Anda di halaman 1dari 20

1

HIV/AIDS

Definisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik


khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak
sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4
(CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus
Lentivirus. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang
menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai
infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS
(Acquired Imunnodeficiency Syndrome). AIDS merupakan kumpulan gejala atau
penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV.
Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan,
akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun.

Patofisiologi
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T
helper yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel
utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi
fungsi imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi
karena virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem
kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri
pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya
kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk
RNA (Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic
Acid) sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan
genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung
seumur hidup.
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari
sel yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun
akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut
2

dengan masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak
seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa
inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium
kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa
“window period”. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat
gejala klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.20 Pada
sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-
6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi
akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala
ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil
penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2 tahun
dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV
akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak
akan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga
penderita akan menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik.

Penularan HIV
(6)
Penularan terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung HIV .
Cairan tubuh yang paling banyak mengandung HIV adalah air mani, cairan
vagina/serviks, dan darah. Penularan utama HIV melalui 4 jalur yang
melibatkan cairan tubuh tersebut, yakni hubungan seksual, jalur pemindahan
darah (alat suntik, tato, tindik, alat bedah, alat cukur dan melalui luka kecil di
kulit), transplantasi organ, dan dari ibu yang terinfeksi ke bayi yang
dilahirkannya.

Gejala dan stadium klinis


Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan
klasifikasi klinis WHO atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk
3

keperluan surveilans epidemiologi dibuat apabila menunjukkan tes HIV positif


dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor.(3)
Tabel 1 : Gejala mayor dan minor infeksi HIV/AIDS.
Gejala Mayor Gejala Minor
Berat badan menurun >10% dalam 1 Batuk menetap > 1 bulan
bulan
Diare kronik berlangsung > 1 bulan Dermatitis generalisata
Demam berkepanjangan > 1 bulan Herpes zooster multisegmental dan
berulang
Penurunan kesadaran Kandidiasis orofaringeal
Demensia/HIV ensefalopati Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat
kelamin wanita
Rinitis Cytomegalovirus

Tabel 2 : Stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO.


Stadium Gejala Klinis
I Tidak ada penurunan berat badan
Tanpa gejala atau hanya limfadenopati generalisata persisten
II Penurunan berat badan <10%
ISPA berulang : sinusitis, otitis media, tonsilitis, dan faringitis
Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (kelitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur pada kuku
III Penurunan berat badan >10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan
4

Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia


TB Paru dalam 1 bulan terakhir
Limfadenitis TB
Infeksi bakterial berat
Anemia (<8gr/dl), trombositopenia kronik
IV Sindroma wasting (HIV)
Pneumoni Pneumocytis
Pneumoni bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan
Kandidiasis esofagus
Herpes simpleks ulseratif > 1 bulan
Limfoma
Sarkoma kaposi
Kanker serviks yang invasif
Retinitis CMV
TB ekstra paru
Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV
Meningitis kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif
Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas

Diagnosis infeksi HIV


Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
HIV. Pertama, tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) yang bereaksi
terhadap antibodi dalam serum. Apabila hasil ELISA positif, dikonfirmasi dengan
tes kedua yang lebih spesifik, yaitu Western blot. Bila hasilnya juga positif,
dilakukan tes ulang karena uji ini dapat memberikan hasil positif-palsu atau
negatif-palsu. Bila hasilnya tetap positif, pasien dikatakan seropositif HIV. Pada
tahap ini dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik lain untuk mengevaluasi
derajat penyakit dan dimulai usaha untuk mengendalikan infeksi.
5

Terapi Antiretrovirus
Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996, mendorong suatu
revolusi dalam perawatan penderia HIV/AIDS. Meskipun belum mampu
menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping dan
resistensi, obat ini secara dramatis menunjukkan penurunan angka mortalitas dan
morbiditas akibat HIV/AIDS.
Pemberian ARV bergantung pada tingkat progresifitas penyakit, yang
dapat dinilai melalui kadar CD4+ dan kadar RNA HIV serum. Terdapat tiga jenis
antiretrovirus yang digolongkan berdasarkan cara kerjanya, yang dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 3 HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy)

Golongan Obat dan Mekanisme Kerja Nama Obat


Nucleoside Reverse Transcriptase Abacavir (ABC)
Inhibitor (NRTI) Didanosin (ddl)
Menghambat reverse transcriptase Lamivudine (3TC)
HIV, sehingga pertumbuhan rantai Stavudine (d4T)
DNA dan replikasi HIV terhenti Zidovudine (ZDZ atau AZT)
Nonnucleoside Reverse Transcriptase Nevirapin (NVP)
Inhibitir (NNRTI) Efavirenz (EFV)
Menghambat transkripsi RNA HIV
menjadi DNA
Protease Inhibitor (PI) Indinavir (IDV)
Menghambat protease HIV, yang Ritonavir (RTV, r)
mencegah pematangan virus HIV Lopinavir (LPV)
Nelvinavir (NFV)
Saquinavir (SQV)
Jenis Kelainan Kulit pada Pasien HIV/AIDS
Kelainan kulit yang terjadi pada pasien HIV/AIDS sangat banyak
dengan spektrum yang sangat luas (4). Kelainan kulit tersebut meliputi:
6

a) Infeksi oportunistik
Infeksi oportunistik terjadi akibat pertumbuhan berlebih flora normal
Candida albicans, peningkatan kolonisasi (Dermatofitosis), reaktifasi
infeksi laten virus (virus Herpes) atau perubahan infeksi subklinis menjadi
klinis. Selama tujuh tahun terakhir telah terjadi penurunan prevalensi
infeksi oportunistik karena terapi HAART (8). Infeksi oportunistik menjadi
lebih sering terjadi pada penyakit HIV stadium lanjut yang tidak diobati.
Infeksi oportunistik meliputi:
a. Bakteri
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang
paling sering menyebabkan infeksi kutaneus maupun sistemik
(8).
pada penyakit HIV Insidensi stafilokokus primer termasuk
selulitis, impetigo, folikulitis, furunkel, dan karbunkel. Bakteri
oportunistik lainnya adalah Bartonella henselae yang
menyebabkan Bacillary Angiomatosis dengan lesi angioproliferatif
menyerupai cherry hemangioma atau Sarkoma Kaposi.
Mikroorganisme lainnya adalah Helicobacter cinaedi dan
Pseudomonas Aeruginosa dengan gambaran klinis selulitis (4).
Selulitis sering terjadi pada bagian tungkai, walaupun bisa
terdapat pada bagian tubuh lain. Daerah yang terkena menjadi
eritema, terasa panas dan bengkak, serta terdapat lepuhan-lepuhan
pada daerah nekrosis (11).

Gambar 1 Infeksi Stafilokokus pada Pasien HIV/AIDS (12).


Folikulitis adalah infeksi pada bagian superfisial folikel
rambut dengan gambaran pustula kecil dengan dasar kemerahan
pada bagian tengah folikel. Furunkel atau bisul merupakan infeksi
folikel rambut yang lebih dalam dan timbul abses yang nyeri pada
7

tempat infeksi. Karbunkel merupakan infeksi yang dalam pada


sekelompok folikel rambut yang berdekatan. Tempat yang sering
terkena karbunkel adalah bagian tengkuk dan leher. Pada mulanya
lesi berbentuk seperti kubah yang lunak kemerahan, kemudian
terjadi supurasi, dan pus keluar dari muara-muara folikel (11).
Impetigo merupakan infeksi superfisial yang mempunyai
dua bentuk klinis, yaitu nonbulosa dan bulosa. Lesi di tubuh bisa
timbul di bagian manapun. Pada impetigo nonbulosa lesi awal
berupa pustula kecil dan bila pecah akan terjadi eksudasi dan
krusta. Pada impetigo bulosa timbul lepuhan-lepuhan besar dan
superfisial. Ketika lepuhan tersebut pecah, terjadi eksudasi dan
terbentuk krusta, dan stratum korneum pada bagian tepi lesi
mengelupas kembali (11).
b. Virus
Kebanyakan infeksi virus timbul karena perubahan infeksi
subklinis menjadi klinis oleh Human papillomavirus (HPV) dan
Molluscum contangiosum virus (MCV). Penyebab sering lainnya
adalah reaktifasi virus pada masa laten seperti Herpes simplex
virus (HSV), Ebsteinn-Barr virus (EBV) dan Varicella zoster virus
(VZV) (8).
Banyak studi secara konsisten menunjukkan adanya
(4)
peningkatan kejadian HPV pada pasien HIV dan tidak terjadi
penurunan jumlah kasus walaupun telah mendapat terapi HAART
(8).
Gambaran klinis adalah veruka atau kutil, yaitu neoplasma jinak
pada epidermis. Veruka biasa (common wart) mempunyai
gambaran seperti kembang kol dan sering pada tangan. Pada
daerah punggung tangan dan wajah (plane wart) kutil ini kecil, rata
bagian atas, dan kemerahan sedangkan di telapak kaki kutil
bergerombol (mosak). Kutil kelamin (anogenital wart) atau dikenal
dengan kondiloma akuminata dapat timbul dalam vagina, uretra,
serviks, vulva, penis, dan anus (8).
8

Gambar 2 Infeksi Virus pada Kulit Pasien HIV/AIDS (12).


Infeksi VZV primer pada pasien HIV/AIDS biasanya lebih
lama dan lebih berat. Gambaran klinis berupa papul eritematosa
yang dalam beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel
ini khas berupa tetesan embun yang kemudian berubah menjadi
pustula dan krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi
vesikel- vesikel yang baru sehingga menimbulkan gambaran
polimorfik. Reaktivasi VZV atau Herpes zoster lebih banyak
didapatkan pada pasien dengan hitung sel CD4+ <350 sel/μl. Ciri
khas penyakitnya dimulai dengan nyeri radikular diikuti dengan
eritema sepanjang dermatom. Gambaran klinis HZV pada pasien
HIV meningkat sepanjang dermatom kranialis (4).
HSV muncul dengan gambaran krusta pada bibir, muka dan
bagian tubuh lainnya. Krusta semakin besar, dalam, dan
menimbulkan rasa nyeri. Pada pasien HIV/AIDS infeksi HSV
berlangsung lama dan sulit diobati (8).
Oral Hairy Leukoplakia (OHL) merupakan lesi spesifik
pada penyakit HIV yang disebabkan oleh virus Ebstein-Barr. OHL
merupakan salah satu tanda untuk menilai progresifitas penyakit.
OHL memberikan gambaran hiperplasia, plak epitelial berwarna
keputihan pada bagian lateral lidah, biasanya bilateral tetapi tidak
simetris. Diagnosis OHL dibuat berdasarkan penemuan klinis,
tetapi jika diagnosis tidak pasti perlu dikonfirmasi dengan biopsi
(4).
9

Gambar 3 Oral Hairy Leukoplakia (4).


MCV adalah penyakit yang disebabkan oleh virus poks.
Gambaran klinis berupa papula merah muda. Pada permukaannya
terdapat lekukan yang berisi massa berwarna putih. Lesi biasanya
muncul pada daerah yang mengalami trauma ringan dan
infundibulum folikel rambut. Gambaran klinis MCV pasien
HIV/AIDS sangat berbeda dengan orang normal. Lesi yang muncul
lebih besar, menyebar, dan menyebabkan morbiditas. Kelainan ini
menurun secara signifikan pada pasien yang mendapat terapi
HAART (8).
c. Jamur
Secara umum, infeksi jamur pada penderita HIV/AIDS
meliputi infeksi superfisialis (dermatofitosis, kandidiasis) dan
sistemik (histoplasmosis dan kriptokokus). Di Indonesia kasus
tersering adalah kandidiasis orofaring, histoplasmosis dan
kriptokokus (13).
Penyebab tersering kandidiasis adalah Candida albicans
yang dalam keadaan normal merupakan komensal dalam saluran
(8).
pencernaan Pada orang dewasa, Kandidiasis sering muncul di
lidah, orofaring, esofagus, sudut mulut (keilitis angular), kuku
(paronikia), balanitis, dan vulvovaginitis. Pada anak- anak ,
kandidiasis sering pada daerah persendian dan napkin area.
Diagnosis ditegakkan dari apusan dan kultur kerokan kulit dan
potongan kuku yang terkena (11).
10

Kandidiasis orofaring menimbulkan rasa nyeri yang


menyebabkan kesulitan asupan makanan. Akibatnya terjadi
penurunan kualitas hidup dan berpengaruh buruk terhadap sistem
imunitas tubuh yang memang telah terganggu. Kandidiasis
orofaring merupakan salah satu HIV-defining illness yang dapat
muncul bahkan pada kadar CD4+ dalam batas normal (13).

Gambar 4 Infeksi Kandida pada Pasien HIV/AIDS (10).


Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang
mengandung keratin dan paling sering disebabkan jamur
Trychophyton rubrum. Dermatofitosis diklasifikasikan
berdasarkan bagian tubuh yang yang diserang, yaitu tinea kapitis
(kulit dan rambut kepala), tinea pedis (kaki dan tangan), tinea
barbe (pada dagu dan janggut), tinea ungulum (kuku), dan tinea
korporis (bagian tubuh lain). Pada kulit, dermatofitosis muncul
dengan ciri eritema bulat atau oval, berskuama, menyebar secara
sentrifugal dengan tepi yang inflamasi, dan central healing.
Dermatofitosis pada kuku mempunyai gambaran putih pada
permukaan, kuku menjadi lebih tebal, dan rapuh. Pada anak, dapat
muncul tinea kapitis berat (kerion) yang nyeri dan dapat
menyebabkan alopesia. Dermatofitosis pada pasien HIV/ AIDS
lebih sulit untuk diobati dan rekuren. Diagnosis ditegakkan dari
kultur dan hapusan daerah yang terinfeksi (10).
11

Gambar 5 Infeksi Dermatofitosis pada Pasien HIV/AIDS (10).


Sebelum pandemi HIV/AIDS di Indonesia, Histoplasmosis
jarang dilaporkan. Penyebab Histoplasmosis adalah H.capsulatum.
Histoplasmosis ditegakkan melalui temuan jamur pada sediaan
kulit dan biakan darah atau kulit. Kelainan pada kulit menandakan
(13).
telah terjadi diseminasi mikosis sistemik yang luas Kelainan
kulit tampak sebagai makula eritematus, plak keratin atau nekrotik,
menyerupai moluskum kontangiosum, pustul, folikulitis, lesi
akneiformis, rosacea, psoriasis, atau ulkus (4).

Gambar 6 Histoplasmosis Diseminata pada Pasien HIV/AIDS (10).


Kriptokokus sering terjadi pada pasien HIV stadium lanjut.
Penyebab Kriptokokus tersering adalah Criptococcus neoforman.
Lesi kulit tampak paling sering pada kepala dan leher. Kelainan
yang sering muncul menyerupai moluskum kontangiosum, yaitu
papula atau nodul berumbilikasi berwarna seperti kulit atau merah
muda. Kelainan pada kulit menandakan diseminasi yang luas (13).
12

Gambar 7 Kriptokokus Diseminata pada Pasien HIV/AIDS (10).

b) Neoplasma Oportunistik
a. Sarkoma Karposi
Sarkoma Kaposi adalah penyakit yang multisentrik
angioproliferatif dan merupakan tumor yang sering didapatkan
(4)
pada infeksi HIV . Kelainan ini muncul pada pasien dengan
kadar CD4+ < 800 sel/μl. Lesi biasanya berupa makula, papula,
pustula, nodul, atau plak. Kelainan ini merupakan salah satu tanda
khas infeksi HIV. Namun beberapa penelitian yang dilakukan di
Asia tidak mendapatkan pasien HIV/AIDS yang mempunyai
kelainan kulit Sarkoma Kaposi (4).

Gambar 8 Sarkoma Kaposi (12).


b. Kanker Kulit Nonmelanoma
Kanker kulit nonmelanoma didapati pada pasien HIV/AIDS
stadium lanjut. Faktor risiko kelainan ini adalah kulit terang dan
terpapar cahaya matahari yang ekstensif (>6 jam per hari selama
10 tahun) (8).
c) Erupsi Obat (Adverse Drug Reaction)
13

Reaksi obat sering ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi


obat sulfonamide. Gambaran klinis berupa erupsi makula papular yang
menyebar luas. Gambaran lain dapat berupa urtikaria, eritema
multiformis, dan reaksi sistemik lainnya. Antibiotik seperti penisilin dapat
menyebabkan reaksi yang lebih berat pada pasien HIV. Obat- obat
antiretrovirus merupakan penyebab tersering kelainan kulit akibat erupsi
obat. Karena itu, perlu dilakukan pemilihan kombinasi obat retrovirus (4).

Gambar 9 Eritema Multiformis akibat Erupsi Antiretrovirus (12).


d) Dermatosis
a. Dermatitis Seboroik
Dermatitis Seboroik biasanya tampak pada bagian tubuh
berambut. Gambaran klinis berupa skuama eritematosa. Pada kulit
kepala, biasanya ditemukan pembentukan skuama yang luas dan
gatal dengan dasar eritematosa. pada wajah didapatkan eritema
berskuama. Dermatitis seboroik yang hebat terutama didapatkan
pada pasien penderita AIDS (8).

Gambar 10 Dermatitis Seboroik (8).


b. Papular Pruritus Eruption (PPE)
14

PPE merupakan salah satu kelainan kulit yang khas pada


pasien HIV/AIDS. Kelainan kulit ini didapati pada 85% pasien
HIV/AIDS. Lebih dari 80% kasus didapati pada pasien yang
memiliki kadar CD4+ kurang dari 100 sel/μl. Lesi pada kulit
berupa papul urtikaria berbatas tegas yang gatal. Eritema
menyebar pada leher, ekstremitas, dan wajah. Kadang, lesi
didapati berupa ekskoriasi dan hiperpigmentasi akibat garukan (8).

Gambar 11 Papular Pruritic Eruption akibat gigitan serangga (12).


c. Folikulitis Eosinofilik
Folikulitis Eosinofilik merupakan kelainan kulit pruritus
kronis yang terjadi pada pasien dengan penyakit HIV lanjut.
Secara klinis tampak papula folikulitis kecil berwarna merah muda
sampai merah, edematous (bisa berupa pustula), simetris di atas
garis nipple di dada, lengan proksimal, kepala dan leher.
Perubahan sekunder meliputi ekskoriasi, papul ekskoriasi, liken
simpleks kronis, prurigo nodularis juga infeksi S.aureus (4).
d. Psoriasis Vulgaris
Proses patologis merupakan gabungan dari hiperproliferasi
(11).
epidermis dan akumulasi sel radang Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis dan histopatologi. Lesi kulit yang
pertama kali timbul biasanya pada tempat- tempat yang mudah
terkena trauma, antara lain: siku, lutut, sakrum, kepala, dan
genitalia. Lesi kulit berupa makula eritematus dengan batas jelas,
tertutup skuama tebal dan transparan yang lepas pada bagian tepi
dan lekat di bagian tengah. Bisa terjadi kelainan kuku, di mana
15

permukaan kuku menjadi keruh, kekuningan dan terdapat


cekungan (pitting), menebal, dan terdapat subngual hyperkeratosis
sehingga kuku terangkat dari dasarnya (4).

Gambar 12 Psoriasis Vulgaris (12).


e. Kelainan Pigmen
Post inflammatory hyperpigmentation dan
hypopigmentation (PIH) merupakan kelainan yang sering
didapatkan setelah akibat kelainan kulit lain dan terapi
antiretrovirus. Pengobatan dengan zidovudine (AZT)
menyebabkan hiperpigmentasi terutama pada pasien kulit hitam.
Perubahan warna kulit menyebabkan keluhan kosmetik terutama
bila terjadi pada wajah, leher, dan ekstremitas atas. Jika kelainan
kulit berlangsung lama, perubahan pigmen dapat menetap dan
progresif (8).
f. Fotosensitif
Fotosensitif pada pasien HIV/AIDS lebih sering disebabkan
obat antiretrovus. Gambaran klinis tampak pada wajah, area “vee”
leher, lengan dan tungkai, dan bagian tubuh lainnya yang sering
terpapar cahaya matahari (12).
16

Gambar 13 Fotosensitif pada lengan, wajah, dan leher (12).


e) Xerosis / Kulit Kering
Xerosis sering ditemui sebagai komplikasi dari penyakit defisiensi
imun. Pasien mengeluh kering dan gatal yang menjadi lebih buruk oleh
banyak stimulus. Prevalensi kulit kering pada penderita HIV menurun
setelah adanya HAART, namun terkadang dapat terlihat pada pasien yang
mengkonsumsi obat indinavir (8).
Penatalaksanaan Kelaianan Kulit Pada HIV/AIDS

a. Dermatofitosis
Tersedia bermacam pengobatan topikal ataupun sistemik untuk
berbagai macam tipe dermatofitosis. Sejalan dengan penetrasi
dermatofita ke dalam folikel rambut, maka infeksi yang mengenai daerah
berambut memerlukan pengobatan oral. Selama ini pengobatan standar
untuk tinea kapitis di Amerika adalah griseofulvin, sedangkan golongan
triazol dan alilamin menunjukkan keamanan, efikasi dan manfaat lebih
karena penggunaannya yang memerlukan waktu singkat, namun
semenjak tahun 2007, terbinafin juga direkomendasikan untuk
pengobatan tinea kapitis (14).
Dosis pengobatan griseofulvin berbeda-beda. Secara umum,
gliseofulvin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dosis 0,5-1 g
untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25
mg/kgBB. Setelah sembuh klinis pengobatan dilanjuttkan hingga 2
minggu untuk mempercepat waktu penyembuhan (14).
Obat per oral, yang juga efektif untuk pengobatan dermatofitosis
yaitu ketokonazol yang bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap
17

gliseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg/hari selama


10 hari sampai 2 minggu. Ketokonazol merupakan kontrakindikasi ntuk
kelainan hepar (14).
b. Kandidosis
Pengobatan infeksi kandida bergantung pada spesies penyebab,
sensitifitas terhadap obat anti jamur, lokasi infeksi, penyakit yang
mendasari, dan status imun pasien (14).
1) Upayakan untuk menghindari atau menghilangkan faktor
pencetus dan presdiposisi.
2) Pengobatan topikal untuk :
 Selaput lendir
o Larutan ungu gentian 0,3-1 % untuk selaput lendir,
1-2% untuk kulit, dioleskan sehari 2 kali selama 3
hari
o Nistatin : berupa krim, suspensi (untuk kelainan
kulit dan mukotan)
o Untuk kandidosis vaginalis dapat diberikan
kotrimazol 500mg per vaginam dosis tunggal,
sistemik bila perlu dapat diberikan ketokonazol
1x200mg dosis tunggal.
 Kelainan kulit
o Grup azol antara lain : mikonazol 2% berupa
krim/bedak, klotrimazol 1% berupa bedak, larutan,
dan krim
3) Pengobatan sistemik
Pengobatan ini diberikan untuk berbagai kelainan, antara lain
kasus refrakter, kandida diseminata dan kandidosis mukokutan
kronik. Flukonazol adalah lini pertama untuk pasien non-
neutropenik, dengan kandidemia atau kandidosis invasif (dosis
100-400mg/hari). Pilihan lain adalah itrakomazol dengan dosis
harian 200mg/hari (14).
18

c. Herpes zoster
Prinsip dasar pengobatan herpes zoster adalah menghilangkan nyeri
secepat mungkin dengan cara membatasi replikasi virus, sehingga
mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut.
1. Obat antivirus
Obat antivirus terbukti menurunkan dursi lesi herpes zoster
dan derajat keparahan nyeri herpes zoster akut. Efektivitasnya
dalam mencegah NPH masih kontroversial (14).
Tiga antiviruss yang disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) untuk herpes zoster, famsiklovis,
valasiklovir hidrokhlorida, dan asiklovir. Dosis famsiklovir 3 x
500mg, valasiklovir 2 x 1000mh, dan asiklovir 5 x 800 mg selama
7 hari pemberian (14).
2. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral sering dilakukan, walaupun
berbagai penelitian menunjukkan hasil beragam. Prednison yang
digunakan bersama asiklovir dapat mengurangi nyeri akut. Hal ini
disebabkan penurunan drajat neuritis akibat infeksi virus dan
kemungkinan juga menurunkan derajat kerusakan pada saraf yang
terlibat (14).
3. Analgetik
Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respon baik
terhadap AINS (asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak), atau
analgetik non-opioid (14).
d. Psoriasis
Pengobatan anti psoriasis berspektrum luas baik secara topikal
maupun sistemik telah tersedia. Sebagian besar obat-obatan ini
memberikan efek sebagai imunomodulator. Sebelum memilih regimen
pengobatan, penting untuk menilai perluasan serta derajat keparahan
(14).
psoriasis
19

Pada dasarnya, mayoritas kasus psoriasis terbagi menjadi tiga


bagian besar yaitu gutata, eritrodermik/pustular, dan plak kronis yang
merupakan bentuk yang paling sering ditemukan. Psoriasis gutata
biasanya mengalami resolusi spontan dalam waktu 6 sampai 12 minggu.
Kasus psoriasis gutata ringan seringkali tidak membutuhkan pengobatan,
tetapi pada lesi yang meluas fototerapi dengan menggunakan sinar
ultraviolet (UV) B serta terapi topikal dikatakan memberikan manfaat. 1
25 Psoriasis eritrodermik/pustular biasanya disertai dengan gejala
sistemik, oleh karena itu diperlukan obat-obatan sistemik yang bekerja
cepat. Obat yang paling sering digunakan pada psoriasis
eritrodermik/pustular adalah asitretin. Pada beberapa kasus psoriasis
pustular tertentu, penggunaan kortikosteroid sistemik mungkin
diperlukan. Pada psoriasis plak yang kronis, pemberian terapi dilakukan
berdasarkan perluasan penyakit. Untuk psoriasis plak yang ringan (10%
luas permukaan tubuh) dapat diberikan terapi lini pertama seperti pada
psoriasis ringan sedangkan lini keduanya dapat berupa pengobatan
sistemik misalnya metotreksat, asitretin, serta agen-agen biologi seperti
alefacept dan adalimumab. Untuk plak psoriasis berat (>30% luas
permukaan tubuh), terapi terutama menggunakan obat-obat sistemik (14).
e. Dermatitis Seboroik
Pengobatan tidak menyembuhkan secara permanen sehingga terapi
dilakukan berulang saat gejala timbul. Tatalaksana yang dilakukan antara
lain :
 Sampo yang mengandung obat anti malassezia, misalnya :
selenium sulfida, zinc pirithione, ketokonazol, berbagai sampo
yang mengandung ter dan solusio terbinafine 1%.
 Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi jumlah
sebum pada kulit dapat dilakukan dengan mencuci wajah
berulang dengan sabun lunak, pertumbuhan jamur dapat
dikurangi dengan krim imidazol dan turunannya, bahan
antimikotik di daerah lipatan bisa ada gejala.
20

 Skuama dapat diperlunak dengan krim yang mengandung asam


salisilat atau sulfur.
 Pengobatan simtomatik dengan kortikosteroid topikal potensi
sedang, imunosupresan topikal terutama untuk daerah wajah
sebagai pengganti kortikosteroid topikal.
 Metronidazol topikal, siklopiroksolamin, talkasitol, benzoil
peroksida dan salep litium suksinat 5%

Anda mungkin juga menyukai