Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Brucellosis merupakan penyakit ternak yang menjadi problem nasional baik dari segi
kesehatan masyarakat maunpun dari segi ekonomi peternakan. Peningkatan kasus brucellosis
sejalan dengan peningkatan populasi ternak di Indonesia. Selain itu, seringnya mutasi sapi
perah merupakan faktor utama penyebab meningkatnya kasus brucellosis di Indonesia. Oleh
sebab itu , penyakit brucellosis dimasukkan dalam daftar 5 penyakit menular yang menjadi
prioritas utama dalam pengendalian dan pemberantasannya secara nasional sejak tahun 1959
(Peraturan Direktur Jenderal Peternakan No. 59/KPTS/PD610/05/2007).

Brucellosis adalah penyakit menular pada hewan yang disebabkan oleh bakteri Brucella.
Brucellosis ditakuti karena bersifat zoonosis artinya dapat menular ke manusia, menimbulkan
kerugian ekonomi akibat keguguran, gangguan reproduksi dan turunnya produksi susu pada
sapi perah. Umumnya penyakit pada manusia berupa demam sehingga dikenal juga sebagai
Undulant fever, Malta fever, Gibraltar fever, atau Mediteranean fever, dimana ketiga sebutan
terakhir merupakan sebutan brucellosis yang disebabkan oleh konsumsi susu kambing di
daerah Laut Tengah.

Brucellosis dapat menyerang berbagai usia. Zoonosis ini dapat ditemukan di seluruh dunia
terutama di Negara Mediteranian, Afrika Utara dan Timur, Timur Tengah, Asia Selatan dan
Tengah, Amerika Tengah dan Selatan. Di Indonesia, penyakit brucellosis dikenal pertama kali
pada tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dan
bakteri Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Penyakit brucellosis sudah bersifat
endemis di Indonesia dan kadang-kadang muncul sebagai epidemi pada banyak peternakan
sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Brucellosis tersebar luas di Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Pulau Bali sampai saat ini masih
terbebas karena adanya larangan memasukkan sapi jenis lain, berkaitan kebijaksanaan
pemerintah untuk memurnikan sapi Bali.

Penyakit Brucellosis merupakan penyakit ternak yang menjadi problem nasional baik
untuk kesehatan masyarakat maupun persoalan ekonomi peternak. Dengan infeksi yang tersifat
pada hewan maupun manusia. Di Indonesia kecenderungan meningkatnya populasi dan lebih
seringnya mutasi sapi perah menjadi penyebab utama meningkatnya kasus brucellosis.

Brucellosis dikategorikan sebagai penyakit zoonosis. Setiap spesies Brucella mempunyai


hewan target sebagai reservoir, yaitu Brucella abortus pada sapi, B. ovis pada domba, B.
melitensis pada kambing, B. suis pada babi, B. neotomae dan B. canis pada anjing. Brucellosis
pada hewan betina yang terinfeksi biasanya asimptomatik, sedangkan pada hewan bunting
dapat menyebabkan plasentitis yang berakibat terjadinya abortus pada kebuntingan bulan ke-5
sampai ke-9.Jika tidak terjadi abortus, kuman Brucella dapat dieksresikan ke plasenta, cairan
fetus dan leleran vagina. Kelenjar susu dan kelenjar getah bening juga dapat terinfeksi dan
mikroorganisme ini diekskresikan ke susu. Infeksi pada hewan terjadi secara persisten seumur

1
hidup, dimana kuman Brucella dapat ditemukan di dalam darah, urin, susu dan semen. Pada
manusia, spesies Brucella yang pathogen adalah B. melitensis, B . abortus, B. suis dan B. canis.
Tingkat morbiditas penyakit tergantung dari spesies Brucella yang menginfeksi. Penularan
brucellosis ke manusia melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi atau melalui konsumsi
makanan dan susu asal hewan penderita brucellosis.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana etiologi dan gejala klinis dari penyakit brucelosis?


2. Bagaimana cara mendiagnosa penyakitbrucelosis ?
3. Apa saja peneguhan diagnosa yang dapat dilakukan pada penyakit brucelosis ?
4. Bagaimana pengobatan dan pencegahan dari penyakit brucelosis?
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui etiologi dan gejala klinis penyakit brucelosis.


2. Untuk mengetahui diagnosa klinis penyakit brucelosis.
3. Untuk mengetahui peneguhan diagnosa penyakit brucelosis
4. Untuk mengetahui cara pengobatan dan pencegahan penyakit brucelosis.
1.4 Manfaat

Untuk mengetahui cara melakukan diagnosa serta menyimpulkan peneguhan diagnosa


terhadap penyakit brucelosis sehingga bisa dilakukan pengobatan yang tepat dan benar.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi Brucellosis
Penyakit brucellosis atau penyakit keluron menular disebabkan oleh bakteri Brucella.
Bakteri Brucella berbentuk kokobasil (short rods) dengan panjang 0,6 – 1,5 µm dan lebar 0,4
– 0,8 µm, bersifat Gram negatif, non motil, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan
bersifat aerob. Karena tidak menghasilkan spora, bakteri Brucella mudah dibunuh dibawah
sinar matahari namun apabila lingkungan jauh dari jangkauan sinar matahari maka bakteri ini
dapat bertahan selama 6 bulan.

Terdapat 6 spesies yang saat ini dikenal yaitu : B. melitensis, B. abortus, B. suis, B.
neotomae, B. ovis, dan B. canis. Disebut penyakit keluron karena karakteristiknya dapat
menyebabkan keguguran/abortion pada hewan bunting (Dharmojono, 2001).
2.2 Penyebab Brucellosis
Menurut, Dharmojono, 2001 umumnya, bakteri Brucella yang menjadi penyebab
munculnya penyakit ini bisa menginfeksi manusia melalui hewan. Ada tiga cara
penularan bakteri Brucella dari hewan ke manusia:
 Produk susu mentah. Manusia akan terinfeksi Brucellosis saat mengonsumsi makanan
dan minuman yang dibuat dari susu mentah atau mengonsumsi daging hewan yang
terinfeksi Brucella.
 Udara. Brucella bisa menyebar dan masuk ke dalam tubuh dengan mudah melalui
udara yang dihirup seseorang.
 Kontak langsung. Bakteri pada darah, cairan sperma, plasenta hewan yang terinfeksi
bisa masuk ke tubuh seseorang lewat luka yang dimilikinya.
Empat jenis bakteri Brucella yang menyebabkan sebagian besar kasus brucellosis pada
manusia adalah:
 Brucellosis canis, umumnya menyebar melalui anjing.
 Brucellosis melitensis, kebanyakan ditemukan pada kambing dan domba.
 Brucellosis abortus, bisa menular lewat perantara sapi ternak.
 Brucellosis suis, bisa ditemukan pada babi liar.
Beberapa hal yang meningkatkan risiko seseorang terkena brucellosis adalah:
 Bepergian ke kawasan di mana bakteri Brucella masih banyak ditemukan.
 Bekerja di tempat pemotongan hewan atau peternakan.

 Makan dan minum produk susu yang belum dipasteurisasi.


2.3. Mekanisme Penularan
Brucellosis merupakan penyakit sistemik yang mempengaruhi hampir semua organ
tubuh. Kuman Brucella yang masuk ke dalam set epitel akan dimakan oleh neutrofil dan set
makrofag masuk ke limfoglandula . Bakteriemia muncul dalam waktu 1 - 3minggu setelah
infeksi, apabila sistem kekebalan tubuh tidak mampu mengatasi . Kuman Brucella terlokalisir
dalam sistem reticuloendothelial seperti pada hati, limpa dan sumsum tulang belakang dan
membentuk granuloma .Komponen dinding set Brucella baik pada strain halus (smooth) seperti
pada B. melitensis, B. abortus dan B. suis maupun pada strain kasar (rough) seperti B.canis

3
terdiri dari peptidoglikan, protein dan membran luar yang terdiri dari dari lipoprotein clan
lipopolisakarida (LPS). LPS inilah yang menentukan virulensi kuman dan bertanggung jawab
terhadap penghambatan efek bakterisidal di dalam set makrofag. Kuman Brucella strain kasar
mempunyai virulensi lebih rendah pada manusia . Kuman Brucella bersifat fakultatif
intraseluler yaitu kuman mampu hidup dan berkembang biak dalam set fagosit, memiliki 5-
guanosin monofosfat yang berfungsi menghambat efek bakterisidal dalam neutrofil, sehingga
kuman mampu hidup dan berkembang biak di dalam set neutrofil. Strain B. abortus yang halus
(smooth) pada LPS-nya mengandung komponen rantai 0-perosamin, merupakan antigen paling
dominan yang dapat terdeteksi pada hewan maupun manusia yang terinfeksi brucellosis . Uji
serologis standar brucellosis adalah spesifik untuk mendeteksi rantai 0-perosamin tersebut.
(Noor. 2006)
Sumber utama infeksi pada sapi adalah cairan fetus, sisa – sisa setelah melahirkan, dan
cairan vagina. Jalur masuk utama infeksi pada sapi adalah melalui oral lewat (pakan dan air
yang terkontaminasi), kulit yang luka, inhalasi, dan secara kongenital (fenomena laten) seperti
dari induk ke fetus atau melalui air susu induk. Namun pada jalur kongenital masih harus
dievaluasi lebih mendalam.
2.4. Patogenesis Brucellosis
Sapi dapat tertular brucellosis melalui saluran pencernaan setelah memakan atau
meminum bahan (makanan) yang tercemar oleh bahan yang di abortuskan . Sedangkan manusia
dapat tertular setelah minum susu sapi atau kambing yang terinfeksi tanpa dipasteurisasi
terlebih dahulu. Dengan suatu percobaan dapat dibuktikan bahwa penularan pada sapi dapat
juga melalui selaput lendir konjuntiva, goresan pada kulit atau dengan inseminasi yang
semennya tercemar oleh kuman brucella. Setelah kuman masuk ke dalam tubuh, akhirnya
menyebar dan menetap pada organ tubuh melalui pembuluh darah dan limfe. Terkumpulnya
kuman di dalam saluran reproduksi terutama di placenta dan endometrium sapi yang sedang
bunting sangat didukung oleh adanya zat penumbuh yang dikenal dengan nama eritritol (sifat
spesifitas jaringan). Pada bentuk infeksi yang akut, kuman brucella selain bermukim di dalam
placenta, juga di dalam lambung dan paru-paru foetus (janin) dan di keluarkan bersama-sama
foetus dan cairan uterus waktu abortus . Pada bentuk infeksi yang kronis, pada sapi betina
dewasa kuman bermukim di dalam kelenjar susu, kelenjar limfe supramammae, retrofaringeal,
iliaka interna dan eksterna . Oleh karena itu kuman dapat dikeluarkan bersama air susu. Pada
sapi jantan, kuman brucella bermukim di dalam testis, epididimis, vas diferen dan kelenjar
vesikularis, sehingga kuman dapat dikeluarkan bersama semen (mani) sewaktu ejakulasi
(Setiawan. 1991)

4
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Gejala Klinis

Gejala klinis dari penyakit brucellosis ini adalah abortus atau dimasyarakat dan
peternak dikenal dengan nama keluron. Keguguran biasanya terjadi pada umur kebuntingan 6
sampai 9 bulan kebuntingan, selaput fetus yang yang diaborsikan terlihat oedema, hemoragi,
nekrotik dan adanya eksudat kental serta adanya retensi plasenta, metritis dan keluar kotoran
dari vagina. Penyakit brucellosis ini juga menyebabkan perubahan didalam ambing. Lebih dari
setengah dari sapi-sapi yang titer aglutinasinya tinggi menunjukkan presentasi yang tinggi
didalam ambingnya. Selain itu juga penyakit brucellosis ini menimbulkan lesi higromata
terutama pada daerah sekitar lutut. Lesi ini terbentuk sebagai regangan sederhana atas bungkus
sinovia pada persendian, yang berisi cairan yang jernih atau jonjot fibrin maupun nanah.
Kemungkinan terjadinya higroma akibat adanya suatu trauma kemudian kuman brucella yang
berada didalam darah membentuk koloni di daerah persendian tersebut.

Pada ternak pejantan penyakit brucellosis dapat menyerang pada testis dan
mengakibatkan orkhitis dan epididimitis serta gangguan pada kelenjar vesikula seminalis dan
ampula. Brucellosis juga menyebabkan abses serta nekrosis pada buah pelir dan kelenjar
kelamin tambahan. Sehingga semen yang diambil dari pejantan mungkin mengandung
bakteri brucella abortus.

3.2. Diagnosa Brucellosis

3.2.1 Anamnesa

Anamnesa adalah penjelasan yang berkaitan dengan sejarah dan recording kesehatan
hewan. Anamnesa dari penyakit ini yang paling menciri adalah ada tidaknya abortus yang
terjadi. Anamnesa dilakukan terhadap peternak yang berinteraksi langsung dengan hewan.
Semakin banyak keterangan yang diberikan oleh peternak yang berkaitan dengan brucellosis
akan memepermudah menentukan diagnosa.

Anamnesa seharusnya berbentuk pertanyaan-pertanyaan yang merujuk ke satu


diagnose. Anamnesa yang baik adalah ketka factor resiko yang ada sudah terjawab. Beberapa
faktor resiko yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada hewan ternak antara lain
adalah sebagai berikut : (Sudibyo,1995)

a. Induk Reaktor.

Pedet (anak sapi) yang dilahirkan dari induk reaktor akan menjadi karier yang laten dan
akan mengalami abortus pada kebuntingan pertama serta mencemari lapangan penggembalaan
kembali

b. Sistem Beternak.

Prevalensi brucellosis pada peternakan yang dikelola dengan sistem semi intensif atau
ekstensif tradisional biasanya lebih tinggi daripada sistem intensif (dikandangkan)

5
c. Ternak Pengganti.

Pembelian ternak pengganti yang telah terkena bruselosis atau berasal dari tempat
penjualan dimana manajemen dan tatalaksana penjualannya tidak bagus akan mempunyai
resiko terkena bruselosis yang lebih tinggi

d. Jarak Antar Kawanan Ternak.

Jarak antara kawanan ternak terinfeksi dan tidak terinfeksi yang kurang dari 1,5 mil
mempunyai resiko 4 kali lebih tinggi untuk tertular. Penyebaran penyakit tergolong beresiko
rendah bila jarak antara kawanan ternak tersebut lebih dari 1 mil

e. Kontak dengan Hewan Liar

Pada area dimana brucellosis eksis, kontak dengan hewan liar seperti serigala, anjing
hutan dan anjing liar mempunyai resiko yang lebih tinggi daripada kawanan ternak yang tidak
terpapar. Hal ini dapat terjadi karena hewan-hewan tersebut dapat menyebarkan material
abortus baik fetus maupun plasenta yang mengandung agen bruselosis dari satu kawanan ke
kelompok ternak yang lain

Gejala utama pada sapi betina adalah aborsi pada trimester terakhir (5 – 7 bulan). Pada
populasi yang belum pernah terpapar dengan penyakit akan muncul “abortion storm”, dengan
jumlah aborsi pada sapi betina tinggi dalam waktu singkat. Pernah dilaporkan sebanyak 30 –
40% aborsi terjadi pada kelompok ternak rentan dan dilaporkan adanya kasus endometritis
serta retensi plasenta juga terjadi . gejala klinis yang paling nyata adalah aborsi dan kelahiran
anak sapi yang lemah. Pada sapi yang tidak divaksin rata-rata 60 – 70% terjadi aborsi akibat
infeksi brucellosis. Gejala klinis pada bull akan tampak inflamasi pada testis (orchitis) dan
kelemahan karena terjadi bursitis. Bila sapi belum matang secara seksual, gejala klinis tidak
akan tampak (subklinis), gejala baru akan muncul bila terjadi kematangan seksual.

Secara serologis (positif Complement Fixation Test/CFT) kejadian abortus sekitar 48,5
% terjadi pada trimester dua (4-6 bulan) umur kebuntingan dan sekitar 48,5% lainnya terjadi
pada trimester tiga (6-9 bulan) umur kebuntingan, dengan kata lain 97% kejadian abortus
terjadi pada umur kebuntingan lebih tua dari tiga bulan.

3.2.2 Uji Diagnostik

Dalam uji diagnostik, istilah spesifisitas diartikan sebagai kemampuan dari suatu uji
untuk mengidentifikasi secara tepat respon/ hasil negatif dari hewan yang tidak terinfeksi.
Sementara sensitivitas berarti bahwa uji tersebut dapat mendiagnosa secara tepat respon positif
dari hewan yang terinfeksi. Suatu uji yang digunakan untuk skrining idealnya memiliki
sensitivitas yang tinggi (tidak perlu terlalu spesifik), mudah dan cepat dilakukan serta
ekonomis. Sedangkan uji tertentu yang diperuntukkan sebagai konfirmasi, harus memiliki
spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi (Sudibyo,1995).

a) Uji Pada Hewan

6
Seluruh kejadian abortus pada hewan ternak patut dicurigai sebagai suspect bruselosis.
Diagnosa dapat dilakukan dengan dua cara yaitu isolasi dan identifikasi agen serta
menggunakan metode serologis. Untuk mengidentifikasi agen penyakit tidak mungkin bisa
dilakukan bila hanya menggunakan satu jenis uji diagnostik. Oleh karena itu kombnasi dari
beberapan pengujian sangat diperlukan (Crawford,1990 )

Uji serologis dapat diandalkan karena tidak dijumpai adanya gejala patognomonik pada
hewan yang terinfeksi .Jenis uji yang dapat digunakan untuk mendiagnosa bruselosis
diantaranya adalah Rose Bengal Test (RBT), Serum Aglutination Test (SAT) serta
Complement Fixation Test (CFT). Sampel serum dapat dikoleksi dari suatu kelompok
setelah terjadinya keguguran pada anggota ternak dan kemudian diambil lagi setelah 30 hari
.Pengambilan ulang (resampling) tersebut bermanfaat untuk menjaring reaktor bruselosis
yang memberi reaksi negatif palsu pada saat sampling pertama .

Identifikasi agen dapat dilakukan dengan beberapa tehnik yaitu metode pewarnaan,
kultur media dan Polimerase Chain Reaction – Restriction Fragment Length Polymorphism
(RFLP). Sementara metode serologis yang dapat digunakan diantaranya adalah RBT,
BPAT, CFT, Indirect ELISA, Competitive ELISA dan Fluorescence Polarisation Assay
(FPA). Keseluruhan uji tersebut merupakan kelompok uji yang dianjurkan oleh OIE dalam
pengawasan perdagangan internasional. Uji jenis lain yang juga dapat digunakan adalah
Brucella Skin Test, Serum Aglutination Test (SAT), Native Hapten and PolyB tests, Milk
I-ELISA dan Milk Ring Test (MRT) (OIE 2004).

Performa masing-masing uji diagnostik terhadap bruselosis menurut OIE (2004) yang
tertuang dalam Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals chapter
2.3.1 adalah sebagai berikut :

Uji RBT mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi namun kadang memberikan hasil
positif palsu terhadap vaksin S19 atau sebab lain yang dinamakan False-Positive Serological
Reactions (FPSR) yang biasanya disebabkan oleh bakteri Yersinia enterolitica O:9. Hasil
positif palsu tersebut harus dikonfirmasi dengan menggunakan uji lain. Negatif palsu jarang
sekali terjadi dan dapat diantisipasi dengan melakukan pengujian ulang ketika resampling.
Untuk keperluan skrining bruselosis, RBT cukup dapat diandalkan. Menurut PAHO (2003),
Uji RBT mempunyai kelebihan dibandingkan uji lain karena mudah, cepat dan dapat
digunakan untuk memeriksa sampel yang sangat banyak dalam waktu yang relatif singkat.
Sensitivitas RBT sangat tinggi sehingga dapat mendeteksi terjadinya infeksi lebih awal dan
kecil kemungkinan hewan yang terinfeksi tidak terdeteksi. Di Inggris dan Australia RBT
digunakan sebagai tes skrining. Seluruh hewan yang serumnya positif terhadap uji ini
kemudian di tes lagi dengan uji lain untuk mengantisipasi keberadaan positif palsu. BPAT
sebagaimana RBT juga mempunyai sensitivitas yang tinggi. Konfirmasi juga diperlukan
terhadap hasil positif karena uji ini sangat peka dalam mendeteksi antibodi hasil induksi dari
vaksinasi.

Uji CFT sangat luas digunakan dan telah diterima sebagai uji konfirmasi karena
memiliki spesifisitas yang sangat tinggi meski tergolong sulit untuk dikerjakan. Namun

7
demikian tidak berarti bahwa CFT sama sekali tidak memunculkan hasil positif palsu.
Respon tersebut juga ada namun hanya kadang-kadang. Menurut Blaha (1989), spesifisitas
dan sensitivitas CFT secara berurutan adalah 95% dan 80%.

Uji Indirect ELISA mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi, namun sebagaimana uji
serologis yang lain, uji ini tidak dapat membedakan antibodi hasil vaksinasi, FPSR ataupun
akibat infeksi alami. Oleh karena itu, diagnosa lanjutan dengan menggunakan uji konfirmasi
harus dilakukan. Spesifisitas uji sama tingginya dengan CFT pada kawanan yang tidak
divaksin. Namun pada kelompok yang divaksin dengan strain S19 atau pada kondisi dimana
terjadi FPSR, spesifisitasnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan CFT.

Uji Competitive ELISA dengan menggunakan MAb spesifik untuk satu epitop dari
genus Brucella sp.. Dibandingkan dengan i-ELISA, c-ELISA mempunyai spesifisitas yang
lebih tinggi. Tehnik ini disamping mampu membedakan antibodi infeksi alami dan induksi
vaksin S19, juga mampu meminimalisir pengaruh bakteri yang mengakibatkan FPSR. Uji
c-ELISA memiliki sensitivitas yang sama tingginya dengan uji i-ELISA terhadap kelompok
yang terinfeksi. Sedangkan spesifisitas ujinya pada kelompok yang tidak divaksinasi
spesifisitasnya lebih dari atau sama dengan CFT dan i-ELISA. Pada kelompok yang
divaksinasi dengan strain S19, terbukti bahwa c-ELISA mempunyai spesifisitas yang lebih
tinggi dibandingkan CFT dan i-ELISA.

Uji FPA merupakan tehnik yang mudah digunakan untuk mengukur interaksi antigen-
antibodi dan dapat diseting untuk aplikasi laboratorium maupun keperluan lapangan.
Disamping mudah, uji ini bersifat homolog dan cepat. Sensitivitas dan spesifisitas FPA
sebanding dengan c-ELISA. Spesifisitas diagnosa pada kelompok yang baru saja
divaksinasi dengan strain S19 dapat mencapai lebih dari 99%. Namun demikian, pada
kondisi FPSR spesifisitasnya belum diketahui secara pasti.

Brucellin Skin Test. Alternatif tes imunologis yang bisa digunakan salah satunya adalah
uji Brucellin Skin Test. Uji ini dapat digunakan untuk menskrining kawanan yang tidak
divaksinasi dengan tingkat spesifisitas yang sangat tinggi. Sehingga, hasil negatif tes
serologis dari kawanan yang tidak divaksinasi dapat dicek dengan uji ini untuk
memastikannya. Disamping itu, uji ini dapat digunakan untuk melengkapi uji serologis lain
yang menunjukkan hasil positif akibat FPSR, terutama pada wilayah yang bebas bruselosis.
Meskipun uji ini sangat spesifik pada kelompok yang divaksinasi, dalam aplikasinya
hendaknya dibarengi dengan uji serologis karena respon intrademal yang ditimbulkannya
terkadang membutuhkan waktu yang lama. Dengan interval pengujian pertama dan kedua 6
minggu pada hewan yang sama maka hasil uji negatif dapat dipertanggungjawabkan.

Uji SAT tidak dianjurkan untuk skrining ataupun alternatif. Spesifisitasnya hanya akan
meningkat apabila antigen yang akan digunakan terlebih dajulu dicampur dengan EDTA.
Pada sapi perah, pengujian dapat dilakukan pada sampel susu dari tangki penampungan.
Apabila hasilnya positif, maka dilakukan pengujian serologis pada tiap-taip individu sapi.
Ada dua uji yang bisa digunakan yaitu Milk i-ELISA dan MRT. Uji Milk i-ELISA
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dan cocok untuk digunakan pada jumlah

8
kawanan yang besar. Sedangkan uji MRT dapat digunakan untuk skrining. Pada jumlah
kawanan yang besar (>100 ekor), sensitivitasnya akan menurun. Positif palsu dapat terjadi
pada hewan yang divaksinasi kurang dari 4 bulan sebelum pengujian, pada susu yang
mengandung kolostrum dan ketika terjadi mastitis.

Uji skrining bisa dilakukan dengan tes serologis tunggal atau serial dengan
menggunakan tehnik Buffered Acidified Plate Antigen (BAPA) dan uji Card Agglutination.
Dengan kedua uji tersebut meskipun dapat diperoleh hasil positif, namun belum dapat
membedakan apakah reaksi berasal dari infeksi ataukah vaksinasi. Oleh karena itu, perlu
dilakukan uji lanjutan sehingga reaktor dapat ditetapkan. Uji Rivanol (RIV), Complement
Fixation Test (CFT) dan Particle Concentration Fluorescent Immuno Assay (PCFIA)
merupakan beberapa uji lanjutan yang dapat digunakan untuk membedakan hewan yang
terinfeksi alami dan hewan yang divaksinasi. Dengan hasil pengujian lanjutan maka dapat
diperoleh status hewan sebagai reaktor ataukah tidak . Dalam perdagangan internasional, uji
serologis yang paling baik dan direkomendasikan oleh badan kesehatan hewan dunia adalah
CFT. Uji indirect Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) pernah dikaji
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada CFT, sehingga berpotensi
menjadi tehnik diagnosa serologis yang direkomendasikan (OIE 2004). Namun demikian,
berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Blaha (1989), pada populasi negatif yang
tidak divaksinasi, CFT memiliki spesifisitas 100% sedangkan ELISA 98%. Pada populasi
yang divaksinasi dengan vaksin S-19, CFT masih memiliki spesifisitas yang tinggi yaitu
98% sementara spesifisitas ELISA turun menjadi 83% (cut-off 20%) dan 94% (cut-off
40%).

Tes serologis untuk tujuan pemberantasan penyakit dapat dilakukan dengan dua
tahapan. Pertama, dilakukan skrining tes dengan menggunakan jenis uji yang memiliki
sensitivitas yang sangat tinggi (contoh : RBT pada sapi potong dan uji MRT pada sapi perah)
untuk menjamin bahwa seluruh hewan yang terinfeksi terjaring. Kedua, sampel positif hasil
skrining dikonfirmasi dengan uji yang memiliki spesifisitas yang sangat tinggi seperti c-
ELISA dan CFT sehingga dapat dibedakan respon infeksi dengan respon vaksinasi
(Crawford,1990).

b) Uji Pada Manusia

Tehnik diagnosa yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bruselosis pada manusia
(animal handler) salah satunya adalah Standard Tube Agglutination Test (STAT). Dengan
menggunakan STAT aglutinasi yang terjadi dapat dilihat pada tabung dimana pembacaan
dilakukan dengan cara ditembuskan pada cahaya dan dibandingkan reaksi aglutinasinya
dengan tabung kontrol (Crawford,1990). Uji RBT dan ELISA juga dapat digunakan untuk
diagnosa bruselosis pada manusia. Uji ELISA yang digunakan adalah Elisa IgG dan Elisa
IgM. Kedua uji ini dilakukan secara bersamaan sehingga dapat mengetahui kasus bruselosis
akut dan kronis. (Sudibyo,1995). Pengujian menggunakan Skin Test dengan antigen B.
abortus S19 terlarut fenol juga dapat digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi Brucella
pada manusia. Sensitivitas uji ini pernah dilaporkan oleh Duclos et al. sebesar 75% dan
spesifisitasnya mencapai 94% dari 424 mahasiswa kedokteran hewan pada suatu

9
universitas di Prancis tahun 1984. (Sudibyo,1995). Menurut Blaha (1989), skrining pada
manusia dilakukan dengan menggunakan RBT. Respon positif dari uji ini kemudian dapat
dikonfirmasi dengan isolasi bakteri, STAT, ELISA (IgA, IgG dan IdM), 2-Mercaptoethanol
Test, CFT, Combs dan Fluorescent Antibody Test (FAT).

3.3 Peneguhan Diagnosa

Peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi kuman penyebab.
Untuk keperluan ini spesimen fetus dapat diambil dari organ paru dan lambung, sedangkan dari
induk dapat diambil dari plasenta, getah vagina dan susu. Sapi pejantan dapat dikoleksi
semennya. Apabila dilakukan nekropsi, maka spesimen dapat diambil dari kelenjar limfe
supramamaria atau iliaka. Namun demikian, peneguhan diagnosa yang dilakukan dengan cara
isolasi dan identifikasi agen biasanya akan memakan waktu yang lama (1-4 minggu). Tehnik
PCR-RFLP dapat digunakan sebagai alternatif untuk peneguhan diagnosa dan membedakan
strain bakteri brusela yang ditemukan sehingga bisa mendeteksi adanya strain baru yang masuk
ke dalam suatu wilayah (Xavier et al, 2010).

3.4 Pengobatan
Pengobatan brucellosis harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi
dan relapsis. Pada hewan penyakit brucellosis sampai saat ini belum ada obat yang cukup
efektif. Namun pada pengobatan kasus brucellosis penggunaan lebih dari satu antibiotik yang
diperlukan selama beberapa minggu, hal ini dikarenakan bakteri berada di dalam sel.
Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti doksisiklin, streptomisin dan
rifampisin setiap hari selama minimal 6 minggu.
Brucellosis dengan komplikasi endocarditis atau meningoenchepalitis memerlukan
pengobatan dengan kombinasi antibiotika rifampisin, tetrasiklin dan aminoglikosida serta
penambahan corticosteroid untuk mengurangi proses peradangan. Sedangkan, brucellosis
dengan komplikasi endocarditis memerlukan pengobatan yang lebih agresif yaitu dengan
kombinasi aminoglikosida dengan doksisiklin, rifampisin dan TMP-SMX selama 4 minggu
diikuti sekurang-kuranganya kombinasi 2-3 jenis antibiotika selama 8-12 minggu (Subronto,
2003)
3.5 Pencegahan
Karena tidak efektifnya tindakan pengobatan, maka sangat disarankan tindakan
pencegahan yang meliputi : (Setiawan, Endhi D. 1991)
a) Melakukan kontrol dan eradikasi terhadap hewan reservoir.
Ternak yang didiagnosis brucellosis harus segera dipisahkan dipisahkan dan jika ada
kejadian abortus, fetus, dan membran fetus harus segera dikirim ke laboratorium untuk diuji.
Fetus dan placenta yang abortusan harus dikubur atau dibakar dan vagina apabila
mengeluarkan cairan harus diirigasi selama 1 minggu. Kemudain tempat yang
terkontaminasi harus didesinfeksi dengan 4% larutan kresol atau desinfektan sejenisnya dan
semua material terkontaminasi harus dibakar.
b) Mengkonsumsi produk asal hewan yang higienis dan terjamin mutu seperti susu yang
dipasteurisasi

10
c) Menggunakan perlengkapan kerja sesuai standar keamanan dan bekerja dibawah
pengawasan dokter hewan pada kelompok rawan infeksi seperti peternak sapi, pekerja RPH,
dan dokter hewan itu sendiri.
d) Vaksinasi kepada kelompok rawan tertular seperti dokter hewan, pekerja kandang,
pemerah susu, dan pekerja di RPH.
e) Vaksinasi pada daerah endemis (prevalensi <2%) serta melakukan pengujian dan
pemotongan (test and slaughter) pada daerah dengan prevalensi > 2%. Vaksin
menggunakan strain 19 atau strain 45/20. Vaksinasi tidak berlaku untuk sapi betina bunting.
Vaksinasi pada sapi betina diatas umur 4 bulan sedangkan vaksinasi tidak dilakukan pada
sapi jantan karena dapat menurunkan fertilitas
f) Pada daerah yang bebas brucellosis (seperti Bali dan Lombok) melakukan lalu lintas pada
ternak secara ketat.
g) Hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina yang mengalami kluron. Apabila
seekor ternak pejantan mengawini ternak betina tersebut, maka penis dan preputium dicuci
dengan cairan pencuci hama. Anak-anak ternak yang lahir dari induk yang menderita
brucellosis sebaiknya diberi susu dari ternak lain yang bebas brucellosis
h) Uji serologik secara teratur dengan SAT atau BRT dan CFT, monitoring dengan MRT dan
isolasi atau penyingkiran reaktor.
3.6 Pengendalian dan Pemberantasan
Dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit brucellosis (keluron), tinakan yang
dilakukan sebagai berikut: (Setiawan, Endhi D. 1991)
1. Standarisasi diagnosa brucellosis baik metode, reagen,maupun cara diagnostiknya
2. Penentuan daerah-daerah tertular dan bebas brucellosis
3. Penentuan kelompok hewan bebas atau tertula brucellosis
4. Penentuan kebijakan penggunaan vaksin brucellosis
5. Pemberian sertifikat untuk kelompok ternak yang bebas brucellosis
6. Pembebasan daerah sumber bibit dan daerah kelompok ternak yang bebas brucellosis

11
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Brucellosis merupakan penyakit reproduksi yang dapat menular dari hewan ke


manusia. Brucellosis disebabkan oleh bakteri dari genus Brucella yang bersifat gram negatif.
Gejala klinis brucellosis pada manusia yaitu demam intermiten, sakit kepala, lemah, arthralgia,
myalgia dan turunnya berat badan. Jenis uji yang dapat digunakan untuk mendiagnosa
Brucelosis diantaranya adalah Rose Bengal Test (RBT), Serum Aglutination Test (SAT) serta
Complement Fixation Test (CFT). Peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan isolasi dan
identifikasi bakteri penyebab. Untuk keperluan ini spesimen fetus dapat diambil dari organ
paru dan lambung, sedangkan dari induk dapat diambil dari plasenta, getah vagina dan susu.
Sapi pejantan dapat dikoleksi semennya. Pada hewan penyakit brucellosis sampai saat ini
belum ada obat yang cukup efektif, sehingga penanganan dilakukan dengan pemberian
antibiotik. Pencegahan penyakit brucellosis dapat dilakukan denngan
memperhatikan biosecurity dan sanitasi pada saat proses tatalaksana di dalam peternakan.

4.2 Saran

Perlu kiranya dilakuan penanganan yang serius terhadap penyakit brucellosis agar tingkat
prevalensinya menjadi serendah-rendahnya dan bila mungkin bebas dari brucellosis . Untuk ini
diperlukan ketepatan diagnosa, program vaksinasi yang teratur, pengawasan lalu lintas ternak,
karantina dan sanitasi serta higiene perkandangan

12
DAFTAR PUSTAKA

Blaha,T.1989. Aplied Veterinary Epidemology. Academy Of Agricultural Sciences Of The


German Democratic Republic : Amsterdam
Crawford,rp dkk.1 990. Epidemiology And Surveillance Dalam Niellsen K And JR Duncann
(Eds),Animal Brucellosis Hal 132-157,crc Press : Boca Raton
Dharmojono, 2001. BRUCELLOSIS: PENYAKIT ZOONOSIS YANG BELUM BANYAK
DIKENAL DI INDONESIA. Balai Penelitian Veteriner Bogor : Bogor.
Noor, Susan Maphilindawati. 2006. BRUCELLOSIS: PENYAKIT ZOONOSIS YANG BELUM
BANYAK DIKENAL DI INDONESIA. Balai Penelitian Veteriner Bogor : Bogor.
OIE (World Organisation for Animal Health).2004. Manual of Diagnostic Test and Vaccines
for terresstrial animals.http://www.oie.int/manual-of-diagnostic-tests-and-vaccines-
for-terrestrial-animals/
Setiawan, Endhi D. 1991. BRUCELLOSIS PADA SAPI. Balai Penelitian Veteriner Bogor :
Bogor.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak. UGM press. Yogyakarta.
Sudibyo,Agus.1995. Studi Epidemologi Brucellosis Dan Dampaknya Terhadap Reproduksi
Sapi Perah Di Dki Jakarta.Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner : Bogor
Xavier MN, Paixão TA, Poester FP, et al.2010. Pathogenesis of Brucella spp.. University of
California. USA

13

Anda mungkin juga menyukai