DI SUSUN OLEH :
Juhairiyah, AMKL
NIP.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat-Nya yang
telah diberikan pada kami, sehingga makalah “Penyediaan Jamban Keluarga” ini dapat
disusun dengan cermat dan dapat diselesaikan pada waktunya. Tidak lupa pula, dalam
kesempatan ini, kami mengucapkan banyak terima kasih pada teman-teman yang membantu
penyusunan makalah ini dan terutama kami ucapkan terima kasih pada dosen fasilitator yang
telah memberikan kami waktu untuk menyelesaikan makalah ini agar persentasi dapat
dilakukan dengan optimal nantinya.
Kami penyusun, menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak jauh dari kesalahan
serta kekurangan, dan kami akan berusaha memperbaikinya untuk proses pembelajaran kami.
Dan tentunya, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun, agar kami dapat
memperbaiki kekurangan dan dapat lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah yang kami susun dapat
dimanfaatkan dengan optimal untuk menunjang kemandirian mahasiswa dalam proses
pembelajaran.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah
dalam sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam
tataran undang-undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang
(RUU) tentang Air Limbah Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau apapun
nama lainnya akan terwadahi secara formal dalam sistem regulasi di Indonesia.
Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/2008 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman tidak
disebutkan adanya istilah jamban. Namun di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan
Prasarana Wilayah nomor 534/2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal disebutkan
adanya sarana sanitasi individual dan komunal berupa jamban beserta MCK-nya. Lebih jauh
lagi di dalam Buku Panduan Penyehatan Lingkungan Permukiman untuk RPIJM 2007
disebutkan adanya pengumpulan data primer tentang jamban keluarga. Di dalam Petunjuk
Teknis Tata Cara Pembuatan Bangunan Jamban Keluarga dan Sekolah 1998 dari Departemen
Pekerjaan Umum, disebutkan bahwa jamban mencakup bangunan atas yang antara lain terdiri:
plat jongkok, leher angsa, lantai, dinding, dll, tetapi tidak termasuk bangunan bawahnya.
Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 852/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja
yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Di dalam Keputusan Menteri
Kesehatan nomor 715/2003 tentang Persyarakan Hygiene Sanitasi Jasaboga disebutkan bahwa
usaha jasaboga harus menyediakan WC Umum dengan fasilitas jamban dan peturasan sesuai
dengan jumlah karyawannya.
Cukup menarik karena disebutkan di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor
24/2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah disebutkan adanya fasilitas
jamban yang harus disediakan sekolah sebagai tempat untuk buang air besar dan/atau air kecil.
Jamban harus mempunyai dinding, atap, dst yang disediakan untuk peserta didik pria, wanita,
dan guru. Lebih menarik lagi adalah Standar Toilet Umum Indonesia dari Kementerian Negara
Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2004 yang justru tidak menyebutkan sama sekali istilah
jamban dan menggantinya dengan ruang buang air besar (WC) dan ruang buang air kecil
(urinal). Toilet dalam hal ini mencakup pembuangan dan pengolahan limbahnya, baik secara
setempat (on-site) ataupun terpusat (off-site). Tidak kalah menariknya adalah istilah tempat
buang air besar (bukan jamban) yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik di dalam Survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) guna mendapatkan informasi tentang kepemilikan dan
kualitas fasilitas BAB tersebut.
Adanya ketidaksamaan istilah tentang jamban ini tentu saja tidak akan mengganggu proses
masyarakat untuk membuang hajatnya. Namun ketidak seragaman istilah ini sangat
menggambarkan ketidakseriusan penanganan sanitasi di lapangan. Buruknya pelayanan publik
tentang sanitasi ini dapat dilihat dari hasil SUSENAS itu sendiri. Kepemilikan tempat buang
air besar secara nasional menurut SUSENAS 2007 baru 59,86%. Dari 59,86% itupun yang
mempunya kloset tipe leher angsa-pun baru 71,5%. Di dalam laporan tersebut tidak disebutkan
bagaimana sebenarnya kualitas dari tempat buang air besar yang ada di lapangan. Dari 59,86%
itupun baru 49,13% yang memiliki tangki septik. Lagi-lagi tidak disebutkan bagaimana pula
sebenarnya kualitas dari tangki septik yang ada di lapangan. Apalagi menurut Laporan
Indonesian Sanitation Sector Development Program (ISSDP, 2004) disebutkan bahwa
masyarakat Indonesia yang masih melakukan buang air besar sembarangan masih lebih dari
40%. PBB pun menyebutkan kalau masih ada lebih dari 2,6 milyar orang di dunia yang tidak
punya akses sanitasi yang memadai (PBB, 2004). Berbagai informasi ini tentu saja
menggambarkan bagaimana sebenarnya buruknya pelayanan publik untuk sanitasi. Untuk itu
tidak saja harus dibuat keseragaman pengertian tentang jamban atau apapun tentang
kesepakatan namanya, tetapi juga harus adanya sosialisasi dan kesepakatan yang jelas tentang
ini agar kerugian yang hingga Rp 56 trilyun/tahun karena sanitasi yang buruk ini dapat segera
diselesaikan.
Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru mencapai 67,3%. Dari
angka tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang memenuhi syarat bakteriologis. Sedangkan
penduduk yang menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54%. Itulah sebabnya penyakit diare
sebagai salah satu penyakit yang ditularkan melalui air masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat dengan angka kesakitan 374 per 1000 penduduk. Selain itu diare merupakan
penyebab kematian nomor 2 pada Balita dan nomor 3 bagi bayi serta nomor 5 bagi semua
umur.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan umum
Tujuan Khusus
C. Rumusan Masalah
D. Manfaat
1. Kotoran tidak berserakan disembarang tempat sehingga tidak akan mengotori sumber air
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Pengertian Jamban
Kita berdomisili disuatu wilayah pemukiman, sebut saja wilayah itu setingkat dengan desa
atau kelurahan. Pernahkah kita befikir berapa jumlah rumah di wilayah kita yang
memiliki jamban, dan berapa jumlah rumah yang belum memiliki jamban. Bila rumah yang
memiliki jamban melebihi 80% dari jumlah rumah yang ada, berarti wilayah tersebut termasuk
wilayah yang cukup baik dalam hal pembuangan kotoran manusia.
Bagi rumah yang belum memiliki jamban, sudah dipastikan mereka mereka itu
mamanfatkan sungai, kebun, kolam, atau tempat lainnya untuk buang air besar (BAB). Bagi
yang telah memiliki jamban bisa dipastikan BAB di jamban. Tapi tidak selalu begitu ,
terkadang walaupun memiliki jamban ada sebagian kecil yang masih BAB di tempat lain,
karena alasan tertentu.
Sebaiknya semua orang BAB di jamban yang memenuhi syarat, dengan demikian
wilayahnya terbebas dari ancaman penyakit penyakit tersebut. Dengan BAB di jamban banyak
penyakit berbasis lingkungan yang dapat dicegah, tentunya jamban yang memenuhi syarat
kesehatan. Kalau membahas soal jamban maka tentunya harus lengkap dengan sarana Air
Bersih untuk menunjang keberlangsungan pemanfaatan jamban.
Jamban yang memenuhi syarat kesehatan atau sayarat Sanitasi adalah sebagai berikut :
1. Kotoran tidak dapat dijangkau oleh binatang penular penyakit, seperti : Kecoa,
tikus, lalat dll.
2. Tidak menimbulkan bau
3. Kotoran ditempatkan disuatu tempat, tidak menyebar ke mana mana
4. Tidak mencemari sumber air bersih
5. Tidak menggangu pemandangan/estetika
6. Aman digunakan
Untuk memenuhi syarat no.1 dan 3, maka kotoran ditempatkan di satu tempat, bisa lobang
jamban atau septik tank, ukuran volumenya disesuaikan dengan kebutuhan atau jumlah
pemakai. Untuk memenuhi syarat no 1 dan 2, maka digunakan kloset yang dilengkapi leher
angsa, dimana pada leher angsa akan tergenang air utnuk mencegah bau yang timbul dari
lobang jamban atau septic tank, dan mencegah masuknya binatang binatang seperti lalat,
kecoa, nyamuk, tikus dll. Untuk memenuhi syarat no. 4 , dalam membuat jamban terutama
lokasi lobang jamban atau septic tank atau lobang resapan dibuat sejauh mingkin dari sumber
air yang ada misalnya Sumur Gali dsbnya, atau setidak tidaknya tidak kurang dari 10
meter jarak antara sumur dan lobang jamban. Sedangkan untuk memenuhi syarat no 5 dan 6 ,
hendaknya jamban dibuat dari bahan bahan yang memadai baik kekuatannya maupun
konstruksinya dibuat sedemikan rupa agar kelihatan indah dan rapi.
Jangan lupa pemeliharaan jamban perlu dibiasakan setiap hari, misalnya membersihkan
dan menyikat lantai agar tidak licin, menguras bak air agar terhindar dari penyakit Demam
Berdarah Dengue, siram kloset dengan air secukupnya setelah digunakan, tidak
membuang sampah, puntung rokok, pembalut wanita, air sabun, lisolkedalam kloset.
Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB
sembarangan sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis penyakit
ditularkan.
Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus
diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak
buruk bagi lingkungan.
Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban sehat. Ada
tujuh kriteria yang harus diperhatikan. Berikut syarat-syarat tersebut:
Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang kotoran tidak
mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa, dinding dan dasar lubang
kotoran harus dipadatkan dengan tanah liat atau diplester.
1. Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang
kotoran dengan pasangan batau atau selongsong anyaman bambu atau bahan
penguat lai yang terdapat di daerah setempat
6. Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya
1. Lantai jamban rata dan miring kea rah saluran lubang kotoran
2. Jangan membuang plastic, puntung rokok, atau benda lain ke saluran
kotoran karena dapat menyumbat saluran
3. Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena
jamban akan cepat penuh
4. Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa
berdiameter minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal
2:100
7. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan
Jamban Sehat secara prinsip harus mampu memutuskan hubungan antara tinja dan
lingkungan. Sebuah jamban dikatagorikan SEHAT jika :
Secara konstruksi kriteria diatas dalam prakteknya mempunyai banyak bentuk pilihan,
tergantung jenis material penyusun maupun bentuk konstruksi jamban. Pada prinsipnya
bangunan jamban dibagi menjadi 3 bagian utama, bangunan bagian atas (rumah jamban),
bangunan bagian tengah (slab/dudukan jamban), serta bangunan bagian bawah (penampung
tinja).
Bangunan bagian atas bangunan jamban terdiri dari atap, rangka dan dinding. Dalam
prakteknya disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.
- Bangunan dapat meminimalkan gangguan cuaca (baik musim panas maupun musim hujan)
- Ketersediaan fasilitas penampungan air dan tempat sabun untuk cuci tangan
Slab berfungsi sebagai penutup sumur tinja (pit) dan dilengkapi dengan tempat
berpijak. Pada jamban cemplung slab dilengkapi dengan penutup, sedangkan pada kondisi
jamban berbentuk bowl (leher angsa) fungsi penutup ini digantikan oleh keberadaan air yang
secara otomatis tertinggal di didalamnya. Slab dibuat dari bahan yang cukup kuat untuk
menopang penggunanya. Bahan-bahan yang digunakan harus tahan lama dan mudah
dibersihkan seperti kayu, beton, bambu dengan tanah liat, pasangan bata, dan sebagainya.
Selain slab, pada bagian ini juga dilengkapi dengan abu atau air. Penaburan sedikit abu ke
dalam sumur tinja (pit) setelah digunakan akan mengurangi bau dan kelembaban, dan
membuatnya tidak menarik bagi lalat untuk berkembang biak. Sedangkan air dan sabun
digunakan untuk cuci tangan.
- Terdapat penutup pada lubang sebagai pelindung terhadap gangguan serangga atau binatang
lain.
- Dudukan jamban dibuat harus mempertimbangkan faktor keamanan (menghindari licin,
runtuh, atau terperosok).
Penampung tinja adalah lubang di bawah tanah, dapat berbentuk persegi, lingkaran,
bundar atau yang lainnya. Kedalaman tergantung pada kondisi tanah dan permukaan air tanah
di musim hujan. Pada tanah yang kurang stabil, penampung tinja harus dilapisi seluruhnya atau
sebagian dengan bahan penguat seperti anyaman bambu, batu bata, ring beton, dan lain – lain.
- Jenis bangunan, jarak bangunan dan kemiringan letak bangunan terhadap sumber air minum
(lebih baik diatas 10 m)
Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran
penyakit berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus
dilakukan rekayasa pada akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada jamban
(sehat) harus mencapai 100% pada seluruh komunitas. Keadaan ini kemudian lebih dikenal
dengan istilah Open Defecation Free (ODF).
- Semua masyarakat telah BAB (Buang Air Besar) hanya di jamban yang sehat dan membuang
tinja/ kotoran bayi hanya ke jamban yang sehat (termasuk di sekolah)
- Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah kejadian
BAB di sembarang tempat
- Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% KK
mempunyai jamban sehat
- Ada upaya atau strategi yang jelas untuk dapat mencapai Total Sanitasi
Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar
Sembarangan, pada tahap pasca ODF diharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi
Total. Sanitasi Total akan dicapai jika semua masyarakat di suatu komunitas, telah:
- Mencuci tangan pakai sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum
memegang bayi, setelah menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan
Untuk menentukan suatu komunitas telah mencapai status ODF, dilakukan dengan
proses verifikasi.
BAB III
PEMBAHASAN
Jamban keluarga merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk tempat membuang
dan mengumpulkan kotoran/najis manusia yang lazim disebut kakus atau WC, sehingga
kotoran tersebut disimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau
penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang dibuang
dalam praktek sehari-hari bercampur dengan air, maka pengolahan kotoran manusia tersebut
pada dasarnya sama dengan pengolahan air limbah. Oleh sebab itu pengolahan kotoran
manusia, demikian pula syarat-syarat yang dibutuhkan pada dasarnya sama dengan syarat
pembuangan air limbah (Depkes RI, 1985).
Pembuangan tinja atau buang air besar disebut secara eksplisit dalam dokumen
Millenium Development Goals (MDGs). Dalam nomenklatur ini buang air besar disebut
sebagai sanitasi yang antara lain meliputi jenis pemakaian atau penggunaan tempat buang air
besar, jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan
MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas tempat
BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis latrine dan tempat
pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah
atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan Joint Monitoring Program (JMP) WHO-
UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu improved, shared, unimproved dan
open defecation. Dikategorikan sebagai improved bila penggunaan sarana pembuangan
kotoran nya sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik
atau SPAL.
Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan, pada
tahap pasca ODF diharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah
dalam sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam
tataran undang-undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang
(RUU) tentang Air Limbah Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau apapun
nama lainnya akan terwadahi secara formal dalam sistem regulasi di Indonesia. Buang air besar
(BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB sembarangan sangat buruk bagi
kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis penyakit ditularkan. Sebagai gantinya,
BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus diperhatikan pembangunan
jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.
B. Saran
1. Dalam satu Kepala Keluarga minimal harus memiliki satu Jamban di Rumah
2. Dalam membuat jamban sebaiknya memperhatikan tempat pembangunan agar
tidak mencemari air atau tanah di permukaan
3. Dalam membuat Jamban juga perlu di perhatikan ruangn yang mempunyai atap
agar tidak terkena hujan atau panas matahari
DAFTAR PUSTAKA
http://www.cwasta.org/index.php?option=com_content&view=article&id=59:definisi-
jamban-sehat&catid=2:berita&Itemid=35
http://stbm-indonesia.org/index.php?r=sanitasipedia&cat=51&id=428
http://environmentalsanitation.wordpress.com/2010/07/20/jamban-sehat/
http://abahjack.com/jamban.html#more-463
► 2015 (3)
▼ 2013 (23)
o ▼ Juli (23)
MAKALAH PSIKODINAMIKA GANGGUAN JIWA
SATUAN UKURAN GULA DARAH
RUMUS MENGHITUNG BERAT BADAN IDEAL
MAKALAH PENYEDIAAN JAMBAN KELUARGA
HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KESE...
Keterangan Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI,perio...
Asuhan Keperawatan ARDS (Adult Respiratory Distres...
CONTOH SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) NUTRISI PADA ...
METABOLISME KARBOHIDRAT
CONTOH FORMAT LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN KEBUTUHAN...
LAPORAN PENDAHULUAN (LP) "ANOREKSIA NERVOSA
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KELUARGA TN.S DENGAN HIPER...
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA KELUARGA Tn"G" DE...
ADMINISTRASI KESEHATAN
ASKEP DISENTRI
RENCANA KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA KELUARGA PASIEN...
SAP PENGAWET MAKANAN
ASKEP MALARIA
Contoh Kasus JIWA,ENDOKRIN,NEURO,GASTRO
ASKEP TUMOR beserta Pathway
ASKEP LIMFE EDEMA
Askep Tentamina Suicide
Mengenai Saya
septia pritayani
Lihat profil lengkapku
Tema Kelembutan. Diberdayakan oleh Blogger.