Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit)
asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di Asia seperti Singapura,
Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma meningkat insidennya secara
dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara
maju. Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi
penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah,
peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian.(1)
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya terengah-engah yang berarti
serangan nafas pendek. Meskipun dahulu istilah ini digunakan untuk menyatakan gambaran
klinis napas pendek tanpa memandang sebabnya, sekarang istilah ini hanya ditujukan untuk
keadaan-keadaan yang menunjukkan respon abnormal saluran napas terhadap berbagai
rangsangan yang menyebabkan penyemitan jalan nafas yang meluas.(2)
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini
tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema
sebagai penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi
asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan
obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan
kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan
prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya
mempunyai gejala klasik.(1)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan
napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan.(3)
2.2. Faktor Risiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang
mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) ,
hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi
individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma,
menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma
menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja,
asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan
besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan
melalui kemungkinan :
 pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma,
 baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit
asma.

Faktor Pejamu
 Prediposisi genetic
 Atopi
 Hiperesponsif jalan napas
 Jenis kelamin
 Ras/ etnik

2
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma
Alergen di dalam ruangan
 Mite domestic
 Alergen binatang
 Alergen kecoa
 Jamur (fungi, molds, yeasts)
Alergen di luar ruangan
 Tepung sari bunga
 Jamur (fungi, molds, yeasts)
Bahan di lingkungan kerja
 Asap rokok
 Perokok aktif
 Perokok pasif
 Polusi udara
 Polusi udara di luar ruangan
 Polusi udara di dalam ruangan
Infeksi pernapasan
 Hipotesis higiene
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat
Obesiti

Faktor Lingkungan
 Mencetuskan eksaserbasi dan atau`menyebabkan gejala-gejala asma menetap
 Alergen di dalam dan di luar ruangan
 Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
3
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (a.l. parfum, bau-bauan merangsang, household spray).(3)

2.3. Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel epitel.
Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus
inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat
asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi kronik
menyebabkan peningkatan hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat
dan batuk-batuk terutama pada malam dan/atau dini hari. Episodik tersebut berkaitan
dengan sumbatan saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel
dengan atau tanpa pengobatan. (2)
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor
lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi
saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik
pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai
bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang
dicetuskan aspirin.(2)

Inflamasi Akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas
reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.

Reaksi Asma Tipe Cepat


Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator
4
seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin,
prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus
dan vasodilatasi.

Reaksi Fase Lambat


Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah
limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.

Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4
berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi
sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi,
aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.

Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi,
endothelin, nitric oxidesynthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma sebagian
mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masihdiperdebatkan tetapi dapat
disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical,
TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.
EOSINOFIL
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak
spesifik.Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam
keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah
sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain
LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi
5
dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul
protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil
peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel
saluran napas.

Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking
reseptor IgE Dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi
degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan
protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin.
Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-
CSF.

Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada remodeling

6
Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang
normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan
bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF
serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan
pada regulasi airway remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi growth-promoting
factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-β.

AIRWAY REMODELING
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang
secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang
baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang
rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang
rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma,
kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang
kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat
kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme
tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi,
maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti
oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai
fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan
remodeling. Infiltrasi sel sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga

7
komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks
interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot
polos, kelenjar mukus.Perubahan struktur yang terjadi :
 Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
 Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mucus
 Penebalan membran reticular basal
 Pembuluh darah meningkat
 Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
 Perubahan struktur parenkim
 Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Perubahan khusus pada airway remodeling dan konsekuensi klinis

Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena sekunder
dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus (longstanding
inflammation). Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan
tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan
napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat
dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.

Pemikiran baru mengenai patogenesis asma dikaitkan dengan terjadinya Airway


remodeling
Disadari lingkungan sangat berpengaruh pada terjadinya ataupun perburukan
asma.Peningkatan kekerapan asma adalah akibat perubahan lingkungan yang beraksi
pada genotip asma baik sebagai induksi berkembangnya asma atau memperburuk asma
yang sudah terjadi. Di samping itu dipahami terjadinya kerusakan epitel dan perubahan
8
sifat epitel bronkus pada asma seperti lebih rentan untuk terjadinya apoptosis akibat
oksidan, meningkatnya permeabiliti akibat pajanan polutan, meningkatnya penglepasan
sitokin dan mediator inflamasi dari epitel akibat pajanan polutan, yang berdampak pada
proses inflamasi dan remodeling.
Studi pada binatang percobaan mendapatkan bahwa injuri sel epitel menghasilkan
penglepasan mediator proinflamasi yang bersifat fibroproliferasi dan profibrogenic
growth factors terutama TGF-β dan familinya (fibroblast growth factor, insulin growth
factor, endothelin-1, plateletderived growth factor, dan sebagainya) yang berdampak
pada remodeling. Dari berbagai mediator tersebut, TGF-β adalah paling paling penting
karena mempromosi diferensiasi fibroblast menjadi miofibroblas yang kemudian akan
mensekresi kolagen interstisial, sedangkan mediator/growth factor lainnya sebagai
mitogen otot polos dan sel endotel. TGF-β dan efeknya pada fibroblas dan miofibroblas
dimulai pada sel epitel dan diteruskan ke submukosa. Komunikasi antara sel-sel epitel
dan sel-sel mesenkim tersebut dikaitkan dengan perkembangan embriogenik jalan
napas mendatangkan pikiran adanya epithelial mesenchymal tropic unit (EMTU) yang
tetap aktif setelah lahir atau menjadi reaktivasi pada asma dan menimbulkan
remodeling jalan napas pada asma. Berdasrkan pemikirantersebut, inflamasi dan
remodeling yang terjadi pada asma adalah konsekuensi dari peningkatan
kecenderungan injuri, kelemahan penyembuhan luka atau keduanya.

Teori TH-2 dan EMTU


Teori lingkungan, terjadinya remodeling pada asma serta tidak cukupnya sitokin
proinflamasi untuk menjelaskan remodeling tersebut dan percobaan binatang yang
menunjukkan peran EMTU mendatangkan pemikiran baru pada patogenesis asma
Dipahami asma adalah inflamasi`kronik jalan napas melalui mekanisme Th-2. Akan
tetapi berbagai sitokin yang merupakan hasil aktivasi Th-2 (sitokin Il-13, Il-4) yang
dianggap berperan penting dalam remodeling adalah berinteraksi dengan sel epitel
mediatornya dalam menimbulkan remodeling. Sitokin proinflamasi tersebut tidak
cukup kuat untuk menghasilkan remodeling tetapi, interaksinya dengan sel epitel dan
mediatornya adalah mekanisme yang dapat menjelaskan terjadinya airway remodeling
pad aasma. Sehingga dirumuskan suatu postulat bahwa kerusak sel epitel dan sitokin-
sitokin TH-2 beraksi bersama-sama dalam menimbulkan gangguan fungsi EMTU yang

9
menghasilkan aktivasi miofibroblas dan induksi respons inflamasi dan remodeling
sebagai karakteristik asma kronik.(3)

2.4. Klasifikasi
a. Asma Ekstrinsik
Juga dinamakan asma alergi (allergic asthma). Asma ekstrinsik pada umumnya
Nampak pada usia anak-anak dan dewasa muda. Cirri yang khas adalah adanya
serangan yang mendadak akibat bronkospasme ditandai adanya keluhan sesak
napas dan napas berbunyi setelah terjadinya paparan dengan bahan allergen
penyebab. Pada umumnya gejala awal yang mendadak beberapa saat kemudian
keluhan tersebut hilang tanpa atau dengan obat. Pada anamnesa terdapat faktor
keturunan, serangan asma sering didahului infeksi influenza, pada masa kanak-
kanak menderita eksim (atopi). Reaksi kulit terhadap a;ergen pencetus amat
menyolok (tepung sari, seafood, susu, obat, dan rambut/bulu hewan) kadar
imunoglobin E (IgE) dan sel radang eusinofil dalam darah tepi tinggi. Uji kulit
(skin test) positif. Respons terhadap pengobatan baik, umumnya menunjukkan
reaksi alergi terhada obat, utamanya aspirin.(4)
b. Asma Intrinsik
Asma ini timbul pada usia pertengahan atau dewasa. Faktor imunologi
sebagai penyebab peranannya tidak nampak dn faktor infeksi saluran pernapasan
sering menjadi penyebab, karenanya bentuk asma ini disebut pula sebagai
infective asthma atau idiopatic asthma. Kadang-kadang saja mempunyai sejarah
atopi. Pada serangan akut secara klinis sukar dibedakan antara asam ekstrinsik
dan asma intrnsik, meskipun terbentuknya dahak (purulen) dan batuk yng berat
lebih sering dijumpai pada asma infektif. Radang sinus dan cabang saluran nafas
lebih mudah bila adanya pemeriksaan laboratorium. Pengobatan pada asma
intrinsic ini tidak sepenuhnya efektif artinya respon terhadap pengobatan tidak
memuaskan, dan prognosanya lebih jelek dan cenderung menjadi bentuk kronis
dengan pembentukan dahak. Tes kulit negative, IgE dan jumlah eosinofil darah
tepi normal.
c. Asma bentuk lain
 Asma campuran
 Exercise induced asthma
10
 Dual type I dan type III allergic reaction
 Status asthmaticus.(4)

2.5. Diagnosis
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan semestinya, mengi (wheezing) dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Secara umum untuk menegakkan
diagnosis asma diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a) Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain:
1. Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari?
2. Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah
terpajan alergen atau polutan?
3. Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (commond cold) merasakan
sesak di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan (10 hari atau lebih)?
4. Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan
aktifitas atau olah raga?
5. Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah pemberian
obat pelega (bronkodilator)?
6. Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan
musim/cuaca atau suhu yang ekstrim (tiba-tiba)?
7. Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi, konjungtivitis
alergi)?
8. Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara kandung,
saudara sepupu) ada yang menderita asma atau alergi?
b) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatkannya
kelainan. Perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda
asma yang paling sering ditemukan adalah mengi, namun pada sebagian pasien
asma tidak didapatkan mengi diluar serangan. Begitu juga pada asma yang sangat
berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest), biasanya pasien dalam keadaan
sianosis dan kesadaran menurun. Secara umum pasien yang sedang mengalami
serangan asma dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut, sesuai derajat serangan:
11
1. Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas cepat,
retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal), sianosis
2. Palpasi : biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat
terjadi pulsus paradoksus
3. Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan
4. Auskultasi: ekspirasi memanjang, mengi, suara lendir
c) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma:
1. Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer
2. Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
3. Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
4. Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas bronkus.
5. Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada tidaknya
alergi.
6. Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
selain asma.

2.6. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan


terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
12
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20 %
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

Terapi non farmakologi


1. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan
asma. Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
 meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan
pola penyakit asma sendiri)
 meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma
sendiri/asma mandiri)
 meningkatkan kepuasan
 meningkatkan rasa percaya diri
 meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
 membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol
asma

Bentuk pemberian edukasi


 Komunikasi/nasehat saat berobat
 Ceramah
 Latihan/training
 Supervisi
 Diskusi
 Tukar menukar informasi (sharing of information group)
 Film/video presentasi
 Leaflet, brosur, buku bacaan
 dll
13
Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, upaya meningkatkan
kepatuhan pasien dilakukan dengan :
1. Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap
tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan
tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan pasien
2. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan
yang diberikan dan bagaimana pasien melakukannya. Bila mungkin kaitkan
dengan perbaikan yang dialami pasien (gejala dan faal paru).
3. Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien.
4. Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma.
5. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan pasien,
sehingga pasien merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkret.
6. Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui bersama dan
yang akan dilakukan, pada setiap kunjungan.
7. Mengajak keterlibatan keluarga.
8. Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status sosioe
konomi yang dapat berefek terhadap penanganan asma

2. Pengukuran peak flow meter


Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran
Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
1. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh
pasien di rumah.
2. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia
di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit,
pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko
tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa. Pada asma mandiri
pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu pengobatan seperti :
 Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
 Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan
baik
14
 Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau
penghentian obat
 Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Pemberian oksigen
5. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Dapat dilakukan dengan :
 Penghentian merokok
 Menghindari kegemukan
 Kegiatan fisik misalnya senam asma (3)

Terapi farmakologi
Penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi: 1) Penatalaksanaan asma
akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka panjang.

a. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)


Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus
diketahui oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh
pasien di rumah (lihat bagan 1), dan apabila tidak ada perbaikan segera ke
fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan
dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat
serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan
faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah bronkodilator (β2
agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) dan kortikosteroid sistemik.
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja
cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak
memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat
diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada keadaan tertentu
(seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral

15
(metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5 hari. Pada
serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral.
Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin
IV (bolus atau drip). Pada anak belum diberikan ipratropium bromida
inhalasi maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan
pemberian cairan IV.
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV,
β2 agonis kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan
aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila β2 agonis kerja cepat tidak tersedia
dapat digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang
mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.
Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi
menggunakan nebulizer. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (Inhalasi
Dosis Terukur) dengan alat bantu (spacer).

b. Penatalaksanaan asma jangka panjang


Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol
asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang
disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka
panjang meliputi: 1) Edukasi; 2) Obat asma (pengontrol dan pelega); dan
Menjaga kebugaran.
Edukasi yang diberikan mencakup: kapan pasien berobat/ mencari
pertolongan, mengenali gejala serangan asma secara dini, mengetahui obat-
obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya, mengenali
dan menghindari faktor pencetus, kontrol teratur. Alat edukasi untuk
dewasa yang dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah pelangi asma
(bagan 6), sedangkan pada anak digunakan lembaran harian.
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega
diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan
untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan
terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi
(kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan
sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai
16
tiga bulan kondisi telah terkontrol. Obat asma yang digunakan sebagai
pengontrol antara lain: Inhalasi kortikosteroid, β2 agonis kerja panjang,
antileukotrien, teofilin lepas lambat.(3)
Alur Tatalaksana Serangan Asma
Klinik / IGD

Nilai derajat serangan(1)

(sesuai tabel 3)
Tatalaksana awal
 nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)
 nebulisasi ketiga + antikolinergik
 jika serangan berat, nebulisasi. 1x (+antikoinergik)

Serangan ringan Serangan sedang Serangan berat


(nebulisasi 1-3x, (nebulisasi 1-3x, respons (nebulisasi 3x,
respons baik, gejala parsial) respons buruk)
hilang)  berikan oksigen (3)  sejak awal berikan O2
 observasi 2 jam  nilai kembali derajat saat / di luar
 jika efek bertahan, serangan, jika sesuai nebulisasi
boleh pulang dgn serangan sedang,  pasang jalur
 jika gejala timbul observasi di Ruang parenteral
lagi, perlakukan Rawat Sehari/observasi  nilai ulang klinisnya,
sebagai serangan  pasang jalur parenteral jika sesuai dengan
sedang serangan berat, rawat
di Ruang Rawat Inap
 foto Rontgen toraks
Boleh pulang Ruang Rawat Sehari/observasi Ruang Rawat Inap
 bekali obat -agonis  oksigen teruskan  oksigen teruskan
(hirupan / oral)  berikan steroid oral  atasi dehidrasi dan asidosis
 jika sudah ada obat  nebulisasi tiap 2 jam jika ada
pengendali, teruskan  bila dalam 12 jam perbaikan  steroid IV tiap 6-8 jam
 jika infeksi virus sbg. klinis stabil, boleh pulang,  nebulisasi tiap 1-2 jam
pencetus, dapat diberi tetapi jika klinis tetap belum  aminofilin IV awal, lanjutkan
steroid oral membaik atau meburuk, alih rumatan
 dalam 24-48 jam kontrol rawat ke Ruang Rawat Inap  jika membaik dalam 4-6x
ke Klinik R. Jalan, untuk nebulisasi, interval jadi 4-6
Catatan:
reevaluasi jam
1. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan  jika dalam 24 jam perbaikan
-agonis + antikolinergik klinis stabil, boleh pulang
2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif  jika dengan steroid dan
3. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan aminofilin parenteral tidak
0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali membaik, bahkan timbul
4. Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak Ancaman henti napas, alih
awal, termasuk saat nebulisasi
rawat ke Ruang Rawat
Intensif 17
Alur Tatalaksana Asma jangka Panjang

Asma episodik jarang


Obat pereda: -agonis atau teofilin
(hirupan atau oral) bila perlu
3-4 minggu, obat
dosis / minggu > 3x  3x

Tambahkan obat pengendali:


Asma episodik sering Kortikosteroid hirupan dosis rendah *)

6-8 minggu, respons: () (+) P

E
Pertimbangkan alternatif penambahan
Asma persisten salah satu obat:
 -agonis kerja panjang (LABA) N
 teofilin lepas lambat
 antileukotrien G
 atau dosis kortikosterid ditingkatkan
(medium)
H
6-8 minggu, respons: () (+)
I

Kortikosteroid dosis medium N


ditambahkanan salah satu obat:
 -agonis kerja panjang D
 teofilin lepas lambat
 antileukotrien
 atau dosis kortikosteroid ditingkatkan A
(tinggi)
R
6-8 minggu, respons: () (+)

A
Obat diganti kortikosteroid oral
N
*) Ketotifen dapat digunakan pada pasien balita dan/atau asma tipe rinitis

18
BAB III
KESIMPULAN

Asma adalah inflamasi kronis saluran nafas yang bersifat reversible yang ditandai
dengan sesak, batuk, mengi, dan rasa berat di dada, yang obatnya terdiri atas 2 jenis yaitu
pelega dan pengontrol. Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 faktor
utama yang mempengaruhi asma pada pasien ini adalah faktor genetik, lingkungan, perilaku,
dan pelayanan kesehatan.Dalam hal ini, dari faktor genetik yaitu terdapat presdisposisi
genetik dari ayah pasien, faktor lingkungan yaitu rumah yang tidak sehat dan bersih
menyebabkan tingginya paparan allergen indoor maupun outdoor, faktor perilaku terkait
minimnya upaya pencegahan dari terpapar alergen atau pemicu munculnya serangan asma,
dan tidak minum obat secara teratur, serta faktor pendidikan kesehatan mengenai kurangnya
sosialisasi penyakit dan hubungan kerja sama pasien dantenaga kesehatan yang belum
maksimal.

19
RUJUKAN

1. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. 2007. Departemen Kesehatan RI. (diakses
dari : http://binfar.kemkes.go.id/v2/wp-content/uploads/2014/02/PC_ASMA.pdf)
2. Price dan Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
EGC
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. ASMA Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia
4. Alsagaff Hood, dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Graha
Masyarakat Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga

20

Anda mungkin juga menyukai