Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu bentuk dari upaya pembangunan di bidang kesehatan adalah

peningkatan kesehatan ibu dengan program yang bertujuan untuk menurunkan

angka kematian ibu (AKI). Dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015

adalah mengurangi sampai tiga perempat resiko jumlah kematian ibu. Dari hasil

survei yang dilakukan, AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu,

namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan millenium

masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus (Depkes RI,

2007).
Angka Kematian Ibu (AKI) di Idonesia menurut SDKI pada tahun 2007

mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup, dimana penyebab kematian ibu

terbanyak adalah perdarahan (28%), eklamsi (24%), komplikasi puerperium (8%),

dan abortus (5%) (SDKI, 2007). Pada tahun 2010 mengalami penurunan sebanyak

214 per 100.000 kelahiran hidup (Analisis Kematian Ibu di Indonesia, 2010).
Angka kematian ibu di Provinsi Jawa Tengah untuk tahun 2009

berdasarkan laporan dari kabupaten/kota sebesar 117,02/100.000 kelahiran hidup.

Penyebab kematian adalah perdarahan sebesar 22,42%, eklamsi sebesar 28,76%,

infeksi sebesar 3,54%, dan lain-lain sebesar 45,28% (Dinkes Jateng, 2009). Pada

tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 104,97/100.000 kelahiran hidup

(Dinkes Jateng, 2010). Akan tetapi pada tahun 2011 mengalami peningkatan

sebesar 116,01/100.000 kelahiran hidup (Dinkes Jateng, 2011). Dan pada tahun
2

2012 mengalami peningkatan sebanyak 675 kasus atau 116,34/100.000 kelahiran

hidup (Dinkes Jateng, 2012).


Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Semarang angka kematian ibu

maternal pada tahun 2009 sebanyak 22 kasus dari 25.739 jumlah kelahiran hidup

atau sekitar 85,47%. (DinKes Kota Semarang, 2009). Pada tahun 2010 sebanyak

19 kasus dari 25.746 jumlah kelahiran hidup atau sekitar 73,80 per 100.000 KH

(DinKes Kota Semarang, 2010). Pada tahun 2011 sebanyak 31 kasus dari 25.852

jumlah kelahiran hidup atau sekitar 119,9 per 100.000 KH, mengalami

peningkatan tajam 40% lebih tinggi dari tahun 2010 dan melebihi target MDGs

(102/100.000 KH) (Dinkes Kota Semarang, 2011). Sedangkan pada tahun 2012

menurun menjadi lebih rendah sebanyak 22 kasus atau 80,06 per 100.000 KH,

dimana penyebab kematian ibu tertinggi adalah karena eklamsi (41%), perdarahan

(23%), penyakit (jantung) (23%), emboli air ketuban (9%) dan infeksi (4%)

(Dinkes Kota Semarang, 2012).

Preeklamsia adalah gejala terjadinya hipertensi pada masa kehamilan.

Kondisi ini tidak hanya membahayakan nyawa ibu dan janin, namun juga bisa

menyebabkan gangguan tiroid di kemudian hari. Biasanya tanda-tanda preeklamsi

timbul dalam urutan, adanya pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti

edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada preeklamsi ringan tidak

ditemukan gejalagejala subyektif. Pada preeklamsi berat didapatkan sakit kepala

di daerah frontal, skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di epigastrium, mual

atau muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklamsi meningkat dan

merupakan petunjuk bahwa eklamsi akan timbul (Wiknjosastro: 2007). Keracunan

kehamilan atau eklamsi, menduduki peringkat kedua sebagai penyebab kematian


3

ibu di Indonesia. Eklamsi adalah kejang dan bisa berujung koma yang dialami ibu

hamil menyusul kondisi preeklamsi yang tidak ditangani dengan baik

(Kompas.com, 6 April 2010). Dari hasil studi pendahahuluan yang dilaksanakan

penulis di RSUD Kota Semarang, pada tahun 2011 terdapat ibu hamil dengan

preeklamsi ringan sebanyak 75 kasus, preeklamsi berat sebanyak 198 kasus,

sedangkan tahun 2012 mengalami peningkatan yaitu pada preeklamsi ringan

sebanyak 111 kasus, preeklamsi berat sebanyak 231 kasus. Data RSUD Kota

Semarang dari bulan Januari samapai dengan Maret tahun 2013 ibu hamil dengan

preeklamsi ringan sebanyak 35 kasus dan preeklamsi berat sebanyak 110 kasus.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka identifikasi masalah yang diambil

adalah sebagai berikut:


1. Bagaimana penatalaksanaan yang tepat pada pasien preeclampsia ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk memberikan informasi mengenai kehamilan patologi dengan

preeklamsi berat.

2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan interpretasi data pada ibu hamil dengan preeklamsi

berat.
b. Mampu menentukan diagnosa potensial pada ibu hamil dengan

preeklamsi berat.
1.3.2 Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis
2. Untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan penulis pada kasus

ibu hamil dengan preeklamsi berat dan sebagai pengalaman secara


4

langsung dalam memberikan penanganan pada ibu hamil dengan

preeklamsi berat
3. Bagi tenaga kesehatan
Dapat memberi masukan bagi tenaga kesehatan lainnya dalam

memberikan penanganan pada ibu hamil dengan preeklamsi berat dan

dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan

kualitas pelayanan pada ibu hamil dengan preeklamsi berat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PREEKLAMPSIA

2.1.1 Definisi

Preeklampsia (PE) merupakan kumpulan gejala atau sindroma yang

mengenai wanita hamil dengan usia kehamilan di atas 20 minggu dengan tanda

utama berupa adanya hipertensi dan proteinuria. Bila seorang wanita memenuhi

kriteria preeklampsia dan disertai kejang yang bukan disebabkan oleh penyakit

neurologis dan atau koma maka ia dikatakan mengalami eklampsia. Umumnya

wanita hamil tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan vaskular atau

hipertensi sebelumnya. Kumpulan gejala itu berhubungan dengan vasospasme,

peningkatan resistensi pembuluh darah perifer, dan penurunan perfusi organ.

Kelainan yang berupa lesi vaskuler tersebut mengenai berbagai sistem organ,
5

termasuk plasenta. Selain itu, sering pula dijumpai peningkatan aktivasi trombosit

dan aktivasi sistem koagulasi.

2.1.2 Etiologi
Etiologi preeklampsia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.

Banyak teori dikemukakan, tetapi belum ada yang mampu memberi jawaban yang

memuaskan. Oleh karena itu, preeklampsia sering disebut sebagai “the disease of

theory”. Teori yang dapat diterima harus dapat menerangkan hal-hal berikut :
1. peningkatan angka kejadian preeklampsia pada primigravida, kehamilan

ganda, hidramnion, dan mola hidatidosa


2. peningkatan angka kejadian preeklampsia seiring bertambahnya usia

kehamilan
3. perbaikan keadaan pasien dengan kematian janin dalam uterus
4. penurunan angka kejadian preeklampsia pada kehamilan-kehamilan

berikutnya
5. mekanisme terjadinya tanda-tanda preeklampsia, seperti hipertensi,

edema, proteinuria, kejang dan koma


Sedikitnya terdapat empat hipotesis mengenai etiologi preeklampsia

hingga saat ini, yaitu:


1. Iskemia plasenta, yaitu invasi trofoblas yang tidak normal terhadap

arteri spiralis sehingga menyebabkan berkurangnya sirkulasi

uteroplasenta yang dapat berkembang menjadi iskemia plasenta.


2. Peningkatan toksisitas very low density lipoprotein (VLDL).
3. Maladaptasi imunologi, yang menyebabkan gangguan invasi arteri

spiralis oleh sel-sel sinsitiotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang

diperantarai oleh peningkatan pelepasan sitokin, enzim proteolitik dan

radikal bebas.
4. Genetik. Teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia

plasenta. Namun, banyak faktor yang menyebabkan preeklampsia dan


6

di antara faktor-faktor yang ditemukan tersebut seringkali sukar

ditentukan apakah faktor penyebab atau merupakan akibat.

2.1.3 Klasifikasi
Preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat

(PEB):
1. Preeklampsia ringan
Dikatakan preeklampsia ringan bila :
a. Tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan darah
b. Diastolik 90-110 mmHg
c. Proteinuria minimal (< 2g/L/24 jam)
d. Tidak disertai gangguan fungsi organ

2. Preeklampsia berat

Dikatakan preeklampsia berat bila :


a. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik >

110
mmHg
b. Proteinuria (> 5 g/L/24 jam) atau positif 3 atau 4 pada pemeriksaan

kuantitatif
c. Bisa disertai dengan :
- Oliguria (urine ≤ 400 mL/24jam)
- Keluhan serebral, gangguan penglihatan
- Nyeri abdomen pada kuadran kanan atas atau daerahepigastrium
- Gangguan fungsi hati dengan hiperbilirubinemia
- Edema pulmonum, sianosis
- Gangguan perkembangan intrauterine
- Microangiopathic hemolytic anemia, trombositopenia
3. Jika terjadi tanda-tanda preeklampsia yang lebih berat dan disertai

dengan adanya kejang, maka dapat digolongkan ke dalam eklampsia.


Preklampsia berat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu:
a. PEB tanpa impending eclampsia
b. PEB dengan impending eclampsia dengan gejala-gejala impending

di antaranya nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium, dan

nyeri abdomen kuadran kanan atas.

2.1.4 Insidens dan Faktor Risiko


7

Insidens preeklampsia sebesar 4–5 kasus per 10.000 kelahiran hidup pada

Negara maju. Di negara berkembang insidensnya bervariasi antara 6–10 kasus per

10.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu akibat kasus preeklampsia bervariasi

antara 0-4%. Angka kematian ibu meningkat karena komplikasi yang dapat

mengenai berbagai sistem tubuh. Penyebab kematian terbanyak wanita hamil

akibat preeklampsia adalah perdarahan intraserebral dan edema paru. Efek

preeklampsia pada kematian perinatal berkisar antara 10-28%.

Penyebab terbanyak kematian perinatal disebabkan prematuritas,

pertumbuhan janin terhambat, dan solutio plasenta. Sekitar 75% eklampsia terjadi

antepartum dan sisanya terjadi pada postpartum. Hampir semua kasus (95%)

eklampsia antepartum terjadi pada trimester ketiga. 18,19 Angka kejadian

preeklampsia rata-rata sebanyak 6% dari seluruh kehamilan dan 12% pada

kehamilan primigravida. Kejadian penyakit ini lebih banyak dijumpai pada

primigravida terutama primigravida pada usia muda daripada multigravida.

Penelitian mengenai prevalensi preeklampsia dan PEB di Indonesia

dilakukan di Rumah Sakit Denpasar. Pada primigravida frekuensi

preeklampsia/eklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida,

terutama primigravida muda. Hasil penelitian tersebut menunjukkan insidensi

preeklampsia pada primigravida 11,03%. Angka kematian maternal akibat

penyakit ini 8,07% dan angka kematian perinatal 27,42%. Sedangkan pada

periode Juli 1997 s/d Juni 2000 didapatkan 191 kasus (1,21%) PEB dengan 55

kasus di antaranya dirawat konservatif.

Selain primigravida, faktor risiko preeklampsia lain di antaranya adalah:


8

1. nullipara

2. kehamilan ganda

3. obesitas

4. riwayat keluarga dengan preeklampsia atau eklampsia

5. riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya

6. abnormalitas uterus yang diperoleh pada Doppler pada usia kandungan

18 dan 24 minggu

7. diabetes melitus gestasional

8. trombofilia

9. hipertensi atau penyakit ginjal

2.1.5 Patofisiologi

Perubahan pokok yang didapatkan pada preeklampsia adalah adanya

spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Bila spasme

arteriolar juga ditemukan di seluruh tubuh, maka dapat dipahami bahwa tekanan

darah yang meningkat merupakan kompensasi mengatasi kenaikan tahanan perifer

agar oksigenasi jaringan tetap tercukupi. Sedangkan peningkatan berat badan dan

edema yang disebabkan penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang

interstitial belum diketahui penyebabnya. Beberapa literatur menyebutkan bahwa

pada preeklampsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan kadar prolaktin

yang tinggi dibandingkan pada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk

mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air serta natrium. Pada

preeklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat.


9

Turunnya tekanan darah pada kehamilan normal ialah karena vasodilatasi

perifer yang diakibatkan turunnya tonus otot polos arteriol. Hal ini kemungkinan

akibat meningkatnya kadar progesteron di sirkulasi, dan atau menurunnya kadar

vasokonstriktor seperti angiotensin II, adrenalin, dan noradrenalin, dan atau

menurunnya respon terhadap zat-zat vasokonstriktor. Semua hal tersebut akan

meningkatkan produksi vasodilator atau prostanoid seperti PGE2 atau PGI2. Pada

trimester ketiga akan terjadi peningkatan tekanan darah yang normal seperti

tekanan darah sebelum hamil.

1. Regulasi volume darah

Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada preeklampsia.

Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga terganggu, tetapi pada derajat

mana hal ini terjadi sangat bervariasi dan pada keadaan berat mungkin tidak

dijumpai adanya edema.

Bahkan jika dijumpai edema interstitial, volume plasma adalah lebih

rendah dibandingkan pada wanita hamil normal dan akan terjadi hemokonsentrasi.

Terlebih lagi suatu penurunan atau suatu peningkatan ringan volume plasma dapat

menjadi tanda awal hipertensi.

2. Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah

Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada preeklampsia

dibandingkan hamil normal, penurunan ini lebih erat hubungannya dengan wanita

yang melahirkan bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR).

3. Aliran Darah di Organ-Organ

a. Aliran darah di otak


10

Pada preeklampsia arus darah dan konsumsi oksigen berkurang 20%. Hal

ini berhubungan dengan spasme pembuluh darah otak yang mungkin merupakan

suatu faktor penting dalam terjadinya kejang pada preeklampsia maupun

perdarahan otak.

b. Aliran darah ginjal dan fungsi ginjal

Terjadi perubahan arus darah ginjal dan fungsi ginjal yang sering menjadi

penanda pada kehamilan muda. Pada preeklampsia arus darah efektif ginjal rata-

rata berkurang 20%, dari 750 ml menjadi 600ml/menit, dan filtrasi glomerulus

berkurang rata-rata 30%, dari 170 menjadi 120ml/menit, sehingga terjadi

penurunan filtrasi. Pada kasus berat akan terjadi oligouria, uremia dan pada sedikit

kasus dapat terjadi nekrosis tubular dan kortikal. Plasenta ternyata membentuk

renin dalam jumlah besar, yang fungsinya mungkin sebagai cadangan menaikkan

tekanan darah dan menjamin perfusi plasenta yang adekuat. Pada kehamilan

normal renin plasma, angiotensinogen, angiotensinogen II, dan aldosteron

meningkat nyata di atas nilai normal wanita tidak hamil. Perubahan ini merupakan

kompensasi akibat meningkatnya kadar progesteron dalam sirkulasi. Pada

kehamilan normal efek progesteron diimbangi oleh renin, angiotensin, dan

aldosteron, tetapi keseimbangan ini tidak terjadi pada preeklampsia.

Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya preeklampsia adalah

iskemi uteroplasenter dimana terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta

yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang.

Apabila terjadi hipoperfusi uterus, akan dihasilkan lebih banyak renin uterus yang

mengakibatkan vasokonstriksi dan meningkatnya kepekaan pembuluh darah. Di


11

samping itu angiotensin menimbulkan vasodilatasi lokal pada uterus akibat efek

prostaglandin sebagai mekanisme kompensasi dari hipoperfusi uterus.

Laju filtrasi glomerulus dan arus plasma ginjal menurun pada

preeklampsia, tetapi karena hemodinamik pada kehamilan normal meningkat 30%

sampai 50%, nilai pada preeklampsia masih di atas atau sama dengan nilai wanita

tidak hamil. Klirens fraksi asam urat yang menurun, kadang-kadang beberapa

minggu sebelum ada perubahan pada GFR, dan hiperuricemia dapat merupakan

gejala awal.

Dijumpai pula peningkatan pengeluaran protein biasanya ringan sampai

sedang. Preeklampsia merupakan penyebab terbesar sindrom nefrotik pada

kehamilan. Penurunan hemodinamik ginjal dan peningkatan protein urin adalah

bagian dari lesi morfologi khusus yang melibatkan pembengkakan sel-sel

intrakapiler glomerulus yang merupakan tanda khas patologi ginjal pada

preeklampsia.

c. Aliran darah uterus dan choriodesidua

Perubahan arus darah di uterus dan choriodesidua adalah perubahan

patofisiologi terpenting pada preeklampsia, dan mungkin merupakan faktor

penentu hasil kehamilan. Namun yang disayangkan adalah belum ada satu pun

metode pengukuran arus darah yang memuaskan baik di uterus maupun di

desidua.1,2

d. Aliran darah di paru-paru


12

Kematian ibu pada preeklampsia dan eklampsia biasanya karena edema

paru yang menimbulkan dekompensasi cordis.

e. Aliran darah di mata

Dapat dijumpai adanya edema dan spasme pembuluh darah orbital. Bila

terjadi halhal tersebut, maka harus dicurigai terjadinya preeklampsia berat. Gejala

lain yang mengarah ke eklampsia adalah skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal

ini disebabkan oleh adanya perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan di

korteks serebri atau dalam retina.

f. Keseimbangan air dan elektrolit

Terjadi peningkatan kadar gula darah yang meningkat untuk sementara,

asam laktat dan asam organik lainnya, sehingga konvulsi selesai, zat-zat organik

dioksidasi dan dilepaskan natrium yang lalu bereaksi dengan karbonik dengan

terbentuknya natrium bikarbonat. Dengan demikian cadangan alkali dapat pulih

kembali.

2.1.6 Manifestasi Klinis

Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia adalah hipertensi dan

proteinuria. Gejala ini merupakan keadaan yang biasanya tidak disadari oleh

wanita hamil. Pada waktu keluhan lain seperti sakit kepala, gangguan penglihatan,

dan nyeri epigastrium mulai timbul, hipertensi dan proteinuria yang terjadi

biasanya sudah berat.


13

Tekanan darah. Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme

arteriol sehingga tanda peringatan awal muncul adalah peningkatan tekanan darah.

Tekanan diastolik merupakan tanda prognostik yang lebih baik dibandingkan

tekanan sistolik dan tekanan diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih menetap

menunjukan keadaan abnormal.

Kenaikan berat badan. Peningkatan berat badan yang terjadi tiba-tiba dan

kenaikan berat badan yang berlebihan merupakan tanda pertama preeklampsia.

Peningkatan berat badan sekitar 0,45 kg per minggu adalah normal, tetapi bila

lebih dari 1 kg dalam seminggu atau 3 kg dalam sebulan maka kemungkinan

terjadinya preeklampsia harus dicurigai. Peningkatan berat badan yang mendadak

serta berlebihan terutama disebabkan oleh retensi cairan dan selalu dapat

ditemukan sebelum timbul gejala edema nondependen yang terlihat jelas, seperti

edema kelopak mata, kedua lengan, atau tungkai yang membesar.

Proteinuria. Derajat proteinuria sangat bervariasi menunjukan adanya

suatu penyebab fungsional dan bukan organik. Pada preeklampsia awal,

proteinuria mungkin hanya minimal atau tidak ditemukan sama sekali. Pada kasus

yang berat, proteinuria biasanya dapat ditemukan dan mencapai 10 gr/l.

Proteinuria hampir selalu timbul kemudian dibandingkan dengan hipertensi dan

biasanya terjadi setelah kenaikan berat badan yang berlebihan.

Nyeri kepala. Gejala ini jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi

semakin sering terjadi pada kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering terasa

pada daerah frontalis dan oksipitalis, dan tidak sembuh dengan pemberian
14

analgesik biasa. Pada wanita hamil yang mengalami serangan eklampsia, nyeri

kepala hebat hampir selalu mendahului serangan kejang pertama.

Nyeri epigastrium. Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas

merupakan keluhan yang sering ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat

menjadi presiktor serangan kejang yang akan terjadi. Keluhan ini mungkin

disebabkan oleh regangan kapsula hepar akibat edema atau perdarahan.

Gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan yang dapat terjadi di

antaranya

pandangan yang sedikit kabur, skotoma, hingga kebutaan sebagian atau total.

Keadaan ini disebabkan oleh vasospasme, iskemia, dan perdarahan petekie pada

korteks oksipital.

2.1.7 Penatalaksanaan

Tujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah:

1. terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat trauma

pada ibu maupun janin

2. kelahiran bayi yang dapat bertahan

3. pemulihan kesehatan lengkap pada ibu

Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika diketahui atau

diperkirakan janin memiliki usia gestasi preterm, kecenderungannya adalah

mempertahankan sementara janin di dalam uterus selama beberapa minggu untuk

menurunkan risiko kematian neonatus.

Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan

terdiri dari penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita hamil dengan
15

PEB umumnya dilakukan persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun

terakhir, sebuah pendekatan yang berbeda pada wanita dengan PEB mulai

berubah. Pendekatan ini mengedepankan penatalaksanaan ekspektatif pada

beberapa kelompok wanita dengan tujuan meningkatkan luaran pada bayi yang

dilahirkan tanpa memperburuk keamanan ibu.

Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan PEB

antara lain adalah:

a. tirah baring

b. oksigen

c. kateter menetap

d. cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa

kristaloid maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan

berpedoman pada diuresis, insensible water loss, dan central venous pressure

(CVP). Balans cairan ini harus selalu diawasi.

e. Magnesium sulfat (MgSO4)

Obat ini diberikan dengan dosis 20 cc MgSO4 20% secara intravena

loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan dengan MgSO4 40%

sebanyak 30 cc dalam 500 cc ringer laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit.

Magnesium sulfat ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu:

1. refleks patella normal

2. frekuensi respirasi >16x per menit

3. produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5 cc/kgBB/jam


16

4. disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai antidotum.

Bila nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi maka kalsium glukonas

tersebut diberikan dalam tiga menit.

f. Antihipertensi

Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg. Pilihan

antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg. Setelah 1 jam, jika

tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 10 mg dengan

interval satu jam, dua jam, atau tiga jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan

darah pada PEB tidak boleh terlalu agresif yaitu tekanan darah diastol tidak

kurang dari 90 mmHg atau maksimal 30%. Penggunaan nifedipin ini sangat

dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat, dan mudah mengatur dosisnya

dengan efektifitas yang cukup baik.

g. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia

kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk pasien

dengan PEB. Preeklampsia sendiri merupakan penyebab ±15% dari seluruh

kelahiran prematur. Ada pendapat bahwa janin penderita preeklampsia berada

dalam keadaan stres sehingga mengalami percepatan pematangan paru. Akan

tetapi menurut Schiff dkk, tidak terjadi percepatan pematangan paru pada

penderita preeklampsia. Gluck pada tahun 1979 menyatakan bahwa produksi

surfaktan dirangsang oleh adanya komplikasi kehamilan antara lain hipertensi

dalam kehamilan yang berlangsung lama. Hal yang sama juga dilaporkan
17

Chiswick (1976) dan Morrison (1977) yaitu rasio L/S yang matang lebih tinggi

pada penderita hipertensi dalam kehamilan yang lahir prematur.

Sementara itu, Owen dkk (1990) menyimpulkan bahwa komplikasi

kehamilan terutama hipertensi dalam kehamilan tidak memberikan keuntungan

terhadap kelangsungan hidup janin. Banias dkk dan Bowen dkk juga melaporkan

terjadi peningkatan insidens respiratory distress syndrome (RDS) pada bayi yang

lahir dari ibu yang menderita hipertensi dalam kehamilan. Dalam lebih dari dua

dekade, kortikosteroid telah diberikan pada masa antenatal dengan maksud

mengurangi komplikasi, terutama RDS, pada bayi prematur. Apabila dilihat dari

lamanya interval waktu mulai saat pemberian steroid sampai kelahiran, tampak

bahwa interval 24 jam sampai tujuh hari memberi keuntungan yang lebih besar

dengan rasio kemungkinan (odds ratio/OR) 0,38 terjadinya RDS. Sementara

apabila interval kurang dari 24 jam OR 0,70 dan apabila lebih dari 7 hari OR 0,41.

Penelitian US Collaborative tahun 1981 melaporkan perbedaan bermakna

insiden RDS dengan pemberian steroid antenatal pada kehamilan 30-34 minggu

dengan interval antara 24 jam sampai dengan tujuh hari. Sementara penelitian

Liggins dan Howie mendapati insidens RDS lebih rendah apabila interval waktu

antara saat pemberian steroid sampai kelahiran adalah dua hari sampai kurang dari

tujuh hari dan perbedaan ini bermakna. Mereka menganjurkan steroid harus

diberikan paling tidak 24 jam sebelum terjadi kelahiran agar terlihat manfaatnya

terhadap pematangan paru janin. Pemberian steroid setelah lahir tidak bermanfaat

karena kerusakan telah terjadi sebelum steroid bekerja. National Institutes of

Health (NIH) merekomendasikan:


18

1. Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 24–34 minggu yang

dalam persalinan prematur mengancam merupakan kandidat untuk pemberian

kortikosteroid antenatal dosis tunggal.

2. Kortikosteroid yang dianjurkan adalah betametason 12 mg sebanyak dua

dosis dengan selang waktu 24 jam atau deksametason 6 mg sebanyak 4 dosis

intramuskular dengan interval 12 jam.

2.1.7.1 Penanganan Aktif Penanganan Aktif.

Kehamilan dengan PEB sering dihubungkan dengan peningkatan

mortalitas perinatal dan peningkatan morbiditas serta mortalitas ibu. Sehingga

beberapa ahli berpendapat untuk terminasi kehamilan setelah usia kehamilan

mencapai 34 minggu. Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang terbaik

untuk ibu untuk mencegah progresifitas PEB.

Indikasi untuk penatalaksanaan aktif pada PEB dilihat baik indikasi pada

ibu maupun janin:

1. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada ibu:

a. kegagalan terapi medikamentosa:

• setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan

darah yang persisten

• setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa, terjadi

kenaikan desakan darah yang persisten

b. tanda dan gejala impending eklampsia

c. gangguan fungsi hepar

d. gangguan fungsi ginjal


19

e. dicurigai terjadi solusio plasenta

f. timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan

g. umur kehamilan ≥ 37 minggu

h. Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) berdasarkan pemeriksaan USG

timbulnya oligohidramnion

2. Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke sindrom

HELLP (hemolytic anemia, elevated liver enzymes, and low platelet count).

Dalam ACOG Practice Bulletin mencatat terminasi sebagai terapi untuk PEB.

Akan tetapi, keputusan untuk terminasi harus melihat keadaan ibu dan janinnya.

Sementara Nowitz ER dkk membuat ketentuan penanganan PEB dengan terminasi

kehamilan dilakukan ketika diagnosis PEB ditegakkan.

Hasil penelitian juga menyebutkan tidak ada keuntungan terhadap ibu

untuk melanjutkan kehamilan jika diagnosis PEB telah ditegakkan. Ahmed M30

dkk pada sebuah review terhadap PEB melaporkan bahwa terminasi kehamilan

adalah terapi efektif untuk PEB. Sebelum terminasi, pasien telah diberikan dengan

antikejang, magnesium sulfat, dan pemberian antihipertensi. Wagner LK19 juga

mencatat bahwa terminasi adalah terapi efektif untuk PEB. Pemilihan terminasi

secara vaginal lebih diutamakan untuk menghindari faktor stres dari operasi sesar.

2.1.7.2 Penanganan Ekspektatif Penanganan ekspektatif.

Terdapat kontroversi mengenai terminasi kehamilan pada PEB yang belum

cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk memperpanjang usia kehamilan

sampai seaterm mungkin sampai tercapainya pematangan paru atau sampai usia

kehamilan di atas 37 minggu. Adapun penatalaksanaan ekspektatif bertujuan:


20

1. mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang

memenuhi syarat janin dapat dilahirkan

2. meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi

keselamatan ibu Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan,

pada pasien PEB yang timbul dengan usia kehamilan dibawah 24 minggu,

terminasi kehamilan lebih diutamakan untuk menghindari komplikasi yang dapat

mengancam nyawa ibu (misalnya perdarahan otak).

Sedangkan pada pasien PEB dengan usia kehamilan 25 sampai 34 minggu,

penanganan ekspektatif lebih disarankan. Penelitian awal mengenai terapi

ekspektatif ini dilakukan oleh Nochimson dan Petrie pada tahun 1979. Mereka

menunda kelahiran pada pasien PEB dengan usia kehamilan 27-33 minggu selama

48 jam untuk memberi waktu kerja steroid mempercepat pematangan paru.

2.3 EKLAMPSIA

2.3.1 Definisi

Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata

tersebut dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-

tiba tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. Secara defenisi eklampsia adalah

preeklampsia yang disertai dengan kejang tonik klonik disusul dengan koma.

Menurut saat timbulnya, eklampsia dibagi atas:

1. eklampsia antepartum (eklampsia gravidarum), yaitu eklampsia yang

terjadi sebelum masa persalinan 4-50%


21

2. eklampsia intrapartum (eklampsia parturientum), yaitu eklampsia yang

terjadi pada saat persalinan 4-40% 3. eklampsia postpartum (eklampsia

puerperium), yaitu eklampsia yang terjadi setelah persalinan 4-10%.

2.3.2 Prognosis

Kriteria Eden adalah kriteria untuk menentukan prognosis eklampsia.

Kriteria Eden antara lain:

1. koma yang lama (prolonged coma)

2. nadi diatas 120

3. suhu 39,4° C atau lebih

4. tekanan darah di atas 200 mmHg

5. konvulsi lebih dari 10 kali

6. proteinuria 10 g atau lebih

7. tidak ada edema, edema menghilang

Bila tidak ada atau hanya satu kriteria di atas, eklampsia masuk ke kelas

ringan; bila dijumpai 2 atau lebih masuk ke kelas berat dan prognosis akan lebih

buruk. Tingginya kematian ibu dan bayi di negara-negara berkembang disebabkan

oleh kurang sempurnanya pengawasan masa antenatal dan natal. Penderita

eklampsia sering datang terlambat sehingga terlambat memperoleh pengobatan

yang tepat dan cepat. Biasanya preeklampsia dan eklampsia murni tidak

menyebabkan hipertensi menahun.


22

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

• Nama pasien : Ny. E


23

• Usia : 27 tahun

• Pekerjaan : Ibu rumah tangga

• Agama : Islam

• Nama suami : Tn. A

• Usia : 29 tahun

• Pekerjaan : Buruh

• Alamat : Kp. Pasir Gaok RT02/RW03

• Tanggal masuk : 28 September 2017

3.2 Anamnesis

• Keluhan Utama : Mulas-mulas

• Anamnesis :

Pasien G1P0A0 usia kehamilan 38 minggu rujukan dari puskesmas datang

dengan keluhan mulas-mulas sejak ± 8 jam SMRS. Keluhan mulas dirasakan

semakin sering dan semakin kuat dan disertai dengan nyeri kepala sejak 1 hari yg

lalu. Keluhan keluar air-air maupun darah dari jalan lahir disangkal, kejang

disangkal, penglihatan kabur disangkal, nyeri epigastrium disangkal, dan sesak

nafas disangkal. Pasien mengatakan pada pemeriksaan kehamilan terakhir tensi

pasien 110/80mmHg.

• Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit Hipertensi sebelum masa

kehamilan, Diabetes Mellitus, dan Hepatitis.

• Riwayat Penyakit Keluarga


24

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit Hipertensi, Diabetes Mellitus, dan

Asma bronchiale dalam keluarga.

• Riwayat Psikososial

Pasien tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol maupun merokok.

• Riwayat Pengobatan

Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat jangka panjang.

• Riwayat Perkawinan

Pernikahan pertama, usia perkawinan 2 tahun.

• Riwayat Menstruasi

Pertama kali menstruasi usia 12 tahun, terkadang disertai rasa nyeri,

menstruasi teratur, durasi 7 hari, siklus 28 hari.

• Riwayat pemeriksaan kehamilan

Pasien melakukan ANC di puskesmas sebanyak 4 kali; 1 kali di trimester

awal, 1 kali di trimester kedua, dan 2 kali di trimester akhir.

HPHT : 14 Desember 2016

TP : 21 September 2017

• Riwayat KB

Pasien belum pernah menggunakan KB sebelumnya.

• Riwayat Operasi

Pasien belum pernah di operasi.

3.3 Pemeriksaan Fisik

• Keadaan Umum : Baik


25

• Kesadaran : Compos Mentis

• Tanda Vital :

– Tekanan darah : 170/90 mmHg

– Nadi : 98x/menit, reguler, isi cukup

– Suhu : 36.8°C

– Respirasi : 24x/menit, regular

Status Generalis

• Kepala :

– Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

– Hidung : PCH -/-, septum deviasi (-)

– Mulut : mukosa bibir basah, sianosis (-)

– Leher : JVP 5 + 2cm, KGB tidak teraba

• Thorax :

– Inspeksi : simetris

– Palpasi : VF kanan = kiri, pelebaran sela iga (-)

– Perkusi : sonor kanan = kiri

– Auskultasi : VBS kanan = kiri, rh-/-, wh-/-, BJ I-II MR

– Ekstremitas :

– Atas : akral hangat, CRT < 2 detik, udem -/-

– Bawah : akral hangat, CRT < 2 detik, udem -/-

Status Obstetrikus

• Abdomen :

– Inspeksi : cembung gravida, linea nigrae (+), Striae gravidarum (+)


26

– Palpasi :

• Leopold I : TFU 32 cm, teraba bagian teratas janin

bulat lunak

• Leopold II : teraba punggung dibagian sinistra

• Leopold III : teraba bagian terbawah janin bulat keras

• Leopold IV : bagian terbawah janin sudah masuk PAP,

3/5, hodge IV

• Kontraksi/His : 5x dalam 10 menit, durasi 30 detik

– Auskultasi : DJJ 144x/menit

• Pemeriksaan dalam :

– VT : pembukaan 3cm, ketuban (+), bloodshow (+),

portio lunak

 Pemeriksaan Laboratorium :

– Hemoglobin : 12.6 g/dL

– Leukosit : 12.600 /µl

– Trombosit : 333.000 /µl

– Hematokrit : 38 %

– GDS : 98 mg/dL

– Ur/Cr : 19 mg/dL / 0.9 U/L

– SGOT/SGPT : 20 U/L / 35 U/L

– Gol. Darah : A / rhesus +

– Proteinuria : negatif

3.4 Resume
27

• Pasien G1P0A0 usia kehamilan 38 minggu datang dengan keluhan mulas-

mulas sejak 8 jam yang lalu dirasakan semakin sering dan kuat, disertai

nyeri kepala, dan belum ada keluar air maupun bloodshow. Tekanan darah

pasien selama masa kehamilan normal. Riwayat hipertensi sebelumnya

tidak ada, dikeluarga tidak ada. Pasien tidak merokok ataupun konsumsi

alkohol. Pasien baru menikah pertama kali selama 2 tahun. Pasien rutin

memeriksa kandungan di puskesmas. Pasien menstruasi pertama kali usia

12 tahun, siklus 28 hari, durasi 7 hari, teratur. Pasien belum pernah ikut

KB, dan belum pernah di operasi.

• Tanda vital : TD 170/90 mmHg, lain-lain dalam batas normal

• Status Generalis : dalam batas normal

• Status Obstetrikus : leopold presentasi janin kepala, sudah masuk PAP

• VT : pembukaan 3cm, ketuban utuh, bloodshow (+), portio teraba

lunak.

• Laboratorium : dalam batas normal

3.5 Diagnosis Kerja

G1P0A0 gravida aterm 38-39 minggu janin hidup tunggal intrauterine presentasi

kepala inpartu kala I fase laten + Preeklampsia dengan gejala berat.

3.6 Penatalaksanaan

- O2 2-4 L/menit.

- IVFD RL 20 tpm iv.


28

- MgSO4 40% 4 gram (10 ml) dilarutkan dalam Nacl 100 mlà bolus secara

perlahan selama 5-10 menit. Maintenance à 2 gram/jam (5 ml) dalam RL

100 ml selama 24 jam.

- Nifedipin tab 10 mg/8 jam peroral.

- Pantau kesejahteraan ibu dan janin, pasang kateter urine, pantau urine

output.

- Rencana terminasi kehamilan secara Sectio Caesarea jam 10.00.

BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
29

Preeklampsia berat adalah suatu keadaan hipertensi yang muncul pada

kehamilan > 20 minggu yang ditandai dengan tekanan darah sistol 160 mmHg dan

tekanan diastol 110 mmHg. Secara garis besar untuk menegakkan diagnosa PEB

harus ada tanda dan gejala seperti tekanan darah Sistol 160 mmHg dan tekanan

darah diastol 110 mmHg, terdapat odema pada muka, tangan, dan kaki serta pada

pemeriksaan laboratorium didapatkan protein urinnya + 4.

Dalam makalah ini, penyusun dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dilakukan pengkajian menyeluruh secara continue pada pasien agar kondisi

pasien dapat terus dipantau.

2. Dilakukan intepretasi masalah agar didapat diagnosa masalah yang dialami

pasien.

3. Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial yang dialami pasien. Hal ini

dilakukan oleh dokter atau tenaga medis yang bertanggung jawab atas pasien

tersebut.

4. Menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera yang dibutuhkan oleh pasien.

5. Pelaksanaan langsung asuhan dengan efisien dan aman oleh dokter atau tenaga

medis yang bertanggung jawab atas pasien tersebut.

BAB IV

PENUTUP
30

Demikianlah yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi

pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan

kelemahannya karena keterbatasan pengetahuan dan rujukan atau referensi yang

ada hubungannya dengan materipokok bahasan dalam makalah ini. Penulis sangat

berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun

kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah-makalah

berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi para pembaca khususnya bagi

penulis.

Anda mungkin juga menyukai