Anda di halaman 1dari 16

HAM DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


Dosen Pengampu : Bp. Mas’ud

Disusun Oleh :

Kirana Dian F (21020116120027)


Tutut Liya Rifky (21020116120028)
Medina Krisna Imlati (21020116120029)
Mira Annisa Rezeki (21020116120030)

FAKULTAS TEKNIK - TEKNIK ARSITEKTUR


UNIVERSITAS DIPONEGORO
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul HAM dan Demokrasi
dalam Islam tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini merupakan tugas yang diberikan
dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam di Universitas Diponegoro.
Kami merasa masih banyak kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan penulisan makalah ini.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang
telah membantu dalam proses penyelesaian makalah ini, khususnya kepada dosen yang telah
memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

Akhir kata, kami berharap semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami
maupun rekan-rekan, sehingga dapat menambah pengetahuan kita bersama.

Semarang, 2 November 2016

Tim Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR -------------------------------------------------------------------i


DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------------ii

BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang -----------------------------------------------------------------------1
1.2 Rumusan Masalah -------------------------------------------------------------------1
1.3 Tujuan Penulisan ---------------------------------------------------------------------2

BAB II Pembahasan
2.1 Hak Asasi Manusia dalam Islam --------------------------------------------------3
2.1.1 Pengertian Hak Asasi Manusia --------------------------------------------------3
2.1.2 Hak-Hak Asasi Manusia dan Sejarahnya --------------------------------------4
2.1.3 Latar Belakang Pemikiran tentang HAM --------------------------------------5
2.1.4 HAM dalam Pandangan Islam --------------------------------------------------5
2.2 Demokrasi dalam Islam -------------------------------------------------------------6
2.2.1 Pengertian Demokrasi-------------------------------------------------------------6
2.2.2 Asal Ususl Demokrasi ------------------------------------------------------------7
2.2.3 Demokrasi dan Islam--------------------------------------------------------------7
2.2.4 Prinsip- prinsip demokrasi dalam Islam ----------------------------------------9

BAB III Penutup


3.1 Kesimpulan ---------------------------------------------------------------------------12
3.2 Saran -----------------------------------------------------------------------------------12
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia sudah memiiki hak-hak pokok dari lahir sampai meninggal yang dikenal
dengan HAM. Hak asasi manusia bersifat universal. Hak asasi manusia ( HAM ) dalam Islam
berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak
merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah
saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas
kamu”. Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan
mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap
individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, status sosialnya, dan juga perbedaan agamanya.
Islam tidak hanya menjadikan itu sebagai kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan
untuk berperang demi melindungi hak-hak ini.
Disisi lain umat Islam sering kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang
sama, demokrasi bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum bisa diterima
secara utuh. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa timbal balik, sementara yang
lain, justru bersikap ekstrim. Menolak bahkan mengharamkannya sama sekali. Sebenarnya
banyak yang tidak bersikap seperti keduanya. Artinya, banyak yang tidak mau bersikap
apapun. Kondisi ini dipicu dari kalangan umat Islam sendiri yang kurang memahami
bagaimana Islam memandang demokrasi.
Kami akan membahas mengenai bagaimana sebenarnya HAM dan Demokrasi
menurut ajaran dan pandangannya islam dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat diuraikan adalah
sebagai berikut:
1. Apa pengertian HAM?
2. Bagaimana sejarah hak asasi manusia?
3. Bagaimana latar belakang adanya HAM?
4. Bagaimana perspektif islam terhadap hak asasi manusia?
5. Apa saja dasar-dasar hak asasi manusia dalam Al-Qur’an?
6. Apa pengertian demokrasi demokrasi?
7. Bagaimana asal-usul demokrasi?
8. Bagaimana Islam memandang demokrasi?
9. Apa saja prinsip-prinsip demokrasi?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Memahami apa itu hak asasi manusia.
2. Mengetahui sejarah hak asasi manusia.
3. Mengetahui latar belakang pemikiran hak asasi manusia.
4. Memahami perspektif islam terhadap hak asasi manusia.
5. Mengetahui dasar-dasar hak asasi manusia dalam Al-Qur’an.
6. Memahami pengertian demokrasi.
7. Mengetahui bagaimana asal-usul demokrasi. Memahami pandangan islam terhadap
demokrasi.
8. Mengetahui prinsip-prinsip demokrasi dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hak Asasi Manusia dalam Islam

2.1.1. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)

HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia menurut kodratnya sebagai hak yang
dibawa sejak seseorang lahir ke dunia dan merupakan anugerah dari Tuhan. Oleh karena itu,
tidak ada satu kekuasaan pun di dunia yang dapat mencabutnya. Jadi, hak asasi mengandung
kebebasan secara mutlak tanpa mengindahkan hak-hak dan kepentingan orang lain. Karena
itu HAM atas dasar yang paling fundamental yaitu hak kebebasan dan hak persamaan. Dari
kedua dasar ini pula lahir HAM yang lainnya.

Ciri khusus hak asasi manusia :

 Tidak dapat dicabut, artinya hak asasi manusia tidak dapat dihilangkan atau
diserahkan.
 Tidak dapat dibagi, artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak, apakah hak
sipil dan politik atau hak ekonomi, social, dan budaya.
 Hakiki, artinya hak asasi manusia adalah hak asasi semua umat manusia yang sudah
ada sejak lahir.
 Universal, artinya hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang
status, suku bangsa, gender, atau perbedaan lainnya. Persamaan adalah salah satu dari
ide-ide hak asasi manusia yang mendasar.

Hak asasi manusia, di pihak lain, menimbulkan kewajiban-kewajiban asasi. Perbenturan


kepentingan antara seseorang dengan yang lain sering terjadi. Dalam penerapannya, hak asasi
manusia tidak dapat dilaksanakan secara mutlak karena dapat mengakibatkan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia itu sendiri (hak asasi orang lain).
2.1.2. Hak-hak Asasi Manusia dan Sejarahnya

Kedatangan Islam di muka bumi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bertujuan
untuk membawa rahmat bagi makhluk seisi bumi termasuk didalamnya manusia. Menurut
ajaran Islam, manusia tidak hanya menjadi objek tapi sekaligus menjadi subjek bagi
terciptanya keselamatan dan kedamaian itu. Oleh karena itu, setiap muslim dituntut
pertanggungjawaban atas keselamatan diri dan lingkungannya. Seorang muslim harus dapat
memberikan rasa aman bagi orang lain baik dari ucapan maupun tindak-tanduknya.
Berdasarkan ini, maka penghargaan tertinggi kepada manusia dan kemanusiaan
menjadi perhatian yang paling utama dan prinsipil di dalam Islam. Penghargaan yang tidak
dibatasi oleh kesukuan, ras, warna kulit, kebangsaan dan agama. Misalnya nilai persamaan,
persaudaraan, dan kemerdekaan merupakan nilai-nilai universal Islam yang berlaku pula
untuk seluruh umat manusia di jagad raya ini. Hal ini tercermin dari penegasan Allah didalam
kitab suci al-qur’an :

“Sesungguhnya kami telah memuliakan Bani Adam (manusia) dan Kami angkat
mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah
Kami ciptakan” (Q.S. Al-Isra’/17:70).

Hal itu sesungguhnya manusialah yang diberikan kebebasan memilih antara hal-hal
yang baik dan yang buruk, benar dan salah, bermanfaat dan mendatangkan mudarat dan
sebagainya. Kunci dari itu semua adalah manusia dikaruniai akal pikiran dan hati nurani
(qalb). Untuk dapat menjalankan tugas dan fungsi kekhalifahan itu setiap manusia harus
mengerti terlebih dahulu hak-hak dasar yang melekat pada dirinya seperti kebebasan,
persamaan, perlindungan dan sebagainya. Hak-hak tersebut bukan merupakan pemberian
seseorang, organisasi, atau Negara tapi adalah anugerah dari Allah yang sudah dibawanya
sejak lahir ke alam dunia. Hak-hak itulah yang kemudian disebut dengan Hak Asasi Manusia
(HAM). Tanpa memahami hak-hak tersebut mustahil ia dapat menjalankan tugas serta
kewajibannya sebagai khalifah Tuhan.
2.1.3. Latar Belakang Pemikiran tentang HAM

Manusia pada dasarnya berasal dari satu ayah dan satu ibu, yang kemudian menyebar
ke berbagai penjuru dunia, membentuk aneka ragam suku dan bangsa serta bahasa dan warna
kulit yang berbeda-beda. Karena itu manusia menurut pandangan Islam adalah umat yang
satu “ummatun wahidatun”.
Karena manusia itu bersaudara yang saling mengasihi dan sama derajatnya, manusia
tidak boleh diperbudak oleh manusia lain. Manusia bebas dalam kemauan dan perbuatan,
bebas dari tekanan dan paksaan orang lain. Manusia, menurut islam, hanya milik Allah dan
hamba Allah (‘Abd Allah) dan tidak boleh menjadi hamba dari makhluk-Nya, termasuk
hamba dari manusia.
Dari ajaran dasar persaudaraan, persamaan dan kebebasan ini pula timbul hak manusia
yang lainnya. Seperti kebebasan dari kekurangan, rasa takut, meyalurkan pendapat, bergerak,
kebebasan dari penganiayaan dan penyiksaan. Hal ini mencakup semua sisi dari apa yang
disebut hak-hak asasi manusia seperti hak hidup, hak memiliki harta, hak berfikir, hak
berbicara dan mengeluarkan pendapat, mendapat pekerjaan, hak memperoleh pendidikan, hak
memperoleh keadilan, hak berkeluarga dan hak diperlakukan sebagai manusia yang terhormat
(mulia) dan sebagainya.

2.1.4. HAM dalam Pandangan Islam

Hak asasi manusia dalam Islam tertuang secara jelas untuk kepentingan manusia,
lewat syari’ah Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syari’ah, manusia adalah
makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, dan karenanya ia juga
mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar
persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan
terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial tidak terwujud
tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip
dasar tentang persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia.
Persamaan, artinya Islam memandang semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang
sama, satu-satunya keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia lainya hanya
ditentukan oleh tingkat ketakwaannya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Hujarat ayat 13, yang artinya
sebagai berikut :“Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan
perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kaum adalah yang paling takwa.”
Pada dasarnya HAM dalam Islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum
dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-islam
(hak-hak asasi manusia dalam Islam). Konsep ini mengandung lima hal pokok yang harus
dijaga oleh setiap individu, yaitu :
1. hifdzu al-din (penghormatan atas kebebasan beragama)
2. hifdzu al-mal (penghormatan atas harta benda)
3. hifdzu al-nafs wa al-‘ird (penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan
individu)
4. hifdzu al-‘aql(penghormatan atas kebebasan berpikir) dan
5. hifdzu al-nasl(keharusan untuk menjaga keturunan).

Kelima hal pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat Islam supaya menghasilkan
tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas
individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat
dengan negara dan komunitas agama dengan komunitas agama lainnya.

2.2. Demokrasi dalam Islam

2.2.1. Pengertian Demokrasi

Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka
pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan “Demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam sistem demokrasi,
rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih
rakyat harus melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.

Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam
hal, yaitu:

a. Kebebasan beragama

b. Kebebasan berpendapat

c. Kebebasan kepemilikan
d. Kebebasan bertingkah laku

Inilah fakta demokrasi yang saat ini dianut dan digunakan oleh hampir semua negara
yang ada di dunia. Tentu saja dalam implementasinya akan mengalami variasi-variasi tertentu
yang dilatar belakangi oleh kebiasaan, adat istiadat serta agama yang dominan di suatu
negara. Namun, variasi yang ada hanyalah terjadi pada bagian cabang bukan pada prinsip
tersebut.

2.2.2. Asal Usul Demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani demokratia “kekuasaan rakyat”, yang
dibentuk dari kata demos “rakyat” dan kratos “kekuasaan”, merujuk pada sistem politik yang
muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di kota Yunani Kuno, khususnya Athena,
menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.

Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur,
demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad
Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengurangi pengaruh dan peran
agama dalam kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi
agama dan gereja terhadap masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti
agama, dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama sebagai
kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi
agamanya mustahil menjadi aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau
mencoba mengingatkan mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar
belakang dan situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.

2.2.3. Demokrasi dan Islam


Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan
peranan manusia yang terkandung dalam konsep khilafah memberikan kerangka yang
dengannya para cendekiawan belakangan ini mengembangkan teori politik tertentu yang
dapat dianggap demokratis. Didalamnya tercakup definisi khusus dan pengakuan terhadap
kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia, dan kewajiban rakyat sebagai
pengemban pemerintahan.
Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual islam, banyak
perhatian diberikan pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi
islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama
berakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma’), dan penilaian interpretative yang
mandiri (ijtihad). Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan
manusia. Oleh karena itu perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama
dalam doktrin musyawarah. Hal ini disebabkan menurut ajaran Islam, setiap muslim yang
dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita adalah khalifah Allah di bumi. Dalam
bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat
mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara. Kemestian bermusyawarah
dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyyah, dalam surat Al-syura ayat 3 :

“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.(QS Asy-Syura : 38).

Disamping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam masalah demokrasi,
yakni konsensus atau ijma’. Konsensus memainkan peranan yang menentukan dalam
perkembangan hukum Islam dan memberikan sumbangan sangat besar pada korpus hukum
atau tafsir hukum. Dalam pengertian yang lebih luas, konsensus dan musyawarah sering
dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern.
Selain syura dan ijma’, ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi Islam,
yakni ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju
penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu. Hal ini dengan jelas dinyatakan oleh
Khursid Ahmad: “Tuhan hanya mewahyukan prinsip-prinsip utama dan memberi manusia
kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dengan arah yang sesuai dengan
semangat dan keadaan zamannya”. Itjihad dapat berbentuk seruan untuk melakukan
pembaharuan, karena prinsip-prinsip Islam itu bersifat dinamis, pendekatan kitalah yang telah
menjadi statis. Oleh karena itu sudah selayaknya dilakukan pemikiran ulang yang mendasar
untuk membuka jalan bagi munculnya eksplorasi, inovasi dan kreativitas.

Dalam pengertian politik murni, Muhammad Iqbal menegaskan hubungan antara


konsensus demokratisasi dan ijtihad. Dalam bukunya The Reconstruction of Religious
Thought in Islam ia menyatakan bahwa tumbuhnya semangat republik dan pembentukan
secara bertahap majelis-majelis legislatif di negara-negara muslim merupakan langkah awal
yang besar. Musyawarah, konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat
penting bagi artikulasi demokrasi islam dalam kerangka Keesaan Tuhan dan kewajiban-
kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya.

2.2.4. Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam

Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang
secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38
dan Ali Imran:159. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal
sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga
ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah.
Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung
jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, setiap
keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap
musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena
pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk
rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana.
Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah
SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-
Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan seterusnya. Prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat
diperlukan, sehingga ada ungkapan yang berbunyi “Negara yang berkeadilan akan lestari
kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang
mengatasnamakan) Islam”.
Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih
tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa
memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini
penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari hegemoni penguasa atas rakyat.
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang
dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan
menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah
memiliki tanggung jawab besar dihadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan
begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan
adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-
syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah
surat al-Hujurat:13.
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang
kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan
baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan
oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung
jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam
Surat an-Nisa’:58.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta,
dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas
jabatan tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa,
kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus
disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.
Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus
dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan
di depan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan
dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya.
Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-
masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas.
Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-
ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan
demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap
pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga
masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal
itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam
rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa
untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak
adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan.
Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin
merajalela.
Ada beberapa alasan mengapa islam disebut sebagai agama demokrasi, yaitu sebagai
berikut:
1) Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama islam berlaku bagi semua orang
tanpa memandang kelas, dari pemegang jabatan tertinggi hingga rakyat jelatah dikenakan
hukum yang sama. Jika tidak demikian, maka hukum dalam islam tidak berjalan dalam
kehidupan.
2) Islam memiliki asas permusyawaratan “amruhum syuraa bainahum” artinya perkara-
perkara mereka dibicarakan diantara mereka. Dengan demikian, tradisi bersama-sama
mengajukan pemikiran secara bebas dan terbuka diakhiri dengan kesepakatan.
3) Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan manusia tarafnya tidak boleh tetap,
harus terus meningkat untuk menghadapi kehidupan lebih baik di akhirat.
Prinsip demokrasai pada dasrnya adalah upaya bersama-sama untuk memperbaiki
kehidupan, kareana itulah islam dikatakan sebagai agama perbaikan “diinul islam” atau
agama inovasi. Untuk itu, islam selalu menghendaki demokrasi yang merupakan salah satu
ciri atau jati diri islam sebagai agama hukum.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

a. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme pemerintahan negara yang menjunjung


tinggi kedaulatan rakyat.
b. Demokrasi menurut islam dapat diartikan seperti musyawarah, mendengarkan
pendapat orang banyak untuk mencapai keputusan dengan mengedepankan nilai-nilai
keagamaan.
c. HAM adalah hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia ada di dalam kandungan.
d. HAM dalam islam didefinisikan sebagai hak yang dimiliki oleh individu dan
kewajiban bagi negara dan individu tersebut untuk menjaganya.

3.2. Saran
a. Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat membedakan antara demokrasi di
Indonesia dan demokrasi Islam dan dapat melihat sisi baik dan buruknya.
b. Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat memahami pentingnya HAM dalam
kehidupan kita dan kewajiban kita untuk menjaganya.
DAFTAR PUSTAKA

 http://jawabanislam.blogspot.co.id/2014/04/bab-xiii-ham-dan-demokrasi.html
 http://tutiyuniatun.blogspot.co.id/2014/02/makalah-ham-dan-demokrasi-dalam-
islam.html
 www.scribd.com =
 https://www.scribd.com/doc/226054902/Makalah-Hukum-HAM-Dan-
Demokrasi-Menurut-Islam
 https://www.scribd.com/doc/291174713/HUKUM-HAM-dan-Demokrasi-
dalam-ISLAM-ppt
 https://www.scribd.com/doc/306731651/Hukum-HAM-Dan-Demokrasi-
Menurut-Islam
 https://www.scribd.com/presentation/322371756/HAM-DAN-
DEMOKRASI-DALAM-ISLAM-pptx
 https://www.scribd.com/document/40735758/HAM-Dan-Demokrasi-
Dalam-Islam
 https://www.scribd.com/doc/311190699/Hukum-Ham-dan-Demokrasi-
dalam-Islam
 https://www.scribd.com/doc/192486177/Makalah-Hukum-Islam-Lengkap
 https://www.scribd.com/doc/85568118/Hukum-Dan-HAM-Dalam-Islam
 https://www.scribd.com/presentation/327897097/Ham-Dan-Demokrasi-
dalam-islam

Anda mungkin juga menyukai