HIV AIDS Referat
HIV AIDS Referat
HIV/AIDS
Definisi
Patofisiologi
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T
helper yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel
utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi
fungsi imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi
karena virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem
kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri
pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya
kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk
RNA (Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic
Acid) sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan
genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung
seumur hidup.
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari
sel yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun
akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut
2
dengan masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak
seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa
inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium
kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa
“window period”. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat
gejala klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.20 Pada
sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-
6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi
akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala
ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil
penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2 tahun
dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV
akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak
akan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga
penderita akan menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik.
Penularan HIV
(6)
Penularan terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung HIV .
Cairan tubuh yang paling banyak mengandung HIV adalah air mani, cairan
vagina/serviks, dan darah. Penularan utama HIV melalui 4 jalur yang
melibatkan cairan tubuh tersebut, yakni hubungan seksual, jalur pemindahan
darah (alat suntik, tato, tindik, alat bedah, alat cukur dan melalui luka kecil di
kulit), transplantasi organ, dan dari ibu yang terinfeksi ke bayi yang
dilahirkannya.
Terapi Antiretrovirus
Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996, mendorong suatu
revolusi dalam perawatan penderia HIV/AIDS. Meskipun belum mampu
menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping dan
resistensi, obat ini secara dramatis menunjukkan penurunan angka mortalitas dan
morbiditas akibat HIV/AIDS.
Pemberian ARV bergantung pada tingkat progresifitas penyakit, yang
dapat dinilai melalui kadar CD4+ dan kadar RNA HIV serum. Terdapat tiga jenis
antiretrovirus yang digolongkan berdasarkan cara kerjanya, yang dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 3 HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy)
a) Infeksi oportunistik
Infeksi oportunistik terjadi akibat pertumbuhan berlebih flora normal
Candida albicans, peningkatan kolonisasi (Dermatofitosis), reaktifasi
infeksi laten virus (virus Herpes) atau perubahan infeksi subklinis menjadi
klinis. Selama tujuh tahun terakhir telah terjadi penurunan prevalensi
infeksi oportunistik karena terapi HAART (8). Infeksi oportunistik menjadi
lebih sering terjadi pada penyakit HIV stadium lanjut yang tidak diobati.
Infeksi oportunistik meliputi:
a. Bakteri
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang
paling sering menyebabkan infeksi kutaneus maupun sistemik
(8).
pada penyakit HIV Insidensi stafilokokus primer termasuk
selulitis, impetigo, folikulitis, furunkel, dan karbunkel. Bakteri
oportunistik lainnya adalah Bartonella henselae yang
menyebabkan Bacillary Angiomatosis dengan lesi angioproliferatif
menyerupai cherry hemangioma atau Sarkoma Kaposi.
Mikroorganisme lainnya adalah Helicobacter cinaedi dan
Pseudomonas Aeruginosa dengan gambaran klinis selulitis (4).
Selulitis sering terjadi pada bagian tungkai, walaupun bisa
terdapat pada bagian tubuh lain. Daerah yang terkena menjadi
eritema, terasa panas dan bengkak, serta terdapat lepuhan-lepuhan
pada daerah nekrosis (11).
b) Neoplasma Oportunistik
a. Sarkoma Karposi
Sarkoma Kaposi adalah penyakit yang multisentrik
angioproliferatif dan merupakan tumor yang sering didapatkan
(4)
pada infeksi HIV . Kelainan ini muncul pada pasien dengan
kadar CD4+ < 800 sel/μl. Lesi biasanya berupa makula, papula,
pustula, nodul, atau plak. Kelainan ini merupakan salah satu tanda
khas infeksi HIV. Namun beberapa penelitian yang dilakukan di
Asia tidak mendapatkan pasien HIV/AIDS yang mempunyai
kelainan kulit Sarkoma Kaposi (4).
a. Dermatofitosis
Tersedia bermacam pengobatan topikal ataupun sistemik untuk
berbagai macam tipe dermatofitosis. Sejalan dengan penetrasi
dermatofita ke dalam folikel rambut, maka infeksi yang mengenai daerah
berambut memerlukan pengobatan oral. Selama ini pengobatan standar
untuk tinea kapitis di Amerika adalah griseofulvin, sedangkan golongan
triazol dan alilamin menunjukkan keamanan, efikasi dan manfaat lebih
karena penggunaannya yang memerlukan waktu singkat, namun
semenjak tahun 2007, terbinafin juga direkomendasikan untuk
pengobatan tinea kapitis (14).
Dosis pengobatan griseofulvin berbeda-beda. Secara umum,
gliseofulvin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dosis 0,5-1 g
untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25
mg/kgBB. Setelah sembuh klinis pengobatan dilanjuttkan hingga 2
minggu untuk mempercepat waktu penyembuhan (14).
Obat per oral, yang juga efektif untuk pengobatan dermatofitosis
yaitu ketokonazol yang bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap
17
c. Herpes zoster
Prinsip dasar pengobatan herpes zoster adalah menghilangkan nyeri
secepat mungkin dengan cara membatasi replikasi virus, sehingga
mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut.
1. Obat antivirus
Obat antivirus terbukti menurunkan dursi lesi herpes zoster
dan derajat keparahan nyeri herpes zoster akut. Efektivitasnya
dalam mencegah NPH masih kontroversial (14).
Tiga antiviruss yang disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) untuk herpes zoster, famsiklovis,
valasiklovir hidrokhlorida, dan asiklovir. Dosis famsiklovir 3 x
500mg, valasiklovir 2 x 1000mh, dan asiklovir 5 x 800 mg selama
7 hari pemberian (14).
2. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral sering dilakukan, walaupun
berbagai penelitian menunjukkan hasil beragam. Prednison yang
digunakan bersama asiklovir dapat mengurangi nyeri akut. Hal ini
disebabkan penurunan drajat neuritis akibat infeksi virus dan
kemungkinan juga menurunkan derajat kerusakan pada saraf yang
terlibat (14).
3. Analgetik
Pasien dengan nyeri akut ringan menunjukkan respon baik
terhadap AINS (asetosal, piroksikam, ibuprofen, diklofenak), atau
analgetik non-opioid (14).
d. Psoriasis
Pengobatan anti psoriasis berspektrum luas baik secara topikal
maupun sistemik telah tersedia. Sebagian besar obat-obatan ini
memberikan efek sebagai imunomodulator. Sebelum memilih regimen
pengobatan, penting untuk menilai perluasan serta derajat keparahan
(14).
psoriasis
19