian depan
hanya sedikit bernilai dalam interpretasi bakteri dalam sinus maksilaris, bahkan
mungkin memberi informasi yang salah. Suatu biakan dari bagian posterior
hidung atau nasofaring akan jauh lebih akurat, namun secara teknis sangat sulit

13
diambil. Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus
maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. 6,7

1. Sinusitis Maksilaris
Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala sinusitis maksilaris akut
berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda
dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh,
dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau
turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta
nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan
terkadang berbau busuk.7
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya pus dalam hidung, biasanya dari
meatus media, atau pus atau sekret mukopurulen dalam nasofaring. Sinus
maksilaris terasa nyeri pada palpasi dan perkusi. Transluminasi berkurang bila
sinus penuh cairan. Pada pemeriksaan radiologik foto polos posisi waters dan PA,
gambaran sinusitis maksilaris akut mula-mula berupa penebalan mukosa,
selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak
hebat, atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Akhirnya terbentuk
gambaran air-fluid level yang khas akibat akumulasi pus.6
2. Sinusitis Etmoidalis
Sinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Dari anamnesis didapatkan nyeri yang
dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola
mata atau di belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis,
post nasal drip dan sumbatan hidung. Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan
pada pangkal hidung.6,7

3. Sinusitis Frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk
menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang
malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan

14
mungkin terdapat pembengkakan supra orbita. Pemeriksaan fisik, nyeri yang
hebat pada palpasi atau perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi merupakan
tanda patognomonik pada sinusitis frontalis.7

4. Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks
kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis dan oleh
karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.6

2.6.2 Sinusitis Kronis


Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Selama
eksaserbasi akut, gejala mirip dengan sinusitis akut; namun diluar masa itu, gejala
berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang
seringkali mukopurulen. Kadang-kadang hanya satu atau dua dari gejala-gejala
dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan
tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius,
gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasi, dan yang
penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak
mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis. 6,7,13 Hidung biasanya
sedikit tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor predisposisi, seperti rinitis
alergika yang menetap, dan keluhan-keluhannya yang menonjol. Pasien dengan
sinusitis kronik dengan polip nasi lebih sering mengalami hiposmia dan lebih
sedikit mengeluhkan nyeri atau rasa tertekan daripada yang tidak memiliki polip
nasi. Bakteri yang memegang peranan penting dalam patogenesis rinosinusitis
kronik masih kontroversial. Organisme yang umum terisolasi pada sinusitis
kronik termasuk Staphylococcus aureus, bakteri anaerob dan gram negatif seperti
Pseudomonas aeruginosa.13, 14

2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Sinusitis Akut
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan sinusitis supuratif
akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan negatif.

15
Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap amoksisilin.
Pilihan terapi lini pertama yang lain adalah kombinasi eritromicin dan
dulfonamide atau cephalexin dan sulfonamide.16
Antibiotik parenteral diberikan pada sinusitis yang telah mengalami
komplikasi seperti komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial, karena dapat
menembus sawar darah otak. Ceftriakson merupakan pilihan yang baik karena
selain dapat membasmi semua bakteri terkait penyebab sinusitis, kemampuan
menembus sawar darah otaknya juga baik.16
Pada sinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat digunakan
metronidazole atau klindamisin. Klindamisin dapat menembus cairan
serebrospinal. Antihistamin hanya diberikan pada sinusitis dengan predisposisi
alergi. Analgetik dapat diberikan. Kompres hangat dapat juga dilakukan untuk
mengurangi nyeri.16

Onset tiba-tiba dari 2 atau lebih gejala, salah Keadaan yang harus segera di rujuk/ dirawat
sa Edema periorbita
tunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ Pendorongan letak bola mata
kongesti atau pilek; sekret hidung anterior/ Penglihatan ganda
posterior; ± nyeri/ rasa tertekan di wajah; Oftalmoplegi
Penghidu terganggu/ hilang Penurunan visus
Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior Nyeri frontal unilateral atau bilateral
Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak Bengkak daerah frontal
direkomendasikan Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis

Gejala kurang dari 5 Gejala menetap atau


hari atau membaik memburuk setelah 5
setelahnya hari

Common cold Sedang Berat

Pengobatan simtomatik Steroid topikal Antibiotik + steroid


topikal

Tidak ada perbaikan Tidak ada perbaikan


setelah 14 hari Perbaikan dalam 48 dalam 48 jam
jam

16
Rujuk ke dokter Teruskan terapi untuk Rujuk ke dokter
spesialis 7-14 hari spesialis
Gambar 7. Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada dewasa untuk
pelayanan kesehatan primer berdasarkan European Position Paper on
Rhinosinusitisnand Nasal Polyps 20078
2 atau lebih gejala, salah satunya
Tindakan bedahberupa
sederhana pada Pikirkan sinusitisdiagnosis lain : kronik adalah
maksilaris
hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau Gejala unilateral
pilek; sekret hidung anterior/
nasoantrostomi atauposterior;
pembentukan± fenestra Perdarahan
nasoantral. Ekmoidektomi dilakukan
nyeri/ rasa tertekan di wajah; Krusta
pada
Penghidu sinusitishilang
terganggu/ etmoidalis. Frontoetmoidektomi eksternal
Gangguan dilakukan pada sinusitis
penciuman
Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior Gejala Orbita
frontalis. Eksplorasi sfenoid dilakukan pada
Foto Polos SPN/ Tomografi Komputer tidak
sinusitis sfenoidalis. Pembedahan
Edema Periorbita
direkomendasikan
sinus endoskopik merupakan suatu teknik yang Pendorongan letak bola mata
memungkinkan visualisasi yang
Penglihatan ganda
2 ataubaik
lebih dan
gejala, berupa hidung danPertimbangkan
salah satunyaanatomi
magnifikasi ostium sinusdiagnosis
Oftalmoplegi normallainbagi:
ahli bedah,
hidung tersumbat atau pilek yang tidak Gejala unilateral
Nyeri kepala bagian frontal yang berat
jernih;teknik
± nyeriini menjadi
bagian populer
frontal, akhir-akhir ini6Perdarahan
sakit kepala; . Bengkak daerah frontal
Gangguan Penghidu
Tersedia Endoskopi Krusta
2.7.2 Sinusitis Kronis Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis
Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi: Kakosmia
fokal
Pertimbangkan Tomografi Komputer Gejala Orbita
Tes Alergi Edema Periorbita
Pertimbangkan diagnosis dan Penglihatan ganda
penatalaksanaan penyakit penyerta; misal Oftalmoplegi
Asma Polip Tidak ada polip Nyeri kepala bagian
Endoskopi tidak frontal yang berat dan
Investigasi
Edem frontal
tersedia intervensi secepatnya
Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis
fokal
Pemeriksaan Rinoskopi Anterior
Ikuti skema polip Ikuti skema Foto Polos SPN/ Tomografi
hidung Dokter Rinosinusitis kronik Komputer tidak direkomendasikan
Ringan VASSpesialis
0-3 THT Dokter Spesialis THT Sedang atau berat VAS
>3-10

Rujuk Dokter Spesialis


Steroid topikal THT jika Operasi
Gagal setelah 3 bulan Steroid topikal Perlu investigasi dan
Intranasal cuci hidung Dipertimbangkan Steroid
Cuci topikal
hidung intervensi cepat
Cuci hidung
Kultur & resistensi Kuman
Gambar 8. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik
atau tanpa polip
Antihistamin
Makrolid
dengan
jika
jangka alergi
panjang
hidung pada dewasa untuk pelayanan kesehatan primer dan dokter
spesialis non Perbaikan
THT berdasarkan European Position Paper on
Rhinosinusitisnand Nasal Polyps 20078
Reevaluasi setelah 4 Gagal setelah 3 bulan
Tindak lanjut Jangka minggu
Panjang + cuci hidung
Steroid topikal
± Makrolide jangka panjang
Perbaikan Tidak ada perbaikan

Tomografi Komputer
17
Lanjutkan terapi Rujuk spesialis
Operasi THT
Gambar 9. Skema penatalaksanaan berbasis bukti rinosinusitis kronik tanpa polip
hidung pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 20078

2 atau lebih gejala, salah satunya berupa Pertimbangkan diagnosis lain :


hidung tersumbat atau sekret hidung Gejala unilateral
berwarnar; ± nyeri bagian frontal, sakit Perdarahan
kepala; Krusta
Gangguan Penghidu Kakosmia
Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi: Gejala Orbita
Pertimbangkan Tomografi Komputer Edema Periorbita
Tes Alergi Penglihatan ganda
Pertimbangkan diagnosis dan Oftalmoplegi
penatalaksanaan penyakit penyerta; misal Nyeri kepala bagian frontal yang berat
ASA Edem frontal
Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis
fokal

Ringan VAS 0-3 Sedang VAS 3-7 Berat VAS > 10


Gambar 10. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik dengan polip hidung
pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan European
Perlu investigasi dan
Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 20078intervensi cepat
Steroid topikal (spray) Steroid topikal tetes Steroid oral jangka
hidung pendek
Steroid topikal

Dievaluasi setelah 3
2.8 Komplikasi
bulan
Sinusitis Evaluasi setelah 1
bulan
Sinusitis merupakan suatu penyakit yang tatalaksananya berupa rawat jalan.
Pengobatan
Perbaikan rawat inap di rumah sakit merupakan hal yang jarang kecuali jika ada
Tidak membaik

komplikasi dari sinusitis itu sendiri. Walaupun tidakPerbaikan


diketahui secara pasti,Tidak
insiden
membaik

dari komplikasi
Lanjutkan Steroid sinusitis diperkirakan sangat rendah. Salah satu studi menemukan
Topikal Tomografi Komputer

Evaluasi setiap 6 bulan Tindak lanjut Operasi


Cuci hidung
18
Steroid topikal + oral
Antibiotika jangka
panjang
bahwa insiden komplikasi yang ditemukan adalah 3%. Sebagai tambahan, studi
lain menemukan bahwa hanya beberapa pasien yang mengalami komplikasi dari
sinusitis setiap tahunnya. Komplikasi dari sinusitis ini disebabkan oleh
penyebaran bakteri yang berasal dari sinus ke struktur di sekitarnya. Penyebaraan
yang tersering adalah penyebaran secara langsung terhadap area yang mengalami
kontaminasi.17
Komplikasi dari sinusitis tersebut antara lain :17
1. Komplikasi lokal
a) Mukokel
b) Osteomielitis (Pott’s puffy tumor)
2. Komplikasi orbital
a) Inflamatori edema
b) Abses orbital
c) Abses subperiosteal
d) Trombosis sinus cavernosus.
3. Komplikasi intrakranial
a) Meningitis
b) Abses Subperiosteal
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial.7
CT scan merupakan suatu modalitas utama dalam menjelaskan derajat
penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan
kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronik
atau berkomplikasi.6

2.8.1 Komplikasi lokal


A. Osteomielitis

Infeksi sinus dapat menjalar hingga struktur tulang mengakibatkan


osteomielitis baik di anterior maupun posterior dinding sinus. Penyebaran infeksi
dapat berasal langsung atau dari vena yang berasal dari sinus. Osteomielitis paling

19
banyak ditemukan pada dinding sinus frontal. Sekali tulang terinfeksi, bisa
menyebabkan erosi pada tulang tersebut dan mempermudah terjadinya
penyebaran infeksi di bawah subperiosteum yang berujung pembentukan abses
subperiosteal. Erosi bisa mempengaruhi bagian anterior atau posterior dari dasar
sinus yang mempermudah terjadinya penyebaran ekstrakranial atau intrakranial.
Jika abses subperiosteal berbatasan dengan dasar anterior dari tulang frontal itu
disebut dengan Pott`s puffy tumor. Pasien dengan Pott`s puffy tumor selalu
muncul pada usia lebih dari 6 tahun karena sinus frontalis belum terbentuk pada
usia di bawah 6 tahun.17

a) Etiologi

Osteomielitis yang disebabkan karena komplikasi dari sinusitis memiliki


organisme yang sama dengan penyebab sinusitis itu sendiri. Organisme tersering
adalah Staphylococcus, Streptococcus dan bakteri anaerob.17

b) Gejala klinis

Gejala klinis antara lain nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat,
gejala sistemik berupa sakit kepala, malaise, demam, dan menggigil.
Pembengkakan diatas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila
terbentuk abses subperiosteal, terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi
tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Jika disertai
dengan Pott`s puffy tumor juga ditemukan penonjolan pada dahi.6,17

Gambar 11. Gambaran Pott`s puffy tumor pada osteomielitis18

c) Diagnosis

20
Diagnosis ditegakkan dengan gambaran radiografi dimana tidak hanya
untuk mengkonfirmasi, tapi juga untuk mencari komplikasi intrakranial.
Radiogram dapat memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan hilangnya septa
intrasinus dalam sinus yang keruh. Pada stadium lanjut, radiogram
memperlihatkan gambaran seperti “digerogoti rayap” pada batas-batas sinus,
menunjukkan infeksi telah meluas melampaui sinus. Dekstruksi tulang dan
pembengkakan jaringan lunak, demikian pula cairan atau mukosa sinus yang
membengkak paling baik dilihat dengan CT scan. Tes darah rutin seperti hitung
sel memiliki nilai yang rendah dan tidak spesifik, tapi peningkatan laju endap
darah mungkin mengindikasikan adanya osteomielitis.6,17

d) Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari osteomielitis adalah pemberian antibiotik intravena


selama 6-8 minggu. Antibiotik yang dipilih adalah antibiotik yang bisa
mengeradikasi kuman aerob dan anaerob. Terapi empirik yang biasa digunakan
adalah kombinasi generasi ketiga sefalosporin (ceftriaxon) dan metronidazol atau
klindamisin, dan dapat ditambahkan vankomisin, atau linezolid jika ada
Streptococcus pneumonia yang telah resisten. Terapi oral dengan amoxicillin-
clavulanat atau kombinasi cefixime dan metronidazol atau klindamisin juga bisa
digunakan. Terapi pilihan sebaiknya sesuai dengan kultur. Jika ada abses, drainase
abses adalah terapi pilihan.17

B. Mukokel

Mukokel adalah penyakit kronis berupa lesi kistik yang mengandung


mukus pada sinus paranasal. Mukokel tumbuh secara perlahan memakan waktu
tahunan untuk menimbulkan keluhan. Dan keluhan berhubungan dengan
bertambah besarnya mukokel. Sesuai dengan pertambahan besarnya, mukokel
dapat menekan dinding sinus sehingga mengawali erosi tulang. Setelah terjadi
erosi pada dinding sinus, mukokel dapat mengenai seluruh struktur. Mukokel
kebanyakan terjadi pada sinus frontalis, diikuti dengan sinus etmoid dan maksila.
Gejala dari sinus frontal atau etmoid dapat menyebabkan sakit kepala, diplopia

21
dan proptosis. Bola mata yang proptosis secara khas berpindah ke arah bawah dan
luar. Mukokel sinus maksilaris biasanya ditemukan secara tidak sengaja pada foto
rongent sinus. Mukokel pada lokasi ini jarang menyebabkan gejala karena sinus
maksilaris luas dan mukokel jarang menjadi cukup besar untuk menyebabkan
kelainan pada tulang. Mukokel sinus maksilaris dapat menimbulkan gejala, jika
menghambat ostium sinus maksilaris. Mukokel dapat bergejala pada setiap sinus
ketika mukokel terinfeksi membentuk mukopyocele. Gejalanya hampir sama
dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Diagnosis ditegakkan oleh
CT scan sinus. Mukokel yang mempunyai gejala ditata laksana dengan tindakan
bedah mengangkat mukokel dan membersihkan sinus. Eksplorasi sinus secara
bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan berpenyakit serta
memastikan suatu drainase yang baik, atau obliterasi sinus merupakan prinsip-
prinsip terapi.6, 17

Gambar 12. Gambaran MRI mukokel sinus frontal bilateral19


2.8.2 Infeksi orbita

Infeksi orbita disebabkan oleh penetrasi ruang orbita saat operasi atau
trauma, kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang menyebar dari sinus yang
terinfeksi. Oleh karena ruang orbita dibatasi oleh beberapa sinus, seperti sinus
frontalis, etmoid, dan maksilari, infeksi dari sinus tersebut berpotensial menyebar
hingga ruang orbita. Sinus etmoid sangat mempengaruhi penyebaran infeksi ke
ruang orbita. Hal ini dipengaruhi karena sangat eratnya hubungan antara dinding
sinus dengan orbita. Dinding yang tipis menyebabkan infeksi lebih mudah
menyebar. Sinus etmoid mempunyai dinding yang paling tipis, disebut lamina

22
papyracea yang batas lateral dan medialnya adalah orbita. Sehingga infeksi pada
orbita biasanya dimulai dari bagian medial. Walaupun jarang terjadi dinding sinus
yang lebih tebal dapat juga menyebabkan infeksi orbita. Sekali infeksi menyebar
melalui dinding sinus, batas periosteal dinding sinus berperan sebagai barrier
tambahan untuk memproteksi orbita dari penyebaran infeksi. Jika terbentuk abses
di antara dinding dengan periosteum, disebut abses subperiosteal. Jika periosteum
rusak maka akan terbentuk abses orbita.17

a) Etiologi

Banyak organisme yang dapat diisolasi dari penderita infeksi orbita. Dapat
berupa organisme tunggal maupun organisme campuran, anaerob maupun aerob,
atau gabungan keduanya. Biasanya, hasil isolasi sama dengan yang ditemukan
pada sinus terinfeksi.17

b) Diagnosis

Pada sebuah artikel Chandler menyampaikan sebuah sistem klasifikasi dari


infeksi orbita yang masih dapat digunakan hingga kini. Infeksi orbita dibagi
menjadi lima grup berdasarkan progresifitasnya menjadi infeksi serius, yaitu :6, 17
1. Selulitis preseptal (selulitis periorbita), yaitu simple cellulitis dari kelopak
mata yang menyebabkan pembengkakan kelopak mata. Infeksi terbatas pada
kulit di depan septum orbita. Terjadi peradangan atau reaksi edema yang
ringan akibat infeksi sinus etmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama
ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan
sinus etmoidalis seringkali merekah pada kelompok umur ini.6, 17

23
Gambar 13. Gambaran selulitis periorbita20

2. Selulitis orbita, terlihat sebagai edema difus dari garis batas orbita dan bakteri
telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk. Selulitis
ini menyebabkan kelopak mata bengkak dan nyeri ketika otot ekstra okular
bergerak.6, 17
3. Abses subperiosteal, ditandai oleh edema dari garis batas orbita dengan
pengumpulan pus diantara periorbita dan dinding tulang orbita. Secara klinis
pasien dengan kondisi ini mirip dengan grup dua, tetapi terdapat proptosis
yang menonjol dan kemosis.6, 17
4. Abses orbita, ditandai adanya abses pada rongga orbita, pus telah menembus
periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Pada tahap ini disertai gejala sisa
neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak
otot ekstraokuler mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan
tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.6, 17
5. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran
bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus dimana selanjutnya
terbentuk suatu tromboflebitis septik. Secara patognomonik trombosis sinus
kavernosus terdiri dari oftalmoplegia, kemosis konjungtiva, gangguan
penglihatan yang berat, kelemahan pasien dan tanda-tanda meningitis oleh
karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV,
dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.6, 17

24
Gambar 14. Gambar klasifikasi komplikasi infeksi orbita pada sinusitis21

Keputusan yang paling penting dalam menghadapi pasien dengan mata


yang bengkak bergantung kepada apakah ada keterlibatan preseptal atau proses
orbita. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
dapat menjadi dasar diagnosis. Selulitis preseptal paling banyak disebabkan oleh
trauma lokal. Anamnesa dapat berhubungan dengan gigitan serangga atau trauma
lain pada kulit disekeliling mata yang menyebabkan infeksi sekunder. Infeksi ini
biasanya terjadi secara tiba-tiba. H. influenzae tipe B menyebabkan infeksi pada
kelopak mata sehingga kelopak mata bengkak dan menutup dalam hitungan jam.
Pada proses inflamasi selulitis preseptal terdapat inflamasi lokal pada mata,
ditemukannya panas, kemerahan, indurasi dan nyeri pada penekanan. Pasien
dengan kelopak mata bengkak, merah, tidak nyeri pada palpasi, tidak indurasi
merupakan suatu reaksi alergi atau pembendungan vena karena terdapatnya
sinusitis harus diperhatikan.17
Infeksi orbita (grup dua sampai empat) lebih sulit untuk diidentifikasi dan
tidak khas waktu kejadiannya. Pasien biasanya memiliki riwayat keluar cairan dari
hidung, sakit kepala atau terasa berat dan demam. Jika infeksi terjadi pada orbita,

25
kemungkinan dapat tejadi hilangnya penglihatan. Infeksi orbita dapat menyerupai
infeksi preseptal. Pasien datang dengan inflamasi orbita. Kelopak mata yang
bengkak tidak mengindikasikan adanya inflamasi. Karena terbatasnya ruang pada
orbita, massa inflamasi dapat mengenai sekeliling struktur. Infeksi orbita yang
simple menyebabkan tekanan pada otot okular dan menyebabkan nyeri bila mata
bergerak. Jika terdapat abses subperiosteal atau bentuk abses lainnya, penekanan
orbita menyebabkan proptosis. Jika proses inflamasi menekan nervus optikus
dapat menyebabkan kebutaan. Pada keadaan awal ditemukannya infeksi orbita
mungkin minimal, tetapi akan banyak ditemukan bila infeksi terus berlanjut.17

c) Pencitraan

Karena bisa terjadi tumpang tindih dalam gejala infeksi orbital, selulitis
preseptal, dan penyebab lain kelopak mata bengkak, beberapa klinisi
merekomendasikan imaging pada semua pasien dengan pembengkakan kelopak
mata. Pecitraan yang paling sering digunakan adalah CT scan dengan atau tanpa
kontras, menggunakan irisan tipis melalui orbit dengan gambar coronal dan axial.
CT scan sangat sensitif dalam pendokumentasian infeksi ini. Pada pasien dengan
selulitis preseptal terdapat pembengkakan kelopak mata tanpa keterlibatan orbita.
Gambaran CT scan pasien dengan klasifikasi chandler grup dua (selulitis orbital)
sering menunjukkan gambaran opaq pada sinus etmoid dengan massa tidak jelas
di sisi orbital dari lamina papyracea. Selain itu, mungkin juga terdapat
peradangan pada otot rektus. Ini adalah jenis yang paling ringan dan paling umum
dari infeksi orbital.17
Grup tiga (abses subperiosteal) menunjukkan inflamasi dengan elevasi
periosteum, perpindahan otot rektus, dan jika cukup besar, beberapa derajat
proptosis mata. Temuan untuk grup empat (abses orbital) menunjukkan material
inflamasi dalam ruang orbital dengan proptosis. MRI mungkin jenis yang lebih
baik dari studi pencitraan, tetapi dapat menjadi masalah karena infeksi orbital
sebagian besar pada anak-anak muda yang akan membutuhkan penenang untuk
prosedur ini. MRI adalah pilihan terbaik untuk komplikasi infeksi intrakranial,
seperti trombosis sinus kavernosus (grup lima) atau abses epidural. Tidak ada nilai
foto polos sinus untuk mendiagnosis infeksi orbital.17

26
d) Penatalaksanaan

Sampai beberapa tahun yang lalu, banyak pertentangan dalam bagaimana


penatalaksanaan infeksi orbital. Sampai baru-baru ini, drainase bedah dilakukan
pada kebanyakan pasien. Pengobatan komplikasi orbita sinusitis berupa
pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan pendekatan bedah khusus untuk
membebaskan pus dari rongga abses. Manfaat terapi anti koagulan pada trombosis
sinus kavernosus masih belum jelas. Pada kasus tromboflebitis septik, masuk
logika bila dikatakan terapi antikoagulan hanya akan menyebarkan (diseminata)
trombus yang terinfeksi. Perlu diingat bahwa angka kematian setelah trombosis
sinus kavernosus dapat setinggi 80 %. Pada penderita yang berhasil sembuh,
angka morbiditas biasanya berkisar antara 60-80 %, dimana gejala sisa trombosis
sinus kavernosus seringkali berupa atrofi optik.6

2.8.3 Komplikasi Intrakranial


Komplikasi intrakranial sangat jarang, terjadi hanya satu hingga 3 kali
setiap tahunnya. Penggunaan antibiotik menurunkan insiden komplikasi ini.
Komplikasi dari intrakranial meliputi (1) meningitis, (2) abses epidural, (3) abses
subdural, (4) abses otak. Pasien pada umumnya memiliki lebih dari satu
komplikasi intrakranial, seperti abses epidural/subdural terjadi bersamaan dengan
abses otak atau meningitis. Berikut ini frekuensi relatif jumlah komplikasi
intrakranial dari sinusitis.17
Tabel 2. Frekuensi Komplikasi Intrakranial17
Komplikasi intrakranial Frekuensi relatif (%, range)
Meningitis 34 % (17 – 54)
Abses otak 27 % (0 – 50)
Abses epidural 23 % (0 – 44)
Abses subdural 24 % (9 – 86)
Persentase pasien dengan > 1 28 %
komplikasi intracranial

Banyak studi yang telah memperlihatkan bahwa sejumlah besar


komplikasi ini lebih sering terjadi pada pria (lebih dari 3 : 1 pria/wanita).
Penyebab hal ini tidak diketahui secara pasti , tapi berlaku bahwa pada setiap

27
golongan umur dan mungkin terkait dengan jenis kelamin, memiliki perbedaan
anatomi dan drainase vena sinus.17

Gambar 15. Lokasi komplikasi intrakranial dari sinusitis22

a) Patogenesis
Patogenesis dari komplikasi intrakranial ini mirip dengan terjadinya
komplikasi pada infeksi infraorbital. Infeksi intrakranial bisa berkembang dari
penyebaran luas melalui invasi dinding sinus menuju tulang yang terkontaminasi,
dan kemudian ke struktur intrakranial melalui osteitis atau cacat congenital atau
defek traumatik. Berbeda dengan infeksi orbital, metode tersering dari komplikasi
intrakranial ini adalah melalui penyebaran emboli septik via vena diploik kalvaria
dan tidak adanya katup pada sistem vena juga bertanggung jawab terhadap
drainase dari wajah bagian tengah dan sinus paranasal.17
Walaupun banyak komplikasi ini muncul bersamaan dengan pansinusitis,
beberapa infeksi intrakranial muncul dari peradangan sinus yang spesifik.
Meningitis sering muncul dari sinusitis etmoid atau sfenoid. Trombosis sinus
cavernous juga berhubungan dengan sinusitis etmoidalis atau sfenoidalis. Sinusitis

28
frontalis paling sering berhubungan dengan perkembangan abses ekstra aksial dan
intraserebral.17

b) Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis komplikasi intrakranial sangat sulit untuk ditentukan,
karena biasanya penderita memiliki lebih dari satu komplikasi. Disamping itu,
tanda dan gejala rinosinusitis juga saling tumpang tindih dengan gejala infeksi
intrakranial. Sakit kepala di daerah frontal atau retro-orbital gejala yang paling
sering muncul, terjadi kira-kira 70 % pada penderita dengan komplikasi
intrakranial yang muncul akibat sinusitis. Kebanyakan dari pasien mengalami
demam (>38,50C). Pasien juga memilki gejala peningkatan tekanan intrakranial,
antara lain perubahan fungsi mental, muntah, dan fotofobia. Iritasi araknoid
mungkin akan memperlihatkan adanya kekakuan nuchal. Gejala neurologik yang
selanjutnya muncul akibat komplikasi ini adalah kejang, paresis fokal, dan palsi
nervus kranial. Berikut ini beberapa gejala/tanda yang muncul dari infeksi
intrakranial sebagai akibat dari komplikasi sinusitis.17
Tabel 3. Manifestasi Klinik Komplikasi Intra Kranial17
Sakit kepala (%) 69
Demam (%) 60
Perubahan status mental (mulai dari kebingangan hingga 41
obtundasi) (%)
Mual/muntah (%) 30
Palsi nervus kranial (%) 18
Kejang (%) 17
Tanda neurologik fokal lainnya (hemiparesis/hemiplegia, 17
afasia, ataksia, defisit motor/sensoris) (%)
Kekakuan nuchal (%) 10

c) Diagnosis
Sebelum menggunakan teknik neuroimaging dengan CT scan atau MRI,
diagnosis lesi desak ruang dari infeksi intrakranial pertama kali ditegakkan dari
evaluasi gejala kilinik. CT scan dan MRI merupakan teknik pelengkap, dimana
masing-masingnya membantu memberikan informasi diagnostik dan juga
manajemen utama dari komplikasi intrakranial. CT scan bisa mendemonstrasikan
kebanyakan kasus supuratif intrakranial dan merupakan suatu teknik pilihan untuk

29
mengevaluasi keterlibatan tulang. CT scan merupakan modalitas imaging pertama
untuk mengevaluasi dari komplikasi intrakranial yang berasal dari sinusitis. Dan
untuk perencanaan dalam bedah sinus, karena CT scan memiliki kemampaun yang
lebih untuk menggambarkan air-bone, dan air–soft tissues. Disisi lain, MRI
memiliki resolusi yang lebih baik untuk patologi intrakranial dan memiliki akurasi
diagnostik yang lebih tinggi dalam mendiagnostik infeksi intrakranial. Dalam
salah satu studi yang membandingkan CT scan dan MRI dalam mendiagnostik
komplikasi intrakranial dari sinusitis, CT scan mendiagnostik 36 dari 39 kasus
(92%), sedangkan MRI 100 %. MRI juga mampu mendeteksi meningitis pada 17
kasus sedangkan CT scan hanya 3 kasus. 17
Penggunaan kontras pada CT scan merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan insufisiensi ginjal atau pada penderita yang alergi. Oleh karena itu MRI
merupakan metode pertama yang digunakan sebagai alat diagnostik pada
penderita insufisiensi ginjal atau penderita yang alergi terhadap kontras. Jika pada
pasien tersebut MRI merupakan kontraindikasi, seperti adanya implantasi alat-alat
yang bersifat magnetik atau kontraindikasi lainnya, pasien insufisiensi ginjal bisa
diberikan terlebih dahulu renal protective sebelum penggunaan kontras. 17

1. Meningitis
a) Gejala Klinis
Meningitis sering muncul dengan gejala sakit kepala. Kebanyakan dari
pasien juga mengalami demam dan lebih dari setengahnya disertai dengan kaku
kuduk. Gejala lain termasuk muntah, perubahan mental status, dan kejang. Pada
beberapa kasus pasien muncul, dengan gejala palsi nervus karanialis.17

b) Bakteriologi
S. pneumonia adalah organisme tersering penyebab meningitis. Penyebab
lainnya adalah S. aureus (terkhususnya pada sinusitis sfenoid). Jarang H.
influenza, Neisseria meningitides dan batang aerob gram negatif sebagai penyebab
meningitis akibat komplikasi dari sinusitis ini. Patogen utama pada pasien AIDS
adalah Cryptococcus neoformans.17

c) Diagnosis

30
Walaupun meningitis sering didiagnosis dengan pemeriksaan punksi
lumbal dan analisa dari cairan serebrospinal (CSS) pemeriksaan punksi lumbal
pada meningitis yang disertai dengan lesi desak ruang sangat beresiko untuk
terjadinya herniasi uncus trans tentorial, terkhususnya ketika massa berada pada
fosa tempral. CT scan dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk menentukan
apakah ada lesi desak ruang atau tidak sebelum melakukan punksi lumbal pada
meningitis.17

d) Tatalaksana
Meningitis tanpa lesi desak ruang (konfirmasi dengan CT scan atau MRI)
diobati dengan menggunakan antibiotik. Ketika meningitis berkembang dengan
cepat, terkhususnya pada pneumokokus sebagai patogen utama, terapi antibiotik
dapat dimulai segera setelah diagnosis suspek atau didahului dengan neuro-
imaging atau punksi lumbal ditegakkan. Pemberian deksametason sebelum atau
bersamaan dengan pemberian pertama dosis antibiotik dapat menurunkan angka
kematian. Deksametason juga dapat diberikan pada edema serebri akibat sekunder
dari infeksi intrakranial. Antibiotik pilihan pertama adalah generasi ketiga dari
cefalosporin (cefotaxime atau ceftriaxone) intra vena dikombinasi dengan
vancomicin untuk mengeradikasi S. pneumonia yang resisten. Pada pasien AIDS
dan kontraindikasi untuk punksi lumbal amphotericin B dapat digunaakan sebagai
terapi inisial untuk melawan Cryptococus.17
2. Abses Otak
a) Tampilan Klinis
Sakit kepala dan demam merupakan gejala awal dari abses otak. Lebih
lanjut, akan muncul rasa mual dan muntah yang juga sering ditemukan. Perubahan
status mental, termasuk kebingungan, penurunan mentalitas dan atau perubahan
perilaku merupakan gejala yang mengkhawatirkan (alarming symptoms) dimana
gejala-gejala ini menunjukkan proses yang serius dari infeksi intrakranial sedang
terjadi dan bukan gejala dari sinusitis atau penyebab sakit kepala dan demam
lainnya. Kejang juga bisa terjadi pada abses intaserebral.17

b) Bakteriologi

31
Pada abses intrakranial dan ekstra aksial sering ditemukan organisme yang
multipel, aerob dan anaerob termasuk Fusobacternum spp, anaerobik dan
mikroaerofilik streptokoki, Propionibacterium spp., Eikenella correoens dan
Staphylococcus spp.17

c) Dianosis
CT scan dapat mendemonstrasikan abses serebral dengan adanya densitas
yang rendah pada parenkim otak yang terlibat. MRI juga bisa memperlihatkan
gambaran awal dari serebritis yang merupakan fase dari pembentukan abses.17

Gambar 16. Gambaran CT scan abses otak 23


d) Tatalaksana
Abses intrakranial ditatalaksana dengan cara, (1) pemberian segera
antibiotik parenteral spektrum luas, (2) drainase abses dan (3) drainase sinus yang
terinfeksi. Antibiotik empirik pilihan yang sering digunakan adalah kombinasi
dari generasi ketiga cefalosporin (cefotaksim atau ceftriakson), penisilinase-
resisten penisilin dan metronidazol. Vankomisin dapat digunakan sebagai
pengganti penisilinase-resisten penisilin untuk melawan S. pneumonie. Antibiotik
intravena diberikan berkelanjutan selama 4 – 8 minggu untuk menjaga kadar obat
tetap tinggi dalam cairan serebrospinal.17
Drainase sinus dilakukan dengan open technique, atau biasanya dengan
teknik endoskopi dan diikuti dengan drainase intrakranial. Walaupun abses
serebral yang kecil bisa diobati dengan antibiotik, abses yang lebih besar harus

32
didrainase dengan teknik operasi kraniotomi terbuka atau dengan CT-localized
neddle drainage procedure, bergantung kepada lokasi abses. Karena kejang dapat
terjadi pada abses serebral, profilaksis antikonvulsan diberikan segera setelah
diagnosis ditegakkan.17

3. Abses Extra-Axial (Abses Subdural dan Epidural)


a) Gejala Klinis
Pasien dengan abses subdural biasanya bermanifestasi klinis sakit kepala,
demam dan meningismus. Kemunduran status neorologik dapat berkembang
dengan cepat, disertai dengan penurunan kesadaran dan timbulnya kejang. Abses
epidural berkembang secara tersembunyi, dan gejalanya mungkin tidak spesifik
dan tumpang tindih dengan gejala sinusitis. Pasien mungkin tidak memperlihatkan
gejala selama beberapa minggu, hingga penurunan status neurologik atau kejang
baru terlihat.17

b) Bakteriologi
Bakteri dari abses subdural dan epidural sama dengan bakteri yang
menyebabkan abses intraserebral.17

c) Diagnosis
MRI dipertimbangkan sebagai modalitas pertama untuk mendiagnosis
abses epidural dan subdural. Bila MRI tidak ada atau pasien memilki
kontraindikasi, CT scan dengan kontras dapat digunakan sebagai pengganti
MRI.17

33
Gambar 13. Gambaran CT Scan abses epidural 24

Gambar 14 Gambaran MRI dari abses subdural 24

d) Tatalaksana
Abses subdural di drainase dengan operasi kraniotomi. Abses epidural
secara tradisional juga di drainase dengan bedah saraf. Bagaimanapun juga, terapi
konservatif telah disarankan untuk abses epidural yang kecil, menggunakan
endoskopi untuk drainase sinus dan antibiotik intravena selama 6 minggu.17

2.9 Pencegahan
• Pasien dengan rhinitis alergi harus segera diobati karena edema mukosa
dapat menyebabkan obstruksi sinus.
• Bila adenoid mengalami infeksi, meghilangkan itu berarti eliminasi sarang
infeksi dan dapat mengurangi infeksi pada sinus.
• Menjaga kebersihan gigi dan mulut.

2.10 Prognosis

34
Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang
diberikan. Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotik
serta obat-obat simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat
memberikan prognosis yang baik.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional akan mengembalikan fungsi
sinus dan gejala akan sembuh secara komplit atau moderat sekitar 80-90% pada
pasien dengan sinusitis kronis rekuren atau sinusitis kronis yang tidak responsif
terhadap terapi medikamentosa.

BAB III
KESIMPULAN

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Rinitis


dan sinusitis biasanya terjadi bersamaan dan saling terkait pada kebanyakan
individu, sehingga terminologi yang digunakan saat ini adalah rinosinusitis.
Komplikasi akibat sinus paranasal sangat bervariasi, baik lokal, intra orbital
maupun intra kranial. Sinusitis dengan komplikasi intra orbita adalah penyakit
yang berpotensi fatal yang telah dikenal sejak zaman Hippocrates. Kesehatan
sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens dari
mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Komplikasi dari sinusitis
tersebut antara lain komplikasi lokal, orbital dan intrakranial. Komplikasi lokal
antara lain mukokel dan osteomielitis (Pott’s puffy tumor). Komplikasi orbital

35
adalah inflamatori edema, abses orbital dan trombosis sinus cavernosus.
Komplikasi intrakranial antara lain meningitis dan abses subperiosteal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Leung, Katial. The Diagnosis and Management of Acute and Chronic


Sinusitis. 2008
2. Soh, dr. Kevin. Orbital Complication of Sinogenic Origin : A case study of 20
patients. World’s Article in Ear,Nose and Throat. USA. 2010
3. Mekhitarian Neto, et al. Acute Sinusitis in Children- a Retrospective Study of
Orbital Complication. Article of Otorhinolaryngology. Vol.73. No.1. Sao
Paulo.2007

4. Rianil A. Selulitis Orbita Sebagai Komplikasi Sinusitis. Jakarta : Bagian THT


FKUI/ RSUPNCM. 1998.

36
5. Brook I. Microbiology and Antimicrobial Treatment of Orbital and
Intracranial Complication of Sinusitis in Children and Their Management.
USA : IJPO 73. 2009; page 1183-6
6. Hilgher PA. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Adams, Boies, Higler. Buku
Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997. hal 240-53
7. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; hal
170-3
8. Fokkens W, Lund V, Mullol J. European Position Paper on Nasal Polyps. 2007
9. Quinn FB. Paranasal Sinus Anatomy and Function. 09 Januari 2009.Diunduh
dari http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Paranasal-Sinus-2002-01/Paranasal-
sinus-2002-01.htm.
10. Norman W. Nasal Cavity, Paranasal Sinuses, Maxillary Division of Trigeminal
Nerve. 1999. Diunduh dari http://home.comcast.net/~wnor/lesson9.htm.
11. Naclerio R, Gungor A. Etiologic Factors in Inflammatory Sinus Disease dalam
Disease of the sinuses diagnosis and management. Kennedy DW. London :
B.C Decker. 2001; hal 47-53.
12. Netter, Frank H. A Collection Of Medical Illustration. Di unduh dari
www.netterimages.com
13. Ballenger. J. J., Infeksi Sinus Paranasal. Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 13 (1). Jakarta : Binaputra Aksara. 1994;
hal : 232 – 41

14. Lawanil AK. Acute and Chronic Sinusitis. Current Diagnosis and Treatment in
Otolaringology. 2nd Edition. New York : Departement of Otolaringology New
York University School Of Medicine. 2007.
15. Ramanan RV. Sinusitis Imaging : Imaging. Departement of Radiology The
Apollo Heart Centre India. Diunduh dari http : //eMedicine-Radiology.com.
Tanggal 23 November 2010.
16. Byron J. Rhinosinusitis : Current Concepts and Management. Dalam Head and
Neck Surgery Otolaryngology. 2001.

37
17. Schwartz G, White S. Complications of Acute and Chronic Sinusitis and Their
management; dalam Sinusitis from Microbiology to Management. Brook I.
New York : Taylor and Francis Group. 2006; hal : 269-88.

18. Faust Russell. Complications of Sinusitis. 19 April 2010. Diunduh dari


www.boogordoctor.com

19. Sakae VA. Bilateral Frontal Sinus Mucocele. 1 Mei 2006. Diunduh dari
www.scielo.br.com

20. Goldbert C. Periorbital Selullitis. 25 Agustus 2005. Diunduh dari


www.meded.ucsd.edu.com

21. Garryty James. Preceptal and Orbital Selullitis. September 2008. Diunduh dari
www.merckmanuals.com

22. Dimitri A. Infection of the Nervous System. Agustus 2010. Diunduh dari
www.neuropathologyweb.org

23. Hanus R. Infections of the Nervous System I. 20 April 2004. Diunduh dari
www.inf3.if1.cuni.cz

24. Lenaard N. Brain Abscess Imaging. 30 November 2009. Diunduh dari


www.emedicine.com

38
39

Anda mungkin juga menyukai