PENDAHULUAN
Berdasarkan Badan Pusat Statistik Indonesia, presentase lansia dengan usia 60 tahun ke
atas pada tahun 2010 sampai 2015 terus mengalami peningkatan Penduduk lansia mengalami
peningkatan yang signifikan pada tahun 2015, jumlah penduduk lansia sebesar 18,96 juta jiwa
dan meningkat menjadi 20,547,541 pada tahun 2016 (Bureau, 2016). Berdasarkan data profil
kesehatan Indonesia, jumlah lansia terus meningkat pada tahun 2016 populasi lansia yang
berada di Palangka Raya sebasar 79,016 orang meningkat pada tahun 2017 sebasar 82,857
orang lansia dari total penduduk Kalimantan Tengah yang berjumlah 2.605.274 orang.
Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan
proses penuaan yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia. Lansia
banyak menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu penanganan segera dan
terintegrasi. Seiring bertambahnya usia seseorang maka terjadi kecenderungan menurunnya
berbagai kapasitas fungsional baik pada tingkat seluler maupun pada tingkat organ yang dapat
mengakibatkan terjadinya degenerasi sejalan dengan proses menua. Proses menua ini dapat
berpengaruh pada perubahan fisiologis yang tidak hanya berpengaruh terhadap penampilan
fisik, namun juga terhadap fungsi dan tanggapannya pada kehidupan sehari-hari. Setiap
individu mengalami perubahan-perubahan tersebut secara berbeda, ada yang laju
penurunannya cepat dan dramatis. Pada lanjut usia terjadi kemunduran sel-sel karena proses
penuaan yang dapat berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik, timbulnya berbagai
macam penyakit seperti peningkatan kadar asam urat (hiperurisemia) (Sustrani, 2009). Hasil
Riskesdas 2013, penyakit terbanyak pada lanjut usia adalah penyakit tidak menular (PTM)
artritis menempati peringkat kedua setelah hipertensi, stroke, penyakit paru obstruktif
(PPOK) dan diabetes mellitus. Gout Arthritis adalah salah satu penyakit rematik yang
menduduki urutan ketiga setelah arhtrosis dan remathoid arthritis, penderita penyakit
rematik di Indonesia di perkirakan hampir 80% penduduk yang berusia 40 tahun atau lebih
(Junaidi, 2013). World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa sekitar 335 juta
orang di dunia mengidap penyakit rematik. Jumlah ini sesuai dengan adanya peningkatan
manusia berusia lanjut. Masalah muskuloskeletal merupakan masalah kronis yang paling
lazim terjadi pada lansia, dengan sekitar 49% lansia mengalami beberapa bentuk artritis
(Fowles, 1990 dalam Maas,dkk, 2011). Penyakit asam urat diperkirakan terjadi pada 840
orang dari setiap 100.000 orang. Prevalensi penyakit asam urat di Indonesia terjadi pada usia
di bawah 34 tahun sebesar 32% dan di atas 34 tahun sebesar 68%. Berdasarkan hasil
Kemenkes (2013) menunjukkan bahwa penyakit sendi di Indonesia menduduki urutan kedua
dari sepuluh penyakit terbanyak pada lansia yang ada dengan jumlah 51% pada usia 65-74
tahun, yang diagnosis tenaga kesehatan (nakes) sebesar 11.9% dan berdasarkan diagnosis dan
gejala sebesar 24.7%. Di Palangka Raya prevalensi penyakit pada persendian pada usia 45-
45 tahun (24%), dan pada usia 55-69 tahun (27%). Pada tahun 2013 penyakit persendian
berada di urutan ke 3 kunjungan pasien ke Puskesmas dan sekitar 40% dari golongan umur
yang menderita penyakit persendian yaitu umur 40 tahun keatas (Dinkes Kalteng, 2014).
Nyeri sendi merupakan salah satu jenis peradangan sendi yang sering terjadi dan menjadi
penyebab kecacatan terutama pada usia lanjut.
Penyakit asam urat atau biasa dikenal sebagai gout arthritis merupakan suatu penyakit yang
diakibatkan karena penimbunan kristal monosodium urat di dalam tubuh. Asam urat
merupakan hasil metabolisme akhir dari purin yaitu salah satu komponen asam nukleat yang
terdapat dalam inti sel tubuh. Peningkatan kadar asam urat dapat mengakibatkan gangguan
pada tubuh manusia seperti perasaan nyeri di daerah persendian dan sering disertai timbulnya
rasa nyeri yang teramat sangat bagi penderitanya sehingga mempengaruhi kemampuan dalam
bergerak serta melalukan segala aktivitas sehari-hari. Penyebab penumpukan kristal di daerah
tersebut diakibatkan tingginya kadar asam urat dalam darah. Bahan pangan yang tinggi
kandungan purinnya dapat meningkatkan kadar urat dalam darah antara 0,5 –0,75 g/ml purin
yang dikonsumsi. Konsumsi lemak atau minyak tinggi seperti makanan yang digoreng,
santan, margarin atau mentega dan buah-buahan yang mengandung lemak tinggi seperti
durian dan alpukat juga berpengaruh terhadap pengeluaran asam urat (Krisnatuti, 2007).
Asam urat merupakan hasil dari sisa penghancuran purin (Gout) dapat menyebabkan
menurunnya kualitas hidup bagi penderitanya. Penurunan kemampuan musculoskeletal
karena nyeri sendi dapat berdampak pada penurunan aktivitas pada lansia. Aktivitas yang
dimaksud antara lain makan, minum, berjalan, mandi, buang air besar, dan buang
air kecil. Kemandirian pada lansia dinilai dari bagaimana lansia mampu melakukan aktivitas
fisik secara mandiri tanpa bergantung pada orang lain (Chintyawati, 2014). Berdasarkan
latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
hubungan antara nyeri gout arthritis dengan kemandirian lansia di puskesmas pahandut
palangka raya.
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan diteliti yaitu:
apakah ada hubungan antara nyeri gout arthritis dengan kemandirian lansia di puskesmas
pahandut palangka raya?
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara nyeri gout arthritis dengan
tingkat kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari pada lansia di puskesmas
pahandut palangka raya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara
praktis.
1.4.1 Teoritis
Sebagai bahan masukan dan tambahan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat pada
umumnya. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat mengenai hubungan antara nyeri gout
arthritis dengan tingkat kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari pada lansia, serta
memberi suatu kontribusi bagi dinas kesehatan dan puskesmas setempat yang bias digunakan
sebagai salah satu pertimbangan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan pada lansia.
1.3.2 Praktis
Menurut Nugroho (2000) dalam Cici Chintyawati (2014) lansia pada umumnya
mengalami beberapa perubahan yaitu perubahan fisiik atau fisiologis, perubahan mental atau
psikologis dan perubahan psikososial. Pada proses menua, perubahan fisiologis akan terjadi
pada system musculoskeletal, saraf, kardiovaskular, respirasi, indra, dan integument. Terkait
dengan tingkat kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang berhubungan
dengan system musculoskeletal, maka penulisan ini akan membahas perubahan fisiologis
pada system musculoskeletal (Pudjiastuti dan Utomo, 2003 dalam Cici Chintyawati 2014).
Menurut Pudjiastuti (2003), perubahan pada sistem muskuloskeletal antara lain sebagai
berikut:
Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago dan
jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan cross linking yang tidak teratur.
Bentangan yang tidak teratur dan penurunan hubungan tarikan linier pada jaringan kolagen
merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan tubuh. Setelah kolagen
mencapai puncak fungsi atau daya mekaniknya karena penuaan, daya elastisitas dan
kekakuan dari kolagen menurun karena mengalami perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai
penuaan. Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia
sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan
kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok, dan berjalan, dan hambatan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
2.1.4.2 Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi dan akhirnya
permukaan sendi menjadi rata, kemudian kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang
dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif. Proteoglikan yang merupakan
komponen dasar matriks kartilago berkurang atau hilang secara bertahap. Setelah matriks
mengalami deteriorasi, jaringan fibril pada kolagen kehilangan kekuatannya, dan akhirnya
kartilago cenderung mengalami fibrilasi. Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar
penumpu berat. Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri,
keterbatasan gerak, dan terganggunya aktivitas sehari-hari.
2.1.4.3 Tulang
2.1.4.4 Otot
Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi. Penurunan jumlah dan ukuran
serabut otot, peningkatan jaringan penghubung, dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan
efek negatif. Dampak dari efek negatif tersebut adalah penurunan kekuatan, penurunan
fleksibilltas, peningkatan waktu reaksi, dan penurunan kemampuan fungsional otot.
2.1.4.5 Sendi
Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen, dan fasia mengalami
penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago, dan jaringan periartikular mengalami penurunan
daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi, dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul
sendi. Sendi kehilangan fleksibilitasnya sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi.
Beberapa kelainan akibat perubahan pada sendi yang banyak terjadi pada lansia antara lain
osteoartritis, artritis reumatoid, gout, dan pseudogout. Kelainan tersebut dapat menimbulkan
gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan sendi, keterbatasan luas gerak sendi, gangguan
jalan, dan aktivitas keseharian lainnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus kehidupan manusia di dunia ini
dimana pada tahap ini akan terjadi perubahan anatomi dan penurunan berbagai sistem
fisiologis dalam tubuh manusia yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan tubuh
untuk menjalankan aktivitas kehidupannya.
Penyakit ginjal kronis Ginjal merupakan filter berbagai benda asing untuk diekskresi
keluar tubuh. Karena itu, gangguan yang timbul pada organ ini akan memengaruhi
metabolisme tubuh dan menimbulkan berbagai jenis penyakit. Salah satunya penyakit yang
bisa ditimbulkan adalah hiperurisemia. Hiperurisemia dan penyakit ginjal memiliki hubungan
sebab akibat. Gangguan fungsi ginjal pada ginjal bisa mengganggu eskresi asam
urat. Namun, kadar asam urat yang terlalu tinggi juga bisa mengganggu kinerja dan fungsi
ginjal (Lingga, 2012).
2.2.1.2 Faktor usia
Faktor usia Gout umumnya dialami oleh pria dan wanita dewasa yang berusia diatas 40
tahun. Setelah memasuki masa pubertas, pria memiliki resiko gout lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita. Jumlah total penderita gout pada pria lebih banyak dibandingkan dengan
kaum wanita. Ketika memasuki usia paruh baya, jumlahnya menjadi sebanding antara pria
dan wanita. Dalam sebuah kajian di Amerika, prevalensi berlipat ganda dalam populasi usia
40-75 tahun. Dalam kajian kedua, prevalensi gout pada populasi dewasa di Inggris
diperkirakan sebesar 1.4%, dengan puncaknya lebih dari 7% pada pria usia 40-75
(Beyond, 2013). Menurut survey yang diadakan oleh National Health and Nutrition
Examinition Survey (NHANES), rasio penderita hiperurisemia sebagai berikut:
Resiko serangan gout mencapai puncaknya pada saat seseorang berusia 75 tahun, setelah
berusia di atas 75 tahun, resiko gout semakin menurun, bahkan tidak ada resiko sama sekali.
Kecuali, jika penyakit tersebut merupakan perkembangan dari penyakit gout kronis yang
sebelumnya telah dialami (Lingga, 2012).
2.2.1.3 Dehidrasi
Dehidrasi Kekurangan cairan didalam tubuh akan menghambat ekskresi asam urat. Pada
dasarnya semua cairan itu adalah pelarut. Namun, daya larut setiap cairan berbeda-beda. Air
yang memiliki daya larut paling tinggi adalah air putih. Air putih dapat melarutkan semua zat
yang larut di dalam cairan, termasuk asam urat. Air diperlukan sebagai pelarut asam urat yang
dibuang atau diekskresi melalui ginjal bersama urine. Jika tubuh kekurangan air, maka akan
menghambat ekskresi asam urat sehingga memicu peningkatan asam urat. Saat volume cairan
tubuh kurang, maka sampah sisa metabolisme pun akan menumpuk. Penumpukan asam urat
dan sisa metabolisme itulah yang menimbulkan nyeri di persendian (Lingga, 2012).
2.2.1.4 Makan berlebihan
Makan berlebihan Asupan purin dari makanan akan menambah jumlah purin yang beredar
di dalam tubuh. secara teknis, penambahan purin yang beredar di dalam darah
tergantung pada jumlah purin yang berasal dari makanan. Artinya, semakin banyak
mengkonsumsi purin, semakin tinggi kadar asam urat (produk akhir metabolisme purin)
dalam tubuh (Lingga, 2012).
2.2.1.5 Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol Sejumlah studi mengatakan konsumsi alkohol memiliki pengaruh
sangat besar dalam meningkatkan prevalensi gout pada penggemar alkohol. Dampak buruk
alkohol akan semakin nyata pada individu yang mengalami obesitas. Sebuah studi yang
dilakukan di Jepang oleh Shirusi H. (2009) menemukan korelasi nyata antara konsumsi
alkohol dan obesitas terhadap hiperurisemia. Resiko konsumsi alkohol semakin tinggi jika
dilakukan oleh penderita obesitas. Dikatakan bahwa penderita obesitas yang gemar
mengkonsumsi akohol dipastikan mengalami gout (Lingga, 2012).
2.2.1.6 Pasca-operasi
Pasca-operasi Seseorang yang telah menjalani operasi beresiko mengalami kenaikan kadar
asam urat sesaat. Karena penurunan jumlah air yang mereka konsumsi pasca-operasi
menyebabkan ekskresi asam urat terhambat untuk sementara waktu (Lingga, 2012).
2.2.2 Patofisiologi
Untuk menjadi gout arthritis, asam urat harus melalui tahapan-tahapan tertentu yang
menandai perjalanan penyakit ini. Gejala awal ditandai oleh hiperurisemia
kemudian berkembang menjadi gout dan komplikasi yang ditimbulkannya. Prosesnya
berjalan cukup lama tergantung kuat atau lemahnya faktor resiko yang dialami oleh
seorang penderita hiperurisemia. Jika hiperurisemia tidak ditangani dengan baik, cepat atau
lambat penderita akan mengalami serangan gout akut. Jika kadar asam urat tetap tinggi
selama beberapa tahun, penderita tersebut akan mengalami stadium interkritikal. Setelah
memasuki fase ini, tidak butuh waktu lama untuk menuju fase akhir yang dinamakan dengan
stadium gout kronis (Lingga, 2012).
2.2.3 Manifestasi Klinis
Biasanya, serangan gout arthritis pertama hanya menyerang satu sendi dan berlangsung
selama beberapa hari. Kemudian, gejalanya menghilang secara bertahap, dimana sendi
kembali berfungsi dan tidak muncul gejala sehingga terjadi serangan berikutnya. Namun,
gout cenderung akan semakin memburuk, dan serangan yang tidak diobati akan berlangsung
lebih lama, lebih sering, dan menyerang beberapa sendi. Alhasil, sendi yang terserang bisa
mengalami kerusakan permanen (Junaidi, 2013).
Lazimnya serangan gout arthritis terjadi dikaki (monoarthritis). Namun, 3-14%
serangan juga bisa terjadi dibanyak sendi (poliarthritis). Biasanya, urutan sendi yang terkena
serangan gout (poliarthritis) berulang adalah: ibu jari kaki (podogra), sendi tarsal
kaki, pergelangan kaki, sendi kaki belakang, pergelangan tangan, lutut, dan bursa
elekranon pada siku (Junaidi, 2013). Nyeri yang hebat dirasakan oleh penderita gout pada
satu atau beberapa sendi. Umunya serangan terjadi pada malam hari. Biasanya, hari sebelum
serangan gout terjadi penderita tampak sangat bugar tanpa gejala atau keluhan, tetapi tiba-tiba
tepatnya pada tengah malam menjelang pagi, ia terbangun karena merasakan sakit yang
sangat hebat serta nyeri yang semakin memburuk dan tak tertahankan (Junaidi, 2013). Sendi
yang terserang gout akan membengkak dan kulit diatasnya akan berwarna merah atau
keunguan, kencang dan licin, serta terasa hangat dan nyeri jika digerakkan, dan muncul
benjolan pada sendi (yang disebut tofus). Jika sudah agak lama (hari kelima), kulit diatasnya
akan berwarna merah kusam dan terkelupas (deskuamasi). Gejala lainya adalah muncul tofus
di helixs telinga/ pinggir sendi/tendon. Menyentuh kulit diatas sendi yang terserang gout bisa
memicu rasa nyeri yang luar biasa. Rasa nyeri ini akan berlangsung selama beberapa hari
hingga sekitar satu minggu, lalu menghilang (Junaidi, 2013). Kristal dapat terbentuk disendi-
sendi perifer karena persendian tersebut lebih dingin dibandingkan persendian ditubuh lainya,
karena asam urat cenderung membeku pada suhu dingin. Kristal urat juga terbentuk ditelinga
dan jaringan lainya yang relatif dingin. Gout jarang terjadi pada tulang belakang, tulang
panggul, atau bahu. Gejala lain dari arthritis gout akut adalah demam, menggigil, tidak enak
badan, dan denyut jantung berdetak dengan cepat. Serangan gout akan cenderung lebih berat
pada penderita yang berusia dibawah 30 tahun. Biasanya, gout menyerang pria usia
pertengahan dan wanita pasca-menopause (Junaidi, 2013). Gout bisa menahun dan berat,
yang menyebabkan kelainan bentuk sendi. Pengendapan kristal urat didalam sendi dan tendon
terus berlanjut dan menyebabkan kerusakan yang akan membatasi pergerakan sendi. Benjolan
keras dari kristal urat (tofi) diendapkan dibawah kulit disekitar sendi. Tofi juga bisa terbentuk
didalam ginjal dan organ tubuh lainya, dibawah kulit telinga atau disekitar siku. Jika tidak
diobati, tofi pada tangan dan kaki bisa pecah dan mengeluarkan massa kristal yang
menyerupai kapur. (Junaidi, 2013).
dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antara variable, baik yang diteliti
Kerangka Konsep :
Variable Dependen
Variabel Independen
Kemandirian lansia dalam
Nyeri artritis Gout: melakukan ADL:
1. Nyeri tinggi
1. Mandi
2. Nyeri sedang
2. Makan
3. Nyeri rendah
3. Berpakaian
4. Kebersihan diri
5. Berdiri dan jongkok di toilet
6. Mengontrol BAB dan BAK
7. Dll.
BAB 3
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Analitik. Menurut Sugiyono
(2010) deskriptif analitik yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara
mendeskripsikan atau mengambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa
bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi, dengan
pendekatan Cross Sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi
antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan
data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya
diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel
subjek pada saat pemeriksaan.
3.2.1 Populasi
3.2.2 Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang menderita Artritis gout
yang berada di wilayah puskesmas Pahandut.
Teknik Sampling
Purposive sampling
Sampel dalam penelitian ini adalah lansia yang menderita Artritis gout yang
memenuhi kriteria inklusi yang berada di wilayah puskesmas Pahandut.
Informed Concent
pengetahuan sikap
Analisa Data
Hubungan Antara Nyeri Gout Arthritis Dengan Kemandirian Lansia Di Puskesmas Pahandut Palangka Raya
Varibel Definisi Operasional Cara ukur Alat ukur Hasil Ukur Skala
Dependen: Kemandirian seseorang Peneliti mengisi Kuesioner ADL 1. Mandiri = skor ≥ Ordinal
Tingkat dalam melakukan aktifitas kuesioner yang berisi Barthel Index median (median = 14)
kemandirian dan fungsi-fungsi kehidupan tingkat kemandirian dan kuesioner 2. Tergantung = skor <
dalamm ADL sehari-hari yang dilakukan dalam melakukan IADL median (mendian =14)
oleh manusia secara rutin ADL. (instrument
tanpa bergantung dengan activity daily
orang lain (Zulfajri 1999) living)
Independen : Nyeri Artritis mempunyai Peneliti mengisi Kuesioner 1. Nyeri Tinggi = skor ≥ Ordinal
Nyeri Artritis komponen yaitu komponen kuesioner yang berisi median
fisiologis, komponen efektif tentang nyeri Artritis 2. Nyeri Rendah = skor
komponen sensorik, < median
diskriminatif, dan komponen
kognitif (Anderson 2001)
HUBUNGAN ANTARA NYERI GOUT ARTHRITIS DENGAN TINGKAT
KEMANDIRIAN DALAM AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI
PADA LANSIA DI PUSKESMAS PAHANDUT PALANGKA RAYA
Oleh:
Eka Pionita
NIM : 2017C06b0085
1. Topik
Keperawatan Gerontik
2. Masalah
Berdasarkan fenomena yang ada bahwa seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup
lansia di Indonesia, maka masalah bagi penderita artritis gout salah satunya nyeri akan
meningkat pula. Serta di dukung dengan sedikitnya penelitian mengenai rheumatoid artritis yang
menganggu aktivitas kehidupan sehari-hari.
3. Judul
Hubungan Antara Nyeri Gout Arthritis Dengan Tingkat Kemandirian Dalam Aktivitas
Kehidupan Sehari-Hari Pada Lansia Di Puskesmas Pahandut Palangka Raya