PROSIDING
Seminar Nasional
BIOSAINS 2
19-20 November 2015
Jurusan Biologi dan
Program Studi Magister Biologi
Universitas Udayana
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kita panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha
Esa kerena berkat Asung Kertha NugrahaNya, Prosiding Seminar Nasional Biosains 2 Tahun
2015 yang dilaksanakan atas kerjasama antara Jurusan Biologi FMIPA dengan Program Studi
Magister S2 Biologi Program Pascasarjana Universitas Udayana dapat diselesaikan.
Seminar Nasional Biosains 2 Tahun 2015 ini mengambil tema “Penguatan Biologi
sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi” yang telah dilaksanakan
pada hari Kamis dan Jumat, 19 dan 20 November 2015 di Gedung Agro Komplek Universitas
Udayana, di Kampus JL. PB. Sudirman, Denpasar, Bali. Tema ini diangkat dalam rangka 30
tahun berdirinya Program Studi Biologi di Universitas Udayana yaitu pada tahun 1985. Seperti
halnya manusia pada usia 30-an merupakan usia produktif yang akan mulai menampakkan
perannya dalam perkembangan masyarakat, demikian juga dengan tema ini diharapkan
pemangku biologi sebagai ilmu dasar di Universitas Udayana dapat meningkatkan perannya
dalam perkembangan Sains dan Teknologi dengan cara bertukar ilmu dan pengalaman penelitian
melalui seminar ini.
Dalam seminar didiskusikan 90 makalah yang dipresentasikan secara oral dan 40 poster,
yang diikuti oleh lebih dari 100 peserta ditambah Empat Pembicara Utama. Topik-topik makalah
yang didiskusikan meliputi bidang Botani, Zoologi, Mikrobiologi, Ekologi dan Lingkungan,
serta Genetika dan Bioteknologi. Pembicara utama dalam seminar ini adalah Prof. Dr. Ocky
Karna Radjasa (Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat, Dirjen Penguatan Riset dan
Pengembangan, KemenRistek Dikti), Dr. Sony Heru Sumarsono (dosen dan peneliti di STIH
ITB), Dr. Titik Rugaya (peneliti senior Herbarium Bogorience, Puslitbang Botani LIPI) dan Prof.
Dr. Dewa Suprapta, M.Sc. (Guru Besar Pertanian Universitas Udayana).
Kami berharap seminar ini disamping sebagai media penyebaran hasil penelitian juga
sebagai media berbagi pengalaman penelitian untuk meningkatkan kemampuan penelitian
masing-masing yang akan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil-hasil penelitian dasar
khususnya Biologi untuk menunjang kemajuan Sains dan Teknologi di masa mendatang.
Dengan terselenggaranya seminar ini kami menyampaikan terima kasih kepada Rektor
Universitas Udayana yang telah mendukung penuh penyelenggaraan seminar ini dan telah
bersedia memberikan sambutan sekaligus membuka acara seminar ini. Terima kasih kami
sampaikan pula kepada PR I Unud yang membantu pendanaan seminar ini, para bembicara
utama, peserta, donatur, dan semua pihak yang memungkinkan acara seminar ini dapat
terlaksana dengan lancar. Tidak lupa kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-
besarnya atas segala kekurangan dalam penyelenggaraan seminar. Semoga hasil seminar dan
prosiding ini berguna bagi kemajuan ilmu dan kesejahteraan masyarakat.
Sekian dan terima kasih.
Ketua panitia
Prof. Dr. Drs. I Ketut Junitha, MS.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 i
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
DAFTAR ISI
Halaman
1 Kata Pengantar i
2 Daftar Isi ii
BIDANG BOTANI
1 KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN ASING INVASIF DI
HUTAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN BIOLOGI (HPPB)
UNIVERSITAS ANDALAS
Solfiyeni, Syamsuardi, dan Chairul 1-7
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 ii
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
BIDANG ZOOLOGI
15 JENIS-JENIS BURUNG DI KAWASAN HUTAN MONTANA DAN
HUTAN SUB-ALPIN GUNUNG LAWU
Fendika Wahyu Pratama, Ahmad Choirunnafi, Teguh Wibowo, dan
Sugiyarto 100-105
BIDANG MIKROBIOLOGI
17 POTENSI ANTIMIKROBA DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN
EKSTRAK SEGAR JAMBU KALIANG (Syzygium cumini (L.) Skeels)
Nanda Oktafiana, Nurmiati, Feskaharny Alamsjah, dan Periadnadi 114-121
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 iii
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 iv
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
29 EKOLOGI DAN POTENSI INVASIF Acacia Decurrens DI
SEBAGIAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG
MERAPI YOGYAKARTA
Sutomo 213-219
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 v
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 vi
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang keanekaragaman tumbuhan asing invasif di Hutan
Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas yang bertujuan untuk mengetahui
komposisi dan struktur tumbuhan asing invasif di kawasan hutan tersebut. Penelitian ini
menggunakan metode kuadrat dengan peletakan plot secara sistematik sampling. Jumlah plot
pengamatan sebanyak 75 plot dengan ukuran plot 2 x 2 meter. Hasil penelitian menunjukkan
di HPPB ditemukan sebanyak 2056 individu dari 36 jenis tumbuhan asing invasif yang
tergolong kedalam 15 famili. Famili yang dominan adalah famili Rubiaceae dengan persentase
famili 25,97%. Jenis tumbuhan asing invasif yang mendominasi adalah Borreria laevis dan
Melastoma malabathricum dengan Nilai Penting (NP) masing-masingnya 26,96% dan
20,30%. Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan asing invasif pada kawasan ini tergolong
sedang yaitu 2,98.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara yang kaya dengan keanekaragaman jenis flora.
Keanekaragaman hayati di Indonesia termasuk dalam golongan tertinggi di dunia, jauh lebih
tinggi dari pada keanekaragaman sumber daya hayati di Amerika maupun Afrika tropis, apalagi
bila dibandingkan dengan daerah beriklim sedang dan dingin. Jenis tumbuh-tumbuhan di
Indonesia secara keseluruhan ditaksir sebanyak 25.000 jenis atau lebih dari 10 % dari flora
didunia (Soemarwoto, 1983). Dari sekian banyak jenis-jenis tumbuhan yang ada sebagian besar
terdapat di kawasan hutan tropika basah, terutama hutan primer, yang menutup sebagian besar
daratan Indonesia. Hutan ini mempunyai struktur yang kompleks yang menciptakan
lingkungan sedemikian rupa sehingga memungkinkan beranekaragam jenis dapat tumbuh di
dalamnya.
Salah satu pulau di Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan
endemisitas yang luar biasa yaitu pulau Sumatera. Kekayaan tersebut terdapat dalam berbagai
tipe ekosistem, dan habitat mulai dari dataran rendah sampai pegunungan. Kawasan dataran
rendah Sumatera diantaranya adalah HPPB. HPPB merupakan Hutan Pendidikan dan
Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas terletak di kawasan kampus Universitas
Andalas, Limau Manis Padang. Kawasan ini berbatasan dengan kawasan hutan lindung yang
merupakan cadangan air untuk kotamadya Padang. HPPB termasuk hutan tropis dataran
rendah, dengan ketinggian 200 – 460 m dpl dengan luas 150 Ha (Nasir, 2010). Di dalam hutan
HPPB terdapat berbagai macam flora dan fauna yang beberapa diantaranya termasuk biota
yang dilindungi. HPPB telah dijadikan sebagai salah satu daerah kunci biodiversitas yang
penting di Sumatera (Conservation Internasional, 2006). Selain itu, HPPB juga telah
digunakan sebagai salah satu lokasi dalam riset biodiversity sejak tahun 1982 hingga saat ini
(Rahman, 1994 cit Syamsuardi et al, 2012).
Menurut Rahman et al (1994), ditinjau dari sudut ekologi HPPB merupakan gabungan
dari tiga tipe vegetasi yaitu: vegetasi semak belukar, vegetasi bekas perladangan serta vegetasi
hutan primer dan skunder. Secara umum hutan ini tergolong hutan skunder, ditandai dengan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 1
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ditemukannya banyak daerah terbuka dengan pohon-pohon bekas perladangan dan spesies
pionir. Jenis tumbuhan yang terdapat di HPPB terdiri dari 165 jenis pohon, 27 jenis vegetasi
dasar, 29 jenis paku-pakuan dan 32 jenis gulma.
Akhir-akhir ini, terjadi kekhawatiran akan terjadinya degradasi keanekaragaman
tumbuhan spesies asli di HPPB karena keanekaragaman hayati yang ada diseluruh dunia saat
ini mengalami berbagai ancaman diantaranya adalah keberadaan jenis-jenis asing invasif
(Invasive Alien Spesies/ IAS). Adanya jenis-jenis asing invasif sangat besar pengaruhnya
terhadap suatu ekosistem. Invasi tumbuhan invasif (IAS) ke dalam hutan dapat menurunkan
keanekaragaman tumbuhan hutan, karena tumbuhan invasif dapat menguasai bahkan
menggantikan tumbuhan asli di hutan tersebut.
Spesies asing invasif didefinisikan sebagai spesies yang bukan spesies lokal dalam
suatu ekosistem, dan menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan ekonomi dan lingkungan,
serta berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Spesies tumbuhan asing invasif dilaporkan
telah menjadi permasalahan ekologi di beberapa kawasan konservasi di Indonesia, seperti
Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran, Passiflora suberosa di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango, Chromolaena odorata di Taman Nasional Ujung Kulon, Lantana camara di
Taman Nasional Meru Betiri, Merremia peltata di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan
Eichhornia crassipes di Taman Nasional Wasur (BLK 2010; Purwono et al. 2002).
Tumbuhan invasif mempunyai karakteristik sebagai berikut: produksi biji yang
berlimpah dalam setahun, koloni yang stabil, kemampuan menyebarkan melebihi akar dalam
tanah, cepat pulih kembali setelah dipotong, hampir tidak mempunyai predator, biji
dormansinya lama, akan pecah apabila kondisi lingkungan sesuai, perkecambahan tidak
serentak, biji berkecambah bila ada cahaya, tidak dapat berkecambah dalam gelap, kecambah
teradaptasi dengan tempat terbuka dalam berbagai variasi suhu dan kelembapan, tidak
tergantung pada jenis tanah tertentu, populasi tinggi dan mampu memproduksi biji sangat
banyak dan berkesinambungan. Dapat mengendalikan pertumbuhan populasi tumbuhan asli,
bahkan sifat ini sangat menonjol pada tumbuhan asing invasif seperti: Chromolaena odorata,
Mimosa pigra, dan Mikania micrantha (Credit Valley Conservation, 2004).
Saat ini di Indonesia ada 113 IAS (Invasif Alien Spesies) atau jenis invasif, 40
diantaranya asli dari Indonesia, 59 dari negara luar, dan sisanya belum diketahui apakah berasal
dari Indonesia atau dari negara luar. Dari 113 Invasif Alien Spesies tersebut, 27 diantaranya
termasuk dalam kategori yang sangat berbahaya dan dapat menjadi salah satu penyebab
merosotnya keanekaragaman hayati. Reproduksi tumbuhan invasif alien spesies, memiliki
pertumbuhan yang sangat cepat, sehingga menjadi salah satu gulma terganas di Indonesia.
Sekarang tumbuhan invasif mulai merambah ke hutan-hutan alami, yang dikhawatirkan
kehadirannya dapat merusak keanekaragaman tumbuhan asli di Indonesia (Binggeli, 1997).
Sehubungan dengan permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh jenis-jenis
tumbuhan invasif dan sejauh ini penelitian mengenai spesies ini di HPPB belum banyak
diungkap. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman jenis
tumbuhan invasif di HPPB sebagai salah satu upaya untuk melindungi keanekaragaman hayati,
mengingat kawasan ini merupakan kunci biodiversitas yang penting di Sumatera Barat.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi dan struktur jenis-jenis
tumbuhan asing invasif di HPPB Universitas Andalas.
MATERI DAN METODE
1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai Desember 2014. Penelitian dilakukan
di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Unand Limau Manis Padang, kemudian
dilanjutkan di Laboratorium Ekologi Tumbuhan dan Herbarium Universitas Andalas (ANDA)
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 2
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas
Padang.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metoda transek dengan menggunakan plot yang
berukuran 2 x 2 meter, dan jumlah plot sebanyak 25 plot pada masing-masing tipe vegetasi
sehingga jumlah plot keseluruhan sebanyak 75 plot. Plot diletakkan berselang-seling
disepanjang transek dengan jarak 5 meter.
3. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: meteran, pancang, tali rafia,
GPS, altimeter, kamera digital, gunting tanaman, parang, label gantung, karung plastik, karet
gelang, koran bekas, plastik ukuran 20 kg, alkohol 70%, papan pres untuk spesimen, oven,
buku identifikasi, label herbarium, lakban, benang jahit spesimen, jarum jahit, alat-alat tulis.
4. Cara Kerja
Teknik pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan cara pengamatan langsung
pada setiap plot dengan mengamati jenis-jenis tumbuhan invasif, jumlah individu masing-
masing jenis serta habitus dari setiap jenis tumbuhan invasif yang ditemukan. Dilakukan
pemotretan, pengambilan sampel jenis-jenis tumbuhan yang belum diketahui namanya di
lapangan. Selanjutnya jenis yang dikoleksi di lapangan diidentifikasi di laboratorium dengan
menggunakan buku-buku identifikasi dan list species invasive.
5. Analisis Data
5.1. Komposisi
Jenis-jenis tumbuhan invasif serta famili dominan dan co-dominan
Persentase famili = Jumlah individu suatu famili x 100 %
Jumlah semua individu
Famili dikatakan dominan pada suatu kawasan jika memiliki persentase > 20 % dan co-
dominan jika persentasenya 10% - 20% (Johnston and Gillman, 1995).
5.2. Struktur
Untuk analisis data yang didapatkan dari lapangan digunakan parameter – parameter
yang dikemukakan oleh Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), yaitu: Kerapatan Relatif,
Frekuensi Relatif dan Nilai Penting.
Kerapatan = Jumlah individu
Luas areal contoh
Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100%
Kerapatan seluruh jenis
Frekuensi = Jumlah unit contoh terdapatnya suatu jenis
Jumlah seluruh unit contoh
Frekuensi Relatif = Frekuensi suatu jenis x 100%
Frekuensi Seluruh jenis
Nilai Penting (NP) = Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif
Untuk melihat keanekaragaman spesies digunakan Indeks Shanon atau Shanon Index of
General diversity (H) dimana : H = - ∑ {(ni/N) log (ni/N)}
H = Indeks keanekaragaman Shanon
ni = Nilai penting dari tiap spesies
N = Total Nilai penting. (Sumber = Odum, 1994; dalam Indriyanto, 2008)
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 3
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan tumbuh-tumbuhan asing invasif di lapangan dan identifikasi di
laboratorium didapatkan hasil seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis-Jenis Tumbuhan Asing Invasif di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi
(HPPB)
Jumlah
No. Famili Spesies Asal
individu
1 Acanthaceae Asystasia gangetica (L.)T. Anders. Afrika 61
2 Compositae Ageratum conyzoides L. Am. Utara 40
Austroeupatorium inulifolium (Kunt.) R.M. Am. Selatan 7
King & H. Rob.
Clibadium surinamense L. Am. Tropik 84
Cromolaena odorata Amerika 16
Mikania micrantha Kunt. Am. Selatan 126
Spagneticola trilobata(L.C.Rich) Pruski 3
Spilantes acmela 22
Wedelia biflora 3
3 Costaceae Cheilocostus speciosus(J.Koenig) Sm. Asia Tenggara 7
4 Lamiaceae Hyptis capitata Jaq. Am. Tropik 21
5 Malvaceae Sida acuta Burm. Asia 4
Urena lobata 3
6 Melastomataceae Clidemia hirta (L.) Don. L. Am. Selatan 11
Melastoma malabathricum L. Asia 176
7 Leguminoceae Acacia auriculiformis Benth. Australia 2
Calliandra calothrysus Meisn. Am. Tengah 2
Mimosa pudica L Am. Tropik 189
Mimosa pigra L. Am. Tropik 8
Leucana leucocephala (Lam.) De Wit Mexico& 6
Am.Tengah
Centrosema virginianum (L). Benth. Asia Tenggara 13
Camaecrista nictitans(L). Moench Afrikatimur 43
Cassia mimossoides 13
8 Myrtaceae Rhodomyrtus tomentosa (Aiton). Hassk. Asia Tenggara 4
9 Oxalidaceae Oxalis barrelieri L. Am. Tropik 24
10 Piperaceae Piper aduncum L. Am. Tropik 94
11 Poaceae Imperata cylindrica (L.) Raeusch. Asia Tropik 224
Themeda gigantea (Cav.) Hac - 54
Saccarum spontaneum 49
12 Rubiaceae Borreria leavis (Lamk.) Griseb. Am. Tropik 407
Borreria alata 127
13 Rosaceae Rubus moluccanus Anet. Asia Timur & 3
Pasifik
13 Verbenaceae Lantana camara L. Amerika 92
Stachytarpheta jamaicensis (L.) (Vah). Am. Tropik 111
Stachytarpheta indica 4
15 Vitaceae Cissus hastata Miq. Asia Selatan & 3
Asia Tenggara
2056
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa berdasarkan hasil pengamatan dan pengambilan sampel
pada tiga lokasi (vegetasi semak belukar, hutan skunder dan hutan bekas perladangan) di Hutan
Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas ditemukan 36 jenis tumbuhan
asing invasif yang tergolong kedalam 15 famili. Jumlah individu keseluruhan 2056 individu.
Jumlah jenis tumbuhan asing invasif yang ditemukan jauh lebih banyak dibandingkan dengan
tumbuhan invasif di kawasan taman hutan Kenali Jambi, dimana hanya ditemukan 6 jenis
tumbuhan asing invasif yang tergolong kedalam 4 famili (Susanti, Suraida dan Harlis, 2013).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 4
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Akan tetapi jumlah jenis tumbuhan asing invasif di HPPB ini lebih sedikit dibandingkan
dengan hasil penelitian Sunaryo dkk (2012) yang menemukan tumbuhan asing invasif
sebanyak 74 jenis di taman nasional gunung Gede Pangrango, Jawa Barat.
Jenis yang banyak ditemukan di lapangan diantaranya Borreria leavis, Mimosa pudica,
Boreria alata dan Melastoma malabathricum. Borreria leavis banyak ditemukan pada vegetasi
semak belukar dan hutan skunder. Boreria alata banyak terdapat di hutan bekas perladangan
tetapi tidak ditemukan di hutan skunder dan semak belukar. Melastoma malabathricum banyak
terdapat pada ketiga tipe vegetasi (vegetasi semak belukar, hutan skunder dan hutan bekas
perladangan) hal ini menandakan kalau jenis ini cukup luas penyebarannya di HPPB. Mimosa
pudica banyak ditemukan di vegetasi semak belukar tetapi tidak ditemukan di hutan skunder
dan hutan bekas perladangan. Pada tabel berikut dapat dilihat famili dominan dan famili co-
dominan dari famili-famili tumbuhan invasif yang didapatkan di kawasan HPPB.
Pada Tabel 3 dapat dilihat jenis yang banyak ditemukan dan mendominasi areal
penelitian adalah Borreria laevis dengan INP 26,96 %. Jenis Borreria laevis ini merupakan
gulma semusim yang berasal dari Amerika Tropik, tumbuh pada tempat-tempat terbuka atau
sedikit ternaungi terutama pada tanah keras. Daerah penyebarannya cukup luas meliputi
ketinggian 1 – 1000 meter di atas permukaan laut serta tumbuhan ini berbunga sepanjang tahun
(Nasution, 1986). Selain Borreria laevis jenis yang banyak dijumpai adalah Melastoma
malabathricum dan Imperata cylindrica, Mimosa pudica, dan Mikania micrantha.
Melastoma malabathricum juga termasuk jenis yang umum ditemukan di areal
penelitian dengan jumlah 176 individu dan INP 20,30 %. Syamsuardi, Mansurdin dan Suryani
(2007) menyatakan berdasarkan hasil percobaan polinasi dan pemeriksaan ratio-pollen
menunjukkan adanya strategi reproduktif tumbuhan Melastoma malabathricum sehingga
mampu menguasai habitatnya. Sifat tumbuhan ini yang mampu menghasilkan bunga dengan
waktu mekar yang cukup panjang, dan system reproduksi yang tidak saja mampu menghasilkan
biji melalui perkawinan silang (out-crossing) tetapi juga secara selfing. Sehingga keterbatasan
jumlah individu pada awal kolonisasi tidak menjadi hambatan dalam keberhasilan polinasi.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 5
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Disamping itu jumlah biji yang dihasilkan sangat banyak yang berkisar antara 1410-3265
perbuah memfasilitasi keberhasilan penguasaan suatu habitat bahkan dapat menggantikan
vegetasi asli. Melastoma malabathricum ini juga merupakan salah satu jenis tumbuhan invasif
yang ditemukan di Hutan Kenali Jambi, dimana jenis ini menempati urutan kedua mendominasi
komunitas tumbuhan invasif di kawasan hutan tersebut (Susanti dkk., 2013).
Imperata cylindrica (alang-alang) juga termasuk jenis tumbuhan invasif utama dengan
INP 17,25 %. Jenis ini dapat berkembang biak dengan biji dan rhizom. Kebanyakan rhizom
alang-alang berada dalam lapisan tanah sampai 20 cm, mata-mata tunas ujung rhizom
mempunyai daya tumbuh yang lebih baik. Jenis ini juga tahan akan kebakaran sehingga tempat-
tempat yang sering terbakar dan tempat-tempat terbuka akan didominasi oleh alang-alang.
Penyebaran jenis ini sangat luas mulai dari 0 – 2700 meter di atas permukaan laut (Direktorat
Jendral Perkebunan, 1976).
Mimosa pudica juga banyak ditemukan di lokasi penelitian dengan INP 14,15 %. Jenis
ini ditemukan tumbuh tersebar (jarang-jarang) dan juga banyak yang tumbuh mengelompok.
Mimosa pudica berasal dari Amerika Tropik, sering ditemukan di tanah yang tidak diusahakan,
di tepi jalan, di tepi sungai dan di pekarangan. Daerah penyebarannya meliputi ketinggian 1 –
1200 meter di atas permukaan laut (Nasution, 1986).
Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan asing invasif pada vegetasi semak belukar di
kawasan HPPB ini tergolong sedang yaitu 2,98. Beberapa jenis dari tumbuhan asing invasif
yang ditemukan pada penelitian ini mempunyai kerapatan yang tinggi dan sebagian jenis juga
mempunyai kerapatan yang rendah. Kalau semua jenis yang didapatkan mempunyai kerapatan
yang hampir sama besar, maka keanekaragaman jenisnya akan menjadi tinggi (Indriyanto,
2008).
SIMPULAN
1. Pada vegetasi semak belukar kawasan HPPB ditemukan 2056 individu tumbuhan asing
invasif dari 36 jenis yang tergolong kedalam 15 famili, dengan famili dominan adalah
Rubiaceae yaitu 25,97 % serta famili codominan Poaceae, Compositae, Leguminosae dan
Verbenaceae.
2. Jenis yang paling dominan adalah Borreria laevis dengan INP 26,96 %. Nilai indeks
keanekaragaman tumbuhan asing invasif tergolong sedang yaitu 2,98.
DAFTAR PUSTAKA
Binggeli, P. 1997. An Overview of Invasive Woody Plants in The Tropic. http://www.
agric.wa.gov.au/progserv/plants/weeds.
Cronquist, A. 1981. 1981. An Integrated System of Classification of Flowering Plants.
Columbia University Press. New York.
Conservation Internasional. 2006. Prosiding Lokakarya Penentuan Daerah Kunci Biodiversitas
Di Sumatra dan Diskusi Pemanfaatan Data Bersama, Jejaring, Monitoring Serta
Identifikasi Kebutuhan Konservasi Pada Masa Mendatang.
Credit Valley Conservation. 2004. A Qunick reference quide to Invasive Plan sp.Toronto &
Regin Conservation. Diakses tgl 4 Nopember 2013.
Dombois, D. M. and Ellenberg, H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley
& Sons. Toronto.
Indriyanto, 2008. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Johnston dan Gillman. 1995. Tree Population Study in Ow Diversity Forest. Gunaya.i. Floristic
Composition and Stand Structure. Biodiversity and Conversation 4: 339-362.
Kumolo, F.B dan Utami, S. 2011. Jenis-jenis Tumbuhan Anggota Asteraceae di Wana Wisata
Nglimut Gonoharjo Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Jurnal Bioma. Univesitas
Diponegoro. Semarang.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 6
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Nasir, N. 2010. Eksplorasi Kelompok Jahe-jahean Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi
Universitas Andalas. Prosiding Semirata Bidang MIPA ke 23 tahun 2010 Universitas
Riau. Pekan Baru.
Nasution, U. 1986. Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatera Utara dan
Aceh. PT. Gramedia. Jakarta.
Polhill, R.M. & Raven, P.H. 1981. Advances in Legume Systematics. Royal Botanic Gardens,
Kew.
Purwono,B., Wardhana ,B.S. Wijanako,K., Setiowati,E., Kurniawati,D.S. 2002.
Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis Asing Invasif. Kantor Mentri
Lingkungan Hidup RI dan Nature Conservasi. Jakarta.
Rahman, M., dkk.1994. Inventarisasi Sumber Daya Flora di Hutan Pendidikan dan Penelitian
Biologi (HPPB) Universitas Andalas. Padang.
Soemarwoto, O. 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan.
Jakarta.
Sunaryo, Tahan, U., Eka, F.T. 2012. Jenis Tumbuhan Asing Invasif yang Mengancam
Ekosistem di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Resort Bodogol, Jawa Barat.
Berk. Penel. Hayati: 17 (147 – 152).
Susanti,T., Suraida, Harlis,F. 2013. Keanekaragaman Tumbuhan Invasif di Kawasan Taman
Hutan Kenali Kota Jambi. Prosiding Semirata FMIPA Unila. Lampung.
Syamsuardi, Mansurdin dan L. Suryani. 2007. Sistem Polinasi Jenis Invasif Sikaduduak
(Melastoma malabathricum L.). Prosiding Semirata MIPA BKS- PTN Wilayah Barat,
di Kampus FST UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 7
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KEANEKARAGAMAN ANGGREK DI BUKIT TAPAK, TABANAN-BALI
ABSTRAK
Anggrek yang termasuk dalam suku Orchidaceae merupakan salah satu suku terbesar
dalam Angiospermae dan memiliki keanekaragaman tinggi terutama di hutan hujan tropis.
Secara alami di habitat aslinya, anggrek mudah dijumpai dalam habitus epifit dan terestrial.
Namun saat ini alih fungsi lahan dan over eksploitasi menyebabkan menurunnya populasi dan
tingkat keragaman jenis anggrek. Bukit Tapak termasuk dalam kawasan hutan Batukau, bukit
ini telah memiliki jalur pendakian yang sering dikunjungi oleh wisatawan lokal dan
mancanegara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemelimpahan dan keragaman
anggrek di Bukit Tapak. Penelitian dilakukan dengan metode eksplorasi acak pada jalur
pendakian dari Kebun Raya Bali – puncak bukit bulan Agustus 2013, dan jalur pendakian dari
Pancasari – puncak bukitbulan Agustus 2014.Hasil penelitian menunjukkan bahwadi Bukit
Tapak ditemukan sebanyak 49 jenis anggrek yang terdiri dari 39 jenis anggrek epifit dan 10
jenis terestrial. Indeks kesamaan jenis Sorrensen terhitung sebesar 44.44%, hal ini
menunjukkan bahwa kedua area jalur pendakian memiliki keragaman jenis yang cukup
berbeda.
Kata kunci: Anggrek, orchidaceae, Bukit Tapak, keanekaragaman, Bali
ABSTRACT
Orchidaceae as one of the largest family in Angiospermae has a high diversity in
tropical rain forest. They can found naturally grow as epiphyte or terrestrial habit.However,
habitat change and over exploitation have decline the biodiversity including orchid diversity
on its natural habitat. Bukit Tapak (Tapak Hill) in Bedugul is a part of Batukaru Nature Reserve
Area and it already has climb track that frequently visited by local and foreign tourist.This
study aimed to know the richness and diversity in Bukit Tapak. The study was conducted with
random exploration method on August 2013, covering track from Bali Botanic Garden to the
summit and also on August 2014 covering track from Pancasari to the summit. The results
showa total of 49 orchid species, including 39 species of epiphyte and 10 species of terrestrial.
The Sorensen similarity index of orchid diversity from both tracks has counted as much as
44.44%, we can conclude that the two sites have quite diver’s species.
PENDAHULUAN
Bukit Tapak merupakan kawasan hutan pegunungan yang berada di Cagar Alam (CA)
Batukau atau Batukaru. CA Batukau termasuk dalam hutan hujan tropis dataran tinggi yang
dicirikan dengan curah hujan yang tinggi, kondisi kawasan selalu basah, dengan
keanekaragaman jenis tumbuhan yang cukup tinggi. Karena letaknya pada daerah pegunungan
menyebabkan kawasan hutan ini sangat penting dan strategis bagi daerah resapan dan
perlindungan tata air bagi daerah di bawahnya terutama Kabupaten-kabupaten di Propinsi Bali
bagian selatan. Karena keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang cukup tinggi, kawasan ini
memiliki nilai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang penting dan
prioritas di Propinsi Bali (BKSDA Bali, http://www.ksda-bali.go.id/?page_id=11).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 8
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Indonesia diperkirakan memiliki lebih dari 4.000 jenis anggrek (Puspitaningtyas dan
Irawati. 1994). Di wilayah biogeografi Jawa yang mencakup Pulau Jawa dan Bali terdapat 713
jenis anggrek yang telah diidentifikasi, termasuk 216 jenis endemik. Dari keseluruhan jenis
anggrek di Jawa sekitar 70% bersifat epifit. Sekitar 90% anggrek di Jawa tumbuh pada daerah
dengan ketinggian 500 s.d. 2.000 m dpl. Hanya sekitar 9% yang tumbuh di dataran rendah, dan
sekitar 1% tumbuh pada daerah-daerah yang tinggi (Pfeiffer, J. 1995).
Pola persebaran tumbuhan epifit dipengaruhi oleh dua proses utama yaitu penyebaran
(dispersal) dan pertumbuhan selanjutnya (establishment). Karena tumbuhana inang
mempengaruhi tersedianya hara bagi epifit yang tumbuh pada percabangannya serta
pertumbuhan epifit selanjutnya, maka jenis tumbuhan inang serta tempat anggrek epifit
menempel di suatu pohon inang juga perlu dipelajari (Hirata et al. (2009). Selanjutnya Arditti
(1992) berpendapat bahwa untuk mempelajari ekologi anggrek dan bentuk-bentuk adaptifnya
perlu mengetahui karakteristik dari kanopi hutan.
Beberapa penelitian mengenai anggrek epifit pernah dilakukan di Jawa Timur
diantaranya adalah di Gunung Penanggungan Jawa Timur dimana ditemukan 10 jenis anggrek
epifit yang didominasi oleh Flickingeria angulata (Yulia dan Yanti. 2010). Di Gunung Lawu
ditemukan sebanyak 11 anggrek epifit di Hutan Jobolarangan (Marsusi dkk. 2001). Sedangkan
di Bali, terutama di kawasan areal Kebun Raya Bali, berdasarkan hasil penelitian Lugrayasa
dkk. (2001) diketahui anggrek epifit yang tumbuh secara alami di pohon reboisasi di dalam
areal Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali sejumlah 30 jenis dari 14 marga. Kelompok marga
Bulbophyllum, Dendrobium dan Eria adalah yang memiliki jumlah jenis yang paling banyak.
Inventarisasi jenis-jenis anggrek epifit yang tumbuh pada pohon koleksi di Kebun Raya ‘Eka
Karya’ Bali belum pernah dilakukan sebelumnya, sedangkan Lugrayasa dkk. (2001) baru
melakukan inventarisasi anggrek epifit di kawasan reboisasi. Hasil inventarisasi anggrek epifit
yang tumbuh pada pohon koleksi di Kebun Raya Eka Karya Bali ditemukan sebanyak 34 jenis
anggrek yang termasuk dalam 14 marga (Tirta dan Sutomo 2014). Marga Bulbophyllum
memiliki jumlah jenis terbanyak yaitu 7 jenis (B. angustifolium, B. distans, B. obsconditum, B.
odoratum, B. ovalifolium, B. sessile, dan B. tortuosum).
Comber (1990) melaporkan bahwa di Jawa terdapat kurang lebih 731 jenis anggrek dan
231 jenis diantaranya dinyatakan endemik. Persentase kekayaan anggrek paling banyak ada di
Jawa Barat (642 jenis), sementara itu di Jawa Timur kurang lebih ada 390 jenis sedangkan di
JawaTengah hanya 295 jenis. Dilihat dari habitat tumbuhnya maka dataran tinggi dengan
ketinggian 500 m –1500 m merupakan tempat yang cocok untuk anggrek karena keragaman
jenis anggreknya lebih banyak dibanding di dataran rendah. Masing-masing habitat memiliki
kekayaan jenis yang berbeda, anggrek dataran rendah berbeda jenisnya dengan anggrek yang
hidup di dataran tinggi, sehingga setiap tempat akan memiliki keunikan jenis tersendiri.
Informasi tentang keragaman jenis anggrek di dataran tinggi Bukit Tapak masih
terbatas, Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keragaman
jenis-jenis anggrek yang tumbuh di Jalur pendakian Bukit Tapak yang merupakan salah satu
bagian dari kawasan CA Batukau.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 9
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
juga dilakukan dengan cara penelusuran pustaka dan mencocokkan dengan koleksi yang telah
ada di Kebun Raya “Eka Karya” Bali.
Untuk mengetahui kesamaan jenis tumbuhan di kawasan jalur KRB dan PCS dilakukan
dengan Indeks Kesamaan Jenis Sorensen (Odum, 1971) dengan rumus sebagai berikut:
IS=2C/A+B x 100%
IS= indeks kesamaan
C= jumlah jenis yang sama dan terdapat di lokasi A dan B
B= jumlah jenis tumbuhan di lokasi B.
A= jumlah jenis tumbuhan di lokasi A.
Jika didapatkan nilai IS < 25% maka dua lokasi yang dibandingkan memiliki jenis
tumbuhan yang sangat berbeda. Bila 25% > IS < 50% berarti dua lokasi yang dibandingkan
memiliki jenis tumbuhan yang cukup berbeda dan bila 50% > IS < 70% berarti dua lokasi yang
dibandingkan memiliki jenis tumbuhan yang mirip.
B
P
C
A
D C
K
R
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 10
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Selanjutnya hasil eksplorasi di Bukit Pengelengan dikoleksi sebanyak 29 jenis anggrek yang
termasuk dalam 20 marga (Tirta, 2012).
Gambar 3. Bulbophyllum sp
Selain menginventarisasi jenis-jenis anggrek juga dikoleksi jenis-jenis anggrek yang
belum terkoleksi atau sudah terkoleksi namun jumlahnya masih terbatas di KREKB. Jenis
anggrek yang merupakan koleksi baru bagi KREKB dari Bukit Tapak yaitu Bulbophyllum sp
dan Nervilia punctata (Blume) Makino (Gambar 3 dan 4). Bulbophyllum sp. ini, ditemukan
tumbuh epifit berjuntai pada pohon cemara pandak (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de
Laub.) sebanyak 8 spesimen, masing-masing pohon 2 spesimen. Pohon cemara yang
ditumpanginya, berada pada ketinggian (elevation) 1630-1880 m dpl. Nervilia puctata tumbuh
di tanah (terrestrial) ditemukan sebanyak 8 spesimen pada ketinggia 1730 m dpl dan 74
spesimen pada ketinggian 1880 m dpl.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 11
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SIMPULAN
Keragaman jenis anggrek kawasan hutan Bukit Tapak-Bali sebanyak 49 jenis termasuk
dalam 24 marga. Tumbuh epifit sebanyak 39 jenis dan terestrial 10 jenis. Marga anggrek yang
jumlah jenisnya terbanyak adalah Bulbophyllum sebanyak 10 jenis. Keberadaan jenis anggrek
yang ditemukan pada 2 jalur: Jalur pendakian dari Kebun Raya Bali menuju puncak Bukit
Tapak dan Jalur pendakian dari Pancasari menuju puncak Bukit Tapak cukup berbeda dengan
nilai Indeks Kesamaan Jenis = 44.44%.
DAFTAR PUSTAKA
Arditti, J. 1992. Fundamentals of Orchid Biology. John Willey and Sons, New York. 584 pp.
Comber, J.B. 1990. Orchid of Java. Bentham Moxon Trust, Royal Botanic Garden, Kew.
Hirata, A., T. Kamijo and S. Saito. 2009. Host trait preferences and distribution of vascular epiphytes
in a warm-temperate forest. Plant Ecology 201: 247-254.
Lugrayasa, IN., IG. Tirta, IBK. Arinasa dan D. Mudiana. 2001. Inventarisasi Anggrek Alam Epifit yang
Tumbuh pada Tanaman Reboisasi di Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali. Dalam: Tatik Wardiyati
(Ed). Prosiding Seminar Anggrek Nasional: 10-22. Perhimpunan Anggrek Indonesia.
Marsusi, C. Mukti, Y. Setiawan, S. Kholidah, dan A. Viviati. 2001. Studi Keanekaragaman Anggrek
Epifit di Hutan Jobolarangan. Biodiversitas 2(2): 150-155.
Odum, E.P.1971. Fundamentals of ecology. W.B. Saunders. Philapdelphia. 574 pp
Pfeiffer, J. 1995. Wild Orchids, The Indonesian Botanic Garden Collections. Kebun Raya Indonesia-
LIPI. Bogor. 15 hlm.
Puspitaningtyas, D.M. dan Irawati. 1994. Orchid Research in Indonesia. Dalam Suhirman, G. Butler,
Fuaddini, J. Pfeiffer, M. Richardson, Suhendar (Ed.): Proceeding Strategies for Flora
Conservation in Asia: 349-352. Kebun Raya Indonesia-LIPI. Bogor.
Tirta, IG. dan Sutomo. 2014. Inventarisasi Anggrek Epifit di Kebun Raya Eka Karya Bali. Widyariset
17 (2) : 245-250
Tirta, IG. 2012. Eksplorasi dan Koleksi Anggrek di Sebagian Bukit Pengelengan.. Widyatech 12 (2) :
132-138
Yulia, N.D. dan R.M. Yanti. 2010. Anggrek Epifit dan Pohon Inangnya di Kawasan Gunung
Penanggungan, Pasuruan-Jawa Timur. Berkala Penelitian Hayati Edisi Khusus : IVA (37-40).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 12
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Lampiran 1. Daftar jenis anggrek yang ditemukan di Bukit Tapak-Bali
No. Nama tumbuhan Habitat KRB PCS
1. Bryobium hyacinthoides (Blume) Y.P.Ng & P.J.Crib Epifit √ √
2. Bulbophyllum angustifolium (Blume) Lindl. Epifit √ √
3. Bulbophyllum apodum Hook.f. Epifit √
4. Bulbophyllum biflorum Teijsm. & Binn. Epifit √
5. Bulbophyllum devium J.B.Comber Epifit √
6. Bulbophyllum flavescens (Blume) Lindl. Epifit √
7. Bulbophyllum flavidiflorum Carr Epifit √
8. Bulbophyllum gibbosum (Blume) Lindl. Epifit √ √
9. Bulbophyllum ovalifolium (Blume) Lindl. Epifit √
10. Bulbophyllum tortuosum (Blume) Lindl. Epifit √
11. Bulbophyllym sp.* Epifit √
12. Calanthe baliensis J.J.Wood & J.B. Comber Terestrial √
13. Calanthe triplicata (Willemet) Ames Terestrial √
14. Cerastostylis sp. (daun kecil) Epifit √ √
15. Ceratostylis crassifolia J.J.Sm. Epifit √ √
16. Ceratostylis graminea Blume Epifit √ √
17. Coelogyne sp. (mirif C. miniata) Epifit √
18. Coelogyne flexousa Rolfe Epifit √
19. Coelogyne miniata (Blume) Lindl. Epifit √ √
20. Cryptostlis arachnites (Blume) Hassk. Terestrial √
21. Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn. Epifit √
22. Dendrobium mutabile (Blume) Lindl. Epifit √
23. Dendrochilum sp. (daun kecil) Epifit √
24. Dendrochilum sp. Epifit √
25. Epigenium cymbidioides (Blume) Summerh. Epifit √
26. Eria junghuhnii J.J.Sm. Epifit √ √
27. Eria annulata (Blume) Blume Epifit √
28. Eria multiflora (Blume) Lindl. Epifit √ √
29. Eria oblitterata (Blume) Rchb.f. Epifit √ √
30. Flickingeria sp. Epifit √
31. Goodyera novembrilis (Rchb.f.) Ormerod Terestrial √
32. Goodyera reticulata (Blume) Blume Terestrial √
33. Goodyera sp. Hijau Terestrial √ √
34. Rhomboda cristata (Blume) Ormerod Epifit & Terestrial √ √
35. Liparis compressa (Blume) Lindl. Epifit √
36. Liparis condylobulbon Rchb.f. Epifit √
37. Liparis sp. Epifit √
38. Malaxis sp. Terestrial √
39. Mycaranthes latifolia Blume Epifit √ √
40. Nervilia punctata (Blume) Makino.* Terestrial √
41. Oberonia sp. Epifit √
42. Phaius pauciflorus (Blume) Blume Terestrial √
43. Pholidota carnea (Blume) Lindl. Epifit √ √
44. Pholidota gibbosa (Blume) Lindl. ex de Vriese Epifit √
45. Pholidota globosa (Blume) Lindl. Epifit √
46. Podochilus sp.kecil (Pakis) Epifit √
47. Thrixspermum sp. Epifit √
48. Tuberolabium odoratissimum (J.J.Sm.) Garay Epifit √
49. Vanda tricolor Lindl. Epifit √
Jumlah jenis 42 21
KRB=Jalur dari Kebun Raya Bali menuju Puncak Bukit Tapak
PCS=Jalur dari Desa Pancasari menuju Puncak Bukit Tapak
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 13
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PAKU (Pteridophyta) DI KAWASAN LERENG
BARAT GUNUNG LAWU, JAWA TENGAH
Zenita Milla Luthfiya*, Nor Liza, Rizma Dera Anggraini Putri, Sugiyarto
Kelompok Studi Biodiversitas, Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Email: Zenitamilla10@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan barat lereng Gunung Lawu, tepatnya di hutan
Segoro Gunung dan hutan Parang ijo Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan paku
(Pteridophyta) di kawasan lereng barat Gunung Lawu, Jawa Tengah. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode jelajah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dan
diidentifikasi. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, tumbuhan paku yang ditemukan
di kawasan lereng barat Gunung Lawu yaitu berjumlah 34 spesies yang tergolong dalam 12
famili.
Kata kunci: Gunung Lawu, Keanekaragaman, Tumbuhan Paku,
ABSTRACT
This research was conducted in the western slopes of Mount Lawu , exactly in the
Segoro Gunung forest and Parang Ijo forest in Ngargoyoso subdistrict, Karanganyar , Central
Java . The purpose of this study was to determine the diversity of ferns ( Pteridophyta ) in the
western region Lawu Montain , Central Java . The method used in this research was the
method of cruising. Based on research that has been done , in the western region Lawu
Montain 34 species of ferns were collected belonging to 12 families.
Keywords: Diversity , Ferns, Lawu Montain
PENDAHULUAN
Gunung Lawu merupakan pegunungan vulkanik tua yang sudah tidak aktif. Secara
geografis terletak pada posisi sekitar 111o15’BT dan 7o30’LS dan meliputi areal seluas sekitar
15.000 Ha. Gunung ini memanjang dari utara ke selatan, dipisahkan jalan raya penghubung
propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Topografi bagian utara berbentuk kerucut dengan
puncak Argo (Hargo) Dumilah setinggi 3.265 m dpl., sedang bagian selatan sangat kompleks
terdiri dari bukit-bukit bertebing curam dengan puncak Jobolarangan setinggi 2.298 m. dpl.
(US Army Maps Services, 1963; Docters van Leeuwen, 1925).
Kawasan gunung merupakan salah satu contoh kawasan yang sangat menarik untuk
diteliti. Ada jenis vegetasi tertentu yang ditemukan pada semua ketinggian, dan ada yang
hanya ditemukan pada ketinggian tertentu. Jenis vegetasi melimpah pada kawasan lembah,
kemudian seiring naiknya ketinggian kemelimpahan jenisnya sedikit demi sedikit menurun.
salah satu jenis vegetasi tersebut adalah Pteridophyta.
Tumbuhan paku (Pteridophyta) tersebar di seluruh bagian dunia. Diperkirakan di
seluruh dunia terdapat 2 jutaan spesies tumbuhan yang telah dikenali dan 60 % dari jumlah
tersebut terdapat di Indonesia. Indonesia memiliki lebih dari 4.000 spesies paku-pakuan
(LBN-LIPI: 1980). Tumbuhan ini dalam dunia tumbuh-tumbuhan termasuk golongan besar
atau Divisi Pterodophyta.Tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan peralihan antara
tumbuhan bertalus dengan tumbuhan berkormus, sebab paku mempunyai campuran sifat dan
bentuk antara lumut dan tumbuhan tingkat tinggi (Raven et al, 1992).
Tumbuhan Paku (Pteridophyta) sebagai bagian dari keanekaragaman hayati
merupakan komunitas tumbuhan yang memiliki fungsi ekologis yang cukup penting di
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 14
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dalam ekosistem hutan, seperti sebagai vegetasi penutup tanah, pencampur serasah bagi
pembentukan hara tanah, dan produsen dalam rantai makanan. Disamping itu berperan
sebagai sumber plasma nutfah juga berpotensi sebagai sumber pangan, dan obat-obatan. Hal
tersebut perlu mendapatkan perhatian yang cukup besar di dalam pengelolaannya.
Tumbuhan paku memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dan mampu hidup dalam
kondisi lingkungan yang bervariasi. Keberadaan paku-pakuan ini masih kurang mendapat
perhatian dibanding kelompok tumbuhan lainnya dan seringkali terabaikan (Suraida etal.,
2013)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan paku di
kawasan lereng barat Gunung Lawu. Letak Gunung Lawu di perbatasan daerah kering dan
basah menarik untuk penelitian. Lereng barat Gunung Lawu dipilih karena tanahnya
mempunyai kemampuan yang baik untuk menyimpan air dan didukung oleh pH tanah sekitar
7 yang berarti netral, dimana pada pH yang netral tumbuhan akan tumbuh dengan baik.
Dengan penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya khasanah
pengetahuan tentang kehadiran tumbuhan paku dan sebagai data informasi tentang
keanekaragaman jenis tumbuhan paku yang ada di kawasan lereng barat Gunung Lawu.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 15
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Data pengukuran faktor abiotik yaitu pH tanah didapatkan hasil yaitu rata-rata pH tanah
di hutan Segoro gunung adalah 7,3 dan pengukuran pH tanah di hutan Parang Ijo juga
didapatkan hasil 7,3. Hal ini menandakan bahwa pH tanah di kedua kawasan yang mewakilkan
daerah kawasan lereng barat Gunung Lawu adalah netral. Tumbuhan akan tumbuh dengan
baik pada pH netral. Sehingga dapat diketahui bahwa kondisi kawasan koleksi ini mendukung
penelitian karena tumbuhan paku yang ditemukan dapat lebih beragam. Hasil yang didapatkan
yaitu ditemukan 34 spesies tumbuhan paku yang termasuk dalam 12 famili berbeda, yaitu
Polypodiaceae, Vittariaceae, Thelypteridaceae, Thelypteridaceae, Blechnaceae,
Aspleniaceae, Lindsaeaceae, Selaginellaceae, Gleicheniaceae, dan Dryopteridaceae,
Pteridaceae dan Dennstaedtiaceae. Dari ke 12 famili ini, famili dengan spesies terbanyak yaitu
Polypodiaceae sebanyak 9 spesies.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 16
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 1. Spesies tumbuhan paku yang ditemukan di Hutan Segoro Gunung dan Parang Ijo:
(E: epifit, T: terestrial)
NO FAMILY SPESIES CARA HIDUP
1 Polypodiaceae Pyrrosia varia (Kaulf.) Farw. E
Polypodium verrucosum Wallich E
Phymatodes scolopendria (Burm.) Ching E
Belvisia callifolia (Christ) Copel E
Crypsinus platyphyllus (Sw.) Copel E
Colysis acuminata (Baker) Holttum T
Selliguea heterocarpa (Blume) Blume E
Microsorium sarawakense (Baker) Ching E
Microsorium zipelli (Blume) Ching T
2. Vittariaceae Vittaria ensiformis Sw. E
Vittaria elongata Sw. E
3. Thelypteridaceae Thelypteris chlamydophora Ching E
Thelypteris ciliata (Wall. ex Benth.) Ching E
Abacopteris menisciicarpa (Blume) Holttum T
Abacopteris lineata (Blume) Ching T
Thelypteris japonica (Baker) Ching T
Cyclosorus parasiticus (Linnaeus) Farwell T
4. Blechnaceae Blecnum orientale Linn. (Blechnaceae) E
5. Aspleniaceae Asplenium nidus L. E
6. Lindsaeaceae Lindsaea parallelogramma Alderw. T
Lindsaea malayensis Holttum T
Sphenomeris chusana (L. ) Copel. T
7. Selaginellaceae Selaginella australiensis Baker T
Selaginella selaginoides (Linnaeus) T
Selaginella opaca Warb. T
8. Gleicheniaceae Gleichenia laevigata (Willd.) Hook. T
Gleicenia longissima Blume T
Gleichenia linearis (Burm. f.) C. B. T
9. Dryopteridaceae Nephrolepsis biserrata (Sw.) Schott T
Nephrolepsis davalilliodides (Sw.) Kunze T
Polystrichopsis aristata (G.Forst.) Holttum T
10. Davalliaceae Davalia denticulata (Burm.) Mett. T
11. Pteridaceae Adiantum capillus veneris (Burm.) Mett. T
12. Dennstaedtiaceae Microlepia puberula Alderw. E
Sphenomoris chusana (L.) Copel. T
Blechnaceae
Jenis paku yang termasuk dalam famili ini hanya ditemukan 1 spesies yaitu spesies
Blechnum orientale. Ciri spesies dari blechnaceae yaitu mempunyai bentuk daun sederhana,
penampilan daun besar dan daun bertekstur kasar dan lebar. Pada spesies blechnum orientale
bentuk daunnya rucing tetapi daunnya merayap lebih pendek dari pada spesies blechnum
finlaysoianum , tepi daunnya juga bergerigi dan termasuk jenis daun majemuk menyirip gasal.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 17
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Blechnum orientale memiliki bentuk batang yang kecil, dan batang pada blechnum ini terlibat
dalam proses reproduksi vegetatif yaitu proses terjadinya fragmentasi pada batang.
Rizhomanya tebal berukuran sekitar 2 cm bahkan ada yang lebih panjang. Akar bagian
apexnya berwana coklat gelap dan tersusun oleh pale kartilago.
Aspleniaceae
Jenis paku yang termasuk dalam famili ini hanya ditemukan 1 spesies yaitu spesies
Asplenium nidus. Ciri dari spesies Asplenium nidus yaitu bentuk daun berupa daun tunggal
lanset (lanceolatus) ,ujung daun meruncing (acuminatus) dan tepi daun berombak (repandus),
sorus terdapat di bawah daun berbentuk garis-garis berwarna coklat kehitaman yang terdapat
di sepanjang anak tulang daun. Batang dapat berupa batang dalam (rizom) atau batang di atas
permukaan tanah. Daun muda mempunyai cirri khas yaitu tumbuh menggulung (circinnatus),
pada daun muda paku sarang burung menggulung ke arah dalam. Daun termasuk sporofil
(daun fertil) karena menghasilkan spora. Daun tidak terlepas dari rimpang dan termasuk daun
makrofil. (Darma, 2006).
Lindsaeaceae
Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Lindsaya parallelogramma dan
Lindsaya malayensis. Memiliki bentuk pertumbuhan merambat. Daun majemuk, memiliki
panjang rata-rata 40 cm dan lebar daun 5 cm. Daun berbentuk oval dan tepi bergerigi.
Sedangkan panjang dan lebar anak daun adalah 2 cm dan 1 cm. Daun berwarna hijau dimana
tangkai anak daun tersusun sangat berdekatan sehingga terlihat sangat padat. Sorus berwarna
kecoklatan, terletak di bagian bawah daun. Lindsaea sp. memiliki bentuk daun memanjang
menyirip dengan panjang dan lebar daun adalah 7 cm dan 1 cm. Anak daun sangat kecil dan
berbentuk seperti kipas. Dalam satu tangkai terdapat sekitar 30 helai anak daun. Sorus terdapat
pada tepi anakanak daun, berwarna kekuningan dan berbentuk bulat. Tumbuhan paku ini
memiliki penampilan yang sangat menarik sehingga berpotensi sebagai tanaman hias yang
ditanam dalam pot-pot kecil.
Selaginellaceae
Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Selaginella australiensis, Selaginella
selaginoides dan Selaginella opaca.. Pada umumnya termasuk jenis paku epipit yang
menempel pada batu atau pohon-pohon besar. Pertumbuhan merambat, daun berwarna hijau
terang dan berukuran sangat kecil tersusun melingkari batang, daun fertil lebih lancip dengan
susunan yang sangat rapat. Berwarna hijau pada permukaan atas, kedudukan daun berseling.
Spora terdapat pada ujung terminalia (Asbar, 2004)
Gleicheniaceae
Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Gleichenia laevigata, Gleicenia
longissima dan Gleichenia linearis. Ciri famili ini yaitu paku terestrial dengan pertumbuhan
merambat dan akar serabut. Rimpang menjalar, sangat menyukai habitat yang terbuka yang
langsung terkena sinar matahari. Daun majemuk berwarna hijau pada atas permukaan dan
hijau keperakan pada bagian bawah, berbentuk menjari, tangkai daun memiliki percabangan
khusus, cabang utama terdiri dari dua anak cabang, anak cabang tersebut akan bercabang lagi
hingga tumbuh menutupi tempat tumbuhnya. Ratarata panjang dan lebar daun adalah 39 cm
dan 3 cm. Jumlah anak daun dalam satu batang utama berjumlah 167 daun. Anak daun
memiliki panjang dan lebar 1 cm dan 0.5 cm. Sorus berada di bawah permukaan daun
berwarna hijau hingga coklat kehitaman. Batang memiliki tekstur yang sangat kuat sehingga
biasa digunakan sebagai tali atau bahan-bahan kerajinan.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 18
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Dryopteridaceae
Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu di hutan Segoro Gunung ditemukan 3
spesies yaitu Nephrolepsis biserrata, Nephrolepsis davalilliodides, dan Polystrichopsis
aristata. Jenis paku yang tergolong famili Dryopteridaceae tumbuhnya berumpun dan
tumbuh bersama tumbuhan rendah lainnya, rimpang pendek, daun sederhana dengan
tulang daun menyirip. Sorusnya kecil, bentuk bulat dan tersusun dalam satu deretan
sepanjang anak-anak tulang daun.
Davalliacea
Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Davallia denticulate yang mempunyai
ciri rimpang panjang-merayap, berdiameter sekitar 5 mm. seluruh bagian rimpangnya bersisik
padat; sisik berbentuk bulat telur dan mengalami penyempitan menuju ujung, ekor paten,pada
bagian dasar mempunyai panjang dan lebar sekitar 1,5 mm. pada bagian belakang,mempunyai
bentuk lurus dengan ukuran 0,2 sampai 5 mm dan berwarna coklat hingga coklat tua. Sisik
berada di pinggir. Stipe berwarna coklat, tereta, sampai dengan 40 cm, gundul. Lamina
subtriangular, secara bertahap mengalami penyempitan menuju puncak acuminate. Sorinya
kecil, bearda di bagian pinggir. Indusial berbentuk cangkir dengan ukuran 0,4 mm sampai 0,7
mm (Sastrapradja, 1980).
Pteridaceae
Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Adiantum capillus veneris. Cirinya yaitu
daunnya tidak berbentuk memanjang, tetapi cenderung membulat. Spora terlindungi oleh
sporangium yang dilindungi oleh indusium. Kumpulan indusia (sorus) berada di sisi bawah
daun pada bagian tepi yang agak terlindung oleh lipatan daun. Tangkaientalnya khas karena
berwarna hitam dan mengkilap, kadang-kadang bersisik halus ketika dewasa. Sebagaimana
paku-pakuan lain, daun tumbuh dari rimpang dalam bentuk melingkar ke dalam (bahasa Jawa:
mlungker) seperti tangkai biola (disebut circinate vernation) dan perlahan-lahan membuka.
Akarnya serabut dan tumbuh dari rimpang.
Lindsaeaceae
Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Sphenomeris chusana. Cirinya yaitu
memiliki daun pakis hijau muda yang berbulu. Bisa tumbuh dengan ketinggian 2 sampai 5
kaki dan rumpun dengan diameter bisa mencapai beberapa meter. Spora yang terbentuk pada
ujung segmen terkecil.
Dennstaedtiaceae
Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Microlepia puberula dan Sphenomoris
chusana. Microlepia puberula mempunyai rimpang yang ramping dan panjang, berakar
dalam tanah., tumbuhan ini berperawakan perdu, sama seperti kebanyakan tumbuhan paku
lainnya dan berakar serabut. Batang tegak, berbentuk bulat dengan simetri dorsiventral,
permukaannya halus, panjangnya sekitar 1-2 m, diameternya sekitar 4 mm warnanya hijau
kecoklatan, dan bervabang. Sporangium berbentuk memenjang, berkelompok dan menyatu
membentuk seperti sirip. Spora berbentuk monolet (seperti kacang) dan berwarna coklat
kemerah-merahan, dan tresebar di permukaan bawah daun. Sphenomoris chusana mempunyai
daun majemuk dengan bagian-bagian yang menyirip.
Sphenomeris juga mempunyai akar rimpang yang tumbuh di dekat permukaan tanah. Dan
batangnya keras yang tumbuh keatas. Ental yang masih muda selalu menggulung dan menjadi
satu ciri khas. Sphenomeris dibagi lamina dengan sori apikal dan spora besar. Tapeinidium
hanya memiliki sulcation bawah daun sedikit dari sumbu dan arsitektur daun menyirip, dengan
sori di lateral lobus (Dryander, 1797).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 19
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SIMPULAN
Koleksi tumbuhan paku (Pteridophyta) di kawasan lereng barat Gunung Lawu yaitu
ditemukan 12 family yang terdiri dari 34 spesies. Kelompok family tersebut yaitu:
Polypodiaceae, Vittariaceae, Thelypteridaceae, Thelypteridaceae, Blechnaceae,
Aspleniaceae, Lindsaeaceae, Selaginellaceae, Gleicheniaceae, dan Dryopteridaceae,
Pteridaceae dan Dennstaedtiaceae.
DAFTAR PUSTAKA
Asbar. 2004. Jenis Paku-pakuan (Pteridophyta) di Sekitar Air Terjun Tirta Rimba
Hutan Wana Osena Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe
Selatan. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Haluoleo.
Kendari (Tidak diterbitkan).
As, M. 2005. Keanekaragaman dan Potensi Tumbuhan Paku (Pteridophyta) di Hutan Desa
Lampeapi Kecamatan Wawonii Barat Kabupaten Konawi. Skripsi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Haluoleo. Kendari (Tidak
diterbitkan).
Docters van Leeuwen, W.M. 1925. De alpine vegetatie van de Lawoe vukaan. Natuurk.
Tijdschr. Ned. Indie 85: 23-48.
Dryander J. 1797. Lindsaea, a new genus of ferns. Transactions of the Linnean Society of
London 3: 39–43
Raven, P.H., R.F. Evert dan S.E. Eichhorn. 1992. Biology of Plants. Worth Publishers. New
York.
Sastrapradja, S., J. J. Afriastini, D. Darnaedi dan Elizabeth. 1980. Jenis Paku Indonesia.
Lembaga Biologi Nasional, Bogor. hlm. 7
Suraida, Susanti Try dan Amriyanto Riza. 2013. Keanekaragaman Tumbuhan Paku
(Pteridophyta) di Taman Hutan Kenali Kota Jambi. Program Studi Biologi, Fakultas
Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Tjitrosoepomo, G. 2005. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 20
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ANALISIS KOMPOSISI FLORA PADA BEBERAPA JENIS TUMBUHAN INVASIF
DOMINAN DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT, BALI
ABSTRAK
Penelitian analisis komposisi flora pada beberapa jenis tumbuhan invasif dominan di
Taman Nasional Bali Barat dilakukan di tiga lokasi yaitu; di sekitar Banyu Wedang (lokasi I)
dengan jenis dominan akasia (Acacia nilotica); di Resort Menjangan (lokasi II) dengan jenis
dominan gamal (Gliricidia sepium); dan di sekitar Prapat Agung (lokasi III) dengan jenis
dominan kirinyuh (Chromolaena odorata), dan krasian (Lantana camara). Penelitian
menggunakan petak dan hasil analisa kuatitatif pada masing-masing lokasi cukup bervariasi.
Kata kunci: Analisis, Tumbuhan invasif dominan, Taman Nasional Bali Barat, Bali.
PENDAHULUAN
Kekayaan hutan hujan tropis seringkali menjadi ancaman berupa gangguan suatu
aktivitas atau energi dari luar yang dapat memengaruhi ekosistem, komunitas, populasi, tanah,
iklim, dan keanekaragaman hayati yaitu adanya tumbuhan pendatang (invasif). Tumbuhan
invasif didefinisikan secara sederhana adalah tumbuhan yang bukan spesies asli pada kawasan
tertentu, namun secara umum dapat mempengaruhi kehidupan species asli. Beberapa jenis
tumbuhan invasif dominan secara ekologis berdampak pada ekosistem kawasan hutan, karena
mampu menyingkirkan spesies asli dari persaingan untuk memperebutkan sumber daya
nutrisi, cahaya, ruang, air, dan lain sebagainya.
Banyak laporan beberapa jenis tumbuhan invasif dominan mengganggu ekosistim lokal
disetiap kawasan hutan Indonesia, terutama pada areal-areal kawasan konservasi, diantaranya:
jenis akasia (Acasia nilotica) di Taman Nasional (TN) Baluran; jenis kaliandra (Calliandra
calothryrsus) di TN Halimun Salak; kirinyuh (Chromolaena odorata) di TN Ujung Kulon dan
Cagar Alam Pangandaran; jenis Eupatorium sordidum, Austroeupatorium inulaefolium,
Cestrum aurantiacum, Brugmansia suaveolens, Passiflora suberosa dan jenis aprika
(Maeopsis emini) di TN Gunung Gede Pangrango; dan Merremia peltata di TN Bukit Barisan
Selatan (BKSDA, 2015; Siregar dan Tjitrosoedirdjo, 1999; Uji T. et al, 2010; Sunaryo et al,
2012; Sunaryo dan Tihurua, 2010; Tjitrosemito, 1999; Cordon dan Arianto, 2004; Anonim,
2002).
Taman Nasional merupakan salah satu kawasan hutan untuk melindungi
keanekaragaman tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya dan dimanfaatan secara lestari sebagai
sumberdaya alam hayati untuk penyangga kehidupan termasuk di Taman Nasional Bali Barat
(TNBB). Status TNBB berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan, No. 493/Kpts-II/95,
dengan luas 19.002,89 hektar. TNBB merupakan habitat alami burung curik Bali (Leucopsar
rothschildi) yang saat ini sangat kritis keadaanya. Secara administratif pemerintahan TNBB
terletak di Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali. TNBB memiliki
beberapa tipe vegetasi hutan, diantaranya hutan mangrove, hutan pantai, hutan musim, hutan
hujan dataran rendah, hutan savana, terumbu karang, hutan pantai berpasir, dan perairan laut.
Temperatur udara rata-rata 33o C dengan curah hujan 972-1,550 mm/tahun. Ketinggian tempat
0-141 m dpl. dengan letak geografis 8°05’- 8°15’ lintang selatan dan 114°25’-114°34’ bujur
timur (Taman Nasional Bali Barat, 2015).
Menurut Tjitrosemito (2004) jenis tumbuhan invasif dominan di beberapa areal hutan,
dikarenakan memiliki kelebihan dibandingkan dengan jenis-jenis lokal. Kelebihan-kelebihan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 21
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tumbuhan invasif tersebut diantaranya: cepat tumbuh; cepat dewasa; cepat memproduksi
bunga; cepat menutupi naungan; menghasilkan biji banyak; mampu menggunakan penyerbuk
lokal; perakaran rapat, penyebaran biji lebih efektif, buah disukai hewan, biji ringan, dapat
berkembang dengan vegetatif, memiliki senyawa alelopati, dan bebas hama penyakit. Oleh
karena itu, dengan kelebihan-kelebihannya itu banyak jenis-jenis yang telah mengganggu
ekosistem kawasan hutan lokal, termasuk di TNBB.
Berdasarkan informasi petugas TNBB serta hasil pengecekan lapangan terdapat jenis-
jenis tumbuhan invasif yang telah mendominasi di tiga areal hutan TNBB dengan perawakan
pohon dan semak. Jenis-jenis tumbuhan tersebut diantaranya: jenis akasia (Acasia nilotica) di
sekitar Banyu Wedang; jenis gamal (Gliricidia sepium) di sekitar Resort Menjangan; jenis
krasian (Lantana camara), dan kirinyuh (Cromolaena odorata) di sekitar Prapat Agung.
Keadaan jenis-jenis tumbuhan invasif dominan di TNBB secara kuantitatif masih
minim informasi, dan belum ada yang melakukan penelitian (komunikasi petugas lapangan
TNBB). Penelitian bertujuan mengungkap kondisi terkini tumbuhan invasif dominan (4 jenis)
meliputi regenerasinya, sebarannya, korelasinya, dan lingkungannya. Hasil penelitian
diharapkan menjadi informasi tambahan dan berguna sebagai ilmu pengetahuan untuk
membantu dalam perbaikan pengelolaan kawasan hutan di masa yang akan datang, khususnya
bagi pengelola TNBB sebagai otoritas utama pengambil kebijakan.
Tabel 1. Letak petak penelitian pada hutan jenis tumbuhan invasif dominan di TNBB.
No. Lokasi Latitude Longitude Alt. (m) Jenis dominan
I Banyu Wedang 08.13983’ 114.57169’ 44 Akasia (Acasia nelotica)
Resort
II 08.15754’ 114.57582’ 77 Gamal (Gliricidia sepium)
Menjangan
Kirinyuh (Chromolaena odorata)
III Prapat Agung 08.15265’ 114.44816’ 59
dan Krasian (Lantana camara)
Pada setiap lokasi dibuat plot berukuran 20 m x 20 m (400 m2) untuk lokasi I dan 10
m x 20 m (200 m2) untuk lokasi II dan III. Setipa petak masing-masing lokasi dibuat subpetak
10 m x 10 m untuk pengukuran pohon (diameter < 10 cm), dan untuk anak pohon atau belta
(diameter > 10 cm) dilakukan pada ukuran 5 m x 5 m. Sedangkan pengukuran semai atau herba
dilakukan pada ukuran petak 1 m x 1 m. Selanjutnya diukur pH tanah di masing-masing lokasi
untuk mendukung penelitian. Setiap individu tergolong pohon diukur pada lingkar batang 1,3
m dan untuk belta 60 cm dari permukaan tanah, sedangkan yang tergolong semai atau herba
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 22
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
diukur persentasi tutupan kanopi (%). Seluruh jenis yang ada dalam petak (semai/herba belta,
dan pohon) diidentifikasi nama lokal (bahas Bali) dan bagi yang belum teridentifikasi diambil
contoh bukti spesimen (voucher), untuk penamaan ilmiah selanjutnya. Identifikasi jenis dengan
cara membandingkan pada koleksi yang ada di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani-LIPI,
Cibinong.
Analisis data dilakukan mengikuti standar baku oleh Cox (1978), Dombois &
Ellenberg (1974), dan Greig-Smith (1964). Hasil analisis nilai dominasi relatif (DR), kerapatan
relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR) di analisis untuk menentukan Nilai Penting (NP=300
%). Nilai NP yang dihasilkan selanjutnya dihitung indek dominasi rasio (IDR=100%) atau
summed domination ratio (SDR), yaitu nilai NP dibagi tiga. Setiap kategori dianlisis indek
kesamaan menggunakan perangkat lunak Biopro versi2 berdasarkan data kerapatan.
Bali
TNBB
HASIL
Jenis-jenis invasif dominan di tiga lokasi TNBB seperti akasia (Acacia nilotica
(Linn.) Willd. Ex Del.), gamal (Gliricidia sepium (Jacq.) Kunth ex Walp), krasia (Lantana
camara Linn.), dan Kirinyuh (Chromolaena odorata) adalah tumbuhan tropik yang telah
menyebar hampir diseluruh benua Asia, Afrika, Australia dan Amerika. Tumbuhan tersebut
menjadi invasif di TNBB dan beberapa areal hutan konservasi di Indonesia (Prosea dan
Yayasan Kehati, 2015) termasuk di TNBB. Habitat tumbuhan invasif dominan di tiga lokasi
tersebut memiliki pH tanah cukup merata dengan standar deviasi 0,2 dengan rata-rata sebesar
± 6,4 (± 6,2 di lokasi I; ± 6,5 di lokasi II; dan ± 6,4 di lokasi III).
Struktur Semai dan Herba
Tumbuhan semai atau herba pada beberapa kawasan hutan merupakan pengganti bagi
kelompok pohon, belta, semak atau kelompok lainnya (regenerasi jenis pertama). Hasil
penelitian yang diukur berupa persentasi tutupan kanopi terhadap permukaan tanah (%) pada
areal tumbuhan invasif dominan di TNBB tercatat di lokasi I dan II masing-masing 8 jenis, 8
marga, 8 suku, sedangkan pada lokasi III 4 jenis, 4 suku, 4 marga (Gambar 2). Persentasi
tutupan kanopi dan kerapatan kelompok herba dan semai. Pada lokasi I tutupan kanopinya ±
9,08 % dengan kerapatan 10 individu/m2, dilokasi II ± 43,52 % dengan kerapatn 33
individu/m2, dan lokasi III sebesar ± 42,57 % dengan kerapatan 35 individu/m2
.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 23
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gambar 2. Komposisi jenis, marga dan suku untuk kelompok semai dan herba
pada areal hutan tumbuhan invasif dominan di TNBB.
Tabel 2. Komposisi jenis, Dominansi relatif (DR), Kerapatan relatif (KR), Frekuensi relatif
(FR), Nilai penting (NP), dan indek dominasi rasio (IDR) untuk kelompok semai dan herba
pada areal hutan tumbuhan invasif dominan di TNBB.
No. Jenis DR KR FR NP IDR
Lokasi I (Banyu Wedang) (%) (%) (%) (%) (%)
1 Lantana camara 28.42 39.13 26.67 94.22 31.41
2 Setaria sp. 31.41 8.70 13.33 53.44 17.81
3 Cromolaena odorata 17.40 17.39 13.33 48.12 16.04
4 Ruellia tuberosa 9.03 8.70 13.33 31.06 10.35
5 Acacia nilotica 5.91 8.70 13.33 27.94 9.31
6 Jatroha curcas 1.00 8.70 6.67 16.36 5.45
7 Grewia sp 4.65 4.35 6.67 15.66 5.22
8 Flacoutia rukem 2.19 4.35 6.67 13.21 4.40
Jumlah 100 100 100 300 100
Lokasi II (Resort Menjangan)
1 Gliricidia sepium 25.00 23.08 31.82 79.90 26.63
2 Lantana camara 27.23 30.77 13.64 71.64 23.88
3 Strichnos lucida 21.43 20.51 27.27 69.21 23.07
4 Merope spinosa 11.16 10.26 9.091 30.51 10.17
5 Brucea Javanica 7.14 5.13 4.545 16.82 5.606
6 Urena sp 4.91 5.13 4.545 14.58 4.861
7 Flacourtia rukam Zoll. & Moritzi 2.23 2.56 4.545 9.34 3.114
8 Cromolaena odorata 0.89 2.56 4.545 8.00 2.667
Jumlah 100 100 100 300 100
Lokasi III (Prapat Agung)
1 Cromolaena odorata 41.34 63.29 44.44 149.07 49.69
2 Lantana camara 57.88 35.66 44.44 137.99 46.00
3 Microcos sp. 0.62 0.70 5.556 6.87 2.29
4 Streblus asper 0.16 0.35 5.556 6.07 2.02
Jumlah 100 100 100 300 100
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 24
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Hasil analisis kelompok semai dan herba untuk dominansi, kerapatan dan frekuensi,
serta NP atau IDR berbeda-beda (Tabel 2). Dominansi relatif tertinggi berdasarkan tutupan
kanopi untuk lokasi I dikusai jenis krasian (DR=28,42%), di lokasi II jenis gamal
(DR=25,00%), dan di lokasi III jenis kirinyuh (DR=41,34 %). Sedangkan kerapatan relatif
tertinggi pada lokasi I dikusai jenis Setaria sp. (KR=31,41%), di lokasi II jenis krasian
(KR=30,77%), dan di lokasi III jenis kirinyuh (KR=63,29%). Kemudian frekuensi relatif
tertingi di lokasi I dikusai jenis krasian (FR=26,67%), di lokasi II jenis gamal (FR=31,82%),
dan lokasi III kirinyuh dan krasian (masing-masing FR=44,44%). Selanjutnya jenis utama
berdasarkan Nilai Penting (NP) atau indek dominasi rasio (IDR) pada lokasi I dikuasai krasian
(NP=94,22% atau IDR=31,41%), lokasi II gamal (NP=79,90% atau IDR=26,63%), dan lokasi
III kirinyuh (NP=149,07 % atau IDR=49,69%)
Struktur Belta
Struktur tegakan belta adalah sebaran individu dalam sebaran diameter dari berbagai
ukuran. Jenis-jenis kelompok belta (diameter < 10 cm) pada areal hutan merupakan calon
pengganti setelah periode semai berahir yaitu bagi kelompok pohon atau jenis-jenis lain dengan
pertumbuhan maksimal seperti semak, perdu, atau pohon kecil (sebagai regenerasi ke dua).
Hasil analisis pada tumbuhan invasif dominan pada tiga lokasi di TNBB memperlihatkan nilai-
nilai yang berbeda dan bervariasi, termasuk komposisi jenisnya.
Pada Gambar 3 komposisi jenis tertinggi terdapat di lokasi II (11 jenis, 11 marga, dan
9 suku), diikuti lokasi III (10 jenis, 10 marga, 10 suku), dan lokasi I (4 jenis, 4 marga, 4 suku).
Luas bidang dasar lokasi I, II dan lokasi III rata-rata 1,99 m/ha dengan kerapatan 1.233
individu/ha (Tabel 3).
Tabel 3. Luas bidang dasar dan kerapatan kelompok belta pada areal hutan tumbuhan invasif
dominan di TNBB.
Luas Bidang Dasar Kerapatan
Lokasi 2
25 m Ha 25 m2 Ha
I 0.005 1.93 2.63 1050
II 0.01 2.06 4.25 1700
III 0.005 1.97 2.38 950
Jumlah 0.015 5.96 9.25 3700
Rataan 0.005 1.99 3.08 1233
Berdasarkan luas bidang dasar jenis dominan lokasi I dikuasai akasia (DR=67,78%),
pada lokasi II dikuasai gamal (DR=50,73%), di lokasi III jenis Urena sp. (DR=35,04%). Jenis
utama berdasarkan NP/IDR pada lokasi I dikuasai akasia (NP=139, 13% atau IDR=46,38%).
Pada lokasi II dikuasai gamal (NP=106,71% atau IDR=35,57%). Dan lokasi III dikuasai
krasian (NP=108,76% atau IDR=36,25%) (Tabel 4).
Reort Menjangan
Gambar 3. Komposisi jenis, marga dan suku untuk kelompok belta di hutan tumbuhan
invasif dominan di TNBB.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 25
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 4. Komposisi jenis, Dominansi relatif (DR), Kerapatan relatif (KR), Frekuensi relatif
(FR), Nilai penting (NP), serta indek dominasi rasio (IDR) untuk kelompok belta pada hutan
jenis tumbuhan invasif dominan di TNBB.
No. Jenis DR KR FR NP IDR
Lokasi I (Banyu Wedang) (%) (%) (%) (%) (%)
1 Acacia nilotica 72,77 30,00 36,36 139,13 46,38
2 Jatropha gossypiifolia 23,42 62,50 36,36 122,28 40,76
3 Momosa sp 3,40 5,00 18,18 26,59 8,86
4 Lantana camara 2,50 2.50 9,09 12,00 4,00
Jumlah 100 100 100 300 100
Lokasi II (Resort Menjangan)
1 Gliricidia sepium 50.73 37.80 18.18 106.71 35.57
2 Strychnos lucida 11.28 17.32 18.18 46.79 15.60
3 Lantana camara 11.87 14.17 18.18 44.23 14.74
4 Paramignya trimera 5.89 14.96 15.91 36.76 12.25
5 Croton sp. 7.82 7.87 11.36 27.06 9.019
6 Vitex pinata 6.09 0.79 2.273 9.15 3.049
7 Schoutenia ovata 1.72 1.57 4.545 7.84 2.613
8 Urena sp 0.91 1.57 4.545 7.03 2.342
9 Croton sp 2.66 0.79 2.273 5.72 1.908
10 Brucea Javanica 0.53 2.36 2.273 5.17 1.722
11 Bridelia sp. 0.47 0.79 2.273 3.53 1.176
Jumlah 100 100 100 300 100
Lokasi III (Prapat Agung)
1 Lantana camara 19.75 61.43 27.59 108.76 36.25
2 Urena sp 35.04 4.29 6.90 46.22 15.41
3 Bridelia sp. 6.28 12.86 24.14 43.28 14.43
4 Strychnos lucida 31.10 4.29 3.45 38.83 12.94
5 Chromolaena odorata 1.08 4.29 10.34 15.71 5.23
6 Uvaria sp. 0.94 4.29 6.90 12.12 4.04
7 Streblus asper 1.56 2.86 6.90 11.32 3.77
8 Flaourtia rukem 1.22 2.86 6.90 10.97 3.66
9 Brucea Javanica 2.81 1.43 3.45 7.69 2.56
10 Schoutenia ovata 0.31 1.43 3.45 5.19 1.73
Jumlah 100 100 100 300 100
Jenis krasian pada kelompok belta tercatat di tiga lokasi dan termasuk jenis utama
pada lokasi III, sedangkan pada lokasi I dan II menempati peringkat empat dan tiga tiga.
Munculnya di tiga lokasi untuk krasian memperlihatkan kondisi lingkungan di TNBB sangat
sesuai untuk tumbuh dan berkembangnya secara normal, sehingga dapat bersaing hidup
dengan tumbuhan asli lainnya, walaupun hidup maksimal hanya mencapai kelompok belta
dengan diameter < 10 cm, atau berperawakan semak.
Struktur Pohon
Struktur tegakan kelompok pohon (diameter > 10 cm) pada areal hutan invasif dominan
di TNBB memperlihatkan nilai berbeda dan bervariasi (Tabel 5). Pada lokasi I dan lokasi III
masing-masing tercatat hanya 1 jenis dari luasan 400 m2 dan 200 m2. Kerapatan pohon di lokasi
I 4 individu/100 m2 (± 350 individu/ha) dengan luas bidang dasar 0,11 m/100 m2 (±11,11 m/ha).
Kerapatan di lokasi III 4 individu/100 m2 dengan luas bidang dasar 0,09 m/100 m2 (±9,35
m/ha). Kemudian di lokasi II terdapat 3 jenis dengan kerapatan 4 individu/100 m2 (±350
pohon/ha) dan luas bidang dasarnya 0,11 m/100 m2 (±10,77 m/ha).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 26
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 5. Komposisi jenis, Dominansi relatif (DR), Kerapatan relatif (KR), Frekuensi relatif
(FR), Nilai penting (NP) dan indek dominasi rasio (IDR) kelompok pohon pada
hutan invasif dominan di TNBB.
DR KR FR IDR
Lokasi Nama
(%) (%) (%) NP (%) (%)
Banyu wedang Acasia nilotica 100 100 100 300 100
Pada Tabel 5 jenis utama berdasarkan NP di lokasi I dan III sebesar 300 %
(IDR=100 %) dimiliki akasia dan Grewia sp., sedangkan di lokasi II tercatat 3 jenis dan
tertingi dikuasai gamal (NP=117,84% atau IDR=39,28%) diikuti Grewia sp. dan Urena sp.
PEMBAHASAN
Setiap mahluk hidup memiliki hubungan timbal balik dengan mahluk hidup lainnya
atau dengan lingkungan sekitarnya (simbiosis), walaupun mahluk hidup tersebut bukan pada
habitat aslinya. Kondisi floristik struktur kelompok semai dan herba, belta, dan pohon pada
areal tumbuhan invasif dominan di TNBB merupakan hasil akhir interaksi dari berbagai proses
fisiologis yang terjadi. Pada lokasi I selain akasia terdapat juga jenis introduksi lainnya yaitu
jarak merah (Jatropha gossypiifolia) yang masih tergolong kelompok belta dan belum
menginvasi secara luas. Jenis jarak ini berasal dari tropika Amerika (Mexico), dengan sebaran
Paraguay, Indian Barat sampai Afrika Barat dan Malesia termasuk Indonesia (Prosea &
Yayasan Kehati, 2015). Berdasarkan hasil analisis kuantitatif pada proses fisiologi
menghasilkan nilai-nilai dominansi, kerapatan, dan frekuensi bagi setiap jenisnya serta
berbeda-beda, termasuk nilai NP/IDR sebagai jenis utama. Keadaan demikian berkaitan erat
dengan kapasitas reproduksi dan kemampuan adaptasi dari setiap jenis masing-masing
khususnya terhadap lingkungan sekitarnya untuk meregenerasi jenis tumbuhan tersebut agar
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 27
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dapat hidup langgeng (suvival), termasuk di hutan konservasi TNBB dengan keadaan tanah,
cahaya, unsur hara, iklim mikro.
C
A
D
12 %
Belta Semai /
Gambar 4. Dendrogram kesamaan jenis kelompok belta, serta semai dan herba pada areal hutan
tumbuhan invasif dominan di TNBB.
Gambar 5. Sebaran diameter batang empat jenis tumbuhan invasif dominan di TNBB.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 28
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Khusus bagi tumbuhan invasif dominan di TNBB (4 jenis), dapat mencirikan memiliki
karakter berlebih dibandingkan dengan tumbuhan asli TNBB, sehingga secara alami dapat
menginvasi pada beberapa areal. Smith (1977) menyatakan bahwa jenis dominan adalah jenis
yang dapat memanfaatkan lingkungan yang ditempatinya secara efisien dibandingkan jenis lain
di tempat yang sama. Sedangkan Tjitrosemito (2004) mengatakan karakter utama tumbuhan
invasif yang mendominasi disebabkan jenis tersebut memiliki kelebihan diantaranya: cepat
tumbuh; cepat dewasa; cepat memproduksi bunga; cepat menutupi naungan; menghasilkan biji
banyak; mampu menggunakan penyerbuk lokal; penyebaran biji lebih efektif; buah disukai
hewan pemencar; biji ringan; bebas hama penyakit, dan lain sebagainya, sehingga hidupnya
dapat menguasai dengan cepat pada beberapa areal termasuk di 3 lokasi TNBB.
Pada beberapa hutan alami dinamika ekositem kehidupan umumnya konstan/stabil
dan klimak, namun dengan terdapatnya tumbuhan invasif yang mendominasi pada beberapa
areal, khususnya di TNBB secara ekologis akan menggangu ekosistem lokal, karena proses
regenerasi jenis-jenis yang ada atau jenis-jenis lokal terhambat untuk bisa tumbuh (biji selalu
dorman), bahkan tersingkirkan dan menimbulkan kelangkaan atau dimungkinkan mati karena
tidak dapat beregenerasi dengan baik pada areal tersebut. Kondisi demikian dapat merubah
iklim lokal, bahkan bisa saja merubah iklim global apabila invasif-nya telah melebihi batas
kewajaran dan menyeluruh.
Menurut The National Invasive Species Council (2006) tumbuhan invasif alien
species adalah spesies pendatang yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi, lingkungan atau
kerusakan pada manusia, hewan atau kesehatan tanaman. Pencegahan merupakan cara paling
efektif untuk mengatasi spesies invasif tersebut, yaitu mempersempit penyebarannya terutama
pada areal kawasan-kawasan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alam, dll.).
Frekuensi sebagai pola sebaran atau kemunculan suatu jenis pada setiap petak
penelitian bekaitan erat dengan regenerasi jenis pada suatua areal, terutama bagi setiap jenis
yang dihasilkan, artinya kelimpahan yang tinggi memperlihatkan jenis tersebut cukup tersebar
di beberapa petak kajian. Pada Tabel 3 (belta) di lokasi I jarak merah memiliki sebaran sama
dengan akasia, yaitu cukup tinggi (FR=36,36%). Pada lokasi II terdapat tiga jenis yang
memiliki sebaran yang sama, yaitu gamal, bidara, krasia (masing-masing FR=18,18 %),
sedangkan di lokasi III sebaran tertinggi dimiliki krasian (FR=61,43 %).
Jenis krasian pada lokasi II bagi semai cukup melimpah (KR=30,77%) namun tidak
mengusai sebagai jenis utama, oleh karena itu jenis tersebut umumnya pioner pada beberapa
kawasan hutan yang telah mengalami gangguan cukup serius dengan regenerasinya cukup
singkat, yaitu sebagai pelopor sebelum jenis-jenis hutan alami muncul. Berdasarkan nilai IDR
(maksimal 100 %) kondisi demikian tidak ada jenis yang memonopoli dalam hidupnya karena
nilai IDR kurang dari 75 %.
Sebelum terdapat di TNBB jenis akasia terdapat di TN Baluran dengan kondisi
tertinggi dan mendominasi dibeberapa areal (Djufri, 2004). Pada lokasi I jenis akasia
mendominasi seluruh kategori (pohon, belta dan semai). Kondisi iklim dan alam di TNBB
merupakan faktor pendukung cepatnya penyebaran serta suburnya pertumbuhan akasia.
Intensitas cahaya matahari yang tinggi dan kekeringan merupakan pendorong utama
dimakannya biji-biji akasia oleh herbivora mamalia lain seperti babi (Sus sp.). Biji-biji yang ke
luar bersama kotoran satwa tersebar di seluruh kawasan yang dilintasi oleh satwa tersebut,
sehingga menjadi ancaman bagi kelestarian ekosistem areal lain di TNBB. Jenis akasia di
lokasi I sebagian besar telah mendominasi walaupun jenis-jenis lainnya masih dapat ditemukan
(Tabel 2 dan Tabel 3), tetapi jenis-jenis lokal pada kelompok pohon sebagian besar telah
tersingkirkan, oleh karena itu hanya jenis belta yang tercatat dan mengisi ruang-ruang kosong
(gap).
Akasia tergolong tumbuhan Throphyta yaitu tumbuhan yang dapat hidup dengan baik
pada kelembaban udara yang rendah, sehingga dalam kondisi air terbatas (curah hujan rendah)
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 29
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tetap dapat melakukan regenerasi. Hal ini dapat terlihat dari munculnya tunas-tunas padada
batang dipotong. Pada musim hujan pertumbuhan tunas-tunas berlangsung dengan cepat dan
subur sehingga dengan segera membentuk trubus yang rapat.
Sejarah introduksi tumbuhan gamal berawal ditanam sebagai pagar hidup, peneduh
tanaman, rambatan vanili/lada, pengendali erosi, penghambat gulma (alang-alang), yang
ditanam pada kebun-kebun rakyat (Joker, 2002). Karena kurang terkontrol tumbuhan gamal
menyebar ke berbagai lahan konservasi termasuk di TNBB. Tumbuhan gamal di TNBB ini
memperlihatkan regenerasinya cukup baik dilihat dari estafet ukuran diameter batang cukup
kontinyu.
Kirinyuh dan krasian adalah tumbuhan berbunga serentak selama 3-4 minggu dan
termasuk gulma (Prawiradiputra, 1985). Krasian dan kirinyuh diperkirakan tersebar di
Indonesia sejak tahun 1910-an (Sipayung et al., 1991), namun keberadaannya kurang mendapat
perhatian, kecuali oleh kalangan perkebunan. Tumbuhan tersebut sangat merugikan tanaman
budidaya, karena kompetitor dalam penyerapan air dan unsur hara. Kirinyuh dan krasian
memiliki kemampuan untuk mendominasi dengan cepat dibeberapa areal. Hal ini didukung
karena jumlah biji dihasilkan melimpah dan mudah berkecambah. Prawiradiputra (2007)
mengemukakan, kirinyuh adalah gulma merugikan karena mengurangi padang
penggembalaan, penyebab keracunan sampai mematikan ternak, dan menimbulkan bahaya
kebakaran dimusim kemarau terutama pada kawasan hutan-hutan beriklim kering, termasuk
kawasan TNBB.
Semakin tinggi nilai indeks kesamaan, semakin tinggi pula tingkat kemiripan atau
korelasi diantara jenis yang dibandingkan (Odum, 1992). Pada setiap lokasi nilai indeks
kesamaan jenis masing-masing berdasarkan kerapatan berbeda-beda (Gambar 4). Kesamaan
terendah kelompok belta ± 12 % dan tertinggi ± 100 % di lokasi II (Gambar 4 A), sedangkan
kelompok semai/herba kesamaan terendah pada lokasi III ± 5 %, dan tertinggi ± 100 % pada
lokasi I (Gambar 4 B) dan lokasi II (Gambar 4 C & D).
Korelasi khusus 4 jenis invasif dominan terhadap jenis lainnya bagi kelompok belta
maupun semai atau herba di setiap lokasi memiliki indek kesamaan berbeda. Pada Gambar 4
korelasi kelompok belta terendah dimiliki jenis Akasia (< 50 %) dilokasi I, tertinggi kirinyuh
dengan 2 jenis lainnya (> 75 %) pada lokasi III. Pada kelompok semai atau herba sebagian
besar jenis invasif dominan memiliki korelasi cukup baik dengan jenis lainnya (> 50 %).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis kuantitatif pada tumbuhan invasif dominan di tiga lokasi
TNBB terdapat 21 jenis, 21 marga, 15 suku (semai, herba, belta, pohon). Kondisi lingkungan
sangat sesuai bagi empat jenis tumbuhan invasif dominan. Regenerasi untuk empat jenis
dominan cukup baik. Persentasi korelasi dengan tumbuhan lainnya berbeda-beda dan jenis
sebaran tertinggi ada di tiga lokasi penelitian adalah krasian (Lantana camara).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2002. Invasi Jenis Flora dan Fauna Eksotik di Beberapa Kawasan Taman Nasional
(Kasus Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Wasur). Dalam Wijanarko (ed.).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 30
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis Asing Invasif. Puslitbang Hutan dan
Konservasin Alam, Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesi.
BBKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat). 2015. http://bbksda-
jabar.com/. diakses 17 September 2015.
Cordon A and W Arianto, 2004. Invasive alien plant species in Mount Gede-Pangrango Nature
Reserve. J. Gulma Tropika 2(2), 75-85.
Cox, G.W. 1978. Laboratory Manual of General Ecology. New York WM.C.Brown Company
Publisher.
Djufri. (2004). Review: Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del. dan Permasalahannya di Taman
Nasional Baluran Jawa Timur. Biodiversitas. 5(2): 96-104.
Djufri 2015. Autekologi akasia (Acacia nilotica) (L.) Willd. ex. Del Di Taman Nasional
Baluran Jawa Timur. Jurnal Ilmiah Pendidikan Biologi, Biologi Edukasi Vol. 4 (1), Juni
2012, hlm 46-55. http://download.portalgaruda.org/article. diakses 24 Agustus 2015.
Dombois, D M & Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley &
Sons, New York.
Geig-Smith, P. 1964. Quantitative Plane Ecology. London.
National Invasive Species Council (2006). http://btngciremai.blogspot.com/2013/03/
pengendalian-tumbuhan-invasif-kaliandra. diakses 5 September 2015.
Odum, H.T. 1992. Ekologi Sistem Suatu Pengantar. UGM. Press.
Prawiradiputra, B.R. 1985. Perubahan Komposisi Vegetasi Padang Rumput Alam akibat
Pengendalian Ki Rinyuh (Chromolaena odorata (L) R.M. King and H. Robinson) di
Jonggol, Jawa Barat. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Thesis.
Prawiradiputra, B. R. 2007. Kirinyuh (Chromolaena odorata (L) R.M. KING dan H.
Robinson): Gulma Padang Rumput Yang Merugikan. Wartazoa. Vol. 17 (1).
Prosea dan Yayasan Kehati. 2015. Flora Kita. http://www.proseanet.org/florakita/
browser.php?docsid=547. Diakses 29 September 2015.
Prosea. 2015. Medicinal and poisonous plants 1 p.341-342 (author (s): Windadri, F. I.;
Valkenburg, J.L.C.H. van) http://www.proseanet.org/florakita/browser.php?
docsid=585. Diakses 21 September 2015.
Sipayung, A., RD, DE, Chenon and PS, Suhadto. 1991. Observations on Chromolaena odorata
(L.) R.M. King and H. Robinson in Indonesia. Second International Workshop on the
Biological Control and Management of Chromolaena odorata. Biotrop, Bogor.
http://www.ehs.cdu.edu.au/chromolaena/2/2sipay. Diakses 12 Januari 2015.
Siregar C and S Tjitrosoedirdjo, 1999. Acacia nilotica invasionin Baluran National Park, East
Java, Indonesia. BiotropSpec. Publ. No. 61.
Smith, R.L. 1977. Element of Ecology. Harper & Row, Publisher, New York.
Sunaryo, T. Uji, dan EF Tihurua. 2012. Jenis Tumbuhan Asing Invasif yang Mengancam
Ekosistem Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Resort Bodogol, Jawa Barat.
Berk. Penel. Hayati 17. 147–152.
Sunaryo, dan Tihurua, E.F. 2010. Catatan Jenis-jenis Tumbuhan Asing dan Invasif di Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Berita Biologi 10 (2): 267-269.
Tjitrosemito S, 1999. The Establishment of Procecidocharesconnexa in West Java, Indonesia;
A biological controlagent of Chromolaena odorata. Biotropia 12, 19-24.
Tjitrosemito S. 2004. The concept of invasive alien species. Regional Training Course on
Integrated Management of Invasive Alien Plant Species. BIOTROP, Bogor, Indonesia.
18-28 May 2004. 16 hlm.
TNBB (Taman Nasional Bali Barat). 2015. http://www.dephut.go.id/ /tn_balibarat.htm.
Diakses 17 September 2015
Uji T, Sunaryo, E Rachman dan EF Tihurua, 2010. Kajian jenis flora asing invasif di Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Biota 15(2), 167-173.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 31
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KEANEKARAGAMAN JENIS JAHE GENUS ZINGIBER (ZINGIBERACEAE)
KAWASAN BUKIT KAPUR SUMATERA BARAT
ABSTRAK
Genus Zingiber merupakan salah satu genus dari famili Zingiberaceae. Zingiber
merupakan genus yang paling banyak dalam famili Zingiberaceae yang telah dimanfaatkan
sebagai tumbuhan obat dan bahan bumbu, juga merupakan sumber panghasil minyak esensial,
tanaman industri serta tanaman hias. Kawasan bukit kapur (limestone) mempunyai hutan
dengan jenis-jenis flora yang spesifik. Di Sumatera Barat kawasan limestone ini cukup luas,
diperkirakan sekitar 30.000 Ha lebih dengan jalur utama dari utara di daerah Payakumbuh
sampai ke selatan di daerah Sijunjung. Hasil data specimen herbarium dan studi lapangan
terbaru di Sumatera Barat didapatkan 5 species Zingiber yang ditemukan pada kawasan
limestone Sumatera Barat yakni Zingiber gracile, Z. kunstleri, Z. montanum, Z. zerumbet dan
Zingiber sp.
PENDAHULUAN
Zingiber is merupakan salah satu marga dalam family Zingiberaceae (keluarga jahe-
jahean). Species budidaya yang sudah umum dimanfaatkan untuk berbegai keperluan antara
lain adalah Zingiber officinale, Z. zerumbet dan Z. montanum. Marga ini sanagt aktif diteliti
saat ini, beberapa jenis baru telah ditemukan dibeberapa studi (Smith 1988; Theilade 1998;
Theilade 1999; Chaverach et.al. 2007; Kumar 2013). Kelompok tumbuhan ini umumnya
ditemukan di habitat yang lembab dan pinggir hutan. Walaupun demikian sebenanrnya
kelompok ini mampu hidup di berbagai habitat, dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Di
Sumatera Barat kelompok tumbuhan ini juga ditemukan kawasan bukit kapur. Kawasan bukit
kapur diyakini mempunyai jenis flora yang specifik dan unik.
Kawasan bukit kapur (limestone) membentuk suatu pemandangan alam yang khas
sekali, dikenal dengan istilah karst. Ada yang disebut dengan karst kokpit, terdiri dari bukit-
bukit batu yang berbentuk kerucut atau setengah bola, berlekuk-lekuk dan mempunyai dinding
yang cukup curam dengan kemiringan berkisar antara 30-40 derajat. Yang lainnya disebut
dengan karst menara, seperti yang terdapat pada daerah - daerah aliran sungai di Payakumbuh
yang terdiri dari bukit-bukit rendah, terpisah – pisah dengan sisi yang sangat terjal dan
kemiringan bisa mencapai 60-90 derajat serta sering mempunyai terowongan didalamnya
(Anwar et al., 1984). Sumatera Barat mempunyai kawasan bukit batu kapur (limestone) yang
cukup luas dengan jalur utama membentang dari bagian utara daerah Payakumbuh sampai ke
Selatan di Bukit Sabalah Sawahlunto Sijunjung, disamping beberapa lokasi lain yang terpencar–
pencar. Penelitian ini memberikan infromasi jenis‐jenis kelompok Zingiber yang ditemukan di bukit
kapur Sumatera Barat.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 32
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan inventarisasi dari specimen di ANDA, BO dan survey lapangan terbaru 5
species dari marga Zingiber ditemukan di kawasan bukit kapur Sumatera Barat (table 1).
Zingiber gracile
Herba teresterial, tinggi 2-4 m, rhizom beraroma, diameter rizom 2-4 cm, kulit bewarna
putih, daging merah kecoklatan. Pelepah berwarna hijau terang, permukaan luar rambut halus
pendek. Ligula ujung membulat berlekukberwarna krem. Daun 40-50 cm x 12-14 cm,
oblanceolatus, ujung meruncing memanjang, tepi rata, berambut. Perbungaan tingginya 45-50
cm, arah tumbuh tegak, bentuk ovatus. Braktea 5,3-5,9 cm x 1,5-5,6 cm, merah muda,
berbentuk oval, ujung membulat, permukaan luar rambut kusut. Corolla 3 berwarna kuning.
Labellum berwarna kuning. Ovary berbentuk silinder, panjang 4-5 mm, berambut, kelenjar
madu 2, berwarna kuning muda.
Zingiber kunstleri
Herba dengan tinggi 2-3 m. Rizom beraroma, diameter rizom sekitar 1,5 cm. Ligula
ujung membulat, tidak berlobus. Daun 40-45 cm x 6-8 cm, lanceolatus, ujung meruncing
memanjang. Perbungaan tinggi 63 cm, arah tumbuh tegak; conus 4-6 cm diameter, silinder,
ujung membulat. Braktea 4-5 cm x 1-3 cm, berbentuk oval, ujung membulat, pola permukaan
membujur, tepi tidak berambut, permukaan luar rambut halus pendek, bentuk ujung tertutup
arah braktea saling menyatu. Torus berbentuk memanjang.
Zingiber montanum
Herba dengan tinggi 1-2 m. Rizom beraroma, bewarna putih pudar. Ligula ujung
berbentuk membulat berlobus, berambut. Daun oblanceolatus, 25-30 cm x 7-7,5 cm, ujung
meruncing memanjang, pangkal meruncing, tepi berambut. Perubungaan tegak, tinggi 30-35
cm; conus ellipsoid, ujung runcing. Braktea berbentuk oval, ujung membulat, pola permukaan
membujur, warna hijau kecoklatan.
Zingiber zerumbet
Herba teresterial dengan tinggi 1-2 m. Rizom beraroma, daging rizom putih. Ligula
ujung membulat, tidak berlobus, berwarna krem. Daun oblanceolatus, 25-30 cm x 7-8 cm,
ujung meruncing memanjang, pangkal meruncing, tepi rata, berambut,, tulang daun berwarna
hijau kekuningan. Perbungaan tegak, tinggi 50-60 cm, conus ellipsoid ujung membulat.
Braktea oblanceolatus, 3-4 cm x 2-3 cm, warna hijau dengan pinggiran merah, ujung
membulat, tepi berambut, permukaan luar kasar tidak berambut, bentuk ujung tertutup. Corolla
berwarna putih, permukaan luar licin. Labellum berwarna putih dengan bagian tengah kuning.
Ovary silinder, permukaan berambut, kelenjar madu berwarna kuning muda.
Zingiber sp.
Herba teresterial, berumpun, tinggi batang 2-3 m. Rizom dibawah permukaan tanah,
aromatis, bewarna putih cream. Pelepah tipis, beralur, bewarna hijau kemerahan; ligula 1-2
mm. Lembaran daun oblong, 20– 30 x 7-8 cm, basis attenuate, apex caudate dengan
perpanjangan 1-1,5 cm, margin rata, permukaan glabrous. Perbungaan muncul dari rizom,
tegak diatas permukaan tanah, jumlah bunga per Infloresen 40-50 dengan 2-4 bunga mekar
bersamaan, tinggi rachis 35-80 cm, pedunculus 15-20 cm, diliputi bractea-bractea steril.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 33
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Bractea steril: pada pedunculus ovatus, ujung acuminate putih kehijauan, 4-5 x 3-4 cm; pada
rachis ovatus atau lanset, incurved, bewarna putih, 5-6 x 3-4, ujung acutis. Bractea fertil putih
tansparan, panjangnya 8-10 mm, lebar 5-7 mm. Calyx transparan, menyatu pada basisnya,
ujung runcing, panjang 3-4 cm, lebar 1-2 cm. Corolla : corolla tube orange muda, panjang 3-4
cm; petal 3, orange, panjang 2-3 cm, 1-1,5 cm, ujung runcing. Lip orange, transparan, lebar
1,5-2 cm. Stamen orange, melengkung. Biji banyak, berarilus, bewarna hitam.
SIMPULAN
Ditemukan 5 species Zingiber di kawasan Bukit kapur Sumatera Barat yakni Zingiber
gracile, Z. kunstleri, Z. montanum, Z. zerumbet dan Zingiber sp.
UCAPAN TERIMAKASIH
Kami mengucapkan terimakasih kepada Universitas Andalas yang telah memfasilitasi
penelitian dan seminar ini. Terimakasih juga diberikan kepada Herbarium Bogoriense yang
telah mengizinkan melihat specimen Zingiber yang di simpan di BO. Ucapan terimakasih juga
kami ucapkan kepada DIKTI, Kemetrian Ristek dan Pendidikan Tinggi atas dukungan dana
untuk melakukan penelitian ini melalui Fundamental Riset.
DAFTAR PUSTAKA
Chaveerach A, Mokkamul P, Sudmoon R, Tanee T. 2007. A New Species of Zingiber
(Zingiberaceae) from Northern Thailand. Taiwania [Internet].(cited 25 May 2013):
52(2):159-163.Availablefrom:http://tai2.ntu.edu.tw/taiwania/ pdf/tai.200.52.159.pdf.
Kumar K, Mood J, SINGH SK, SINHA BK. 2013.A new species of Zingiber (Zingi beraceae)
from Northeast India. Phytotaxa [Internet]. [cited 14 Feb.2013]; 77(4):61-
64.Availablefrom:http://biotaxa.org/Phytotaxa/article/view/phytotaxa.77.4.2
Smith RM. 1988. A Review of Bornean Zingiberaceae: V. (Zingiber). Notes From Royal
Botanic Garden Edinburgh 45(3): 409-423. Availabel from:
http://onlinelibrary.wiley.com/journal/10.111.
Smith, R.M. 1985. A review of Bornean Zingiberaceae: 1 (Alpinieae). Notes from the Royal
Botanical Garden Edinburgh 42: 295-314.
Syamsuardi, Maideliza T, Nurainas, Mansyurdin, Susanti T. 2010. Diversity of Zingiberaceae
in West Sumatra: Inferred from geographical isolation of Barisan Range [Hibah Pasca
Sarjana Universitas Andalas].
Theilade I, Mood J. 1999. Six new species of Zingiber (Zingiberaceae) from Borneo. Nordic
Journal of Botany [Internet]. [cited 2 may 2012]; 19 (5): 513-524.
Theilade I. 1998. Revision of the genus Zingiber in Peninsular Malaysia. - Gardens Bull.
Singapore 48: 207-236
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 34
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
STUDI TANAMAN PEKARANGAN PADA KAWASAN PINGGIR DAN PUSAT
KOTA PADANG
ABSTRAK
Penelitian tentang Studi Tanaman Pekarangan pada Kawasan Pinggir dan Pusat Kota
Padang telah dilakukan pada bulan Mei sampai September 2015. Tujuan dari penelitian adalah
untuk mengetahui komposisi dan struktur tanaman pekarangan pada kawasan pinggir dan pusat
Kota Padang. Penelitian ini menggunakan metoda survey atau pengambilan data langsung di
lapangan, adapapun cara pemilihan plot dilakukan secara purposive sampling dimana
pekarangan sebagai plot dan rumah sebagai centre. Hasil penelitian menunjukkan pada wilayah
pinggir kota ditemukan sebanyak 69 famili, 204 jenis dan 5660 individu, sedangkan pada
wilayah pusat Kota Padang, ditemukan sebanyak 60 famili, 174 jenis dan 4081 individu. Famili
yang sering muncul di wilayah pinggir kota adalah Euphorbiaceae dan Araceae, sedang untuk
wilayah pusat kota adalah Poaceae dan Apocynaceae. Data didapat dari 10% total rumah
berukuran 400 m2 di Kota Padang. Analisis data struktur menunjukkan bahwa pada wilayah
pinggir kota, tanaman yang memiliki indeks nilai penting tertinggi adalah Cordyline fruticosa
(5.413%) dan Manihot uttilisima (5.072%), sedang untuk wilayah pusat kota adalah
Tabernaemontana sp. (9.296%) dan Euodia ridleyi (9.247%). Indeks keanekaragaman
tergolong tinggi yaitu 4,83 untuk wilayah pinggir dan 4,69 untuk wilayah kota. Indeks
kesamaan untuk kedua wilayah memiliki persentase 76.19%.
Kata Kunci : komposisi, kota padang, pekarangan, struktur, tanaman
ABSTRACT
Research on a garden plant study in the countryside and the city center of Padang had
been done starting from Mey till September 2015. The goal of this research is to find out the
composition and the structure of the garden plant in the countryside and central of Padang area.
This research uses a survey method or took the data by directly gather it from the field. The
plot selection had been done by purposive sampling method where the garden or yard as plot
and house as centre. The result shown that there were 69 families in countryside area, 204 types
and 4081 individuals, while 60 families, 174 types, 4081 individuals was found in city centers.
The family that often appears in the countryside are Euphorbiaceae and Araceae while in city
centers are Poaceae and Apocynaceae. The data came from the 10 % amount of 400 m2 sized
house in Padang. The analysis of structured data shown that in the countryside, the plant that
indicate the index of highest important value is being Cordyline fruticosa (5.414%) and
Manihotuttilisima (5.072%), while in city centers are Tabernaemontana sp. (9.296%) and
Eudoiaridleyi (9.247%). The diversity index is quite high which shown 4,83 for countryside
area and 4,69 for the city center area. The similarity index for both of the area is 76,19%.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 35
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN
Jika mengkaji tentang pembangunan, maka teori modernisasi merupakan teori yang
paling dominan menentukan wajah pembanguan Indonesia. Sekarang ini modernisasi
semakin mendominasi masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Penyerapan budaya luar yang
instan dan minimalis, menjadikan hal tersebut lebih diminati setiap kalangan masyarakat.
Akibatnya pembangunan bangunan modern yang gencar dilakukan akan sangat berpeluang
dalam meminimkan usaha masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar;
seperti pemanfaatan lahan persawahan, perladangan ataupun pemanfaatan pekarangan sebagai
salah satu usaha pencukupan kebutuhan keluarga. Menurut Sunu dan Wartoyo (2006),
pekarangan merupakan agroekosistem yang sangat baik dan memiliki potensi dalam
mencukupi kebutuhan pangan pemiliknya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
pemenuhan kebutuhan pasar, hingga dapat memenuhi kebutuhan nasional.
Pemanfaatan lahan pekarangan juga berefek pada ketersediaan bahan-bahan kebutuhan
sehari-hari yang bebas dari penggunaan pengawet dan zat kimia berbahaya yang dapat merusak
tubuh karena pertumbuhannya dapat langsung dikontrol. Abdul, et al. (2013) menyatakan
bahwa lahan pekarangan dapat memberikan manfaat yang sangat besar dalam menunjang
kebutuhan gizi keluarga selain untuk keindahan, apabila dikelola secara optimal dan terencana.
Kota Padang merupakan ibukota dari Provinsi Sumatera Barat; memiliki luas 694,96
km2 atau setara dengan 1,65 % dari luas total. Wilayah yang digunakan untuk lahan persawahan
adalah 17,52 % atau 52.25 km2 dari luas kota, bangunan dan pekarangan seluas 29,01 % atau
62.63 km2 sedangkan sebagian besar Kota Padang atau 52,52 % merupakan hutan yang
dilindungi pemerintah (BPS, 2014).
Menurut Affandi (2002), bahwa sebagian besar penduduk Indonesia yang tinggal di
pedesaan dan berada di sekitar kawasan hutan, umumnya memiliki pengalaman hidup dalam
mengelola sumberdaya alam sekaligus dalam pemanfaatannya, salah satunya lahan
pekarangan. Hal ini berbanding terbalik dengan masyarakat yang berada di kota. Modernisasi
menuntun masyarakat untuk meninggalkan budaya lama, sehingga proses ini akan membentuk
sebuah kondisi dimana tradisional berubah menjadi modern dalam segala aspek sosial budaya
yang semakin hari semakin berkembang dan tak terelakan (Alimandan, 1995). Seperti halnya
sebagian besar masyarakat perkotaan hanya menanam sedikit tanaman hias yang didatangkan
langsung dari luar daerah, sehingga berakibat pada tergusurnya tanaman-tanaman asli yang
kurang popular.
Secara garis besar wilayah Kota Padang dibagi menjadi empat zona berdasarkan
kerapatan jumlah penduduk. Pertama, Zona I yaitu wilayah berpenduduk padat sekaligus
merupakan pusat administrasi, meliputi Kecamatan Padang Barat, sebagian Kecamatan Padang
Utara, dan sebagian Kecamatan Padang Selatan. Kedua, Zona II yaitu wilayah berpenduduk
cukup padat, merupakan wilayah pengembangan pemukiman meliputi sebagian Kecamatan
Padang Utara, Kecamatan Padang Timur, sebagian Kecamatan Padang Selatan, Kecamatan
Lubuk Begalung, dan Kecamatan Nanggalo. Ketiga, Zona III yaitu wilayah berpenduduk agak
jarang merupakan pemukiman penduduk asli dengan pekerjaan utama bertani, meliputi
Kecamatan Kuranji, Pauh, Koto Tangah, Lubuk Kilangan, Bungus Teluk Kabung, dan
sebagian Kecamatan Nanggalo. Zona IV adalah wilayah konservasi/hutan lindung yang
terletak di bagian Timur atau perbatasan dengan Kabupaten Solok dan Kota Solok (Winardi,
2013). Namun saat ini perkembangan kota padang mulai bergeser dari sebelumnya, dimana
pusat pemerintahan perlahan dialih tempatkan ke Zona III dan perumahan modern mulai
bermunculan di sudut kota.
Melihat pembagian wilayah pemukiman yang tidak merata tersebut maka timbulah
anggapan bahwa pertumbuhan penduduk yang pesat di Indonesia, selalu disertai dengan
pertumbuhan daerah pemukiman baru baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan.
Pembukaan areal baru yang diciptakan melalui konversi daerah hutan atau lahan pertanian,
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 36
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
sangat potensial menjadi lahan pemukiman. Perubahan fungsi dan peruntukan lahan tersebut
akan berdampak secara langsung pada menurunnya luas lahan hutan dan atau lahan pertanian
efektif sehingga dapat menurunkan keanekaragaman hayati dan berkurangnya produksi
pertanian. Sedang modernisasi jika tidak disikapi dengan bijaksana, hal ini dapat menjadikan
masyarakat melupakan cara bercocok tanam dan lebih memilih menjadi masyarakat yang
konsumtif (Dintje dan Arrijani, 2003).
Adanya perbedaan cara pandang dari nilai budaya yang terjadi saat ini, diduga dapat
menyebabkan perbedaan komposisi dan struktur serta kecendrungan pemilihan tanaman
pekarangan pada masing-masing daerah berdasarkan modernisasi di sekitar masyarakat,
sehingga dapat menjadi sumber informasi dan bermanfaat untuk penelitian selanjutnya. Oleh
karena itu, penelitian tentang “Studi Tanaman Pekarangan Pada Kawasan Pinggir dan Pusat
Kota Padang” ini perlu dilakukan.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 37
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Komposisi famili = jumlah individu suatu famili x 100%
jumlah total individu
Famili dikatakan dominan jika memiliki nilai persentase >20 % selanjutnya suatu famili
dikatakan Co-dominan bila memiliki nilai persentase 10 – 20 % (Johnston and Gilman, 1995).
2. Struktur Jenis
Indeks Nilai Penting
Nilai Penting adalah angka yang menggambarkan tingkat penguasan suatu jenis dalam
vegetasi.Nilai penting didapatkan dengan menjumlahkan persentase Kerapatan Relatif dan
Frekuensi Relatif. Dengan persamaan sebagai berikut:
H′ ln
Keterangan :
H’ = indeks keanekaragaman jenis
pi = ni/N
ni = jumlah individu jenis ke i
N = jumlah semua individu
HASIL
1. Komposisi Tanaman Pekarangan Kota Padang
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang studi tanaman pekarangan
pada wilayah pinggir Kota Padang, ditemukan sebanyak 69 famili, 204 jenis dan 5660 individu.
Sedangkan untuk wilayah pusat Kota Padang, ditemukan 60 famili, 174 jenis dan 4081
individu.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 38
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 1. Famili utama tanaman pekarangan pada wilayah pinggir Kota Padang
Jumlah Persentase famili
Famili
Jenis Individu (%)
Euphorbiaceae 10 519 9.16
Araceae 22 511 9.02
Poaceae 6 420 7.42
Amaranthaceae 6 313 5.53
Liliaceae 4 312 5.51
Rutaceae 8 287 5.07
Zingiberaceae 4 260 4.59
Apocynaceae 7 244 4.31
Arecaceae 10 219 3.86
Asparagaceae 8 217 3.83
Tabel 2. Famili utama tanaman pekarangan pada wilayah pusat Kota Padang
Jumlah Persentase famili
Famili
Jenis Individu (%)
Poaceae 6 535 13.11
Apocynaceae 8 404 9.89
Euphorbiaceae 9 353 8.64
Rutaceae 5 326 7.98
Amarylidaceae 6 244 5.97
Araceae 20 219 5.36
Asparagaceae 9 201 4.92
Solanaceae 5 177 4.33
Liliaceae 4 176 4.31
Lyrtaceae 2 111 2.71
Tabel 4. Struktur tanaman pekarangan utama pada wilayah pusat Kota Padang
Spesies KR (%) FR (%) INP (%)
Tabernaemontana sp. 7.20 1.759 9.296
Euodia ridleyi Hochr. 7.15 1.759 9.247
Pennisetum purpureum Schumach. 7.84 0.586 8.538
Adenium obesum (Forssk.) Roem. & Thomson 1.71 2.639 4.854
Axonopus compressus (Sw.) P. Beauv. 3.60 0.733 4.474
Capsicum annum L. 3.43 0.586 4.128
Manihot uttilisima Pohl 2.35 1.319 3.922
Bougainvillea sp. 1.053 2.346 3.844
Dracaena surculosa Lindl 1.127 2.052 3.568
Cuphea hyssopifolia Kunth 2.69 0.733 3.567
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 39
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 5. Persentase jumlah tanaman pekarangan berdasarkan fungsi untuk wilayah pinggir
dan pusat Kota Padang
Jumlah Tanaman
No. Jenis %
Pinggir Kota Pusat Kota
1 Hias 121 117 62.96
2 Rempah 14 8 5.82
3 Industri 7 4 2.91
4 Buah 30 23 14.02
5 Sayur 14 9 6.08
6 Obat 18 13 8.2
Jumlah 204 174 99.99
Nb : Jenis yang sama memungkinkan berada pada masing-masing wilayah.
Tabel 6. Indeks keanekaragaman tanaman pekarangan pinggir dan pusat Kota Padang
No. Wilayah Indeks keanekaragaman (H’) Ket.
1. Pinggir kota 4,83 Tinggi
2. Pusat kota 4,69 Tinggi
Tabel 7. Indeks Kesamaan (IS) Jenis tanaman pekarangan pinggir dan pusat Kota Padang
No. Wilayah Total spesies Total spesies sama IS (%)
1. Pinggir kota 204
2. Pusat kota 174
Jumlah 378 144 76.19 %
PEMBAHASAN
1. Komposisi Tanaman Pekarangan Kota Padang
Pada wilayah pinggir kota Padang, untuk 54 pekarangan contoh ditemukan 69 famili
dengan jumlah jenis dan jumlah individu yang berbeda beda. Jumlah jenis yang lebih banyak
atau lebih sedikit akan berpengaruh pada persen famili dominan yang didapatkan setelah
dihitung keseluruhan dengan jumlah individu suatu jenis yang ditemukan. Famili Araceae
merupakan famili dengan jumlah jenis terbanyak di pekarangan pinggir kota Padang, terdapat
22 jenis dengan 511 individu.Tanaman yang termasuk jenis keladi-keladian ini paling sering
muncul di pekarangan, dimana beberapa diantaranya adalah Alocasia sanderiana, Anthurium
plowmanii, Dieffenbachia amoema, Aglaonema hybrid, Caladium bicolor dan Colocasia
esculenta. Suku Araceae atau di Indonesia menyebutnya dengan keladi-keladian atau talas-
talasan merupakan tumbuhan herba yang dikenal sebagai tanaman hias pekarangan, misalnya
marga Aglaonema dan Anthurium. Suku ini tergolong ke dalam suku dengan bunga majemuk
atau perbungaan yang terdiri atas seludang menyerupai jubah yang menyelubungi tongkol
berdaging didalamnya. Bunga sejati melekat pada bagian tongkol tersebut (Mayo et al., 1997;
Bown, 1988).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 40
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Famili lain yang ditemukan adalah Euphorbiaceae dan Arecaceae, dimana untuk
masing-masingnya memiliki 10 jenis tanaman. Jumlah jenis yang sama tidak berpengaruh pada
persentase famili untuk kedua famili ini karena jumlah individu yang jauh berbeda. Famili
Euphorbiaceae memiliki 519 individu sedangkan famili Arecaceae memiliki 219 individu
sehingga menjadikan famili Euphorbiaceae memiliki persentase famili lebih tinggi
dibandingkan famili Arecaceae. Adapun beberapa jenis yang didapatkan untuk famili
Euphorbiaceae adalah Codiaeum variegatum, Euphorbia milii, Euphorbia tirucalli,
Excoecaria cochinchinensis, Manihot utilissima dan Pedilanthus bracteatus. Famili
Euphorbiaceae dikenal memiliki kemampuan untuk beradaptasi diberbagai tipe daerah tropik
(Whitemore, 1984). Selain itu Riswan (1982) mengatakan famili Euphorbiaceae memiliki
kemampuan adaptasi relatif tinggi pada berbagai kondisi lingkungan.
Sedangkan untuk famili Arecaceae adalah Areca catechu, Cocos nucifera,
Chrysalidocarpus lutescens, Cyrtostachys renda, Elaeis guineensis dan Hyophorbe
lagenicaulis. Salah satu flora yang tumbuh subur dan dimanfaatkan oleh masyarakat adalah
famili Arecaceae. Famili Arecaceae merupakan suatu kelompok tumbuhan yang biasa disebut
palma atau palem yang tumbuh didaerah pesisir, namun demikian ada juga beberapa dari famili
Arecaceae ini yang tumbuh dihutan bebas. Jenis tumbuhan ini penggunaannya sangat luas, baik
untuk kerajinan tangan, obat-obatan maupun untuk kebutuhan sehari-hari (Nurmaliah dan
Restiani, 2011).
Selain terdapat beberapa famili yang ditemukan hampir disemua pekarangan contoh,
famili Agavaceae, Araucariaceae, Aspleniaceae, Basellaceae, Caricaceae, Casuarinaceae,
Cupreaceae, Clusiaceae, Combretaceae, Compositae, Convolvulaceae, Crassulaceae,
Cycadaceae, Equisetaceae, Gnetaceae, Hamamelidaceae, Heliconiaceae, Iridaceae, Lauraceae,
Marantaceae, Muntingiaceae, Musaceae, Oleaceae, Pandanaceae, Passifloraceae, Sapotaceae,
Saxifragaceae, Xanthorrhoeaceae, Thymelaeaceae dan Zamiaceae merupakan famili yang
hanya memiliki satu jenis tanaman untuk semua pekarangan contoh, dimana untuk keseluruhan
famili tersebut famili Cupreaceae dan Thymelaeaceae adalah famili dengan jumlah terendah
yaitu hanya memiliki satu jenis dan satu individu. Adapun jenisnya adalah Platycladus
orientalis untuk famili Cupreaceae dan Phaleria macrocarpa untuk Thymelaeaceae.
Famili dominan pada suatu vegetasi jika memiliki persentase > 20% dari total individu,
sedangkan jika persentase > 10% namun < 20% dinyatakan sebagai co-dominan (Johnston dan
Gillman, 1995). Merujuk pada penyataan tersebut, ditemukan bahwa hasil pengamatan
keseluruhan untuk pekarangan yang ada di pinggir kota yaitu tidak didapatkan famili dominan
ataupun family co-dominan. Pada wilayah pusat kota Padang, dari 36 pekarangan contoh
ditemukan 60 famili dengan total 174 jenis tanaman. Pekarangan yang umum ditemukan di
pusat kota adalah pekarangan dengan luas ±1/3 dari luas tanah keseluruhan, dimana sebagian
besar pekarangan terdapat di depan rumah. Tanaman yang umum ditemukan adalah tanaman
hias yang dijadikan sebagai pagar tanaman untuk mencegah air hujan langsung mengenai
dinding rumah seperti Tabernaemontana sp., Euodia ridleyi atau Neomarica longifolia,
tanaman keladi-keladian seperti Alocasia sanderiana, Aglaonema hybrid dan Dieffenbachia
sp. serta tanaman berkayu untuk pelindung rumah dari cahaya matahari seperti Mangifera
indica dan Casuarina equisetifolia.
Famili Poaceae ditemukan sebagai famili dengan jumlah individu terbanyak yaitu 535
individu yang dibagi dalam 6 jenis tanaman serta memiliki persentase famili sebesar 13.11%,
beberapa jenis diantaranya adalah Pennisetum purpureum, Zoysia japonica dan Axonopus
compressus. Famili Poaceae digunakan masyarakat pusat kota sebagai tanaman penutup tanah,
selain bentuknya yang minimalis, tanaman ini juga lebih mudah dalam segi perawatan.
Sedangkan untuk famili dengan jumlah individu terbanyak selanjutnya adalah famili
Apocynaceae, beberapa jenis diantaranya yaitu Adenium obesum, Tabernaemontana sp. dan
Wrightia antidysenterica. Namun untuk jenis tanaman, famili Araceae memiliki jumlah jenis
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 41
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
terbanyak yaitu 22 jenis yang selalu muncul di setiap pekarangan rumah. Bentuk dan warnanya
yang beragam serta tidak memerlukan perawatan ekstra menjadikan tanaman dari famili ini
banyak diminati.
Berdasarkan persentase famili yang didapatkan, famili Poaceae merupakan famili
dengan nilai persentase terbanyak. Sama halnya dengan pekarangan di pinggir kota, pada
pekarangan di pusat kota tidak ditemukan famili dominan. Namun famili Poaceae termasuk
dalam famili co-dominan jika merujuk pada pernyataan dari Johnston dan Gillman (1995)
dengan persentasi mencapai > 10%. Christanty (1990) juga menyatakan bahwa tipe dasar
pekarangan, baik sebagai pekarangan desa maupun pekarangan kota, dapat dikategorikan
berdasarkan tanaman yang dominan dan fungsi utama tanaman di pekarangan.
2. Struktur Tanaman Pekarangan Kota Padang
Pada wilayah pinggir Kota Padang ditemukan sebanyak 204 jenis yang terbagi menjadi
5660 individu. Berdasarkan jumlah, kerapatan dan frekuensi kemunculan jenis yang paling
banyak ditemukan adalah Cordyline fruticosa dengan indeks nilai penting 5.413 %. Jenis
Cordyline fruticosa merupakan tumbuhan perdu tegak yang memiliki sedikit atau jarang
bercabang. Tanaman ini merupakan sekelompok tumbuhan monokotil berbatang yang sering
dijumpai ditaman sebagai tanaman hias atau tumbuh liar di pagar, di pekuburan sebagai
tanaman hias. Tanaman Cordyline fruticosa berasal dari Asia Timur dan terdapat di dataran
rendah sampai 1.900 m di atas permukaan laut (Prahasti et al., 2014). Dari kesepuluh tanaman
utama yang memiliki indeks nilai penting tertinggi, 6 diantaranya adalah tanaman yang
dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari, baik untuk mencukupi kebutuhan
pangan ataupun sebagai sumber pendapatan tambahan keluarga, sedang 4 sisanya adalah
tanaman hias yang sering dijumpai di halaman depan rumah.
Pada wilayah pusat kota tanaman dengan indeks nilai penting tertinggi adalah
Tabernaemontana sp. dengan nilai 9,296 %. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman hias
yang sering ditemukan di pekarangan rumah di Kota Padang, memiliki bunga kecil berwarna
putih dan sering digunakan sebagai tadah hujan di depan pagar. Di tempat kedua adalah Euodia
ridleyi atau lebih dikenal dengan kuning kribo atau brokoli kuning dengan nilai 9,247 %,
memiliki fungsi yang sama seperti Tabernaemontana sp. sehingga cukup sering di temukan di
pekarangan rumah. Penduduk Indonesia yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan berada di
sekitar kawasan hutan, umumnya memiliki pengalaman hidup dalam mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya alam. Desa memiliki potensi lahan yang cukup besar dibandingkan
dengan daerah perkotaan (Affandi, 2002). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jenis tanaman
serta keanekaragaman fungsi tanaman dalam masyarakat pedesaan dibandingkan masyarakat
perkotaan.
Berdasarkan hasil penelitian Dharma (2008), ditemukan untuk jenis tanaman
sebagaimana fungsinya di masyarakat, hasil penelitian tersebut menyatakan tanaman hias
ditemukan lebih banyak dari tanaman jenis lainnya, kemudian disusul oleh tanaman buah dan
tanaman obat. Berdasarkan jumlah jenis tanaman yang ditemukan pada penelitian ini, tanaman
hias jauh lebih banyak dari penelitian sebelumnya yaitu 238 jenis untuk kedua wilayah, sedang
pada penelitian sebelumnya hanya berjumlah 76 jenis. Serupa juga dengan hasil penelitian dari
Qomarudin (2012), tentang identifikasi dan inventarisasi tanaman pekarangan rumah penduduk
di Kecamatan Pacitan dan Laren, Kabupaten Lamongan Jawa Timur, didapatkan hasil untuk
wilayah pinggir atau hulu yang tidak berbeda jauh dari wilayah yang dekat dengan pantai,
dimana tanaman hias lebih unggul dalam jumlah, kemudian diikuti oleh jumlah tanaman buah
dan tanaman obat.
Hal ini dapat menggambarkan bahwa pekarangan yang ada di pinggir kota cenderung
memilih tanaman hias sebagai tanaman penutup lahan, ini dilihat dari jumlah tanaman yang
didapatkan pada masing-masing wilayah. Pada setiap jenisnya, tanaman yang terdapat di
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 42
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
pinggir kota lebih banyak dari tanaman di pusat kota. Semakin ke hulu, rasio jumlah spesies
tanaman hias semakin tinggi. Akan tetapi berdasarkan jumlah individu tanaman, rasio jumlah
individu tanaman hias di tengah lebih besar daripada di hulu maupun di hilir. Iklim yang sejuk
di hulu dan tengah sesuai untuk pertumbuhan tanaman hias. Jumlah individu tanaman hias per
pekarangan yang besar di daerah tengah disebabkan rata-rata luas pekarangan di tengah lebih
besar daripada hulu. Di hilir, meskipun rata-rata luas pekarangannya lebih besar daripada di
tengah, tetapi iklimnya lebih sesuai untuk pertumbuhan tanaman keras, buah-buahan dan lain-
lainnya (Arifin, 2003).
3. Indeks Keanekaragaman Jenis
Tingkat keanekaragaman tumbuhan untuk kedua wilayah pusat dan pinggir kota
Padang tergolong tinggi, dimana untuk kedua wilayah memiliki indeks keanekaragaman jenis>
3. Pada wilayah pinggir Kota Padang H’ yang didapatkan adalah 4,83, sedangkan untuk pusat
Kota Padang adalah 4,69. Hasil dikatakan demikian setelah disesuaikan dengan pernyataan
Shannon and Weaver (1949); Southwood dan Henderson (2000), dimana jika semakin besar
nilai H’ maka akan menunjukkan tingginya nilai keanekaragaman jenis. Besarnya nilai
keanekaragaman jenis dikategorikan menjadi 3 yaitu apabila H’ besar dari 3 maka
keanekaragaman tinggi. Jika H’ besar dari 1 namun kecil atau sama dengan 3 maka
keanekaragaman sedang dan apabila H’ kecil dari 1 maka keanekaragaman rendah.
Indriyanto (2006), menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan memiliki
keanekaragaman jenis yang rendah jika komunitas tersebut disusun oleh sedikit jenis dan jika
hanya ada sedikit saja jenis yang dominan, sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki
keanekaragaman yang tinggi dimana komunitas tersebut disusun oleh banyak jenis. Selain itu
indeks keanekaragaman dapat diartikan sebagai suatu penggambaran secara sistematik yang
melukiskan struktur komunitas dan dapat memudahkan proses analisa informasi-informasi
mengenai macam dan jumlah organisme. Keanekaragaman dan kesamaan sangat tergantung
pada banyaknya jenis dalam komunitasnya. Semakin banyak jenis yang ditemukan maka
keanekaragaman akan semakin besar, meskipun nilai ini sangat tergantung dari jumlah individu
masing-masing jenis (Wilhm dan Doris, 1986). Pendapat ini juga didukung oleh Krebs (1985),
yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah anggota individunya dan merata, maka indeks
keanekaragaman juga akan semakin besar.
Pemanfaatan lahan pekarangan untuk ditanami berbagai jenis tumbuhan perlu terus
digalakkan agar keanekaragaman hayati pada lahan pemukiman tetap tinggi dan produksi
pertanian dapat dipertahankan atau menaikkan daya dukung lingkungan melalui penghijauan
dalam sistem pekarangan. Penghijauan pekarangan ini dapat dicapai dengan menaikkan
keanekaragaman tanaman yang sekaligus berguna untuk konservasi sumber daya alam dan
lingkungan, sehingga pekarangan mempunyai fungsi ganda yaitu integrasi dari fungsi alam
hutan dengan fungsi pemenuhan kebutuhan sosial, budaya, dan ekonomi. Fungsi tersebut
meliputi fungsi hidrologi, pencagaran sumberdaya genetik, efek iklim mikro, sosial, produksi,
dan estetika(Soemarwoto, 1989; Christanty, 1990).
4. Indeks Kesamaan Jenis
Total jenis yang ditemukan pada wilayah pinggir dan pusat kota Padang adalah 378
jenis, dimana setelah dibandingkan terdapat 144 diantaranya adalah jenis yang sama. Sehingga
setelah dilakukan penghitungan dengan menggunakan rumus indeks kesamaan jenis Sorensen
maka didapatkan 76.19 % kesamaan untuk kedua wilayah. Nilai ini menunjukkan bahwa
tingkat kesamaan antara kedua wilayah cukup tinggi. Hal tersebut dapat terjadi karena
perbedaan kondisi lingkungan dan jarak lokasi yang tidak begitu jauh, sehingga penyebaran
jenis tanaman dapat terjadi dengan mudah, namun untuk famili dan jenis yang sering
ditemukan untuk masing-masing wilayah cukup memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini
didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Whitten (1987), yang melaporkan bahwa
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 43
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
vegetasi alami yang tumbuh di daerah tertentu bergantung pada berbagai faktor seperti, kimia
tanah, air tanah, iklim, tinggi di atas permukaan laut, jarak dari laut, dan jarak dari daerah yang
mempunyai kondisi serupa. Menurut Poerwanto (2000), pemanfaatan lahan tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan biofisik semata, melainkan pula oleh faktor sosial budaya.
Indeks kesamaan merupakan komposisi setiap individu pada suatu spesies yang
terdapat dalam suatu komunitas, serta pendugaan yang baik untuk menentukan dominansi
dalam suatu area. Levinton (1982), menyatakan apabila satu atau beberapa jenis melimpah dari
yang lainnya, maka indeks kesamaan akan rendah. Kemudian Jonathan (1979) juga
menambahkan bahwa jika nilai indeks kesamaan melebihi 75% mengindikasikan derajat
kesamaan komunitasnya tinggi.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dari Studi Tanaman Pekarangan pada Kawasan Pinggir
dan Pusat Kota Padang, maka dapat disimpulkan komposisi jenis tanaman pada wilayah pinggir
Kota Padang ditemukan sebanyak 69 famili, 204 jenis dan 5660 individu, sedangkan pada
wilayah pusat Kota Padang, ditemukan sebanyak 60 famili, 174 jenis dan 4081 individu. Famili
yang sering muncul di wilayah pinggir kota adalah Euphorbiaceae dan Araceae, sedang untuk
wilayah pusat kota adalah Poaceae dan Apocynaceae. Pada wilayah pinggir kota, jenis yang
memiliki indeks nilai penting tertinggi adalah Cordyline fruticosa (5.413%) dan Manihot
uttilisima (5.072%), sedang untuk wilayah pusat kota adalah Tabernaemontana sp. (9.296%)
dan Euodia ridleyi (9.247%). Indeks keanekaragaman tergolong tinggi yaitu 4,83 untuk
wilayah pinggir dan 4,69 untuk wilayah kota. Indeks kesamaan untuk kedua wilayah memiliki
persentase 76.19%.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, R., Rahmawaty, D. Budiati, T. J.Said, 2013. Sistem Pertanian Terpadu Di Lahan
Pekarangan Mendukung Ketahanan Pangan Berkelanjutan Dan Berwawasan
Lingkungan. Jurnal online Pertanian Tropik Pasca Sarjana FP USU Vol.1, No.1. Juni
2013
Affandi, O. 2002. Home garden : sebagai salah satu sistem agroforestry lokal : Studi Kasus di
Daerah Krui, Lampung. Medan: Draft Journal Penelitian Fakultas Pertanian Universitas
Islam Sumatera Utara (UISU).
Alimandan. 1995. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. C.V. Rajawali. Jakarta
Arifin, H. S., M. A. Sardjono, L. Sundawati, T. Djogo, G. A. Wattimena, & Widianto. 2003.
Bahan Latihan: Agroforestri di Indonesia. Agroforestri Kompleks: Pola Dan Struktur
Pekarangan Pedesaan Di Kawasan Das Cianjur, Jawa Barat. Bogor: World
Agroforestry Center (ICRAF).
BPS Kota Padang. 2014. E-book : Padang Dalam Angka 2014. BPS Kota Padang. Padang
Christanty, L. 1990. Home gardens in tropical Asia, with special referenceto Indonesia. In
Landauer, K. and M. Brazil (eds.). Tropical Home Gardens. Tokyo: United Nations
University Press.
Dharma, Y. 2008. Studi Tanaman Pekarangan di Kota Padang. Skripsi. Padang: Universitas
Andalas.
Dintje, F. P., Arrijani. 2003. Keanekaragaman Tnaman Pekarangan di Kota Tomohon,
Sulawesi Utara. Jurnal Pascasarjana institut Pertanian Bogor. BioSMART. Vol. 6. No.
1. April 2004.
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara.
Johnston, M. Gillman. 1995. Tree population Studies in low diversity forest, Guyana. I.
Floristic Composition and Stand Structure. Biodiversity and Conservation 4; 339 – 362.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 44
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Jonathan, L.R. 1979. Dimensions of Ecology. NewYork: Oxford University Press.
Krebs, C.J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distributions and Abundance. Ed.
New York: Harper and Row Publishers
Levinton, J. S. 1982. Marine Biology. New Jersey. USA: Prentice Hall Inc.
Mayo, J. S., J. Bogner and P. C. Boyce. (1997). The Genera of Araceae. Belgium: The
European Union:Continental Printing.
Michael, P. 1986. Ecological Methods for Field and Laboratory Investigation. New Delhi: Tata
Mc. Graw-Hill Publishing Limited.
Nurmaliah, C.& I. Restiani. 2011. Etnobotani Family Arecaceae Kabupaten Aceh Barat Daya.
Prosiding Seminar Nasional Biologi : Meningkatkan Peran Biologi dalam Mewujudkan
National Achievement with Global Reach. Medan: USU Press.
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaandan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Prahasti E. A., Tukiran, Suyatno, dan N. Hidayati. 2014. Eksplorasi Tumbuhan Obat di Desa
Lebani Waras Kecamatan Wringinanom Kabupaten Gresik. Prosiding Seminar
Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3. Surabaya: Universitas Negri Surabaya.
Qomarudin, M. 2012. Identifikasi dan Inventarisasi Tanaman Pekarangan Rumah Penduduk di
Kecamatan Paciran dan Laren, Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Skripsi. Bogor:IPB.
Rina, D. N. 2012. Komposisi DAN Struktur Tanaman Pekarangan Dataran Tinggi di Nagari
Alahan Panjang Kabupaten Solok. Skripsi. Padang: Universitas Andalas.
Riswan, S. 1982. Ecological Studies In Primary, Secondary and Experimentally Cleared Mixed
Forest Depterocarp Forest and Kerangas Foret In East Kalimantan Indonesia. Tesis.
Aberdeen: University of Aberdeen.
Shannon, C.E. and W. Weaver. 1949. The Mathematical Theory of Communication. Urbana.
Urbana: University of Illinois Press.
Soemarwoto, O. 1989. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Bandung: Djambatan.
Southwood, T.R.E. and P.A. Henderson. 2000. Ecological Methods (3rd Edition). Oxford:
Blackwell Science.
Sunu, P dan Wartoyo. 2006. Buku Ajar Dasar Holtikultura. Surakarta: Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret.
Whitmore, T. C. 1984. Tropical Rain Forest of the Far East. 2ndEdition. Oxford: Oxford
Univercity Press.
Whitten, A.J., M. Mustafa, dan G.S. Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University.
Wilhm, J.L., and T.C. Doris. 1986. Biologycal Parameter for water quality Criteria. Bio.
Science: 18.
Winardi. 2013. Profil Pertanian Terpadu Lahan Pekarangan Di Kota Padang: Tinjauan
Budidaya Pertanian. Jurnal online Pertanian Tropik Pasca Sarjana FP USU. Vol.1,
No.1. Juni 2013.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 45
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
RAGAM KELAPA (Cocos nucifera L., Familia Arecaceae) DI
NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG
ABSTRAK
Eksplorasi tanaman kelapa di beberapa desa wilayah pulau Nusa Penida kabupaten
Klungkung telah dilakukan pada bulan September 2014, bertujuan untuk mengetahui ada
berapa ragam kelapa di Nusa Penida. Penelitian dilakukan dengan wawancara dan observasi
karakter morfologi dari masing-masing ragam. Berdasar karakter batang, daun, bunga dan buah
di Nusa Penida ditemukan 22 ragam kelapa, terdiridari 18 ragam kelapa : Gadang, Gading,
Coklat, Barak, Bojog, Bulan, Tuwet, Rangda, Bingin, Surya, Udang, Mulung, Buta, Batu,
Kacek, Matepat, Be Julit, dan kelapa Sudamala semua memiliki karangan bunga tongkol
majemuk (spadix) tergolong dalam varietas kelapa Dalam (Cocos nucifera L. var. typica). Satu
ragam kelapa Bluluk dengan karangan bunga bulir (spicata) termasuk dalam varietas spicata
(Cocos nucifera L. var. spicata), dan 3 ragam kelapa tidak memiliki bole, dengan bunga spadix
termasuk dalam varietas kelapa genjah (Cocos nucifera L. var. nana) yaitu genjah Gadang,
Gading dan genjah Bulan.
ABSTRACT
The exploration of coconut in Nusa Penida island of Klungkung regency was conducted
on September 2014. This research aimed to determine coconut variance in Nusa Penida. The
data was collected by interviewing the community at Nusa Penida to identify the name and the
specific characters of the coconuts they knew, and field observations to identify the
morphology characters. Based on the characters of trunk, leaf, fruit and flower, 22 variances
were found from the coconut plans in Nusa Penida Island. Eighteen coconut plans formed
spadix inflorescentia i.e: Gadang, Gading, Coklat, Barak, Tuwet, Rangda, Surya, Udang,
Mulung, Bulan, Bingin, Buta, Batu, Kacek, Matepat, Be Julit, Bojogand Sudamale coconuts,
which belongs to tall coconut (Cocos nucifera L. var. typica ). Inflorescentia spicata character
was indentified on tall type of Bluluk coconuts (Cocos nucifera L. var. spicata). The third type
of varieties was belong to dwarf coconuts (Cocos nucifera L. var. nana) namely: genjah
gadang, genjah gading, and genjah bulan.
Key word: exsploration, coconut varieties, tall coconut, dwarf coconut, Spicata
PENDAHULUAN
Keunikan dan keistimewaan kondisi alam Bali merupakan hasil perpaduan harmonis
antara gunung, perbukitan, daratan, lintasan sungai, lintasan air pegunungan, serta landskap
pantai dengan bentangan lautnya yang memberikan sentuhan keindahan yang menjadi daya
tarik dan apresiasi wisatawan (Pemerintah Provinsi Bali, 2010). Kecamatan Nusa Penida
merupakan salah satu obyek wisata di Kabupaten Klungkung, yang memiliki keanekaragaman
hayati laut yang tinggi. Wilayah ini termasuk dalam segitiga terumbu karang dunia (the global
coral triangle) yang saat ini menjadi prioritas dunia untuk dilestarikan. Kecamatan ini memiliki
luas sekitar 20.300 hektar yang terdiri dari 3 pulau utama yaitu Nusa Penida, Nusa Ceningan
dan Nusa Lembongan. (SK Menteri Kelautan dan Perikanan No 24 Tahun 2014). Dari enam
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 46
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
belas obyek wisata di kecamatan Nusa Penida empat belas diantaranya merupakan obyek
wisata pantai dan laut (Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung, 2005).
Mayoritas masyarakat Nusa Penida adalah suku Bali beragama Hindu, sehingga untuk
kegiatan keagamaannya memerlukan bahan upakara (banten) dari tumbuhan, hewan maupun
mineral. Salah satu bahan upakara yang selalu diperlukan adalah kelapa, baik daun muda
(busung = bahasa Bali), daun tua (slepan = bahasa Bali), maupun buahnya (tua = nyuh, sangat
muda = bungkak). Menurut hasil penelitian Kriswiyanti (2013, 2014) ditemukan 26 ragam
tanaman kelapa di Bali, 11 ragam digunakan sebagai bahan upakara Padudusan Alit dan
Padudusan Agung. Bedasar hal diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada
berapa ragam kelapa (Cocos nucifera L., Familia Arecaceae) di pulau Nusa Penida
Berdasar warna mesokarpiumnya yaitu bagian antara kulit buah hingga tempurung atau calon
serabut kelapa berwarna merah ditemukan 2 ragam kelapa:
7. Kelapa, Udang, mesokarpium warna merah, kulit buah warna coklat, mahkota
daun bulat dan setengah bulat.
8. Kelapa Mulung, tanaman kelapa ini memiliki cirri khas pada mesokarpium
berwarna merah, kulit buah warna hijau.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 47
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Nama ragam kelapa berdasar jumlah dan ada/tidaknya mata pada endokarpiumnya:
12. Kelapa Buta yaitu tanaman kelapa yang tidak memiliki mata pada endocarpi-
umnya, umumnya kelapa memiliki 3 mata pada endokarpiumnya.
13. Kelapa Kacek : tanaman kelapa memiliki 2 mata pada endocarpiumnya.
14. Kelapa Matepat : tanaman kelapa memiliki 4 mata pada endocarpiumnya.
Karakter keunikannya pada bagian lain:
15. Kelapa Batu : tanaman kelapa memiliki buah dengan endosperm padat saja, tidak
memiliki endosperm cair (air kelapa).
16. Kelapa Be Julit, cirri khas dari tanaman kelapa ini pada anak daun yang masih
Muda saling berlekatan satu sama lain sehingga seperti ekor ikan Julit.
17. Kelapa Surya : karakteristik ragam kelapa ini padaa warna kulit buah dan ujung-
ujung daun kuning kemerahan.
18. Kelapa Sudamala : cirri unik kelapa ini ada beberapa; sludang 2 (double), daun
ada totol-totol putih dan beberapa spikelet bunga jantan mereduksi seperti bentuk
kipas. Satu ragam kelapa memiliki karakter karangan bunga berbeda dengan
ragam lain yaitu karangan bunga bukan tongkol majemuk (spadix) tetapi bulir
(spicata) : ragam
19. Kelapa Bluluk : tanaman kelapa ini memiliki bole, mahkota daun bulat, bakal
buah banyak lebih dari 50 biji, bunga spikelet jantan mereduksi, warna kulit buah
hijau. Tiga ragam tanaman kelapa dengan pohon pendek, cepat berbuah, buah
lebih banyak daripada kelapa dalam, rata-rata lebih dari 10 biji, tidak mempunyai
bole, ditemukan 3 ragam dibedakan berdasar warna kulit buah yaitu;
20. Kelapa Genjah Gadang : warna kulit buah hijau
21. Kelapa Genjah Gading : warna kulit buah kuning kemerahan
22. Kelapa Genjah Bulan : warna kulit buah putih
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian ini didapatkan kelompok tanaman kelapa yang memiliki bole dan
tidak memiliki bole dengan karangan bunga tongkol (spadix) serta 1 ragam kelapa dengan bole
dan karangan bunga bulir (spicata). Menurut Harries (2010) tanaman kelapa semula tanaman
kelapa hanya dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kelapa Dalam (Tall coconut) dan kelapa
Genjah (Dwarf coconut). Kelapa Dalam dibedakan menjadi 3 varietas yaitu : typica (berdasar
ukuran dan volume air kelapa ada 9 forma), androgyna dan spicata. Kelapa Genjah ada 2
varietas yaitu nana (2 forma) dan javanica. Kemudian dari 5 varietas mereduksi menjadi 3
varietas, karena varietas typica, androgena dan spicata dikelompokan menjadi satu varietas
typica (Cocos nucifera L.var. typica). Kelapa Genjah satu varietas nana (Cocos nucifera L.var.
nana) dan varietas javaniva hasil silang antar varietas disebut kelapa Semi-Dalam atau kelapa
Hibrida satu varietas (Cocos nucifera L.var. aurantiaca).
Kelapa Bluluk memiliki keistimewaan pada karangan bunganya berbentuk bulir
(spicata) bukan tongkol majemuk (spadix), spikelet dari bunga jantan mereduksi, di Nusa
Penida ditemukan ada 3 individu dengan bakal buah pada karangan bunga betina ± 50 buah.
Hasil penelitian Kriswiyanti 2014 di pulau Bali didapatkan 10 individu kelapa Bluluk dengan
bunga betina berjumlah banyak 55-156, berdasar analisis DNA mikrosatelit (Kriswiyanti, et.al,
2013) menunjukkan bahwa dendogram ragam kelapa ini terpisah dengan varietas kelapa genjah
dan kelapa dalam. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Perera, et al. (2008)
menunjukkan bahwa secara genetik kelapa spicata tall berbeda dengan kelapa Dalam
umumnya, karena terjadi mutasi pada jumlah kromosom 2n=18-24, aneuploid, sedangkan
kelapa Dalam pada umumnya memiliki kromosom 2n=32 (n=16). Menurut Novarianto, et al.
(2005) kelapa di atas telah dikoleksi di perkebunan Mapanget yang berasal dari Halmahera
sebanyak 4 individu yang disebut Spicata Tall”. Didunia tanaman kelapa Bluluk ditemukan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 48
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
juga di Philippina, India dan Samoa, merupakan kelapa Dalam dan Genjah (Bourdeix and
Martinez, 2012).
Berdasarkan warna kulit buahnya ragam kelapa di Nusa Penida ditemukan 6 ragam
kelapa yaitu kelapa Gadang (kulit buah hijau), Gading (kuning kemerahan), Bulan, Barak,
Coklat dan Bojog. Menurut Yuzammi (2012) berdasarkan warna kulit buahnya pada kelapa
dalam dibedakan kultivar kelapa hijau (viridis), merah (rubescens) dan kelapa yang buahnya
besar (marcocarpa). Sedang pada kelapa Genjah dapat dibedakan Genjah Gading (ebunea),
raja/buah banyak (regia), jingga (prefiosa), dan Genjah Puyuh hijau (pumila).
Ragam kelapa di Nusa Penida ada 22, lima ragam diantaranya belum ditemukan di
pulau Bali yaitu kelapa Buta, Batu, Kacek, Matepat (gambar 2) dan kelapa Tuwet. Berdasarkan
ada/tidak dan jumlah mata (lubang bekas saluran makanan dari induk ke dalam biji untuk
perkembangan embrio) pada endokarpium yang pada umumnya ada 3 mata. Menurut Foster
and Gifford (1974) pada 1 buah kelapa berasal dari 3 daun buah (carpell) berlekatan, masing-
masing dengan 1 bakal biji dengan 1 mata. Mata pada endokarpium tersebut setelah biji tua
berfungsi sebagai saluraan perkecambahan. Sedangkan menurut Bourdeix dan Konnan (2011)
berdasar bentuk dan ukuran 3 mata pada endokarpium ada beberapa tipe. Namun belum ada
yang melaporkan adanya kelapa tanpa mata atau ada matanya berjumlaah kurang atau lebih
dari 3, seperti yang telah ditemukan di pulau Nusa Penida.
Pada kelapa Tuwet terjadinya mungkin sama dengan kelapa Rangda, pada kelapa Tuwet
ibu tangkai buah tidak gugur sedang pada kelapa Rangda memiliki ibu tangkai daun yang tidak
gugur sehingga daun yang tua bertumpuk memeluk batang. Hal tersebut, mungkin disebabkaan
oleh adanya jaringan serat yang tersusun kuat. Seperti hasil penelusuran yang telah dilakukan
oleh Puspa et al. (2013) pada pengamatan serat ibu tangkai daun kelapa Rangda yang terpuntir
menunjukkan sel-sel serat terjadi banyak torsi (puntiran) 71-81% dibandingkan dengan serat
ibu tangkai daun kelapa lainnya yang tidak terpuntir.
Kelapa Sudamala dari pulau Bali memiliki banyak keunikan antara lain sludang 2 buah
besar, percabangan bunga ganda, spikelet bunga jantan beberapa mereduksi sehingga
bentuknya menjadi pipih seperti kipas. Ujung daun muda berlekatan dan berbentuk seperti kait
(bahasa Bali sangket = kait) namun jika sudah dewasa menjadi lurus (Kriswiyanti, 2013). Daun
sangket tidak ditemukan pada kelapa Sudamala dari Nusa Penida, tetapi pada daunnya
ditemukan totol-totol putih seperti daun kelapa Sudamala yang ditemukan Sumerta dan
Kriswiyanti, (2015) di Ngis Karangasem. Varietas kelapa yang tidak memiliki bole adalah
kelapa Genjah di pulau Bali ditemukan 4 ragam sedang di Nusa Penida hanya titemukan 3
ragam karena tidak ditemukan ragam Genjah Coklat.
SIMPULAN
Di Nusa Penida ditemukan 22 ragam kelapa tergolong dalam 3 varietas yaitu varietas
kelapa Dalam (Cocos nucifera L. var. typical) ada 18 ragam, 1 ragam kelapa berbunga bulir
(Cocos nucifera L. var. spicata) dan 3 ragam termasuk varietas kelapa genjah (Cocos nucifera
L. var. nana).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 49
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
A B C
Gambar 1. A.Karangan Bunga Tongkol Majemuk (spadix) dan BC. Bulir (spicata)
A B C D
Gambar 2. Ragam Kelapa: Buta (A), Kacek (B), Biasa/umum (C), Matepat (D)
DAFTAR PUSTAKA
Bourdeix, Y.R. and Martinez, D (2012). Variety, Cultivar. Population and Accession ? FAQ.
[Cited 2012 august 14] Available from http://www. congentnetwork.org/index.php/
faq/141-faq-accession-cultivar
Bourdeix, Y.R. and Konan, K. 2011. New Coconut Discriptors. (cited 2012 august 14)
Available from http://www congentnetwork.org/index.php/research-ideas/new-
coconut.
Foster, A.S. and Gifford, E.M. 1974. Comparative Morphology of Vascular Plants. Second
Edition. W.H. Freeman and Company San Francisco.
Harries, H., 2010. The Evolution, Dessimination and Classification of Cocos nucifera L.
Coconut Industry Board, Kingston, Jamaic
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 24 Tahun 2014. Kawasan Konservasi Perairan
Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan
Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan
Perikanan
Kriswiyanti, E, 2013. Keanekaragaman Karakter Tanaman Kelapa (Cocos nucifera L. ) yang
digunakan sebagai Bahan Upacara Padudusan Agung, Jurnal Biologi XVII (1) 2013:15-
19
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 50
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Kriswiyanti, E., I Gede Rai Maya Temaja, I Made Sudana, and I Gusti Ngurah Alit Susanta
Wirya. 2013. Genetic Variation of Coconut Tall (Cocos nucifera L., Arecaceae) in Bali,
Indonesia Based on Microsatellite DNA. Journal of Biology Agriculture and Healthcare
3 (13) 2013 : 97-101
Kriswiyanti, E. Karakteristik Ragam Kelapa di Bali Berdasarkan Kajian,Morfologi, Anatomi
dan Molekuler. Desertasi Pascasarjana Universitas Udayana
Novarianto, H., Akuba, R.H., Mashud, Tenda, E. and Kumaunang, J. 2005. Status of Coconut
Genetic Resources Research in Indonesia. In Coconut Genetic Resources. Batugal. P.
Ramanatha Rao. V. and Oliver,.J (eds). IPGRI-APO, Serdang, Selangor DE, Malaysia.
p. 608-617.
Pastika, Made Mangku. 2010. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Propinsi Bali Tahun
2010. Pemerintah Propinsi Bali.
Pemerintah Kabupaten Klungkung, 2005. Peraturan Daerah. Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Klungkung Tahun 2005-2025.
Perera, P.I.P., Wickremasinghe LP. and Fernando, W.M.U.2008. Morphological. Cytogenetic
and Genotypic Differences Between Spicata and Ordinary Tall Coconut (Cocos
nucifera L.) Natn.Sci.Foundation Sri Lanka, 36 (I): 103-108
Puspawati, N M, Kriswiyanti ,E., Junitha, IK. 2013, Profil Struktur Serat Ibu Tangkai Daun
Antara Induk Dan Anakan Kelapa (Cocos nucifera L “Rangda”). Jurnal Simbiosis 1 (1)
2013: 70-78
Sumerta, dan Eniek Kriswiyanti. 2015. Karakterisasi dan Distribusi Nyuh Madan di Kecamatan
Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali Simbiosis II (1): 122- 134 ISSN: 2337-7224
Jurusan Biologi FMIPA Unud,
Yuzammi; JR Witono, S Hidayat; T Handayani, Sugiarti, S Murdawati; T Triono; I Pudjiastuti
; Sudarmono dan H Wawangningrum. 20 . Ensiklopedia Flora. PT Kharisma Ilmu.117-
118
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 51
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENGGUNAAN BA, KINETIN DAN THIDIAZURON DALAM
PEMBENTUKAN TUNAS KULIM (Scorodocarpus borneensis Becc.)
ABSTRAK
Kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) adalah salah satu tanaman hutan yang
mempunyai multifungsi. Perbanyakan tunas kulim dari eksplan batang satu buku asal seedling
dan pohon induk tua sudah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metoda
perbanyakan tunas terbaik secara in vitro. Batang satu buku yang berasal dari seedling dan
pohon induk tua dijadikan sebagai eksplan. Modifikasi media dasar Murashige dan Skoog (MS)
yang ditambah dengan 8 gr/l agar, 30 gr/l sukrosa, 0,1 mg/l Thyamine, 0,5 mg/l Nicotinic acid,
0,5 mg/l Pyridoxine dan 2 mg/l Glysin dijadikan sebagai media tumbuh. Induksi tunas
dilakukan pada medium MS yang ditambah dengan 0,5 mg/l – 1,0 mg/l BA. Pengamatan
dilakukan terhadap persentase tumbuh tunas, jumlah tunas, tinggi tunas dan visual biakan yang
dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan 0,75 mg/l BA merupakan
perlakuan terbaik untuk induksi tunas dari eksplan batang satu buku asal setek tanaman induk
tua dan seedling. Persentase tunas yang terbentuk dari perlakuan ini adalah 33,33 % dan 80 %.
Rata-rata jumlah tunas terbentuk dari kedua perlakuan tersebut adalah 0,2 dan 0,8 tunas per
eksplan. Rata-rata tinggi tunas yang terbentuk adalah 6,8 cm. Tunas yang dihasilkan
mempunyai penampilan visual normal.
ABSTRACT
Kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) is one of forestry tree that have multi
function. Shoot multiplication of kulim from single node stem explants from mature tree and
from seedling was conducted. The objective of this study is to obtain of the best method for
shoot multiplication through in vitro culture. Single node stem derived mature tree and seedling
were used as explants. The modification of Murashige and Skoog (MS) basal medium with
supplemented with 8 g/l agar, 30 gr/l sucrose and vitamin B was used as growth medium. Shoot
induction conducted on MS medium supplemented with 0,5 – 1,5 mg/l BA. The observation
was conducted on shoot growth percentage, shoot number, shoot height and visual performance
of culture. Result showed that the treatment of 0,75 mg/l BA was the best treatment for shoot
induction from single node explant from mature tree and seedling. The percentage of shoot
from those treatment are 33,3 % and 80 %. The average of shoot from those treatment are 0,2
and 0,8 shoot per explants. The average of shoot obtained is 6,8 cm. The visual performance
of shoot is normal.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 52
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN
Kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) merupakan salah satu jenis dari famili
Oleaceae. Di Indonesia jenis ini tumbuh terbatas dan tersebar hanya di hutan pulau Sumatera
dan Kalimantan. Tumbuh di tanah kering dan di dataran rendah sampai ketinggian 300 meter
diatas permukaan laut dan tidak pernah ditemukan di rawa-rawa. Kulim merupakan tanaman yang
mempunyai fungsi ganda. Kayunya dapat digunakan untuk berbagai keperluan antara lain untuk
bahan bangunan, kayu tiang, jembatan, papan dan lantai (Martawijaya et al., 1989) dan untuk
bahan baku industri kapal terutama untuk bagian dinding/palka dan tiang as (Anonim, 1986).
Tanaman ini juga dikenal dengan nama kayu bawang karena kayunya mempunyai bau yang
khas seperti bau bawang. Menurut Kubota dan Kabayashi (1994) bau bawang ini disebabkan adanya
kandungan sulfur yang terdapat didalamnya. Buah kulim digunakan sebagai pengganti bawang
putih oleh masyarakat setempat dan juga digunakan sebagai obat cacing. Wiart (2001) melaporkan
bahwa biji kulim mempunyai kandungan anti mikroba dan zat yang bersifat sitotoksik. Daunnya
digunakan untuk sayuran. Sejak tahun 1994 jenis ini sudah dimasukkan ke dalam kategori
keterancaman populasi biota (iucn, 1994) dan terdaftar sebagai salah satu dari 200 jenis
tumbuhan langka indonesia (Mogea dkk., 2001).
Eksploitasi tanaman kulim yang berlangsung secara terus menerus tanpa diikuti dengan
regenerasinya mengakibatkan sebagian besar populasi menjadi rusak dan mengalami
kelangkaan. Apabila hal ini tidak diantisipasi dari sekarang, jenis ini akan punah di populasi
alamnya. Heriyanto dan Gersetiasih (2004) melaporkan bahwa ancaman terhadap kelestarian kayu kulim
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor manusia, hama serta faktor fisiologis tanaman kulim itu
sendiri. Faktor manusia antara lain adalah eksploitasi yang berlebihan, baik legal maupun ilegal
yang didorong oleh harga kayu yang tinggi dan mudah dijual, konversi lahan hutan untuk
perkebunan terutama kelapa sawit, pemanfaatan buah kulim untuk obat cacing serta
pemanfaatan kulit kayu kulim untuk bumbu masak pengganti bawang oleh masyarakat
setempat. Faktor hama antara lain beberapa jenis hewan seperti babi hutan (Sus scrofa), kijang
(Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), bajing (Lariscus sp.), dan landak (Hystrix
brachyura) yang memakan buah kulim yang jatuh ke lantai hutan sehingga menghambat
regenerasi secara alami.Ismail (2000) menyatakan bahwa buah kulim yang jatuh dari pohon
induk banyak dimakan oleh satwa liar seperti bajing, babi hutan, kijang dan binatang lainnya
sehingga permudaan di populasi alamnya sulit ditemui. Selanjutnya Sosef et al, (1988) juga
melaporkan bahwa populasi kulim yang bereproduksi sangat sedikit. Adapun faktor fisiologis
dari tumbuhan kulim yang menyebabkan semakin berkurangnya populasi adalah sifatnya yang
lambat tumbuh dan berbuah sekali dalam setahun.
Tanaman kulim diperbanyak secara generatif dengan menggunakan biji tetapi buahnya
jarang dilaporkan. Perbanyakan tanaman secara vegetatif baik secara makro maupun secara in
vitro belum banyak dilaporkan. Kultur jaringan merupakan salah satu teknik alternatif yang
digunakan untuk perbanyakan tanaman yang mempunyai kendala terhadap perbanyakannya
termasuk tanaman hutan yang umumnya berkayu. Beberapa keuntungan penggunaan teknik
kultur jaringan antara lain adalah tidak tergantung pada musim, waktu yang digunakan relatif
lebih singkat dan jumlah tanaman yang dihasilkan lebih seragam.
Keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro diperngaruhi oleh beberapa faktor
antara lain jenis tanaman dan eksplan, media dasar dan zat pengatur tumbuh yang digunakan.
Keseimbangan zat pengatur tumbuh antara sitokinin dan auksin yang digunakan sangat
menentukan arah pertumbuhan eksplan. Sitokinin merupakan kelompok zat pengatur tumbuh
yang berperan dalam mengatur pembelahan sel dan mempengaruhi diferensiasi tunas. Benzyl
adenin (BA) merupakan sitokinin yang paling sering digunakan dalam kultur in vitro karena
memiliki efektifitas yang tinggi dalam memacu pembelahan sel dan mendorong perbanyakan
dan pemanjangan tunas (Yusnita, 2003). Thidiazuron merupakan kelompok sitokinin yang
sangat kuat yang dapat mempengaruhi perbanyakan tunas aksilar. Huetteman dan Preece
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 53
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
(1993) menyatakan bahwa beberapa tanaman berkayu berhasil diperbanyak dengan
menggunakan penambahan thidiazuron pada media tumbuh. Lu (1993) melaporkan bahwa
thidiazuron dapat menginduksi tunas adventif dan proliferasi tunas aksilar. Demikian juga
dengan Fiola et al., (1990) dan Huetteman dan Preece (1993) yang menyatakan bahwa
umumnya pada konsentrasi lebih dari 1 µM, thidiazuron dapat merangsang tunas adventif,
pembentukan kalus atau embrio somatik. Selanjutnya Genkov dan Iordanka (1995)
menyatakan bahwa thidiazuron merupakan suatu senyawa phenyl urea non metabolik yang
mempunyai potensi aktifitas seperti sitokinin dengan konsentrasi 50 – 100 kali dibawah
konsentrasi BAP. Dalam tulisan ini, dilaporkan metoda yang efisien untuk perbanyakan tunas
dari eksplan batang satu buku menggunakan BA, kinetin dan thidiazuron. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui metoda perbanyakan kulim terbaik secara in vitro.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 54
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
2. Induksi tunas.
Pada tahap induksi tunas secara in vitro digunakan eksplan batang satu buku dari 2
sumber eksplan yaitu 1) batang satu buku dari tunas hasil perendaman setek pohon induk tua
dan 2) batang satu buku dari seedling berumur 2 tahun. Hasil penelitian dapat dilihat dari uraian
sebagai berikut:
a. Eksplan batang satu buku asal setek pohon induk tua.
Jumlah eksplan batang satu buku asal terubusan setek pohon induk tua yang digunakan
dalam penelitian ini sangat terbatas yaitu sebanyak 18 eksplan batang satu buku yang
dihasilkan dari 2 tunas. Eksplan ditumbuhkan pada perlakuan BA dengan konsentrasi 0.5,
0,75 dan 1.0 mg/l dan masing-masing perlakuan terdiri dari 6 botol dan setiap botol berisi dari
1 eksplan (Gambar 1b).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan 0.75 mg/l BA merupakan satu-satunya
perlakuan yang memberikan respon dan menghasilkan tunas (Gambar 1c) sedangkan dari dua
perlakuan lainnya yaitu perlakuan 0,5 mg/l dan 1,0 mg/l BA, eksplan tidak memberikan respon
sama sekali. Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor perlakuan dan
eksplan yang digunakan. Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua buku dari
tunas yang dihasilkan dari setek pohon induk tua sehingga umur fisiologis dari setiap eksplan
batang satu buku yang digunakan sudah pasti juga berbeda. Perbedaan umur fisiologis
menyebabkan kandungan hormon endogen baik auksin maupun sitokinin dari masing-masing
eksplan juga berbeda.Keseimbangan antara sitokinin dan auksin yang terdapat dalam jaringan
sangat menentukan terhadap keberhasilan tumbuh.
a b c
d e f
Gambar 1.Tunas asal setek dari pohon induk tua. b. Eksplan batang satu buku,
c Tunas umur 4 minggu, d – e. Tunas umur 23 dan 35 minggu dan f. Tunas umur 52 minggu
Pada penelitian ini perlakuan BA dengan konsentrasi 0.5 mg/l belum mampu
merangsang inisiasi tunas sedangkan perlakuan 1.0 mg/l BA diduga sudah mulai bersifat
menghambat induksi tunas dari eksplan yang berasal dari pohon induk tua. Hasil yang berbeda
dengan penelitian Saha et al, (2010) menunjukkan bahwa perlakuan BA 1.0 mg/l merupakan
perlakuan terbaik untuk induksi tunas Ocimum kilimandscharicum Guerke.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 55
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Setiap eksplan memberikan respon yang berbeda walaupun ditumbuhkan pada
perlakuan yang sama. Dari 6 eksplan batang satu buku yang ditumbuhkan pada perlakuan
0.75 mg/l BA terdapat 2 eksplan yang memberikan respon dan menghasilkan tunas
sedangkan 4 eksplan lainnya tidak memberikan respon walaupun ditumbuhkan dalam jangka
waktu yang lebih lama. Hal ini disebabkan karena kandungan hormon endogen dari masing-
masing eksplan yang dikulturkan berbeda.Sarmast et al. (2009) melaporkan bahwa tunas in
vitroAraucaria excels R. Br. var glauca dapat diinduksi dari perlakuan BA dengan konsentrasi
6µmol atau lebih. Sedangkan Phulwaria et al. (2011) menyatakan bahwa tunas tanaman
Salvadora persica dapat diinduksi pada perlakuan kombinasi BA, kinetin dan NAA.
Selanjutnya Diego et al. (2008) menyatakan bahwa tunas pada tanaman Pinus pinaster
dihasilkan dari perlakuan kombinasi 25 µmol zeatin yang dikombinasikan dengan metatopolin
dan 25 µmol BA.
Induksi tunas dari perlakuan 0.75 mg/l BA diamati setelah 12 dan 19 hari dikulturkan
pada media tumbuh. Rata-rata persentase tumbuh tunas dari perlakuan ini adalah sebanyak 33.3
% (Tabel 1) dan masing-masing eksplan yang memberikan respon menghasilkan 1 tunas
dengan tinggi 7.3 cm (Gambar 1d) pada umur 22 minggu. Tunas yang dihasilkan tumbuh
normal.
2. Eksplan batang satu buku asal seedling.
Pada penelitian ini, selain digunakan eksplan asal stek pohon induk tua juga digunakan
eksplan batang satu buku asal seedling. Eksplan ditumbuhkan pada perlakuan BA (0.5 – 1.0
mg/l); thidiazuron (0,1 – 0,3 mg/l) dan kombinasi thidiazuron (0,1 – 0,3 mg/l dengan kinetin
0,5 mg/l). Hasil pengamatan dari masing-masing perlakuan yang digunakan dapat dilihat dari
uraian sebagai berikut :
a b
Gambar 2. a. Tunas dari eksplan asal seedling dari perlakuan BA danb. Tunas dari perlakuan
BA dan umur berbeda
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 56
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tanaman hal ini juga diduga disebabkan karena penambahan 0.5 mg/l BA ke dalam media
tumbuh belum mencapai keseimbangan antara konsentrasi sitokinin dan auksin dalam jaringan
untuk memacu pertumbuhan ke arah pemanjangan.Tunas yang dihasilkan pada perlakuan 1.0
mg/l BA lebih pendek dibandingkan dengan tunas yang dihasilkan dari perlakuan 0.75 mg/l
BA. Selain lebih pendek tunas dari perlakuan 1,0 mg/l BA tersebut mempunyai ukuran batang
yang lebih besar dari 2 perlakuan yang lain.
BA merupakan sitokinin sintetik yang mempunyai kapasitas untuk merangsang
pembelahan sel dan mempengaruhi tahapan dalam siklus sel dalam jangka
panjang.Penambahan BA dibutuhkan untuk mendapatkan kalus dan pertumbuhn tunas. Tingkat
kebutuhan BA untuk pembentukan tunas optimum adalah 3,0 – 5,0 mg/l tetapi ini tergantung
pada jenis eksplan.Hasil yang berbeda dari penelitian Kulkarni et al. (2000) menunjukkan
bahwa pemindahan tunas umur 14 hari ke media tanpa zat pengatur tumbuh dapat mempercepat
pertumbuhan ke arah pemanjangan tunas dengan rata-rata tinggi 4.6 cm pada umur 42 hari.
Tabel 2. Persentase tumbuh dan rata-rata tinggi tunas umur 120 hari.
Perlakuan %ase tumbuh Rata-rata tinggi Visual biakan
(mg/l) tunas biakan (cm)
BA 0.5 60 0.1 Hijau, batang sedang, pendek
BA 0.75 80 0.6 Hijau, batang kecil
BA 1.0 50 0.3 Hijau, batang besar,
Thidiazuron merupakan substansi seperti sitokinin yang sangat aktif untuk induksi
tunas.Penggunaan zat pengatur tumbuh thidiazuron secara tunggal atau dikombinasikan
dengan kinetin menghasilkan persentase tumbuh tunas antara 30 – 70 %. Perlakuan 0.1 mg/l
thidiazuron dikombinasikan dengan 0.5 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk induksi tunas
dengan persentase tumbuh tunas sebanyak 70 % dan rata-rata jumlah tunas sebanyak 0.7 tunas.
Menurut Schulze (2007) thidiazuron merupakan zat pengatur tumbuh yang sangat kuat
pada beberapa proses morfogenik. Reaksi-reaksi dalam kultur jaringan dari penggunaan
thidiazuron meliputi induksi kalus, inisiasi embrio somatik, pembentukan tunas adventif dan
proliferasi tunas aksilar.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 57
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SIMPULAN
Perlakuan 0.75 mg/l BA merupakan perlakuan terbaik untuk induksi tunas dari eksplan
batang satu buku asal pohon induk tua maupun dari seedling. Tunas yang dihasilkan
mempunyai penampilan normal dengan pertumbuhan lambat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1986. Buku informasi Tanaman Nasional. Proyek pembangunan Taman Nasional dan
Hutan Wisata. PHPA Bogor.
A. Arumugam, K. Gopinath, 2011. Micropropagation and tissue culture of the endangered
medicinal plant Withania somnifera by the direct shoot and root initiation method.
International Journal of Applied Biology & Pharmaceutical Technology 2(3):July –
Sept 2011.
Diego, N.D, I.A. Montalban, E.F. De Larrinoa And P. Moncalean. 2008. In Vitro
Regeneration Of Pinus Pinaster Adult Trees. Can. J. For. Res. 38 : 2607 – 2615.
Fiola, J.A; M.A. Hanssan; H.J. Swartz; R.H. Bors and R. McNicole. 1990. Effect of
thidiazuron, light influence rate and kanamycin on in vitro shoot organogenesis from
excised Rubus cotyledon and leaves. Plant Cell Tissue and Organ Culture 20:223 – 228.
Genkov, T. and Iordanka, I. 1995. Effect of cytokinin-active phenylurea derivatives on shoot
multiplication, peroxidase and superoxide dismutase activities of in vitro cultured
carnation. Bulgarian Journal of Plant Physiology 21:73-83.
Heriyanto N.M. Dan R. Gersetiasih, 2004, Potensi Pohon Kulim (Scorodocorus
Borneensis, Becc.) Di Kelompok Hutan Gelawan Kampar, Riau, Buletin Plasma
Nutfah, 10 (1).
Huetteman, CA and JE.Preece. 1993. Thidiazuron : a potent cytokinin for woody plant tissue
culture. Plant Cell Tissue and Organ Culture 33 : 105 – 119.
Ismail, 2000, Kajian Potensi Dan Ancaman Kepunahan Kulim (Scorodocorus Borneensis,
Becc.) Pada Hutan Alam Di Propinsi Riau, Ipb, Bogor.
IUCN/SSC. 1994. IUCN red list categories. Fourtieth Meeting of the IUCN Council.Gland.
Switzerland.
Lu, CY. 1993. The Use Of Thidiazuron In Tissue Culture.In Vitro Cell Dev.Biol.29:92-96
Kubota K. Dan Kabayashi, A., 1994, Sulfur Compounds In Wood Garlic Kulim
(Scorodocarpus Borneensis Becc) As Versatile Food components.American Chemical
Society.Symposium series.Vol 564.
Kulkarni, A.A; S.R. Thengane and K.V. Krishnamurthy. 2000. Direct shoot regeneration from
node, internode, hypocotyls and embryo explants of Withania somnifera. Plant Cell
Tissue and Organ Culture 62 : 203 -209.
Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, dan K. Kadir. 1989. Atlas kayu
Indonesia jilid II. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Bogor.
Mogea, J.P.M., D. Gandawidjaja, H. Wiriadinata, R.E. Nasution dan Irawati. 2001. Tumbuhan
Langka Indonesia.Buku Seri Panduan Lapangan.Pusat Penelitian dan Pengembangan
Biologi – LIPI. Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense. Bogor, Indonesia.
Prehn, D., C. Serrano, A. Mercado, C. Stange, L. Barrales and P.A. Johnson. 2003.
Regeneration of whole plants from apical meristems of Pinus radiata. Plant Cell Tissue
and Organ Culture 73 : 91 – 94.
Pruski K., T. Astatkie and J. Nowak. 2005. Tissue culture propagation of Mongolian cherry
(Prunus fruticosa) and nanking cherry (Prunus tomentosa). Plant Cell Tissue and Organ
Culture 82 : 207 – 211.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 58
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Saha, S; T. Dey and P. Ghosh. 2010. Micropropagation of Ocimum kilimandsharicum Guerke
(Labiatae). Acta Biologica Cracoviensia series Botanica 52 (2) : 50 – 58.
Sarmast, M.K., H. Salehi and M. Kosh-Khui. 2009. Using plagiotropic shoot explants in tissue
culture of Araucaria excelsa R. Br. Var glauca. Advances in Environmental Biology 3
(2) : 191 – 194.
Schulze, J. 2007. Improvements in cereal tissue culture by thidiazuron : a Review. Fruit,
vegetable and cereal science and biotechnology 1(2) : 64 - 79. Global Science Books
Wiart, C. 2001, Antimicrobial and cytotoxic compounds Of Scorodocorpus borneensis
(Olaceae) and Glycosmis calcicola (Rutaceae), Universiti Putra Malaysia.
Yusnita. 2003. Kultur jaringan; cara memperbanyak tanaman secara efisien. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 59
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
INDUKSI TUNAS LATERAL ALOCASIA BAGINDA KURNIAWAN DAN
P.C. BOYCE DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH BA DAN GA3
BUD LATERAL INDUCTION OF ALOCASIA BAGINDA KURNIAWAN AND
P.C. BOYCE WITH PLANT GROWTH REGULATOR BA AND GA3
Siti Fatimah Hanum* dan Dewi Lestari
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI
Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali. 82191
*Email : sitifatimahhanum2004@yahoo.com
ABSTRAK
Alocasia baginda Kurniawan & P.C. Boyce memiliki potensi sebagai tanaman hias
daun. Perbanyakannya selama ini dari pemisahan anakan (split), sehingga jumlah bibit yang
diperoleh dalam waktu yang singkat tidak banyak. Untuk membantu mendapatkan jumlah bibit
yang banyak, dilakukan upaya induksi tunas lateral dengan menggunakan Zat Pengatur
Tumbuh (ZPT) BA dan GA3. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
beberapa konsentrasi zat GA3 dan BA terhadap pertumbuhan tunas lateral pada tanaman
Alocasia baginda. Kegiatan dilakukan di rumah kaca Kebun Raya “Eka Karya” Bali pada bulan
Juni-September 2014. Percobaan menggunakan 2 faktorial yaitu jenis ZPT dan konsentrasi
ZPT. Jenis ZPT yang digunakan adalah GA3 dan BA. Konsentrasi yang digunakan 0, 500 dan
1000 ppm. Jumlah sampel 15 pot. Parameter yang diamati adalah jumlah tunas dan jumlah
daun. Media tanam yang digunakan adalah humus. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
pada 12 minggu setelah aplikasi, rata-rata persentase tumbuh Alocasia baginda terbesar adalah
BA (500 ppm) dan kontrol (0 ppm) yaitu 100%. Sedangkan rata-rata jumlah tunas baru
terbanyak adalah pada BA 1.000 ppm(1 tunas/tanaman) dan terendah adalah kontrol (0
tunas/tanaman), dan rata-rata jumlah daun terbanyak adalah kontrol (1 daun /tanaman) dan
terendah adalah BA (1.000 ppm).
Kata Kunci : Alocasia baginda, Perbanyakan, Zat pengatur tumbuh
ABSTRACT
Alocasia baginda Kurniawan & P.C. Boyce has potential as leaf ornamental plant. This
plant is usually propagated by split, so only produce a limited number. Therefore, we try to
induce bud lateral growth with plant growth regulator BA and GA3. The aim of this research is
to find out effect of plant growth regulator and its concentration to induce lateral bud. This
research conduct at Eka Karya Bali Botanical Garden house glass from Juni-September 2014,
using two factorial that consist of type and dosis of plant growth regulator. Plant growth
regulator type are GA3 and BA. Dosis are 0, 500, 1000 ppm. Total spesimens are 15 pot.
Parameter in this research are percentage of living rhizome, number of new buds and new
leaves. The results of this research show that the biggest average number of living rhizome
percentage is BA 500 ppm and control (100%). The average number of new bud using plant
growth regulator at BA 1000 ppm (1 new bud/plant) and the lowest is control (0/plant). The
average number of new leaves most is control (1 leaves/plant).
Keywords: A. baginda, lateral bud induction, plant growth regulator.
PENDAHULUAN
Keanekaragaman hayati Indonesia menjadi sumber bagi pengembangan tanaman hias
di Indonesia. Banyak tanaman yang awalnya hanya tumbuh liar hutan dikembangkan menjadi
tanaman hias bernilai estetika tinggi melalui penyilangan dan teknik lain sehingga lahir ratusan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 60
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
varian baru yang meramaikan pasar tanaman hias Indonesia. Tanaman hias yang semula hanya
merupakan hobi, kini menjadi peluang usaha yang menjanjikan dan menguntungkan secara
ekonomi (Agromedia, 2007a).
Beberapa waktu lalu, pasar tanaman hias diramaikan oleh famili Araceae seperti
Aglaonema, Caladium, Philodendron dan Anthurium. Kini, marga Alocasia mulai menjadi
idola. Daun Alocasia tebal dan memiliki urat daun menonjol dengan pola yang bermacam-
macam. Karakter seperti inilah yang banyak digemari hobiis tanaman hias akhir-akhir ini
(Agromedia, 2007b). Selain itu, Alocasia juga asli Indonesia. Dari 70 spesies yang sudah
dideskripsikan di dunia, sekitar 50% terdapat di kawasan hutan di kepulauan Indonesia. Sekitar
23 spesiesnya ditemukan di Kalimantan dan 20 di antaranya merupakan jenis-jenis endemik
(Yuzammi, 2007). Salah satu tanaman Alocasia endemik Kalimantan Timur yang potensial
untuk dikembangkan sebagai tanaman hias adalah Alocasia baginda Kurniawan & P.C. Boyce.
Tanaman ini berasal dari Kalimantan Timur. Tanaman ini merupakan tanaman herba terrestrial
yang tegap dengan tinggi 25-30 cm dan berkembang dari rhizome. Daunnya tumbuh bersamaan
hingga 4 helai, menyebar, panjang petiolesnya 13-23 cm, terdapat seludang di bagian yang
lebih pendek, gundul, hijau pucat dengan bercak putih tersebar di bagian bawah, selubung
persisten; helai daun besar, bulat telur hingga sub-bundar, tangkai daunnya menjorok ke tengah
daun, dengan panjang 10-18 cm dan lebar 7-12 cm; daunnya berbulu, tebal dan kokoh;
permukaan daun bagian atas berwarna hijau gelap kusam dan abu-abu pucat, yang keduanya
dipisahkan oleh urat daun utama dan marjinal; permukaan bawah daun hijau pucat dari bagian
distal hingga pelepah, vena primer dan marginal berwarna merah tua, acuminate puncak ke
apiculate; perbungaan berpasangan soliter, panjang gagang bunga 12-13 cm berwarna putih
kehijauan (Kurniawan & P.C. Boyce, 2011). Morfologi tanaman ini terlihat pada Gambar 1.
Meski potensial dikembangkan menjadi komoditas tanaman hias, namun Alocasia pada
umumnya mengalami masalah, yaitu stoknya yang terbatas. Alokasia umumnya bisa
diperbanyak setek batang/pucuk, pemisahan anakan, perbanyakan melalui umbi akar, cacah
umbi akar dan biji (Swadaya, 2008). Namun metode-metode ini membutuhkan waktu lama,
hingga akhirnya stok Alocasia yang beredar di pasar sebagian berasal dari hutan (AgroMedia
2007b). Oleh karena itu, diperlukan metode perbanyakan yang efektif untuk menghasilkan
anakan dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu secepatnya untuk memenuhi kebutuhan
pasar yang terus meningkat. Alocasia baginda selama ini diperbanyak menggunakan
pemisahan anakan (split). Pemisahan tersebut tidak efisien karena baru bisa dilakukan ketika
umurnya telah dewasa dan secara fisik telah menghasilkan anakan. Pemisahan akan efisien jika
tunas samping yang menghasilkan anakan bisa tumbuh lebih banyak. Oleh karena diperlukan
cara untuk meningkatkan pertumbuhan tunas samping, sehingga anakannya lebih banyak.
Salah satu caranya adalah dengan mengaplikasikan zat pengatur tumbuh (ZPT). Beberapa ZPT
seperti asam giberelat (GA3) dan benzyladenine (BA) dapat menginduksi pertumbuhan
vegetatif pada beberapa jenis tanaman.
Aplikasi GA3 dan BA pada Anthurium meningkatkan jumlah tunas lateral dan waktu
inisiasi tunas yang lebih cepat dibanding kontrol (Budiarto, 2010). Stek anak umbi
Amorphophalus paenifollius yang dimanipulasi dengan asam giberelin (GA3) juga
menghasilkan jumlah mata tunas yang berkecambah paling banyak (Cahyaningsih dan Siregar,
2013). Diharapkan hasil yang sama juga akan terjadi pada Alocasia baginda. Oleh karena
itulah, penelitian yang bertujuan mengetahui pengaruh beberapa konsentrasi zat GA3 dan BA
terhadap pertumbuhan tunas lateral pada tanaman Alocasia baginda ini dilakukan.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 61
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tanam, dan ZPT GA3 dan BA. Alat yang digunakan yaitu pot ukuran diameter 15 cm, pisau,
semprotan, dan alat tulis. Percobaan mengunakan rancangan faktorial dengan dua faktor yaitu
jenis ZPT (GA3dan BA) serta konsentrasi ZPT (0, 500 dan 1000 ppm). Parameter yang diamati
adalah persentase rhizome yang mampu tumbuh, jumlah tunas yang tumbuh dan jumlah daun.
Jumlah tunas dihitung dari tunas yang muncul dari mata tunas. Jumlah daun dihitung
berdasarkan jumlah daun baru yang terbentuk setelah pemangkasan. Material Alocasia baginda
di Kebun Raya “Eka Karya” Bali masih sangat terbatas, sehingga penelitian ini hanya
melakukan 5 perlakuan dengan 3 ulangan. Total spesimen yang digunakan sebanyak 15 pot.
Rhizome Alocasia baginda dipilih dari tanaman yang telah memiliki minimal 3 helai daun.
Rhizome kemudian ditanam dalam pot diameter 15 cm dengan media tanaman humus.
Rhizome kemudian disemprot dengan ZPT. Setiap formula semprotan dicampur dengan 0,05%
tween 20. Penyemprotan dilakukan satu kali hingga basah (± 40 ml).
HASIL
Hasil pengamatan pengaruh ZPT terhadap pertumbuhan Alocasia baginda pada minggu
ke 12 terlihat pada parameter persentase pertumbuhan, jumlah tunas baru dan jumlah daun yang
terbentuk. Rata-rata persentase pertumbuhan Alocasia baginda terbaik diperoleh pada
perlakuan ZPT BA 500 ppm dan kontrol (0 ppm) karena semua sampel yang diuji tetap hidup.
Sedangkan Alocasia yang diberi perlakuan (GA3 500 ppm,GA3 1000 ppm, BA 1000 ppm)
mengalami kematian masing-masing satu sampel.
Gambar 1. Rata-rata persentase pertumbuhan Alocasia baginda setelah pemberian GA3 dan
BA pada 12 minggu setelah aplikasi
Jumlah tunas baru*;
Kontrol (0 ppm); 0
Gambar 2. Rata-rata jumlah tunas baru Alocasia baginda setelah pemberian GA3 dan BA pada 12
minggu setelah aplikasi
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 62
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Penggunaan ZPT terlihat mempengaruhi pertumbuhan tunas. Pada Gambar 2 terlihat
rata-rata jumlah tunas baru yang paling banyak (1 tunas/tanaman) adalah pada perlakuan BA
1000 ppm, sedangkan yang terendah adalah pada kontrol (0 ppm) karena hingga minggu ke-12
setelah aplikasi tidak menghasilkan tunas baru. Perlakuan pemberian BA 500 ppm, GA3 1000
ppm dan GA3 500 ppm juga menghasilkan tunas baru namun rata-ratanya kurang dari 1
tunas/tanaman karena ada sampel tanaman yang mati.
Parameter yang lain yang diamati adalah jumlah daun. Gambar 3 memperlihatkan
bahwa rata-rata jumlah daun terbanyak adalah pada kontrol (0 ppm) yaitu 1 daun/tanaman,
sedangkan jumlah daun yang paling sedikit adalah pada pemberian BA (1000 ppm) yaitu 0
daun/tanaman.
Gambar 3. Rata-rata jumlah daun Alocasia baginda setelah pemberian GA3 dan BA pada 12
minggu setelah aplikasi
PEMBAHASAN
Alocasia baginda yang mendapat perlakuan GA3 dan BA memperlihatkan
pertumbuhan tunas lateral pada 12 Minggu Setelah Tanam (MST). Jumlah tunas lateral baru
terbanyak terdapat pada perlakuan BA 1000 ppm. Tunas lateral baru juga ditemukan pada
sampel yang mendapat perlakuan ZPT BA 500 ppm, GA3 500 ppm, dan GA3 1000 ppm. Hal
ini berbanding terbalik dengan kontrol yang belum menghasilkan tunas lateral sama sekali. Hal
ini menunjukkan bahwa pemberian ZPT memang berpengaruh terhadap tumbuhnya tunas
lateral. Hasil ini juga sesuai dengan yang dilakukan Sutisna (2010), bahwa aplikasi GA3 dan
BA pada tanaman Anthurium cv. Carnaval juga meningkatkan jumlah tunas lateral, panjang
tunas, dan jumlah daun muda yang terbentuk dibandingkan tanpa aplikasi ZPT. Namun
demikian, pertumbuhan tunas lateral ini lebih lama dibandingkan pada Anthurium cv. Carnaval
yaitu 4 minggu setelah pemberian aplikasi ZPT (Sutisna, 2010). Kemungkinan hal ini
disebabkan oleh perbedaan konsentrasi ZPT yang diberikan.
Rata-rata jumlah daun baru yang terbentuk paling banyak terdapat pada kontrol (0
ppm), sedangkan daun yang dihasilkan rhizome yang disemprot BA dan GA3 lebih sedikit.
Hasil ini berbeda dengan yang diperoleh Sardoei (2014) yang menyatakan bahwa penggunaan
BA dan GA3 meningkatkan jumlah daun baru yang terbentuk pada Dizigotheeca elegantissima,
Schefflera arboricola L dan Ficus benjamina L. dengan dosis 100-200 ppm pada 60 hari setelah
penyemprotan. Meski demikian beberapa penelitian lain juga memberikan informasi bahwa
BA dan GA3 tidak mempengaruhi jumlah daun sampel.
Puspitasari (2008) menyatakan tanaman A. hookeri mempunyai jumlah daun yang
paling sedikit pada perlakuan GA3 karena GA3 lebih banyak pengaruhnya pada pertumbuhan
ruas-ruas batang daripada pada pertumbuhan daun. Hasil penelitian Nixon dan Wilfret (1993)
memperlihatkan bahwa penggunaan BA (12,5; 25; 50 ppm) tidak berpengaruh terhadap
pembentukan daun baru pada umbi Caladium.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 63
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
A B C
Gambar 1. A. Morfologi daun Alocasia baginda; B &C Tunas lateral pada Alocasia baginda
Variasi pengaruh yang ditunjukkan oleh hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penggunaan ZPT yang spesifik akan menghasilkan respon yang spesifik pula (Latimer &
Scoggins, 2012), apalagi ZPT juga berkombinasi dengan hormon alam (Hartmann et.al. 1997).
BA sebagai salah satu bentuk sitokinin, membantu proses pembelahan sel selain itu
menghambat penuaan (Hartmann et.al. 1997) dan meningkatkan jumlah cabang lateral
(Latimer & Scoggins, 2012).
Sementara GA3 sebagai bentuk dari Gibberellin berperan dalam pembentukan enzim
benih pada sereal, menginduksi perkecambahan biji, dan merangsang pembungaan pada
tanaman hari panjang dan biennials (Hartmann, et.al.1997). Senyawa ini juga memiliki fungsi
penting pada perkecambahan dan mengontrol dormansi.. Belum tampaknya pengaruh yang
nyata ZPT pada penelitian ini juga disebabkan oleh terbatasnya sampel penelitian. Jika
ditingkatkan jumlah sampelnya, hasil yang didapatkan diharapkan lebih terlihat.
SIMPULAN
Perbanyakan Alocasia baginda dengan menggunakan zat pengatur tumbuh BA dan
GA3 dengan dosis 500-1000 ppm dapat meningkatkan rata-rata jumlah tunas lateral yang
tumbuh. Namun demikian, penelitian ini sebaiknya dilakukan lebih lanjut dengan jumlah
sampel dan perlakuan konsentrasi yang lebih banyak dan beragam supaya hasilnya lebih
signifikan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih diucapkan kepada Tri Warseno, Ni Putu Sri Asih dan Kepala Satker UPT
Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Penelitian ini didanai dari Sub
kegiatan Konservasi jenis-Jenis Araceae di Pulau Kalimantan.
DAFTAR PUSTAKA
Agromedia, R. 2007a. Mempercantik Daun Alocasia. AgroMedia Pustaka, Jakarta.
Agromedia, R. 2007b. Ensiklopedia Tanaman Hias. AgroMedia Pustaka, Jakarta.
Budiarto, K. 2010. GA3 and BA promote lateral shoot production on several cut flower
Anthurium cultivars. Agrivita. 32(1): 13-18.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 64
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Cahyaningsih, R. dan H.M. Siregar. 2013. Upaya memperoleh bibit Suweg {Amorphophallus
Paeoniifolius (Dennst.) Nicolson} melalui stek umbi dan stek rachis yang dimanipulasi
dengan Zat Pengatur Tumbuh. Berita Biologi 12(1) - April 2013. Hal. 87-95.
Hartmann, H.T.; D.E.Kester; F.T.Davies and R.L. Geneve. 1997. Plant propagation. Principles
and Practices. Sixth edition. Prentice Hall. New Jersey.
Kurniawan, A and P.C.Boyce. 2011. Studies on the Alocasia Schott (Araceae-Colocasieae) of
Borneo II: Alocasia baginda, a New species from eastern Kalimantan, Indonesia. Acta
phytotax. Geobot. 60(3): 123-126
Latimer, J.G., and H. Scoggins.2012. Using Plant Growth Regulators on containerized
Herbaceous Perennials. Colleger of Agriculture and Life sciences. Virginia Polytechnic
institute and State University. 40 page.
Nixon, S.E. and G.J.Wilfet. 1993. Effect of plant growth regulator on leaf development of
Caladium. Proc. Fla. State Hort. Soc. 106: 283-286
Puspitasari, A.C. 2008. Pengaruh komposisi media dan macam zat pengatur tumbuh terhadap
pertumbuhan tanaman anthurium hookeri. Skripsi. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
Swadaya, RP. 56 Alokasia Eksotis: Memperbanyak, Merawat dan Mempercantik. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Sardoei, A.S. 2014. Plant growth regulators effects on the growth and photosynthetic pigments
on three indoor ornamental plants. European Journal of Experimental Biology,
4(2):311-318
Sutisna, A. 2010. Teknik mempercepat pertumbuhan tunas lateral untuk perbanyakan
vegetative Anthurium dengan aplikasi GA3 dan BA. Buletin Teknik Pertanian.Vol. 15.
No 2. Hal:56-59
Yuzammi. 2007. Primadona Baru Alokasia Eksotis. Cetakan pertama. PT. Gramedia. Jakarta
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 65
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
EKSPLORASI JENIS-JENIS ARACEAE DI BUKIT MESEHE
KABUPATEN JEMBRANA
ABSTRAK
Araceae atau talas-talasan merupakan suku yang memiliki banyak kegunaan bagi
kehidupan manusia diantaranya sebagai bahan pangan, obat dan hias. Pada umumnya Araceae
menyukai tempat terlindung dan lembab. Luas kawasan hutan di Kabupeten Jembrana adalah
41.307,27 Ha atau 7,34% dari luas Pulau Bali atau 31,83% dari luas kawasan hutan Pulau Bali
atau 49,07% dari luas daratan Kab. Jembrana. Kawasan hutan Jembrana hampir 80,47% berupa
kawasan fungsi lindung. Meski demikian tingkat kerusakan hutan di Jembrana juga cukup
tinggi sehingga memungkinkan hilangnya jenis-jenis Araceae. Tujuan kegiatan ini adalah
untuk mengkoleksi dan mencari informasi penyebaran Araceae di Kab. Jembrana. Kegiatan ini
dilakukan pada tanggal 7-11 September 2015 di Bukit Mesehe. Jenis Araceae yang dikoleksi
sebanyak 8 nomor dan non Araceae sebanyak 4 nomor. Informasi distribusi araceae di jelaskan
dalam artikel ini.
Kata kunci : Araceae,exploration, Bukit Mesehe, Jembrana
ABSTRACT
Aroid has many potential uses like as food, medicine and ornament. Generally aroid
loves shaded and humid place. Jembrana district has bigger forest at Bali island. Almost
80,47% has function as reserve forest. Unfortunatelly forest destruction rate also higher at
Jembrana district makes many aroid plant gone before conserve. The goal of this research are
to collect for conserve aroid plants and list distribution of aroid plants.. This research conduct
at Mesehe Mountain Forest from September 7-11, 2015. From this exploration there are 8
number of araceae and 4 number of non araceae. Beside that information about aroid species
distribution also explained in this paper.
Key words: Araceaea, Eksplorasi, Mesehe mountain forest, Jembrana
PENDAHULUAN
Araceae atau yang lebih dikenal sebagai talas-talasan merupakan tanaman herba yang
memiliki banyak fungsi penting bagi kehidupan manusia, diantaranya sebagai sumber pangan
seperti Colocasia esculenta (L.) Schott (Talas), Amorphophallus paeniifolius (Dennst.)
Nicolson (Suweg) dan Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott (Keladi), xanthosoma), Obat
seperti Typhonium flagelliforme Blume (Keladi tikus) dan tanaman hias (Alocasia,
Anthurium). Karakteristik utama dan unik dari suku ini adalah perbungaan yang tersusun dalam
bentuk tongkol (spadix) yang dikelilingi oleh seludang (spathe). Umumnya hidup ditempat
terlindung dan lembab, walaupun ada beberapa jenis yang mampu hidup ditempat kering dan
terbuka. Araceae terdiri dari 105 marga dan lebih dari 3.300 jenis di seluru dunia (Mayo
et.al.,1997) sedangkan yang tersebar di Kepulauan Sunda kecil (termasuk Bali) ada 14 marga
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 66
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dan 22 spesies (Kurniawan dan Asih, 2012). Jumlah ini masih bertambah karena masih dalam
tahap penelitian.
Provinsi Bali memiliki hutan seluas 130.766,06 Ha atau 22,42% dari luas daratan Pulau
Bali. Sebagian besar kawasan hutan berfungsi sebagai hutan lindung, hutan produksi dan
Hutan Konservasi (Cagar alam, Taman Nasional, Taman Wisata alam, dan Taman Hutan
Raya). Dalam pengelolaannya, kawasan hutan di Bali dibagi dalam 3 wilayah pengelolaan
yaitu KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Bali Barat, KPH Bali tengah dan KPH Bali Timur.
Kawasan hutan KPH bali barat meliputi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Buleleng, Jembrana dan
Tabanan dengan luas 66.763,41 ha (UPT KPHL Bali Barat,2012). Meski demikian tingkat
kerusakan hutan dan perubahan fungsi hutan di Bali juga cukup tinggi yaitu sebesar 24,34
persen dari total luas hutan di Bali (Dewi dkk, 2014). Keadaan ini tentu menghawatirkan
mengingat masih adanya Araceae yang belum terkonservasi di kebun raya “Eka Karya” Bali
dan informasi keberadaannya yang masih sedikit di Bali.
Kebun raya ”Eka Karya” Bali merupakan salah satu lembaga konservasi ex situ yang
memiliki misi untuk melestarikan tumbuhan kawasan timur Indonesia termasuk didalamnya
Pulau Bali. Salah satu tujuan kegiatan inventarisasi dan eksplorasi Araceae adalah Kabupaten
Jembrana. Luas kawasan hutan di Kabupeten Jembrana adalah 41.307,27 Ha atau 7,34% dari
luas Pulau Bali atau 31,83% dari luas kawsan hutan Pulau Bali atau 49,07% dari luas daratan
Kab. Jembrana. Kawasan hutan Jembrana hampir 80,47% berupa kawasan fungsi lindung
(Profil Kabupaten Jembrana, 2014). Eksplorasi ini bertujuan untuk menginventarisasi dan
mengkoleksi beberapa jenis-jenis Araceae Pulau Bali dan non Araceae yang ada di lokasi
eksplorasi dan sekitarnya khususnya jenis penting, berpotensi, langka atau bernilai ilmiah serta
mencari informasi penyebaran Araceae di Kabupeten Jembrana.
HASIL
Profil Hutan
Bukit Mesehe (1.300 mdpl) terletak di Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana.
Bukit Mesehe memiliki air terjun kembar dengan panorama alam yang sangat indah. Jika
masuk dari Dusun Pancaseming Desa Batu Agung, wilayah Bukit Mesehe termasuk dalam
RPH Tegalcangkring. Jenis tanah di RPH Tegal cangkring termasuk tanah latosol. Jenis tanah
Latosol merupakan jenis tanah yang telah berkembang atau telah mengalami diferensiasi
horizon, solum tanah cukup dalam/tebal, tekstur tanah lempung-berliat, struktur tanah remah
hingga gumpal, konsistensi gembur hingga agak teguh, warna coklat, kemerahan hingga
kekuningan, bahan induk penyusunnya berasal dari material vulkanik (breksi, batuan beku
intrusi dan tuf), kepekaan tanah terhadap erosi adalah agak peka. Jenis tanah litosol.
Berdasarkan tipe iklim Schimdt dan Ferguson, RPH Tegalcangkring termasuk kedalam tipe C
(Agak basah) dengan nilai Q antara 33,33%-60%
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 67
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
This image cannot currently be display ed.
Bagian hutan yang dekat dengan pemukiman sudah mengalami perubahan fungsi lahan
menjadi perkebunan pisang pisang dan singkong. Vegetasi pohon yang dijumpai adalah
Pterospermum javanicum Jungh.(Bayur), Pterospermum diversifolium Blume, Calophyllum
soulattri Burm.f., Polyosma integrifolia Blume, Alstonia scholaris (L.) R. Br., Syzygium
antisepticum (Blume) Merr.&L.M.Perry, Syzygium racemosum, Garcinia sp, Didimorcapus
sp, Gloxidion, Dendrocnide stimulans (l.f.) chew, Pittosporum moluccanum Miq., Pinanga
coronata (Blume ex Mart.) Blume, Pinanga sp., Pinanga arinasae Witono, Podocarpus sp.,
Dysoxylum sp (Kwanitan), Meliosma peruginea, Knema cinerea Warb., Platea sp., Ficus
fistulosa Reinw.ex Blume, Elaeocarpus sp., Ardisia humilis Vahl., Nauclea sp., Cyathea
contaminant (Wall.ex Hook.) Copel., Trema orientalis (L.) Blume. Ground cover yang
dijumpai adalah Selaginella sp., Cyclosorus, Asplenium sp., Calamus sp., Cloranthus sp.,
Zingiber sp., Diplazium sp., Phaius sp.,Plocoglottis sp.
Hasil eksplorasi
Berdasarkan hasil eksplorasi diperoleh tanaman sebanyak 12 nomor, 9 jenis, 7 marga
dan 4 suku. Sedangkan untuk Araceae sendiri hanya terkoleksi 23 spesimen, 4 marga dan 5
jenis (Tabel 1.).
Pada eksplorasi ini tidak ditemukan koleksi baru dari suku Araceae untuk Kebun Raya
“Eka Karya” Bali. Jenis-Jenis Araceae yang dijumpai dilokasi adalah Arisaema sp, Aglaonema
simplex, Alocasia longiloba, Homalomena sp, Schismatoglottis calyptrata, Amorphophallus
variabilis, Alocasia alba, Colocasia esculenta, Scindapsus hederaceus.
Berdasarkan data unit Registrasi per Oktober 2015, baik koleksi hidup maupun
herbarium, Koleksi Araceae asal Bali Kebun Raya “Eka Karya” Bali berjumlah 24 jenis dan
13 marga (Tabel 2.). Jika dibandingkan dengan informasi tentang jumlah jenis Araceae di Pulau
Bali yang terdiri dari 23 jenis dan 12 marga (Tabel 3), koleksi Araceae di Kebun Raya Eka
Karya Bali memiliki jumlah jenis dan marga lebih banyak.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 68
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 1. Perolehan tanaman Araceae hasil ekplorasi
Nama Tumbuhan
Jenis Habitat, altitude,
No No Akses* (Latin), Nama Habitus Jml
Material pH, RH, dll.
Daerah, Suku
1. E2015090001 Alocasia longiloba Hb 3 P Hutan primer.682 m
Miq. (Araceae) dpl, PH 6,6;
kemiringan 45%
2 E2015090002 Syzygium sp (juwet T 20 S Hutan primer.682 m
hutan ND) dpl
(Myrtaceae)
3 E2015090003 Alocasia alba Hb 3 P Hutan primer. 682 m
Schott. dpl, PH 6,6;
(Araceae) kemiringan 45%
4 E2015090004 Alocasia longiloba Hb 3 P Hutan primer. 682 m
Miq. (Araceae) dpl.
5 E2015090005 Alocasia longiloba Hb 1 P Hutan primer.561,7 m
Miq. (Araceae) dpl
6 E2015090006 Schismatoglottis Hb 5 P Hutan
calyptrata (Roxb.) primer.tepisungai.
Zoll.& Moritzi 591,57 m dpl
(Araceae)
7 E2015090007 Schismatoglottis Hb 5 P Hutan primer.682 m
calyptrata (Roxb.) dpl
Zoll. & Moritzi.
(Araceae)
8 E2015090008 Homalomena sp. Hb 1 P Hutan primer,tepi
sungai.591,57 m dpl
9 E2015090009 Begonia Hb 2 P Hutan primer, tepi
multangula.Blume sungai.591,57 m dpl
10 E2015090010 Colocasia Hb 2 P Hutan primer.tepi
esculenta (L.) 1 H sungai.591,57 m dpl
Schott.
11 E2015090011 Begonia coreacea Hb 3 P Hutan primer, tepi
Hassk. sungai.tebing.591,57
m dpl
12 E2015090012 Pinanga sp. T 8 P Hutan primer,681 m
(Buah riang) dpl
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 69
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 2. Data jenis Araceae asal Bali di Kebun Raya Eka Karya Bali dan persebarannya
No Nama jenis Distribusi
1 Aglaonema simplex (Blume) Negara (Jembrana), Perean (Tabanan), Lempuyang
Blume; (Karangasem)
2 Alocasia alba Schott; Bukit pengelengan (Badung), Munduk Pengubengan,
Lempuyang (Karangasem), Batukaru (Tabanan)
3 Alocasia macrorrhizos (L.) G. Melaya (Jembrana), Sukasada (Buleleng), Menanga,
Don; Abang dan Selat (Karangasem), Susut dan
Penglipuran (Bangli), Ubud (Gianyar)
4 Alocasia longiloba Miq. Jembrana
5 Amorphophallus muelleri Lempuyang (Karangasem), Perean (Tabanan), Pendem
Blume; (Jembrana), Bukit Silangjana (Buleleng)
6 Amorphophallus paeoniifolius Melaya, Mendoyo (Jembrana), Penebel, Perean dan
(Dennst.) Nicolson; Kerambitan (Tabanan), Sukasada dan Banjar
(Buleleng), Manggis (Karangasem)
7 Amorphophallus variabilis Singaraja, Karangasem, Jembrana
Blume;
9 Arisaema filiforme (Reinw.) Candikuning (Tabanan)
Blume
10 Colocasia esculenta (L.) Baturiti dan Penebel (Tabanan), Payangan dan
Schott. Tegallalang (Gianyar), Karangasem dan Selat
(Karangasem), Kintamani (Bangli), Alasangker dan
Sukasada (Singaraja)
11 Colocasia gigantea (Blume) Bukit Masehe (Jembrana)
Hook. f.;
12 Epipremnum pinnatum Engl.; Candikuning (Tabanan), Munduk waru (Jembrana)
13 Homalomena cordata Schott; Gunung Batukaru (Tabanan), Wanagiri dan Sukasada
(Buleleng), Bkt Lempuyang (Karangasem), Dewasana
dan Melaya (Jembrana), Tegalalang (Gianyar), Kubu
(Bangli), Tiyingan (Klungkung)
14 Homalomena pendula (Blume) Dewasana (Jembrana)
Bakh.f.
15 Homalomena sp. Marga dan Gng Batukaru (Tabanan), Wanagiri
(Buleleng), Melaya dan Bkt. Masehe (Jembrana),
Rendang (Karangasem), Bukit Pengelengan (Badung)
16 Remusatia vivipara (Roxb.) Danau Buyan (Buleleng)
Schott;
17 Rhaphidophora sp. Penebel, Gng Batukaru (Tabanan), Sukasada
(Buleleng), Dewasana (Jembrana)
18 Rhaphidophora sylvestris Bkt Lempuyang (Karangasem)
(Blume) Engl.
19 Sauromatum horsfieldii (Miq.) Candikuning (Tabanan)
Steenis
20 Schismatoglottis calyptrata Taman Bali (Bangli), Penebel (Tabanan) dan
(Roxb.) Zoll. & Moritzi Dewasana (Jembrana)
21 Schismatoglottis sp. Busungbiu (Buleleng), Mendoyo (Jembrana), Gng
Batukaru (Tabanan)
22 Scindapsus hederaceus Miq. Tabanan
23 Scindapsus sp.; Dewasana (Jembrana)
24 Typhonium blumei Nicolson & Perean (Tabanan)
Sivad.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 70
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 3. List Araceae Pulau Bali
No Nama Jenis No Nama Jenis
1 Aglaonema simplex (Blume) Blume 13 Epipremnum pinnatum (L.) Engl.
2 Alocasia alba Schott. 14 Homalomena cordata Schott
3 Alocasia longiloba Miq. 15 Rhaphidophora sp.
4 Alocasia macrorrhizos (L.) G.Don 16 Remusatia vivipara (Roxb.) Schott
Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Zoll. &
5 Alocasia sp. 1 17
Moritzi
6 Alocasia sp. 2 18 Scindapsus hederaceus Miq.
7 Amorphophallus muelleri Blume 19 Scindapsus sp.
Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.)
8 20 Typhonium blumei Nicolson & Sivad.
Nicolson
9 Amorphophallus variabilis Blume 21 Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume
10 Arisaema filiforme (Reinw.) Blume 22 Typhonium horsfieldii (Miq.) Steenis
11 Colocasia esculenta (L.) Schott 23 Typhonium roxburghii Schott
12 Colocasia gigantea (Blume) Hook.f
(Kurniawan dan Asih, 2012; Kurniawan et al, 2013)
PEMBAHASAN
Dari Tabel 2 terlihat bahwa hampir semua kabupaten di Bali sudah dijadikan sebagai
lokasi eksplorasi tanaman araceae. Secara jumlah sudah 104 % untuk jenis dan 108,3% untuk
marga Araceae yang ada di Pulau Bali telah terkonservasi di Kebun Raya Eka Karya Bali.
Jumlah marga lebih banyak disebabkan karena terjadi perubahan marga yaitu Sauromatum
horsfieldii (Miq.) Steenis yang semula adalah Typhonium horsfieldii (Miq.) Steenis. Beberapa
koleksi ada yang belum tercatat dalam daftar jenis Aracaea Pulau Bali yaitu Homalomena
pendula, Homalomena sp., dan Rhaphidophora sylvestris. Ketiga jenis tersebut bukan
merupakan jenis distribusi baru, karena tercatat sebagai jenis yang ada di Kepulauan Sunda
Kecil, termasuk di dalamnya Pulau Bali. Selama ini belum ada data yang menjelaskan jenis-
jenis Araceae yang ada di masing-masing pulau di Kepulauan Sunda Kecil, hanya Pulau Bali
yang sudah tercatat.
Dilihat dari Tabel 3, masih ada dua jenis Araceae Bali yang belum terkonservasi di
Kebun Raya Eka Karya Bali yaitu Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume dan Typhonium
roxburghii Schott. Oleh karena itu penelitian dan inventarisasi tentang Araceae di Pulau Bali
masih perlu dilanjutkan. Selain itu ada beberapa jenis Araceae Kepulauan Sunda Kecil yang
belum terkonservasi di Kebun Raya. Salah satu data yang dikumpulkan ketika mengkoleksi
material eksplorasi adalah lokasi. Data lokasi berperan penting dalam upaya mengetahui
penyebaran jenis tersebut di alam. Perjalanan ke Bukit Mesehe di Kabupaten Jembrana dapat
menambah jumlah data penyebaran jenis-jenis araceae tertentu. Berikut deskripsi untuk 5 jenis
Araceae yang sudah dikoleksi dan teridentifikasi dari Bukit Mesehe:
Alocasia alba Schott.
Deskripsi : Herba, tinggi mencapai 2 meter; tangkai daun berwarna hijau, pelepah daun
1/4-1/3 panjang tangkai daun, berwarna hijau; daun tebal, berwarna hijau dengan bentuk bulat
telur-memata panah hingga menjantung-memata panah, tepi daun agak bergelombang, ujung
daun agak meruncing, ibu tulang daun dan tulang daun primer menonjol pada kedua sisi daun,
tulang daun sekunder tenggelam pada bagian atas daun dan menonjol pada bagian bawah daun;
perbungaan dapat mencapai 10 bunga, tapi pada umumnya sepasang, gagang perbungaan
dapat mencapai panjang 38 cm, seludang dapat mencapai panjang 17 cm, seludang bawah
berwarna hijau-krem kehijauan, seludang atas tebal berwarna kuning kehijaun-putih kehijauan,
tongkol dapat mencapai panjang 16 cm, duduk atau bertangkai sangat pendek, bunga betina
tersusun rapat, berwarna hijau, bakal buah berbentuk bulat telur-agak membulat, kepala putik
berwarna putih-krem, terdiri dari 2-3 lobus, bunga jantan dan apendiks berwarna krem, buah
berwarna oranye (Kurniawan et al., 2013).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 71
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Colocasia esculenta
Deskripsi : Daun bentuk jantung, permukaan daun licin, tidak mengkilat dan kedap air,
tepi daun rata, warna daun hijau muda sampai hijau tua, helaian daun lebih dari 50-75cm x25-
45 cm, tangkai daun subpeltata sampai peltata, panjangnya 50-100 cm, pelepah daun 1/3
panjang tangkai daun, Tongkol ditutup seludang warna hijau dibawah dan warna putih-oranye
pada seludang atas dengan panjang sekitar 10 cm dan agak tebal. Tongkol duduk atau tidak
bertangkai, lebih pendek dari seludang, bakal buah rapat dan berwarna hijau, bunga steril antara
bunga betina dan jantan berwarna krem, bunga jantan berwarna kuning dan apendiks berwarna
ivory, diameter lebih kecil dari bunga jantan. Dijumpai dipinggiran aliran sungai
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 72
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
A B C
D E F
G H I
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 73
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SIMPULAN
Berdasarkan hasil eksplorasi di Bukit Mesehe diperoleh informasi jenis-jenis araceae
yang ditemukan di lokasi sebanyak 9 jenis. Jumlah koleksi Araceae asal Bali yang terkoleksi
di kebun raya Bali sudah 100% secara jumlah. Akan tetapi masih ada dua jenis yang belum
dikoleksi yaitu Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume dan Typhonium roxburghii Schott.
Beberapa koleksi ada yang belum tercatat dalam daftar jenis Aracaea Pulau Bali yaitu
Homalomena pendula, Homalomena sp., dan Rhaphidophora sylvestris, tapi ketiga jenis
tersebut bukan merupakan jenis distribusi baru, karena tercatat sebagai Araceae Kepulauan
Sunda Kecil, termasuk Pulau Bali di dalamnya. Upaya penambahan koleksi melalui eksplorasi
perlu dilakukan secara kontinyu untuk mendukung upaya pelestarian Araceae di Bali
khususnya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih saya ucapkan kepada Kepala UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun
Raya “Eka Karya” Bali atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti perjalanan eksplorasi.
Penelitian ini didanai dari Sub kegiatan Konservasi jenis-Jenis Araceae di Pulau Kalimantan.
DAFTAR PUSTAKA
Backer, C.A. & Bakhuizen Van den Brink Jr., R.C. 1968. Flora of Java 3:111–113. Wolters–Noordhof
NV, Groningen
Hay A, Yuzammi. 2000. Schismatoglottideae (Araceae) in Malesia I Schismatoglottis. Telopea 9(1):1-
177
http://www.dephut.go.id/uploads/files/Stat_BKSDA_Bali_2008.pdf diakses tanggal 22 September
2015
http://www.kph.dephut.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=112&Itemid=327
diakses tanggal 22 September 2015
Kurniawan, A. dan N. P. S.Asih. 2012. Araceae Pulau Bali. LIPI PRESS. Jakarta
Kurniawan, A., N.P.S. Asih, Yuzammi, and P.C.Boyce. 2013. Studies on the Araceae of the Lesser
Sunda Islands I:New distribution records for Alocasia alba. Gardens’ Bulletin Singapore
65(2):157–162
Lestari, D., I.B.K. Arinasa dan R. Iryadi. 2015. Tumbuhan Berpotensi di Resort Pemangku hutan
Tegalcangkring Kabupaten Jembrana, Bali. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas UNS
Volume 3 (1): 34-39
Mayo, S.J., J. Bogner & P.C. Boyce (1997). The Genera of Araceae. The European Union. Continental
Printing. Belgium.
Profil Kabupaten Jembrana. 2014. Pemerintah Kab. Jembrana. Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah dan Penanaman Modal
UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Bali Barat.2012.Rencana Pengelolaan Hutan
Jangka Panjang Tahun 2013-2022. UPT Kesatuan pengelolaan Hutan Lindung(KPHL) Bali
Barat. Denpasar
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 74
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
EKSPLORASI TUMBUHAN YANG BERPOTENSI SEBAGAI PENGHASIL
MINYAK ATSIRI DI KABUPATEN SUMBAWA - NTB
ABSTRAK
Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas ekspor agroindustri potensial yang dapat
menjadi andalan bagi Indonesia untuk mendapatkan devisa. Data statistik ekspor-impor dunia
menunjukan bahwa konsumsi minyak atsiri naiknya sekitar 10% dari tahun ke tahun. Kenaikan
tersebut terutama didorong oleh perkembangan kebutuhan untuk industri food flavouring,
industri komestik dan wewangian. Selain itu minyak atsiri belakangan banyak dimanfaatkan
untuk pengobatan sebagai aromaterapi karena diketahui dapat menumbuhkan perasaan tenang,
dapat menciptakan suasana yang damai, serta dapat menjauhkan dari perasaan cemas dan
gelisah. Indonesia menghasilkan 40 dari 80 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasar
dunia. Dari jumlah tersebut 13 jenis telah memasuki pasar atsiri dunia. Indonesia adalah salah
satu negara yang mempunyai keanekaragaman hayati yang paling tinggi di dunia, sehingga
diyakini masih banyak tumbuhan hutan yang berasal dari Kawasan Timur Indonesia yang
belum diketahui potensinya sebagai penghasil minyak atsiri. Tujuan dari kegiatan ini adalah
untuk mengkoleksi jenis-jenis tumbuhan yang diduga mengandung minyak atsiri, khususnya
yang berasal dari Kabupaten Sumbawa NTB serta menggali informasi pemanfaatannya secara
tradisional oleh masyarakat sekitar. Dari hasil eksplorasi diperoleh sebanyak 12 nomor koleksi
yang terdiri atas : 5 Suku, 11 Marga, 12 Jenis dan 62 spesimen. Dari semua tanaman yang
diperoleh beberapa tanaman biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar secara tradisional
seperti memulihkan kebugaran untuk ibu yang baru melahirkan, mengobati memar dan
bengkak, mengobati malaria, sebagai campuran bumbu masakan dan bahkan ada pula yang
dapat dimakan langsung.
Kata kunci : Ekplorasi, atsiri, Sumbawa, NTB
PENDAHULUAN
Banyaknya kekayaan hayati Indonesia menjadikan semakin berkembang ide-ide untuk
meningkatkan nilai jual produk tanaman terutama tanaman penghasil minyak atsiri (essential
oil). Indonesia menghasilkan 40 dari 80 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasar
dunia. Dari jumlah tersebut 13 jenis telah memasuki pasar atsiri dunia, yaitu nilam, serai
wangi, cengkih, jahe, pala, lada, kayu manis, cendana, melati, akar wangi, kenanga, kayu putih,
dan kemukus. Sebagian besar minyak atsiri yang diproduksi petani diekspor dengan pangsa
pasar untuk nilam 64%, kenanga 67%, akar wangi 26%, sarai wangi 12%, pala 72%, cengkih
63%, jahe 0,4%, dan lada 0,9% dari ekspor dunia (Rizal dan Djazuli, 2006).
Hasil Konferensi Nasional Minyak Atsiri di Solo (2006) telah mengidentifikasi
sebanyak 32 jenis minyak atsiri yang berpotensi untuk dikembangkan, diantaranya terdapat
enam jenis minyak atsiri baru yang dapat dimanfaatkan secara komersial, yaitu minyak anis
(anis oil), minyak peppermint (cornmint oil), kemangi atau basil (reunion type basil oil), serai
wangi (lemon-grass West Indian Type), jeragau (calamus oil), dan bangle. Minyak
atsiri dikenal dengan nama minyak eteris atau minyak terbang merupakan bahan yang bersifat
mudah menguap (volatile), mempunyai rasa getir, dan bau mirip tanaman asalnya yang diambil
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 75
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dari bagian-bagian tanaman seperti daun, buah, biji, bunga, akar, rimpang, kulit kayu, bahkan
seluruh bagian tanaman.
Minyak atsiri selain dihasilkan oleh tanaman, dapat juga sebagai bentuk dari hasil
degradasi oleh enzim atau dibuat secara sintetis. Proses produksi minyak atsiri dapat ditempuh
melalui 3 cara, yaitu: (1) pengempaan (pressing), (2) ekstraksi menggunakan pelarut (solvent
extraction), dan (3) penyulingan (distillation). Penyulingan merupakan metode yang paling
banyak digunakan untuk mendapatkan minyak atsiri. Penyulingan dilakukan dengan
mendidihkan bahan baku di dalam ketel suling sehingga terdapat uap yang diperlukan untuk
memisahkan minyak atsiri dengan cara mengalirkan uap jenuh dari ketel pendidih air (boiler)
ke dalam ketel penyulingan.
Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas ekspor agroindustri potensial yang dapat
menjadi andalan bagi Indonesia untuk mendapatkan devisa. Data statistik ekspor-impor dunia
menunjukan bahwa konsumsi minyak atsiri naiknya sekitar 10% dari tahun ke tahun. Kenaikan
tersebut terutama didorong oleh perkembangan kebutuhan untuk industri food flavouring,
industri komestik dan wewangian (Rizal, M. et al. 2009). Selain itu minyak atsiri belakangan
banyak dimanfaatkan untuk pengobatan sebagai aromaterapi karena diketahui dapat
menumbuhkan perasaan tenang (rileks) pada jasmani, pikiran, dan rohani (soothing the
physical, mind and spiritual), dapat menciptakan suasana yang damai, serta dapat menjauhkan
perasaan cemas dan gelisah (Jaelani, 2009).
Beberapa tumbuhan penghasil minyak atsiri dapat juga digunakan sebagai tanaman
konservasi yang membuka peluang untuk dimanfaatkan dalam pemulihan lahan kritis di
dataran rendah dengan tingkat kemiringan >30% (Daswir, 2010). Indonesia adalah salah satu
negara yang mempunyai keanekaragaman hayati yang paling tinggi di dunia, sehingga diyakini
masih banyak tumbuhan hutan yang berasal dari Kawasan Timur Indonesia yang belum
diketahui potensinya sebagai penghasil minyak atsiri. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk
mengkoleksi jenis-jenis tumbuhan yang diduga mengandung minyak atsiri, khususnya yang
berasal dari Kabupaten Sumbawa NTB serta menggali informasi pemanfaatannya secara
tradisional oleh masyarakat sekitar.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 76
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Lokasi
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 77
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Dari hasil eksplorasi diperoleh 12 nomor tanaman yang diduga mengandung minyak
atsiri yang terdiri atas : 5 Suku, 11 Marga, 12 Jenis dan 62 Spesimen (Tabel 1). Tanaman
seperti Zanthoxylum sp. dan Toddalia sp. biasa digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai obat
dengan cara memakai air rebusan daunnya untuk mandi bagi ibu yang baru melahirkan agar
kebugarannya segera pulih. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan kandungan minyak atsiri
yang dimiliki oleh tanaman tersebut yang secara tidak langsung dapat menjadi aroma terapi
guna pemulihan kesehatan bagi ibu yang baru melahirkan.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 78
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
supportive seperti efek relaksasi maupun perangsang, menenangkan kecemasan dan
menurunkan depresi.
Tanaman seperti Amomum sp. rimpangnya dapat digunakan sebagai obat memar, serta
sebagai campuran dalam pembuatan minyak urut, hal ini kemungkinan dikarenakan kandungan
dari tanaman ini yang dapat menyembuhkan memar dan bengkak. Menurut Arief Hariana
(2009) beberapa tanaman memiliki efek farmakologis melancarkan sirkulasi darah, anti radang,
menghilangkan bengkak, dan menetralisir racun.
Meminum rebusan daun Boenninghausenia albiflora serta menempel tumbukan
daunnya di perut dilakukan oleh masyarakat sekitar untuk mengobati malaria. Hal ini senada
dengan pendapat dari Natural Medicinal Herbs (2015) yang menyebutkan bahwa air rebusan
dari akar B. albiflora digunakan untuk mengobati malaria, selain itu tumbukan dari daun juga
bisa digunakan untuk menghentikan pendarahan pada luka. Daun dari tanaman ini juga
dikabarkan mampu mengobati penyakit kudis, serta aromanya juga mampu menghilangkan
sakit kepala.
SIMPULAN
Hasil eksplorasi di Sumbawa-NTB, diperoleh sebanyak 12 nomor koleksi yang terdiri
atas : 5 Suku, 11 Marga, 12 Jenis dan 62 spesimen. Dari semua tanaman yang diperoleh
beberapa tanaman biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar secara tradisional seperti
memulihkan kebugaran untuk ibu yang baru melahirkan, mengobati memar dan bengkak,
mengobati malaria, sebagai campuran bumbu masakan dan bahkan ada pula yang dapat
dimakan langsung.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 79
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
DAFTAR PUSTAKA
Addor, R.W. 1995. Insecticides, In C. Godfrey, ed. Agrochemicals from Natural Products.
Marcel Dekker Inc. New York. Pp. 1-63.
Arief Hariana. 2009. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta : Penebar Swadaya
Daswir. 2010. Peran serai wangi sebagai tanaman konservasi pada pertanaman kakao di lahan
kritis. Bul. Littro. 21(2):117-128.
Jaelani. 2009. Aromaterapi. Jakarta : Pustaka Populer Obor
Natural Medicinal Herbs. 2015. http://www.naturalmedicinalherbs.net/herbs/b/boenning
hausenia-albiflora.php dikutip tgl 22 September 2015.
Primadiati, R. 2002. Aromaterapi: Perawatan alami untuk sehat dan cantik. Jakarta: Gramedia.
Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri. 2006. Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya
Saing Tinggi. Solo. ISBN 979-15433-0-5
Regnault-Roger, C. 2005. New insecticides of plant origin for the third millennium. Pp. 17-35,
In B.J.R. Regnault-Roger et al. eds. Bio-pesticides of plant Origin. Lavoisier Publishing
Inc. 313 p.
Rizal, M. Dan M. Djazuli. 2006. Strategi Pengembangan Minyak Atsiri Indonesia. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 28(5):13-14.
Rizal, M., M.S.Rusli, dan A. Mulyadi. 2009. Minyak Atsiri Indonesia. IPB. Bogor.
Rugayah, E. A. Widjaja, dan Praptiwi. 2005. Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman
Flora. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Simon, H. 1993. Metode Inventore Hutan. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta.
Sumbawa Dalam Angka. 2014. http://www.sumbawakab.go.id/images/downloads/
KABUPATEN_SUMBAWA_DALAM_ANGKA_TAHUN_2014.compressed.pdf
Wawan S and IBK. Arinasa. 2012. Aromatic Plants in Bali Botanic Garden. Aromatic
Intertnational Seminar. Denpasar-Bali.
Wiratno, S. Suriati, M. Djazuli, dan Siswanto. 2012. Pemanfaatan limbah tanaman aromatik
sebagai mulsa dan daya repelensinya terhadap Doleschallia polibete. Bul. Littro. 23(1):
61-69.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 80
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KADAR SARI CABE JAWA (Piper retrofractum) DENGAN BEBERAPA
METODE MASERASI DAN JENIS PELARUT
ABSTRAK
Salah satu tumbuhan obat tradisional yang berkembang di Indonesia adalah cabe jawa
(Piper retrofractum) dari famili Piperaceae. Setiap tumbuhan memiliki kadar sari berbeda-
beda. Melalui proses ekstraksi, senyawa fitokimia akan tertarik keluar oleh perlarut yang
digunakan. Senyawa fitokimia tersebut ada yang tahan terhadap panas, adapula yang rusak
akibat panas. Ektraksi yang paling mudah adalah ekstraksi dengan metode maserasi. Buah cabe
jawa (Piper retrofractum) diekstraksi dengan menggunakan 3 cara ekstraksi yaitu maserasi
dingin, maserasi panas, dan maserasi mekanik, dan masing-masing diberi 3 perlakuan pelarut
(etanol 96%, metanol 96%, air-kloroform) dengan 3 kali replikasi. Kemudian dihitung
persentase kadar sari buah cabe jawa (Piper retrofractum) dari tiap cara ekstraksi dan tiap
perlakuan dan dilakukan analisis ANOVA dan uji lanjut Tuckey dengan tingkat kepercayaan
95% menggunakan software Minitab versi 16.1. Hasilnya diperoleh bahwa metode tidak
mempengaruhi perolehan kadar sari cabe jawa, sedangkan pelarut mempengaruhi perolehan
kadar sari cabe jawa dengan perolehan dari pelarut air-kloroform yang paling banyak yaitu
14,6%. Interaksi antara metode dengan pelarut juga tidak mempengaruhi perolehan kadar sari
buah P.retrofractum.
Kata Kunci: Cabe jawa, Piper retrofractum, Maserasi, Etanol, Metanol, Air-kloroform
ABSTRACT
One of traditional medicine which improved in Indonesia is Javanese long pepper
(Piper retrofractum) from Piperaceae family. Each plant have differences on extract yield.
With extraction methods, phytochemical compound out and dissolve in used solvent. Few
phytochemical compounds heat resistant. The easiest extraction is extracted by maceration
method. Javanese long pepper (Piper retrofractum) extracted by 3 maceration methods, that
is classic maceration, heat treatment maceration, and mechanic treatment maceration, which
have 3 solvents (ethanol 96%, methanol 96%, water-chloroform) with 3 replication. Extract
yield of Piper retrofractum from each treatment calculated dan analyzed by ANOVA and
Tuckey further test with 95% level of confidence used Minitab version 16.1. The result show
that maceration methods not influence to extract yiled, while solvents influence extract yield
with water-chloroform solvent (14,6%) exhibits highest yield. Interaction between maceration
methods and solvents also not influence to extract yield of P.retrofractum.
Keyword: Javanese long pepper, Piper retrofractum, Maceration Method, Ethanol, Methanol,
water-chloroform.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 81
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN
Negara dengan kekayaan alam yang melimpah seperti Indonesia, menyimpan sejuta
potensi di bidang pengobatan. Indonesia merupakan negara tropis yang cocok untuk tempat
tumbuh berbagai tumbuhan obat. Tumbuhan obat secara kimiawi mengandung berbagai
senyawa kimia aktif. Senyawa ini merupakan hasil metabolisme sekunder pada tumbuhan.
Tumbuhan obat dapat berupa tumbuhan perdu, herba, ataupun berkayu, yang bagian-bagian
tumbuhan ini dapat berguna dijadikan obat bahkan adapula yang semua bagian tumbuhan
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai obat. Salah satu tumbuhan obat tradisional yang
berkembang di Indonesia adalah cabe jawa (Piper retrofractum) dari famili Piperaceae. Famili
Piperaceae memiliki kandungan kimia yang khas yaitu piperin. Piperin merupakan salah satu
golongan alkaloid yang dapat menimbulkan efek nyaris serupa dengan kapsaisin dan gingerin.
Cabe Jawa dapat digunakan untuk menghilangkan sakit, menghentikan pendarahan
(hemostatik), melancarkan peredaran darah, mencegah keguguran.
Menurut Haryudin dan Rostiana (2010) cabe jawa (Piper retrofractum) merupakan
tanaman tahunan yang tumbuh memanjat (liana), berbuku-buku, bentuk batang bulat, warna
batang coklat sampai kehitaman, terdapat sulur. Daun tunggal, bentuk membulat, warna hijau.
Buah bulat panjang. Buah inilah yang digunakan dalam pengobatan. buah dikeringkan
kemudian dibuat menjadi serbuk, dapat menjadi obat luar ataupun campuran dengan tumbuhan
obat lainnya. Wilayah penyebaran cabe jawa hampir di seluruh Indonesia kecuali di wilayah
Indonesia bagian Timur. Sekarang tumbuhan ini banyak dibudidayakan di wilayah Jawa Timur.
Seiring dengan berkembangnya obat herbal atau obat yang berasal dari tumbuhan,
ekstraksi terhadap suatu tumbuhan pun semakin banyak dilakukan yang bertujuan untuk
mengetahui kandungan senyawa kimia aktif (fitokimia) apa saja yang dikandung oleh
tumbuhan tersebut serta menggali potensi lebih lanjut dari senyawa kimia tersebut. Setiap
tumbuhan memiliki kadar sari berbeda-beda. Melalui proses ekstraksi, senyawa fitokimia akan
tertarik keluar oleh perlarut yang digunakan.Senyawa fitokimia tersebut ada yang tahan
terhadap panas, adapula yang rusak akibat panas. Ektraksi yang paling mudah adalah ekstraksi
dengan metode maserasi. Metode ini sangat sederhana yaitu hanya dengan merendam sampel
dalam pelarut selama 24 jam, Metode maserasipun dapat dilakukan dengan cara dingin, cara
panas, dan cara panas yang digabungkan dengan pengadukan. Dalam penelitian ini akan
dilakukan perbandingan kadar sari (rendemen) dari hasil ekstraksi melalui berbagai metode
maserasi untuk mengetahui metode yang efektif untuk ekstraksi terhadap buah Piper
retrofractum (Cabe Jawa).
Pelarut yang sering digunakan untuk ekstraksi adalah etanol dan air-kloroform. Kedua
pelarut ini menjadi pelarut standar dalam pengujian karakteristik simplisia suatu tumbuhan,
yaitu penetapan kadar sari larut etanol, dan kadar sari larut air. Walaupun disebut kadar sari
larut air, terdapat campuran kloroform di dalamnya sehingga air tersebut menjadi non polar,
sama halnya dengan etanol yang bersifat non polar. Metanol merupakan senyawa non polar
dan senyawa ini jarang digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi, padahal sifat metanol dapat
pula menarik zat-zat bioaktif keluar termasuk senyawa antikanker (Sahid et al., 2013). Oleh
karena itu, penelitian mengenai kadar sari larut metanol juga perlu dilakukan untuk melihat
sejauh mana keefektifan metanol dalam menarik zat senyawa kimia.
Maksud penelitian ini adalah mengetahui metode dan pelarut yang efektif untuk
mengekstrak buah Piper retrofractum. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan membandingkan kadar sari larut air-kloroform, kadar sari larut etanol, dan
kadar sari larut metanol buah Piper retrofractum dari metode ekstraksi maserasi dingin,
maserasi panas, dan maserasi mekanik.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 82
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
MATERI DAN METODE
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Alumunium foil untuk membungkus
wadah, beaker glass 250 ml sebagai wadah, corong gelas kecil untuk memudahkan
memindahkan cairan, erlenmeyer 250 ml sebagai wadah, gelas ukur 100 ml untuk mengukur
cairan, hot plate untuk memanaskan larutan, kertas saring untuk menyaring larutan, magnetic
stirrer untuk mengaduk larutan, neraca analitik untuk menimbang bobot bahan dan ekstrak,
penjepit untuk memindahkan beaker glass, pipet tetes untuk memindahkan larutan, saringan
untuk menyaring serbuk, spatula untuk memindahkan bahan uji, water bath untuk menguapkan
larutan dan memanaskan larutan.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah cabe jawa (Piper retrofractum),
air-kloroform, etanol 96%, dan metanol 96%.
Ekstraksi
Metode Maserasi Dingin
Sebanyak 10 gram serbuk halus cabe jawa dimasukkan dalam beaker glass, kemudian
ditambahkan 100 ml etanol 96%. Kemudian dibungkus dengan alumunium foil dan didiamkan
selama 24 jam dengan sesekali diaduk. Setelah itu disaring dengan kertas saring ke erlenmeyer
yang sudah ditimbang. Hasil saringan diuapkan di atas water bath bersuhu 500-650C hingga
pelarut menguap dan dihasilkan ekstrak kental. Erlenmeyer ditimbang kembali dan didapatkan
bobot dari ekstrak kental cabe jawa. Hal yang sama dilakukan terhadap metanol 96% dan air-
kloroform. Dilakukan pengulangan 3 kali.
Analisis Data
Penelitian dilakukan dengan desain rancangan acak lengkap (RAL), yaitu dengan
membandingkan persentase kadar sari dari cabe jawa dengan menggunakan 3 metode (maserasi
dingin, maserasi panas, dan maserasi mekanik) dan masing-masing diberi 3 perlakuan (etanol
96%, metanol 96%, air-kloroform) dengan 3 kali replikasi. Kemudian dianalisis ANOVA dan
uji lanjut Tuckey dengan tingkat kepercayaan 95% menggunakan software Minitab versi 16.1.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 83
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Setelah diketahui bobot cabe jawa yang digunakan untuk ekstraksi dan diperoleh bobot
dari ekstrak kental cabe jawa dari masing-masing larutan, maka akan diperoleh persentase
rendemen (kadar sari), dengan rumus sebagai berikut:
% 100%
HASIL
Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh hasil sebagai berikut :
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 84
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
pemekatan menjadi sulit karena air memiliki titik didih yang lebih tinggi dibandingkan pelarut
organik yang digunakan (Yudiastuti et al., 2007).
Ekstrak cabe jawa yang didapatkan berbau khas rempah-rempah dan pedas karena
mengandung senyawa piperin. Cabe jawa memang dijadikan bumbu rempah-rempah dan
sebagai bahan jamu tradisional. Ekstrak cabe jawa yang dihasilkan dari pelarut metanol dan
etanol kental dan lengket, sedangkan ekstrak cabe jawa yang dihasilkan dengan pelarut air
kental namun tidak lengket. Hasil pengujian ANOVAdengan tingkat kepercayaan 95%
menunjukan bahwa ketiga metode tidak berbeda nyata terhadap perolehan berat rendemen buah
P.retrofractum, sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut :
Nilai F tabel untuk metode F(α,dfA,dfE) = F(0.05,2,24) = 3,4 (lihat pada tabel distribusi F taraf
kepercayaan 5%). Nilai F hitung untuk metode lebih kecil dari nilai F tabel (1,63<3,4), berarti
metode tidak berpengaruh nyata terhadap perolehan rendemen. Hal ini mungkin disebabkan
oleh senyawa kimia dari P.retrofractum tahan terhadap panas sehingga baik pada metode
dengan cara dingin maupun cara panas jumlah senyawa kimia yang ditarik oleh pelarut tidak
berbeda jauh. Secara efisiensi waktu, metode maserasi dengan mekanik yang paling efektif
karena hanya dengan 30 menit dapat membentuk rendemen hampir sama banyaknya dengan
metode lainnya yang membutuhkan waktu 2 jam atau 24 jam.
Metode maserasi dingin dilakukan selama 24 jam. Penghalusan buah P.retrofractum
membuat dinding sel menjadi rusak sehingga pelarut dapat menarik senyawa kimia yang ada
dalam sel (Voigh, 1994). Untuk metode ini diperoleh rataan rendemen sebesar 12,2%. Metode
maserasi panas menggunakan waterbath bersuhu 500C dengan waktu 2 jam. Pemanasan
dimaksudkan untuk menambah kelarutan senyawa kimia dalam P.retrofractum terhadap
pelarut dan ditujukan untuk senyawa kimia yang tahan terhadap panas. Secara rataan, metode
ini memperoleh hasil yang lebih besar yaitu 13,5%. Sedangkan untuk metode maserasi
mekanik memperoleh rataan rendemen yang hanya berbeda sedikit dari maserasi panas yaitu
13,6%. Maserasi mekanik ini dilakukan dengan menggunakan magnetic stirrer dan hotplate.
Hotplate diatur suhunya 400-500C dan magnetic stirrer diatur dengan kecepatan minimum.
Dengan demikian, metode ini dapat menambah kelarutan senyawa fitokimia dengan cara
pemanasan dan pengadukan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa maserasi
mekanik yang paling efisien dari segi waktu pengerjaan, hanya 30 menit dan memiliki
persentase rendemen paling banyak dibanding kedua metode sebelumnya.
Menurut Depkes RI (1989), proses pemanasan selama ekstraksi akan mengurangi
kekentalan pelarut sehingga dapat mengurangi lapisan-lapisan batas, daya melarutkan cairan
penyari akan meningkat, sehingga pemanasan tersebut mmepunyai pengaruh yang sama
dengan pengadukan, koefisien difusi berbanding lurus dengan suhu absolut dan berbanding
terbalik dengan kekentalan, hingga kenaikan suhu akan berpengaruh pada kecepatan difusi.
Umumnya kelarutan zat aktif akan meningkat bila suhu dinaikkan.
Keuntungan cara ekstraksi menggunakan metode maserasi adalah metode ini sederhana
baik dari segi pengerjaan maupun alat yang digunakan. Kerugian cara maserasi adalah
pengerjaannya lama dan penyarian yang kurang sempurna. Maserasi membutuhkan waktu 4-5
hari jika bahan yang digunakan keras. Namun jika bahan dalam bentuk serbuk, dapat
mempersingkat waktu pengerjaannya, cukup dengan 24 jam karena penghalusan dapat merusak
dinding sel tumbuhan.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 85
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Perolehan rendemen dari ketiga pelarut tidak jauh berbeda, namun dari hasil analisis
variat menunjukkan bahwa ketiga pelarut memberikan pengaruh terhadap perolehan rendemen,
seperti yang ditunjukkan tabel hasil perhitungan ANOVA rendemen terhadap pelarut :
Tingkat probabilitas yang dipakai 0,05 atau 5%. Nilai F tabel untuk pelarut F(α,dfB,dfE) =
F(0.05,2,24) = 3,4 (lihat pada tabel distribusi F). Nilai F hitung untuk pelarut lebih besar dari nilai
F tabel (4,77>3,4), berarti pelarut memberikan pengaruh terhadap perolehan rendemen.
Kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut Tuckey 5% dan didapatkan sebagai berikut:
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 86
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tingkat Probabilitas yang dipakai 0,05 atau 5%, dengan demikian nilai F tabel untuk
interaksi F(α,dfAB,dfE) = F(0.05,4,18) = 2,93 (lihat pada tabel distribusi F). Nilai F hitung interaksi
lebih kecil dari nilai F tabel (0,41<2,93), berarti interaksi antara metode dengan pelarut tidak
berpengaruh terhadap perolehan rendemen.
Buah Piper retrofractum mengandung senyawa polifenol. Polifenol akan larut dalam
pelarut seperti air, aseton, metanol, dan etanol. Penggunaan aseton akan menimbulkan residu
aseton yang banyak sehingga tidak efektif untuk pelarut ekstraksi (Dent et al., 2012). Menurut
Padmapriya et al. (2012) dalam Pohanet al. (2012), ekstrak etanol lebih efektif pada tumbuhan
yang mengandung polifenol, karena ekstrak etanol memiliki polaritas yang hampir sama
dengan polifenol dibandingkan dengan ekstrak air. Selain itu, ekstrak etanol lebih efisien dalam
mendegradasi dinding sel tumbuhan yang bersifat non-polar dan menyebabkan polifenol keluar
dari sel.Sedangkan pada ekstrak air terjadi degradasi polifenol dikarenakan aktivitas enzim
polifenol oksidase, yang mana pada ekstrak etanol enzim ini tidak aktif.
Air yang memiliki komponen hidroksi yang lebih banyak akan lebih banyak terikat
dengan senyawa fenol yang terdapat pada larutan ekstrak cabe jawa. Senyawa fenol cenderung
lebih larut dalam air serta oleh Harborne (1987) mengatakan bahwa senyawa fenol cenderung
larut dalam pelarut polar.Pohan et al., (2013) menyebutkan bahwa metanol (CH3OH)
merupakan senyawa kimia yang digunakan sebagai pelarut organik. Senyawa ini memiliki
gugus hidroksil (polar) yang membuat pelarut ini dapat mengekstrak komponen bioaktif dalam
ekstrak cabe jawa. Namun metanol bersifat toksik bagi tumbuh, sehingga pelarut ini tidak
cocok untuk dijadikan pelarut dalam metode in vivo.
Cabe jawa juga memiliki kandungan alkaloid. Alkaloid memiliki basa nitrogen pada
rantai sikliknya dan mengandung beragam substituen sehingga alkaloid bersifatsemipolar
(Purba, 2001). Saponin memiliki glikosil yang berfungsisebagai gugus polar dan gugus steroid
sebagai gugus nonpolar (Sangi et al., 2008). Triterpenoid memiliki bagian nonpolar dan polar.
Triterpenoid tersusun dari rantai panjang hidrokarbon C yang menyebabkan sifatnya nonpolar
dan memiliki gugus hidroksi sehingga memiliki sifat polar (Taofik et al., 2010). Menurut Sari
et al., (2013), air menjadi pelarut semipolar yang baik dalam pengekstraksian komponen
senyawa kimia dalam bahan pangan.
Cabe jawa biasa digunakan sebagai bahan pangan (bumbu rempah-rempah) dan obat
tradisional yang diminum. Selain itu, menurut Affendi (2006) dalam Sari et al., (2013), pelarut
etanol memiliki dua gugus yang berbeda kepolarannya yaitu gugus hidroksil yang bersifat
polar dan gugus alkil yang bersifat non polar, dengan demikian etanol juga dapat mengikat
senyawa semipolar yang ada dalam Cabe jawa.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Metode maserasi yang digunakan meliputi maserasi dingin, maserasi panas, dan maserasi
mekanik tidak memberikan pengaruh terhadap perolehan kadar sari ekstrak buah Piper
retrofractum.
2) Ketiga pelarut meliputi etanol, metanol, dan air memberikan pengaruh yang nyata terhadap
perolehan kadar sari ekstrak buah Piper retrofractum, dengan pelarut air yang memberikan
hasil yang paling besar yaitu 14,5%.
3) Interaksi antara metode dengan pelarut tidak berpengaruh terhadap perolehan kadar sari
ekstrak buah Piper retrofractum.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ash’ary MN, Supriyanti FM, Zackiyah. 2010. Penentuan pelarut terbaik dalam
mengekstraksikan senyawa bioaktif dari kulit batang Artocapus heterophyllus. Jurnal
Sains dan Teknologi Kimia. 1(2):150-8.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 87
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian - IAARD online. 1997. Cabe Jawa, Potensial
untuk Industri Obat Tradisional http://www.litbang.deptan.go.id/
Bahl A, Bahl BS. 2011. A Textbook of Organic Chemistry (for B.Sc Students). New Delhi: S.
Chand & Company.
Dent M, Dragovis V, Penic M, Brncic M. 2012.The effect of extraction solvents, temperature
and time on the composition and mass fraction of polyphenols of Dalmatian Wild Sage
(Salvia officinalis L.). Food technology and biotechnology. 50(4).
DEPKES RI. 1989. Sediaan Galenik. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan.
Depkes RI. 2000. Acuan Sediaan Herbal. Jakarta: Direktorat Depkes RI
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat Jenderal
POM-Depkes RI.
Gupita, C. N. dan A. Rahayuni. 2012. Pengaruh Berbagai pH Sari Buah dan Suhu Pasteurisasi
Terhadap Aktivitas Antioksidan dan Tingkat Penerimaan Sari Kulit Buah Manggis.
Journal of Nutrition College. 1(1): 67-79.
Harbone, J.B. 1996. Metode Fitokimia. Penerjemah Padmawinata K, Soediro I. Bandung :
Institut Teknologi Bandung.
Hargono, D. 2009. Obat analgetik dan antiinflamasi nabati. Cermin Dunia Kedokteran [serial
online] 129. www.kalbe.co.id/files/cdk/13Obat Analgetik danAntiinflamasiNabati
129.pdf.
Istiqomah. 2013. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dengan Sokhletasi terhadap Kadar
Piperin Cabe Jawa (Piperis retrofracti fractus). Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Haryudin, W. dan O. Rostiana. 2009.Karakteristik Morfologi TanamanCabe Jawa (Piper
retrofractum Vahl) Di Beberapa Sentra Produksi.Bul.Littro. 20 (1): 1-10.
Muhlisah, Fauziah. 2008.Tanaman Obat Keluarga. Jakarta: Penebar Swadaya
Perry, R.H., and Green, D.W. 1984. perry’s Chemical Engineers Hand Book, 6th. ed. Tokyo:
Mc. Graw Hill Co., International Student edition.
Pohan, Anggi P.N., Erni H. Purwaningsih, Adisti Dwijayanti.2013. Efek Kelasi Ekstrak Etanol
Daun Mangifera foetida pada Feritin Serum Penderita Talasemia di RS Cipto
Mangunkusumo Tahun 2012. eJKI. 1(1).
Purba, 2001. Purba, R.D 2001. Analisis Komposisi Alkaloid Daun Handeuleum
(Graptophyllum pictum (Linn), Griff) yang Dibudidayakan dengan Taraf Nitrogen yang
Berbeda (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Rukmana, Rahmat. 2003. Cabai Jawa : Potensi dan Khasiat Bagi Kesehatan. Yogyakarta:
Kanisius.
Sahid A, Dingse Pandiangan,Parluhutan Siahaan,Marhaenus J. Rumondor. 2013. Uji
Sitotoksisitas Ekstrak Metanol Daun Sisik Naga (Drymoglossum piloselloides Presl.)
terhadap Sel Leukemia P388. Jurnal MIPA Unsrat Online. 2(2):94-99
Sangi, M., M.R.J. Runtuwene., H.E.I. Simbala.,V.M.A. Makang. 2008. Analisis Fitokimia
Tumbuhan Obat di Kabupaten Minahasa Utara. Chem. Prog. Vol. 1(1): 47-53.
Taofik, M., Yulianti, E., Barizi A., Hayati, E.K. 2010. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif
Ekstrak Air Daun Paitan (Thitonia Diversifolia) Sebagai Bahan Insektisida Botani Untuk
Pengendalian Hama Tungau Eriophydae. Alchemy. 2(1): 104157.
Sari, Fitrah K., Nurhayati, Djumarti. 2013. Ekstraksi Pati Resisten dari Tiga Varietas Kentang
Lokal yang Berpotensi sebagai Kandidat Prebiotik. Berkala Ilmu Petanian. 1(2):38-42.
Soemardjo, Damin. 2008. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokeran dan
Program Strata I Fakultas Eksakta. Jakarta: ECG
Sosrodarsono S, Takeda K. 1976. Hidrologi Untuk Pengairan. Jakarta: Pradnya Paramita
Sukardi.2011. Identifikasi dan Karakterisasi Umbi Keladi Tikus sebagai Zat Antioksidan
Alami. GAMMA. 6(2): 143-151
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 88
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh Soendani Noerono
Soewandhi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Winarto, W.P. 2003. Cabe Jawa, Si Pedas Berkhasiat Obat. Jakarta: Agromedia Pustaka
Yudiastuti, Silvi Oktavia Nur, Tensiska dan Marsetio. 2007.Pengaruh JenisPelarut terhadap
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kasar Isoflavon dari Ampas Tahu. Bandung: Universitas
Padjajaran.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 89
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
IDENTIFIKASI DAN KECEPATAN TUMBUH JAMUR-JAMUR YANG
MENGINFEKSI TANAMAN BUAH NAGA (Hylocereus spp.)
ABSTRAK
Penelitian untuk mengidentifikasi dan membandingkan kecepatan tumbuh jamur yang
menginfeksi tanaman buah naga putih (Hylocereus undatus) di desa Sobangan Kecamatan
Mengwi Kabupaten Badung secara invitro telah dilaksanakan di laboratorium Taksonomi
Tumbuhan (Mikologi) Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana. Teridentifikasi sebanyak
delapan species jamur penyebab busuk pada tanaman buah naga yaitu Aspergillus flavus, A.
niger, Trichophyton sp.,Microsporum sp., Rhizopus stolonifer, Fusarium sp.1 , Fusarium sp.2,
Cladosporium sp. Kedelapan jamur tersebut masing-masing ditumbuhkan pada media PDA
dicawan petri dengan pengulangan tiga kali (8 jenis jamur x 3 ulangan= 24 petri). Pengamatan
dan penghitungan diameter koloni jamur dilakukan setiap hari selama tujuh hari di
laboratorium. Hasil rerata pengukuran menunjukkan bahwa Rhizopus stolonifer merupakan
jamur yang tercepat tumbuhnya yaitu 6.4 cm hanya dalam waktu tiga hari dan Cladosporium
sp. merupakan jamur yang paling lambat tumbuhnya yaitu 2.8 cm selama tujuh hari
Kata Kunci : Buah Naga, Jamur, Kecepatan tumbuh
ABSTRACT
Research to identify and compare the growth of fungi that infect plants white dragon
fruit (Hylocereus undatus) in the village Sobangan Mengwi Badung have been carried out in
the laboratory of Plant Taxonomy (Mycology) Department of Biology, University of Udayana.
Identified eight species of fungi that cause rot on the plant dragon fruit is Aspergillus flavus, A.
niger, Trichophyton sp., Microsporum sp., Rhizopus stolonifer, Fusarium sp.1, Fusarium sp.2
and Cladosporium sp. Eighth fungus respectively grown on PDA media petri dicawan with
three times replicatication (8 species of fungi x 3 replications = 24 petri). Observations and the
diameter of fungal colony counting was done daily for seven days in the laboratory. Results
showed that the Rhizopus stolonifer is the fastest growing fungus that is 6.4 cm in just three
days and the fungus Cladosporium sp is the slowest growth that is 2.8 cm for seven days
Keywords: Dragon Fruits, Fungi, growing speed
PENDAHULUAN
Buah naga termasuk tanaman sukulen yang termasuk dalam keluarga kaktus dengan
morfologi buah mirip buah nanas. Selain itu memiliki sulur atau jumbai di sekujur kulitnya,
berwarna merah dengan daging buah ada yang berwarna putih, kuning, dan merah dengan biji
kecil-kecil berwarna hitam (Pratomo, 2008; Winarsih, 2007). Kendala dalam budi daya buah
naga adalah adanya serangan penyakit baik oleh hewan atau mikroorganisme (bakteri dan
jamur). Penyakit yang biasa menyerang tanaman buah naga antara lain penyakit busuk batang.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 90
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Penyakit busuk batang dapat disebabkan oleh penggunaan pupuk kandang atau kompos yang
belum jadi.
Berdasarkan hasil pengamatan morfologi buah naga di desa Sobangan Kecamatan
Mengwi Kabupaten Badung pada tanaman yang sehat tampak sulur yang berwarna hijau segar,
serta bunga dan buah yang bersih tanpa adanya bercak-bercak. Sedangkan tanaman yang
terinfeksi jamur menunjukkan ciri-ciri, yaitu pada tanaman buah naga putih (Hylocereus
undatus) sulurnya menunjukkan bercak kuning kecoklatan, bintik-bintik coklat dan ujung sulur
berbintik hitam, serta bunga dan buah berbintik coklat sampai hitam. Sedangkan pada tanaman
buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) menunjukkan sulur dengan bercak kuning
kecoklatan, kuning dan putih, ada bagian sulur yang tertutup lapisan putih, serta bunga dengan
kelopak berwarna coklat kehitaman
Diketahui, salah satu jamur yang menginfeksi tanaman buah naga adalah Fusarium
oxysporum menyebabkan tanaman menjadi layu dan pelan-pelan kering (Pratomo, 2008;
Kurniawan, 2008). Menurut Abdullah and Sorra (2008), kecepatan tumbuh jamur-jamur
penyebab infeksi pada tanaman buah naga dilapangan sangat bervariasi sehingga kerusakan
yang ditimbulkan dapat menjadi hal yang sulit dikendalikan. Winarsih (2007) menyebutkan
bahwa spora merupakan alat perkembangbiakan jamur yang dapat berkembang cepat apabila
kondisi lingkungan mendukung seperti kelembaban, suhu dan nutrisi. Berdasarkan hal
tersebut, perlu dilakukan identifikasi jamur-jamur penyebab penyakit pada buah naga dan
bagaimana kecepatan tumbuh jamur-jamur tersebut, sehingga data-data yang diperoleh dapat
digunakan sebagai acuan dalam penanggulangan penyakit oleh jamur pdaa pertumbuhan dan
produktivitas buah naga
HASIL
1.Identifikasi Jamur
Dari hasil identifikasi secara makroskopis dan mikroskopis jamur-jamur yang diisolasi dari
tanaman buah naga, diperoleh delapan jenis jamur yaitu, Aspergillus flavus, A. niger,
Trichophyton sp., Microsporum sp., Rhizopus stolonifer, Fusarium sp.1 , Fusarium sp.2,
Cladosporium sp. Satu koloni jamur dan empat koloni koloni bakteri tidak berhasil
teridentifikasi. Adapun hasil determinasi jamur yang telah diisolasi adalah sebagai berikut :
1a.Organisme yang sebagian besar multiseluler dan memiliki membran inti sel
(eukariotik)……………………………………………………………………….2
b.Organisme uniseluler, tidak memiliki membrane inti …………………….. Bakteri
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 91
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
2a.Fotosintetik, autotrof……………………………………………..................Plantae
b.Nonfotosintetik, heterotrof, hidup sebagai saprofit atau parasit…………………3
3a.Memiliki dinding sel yang mengandung kitin dan hemiseluosa, berbentuk filament
(hifa)yang akan menyusun miselium (fungi)……………...……………………..4
b. Tidak memiliki dinding sel dan berbagai ciri di atas……...…………..selain fungi
4a.Memiliki tubuh buah yang makroskopis………….………………..Basidiomycetes
b.Memiliki tubuh buah yang mikroskopis………………...……………………….5
5a.Belum diketahui cara perkembangbiakan generatifnya (Deuteromycetes)……...9
b. Sudah diketahui cara perkembangbiakan generatifnya………………………….6
6a. Memiliki spora istirahat yang resisten dan berdinding tebal, hifa tidak bersepta
(Zygomycetes)………...………………….………………………………...…...7
b. Memiliki struktur seperti kantong (askus) yang membungkus sporanya, hifa bersepta
(Ascomycetes)……………………………...……..……………….................…8
7a.Sporangiofor tidak bercabang,spora oval, kasar, mempunyai sporangium, kolumela, rhizoid,
dan hifahorizontal membentuk stolon ..................................... Rhizopus stolonifer.
8a. Koloni terdapat garis-garis radier, konidiofor bercabang, terdapat spora yang menyelimuti
hifa .......……………………………………………….......... Fonceaceae sp.
b. Koloni tidak terdapat garis-garis radier, terdapat ascus dalam kleistotesium yang dibungkus
oleh sel-sel secara keseluruhan …………………….............. Emericella sp
9a. Mempunyai vesikel yang berbentuk bulat, sterigmata mengelilingi hampir 2/3 dari vesikel,
konidia menempel seperti rantai pada sterigma, berbentuk elips dan berwarna hijau
kekuningan……………………………...…......................... Aspergillus flavus
b. Tidak mempunyai vesikel, sterigmata, konidia…….............................................10
10a. Mempunyai makrokonidia dan mikrokonidia……………...…………………...11
b. Tidak mempunyai makrokonidia dan mikrokonidia………….............................13
11a. Koloni seperti kapas, berwarna merah muda………………...........................…12
b. Koloni seperti bludru/velvet, koloni bagian tengah berwarna merah muda dengan tepi putih
………………………………………………………..….. Fusarium sp 1
12a. Koloni seperti kapas menggunung, berwarna merah muda, sebalik koloni merah muda
…………………………………………….…………......... Fusarium sp2
13a. Mempunyai mikroaleurispore……………………………… …………………14
b. Tidak mempunyai mikroaleurispore………………………………………….. 15
14a.Mempunyai spora makroaleurispore, namun spora mikroaleurispore jarang ditemukan
………….………………………………………............... Microsporum sp.
b. Tidak mempunyai makroaleurispore………………...… Trichophyton sp.
15a. Koloni seperti velvet, tidak terdapat garis-garis radier dan konidia...................16
b. Koloni seperti kapas, berwarna abu-abu tua dan menghitam pada koloni yang berumur 6-
10 hari. Koloni yang umur tua terdapat garis-garis radier dan ramokonidia…………
………………………………………............................. Cladosporium sp.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 92
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Rerata hasil pengukuran diameter koloni jamur menunjukkan bahwa tiga jenis jamur
yaitu Aspergillus niger, A. flavus, dan Rhizopus stolonifer dalam waktu tujuh hari berturut-
turut mencapai diameter 4.4 cm, 4.7cm, 6.4 cm dan dua isolat Fusarium pada waktu yang sama
mencapai diameter 3.6 cm. Jamur Cladosporium sp, Trichophyton sp dan Microsporum sp
mempunyai kecepatan tumbuh yang lebih lambat dibandingkan dengan ketiga jenis jamur
tersebut diatas.
Gambar 1. Kecepatan Tumbuh Jamur-jamur yang Menginfeksi Tanaman Buah Naga Secara
In-vitro
PEMBAHASAN
Sebanyak delapan species jamur penyebab busuk pada tanaman buah naga telah
teridentifikasi yaitu Aspergillus flavus, A. niger, Trichophyton sp.,Microsporum sp., Rhizopus
stolonifer, Fusarium sp1 , Fusarium sp2, Cladosporium sp. Kedelapan species tersebut
merupakan jamur-jamur penghuni tanah ( Ganjar dkk., 1999 dan Darnetty, 2006) sehingga
sangat mudah bagi kedelapan jamur tersebut menginfeksi tanaman buah naga khususnya pada
daerah perakaran, leher akar bahkan batang dan bunga. Jamur-jamur penghuni tanah baik yang
bersifat saproba ataupun parasit mampu hidup dan berkembang biak pada inangnya melalui air
(waterborne), tanah (soilborne) atau udara (airborne) ( Pith dan Hocking, 1997 ; Noveriza,
2008). Hal ini sangat dimungkinkan bahwa kedelapan species tersebut mampu hidup secara
konsorsium atau soliter menginfeksi ianangnya atau hanya hidup sebagai jamur endopit atau
bahkan sebagai saprobe biasa yang memanfaatkan inang sebagai sumber makanannya
(Anonim,2008; Kurniawan 2008; Ganjar, dkk., 1999)
Kecepatan tumbuh jamur R.stolonifer mendominasi diantara kedelapan species yang
lain. Hal ini dikaitkan bahwa jamur ini merupakan jamur tingkat rendah yang hanya mampu
memanfaatkan gula-gula sederhana tetapi mampu memanfaatkan secara optimal sehingga
jamur ini dikenal sebagai jamur parasit yang dapat beradaptasi secara cepat pada inang dan
mampu menyebabkan pembusukan pada jaringan inang (Darnetty, 2006 ; Noveriza, 2008).
Jamur Fusarium oxysporum sebagai salah satu jamur penyebab busuk pada akar, sulur dan
buah belum berhasil teridentifikasi sampai tingkat spesies karena dalam penelitian ditemukan
dua genera Fusarium. Teridentifikasinya genera Fusarium menunjukkan bahwa jamur-jamur
yang teridentifikasi merupakan penyebab penyakit pada tanaman buah naga putih (Holocerous
spp), meski untuk memastikannya harus dilakukan uji postulat Koch dilapangan (Proborini-
unpublish data). Jamur Cladosporium pertumbuhannya terlihat paling lambat. Hal ini
dimungkinkan bahwa pada media PDA, jamur ini memerlukan adaptasi yang relatif lama untuk
tumbuh dan menghasilkan spora, namun setelah adaptasi tersebut tercapai jamur ini akan
mampu bertahan tumbuh lama dibanding jamur R.stolonifer yang sangat cepat tumbuh, namun
setelah seminggu jamur ini akan berhenti dan hilang koloninya dalam media PDA sedangkan
pada Cladosporium tetap eksis walaupun koloni tidak pernah memenuhi seluruh cawan petri,
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 93
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
sehingga teridentifikasinya jamur Cladosporium sangat penting untuk data-data penelitian
dan perlu dilakukan uji postulat Koch di lapangan untuk memastikan bahwa jamur
Cladosporium merupakan jamur parasit bahkan patogen pada tanaman buah naga (Proborini,
un-publish data)
SIMPULAN
Teridentifikasi delapan spesies jamur yang menginfeksi tanaman buah naga yaitu:
Aspergillus flavus, A. niger, Trichophyton sp., Microsporum sp., Rhizopus stolonifer, Fusarium
sp.1 , Fusarium sp.2, Cladosporium sp. Pertumbuhan jamur-jamur tersebut bervariasi
kecepatan tumbuhnya dan pertumbuhan Rhizopus stolonifer tercepat yaitu dalam waktu tiga
hari sebesar 6.4 cm, sedangkan pertumbuhan Cladosporium adalah yang paling lambat yaitu
hanya 2.28 cm dalam waktu satu minggu
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S.K., Zora, S.E. (1993) Chaetomium mesopotamicum a new thermophilic species
from Iraqi soil. Cryptogamic Botany 3 (4): 387-389.
Anonim. 2008. Budidaya Buah Naga, http://www.infokebun.wordpress.com
Opened:10.01.2009.
Darnetty. 2006. Pengantar Mikologi. Andalas university Press. Padang
Frey, D., R.J. Oldfield, R.C. Bridger. 1979. A Colour Atlas of Phatogenic Fungi. Wolfe
Medical Publication Ltd. Holland.
Gandjar, I., R.A. Samson, K.V.D.T. Vermeulen, A. Oetari, dan I. Santoso. 1999. Pengenalan
kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Martina, A., Yuli, N., dan Sutisna, M., 2002, Optimasi Beberapa Faktor Fisik Terhadap Laju
Degradasi Selulosa Kayu Albasia (Parserianthes Falcataria) Dan
Karboksimetilselulosa (CMC) Secara Enzimatik Oleh Jamur, Jurnal Natur Indonesia,
4(2), 156-163.
Noveriza, R. 2008. Kontaminasi Jamur dan Mikotoksin pada Tumbuhan Obat. Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik Indonesian (Medicinal and Aromatic Crops Research
Institute). Bogor. Jurnal Mikologi.Vol. 7 (1): 35 - 46
Pitt, J.I. dan A.D. Hocking. 1997. Fungi and Food Spilage. Institute of The Royal Netherlands
Academy of Arts and Sciences. Netherland.
Kurniawan. 2008. Pengendalian Hama dan Penyakit,
Available at : http://dk-breakthourgh.blogspot.com.Opened : 10.01.2009
Pratomo. 2008. Superioritas Jambu Biji dan Buah Naga
Available at : http://www.unika.ac.id. Opened : 10.01.2009
Salar, R. K. and Aneja, K.R. (2007) Thermophilic Fungi: Taxonomy and Biogeography.
Journal of Agricultural Technology 3(1): 77-107.
Winarsih, Sri. 2007. Mengenal dan Membudidayakan Buah Naga. Aneka Ilmu.Semarang.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 94
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
EFEKTIVITAS MgCl2 MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN DAN
TRANSPIRASI Monochoria vaginalis (BURM. F) PRESL
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui Efektivitas MgCl2
mempengaruhi pertumbuhan dan Transpirasi Monochoria vaginalis (Burm. F) Presl.
Konsentrasi perlakuan adalah 16,7 mM, 33,4 mM, 50,2 mM dan control ( 0 mM). Rancangan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Blok. Hasil pengamatan
selama 7 minggu setelah perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan pertumbuhan untuk
ketiga konsentrasi yang diberikan dengan control, demikian juga dengan jumlah daun dan
panjang akar. Namun jumlah stomata mengalami perbedaan untuk masing- masing konsentrasi
yang diberikan. Dari hasil perhitungan menunjukkan ratio akar pucuk bervariasi pada
pemberian konsentrasi yang berbeda. Diameter sel parenkim batang menunjukkan adanya
variasi yang tidak begitu banyak. Pada pengamatan transpirasi, semua konsentrasi yang
diberikan menunjukkan perbedaan. Semakin tinggi konsentrasi , kecepatan transpirasi semakin
menurun. pH tanah makin turun dengan makin bertambahnya konsentrasi yang diberikan,
tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan M. vaginalis karena pH
yang dicapai masih berkisar 6-7 yang merupakan pH tanah yang cukup baik untuk
pertumbuhan M. vaginalis.
ABSTRACT
A research has been conducted, which aimed to investigate the effect of MgCl2 to the
growth and transpirations of Monochoria vaginalis (Burm. F) Presl. The plants were treated in
16,7 mM, 33,4 mM, 50,2 mM of MgCl2 and a control (0 mM), in block design methods. After
7 weeks of treatments, the results showed that there were not differences in the growth of the
plants treated compared to control, as on the number of leaves and the length of roots measured.
However, the number of stomata was different among treatments. The ratios of apical growth
and the roots were also differed among treatments, but a little difference was recorded on the
diameter of pharenchyma. However, all treatments affected the transpiration rates, the higher
the concentrations the lower transpiration rates. Soil pH declined with increasing the
concentration of MgCl2, but has no effect on the plant growth M. vaginalis. This is due to the
soil pH was still in the range of 6-7 which the pH suitable for the growth of M. vaginalis.
PENDAHULUAN
Kadar garam di dalam tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Kadar garam
pada jumlah tertentu akan mempunyai dampak bagi pertumbuhan tanaman, karena garam
dapat mendesak pengaruh osmotik untuk mencegah tanaman dalam pengambilan air dari
tanah, ion tertentu dapat menyebabkan keracunan pada tanaman sebagai contoh konsentrasi Cl
yang tinggi dalam air irigasi dapat menyebabkan terbakarnya daun, Kelarutan garam yang
tinggi dapat menghambat penyerapan (up take) air dan hara oleh tanaman seiring dengan
terjadinya peningkatan tekanan osmotik.Pada kebanyakan spesies, pengaruh jenis-jenis garam
umumnya tidak khas terhadap tumbuhan tanaman tetapi lebih tergantung pada konsentrasi total
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 95
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
garam. Salinitas tidak ditentukan oleh garam Na Cl saja tetapi oleh berbagai jenis garam yang
berpengaruh dan menimbulkan stres pada tanaman.
Monochoria vaginalis (Burm.f.) Presl merupakan salah satu gulma padi berdaun lebar
yang menyebabkan penurunan produksi padi. Gulma yang tumbuh bersama tanaman padi dapat
bersaing dalam hal kebutuhan akan unsur hara, air, cahaya dan ruang yang mengakibatkan
menurunnya hasil panen. Mengingat besarnya kerugian yang disebabkan oleh gulma tersebut
perlu adanya upaya pengendalian baik secara fisik maupun kimiawi.
Penggunaan garam MgCl2 dalam penelitian ini ,karena MgCl2 adalah salah satu garam
terlarut dalam tanah dan dapat menimbulkan stres tanaman (Sipayung, 2003). Dalam larutan
tanah garam ini mempengaruhi pH dan daya hantar listrik.Magnesium adalah aktivator yang
berperan dalam transportasi energi beberapa enzim di dalam tanaman. Unsur ini sangat
dominan keberadaannya di daun , terutama untuk ketersediaan klorofil. Kecukupan
magnesium sangat diperlukan untuk memperlancar proses fotosintesis. Unsur itu juga
merupakan komponen inti pembentukan klorofil dan enzim di berbagai proses sintesis protein.
Kekurangan magnesium menyebabkan sejumlah unsur tidak terangkut karena energi yang
tersedia sedikit.
Transpirasi merupakan peristiwa penting yang antara lain berperan dalam proses
penyerapan unsur hara. Mengingat M. vaginalis mempunyai kecenderungan bersaing dalam
hal penggunaan air disamping unsur hara dan cahaya., maka seberapa besarkah transpirasi yang
dilakukan dan bagaimanakah pengaruh pemberian garam MgCl2 terhadap pertumbuhan dan
transpirasinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas garam
MgCl2mempengaruhi pertumbuhan dan transpirasi M vaginalis
HASIL
Dari hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman menunjukkan sampai umur 7 minggu
tumbuhan masih bertambah tinggi, tetapi tinggi tanaman masih lebih rendah dibandingkan
kontrol. Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan pertumbuhan tanaman semakin kecil,
sedangkanpada kontrol tinggi maksimum yaitu 30 Cm.Dari hasil analisis statistic tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 96
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Perlakuan dengan MgCl2 dengan konsentrasi yang berbeda tidak menyebabkan
perbedaan panjang akar dan jumlah daun. Jumlah maksimum daun dicapai ketika tumbuhan
berumur 4 minggu dengan jumlah daun rata – rata 6.. Dari hasil perhitungan untuk Ratio Akar
Pucuk (Ratio Top Root ) menunjukkan ratio yang bervariasi pada masing – masing konsentrasi.
Pada perlakuan dengan MgCl2 50,2 mM menunjukkan ratio yang paling besar yaitu 0,240 dan
MgCl2 33,4 mM menunjukkan ratio yang paling kecil yaitu 0,172.
Pada pengamatan transpirasi menunjukkan semakin tinggi konsentrasi, kecepatan
aktivitas transpirasi semakin menurun dibandingkan kontrol (Gb. 1).Transpirasi rata – rata
sebesar 0,71 mg/menit/Cm2. Pemberian garam MgCl2 pada tanah menyebabkan perubahan
Daya Hantar Listrik pada semua larutan tanah. Perubahan daya Hantar Listrik berbeda nyata
antara kontrol dengan masing – masing perlakuan dan diantara perlakuan( Gb. 2. ).Daya Hantar
Listrik tanah naik dengan semakin bertambahnya konsentrasi yang diberikan. PH tanah
berkisar antara 6-7. (Gb. 3)
Gambar 2. Hasil pengukuran Daya Hantar Listrik Tanah yang diberikan Garam MgCl2
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 97
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Diameter sel parenkim batang menunjukkan adanya variasi yang tidak begitu banyak,
dengan ukuran diameter untuk kontrol 61,25 + 6,48 um um, untuk konsentrasi 16,7 mM adalah
48 ; 38 + 3,42 .Untuk konsentrasi 33,4 mM adalah 60,0 + 1,35 um dan untuk konsentrasi 50,2
mM adalah 53,13 +3,13 um. Jumlah stomata per mm2 mengalami pengurangan , dengan
semakin tingginya konsentrasi yang diberikan. Jumlah stomata pada kontrol adalah 152,6 +
21,37, konsentrasi 16,7 mM adalah 151,6 + 7,89, konsentrasi 33,4 mM adalah 138,4 + 47,7
dan konsentrasi 50,2 mM adalah 130,8 + 9,8 . Kecepatan pertumbuhan relative mengalami
kenaikan dengan semakin tingginya konsentrasi yang diberikan kecuali batang yang mulai
menurun kecepatan pertumbuhannya pada media dengan konsentrasi 50.2 mM.
PEMBAHASAN
Stres garam merupakan salah-satu dari bentuk stres tanaman. Stres garam terjadi
dengan terdapatnya salinitas atau konsentrasi garamgaram terlarut yang berlebihan dalam
tanaman.Stres garam ini umumnya terjadi dalam tanaman pada tanah salin. Stres garam
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi garam hingga tingkat konsentrasi tertentu yang
dapat mengakibatkan kematian tanaman ((Harjadi dan Yahya, 1988)
Pemberian MgCl2 sampai konsentrasi 50,2 mM, tidak memberikan pengaruh yang
nyata pada pertumbuhanM. vaginalis. Keadaan ini dapat dilihat tidak adanya perbedaan yang
nyata dari pertumbuhan tanaman pada perlakuan dengan konsentrasi. Hal ini disebabkan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 98
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
karena Mg merupakan unsur makro yang diperlukan dalam jumlah yang cukup besar yang
berperan untuk pembentukan klorofil, transportasi Enzim dan sintesis protein. Dalam hal ini
jumlah Mg yang diberikan sudah mencukupi jumlah yang dibutuhkan, sehingga tidak nampak
adanya gejala kekurangan dari unsur Mg ini.Menurut Nassery, Ogata dan Maas dalam Basri (
1991 ), salinitas menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat
pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein serta penambahan biomass tanaman.
Tanaman yang mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk
kerusakan langsung tetapi pertumbuhan yang tertekan dan perubahan secara perlahan.
Daya Hantar listrik mengalami kenaikan dengan semakin meningkatnya konsentrasi
Mg Cl2 yang diberikan. Ini menunjukkan salinitas tanah meningkat, yang berakibat semakin
meningkatnya tekanan osmotic. Dalam penelitian ini sampai konsentrasi 50,2 mM, Daya
hantar Listrik masih dibawah 4 mmmhos/cm dengan kisaran PH tanah 6-7. Menurut Follet et
al, (1981), tanah salin memiliki pH < 8,5 dengan daya hantar listrik > 4 mmhos/cm. Hal ini
sangat penting karena karena kadar garam yang tinggi akan menyulitkan tanaman menyerap
air untuk pertumbuhannya.Efek salinitas akan membebaskan energy untuk mengatur tekanan
osmotic yang berbeda, dan salah satu energy yang dibebaskan adalah melalui transpirasi.
Magnesium merupakan unsur hara makro yang diperlukan oleh bagian hijau dari
tanaman, sebab merupakan bagian penyusun klorofil.Hal ini berpengaruh pada kecepatan
pertumbuhan relative daun yang menunjukkan adanya kenaikan dengan makin bertambahnya
konsentrasi MgCl2 yang diberikan.
KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan selama 7 minggu terhadapM. vaginalis (Burm. F.) Presl yang
diperlakukan dengan MgCl2 dapat disimpulkan, sampai konsentrasi 33,4 mM memacu
pertumbuhan batang. Kecepatan transpirasi semakin menurun dengan semakin bertambahnya
konsentrasi yang diberikan.Turunnya kecepatan transpirasi setara dengan berkurangnya jumlah
stomata per mm2.Sampai konsentrasi 50,2 mM, M. vaginalis masih menunjukkan
pertumbuhan yang baik tetapi sudah mengurangi penggunaaan air dan transpirasi.sehingga
mengurangi persaingan dalam penggunaan air.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, H., 1991. Pengaruh Stres Garam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Empat Varietas
Kedelai. Thesis Program Pascasarjana IPB, Bogor
Fitter, A.H. dan R.K. M. Hay, 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gajah Mada University
Press, Jogyakarta
Follet RH, Murphy, Donahue RL. 1981. Fertilizer and Soil Amandements. New Jersey:
Prentice Hall Inc.
Harjadi , S.S. dan S. Yahya, 1988. Fisiologi Stres Tanaman. PAU IPB, Bogor
Sipayung, R. 2003.Stres Garam dan Mekanisme Toleransi Tanaman. Diakses 13 Nov. 2015.
Available at :http://library.usu.ac.id/download/fp/bdp-rosita2.pdf
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 99
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
JENIS-JENIS BURUNG DI KAWASAN HUTAN MONTANA DAN
HUTAN SUBALPIN GUNUNG LAWU
. ∗
, ’ , ., ,
1)
Kelompok Studi Kepak Sayap. Program Studi Biologi,
2)
Kelompok Studi Biodiversitas. Program Studi Biologi,
3)
Maintenance Research Group. Program Studi Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta, 57126, Phone: +62-8573-5025-060
*E-mail: fendikawp@gmail.com
ABSTRAK
Gunung Lawu merupakan salah satu gunung yang termasuk daerah ekoton, yaitu
kawasan peralihan dari iklim kering ke iklim basah yang memiliki tipe hutan montana dan
subalpin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung pada
kawasan hutan montana dan subalpin Gunung Lawu. Penelitian ini dilakukan di jalur
pendakian Cetho dengan menggunakan metode IPA (Index Point of Abundance) pada enam
interval ketinggian yaitu 1400-1700 mdpl; 1700-2000 mdpl; 2000-2300 mdpl; 2300-2600
mdpl; 2600-2900 mdpl; dan 2900-3200 mdpl. Pengamatan dilakukan pada pukul 06.00-10.00
dan pukul 14.00-18.00 WIB. Analisis data menggunakan indeks Shanon-Wiener untuk
mengetahui indeks keanekaragaman. Hasil yang diperoleh pada kawasan hutan montana
terdapat 24 spesies dari 13 famili dengan indeks diversitas Shannon-Wienner 2,68, sedangkan
pada kawasan hutan subalpin tercatat 6 spesies dari 5 famili dengan indeks diversitas Shannon-
Wienner 1,6. Berdasarkan indeks diversitas Shannon-Wiener keanekaragaman jenis burung di
kawasan hutan montana dan hutan subalpin dalam kategori sedang.
ABSTRACT
Lawu is one of the mountains, that includes ekoton area, the area of transition from a
dry climate to a wet climate, which has a montane forest types and subalpin. This study aims
to determine the diversity of bird species in the montane forest areas and subalpin forest Lawu
Mountain. This research was conducted at the hiking trail Cetho using IPA (Index Point of
Abundance) at six intervals from 1400 to 1700 meters above sea level altitude; 1700-2000
masl; 2000-2300 masl; 2300-2600 masl; 2600-2900 masl; and 2900-3200 masl. Observations
were made at 06.00-10.00 a.m and 02:00-06:00 p.m. The data analysis use the diversity index
of Shannon-Wiener. The results obtained in the montane forests are 24 species of 13 families
and a Shannon-Wiener diversity index by 2.68, while in the subalpin forest area recorded 6
species of 5 families and Shannon-Wiener diversity index by 1.6. Based on the diversity index
Shannon-Wiener, the diversities of bird species in the montane forest area and subalpine forest
area are in the medium category.
PENDAHULUAN
Keanekaragaman burung di Indonesia cukup tinggi, keanekaragaman jenis burung
tersebut didukung oleh tingginya keanekaragaman habitat. Habitat burung meliputi hutan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 100
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tropis, rawa-rawa, padang rumput, pesisir pantai, tengah lautan, gua-gua batu, perumahan
bahkan perkotaan (Kuswanda, 2010). Berdasarkan keanekaragaman ekosistem, Indonesia
memiliki 1531 jenis burung dan sekitar 26% merupakan jenis burung endemik (BAPPENAS,
2003).
Gunung Lawu merupakan gunung yang terletak di perbatasan anatara Jawa Tengah dan
Jawa Timur dengan ketinggian 3.265 mdpl. Secara geografi terletak di sekitar 111°15’ BT dan
7°30’LS (Rosadi, 2015). Gunung lawu adalah salah satu gunung yang termasuk daerah ekoton,
yaitu kawasan peralihan dari iklim kering ke iklim basah. Kondisi tersebut menjadikan Gunung
Lawu sebagai kantong biodiversitas yang cukup besar, termasuk burung. Burung merupakan
satwa liar yang mudah ditemui diberbagai tipe habitat bervegetasi. Penyebaran yang luas
menjadikan burung sebagai salah satu sumber kekayaan hayati Indonesia yang potensial. Selain
berperan dalam keseimbangan ekosistem, burung dapat menjadi bioindikator perubahan
lingkungan (Hadinoto dkk., 2012).
Kawasan hutan Gunung Lawu dapat dikategorikan dalam dua tipe hutan yang terdiri
dari hutan montana (1500-2400 mdpl), dan hutan subalpin (>2400 mdpl). Kawasan hutan
Gunung Lawu memiliki berbagai tipe vegetasi, mulai dari vegetasi yang homogen hingga
heterogen berdasarkan perbedaan ketinggian. Kawasan vegetasi yang homogen tersebut
didominasi hutan pinus dan hutan produksi, sedangkan pada kawasan vegetasi heterogen
tersebut ditumbuhi beragam jenis tumbuhan tinggi dan semak belukar. Berbagai tipe vegetasi
tersebut berpengaruh terhadap keanekaragaman burung yang ada di Gunung Lawu. Komposisi
vegetasi yang relatif heterogen menciptakan relung ekologi yang lebih bervariasi mulai dari
daratan yang relatif terbuka sampai daratan yang dipadati pepohonan bagi burung (Suripto dkk,
2006).
Penelitian mengenai keanekaragaman jenis burung di kawasan hutan montana dan sub-
alpin Gunung Lawu belum pernah dilakukan terutama di jalur pendakian Dusun Cetho
Karanganyar. Oleh karena itu dilakukan penelitian di kawasan hutan montana dan hutan
subalpin Gunung Lawu dengan melalui jalur pendakian Dusun Cetho dengan tujuan untuk
mengetahui keanekaragaman jenis burung pada kawasan hutan montana dan hutan subalpin
Gunung Lawu.
H pi ln pi
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 101
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Dumana:
Pi = ni/N
ni = jumlah individu dalam satu jenis
N = Jumlah total jenis yang ditemukan
Dengan ketentuan: apabila H’>3 indeks keanekaragaman jenis tinggi; 1<H’<3 indeks
keanekaragaman jenis sedang; dan H’<1 indeks keanekaragaman jenis rendah.
Gambar 1. Peta lokasi pengamatan burung di kawasan hutan montana dan subalpin Gunung
Lawu
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 102
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
25
20
15
Interval 6
10
Interval 5
Interval 4
5 Interval 3
Interval 2
0 Interval 1
Brachypteryx leucophrys
Dicaeum sanguinolentum
Seicercus grammiceps
Ptilinopus porphyreus
Pycnonotus aurigaster
Artamus leucorynchus
Megalaima hemacephala
Eumyias indigo
Streptopelia chinensis
Megalurus palustris
Ictinaetus malayensis
Pycnonotus goiavier
Cettia vulcania
Dendrocopos moluccensis
Collocalia linchi
Zoothera dauma
Centropus sinensis
Myophonus glaucinus
Pernis ptilorhynchus
Volcano swiftlet
Rhipidura phoenicura
Coracina javensis
Turdus poliocephalus
Ficedula westermanni
Macropygia unchall
Iole virescens
Spesies paling banyak ditemui berdasarkan gambar 1 yaitu Collocalia linchi yang
tercatat mulai interval satu hingga interval ke empat sebanyak 22 individu, dan spesies paling
sedikit ditemui, yaitu Pycnonotus goiavier, Zoothera dauma, Megalaima hemacephala,
Centropus sinensis, Pernis ptilorhynchus, Myophonus glaucinus, Eumyias indigo, dan
Ictinaetus malayensis masing-masing spesies berjumlah 1 individu. Cettia vulcania
merupakan spesies yang dapat ditemukan pada tiap interval pengamatan dan paling banyak
ditemukan pada interval ketiga. Pada interval satu hingga ketiga merupakan termasuk dalam
zona hutan montana. Kawasan hutan zona montana merupakan ekosistem hutan yang berada
pada ketinggian 1500-2400 mdpl. Dapat dilihat pada tabel 1 hutan zona montana ditemukan 24
spesies burung dari 13 famili, sedangkan pada hutan zona subalpin ditemukan sebanyak enam
spesies burung dari lima famili sesuai dengan tabel 2. Berdasarkan hasil pengamatan terdapat
dua spesies burung dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang ditemukan di kawasan hutan zona montana, yaitu
Elang hitam (Ictinaeus malayensis) dan Sikep madu asia (Pernis ptilorinchus). Selain itu,
ditemukan juga burung-burung endemik jawa, yaitu Kepudang Sungu Jawa (Coracina
javensis), Anis Gunung ras Jawa / Jalak Lawu (Turdus poliochepalus strassermani), Walet
Gunung (Volcano swiftlet) dan Kipasan Ekor Merah (Rhipidura phoenicura).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 103
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 1. Jenis-jenis burung di kawasan hutan montana Gunung Lawu
No Famili Nama Ilmiah Nama Indonesia Jumlah
1 Pycnonotidae Pycnonotus aurigaster Cucak Kutilang 8
Pycnonotus goiavier Merbah Cerukcuk 1
Iole virescens Berinji Gunung 7
2 Artamidae Artamus leucorynchus Kekep Babi 2
3 Apodidae Collocalia linchi Walet linchi 19
4 Campephagidae Coracina javensis Kepudang Sungu Jawa 6
5 Silviidae Megalurus palustris Cica Koreng Jawa 3
Seicercus grammiceps Cikrak muda 1
Cettia vulcania Ceret Gunung 12
6 Columbidae Ptilinopus porphyreus Walik Kepala Ungu 2
Streptopelia chinensis Tekukur Biasa 1
7 Turdidae Brachypteryx leucophrys Cingcoang Coklat 9
Zoothera dauma Anis Sisik 1
Myophonus glaucinus Ciung Batu Kecil 1
Turdus poliocephalus Anis Gunung 2
8 Dicaeidae Dicaeum sanguinolentum Cabe Gunung 2
9 Capitonidae Megalaima hemacephala Takur Ungkut-ungkut 1
10 Cuculidae Centropus sinensis Bubut Besar 1
11 Accipitridae Pernis ptilorhynchus Sikep Madu Asia 1
Ictinaetus malayensis Elang Hitam 1
12 Muscicapidae Eumyias indigo Sikatan Ninon 1
Rhipidura phoenicura Kipasan Ekor Merah 3
Ficedula westermanni Sikatan Belang 5
13 Picidae Dendrocopos moluccensis Caladi Tilik 1
Pada hutan zona montana memiliki indeks Shannon-Wiener 2,68, sedangkan hutan
zona subalpin memiliki indeks Shannon-wiener 1,6. Berdasarkan nilai indeks diversitas
Shannon-Wiener keanekaragaman burung pada hutan zona montana dan hutan zona subalpin
dalam kategori keanekaragaman jenis sedang. Keanekaragaman jenis burung semakin menurun
setelah memasuki hutan zona subalpin, hal tersebut dipengaruhi oleh vegetasi tumbuhan tinggi
yang mulai berkurang dan didominasi oleh pohon-pohon kerdil seperti cantigi gunung
(Vaccinium varingiaefolium), bunga eidelweis (Anaphalis javanica), cemara gunung
(Casuarina junghuhniana) dan rumput Isachne pangerangensis. Menurut Arini (2010) tingkat
perjumpaan jenis-jenis burung diduga terkait hubungannya dengan keberadaan pakan, Pada
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 104
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
hutan montana memiliki keanekaragaman burung lebih tinggi jika dibandingkan dengan
keanekaragaman burung di hutan subalpin. Burung-burung jenis frugivorus atau pemakan
buah-buahan lebih banyak ditemukan pada kawasan hutan montana yang masih terdapat pohon
puspa (Anaphalis javanica), ficus, dan jenis-jenis palem. Jenis-jenis pohon ini merupakan
kelompok tumbuhan yang buahnya hampir dapat ditemui sepanjang tahun (Arini, 2010).
Berbagai tipe hutan seperti hutan primer, hutan sekunder maupun lahan terbuka/semak
belukar merupakan habitat bagi beragam jenis burung (Kuswanda, 2010). Seperti yang
diutarakan Alikodra (1989) dalam Widodo (2005) bahwa keragaman kehidupan satwa liar di
dalam hutan primer adalah tinggi. Jika hutan tersebut ditebangi dan menjadi hutan sekunder,
biasanya akan terjadi penurunan keragaman jenis secara drastis.
SIMPULAN
Pada kawasan hutan montana Gunung Lawu tercatat 13 famili burung yang terdiri dari
24 spesies, sedangkan di kawasan hutan subalpin ditemukan 5 famili burung dengan jumlah 6
spesies. Tingkat keanekaragaman burung di kawasan hutan montana dan hutan subalpin
Gunung Lawu berdasarkan indeks diversitas Shannon-Wiener secara berturut-turut sebesar
2,68 dan 1,6 yang termasuk dalam kategori keanekaragaman jenis sedang.
SARAN
Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung di
Gunung Lawu dengan melalui jalur pendakian Cemoro Sewu dan jalur pendakian Cemoro
Kandang.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Maintenance Research Group (MRG)
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret yang telah
mendanai penelitian ini, dan Perhutani Divre II Jawa Tengah yang telah memberikan ijin
kegiatan penelitian Ekspedisi Wukir Mahendra 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Arini, D.I.D. 2010. Eksplorasi Jenis Burung di Kawasan Konservasi Cagar Alam Gunung
Ambang Provinsi Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kehutanan Manado. 13(2): 29-35.
BAPPENAS. 2003. National Biodiversity Action Plan. Bappenas, Jakarta.
Hadinoto, A. Mulyadi, dan Y.I Siregar. 2012. Keanekaragaman Jenis Burung Di Hutan Kota
Pekanbaru. Jurnal Ilmu Lingkungan. 6 (1): 25-42.
Kuswanda, W. 2010. Pengaruh Komposisi Tumbuhan Terhadap Populasi Burung Di Taman
Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam. 3(2):193-213.
MacKinnon, J., K. Philip dan V. Balen. 2010. Seri panduan Lapangan Burung-Burung
Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi – LIPI, Bogor.
Rosadi, I. 2015. Analisis Vegetasi Tumbuhan Gunung Lawu Jalur Pendakian Cemoro Mencil
Girimulyo Jogorogo Ngawi. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Suripto, BA., dan A. Hamidy. 2006. Burung di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah:
Keanekaragaman, Adaptasi dan Jenis-Jenis Penting Untuk Dilindungi. Jurnal
Manusia dan Lingkungan. 13(1): 9-25.
Van Stennis, C.G.G.J. 1972. Mountain Flora of Java. Brill, Leiden.
Widodo, W. 2005. Kemelimpahan dan Sumber Pakan Burung-burung di Taman Nasional
Manusela, Seram, Maluku Tengah. Jurnal Biodiversitas. 7(1): 54-58
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 105
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KEANEKARAGAMAN DAN KEPADATAN SERANGGA BENTIK
DI ZONA LITORAL DANAU DIATAS SUMATERA BARAT
Izmiarti
Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Andalas
email: Izmiarti-said@yahoo.co.id HP 081363414819
ABSTRAK
Penelitian tentang keanekaragaman dan kepadatan serangga bentik di zona litoral
Danau Diatas Sumatera Barat telah dilakukan pada bulan Juni 2014. Penelitian dilakukan
dengan metode survei pada 5 stasiun yang ditetapkan berdasarkan kondisi lingkungan di sekitar
danau. Sampel dikoleksi dengan surber net ukuran 30 x 30 cm2, masing-masing stasiun 4
sampel. Serangga bentik yang ditemukan sebanyak 19 jenis yang tergolong ordo Coleoptera,
Diptera, Ephemeroptera, Lepidoptera, Odonata dan Trichoptera. Keanekaragaman jenis
berkisar dari 1,32–1,93. Kepadatan total berkisar dari 288,86–6054,95 ind/m2 yang tertinggi
ditemukan di stasiun Villa dengan jenis dominan Orthocladinae sp.1 sedangkan kepadatan
yang terendah di stasiun Muara.
Kata kunci: keanekaragaman, kepadatan, serangga bentik, Danau Diatas
PENDAHULUAN
Danau Diatas merupakan salah satu dari danau Kembar di Sumatera Barat
(kembarannya Danau Dibawah) yang terbentuk secara vulkanik, terletak di Kabupaten Solok
pada ketinggian 1531 m dari permukaan laut. Luas permukaan danau 12,3 km2 dan kedalaman
maksimum 44 m (Nakano, Watanabe, Usman dan Syahbuddin, 1987). Pemanfaatan lahan di
sekitar danau beranekaragam seperti untuk pemukiman, lahan pertanian yang ditanami
dengan tanaman plawija diantaranya buah-buahan, sayur-sayuran dan padi yang ditanam di
sawah.
Disisi lain, Danau ini juga dimanfaatkan sebagai sumber ikan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk dan sebagai tempat wisata yang berpotensi untuk dikembangkan. Semua
aktivitas tersebut tentu saja akan berpengaruh pada kualitas air danau dan pada akhirnya akan
berpengaruh pada komunitas biota yang hidup di dalam danau tersebut. Hal lain yang menarik
di danau ini adalah pada bagian litoral danau, substrat dasarnya pada umumnya berbatu-batu
dan riaknya sangat kuat akibat angin yang selalu bertiup kencang. Kondisi seperti ini mirip
dengan kondisi di perairan mengalir yang berarus deras dimana biasanya didominansi oleh
pradewasa serangga bentik. Diperkirakan pada bagian litoral danau Diatas hidup
beranekaragam serangga bentik. Keberadaan serangga bentik didalam ekosistem perairan
sangat penting, sebagai konsumen primer dan sekunder, sebagai sumber makanan ikan. Selain
itu juga merupakan salah satu indikator kesehatan lingkungan perairan akibat kegiatan manusia
(antropogenik). Informasi tentang komunitas serangga bentik di Danau Diatas sangat kurang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan kepadatan serangga bentik di
zona litoral Danau Diatas Sumatera Barat.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 106
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tempat pangkalan sarana angkutan air). Stasiun II: Daerah Villa (tempat rekreasi). Stasiun III:
Daerah Muara terdapat outflow Danau Diatas. Stasiun IV: Gelagah daerah dimana terdapat
aliran masuk dari pemukiman dan sawah disekitarnya. StasiunV: Daerah Teluk Kinari
disekitarnya terdapat sawah dan ladang masyarakat. Pada masing-masing stasiun dikoleksi
serangga bentik dengan surber net ukuran 30 x 30 cm2 di zona litoral pada kedalaman 0.5-1 m,
masing-masing stasiun 4 sampel. Untuk memisahkan hewan bentos dari material lain
digunakan saringan dengan ukuran mesh 200 mikron. Pengukuran fisika-kimia air dilakukan
terhadap air di dasar disetiap stasiun. meliputi: suhu air, kecerahan, total zat padat tersuspensi,
O2 terlarut, BOD, CO2, pH, komposisi partikel substrat kadar organik substrat, Selain itu
diukur juga kandungan nitrat, nitrit, pospat dan amoniak. Serangga bentik diidentifikasi dengan
menggunakan disecting microscope dan buku acuan terkait, seperti: Merrit and Cummins
(1975); Pennak (1978), Williams and Felmate (1992) dan Pescador, Rasmussen and Harris
(2002). Analisis data meliputi kepadatan populasi yang dinyatakan dengan jumlah individu per
m2, kepadatan relatif dalam persen dan indeks keanekaragaman jenis yang digunakan adalah
indeks keanekaraganman Shannon-Wiener:
s
H’ = -∑ pi ln pi
n=1
Keterangan:
H’ = Indeks keanekaragaman (Shannon-Wiener)
pi = ni/N
ni = jumlah individu jenis ke i
N = jumlah seluruh individu
Dan Indeks kesamarataan (equitability index)
H’
E = ─── H maks = ln S
H maks
Keterangan:
E = Indeks kesamarataan populasi
H’ = Indeks keanekaragaman S = jumlah jenis
Kepadatan total berkisar dari 288,86–6054,95 ind/m2, rata-rata 1846,48 ind/m2 dengan
komposisi: Diptera 66,06 %, Trichoptera 16,73 %, Ephemeroptera 9,51 %, Coleoptera 6,38%,
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 107
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Odonata 1,08 % dan Lepidoptera 0,24 %. Dari gambar diatas tampak bahwa jumlah jenis dan
kepadatan relatif tertinggi adalah ordo Diptera yang sebagian besar tergolong famili
Chironomidae. Hal ini disebabkan karena mikrohabitat dan ketersediaan makan di dasar pada
zona litoral danau beranekaragam, seperti berbatu, berpasir , berlumpur, makrofita akuatik,
algae yang melapisi batu. Pada masing-masing substrat tersebut dihuni oleh jenis serangga
yang berbeda. Sebagian besar jenis yang ditemukan merupakan jenis yang sering mendiami air
mengalir dengan substrat berbatu, hanya beberapa jenis yang sering ditemukan pada substrat
berlumpur seperti Polypedilum (Pinder and Freiss, 1983). Menurut Williams and Felmate
(1992), diptera akuatik dapat hidup pada berbagai tipe substrat perairan, dan kelimpahannya
sangat ditentukan oleh ketersediaan makanan.
Dari Tabel 1 dapat dilihat kepadatan total masing-masing stasiun dimana yang tertingi
ditemukan pada Stasiun Villa dan yang paling rendah di Stasiun Muara Jumlah jenis yang
paling banyak juga ditemukan di stasiun Villa sebanyak 15 jenis dengan kepadatan 6054,95
ind/m2. Stasiun Villa merupakan lokasi yang sering dikunjungi oleh wisatawan, substrat
dasarnya didominasi oleh batu- batu yang dilapisi alga, berpasir, kerikil, sedikit berlumpur dan
berarus kuat. Hasil identifikasi menunjukan bahwa alga yang menutupi batu tersebut adalah
alga berfilamen seperti Spyrogira dan Lingbya dan Gomphonema ( Diatom). Kondisi ekologis
di Stasiun Villa ini mirip dengan habitat air mengalir yang beraliran deras dimana biasanya
didominasi oleh pradewasa Insecta, karena kemampuan adaptasinya serta memiliki struktur
morfologi yang dapat mempertahankan dirinya terhadap arus kuat (William dan Felmate,
1992). Hampir sama dengan hasil penelitian Jonasson (1978) di danau Erie Denmark dibagian
litoral danau yang mempunyai substrat berbatu dan berarus didapatkan komunitas serangga
bentik sekitar 85 % dari komunitas bentosnya, yang mirip dengan komunitas serangga perairan
mengalir. Kondisi mikro habitat stasiun Villa yang dasarnya berbatu yang ditutupi algae
menguntungkan Orthocladianae sp.1 (ordo Diptera) sehingga populasinya paling tinggi
diantara jenis-jenis lainnya dengan kepadatan 3944,05 ind/m2 (KR = 65,14%). Menurut
Wallacea and Webster (1996) Orthocladinae mempunyai range habitat yang luas ( substrat
keras, lunak dan tumbuhan akuatik) dan mekanisme makan yang beragam mulai dari
scrapper/grazer, shredder, colletor/gatherer, filterer dan predator.
Stasiun Muara mempunyai kepadatan yang paling rendah yaitu 288,86 ind/m2 yang
terdiri dari 9 spesies. Daerah muara juga merupakan lokasi yang banyak dikunjungi wisatawan.
Salah satu dampaknya di Muara pada bagian tepi danau banyak sekali ditemukan sampah-
sampah terutama sampah plastik yang tersangkut dibatu dasar. Sampah plastik ini sulit
terdegradasi, sehingga berpengaruh terhadap kehidupan dari serangga bentik, akibatnya
kepadatan total distasiun ini paling rendah. Substrat dasar di stasiun ini berbatu, kerikil dan
pasir, dan ditemukan sampah dan makrofita akuatik submerged. Jenis yang dominan di stasiun
ini adalah Polypedilum (Chironomidae) dengan kepadatan sebesar 122,21 ind/m2 dengan KR
= 42,31 %. Menurut Pinder and Freiss (1983) larva Polypedilum dapat hidup di segala tipe
perairan baik perairan tenang maupun perairan mengalir. Substrat yang lebih disukai adalah
sedimen namun beberapa spesies menyukai tanaman akuatik. Larva serangga ini mempunyai
feeding habitat yang luas seperti shredder, collector/gatherer dan predator.
Di Stasiun Gelagah ditemukan jumlah jenis yang paling sedikit dibandingkan dengan
stasiun lainnya yaitu 8 jenis dengan kepadatan 988,79 ind/m2 . Jenis yang dominan adalah
Psychomya (Ordo Trichoptera). Di stasiun Gelagah terdapat aliran masuk ke danau yang
berasal dari permukiman penduduk dan sawah. Substrat dasar di stasiun ini terdiri dari batu
berlumpur, kerikil dan pasir. Pergerakan air distasiun ini relatif tenang. Selain itu juga banyak
ditemukan tanaman akutaik dari jenis Myriophilum dan Potamogeton. Quigley (1977)
menyatakan bahwa Psychomyiidae sering ditemukan pada sungai yang beraliran tenang. Larva
serangga ini membentuk terowongan yang dibangun dari pasir, lumpur dan potongan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 108
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tumbuhan. Feeding habitnya juga luas yaitu collector, gatherer, scrapper Merrit dan Cummins
(1988).
Stasiun Dermaga merupakan tempat pangkalan boat motor untuk transportasi dari desa
ke desa, di stasiun ini terdapat keramba jala apung dan dibagian pinggir dimanfaatkan
masyarakat untuk MCK. Pergerakan air di stasiun ini relatif pelan, substrat dasar terdiri batu
berlumpur, berpasir dan kerikil. Serangga bentik yang ditemukan sebanyak 9 jenis dengan
kepadatan 995,46 ind/m2. Jenis yang dominan sama dengan di stasiun Gelagah yaitu
Psychomya.
Stasiun Teluk Kinari merupakan stasiun yang menerima aliran dari sawah disekitarnya,
substratnya berlumpur, pasir, kerikil dan sedikit berbatu dengan kandungan organik substrat
yang tinggi 22,29 %. Selain itu ditemukan makrofita akuatik Myriophylum dan Potamogeton
(Tabel 2). Serangga bentik yang ditemukan 13 jenis dengan jenis dominan adalah Polypedilum
dengan kepadatan 411,07 ind/m2 (KR :43,53%). Polypedilum lebih menyukai substrat sedimen
dan makrofita akuatik (Pinder dan Freiss, 1983). Hasil penelitian Krisanti, Djokosetiyanto dan
Muchsin (2011) menunjukan bahwa Polypedilum pada substrat buatan lebih banyak ditemukan
pada kedalaman 1 meter maupun 2 meter di stasiun yang banyak mengandung bahan organik
yang merupakan salah satu sumber makanan dari larva Polypedilum tersebut.
Di zona litoral Danau Diatas tidak ditemukan kelompok Plecoptera tetapi
Ephemeroptera dan Trichoptera masih ditemukan. Hal ini menunjukan bahwa zona litoral
Danau Diatas memiliki air yang kualitas airnya sudah mulai tercemar karena tidak ditemukan
Plecoptera. Plecoptera umumnya ditemukan pada bagian hulu sungai yang masih alami,
membutuhkan DO tinggi, substrat dasar berbatu, air jernih dan dingin. Mahajoeno, Efendi dan
Ardiansyah (2001) menyatakan bahwa kehadiran taksa kelompok EPT (Ephemeroptera,
Plecoptera dan Trichoptera) yang tidak toleran terhadap kualitas air rendah merupakan indikasi
dari sungai masih baik. Parameter fisika kimia yang melebihi baku mutu air kelas IV adalah
nitrit berkisar dari 0,25-0,73 mg/l (Tabel 2), sedangkan yang diperbolehkan untuk air Kelas I-
IV hanya 0,06 mg/l (PP No. 82 tahun 2001). Tingginya konsentrasi nitrit di zona litoral Danau
Diatas mungkin disebabkan karena disekeliling danau tersebut terdapat lahan pertanian, baik
berupa ladang maupun sawah. Dalam pemeliharaannya dilakukan pemupukan dengan pupuk
kimia, dan menggunakan Fungisida, Herbisida, Pestisida, Insektisida untuk pengendalian hama
dan penyakit Bahan-bahan tersebut banyak sedikitnya tentu terbawa oleh hanyutan aliran
masuk ke dalam Danau. Pupuk yang mengandung senyawa Nitrogen dalam kondisi air
teroksigenasi baik akan berubah menjadi nitrat dan selanjutnya berubah menjadi nitrit
(Goldman and Horne, 1994).
Hasil pengukuran faktor fisika kimia air umumnya hampir sama disetiap stasiun dan
tergolong baik untuk kehidupan organisme akuatik. Tampaknya faktor kondisi substrat dasar
dan kekuatan arus lebih berpengaruh terhadap kehadiran jenis dan kepadatan dari serangga
bentik di Danau Diatas. Menurut Ward (1992), organisme bentos sangat ditentukan oleh faktor
fisik perairan seperti tipe substrat dan kecepatan arus
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 109
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
1,93
2,00 1,75
1,80
1,37 1,43
1,60 1,32
1,40
Nilai Indeks
1,20
0,80 0,75
1,00 0,69 H'
0,60
0,80 0,51
E
0,60
0,40
0,20
0,00
Dermaga Villa Muara Gelagah Teluk Kinari
Stasiun
Gambar 2. Indeks keanekaragaman dan indeks ekuitabilitas komunitas serangga bentik pada
setiap stasiun dizona litoral Danau Diatas
Secara umum tinggi rendahnya indeks keankeragaman ditentukan oleh jumlah jenis dan
jumlah individu. Makin banyak jumlah spesies dan makin merata penyebaran individu di dalam
spesies maka nilai indeks keanekaragaman semakin tinggi. Kemeratan populasi dalam
komunitas dapat diketahui dengan indeks ekuitabilitas (E), apabila E mendekati 1 maka sebaran
individu-individu antar jenis relatif merata, bila E mendekati 0 maka sebaran individu-individu
tidak merata karena ada jenis tertentu jumlahnya relatif berlimpah atau dominan dari pada
jenis lainnya (Kendeigh, 1980). Jumlah jenis yang paling banyak ditemukan di Stasiun Villa
(15 jenis) akan tetapi indeks keanekaragaman yang paling tingi ditemukan bukan di stasiun
tersebut tetapi di Stasiun Teluk Kinari. Hal ini disebabkan populasi-populasi di Teluk kinari
lebih merata (E= 0,75) dibandingkan dengan di Stasiun Villa dengan nilai E =0,51. Tidak
meratanya populasi serangga bentik di Stasiun Villa disebabkan oleh sejenis Orthocladinae
yang kepadatan populasinya tinggi yakni 3944,05 ind/m2 (65,14 %).
Struktur ekologi sangat tergantung pada lingkungan fisik, kimia dan biologi. Faktor
fisik yang sering berpengaruh terhadap larva serangga adalah tipe substrat, kecepatan arus,
intensitas cahaya, oksigen terlarut, sedangkan faktor kimia yang berpengaruh adalah pH dan
salinitas (Mahajoeno, Efendi dan Ardiansyah (2001).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 110
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 1. Kepadatan populasi (ind/m2) dan kepadatan realtif (%) serangga bentik di zona litoral danau Diatas
Dermaga Villa Muara Gelagah Teluk Kinari
Jenis serangga bentik K K
KR (%) K (ind/m2) KR (%) K (ind/m2) KR (%) K (ind/m2) KR (%) KR (%)
(ind/m2) (ind/m2)
INSECTA
O. Coleoptera
1 Cyphon sp 11,11 1,12
2 Psephenoides sp. 211,09 3,49 11,11 3,85 222,20 22,47 66,66 7,06
3 Psephenidae sp. 1 11,11 1,16 11,11 0,18 22,22 2,25 22,22 2,35
O. Diptera
4 Antocha sp. 11,11 0,18 11,11 3,85
5 Microspectra sp. 11,11 1,16 199,98 3,30 133,32 14,12
6 Orthocladinae 1 11,11 1,16 3944,05 65,14 11,11 3,85 77,77 8,24
7 Orthocladinae 2 11,11 0,18 33,33 11,54 22,22 2,35
8 Polypedilum sp. 99,99 10,47 588,83 9,72 122,21 42,31 77,77 7,87 411,07 43,53
9 Tanytarsus sp. 11,11 1,16 33,33 3,37
10 Tanypodinae 33,33 3,49
11 Chironominae 1 144,43 2,39 55,55 19,23 44,44 4,71
O. Ephemeroptera
12 Baetis sp. 55,55 5,81 322,19 5,32 11,11 3,85 111,10 11,24 11,11 1,18
13 Caenis sp. 144,43 15,12 99,99 1,65 22,22 2,35
14 Centroptilum sp. 77,77 1,28 11,11 3,85 11,11 1,18
O. Lepidoptera
15 Eoophyla sp. 11,11 1,12 11,11 1,18
O. Odonata
16 Corduliidae 11,11 0,18
17 Gomphidae 33,33 0,55 55,55 5,88
O. Trichoptera
18 Hydropsyche sp. 22,22 0,37
19 Psychomya sp. 577,72 60,47 366,63 6,06 22,22 7,69 499,95 50,56 55,55 5,88
Total kepadatan 955,46 100,00 6054,95 100,00 288,86 100,00 988,79 100,00 944,35 100,00
Jumlah jenis 9 15 9 8 13
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 111
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 2. Faktor fisika kimia air dan kondisi dasar danau pada masing-masing stasiun
di zona litoral Danau Diatas
Parameter Dermaga Villa Muara Gelagah Teluk Kinari
1. Fisika kimia air
Suhu (ºC) 21,5 21,5 22 23 21,5
TSS (mg/l) 23,35 11,6 22,55 13,5 10,6
O2 (mg/l) 7,53 8,80 8,21 7,42 7.59
BOD5 (mg/l) 0,96 1,83 2,08 0,64 2,15
CO2 (mg/l) 0,97 ttd 0,29 0,81 0,67
pH 7 8 7 7 7
Pospat (mg/l) 0,32 0,37 0,26 0,19 0,34
Nitrat (mg/l) 0,45 0,79 0,9 0,67 1,36
Nitrit (mg/l) 0,71 0,73 0,72 0,67 0,25
Amoniak (mg/l) 0,07 0,17 0,31 0,36 0,08
2. Karakteristik dasar danau
Kandungan organik
substrat 22,30 3,29 4,62 6,68 22,29
Komposisi partikel dasar*
Kerikil 9,54 28,64 29,98 19,48 18,73
Pasir 63,63 71,03 69,03 63,84 50,86
lumpur 26,84 0,33 1,00 16,66 30,41
3. Vegetasi akuatik
Vegetasi makrofita
akuatik - - Potamogeton Potamogeton Potamogeton
Myriophylum Myriophylum Myriophylum
Tidak Sangat
4. Kondisi arus kuat kuat Kuat Tidak kuat Tidak kuat
Keterangan: * Selain batu
Berdasarkan nilai fisika kimia air yang diamati ternyata semua faktor tersebut berada
dibawah baku mutu air kelas I dan II kecuali nitrit (0,25 -0,73 mg/l) sudah melebihi nilai
ambang batas air Kelas IV berdasarkan PP No. 82 tahun 2001. Konsentrasi nitrit yang
dipersyaratkan untuk air Kelas I –IV tidak melebihi dari 0,06 mg/l. Kualitas air di zona litoral
Danau Diatas tergolong Kelas I dan II layak digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi dan
untuk kehidupan organisme akuatik di Danau Diatas termasuk serangga bentik.
Dasar danau di seluruh stasiun didominasi oleh batu, kecuali di Teluk Kinari.
Komposisi sedimen yang terbesar adalah pasir 50,86-71,03 %. Batu-batu dasar umumnya
dilapisi oleh alga yang didominasi oleh alga berfilamen seperti Spyrogira dan Lingbya dan
Diatom seperti Gomphonema. Kandungan organik substrat berkisar dari 3,29 -22,30 %.
Kandungan yang tinggi ditemukan pada stasiun yang berlumpur yaitu di Teluk Kinari dan
Dermaga. Di Teluk Kinari, Gelagah dan di Muara banyak ditemukan makrofita akuatik seperti
Potamogeton dan Myriophylum. Kondisi substar seperti ini menambah keanekaragaman
mikrohabitat untuk serangga bentik
SIMPULAN
Komunitas serangga bentik dizona litoral Danau Diatas ditemukan sebanyak 19 jenis
yang terdiri dari ordo Diptera 8 jenis, Coleoptera 3 jenis, Ephemeroptera 3 jenis, Odonata 2
jenis, Trichoptera 2 jenis dan Lepidoptera 1 jenis. Kepadatan total berkisar dari 288,86 –
6054,95 ind/m2, rata-rata 1846,48 ind/m2 dengan komposisi Diptera 66,06 %, Trichoptera
16,73 %, Ephemeroptera 9,51 %, Coleoptera 6,38%, Odonata 1,08 % dan Lepidoptra 0,24 %.
Indeks keanekargaman jenis berkisar dari 1,32–1,93. menunjukan kualitas perairan tercemar
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 112
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
sedang, indeks ekuitabilitas berkisar dari 0,51-0,80. Kondisi fisika kimia air danau yang diukur
dan karakteristik dasar danau secara umum tergolong baik untuk kehidupan serangga bentik
DAFTAR PUSTAKA
Goldman, C. A. and A. J. Horne. 1994. Lymnology. Mc. Graw Hill Book Company. Tokyo.
Jonasson, P. M. 1987. Zoobentos of Lake. Verh. Internat. Verein. Limnol. 20 (1): 25-41
Kendeigh, S. C. 1980. Ecology: with Special Refernce to Animals and Man. Prentice Hall of
India Private Ltd. New Delhi.
Krisanti, M., D. Djokosetiyanto., Y.Wardiatno dan I. Muchsin. 2011. Studi populasi larva
Polypedilum (Insekta: Chironomidae Pada substrat Buatan dengan kedalaman berbeda
di Danau Lido. Journal of Tropical Fisheries. 6(2):559-567
Mahajoeno, E., M. Efendi dan Ardiansyah. 2001. Keanekaragaman Larva Insekta pada Sungai-
sungai Kecil di Hutan Jobolarangan. Biodiversitas. 2 (2): 133-139
Merrit, R. W. and K. W. Cummins. 1984. An Introduction to the Aquatic Insects of North
America. Second Edition. Kendall/Hunt. Dubuque.
Nakano, K., T. Watanabe., R. Usman and Syahbuddin. 1987. Study of Conservation in a
Montaion Region in Sumatra. Mem. Kagoshima Univ. Res. Center. S. Pac. 8(2): 87-124
Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga. Diterjemahkan oleh Samigan, T. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Penak, R.W. 1978. Freshwater Invertebrates of United States. Second ed. A Wiley Intercience
Publ. john Wiley & Sons. New York. Chichester. Brisbane. Toronto.
Pescador, M. L., A. K. Rasmussen and S. C. Harris. 2002. Identification Manual for the
Caddisfly (Trichoptera) Larvae of Florida. 1. Departemen of Enviromental Protection
Division of Water Facilities Thallahassee. State of Florida.
Pinder, L. C. V. and Freiss. 1983. The larve of Chironomid (Diptera: Chironomidae) of the
Holartic–Key and diagnosis in: Wiederholm (Ed.) Chironomidae of the Holoartc. Part 1
Larva. Ent. Scand. Suppl. No. 19: 293-447.
Ward, J. V. 1992. Aquatic Insect Ecology: Biologi and Habitat. John Wiley and Sons Inc.
Clorado State University. Fort Collins, Clorado.
Williams, D. D. And B. W. Felmate. 1992. Aquatic Insect. C.A.B. International. Redwood
Press Ltd., Melksham. UK.
Wallace, J. B and J. R. Webster. 1996. The Role of Invertebrate in Stream Ecocystem. Ann.
Rev. Entomol. 41:115- 139
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 113
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ABSTRAK
Penelitian tentang “Potensi Antimikroba dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Segar
Jambu Kaliang (Syzygium cumini (L.) Skeels” telah dilakukan dari bulan Juli sampai
September 2015 di Laboratorium Riset Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas. Penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Lengkap dalam pola Nested. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak segar daun
Jambu Kaliang memiliki daya hambat terbesar terhadap Candida albicans dengan rata-rata
diameter zona hambat yang terbentuk 16,30 mm. Pada Staphylococcus aureus dan Escherchia
coli diameter zona hambat terbesar terdapat pada ekstrak daging buah masak, dengan diameter
zona hambat yang dibentuk masing-masing 23,67 mm dan 26,22 mm. Pada uji aktivitas
antioksidan, ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan tertinggi adalah ekstrak kulit buah
masak Jambu Kaliang dengan nilai 127,73 %.
ABSTRACT
A study about “Potential Antimicrobial and Antioxidant Activity Fresh Extract Jambu
Kaliang (Syzygium cumini (L.) Skeels)” was conducted from July to September 2015 at
Microbiology Laboratory, Faculty of Sciences Andalas University.This experiment used
nested completely randommized design.The result showed that fresh extracts of Syzygium
cumini have different growth inhibition effects on C. albicans, S. aureus dan E. Coli. Fresh leaf
extract has the highest inhibition of the growth of C. albicans (16.30 mm). On S. aureus and
E. coli highest inhibition found in meat extracts of ripe fruit, with a diameter of inhibition zone
formed 23.67 mm and 26.22 mm. In the test of antioxidant activity,extracts which have the
highest antioxidant activity is ripe fruit peel extract Jambu Kaliang with a value of 127.73%.
PENDAHULUAN
Saat ini kesadaran masyarakat tentang bahaya mengkonsumsi obat-obatan berbahan
kimia sudah semakin besar, penggunaan obat yang terus-menerus akan menimbulkan efek
samping, bahkan dapat menyebabkan penyakit baru bagi konsumennya. Selain itu, kisaran
harga obat berbahan kimia yang relatif tinggi juga menyulitkan masyarakat. Maka masyarakat
mulai kembali kepengobatan alternatif dengan menggunakan bahan tradisional yang berkhasiat
untuk mengobati berbagai macam penyakit yang tidak memberi efek samping bagi tubuh dan
tidak mahal.
Indonesia sangat kaya dengan tumbuhan obat yang dimanfaatkan untuk obat tradisional
dan telah lama digunakan secara empirik yang memberi manfaat dalam meningkatkan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 114
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
kesehatan tubuh dan pengobatan berbagai macam penyakit (Paturusi, Djide dan Subehan,
2012). Salah satu dari tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional adalah
tumbuhan Jamblang. Di Sumatera Barat tumbuhan Jamblang ini dikenal dengan nama Jambu
Kaliang.
Syzygium cumini (L.) Skeels atau Jambu Kaliang merupakan tumbuhan yang dapat
hidup pada kisaran geografis yang tinggi. Tumbuhan ini dijumpai di kawasan beriklim tropis
seperti negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika bagian tengah.
Pada kawasan subtropis, tumbuhan ini juga dapat ditemukan, seperti pada negara-negara di
Amerika Utara, Eropa, Australia, Asia Timur dan Afrika bagian selatan (Verheiji dan Coronel,
1997). Jambu Kaliang juga ditemukan di kawasan Sumatera Barat dan merupakan salah satu
buah-buahan lokal asli yang mulai langka dan sangat digemari oleh masyarakat Sumatera
Barat.
Selama ini masyarakat sudah menggunakan tumbuhan Jambu Kaliang sebagai obat
tradisional. Menurut Gruenwald (2000) kulit kayu tanaman ini dipercaya berkhasiat sebagai
obat diare, mengatasi inflamasi pada kulit, mulut dan tenggorokan. Sedangkan bijinya
dipercaya berkhasiat untuk penyakit diabetes, mengatasi konstipasi, penyakit pankreas dan
sebagai diuretik. Soeseno (1990) juga mengatakan bahwa tumbuhan ini juga sering digunakan
sebagai anti ngompol, anti diare serta mengobati kencing manis.
Jambu Kaliang merupakan buah-buahan yang menyehatkan. Hal ini karena tumbuhan
Jambu Kaliang diduga mengandung berbagai senyawa antioksidan yang juga bersifat sebagai
antimikroba. Menurut Ayyanar dan Babu (2012), buah tumbuhan ini kaya akan senyawa
anthosianin. Senyawa anthosianin terdapat pada kulit buah masak yang berwarna merah
kehitaman, sedangkan buah muda dan daun mengandung senyawa-senyawa flavonoid, terpen,
tanin, alkaloid yang berasal dari rasa asam dan pahit dari buah dan daun. Menurut Ajizah
(2004), senyawa tersebut juga memiliki aktivitas sebagai antimikroba. Tanin yang
terkondensasi dapat mengikat dinding sel bakteri, menghambat pertumbuhan dan aktivitas
protease, sedangkan senyawa alkaloid dapat mengganggu terbentuknya jembatan seberang
silang komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak
terbentuk secara utuh dan mengakibatkan kematian sel.
Pada penelitian ini ekstrak segar daun dan buah Jambu Kaliang akan diuji aktivitas
antimikrobanya dengan menggunakan beberapa jenis mikroorganisme patogen, yaitu Candida
albicans (R.) Berkhout, Escherichia coli Castellani and Chalmers (Migula) ATCC 25922 dan
Staphylococcus aureus Rosenbach ATCC 6538. Saat ini penelitian tentang uji kandungan
senyawa antimikroba dan antioksidan yang terdapat pada buah dan daun Jambu Kaliang belum
banyak dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang uji kandungan senyawa
antimikroba dan antioksidan yang terdapat pada buah dan daun Jambu Kaliang segar.
Diharapkan penelitian ini dapat membantu masyarakat dalam mengetahui berbagai zat
antioksidan dan antimikroba yang terdapat pada buah dan daun Jambu Kaliang serta
manfaatnya bagi kesehatan.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 115
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
digunakan adalah alkohol 70 %, alkohol 96 %, spritus, asam sulfat, barium clorida, asorbic
acid dan DPPH (1,1-Diphenyl-2-PicrylHidrazil).
Cara Kerja
Uji Antimikroba
Daun dan dua jenis buah Jambu Kaliang yang masak dan yang muda disiapkan.
Kemudian dicuci bersih dan dikering anginkan. Setelah itu dilakukan sterilisasi permukaan
dengan cara disemprot alkohol 70 %. Buah yang masak dipisahkan antara kulit dengan isi
buahnya.Kemudian daun dan tiga buah sampel tadi (buah muda, buah masak tanpa kulit buah
dan kulit buahnya saja) digerus, diperas dan disaring. Hasil saringan dimasukkan ke dalam
tabung Eppendorf dan disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm.
Penentuan daerah bebas mikroba menggunakan metode difusi (Bonang dan
Koeswardoyo, 1979). Medium SDA dan MHA yang telah disiapkan dalam keadaan steril pada
erlenmeyer dituangkan pada cawan petri sebanyak 15 ml secara aseptis dan medium dibiarkan
memadat.Lidi kapas steril dicelupkan ke suspensi, kemudian dioleskan ke permukaan medium
sampai rata, dibiarkan beberapa detik pada suhu kamar.Diletakkan secara aseptis cakram
(Paper disk) di permukaan medium yang telah ditetesi dengan ekstrak segar Jambu Kaliang
masing-masing sebanyak 20µl. Diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam.Dilakukan
pengamatan dan pengukuran diameter daerah bebas mikroba yang terbentuk sekitar cakram
setelah 18-24 jam. Diameter diukur dengan menggunakan jangka sorong.
Penentuan Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH
Metode DPPH yang digunakan mengacu pada Molynuex (2004).
Dilarutkan 4 ml larutan DPPH 0,05 mM dengan 1 ml larutan uji. Campuran didiamkan selama
waktu Operating Time yang telah diperoleh. Diukur serapan larutan dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 517 nm. Sebagai pembanding digunakan Asam Askorbat pada
konsentrasi 10, 20, 30,40 dan 50 ppm dengan perlakuan yang sama dengan larutan uji.
Penentuan persen perendaman menggunakan rumus berikut ini:
A1 = Absorbansi kontrol
A2 = Absorbansi Sampel
HASIL
Uji Antimikroba
Tabel 1. Rata-rata Diameter Daerah Bebas Mikroba Ekstrak Segar Jambu Kaliang terhadap
Mikroba Uji
Diameter Daerah Bebas Mikroba (mm)
No. Jenis Ekstrak
C. albicans S. aureus E. coli
1. Buah Masak 9,23 b 23,67 a 26,22 a
2. Kulit Buah Masak 9,43 b 22,87 b 24,51 b
3. Daun 16,30 a 20,13 c 20,50 c
4. Buah Muda 8,27 c 16,72 d 21,32 c
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang tidak sama pada kolom yang sama
adalah berbeda nyata pada uji taraf 5%.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 116
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
1 2 3 4
Gambar 1. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar Jambu Kaliang terhadap pertumbuhan
C. albicans (1). Ekstrak segar daun (2). Ekstrak segar buah muda (3). Ekstrak segar
daging buah masak (4). Ekstrak segar kulit buah masak
1 2 3 4
Gambar 2. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar Jambu Kaliang terhadap pertumbuhan
S. aureus (1). Ekstrak segar daun (2). Ekstrak segar buah muda (3). Ekstrak segar
daging buah masak (4). Ekstrak segar kulit buah masak
1 2 3 4
Gambar 3. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar Jambu Kaliang terhadap pertumbuhan
E. coli (1). Ekstrak segar daun (2). Ekstrak segar buah muda (3). Ekstrak segar
daging buah masak (4). Ekstrak segar kulit buah masak
Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH
Tabel 3. Rata-rata Aktivitas Antioksidan ekstrak Jambu Kaliang dengan Metode DPPH
Sampel Rata-rata Aktivitas Antioksidan (%)
Daun 49,55
Buah Muda 63,19
Kulit Buah Masak 127,73
Daging Buah Masak 32,64
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 117
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PEMBAHASAN
Uji Antimikroba
Uji aktivitas antimikroba ekstrak segar Jambu Kaliang menunjukkan bahwa semua
ekstrak mampu menghambat pertumbuhan C. albicans, S. aureus dan E. coli. Hal ini terlihat
dari diameter zona hambat yang terbentuk (Gambar 1,2 dan 3). Rata-rata diameter zona hambat
mikroba ekstrak segar tumbuhan Jambu Kaliang terhadap C. albicans berkisar antara 8,27 –
16,30 mm, S. aureus berkisar antara 16,72 – 23,67 mm dan E. coli berkisar antara 20,50 – 26,22
mm (Tabel 1). Terhadap C. albicans antara masing-masing ekstrak buah masak dan kulit buah
masak pengaruhnya tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan ekstrak daun dan buah
muda. Pada S. aureus keempat ekstrak memberikan pengaruh yang berbeda nyata, sedangkan
pada E. coli ekstrak daun dan buah muda tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan
ekstrak buah masak dan kulit buah masak. Pengaruh yang diberikan terlihat dari diameter zona
hambat yang terbentuk. Terbentuknya diameter zona hambat ini disebabkan karena ekstrak
segar daun, buah muda,daging dan kulit buah masak Jambu Kaliang mengandung berbagai
senyawa aktif yang bersifat sebagai antimikroba.
Kemampuan daya hambat yang diberikan oleh masing-masing ekstrak segar Jambu
Kaliang terhadap bakteri uji sangat ditentukan oleh kandung senyawa kimia aktif yang
terkandung pada masing-masing ekstrak. Menurut Ayyanar dan Babu (2012), daun, buah
muda, kulit dan daging buah masak Jambu Kaliang banyak mengandung berbagai senyawa
yang bersifat sebagai antimikroba dan antioksidan. Daun mengandung senyawa aktif berupa
flavonol, tanin, terpen, alkaloid dan juga quercetin. Buah Jambu Kaliang juga mengandung
berbagai senyawa aktif seperti antosianin, asam sitrat, asam malat, flavonoid, polifenol, asam
galat, alkaloid (jambosin), vitamin C, minyak atsiri dan juga sedikit senyawa tanin. Senyawa-
senyawa ini akan berdifusi ke dalam medium sampai terbentuk keseimbangan dan mampu
menghambat pertumbuhan mikroba uji.
Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa ekstrak segar daun Jambu Kaliang sangat aktif dalam
menghambat pertumbuhan C. albicans dengan membentuk diameter zona hambat paling besar
diantara ekstrak lainnya. Rata-rata diameter yang dibentuknya sebesar 16,30 mmdan tergolong
kuat (K) menurut kategori daya hambat Davis and Stout (1971) (Tabel 2) serta memiliki
perbedaan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan ekstrak lainnya yang memiliki
rata-rata diameter zona hambat berkisar antara 8,27 – 9,43 mm terhadap mikroba uji C.
albicans (Tabel 1). Hal ini disebabkan karena daun Jambu Kaliang diduga mengandung
senyawa aktif berupa flavonol, alkaloid dan senyawa tanin yang memiliki kandungan lebih
tinggi jika dibandingkan dengan bagian lain tumbuhan ini. Coppen (1983) menyatakan bahwa
senyawa flavonol merupakan salah satu senyawa yang termasuk golongan senyawa flavonoid.
Heinrich, et al., (2009) mengatakan bahwa flavonoid mampu merusak dinding sel sehingga
menyebabkan kematian sel.
Selain flavonol daun Jambu Kaliang juga mengadung tanin. Menurut Cowan (1999),
senyawa tanin mampu mengganggu pembentukan konidia sehingga menyebabkan kematian
pada jamur. Selain tanin, alkaloid yang terdapat pada daun Jambu Kaliang juga memiliki
kemampuan untuk mendenaturasi protein sehingga sel tidak terbentuk secara utuh dan
menyebabkan kematian sel (Robinson,1991). Karena kemampuan senyawa-senyawa tersebut
maka pertumbuhan C. albicans dapat dihambat dengan baik oleh ekstrak segar daun Jambu
Kaliang.
Pada S. aureus dan E. coli ekstrak yang sensitif menghambat pertumbuhan bakteri uji
adalah ekstrak daging buah masak Jambu Kaliang. Rata-rata diameter yang terbentuk pada
masing-masing mikroba uji adalah 23,67 mm pada S. aureus dan 26,22 mm pada E. coli (Tabel
1) dan tergolong kategori sangat kuat (SK) menurut kategori daya hambat Davis and Stout
(1971) (Tabel 2). Nilai rata-rata diameter zona hambat yang diperoleh pada ekstrak daging
buah masak Jambu Kaliang ini berbeda nyata dengan nilai zona hambat yang diperoleh pada
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 118
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ekstrak yang lainya. Menurut Shafi, et al., (2002), pada buah Jambu Kaliang terkandung
senyawa penyamak tanin, minyak atsiri, asam sitrat, asam malat, asam gallat, sianidin,
petunidin, malvidin dan triterpenoid serta vitamin C yang tidak dimiliki organ lain tumbuhan
Jambu Kaliang. Menurut Nychas dan Tassou (2000) senyawa-senyawa tersebut termasuk
golongan senyawa antimikroba alami yang berasal dari tumbuhan.
Asam sitrat, asam malat dan asam gallat termasuk golongan senyawa asam organik
tumbuhan yang mampu membunuh bakteri-bakteri patogen. Sianidin, petunidin dan malvidin
merupakan senyawa-senyawa golongan anthosianin (Nychas dan Tassou, 2000). Senyawa-
senyawa tersebut bekerja saling mendukung dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji,
seperti senyawa flavonoid yang dikandung daging buah masak akan bekerja lebih efektif
dengan adanya vitamin C. Aktivitas dari senyawa inilah yang diduga dapat menyebabkan
ekstrak segar daging buah masak mampu menghambat pertumbuhan S. aureus dan E. coli.
Selain ekstrak segar daging buah masak, ekstrak segar kulit buah masak, buah muda
serta ekstrak segar daun Jambu Kaliang juga mampu menghambat pertumbuhan S. aureus dan
E. coli. Hal ini diduga disebabkan oleh kandungan senyawa-senyawa aktif yang terdapat pada
masing-masing ekstrak. Ekstrak segar kulit buah masak mengandung senyawa aktif berupa
senyawa-senyawa golongan antosianin yang terdiri dari sianidin, petunidin dan malvidin yang
jumlahnya lebih besar jika dibandingkan organ lain. Pada ekstrak segar daun juga terdapat
berbagai senyawa aktif antioksidan yang bersifat sebagai antimikroba seperti tanin, flavonol
dan alkaloid, namun senyawa-senyawa ini lebih aktif menghambat pertumbuhan jamur
daripada bakteri, sehingga daya hambat yang dibentuk lebih lemah dibandingkan ekstrak yang
lain. Pada ekstrak buah muda juga terdapat berbagai senyawa aktif namun senyawa tersebut
belum memiliki struktur yang sempurna jika dibadingkan dengan buah masak, sehingga
kekuatan daya hambat antimikrobanya juga lebih lemah dari ekstrak yang lainnya.
Kondisi dinding sel yang dimiliki oleh E. coli yang merupakan bakteri gram negatif
juga mempengaruhi terbentuknya daerah bebas mikroba. Menurut Pelzcar dan Chan (1988),
bakteri gram negatif mempunyai dinding sel dengan kandungan peptidoglikan yang tipis. Pada
dinding sel bakteri E. coli juga terdapat lipid yang mampu memperbesar permeabilitas dinding
sel. Sunatmo (2009) menambahkan bahwa pada membran luar dinding sel E. coli juga terdapat
protein purin yang berfungsi sebagai saluran keluar masuknya senyawa aktif, sehingga
senyawa aktif Jambu Kaliang akan mudah masuk dan merusak aktivitas enzim sel yang
menyebabkan kerusakan sel E. coli.
Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH
Uji aktivitas antioksidan ekstrak Jambu Kaliang menunjukkan bahwa semua sampel
yang diuji memiliki nilai rata-rata aktivitas antioksidan, sampel yang memiliki nilai aktivitas
antioksidan tertinggi adalah sampel kulit buah masak, dengan nilai rata-rata aktivitas
antioksidan yang diperoleh 127,73 %, kemudian sampel buah muda (63,19 %), sampel daun
(49,55 %) dan sampel yang memiliki aktivitas antioksidan terendah adalah sampel daging buah
masak dengan nilai rata-rata aktivitas antioksidan yang diperoleh 32,64 % (Tabel 3).
Aktivitas antioksidan sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia yang terdapat
pada masing-masing bagian tanaman. Menurut Ayyanar dan Babu (2012), pada kulit buah
masak Jambu Kaliang terdapat senyawa antosianin, antosianin merupakan salah satu sub kelas
flavonoid yang penting bagi tanaman. Pada penelitian ini juga dihitung nilai antosianin dari
kulit buah masak Jambu Kaliang dengan nilai yang diperoleh 21 mg/ml. Ordaz-Galindo et al.,
(1999) cit Sari et al., (2009) mengatakan jenis antosianin yang terdapat pada kulit buah Jambu
Kaliang adalah delvinidin (41,03 %), sianidin (6,75 %), petunidin (26,90 %), peonidin (1,82
%) dan malvidin 23,50 %). Delvinidin, petunidin dan malvidin ini merupakan golongan
antioksidan utama yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Kandungan antosianin pada buah
Jambu Kaliang memiliki komposisi yang sama dengan buah anggur. Namun berbeda dalam
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 119
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
persentase relatifnya. Antosianin utama pada anggur adalah delfinidin dan sianidin, sedangkan
antioksidan utama Jambu Kaliang adalah delvinidin, petunidin dan malvidin
Selain antosianin yang terdapat pada kulit buah masak, pada buah Jambu Kaliang juga
terkandung beberapa senyawa kimia lain yang juga termasuk golongan senyawa antioksidan.
Menurut Shafi, et al., (2002), pada buah terkandung beberapa senyawa penyamak tanin,
minyak atsiri serta senyawa flavonoid. Selain itu pada daun tanaman ini juga terkandung
beberapa senyawa antioksidan diantaranya adalah alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid dan
juga tanin. Zhang dan Lin (2009) mengatakan senyawa tanin merupakan senyawa kimia yang
memiliki aktivitas antioksidan terbesar dibandingkan dengan senyawa lainnya. senyawa tanin
ini terdapat pada buah dan daun tumbuhan Jambu Kaliang.
Antioksidan merupakan zat yang dapat menangkal atau mencegah reaksi oksidasi
radikal bebas. Oksidasi merupakan suatu reaksi kimia yang mentransfer elektron dari suatu zat
ke oksidator. Reaksi oksidasi dapat menghasilkan radikal bebas dan memicu reaksi berantai,
yang dapat menyebabkan kerusakan sel dalam tubuh manusia. Radikal bebas sangat berbahaya
karena dapat merusak jaringan tubuh sehingga dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti
kanker, tekanan darah tinggi, jantung koroner, diabetes melitus, katarak, proses penuaan dini
dan lain-lain (Chang et al., 2002).
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa semua
ekstrak segar tumbuhan Jambu Kaliang mempunyai aktivitas antimikroba. Daya hambat
terbesar terhadap Staphylococcus aureus (23,67 mm) dan Escherichia coli (26,22 mm)
ditunjukkan oleh ekstrak segar daging buah masak, sedangkan terhadap Candida albicans
(16,30 mm) ditunjukkan oleh esktrak segar daun Jambu Kaliang. Nilai antioksidan tertinggi
didapatkan pada ekstrak kulit buah masak Jambu Kaliang (127,73 %).
DAFTAR PUSTAKA
Ajizah, A. 2004. Sensitifitas Salmonella typhirium Terhadap Ekstrak Daun Psidium Guajava
L. Biosorentiae. 1:P. 31-38
Ayyanar, M. dan P. S. Babu. 2012. Syzygium cumini (L) Sklees: A revier of Phytochemical
Constituent and Traditional uses.Asian Pacific Jurnal of Tropical Biomedicine. p. 240
– 246.
Bonang, G. dan Koeswardono. 1979. Mikrobiologi Untuk Laboratorium dan Klinik. Gramedia.
Jakarta
Chang, L., Yen, Weh-Jhe., S.C. Huang, and D. Pirder. 2002. Antioxidant Activity of Sesame
Coat. Food Chemistry 78:347-354
Coppen, P.P. 1983.The use of antioxidant, in Rancidity in Foods. Applied Science Publishers.
London
Cowan, M. 1999. Plant Product as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology. (12) 4:564-
582.
Davis, W.W., and T. R. Stout. 1971. Disc Plate Method of Mikrobiological Antibiotic Assay.
American Society for Microbiology. vol. 22. No. 4 p. 659-665
Gruenwald, J. 2000. PDR for Herbal Medicines. Medical Economics Company Inc. Montvale
Heinrich, M. 2009. Farmakognosi dan Fitoterapy. Buku Kedokteran Indonesia. Jakarta
Molyneux, P. 2004. The Use Stable Free Radical Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for
Estimating Antioxidant Activity. Songklanakarin Journal Scince and Technology.
26(2):211-219
Nychas, G. J. E., dan C. C. Tassou. 2000. Traditional Preservatives-oil and Spices. Di dalam:
R. K. Robinson, C. A. Batt, P. D. Patel. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol. 1.
London : Academic Press.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 120
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Paturusi, A.A.E., M.N. Djide dan Subehan. 2012. Penelusuran Komponen Antimikroba Dari
Ekstrak Daun Buah Makassar Bruchea javanica (L) Merr. Jurnal Fakultas farmasi
Universitas Hassanudin. Makassar.
Pelczar, M. J dan E.C. S. Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. New York. McGraw–Hill
Book Company, Inc Diterjemaahkan oleh R. S. Hadioetomo, T. Imas, S.S.Tjitrosomo
dan S.L. Angka. UI-Press.
Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. ITB. Bandung
Sari, P., C.H. Wijaya, D. Sajuthi, dan U. Supratman. 2009. Identifikasi Antosianin Buah Duwet
(Syzygium cumini) Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi-Diode Array
Detection. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol XX No.2 Tahun 2009.
Shafi, P.M., M.K. Rosamma, K.Jamil, dan P.S. Reddy. 2002. Anti Bacterial Activity of
Syzigium cumini Leaf Essential Oil.Jurnal of Biology and Biotechnology Division, 72
(5), 414
Soeseno, S. 1990. Juwet Mencegah Ngompol dan Kencing Manis. Yayasan Sosial Tani
Membangun. Jakarta.
Sunatmo, T.I. 2009. Mikrobiologi Esensial. Mikrobiologi IPB. Bogor.
Verheji, E.W.M., dan R.E. Coronel. 1997. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2 Buah–buah
Yang Dapat Dimakan. Prosea Gramedia. Jakarta.
Zhang, L.L. and Y.M. Lin. 2009. Antioxidant Tannins From Syzygium cumini Fruit. African
Journal of Biotechnology. Vol. 8 (10), pp. 2301-2309
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 121
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ABSTRAK
Streptomyces adalah salah satu jenis bakteri penghasil antibiotika seperti Tetrasiklin
yang dihasilkan oleh Steptomyces aureofaciens, kloramfenikol yang dihasilkan oleh S.
venezuelae dan eritromisin yang dihasilkan oleh S. erythreus. Bakteri Klebsiella pneumoniae
merupakan bakteri penyebab penyakit pneumoniae (radang paru-paru) dan saat ini diketahui
telah resisten terhadap antibiotika Ampisilin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi
Streptomyces dan efektivitas filtrat Streptomyces terhadap pertumbuhan bakteri Klebsiella
pneumoniae resisten antibiotik Ampisilin. Kemampuan Streptomyces dalam menghambat
pertumbuhan K. pneumoniae ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening disekitar koloni
Streptomyces pada uji antagonistik dan uji filtrat Streptomyces. Digunakan Streptomyces sp.1,
Streptomyces sp.2, Streptomyces sp.5 dan Streptomyces sp.8 yang memiliki daya hambat
terhadap K. pneumoniae antara 9,56 mm – 12,75 mm dengan daya hambat paling tinggi
dihasilkan oleh Streptomyces sp.8 yaitu sebesar 12,75 mm. Uji filtrat Streptomyces terhadap
K. pneumoniae, filtrat Streptomyces sp.8 yang mampu menghambat K. pneumoniae sebesar
12,98 mm dan termasuk mempunyai daya hambat kuat.
Kata kunci: Streptomyces sp., Klebsiella pneumoniae, filtrat, uji daya hambat
ABSTRACT
This research aimed to study the potential of Streptomyces to inhibited growth of
patogen Klebsiella pneumoniae which Ampisilin Antibiotic’s Resistance. Streptomyces
collected from Microbiology Laboratory, Biology Departement, Udayana University and K.
pnemoniae collected from Laboratory Microbiology, Medicine Faculty, Udayana University.
To know the potential of Streptomyces antagonistic test and filtrate test have done. The result
in antagonistic test is Streptomyces sp.1, Streptomyces sp.2, Streptomyces sp.5 and
Streptomyces sp.8 can inhibited K. pneumoniae, diameter inhibit between 9,56 mm – 12,75
mm, which the largest diameter inhibit is Streptomyces sp.8. In filtrate test Streptomyces sp.8
can inhibit K. pneumoniae which inhibit diameter is 12,98 mm, have category strong inhibited.
PENDAHULUAN
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan yang menyerang
saluran pernapasan bagian bawah. Penyakit ini mengakibatkan bagian alveolus paru-paru terisi
eksudat atau cairan sehingga pertukan oksigen dan karbondioksida menjadi terhambat.
Klebseilla pneumoniae merupakan salah satu bakteri penyebab Pneumonia (Sigalingging,
2011).
Belakangan ini telah ditemukan K. pneumoniae yang telah resisten terhadap antibiotik.
Hal ini dapat disebabkan oleh pemberian antibiotik yang tidak rasional sehingga meningkatkan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 122
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
resistensi terhadap antibiotik. Selain itu muncul kelompok bakteri yang mampu memproduksi
Extended Spectrum Beta Lactamases (ESBL) yang mampu menghidrolisis antibiotika sehingga
mengakibatkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotika (Nugroho dkk., 2011).
Indonesia sebagai salah satu Negara beriklim tropis memiliki keanekaragaman hayati
khususnya kenaekaragaman mikroorganisme yang tinggi. Pemanfaatan mikroorganisme dalam
bidang kesehatan ialah sebagai agen penghasil antibiotika (Tabarez, 2005). Mikroorganisme
yang berpotensi sebagai agen penghasil antibiotika diantaranya ialah kelompok bakteri
Aktinomisetes khususnya jenis Streptomyces. Kemampuan Streptomyces sebagai agen
produksi antibiotika karena dihasilkannya zat antimikroba yang menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain (Rahayu, 2006).
Sekitar 70% antibiotika yang telah ditemukan, dihasilkan oleh genus Streptomyces.
Antibiotika yang telah dihasilkan diantaranya Tetrasiklin yang dihasilkan oleh Steptomyces
aureofaciens, Kloramfenikol yang dihasilkan oleh S. venezuelae, Eritromisin yang dihasilkan
oleh S. erythreus, Oleandomisin yang dihasilkan oleh S. antibioticus, Linkomisin dan
Klindamisin dihasilkan oleh S. lincolnensis, Streptomisin yang dihasilkan oleh S. griceus,
Kanamisin dihasilkan oleh S. kanamyceticus dan Neomisin yang dihasilkan oleh S. fradiae
(Neneng, 2008).
Berdasarkan latar belakang diatas dengan semakin meningkatnya resistensi patogen
terhadap antibiotik maka peneliti mencoba menguji kemampuan isolat dan filtrat Streptomyces
terhadap K. pneumoniae resisten antibiotika Ampisilin.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 123
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gambar 1. Koloni Streptomyces sp. yang digunakan untuk uji daya hambat
Tabel 1. Uji daya hambat isolat Streptomyces sp. terhadap K. pneumoniae resisten antibiotik
ampisilin
No. Isolat Diameter zona hambat
1. Kontrol 0
2. Streptomyces sp. 1 10, 88 mm
3. Streptomyces sp. 2 12, 56 mm
4. Streptomyces sp. 5 9, 56 mm
5. Streptomyces sp. 8 12, 75 mm
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 124
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 3. Diameter hasil uji daya hambat filtrat Streptomyces terhadap K. pneumoniae resisten
antibiotik ampisilin
No. Isolat Diameter zona hambat
1 Streptomyces sp. 1 0
2 Streptomyces sp. 2 0
3 Streptomyces sp. 5 0
4 Streptomyces sp. 8 12, 98 mm
PEMBAHASAN
Uji antagonis isolat Streptomyces terhadap K. pneumoniae menunjukkan hasil bahwa
empat isolat Streptomyces yang diisolasi empat memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan
K. pneumoniae resisten Ampisilin. Isolat Streptomyces sp.8 memiliki daya hambat yang paling
besar terlihat dari diameter zona bening yang dihasilkan paling besar yaitu 12, 75mm
sedangkan diameter zona bening yang paling kecil dihasilkan oleh Streptomyces sp. 5 yaitu
9,56 mm. Daya hambat yang dihasilkan oleh Streptomyces sp.8 dikategorikan kuat sedangkan
daya hambat yang dihasilkan oleh Streptomyces sp.5 dikategorikan sedang. El-Tarabily et al.
(2009) menyatakan bahwa jika diameter zona hambat ≥ 20 mm (daya hambat sangat kuat), 10-
20 mm (daya hambat kuat), 5 – 10 mm (daya hambat sedang) serta < 5 mm (daya hambat
lemah).
Adanya variasi besarnya zona hambat yang diperoleh disebabkan oleh perbedaan
karakteristik Streptomyces yang diisolasi. Selain itu senyawa metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh masing-masing isolat Streptomyces mempunyai struktur kimia, komposisi dan
kandungan antibiotik yang dimiliki mempengaruhi diameter zona hambat yang terbentuk.
Selain itu perbedaan jenis antibiotik yang dihasilkan juga mempengaruhi dalam variasi
besarnya zona hambat yang dihasilkan (Glazer and Nikaido, 1998 ).
Uji efektivitas filtrat Streptomyces sp. terhadap K. pneumoniae hanya satu isolaat yang
mampu menghambat K. pneumoniae, yaitu filtrat isolat Streptomyces sp.8 dengan daya hambat
sebesar 12,98 mm dan dikategorikan kuat. Penelitian yang dilakukan oleh Raningsih et al.
(2015) menunjukkan bahwa Filtrat Nocardia sp.1 dan termasuk golongan Aktinomycetes
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 125
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
memiliki daya hambat terhadap Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan
filtrat yang dihasilkan memiliki MIC (Minimum Inhibitory Consentration) sebesar 2% (v/v) .
Isolat Streptomyces sp. yang dijadikan sebagai filtrat diinkubasi selama 14 hari. Hal ini
mengacu pada penelitian yang dilakukan Kawuri (2012) bahwa waktu 14 hari mampu
menghasil metabolit sekunder tertinggi ketika akan diuji dengan patogen. Yu et al. (2008)
menyatakan bahwa untuk dapat mengisolasi metabolit sekunder yang dihasilkan maka harus
diketahui usia serta lama waktu inkubasi yang tepat.
Filtrat Streptomyces sp.1, Streptomyces sp.2 dan filtrat Streptomyces sp.5 tidak
menghasilkan daya hambat. Menurut Kawuri (2012) tidak dihasilkannya daya hambat
disebabkan oleh perbedaan lama waktu fermentasi dan kondisi kultivasi yang tidak sesuai
sehingga tidak dihasilkan metabolit sekunder. Sektiono dkk. (2010) menyatakan bahwa kondisi
kultivasi akan menghasilkan jumlah antibiotik dan kualitas antibiotik yang berbeda dimana
media mempengaruhi metabolit sekunder yang dihasilkan. Media yang digunakan
kemungkinan tidak sesuai untuk memacu produksi metabolit sekunder Streptomyces sehingga
tidak dihasilkan metabolit sekunder selama proses inkubasi. Menurut Yu et al., (2008) setiap
Streptomyces memerlukan kondisi nutrisi dan kondisi fermentasi yang berbeda untuk
menghasilkan metabolit sekunder. Diperkirakan bahwa kondisi nutrisi dan kondisi fermentasi
selama masa inkubasi Streptomyces tidak sesuai sehingga tidak dihasilkan metabolit sekunder
dalam hal ini antibiotika.
SIMPULAN
Uji daya hambat secara in vitro menunjukkan bahwa keempat isolat Streptomyces sp.1,
Streptomyces sp.2, Streptomyces sp.5 dan Streptomyces sp.8 mampu menghambat K.
pneumoniae resisten antibiotik ampisilin antara 9,56 mm – 12,75 mm. Daya hambat tertinggi
dihasilkan oleh Streptomyces sp.8 dengan diameter zona hambat yaitu 12, 75 mm dan
dikategorikan memiliki daya hambat yang kuat. Uji filtrat Streptomyces isolat Streptomyces
sp.8 mampu menghambat K. pneumoniae dengan diaemeter daya hambat 12,98 mm dan
dikategorikan kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elseviere Academic Press, New York.
El-Tarabily, K. A., M. H. Soliman, A. H. Nassar, H. A. Al-Hassani, K. Sivasithhamparan, F.
McKenna and G. E. Hardy. Biological control of Sceretonia minor using a
chitinologytic bacterium and actinomycetes. Plant Pathology 49: 573 – 583
Ensign J. C. and B. Barnard. 2002. Isolation of Antibiotic-Producing from Soil.
Available:Http://www.Acces.excelllence.org/AE/AEC/AEF/1995/goudie_isolation.ht
ml
Glazer, A.N. and H. Nikaido. 1994. Microbial Biotechnology, Freeman Publishers.
Goodfellow, M., William, S. T., and Mordarski, M. 1988. Actinomycetes in Biotechnology,
Academy Press New York.
Holt, J. G., N. R. Krig, P. H. A., Sneath, J. T. Staley and S. T. Williams. 1994. Bergey’s Manual
of Determinative Bacteriology. 9th ed. Baltimore: Williams and Wilkins.
Locci, R. and G. P. Sharples. 1983. Morphology of Actinomycetes in Goodfellow M., William,
S. T., and Mordarski, M. (Eds.) The Biology of the Actinomycetes, Academic Press,
London.
Neneng, L. 2008. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Penghasil Antibiotik Inhibitor β –
Laktamase Tipe TEM-1 dari Ekosistem Air HitamI MIPA 37 (1); 86-90.
Nugroho, F., P. I. Utami dan I. Yuniastuti. 2011. Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada
Penyakit Pneumonia di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga. J. Pharmacy 8 (1);
141-154.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 126
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Rahayu, T. 2006. Potensi Antibiotik Isolat Bakteri Rizosfer Terhadap Bakteri Escherichia coli
Multiresisten. J. Penelitian Sains dan Teknologi 7 (2); 81-91.
Rana, S. and Salam, M. D. 2014. Antimicrobial Potential of Actinomycetes Isolated from Soil
Samples of Punjab, India. Journal of Microbiology and Experimentation 1(2):1-6.
Ranignsih, N. M., R. Kawuri and I. B. Darmayasa. 2015. Antibacterial Effect of Nocardia sp.
Against Methicilin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Int. J. Pure App. Biosci.
3(4):154-157.
Rao, S. N. S. 2001. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. UI Press, Jakarta.
Tabarez, M.R., 2005, Discovery of the new Antimicrobial compound 7-O-malonyl
macrolactin, Disertasi, Universitas Carolo-Wilhelmia, Jerman
Sektiono A.W., Muhibuddin, A. Dan Sastrahidayat, I.R. 2010. Antagonisme
Streptomyces Terhadap Sclerotium Rolfsii Saac. Penyebab Penyakit Rebah
Semai Pada Tanaman Kedelai (Skripsi). Fakultas Pertanian, Universitas
Brawijaya
Sigalingging, G. 2011. Karakteristik Penderita Penyakit Pneumonia Pada Anak Di Ruang
Merpati II Rumah Sakit Umum Herna Medan. J. Darma Agung; 69-78.
Yu, J., Q. Liu, X. Liu, Q. Sun, J. Yan, X. Qi and S. Fan. 2008. Effect of liquid
culture requirements on antifungal antibiotic production by Streptomyces rimous
MY02. Bioresour. Technol, 99:2087 – 2091.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 127
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ABSTRAK
Salah satu wilayah gunung lawu yang berada di dataran tinggi adalah wilayah lereng
barat Gunung Lawu. Hutan pada wilayah ini berada pada ketinggian 1200 mdpl, sehingga
menyebabkan kondisi hutan yang lembab. Karakteristik tersebut merupakan pendukung bagi
kehidupan flora serta fauna didalamnya. Kelembaban yang tinggi memberikan kondisi udara
yang ideal untuk organisme saprofit khususnya bagi pertumbuhan Makrofungi. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mendata keanekaragaman makrofungi yang terdapat pada wilayah
hutan lawu bagian barat. Metode yang digunakan adalah metode jelajah disepanjang jalur yang
telah ditentukan sebelumnya, serta metode plot dengan ukuran 20 x 20 meter. Data diambil di
3 lokasi yang berbeda yaitu Segoro Gunung, Parang Ijo serta Candi Cetho. Dari data yang
diperoleh terdapat 25 spesies yang teridentifikasi, diantaranya adalah Morchella sp., Xylaria
sp., Microporus xanthopus, Xylaria longiana, Clitocybe nebularis, Cortnarius arfinaceus
Kata Kunci : Biodiversitas, Makrofungi , Wilayah Barat Gunung Lawu.
ABSTRACT
One of Lawu Mountain’s region which placed in high land is western slope. In this
region, the forest was located in 1200 masl elevation, so that caused moist condition on forest.
This characteristic was enabled to support organism life that living in there. High moist give
optimum air condition for saprophyte organism especially for makrofungi growth. Aim of this
research is for listing the biodiversity of macrofungi in western slope of Lawu Mountain.
Exploratif and plotting method is uses in this research. Sample is took in 3 different places that
is Segoro Gunung, Parang Ijo and Candi Cetho. 25 spesies was identified i.e. Morchella sp.,
Xylaria sp., Microporus xanthopus, Xylaria longiana, Clitocybe nebularis, Cortnarius
arfinaceus.
PENDAHULUAN
Gunung Lawu merupakan pegunungan vulkanik tua yang sudah tidak aktif.
Secarageografis terletak pada posisi sekitar 111⁰15’ BT dan 7⁰ 30’LS dan meliputi areal seluas
sekitar 15.000 Ha. Gunung Lawu merupakan salah suatu bentuk habitat yang sangat eksotis.
Gunung ini menjadi batas antara lingkungan Jawa Timur yang cenderung kering dan gersang
dengan Jawa Tengah yang mulai basah, sebelum mencapai Jawa Barat yang basah dan dingin.
Sebagai kawasan peralihan, tempat ini ditumbuhi spesies-spesies khas Jawa Timur, namun
tidak ditemukan di Jawa Barat dan sebaliknya (Steenis, 1972). Ketinggian dan kemiringan
gunung, menyebabkan terbentuknya iklim yang lebih fluktuatif dan berbeda dengan dataran
rendah. Perbedaan ini meliputi suhu, intensitas sinar matahari, ketebalan awan, curah hujan,
kecepatan angin, kebakaran, kelembaban udara dan lain-lain (Odum. 1983; Steenis, 1972;
Lawrence, 1951).
Secara administratif lereng barat terletak di Propinsi Jawa Tengah, meliputi Kabupaten
Karanganyar, Sragen dan Wonogiri. Salah satu wilayah hutan yang merupakan bagian dari
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 128
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
lereng barat Gunung Lawu adalah Hutan Segoro Gunung yang terletak di wilayah
Karanganyar. Dikawasan tersebut terdapat 2 jenis hutan utama yaitu hutan produksi serta hutan
alami. Di hutan alami terdapat berbagai macam tegakan yang mendominasi kawasan hutan
tersebut. Kondisi hutan yang lembab serta lantai hutan yang tertutupi oleh semak belukar dan
seresah daun merupakan kondisi yang sangat cocok bagi berbagai macam organisme hutan
lembab untuk tumbuh dan berkembang biak secara maksimal. Salah satunya adalah organisme
fungi.
Fungi memiliki banyak keunikan yang memperkaya keanekaragaman jenis mahluk
hidup. Fungi merupakan organisme yang morfologi nya mirip dengan tumbuhan namun fakta
nya sangat berbeda dengan jenis tumbuhan. Tidak seperti tumbuhan yang memproduksi
makanannya sendiri melalui proses fotosintesis, fungi mengandalkan organisme lain untuk
memperoleh nutrisi. Perbedaan signifikan lainnya yaitu fungi memiliki kitin( substansi yang
digunakan oleh insekta dan crustase untuk membuat eksoskeleton) pada dinding selnya
sedangkan pada tumbuhan dinding sel nya disusun mengandung selulosa. Fungi memiliki
peran yang sangat penting pada proses dekomposisi dan siklus nutrien, membantu
pembentukan tanah stabil, fungi menbentuk interaksi dengan akar yang mana sangat
bermanfaat untuk kelangsungan hidup tumbuhan serta meningkatkan sumber makanan bagi
organisme lain. Tanpa adanya fungi habitat mendasar dari tumbuhan tidak akan ada. Fungi
berkontribusi secara signifikan pada biodiversitas, fungi merupakan kelompok organisme
paling beragam nomor dua setelah kelompok artropoda(Moore, S &O’Sullivan,2014).
Hawksworth dalam Hidayat (2010) memprediksi bahwa terdapat sekitar 1,5 juta jenis
jamur yang tersebar diseluruh permukaan bumi. Namun sampai sekarang hanya sekitar 7-10%
(105.000-150.000 jenis) dari total 1,5 juta yang telah teridentifikasi. Oleh karena itu sebagian
besar jamur masih perlu dieksplorasi, diidentifikasi, dikonservasi, dan dimanfaatkan.
Indonesia merupakan rumah bagi berbagai jenis fungi, karena memiliki iklim yang tropis
membuat jamur mudah tumbuh diberbagai tempat di negara khatulistiwa ini (Jusana,2013).
Sebagai agen dekomposer fungi memegang peran utama dalam siklus biogeokimia tanah, yaitu
mengubah materi-materi organik menjadi materi anorganik yang akan dimanfaatkan kembali
oleh organisme lainnya, selain sebagai dekomposer, fungi juga dikenal memiliki nilai ekonomi
yang tinggi, beberapa jenis fungi diketahui memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, selain itu
fungi juga dapat dimanfaatkan sebagai agen biokontrol. Fungi merupakan produsen utama bagi
industri farmasi, pangan, serta berbagai industri hasil fermentasi (Prasetyaningsih dan
Rahardjo, 2015).
Biodiversitas serta potensi-potensi dari makrofungi yang terdapat di Indonesia masih
belum banyak diketahui serta dikaji. Sampai saat ini belum terdapat penelitian ataupun
informasi mengenai keanekaragaman makrofungi khususnya diwilayah lereng barat Gunung
Lawu yang meilupti daerah Segoro Gunung, Parang Ijo serta Candi Cetho, mengingat peran
penting makrofungi bagi kehidupan sehari-hari serta fungsi ekologisnya maka kajian ini
dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat arsip berbagai jenis makrofungi serta potensi
makrofungi yang terdapat dikawasan lereng barat Gunung Lawu.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 129
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Cara Kerja
Metode yang digunakan adalah metode jejalah dengan menyusuri track atau jalur yang
telah ditentukan, dengan radius 10 meter ke kanan dan 10 meter ke kiri dari jalur utama.Sampel
yaang ditemukan kemudian diambil dari substratnya menggunakan pisau apabila terdapat di
pohon serta mengguanakan sekop apabila terdapat diatas tanah.Kemudian sampel tersebut
dimasukkan ke dalam plastik dan diberi label. Sampel yang ditemukan dicatat ciri-ciri
morfologinya saat ditemukan, Substrat tempat hidupnya (tanah, pohon,kayu lapuk),diberi
identitas serta diambil gambarnya pada habitat aslinya. Untuk memudahkan proses identifikasi
di laboratorium, jamur yang memiliki kadar air tinggi diberi larutan alkohol sebelum
dimasukkan kedalam plastik atau toples. Jamur yang ditemukan kemudian dikelompokkan
sesuai dengan bentuk tubuh buahnya seperti cup fungi, puffball fungi, stick fungi, jelly fungi,
bracket fungi, and coral fungi. Identifikasi lebih jauh menggunakan karakter morfologi dari
masing-masing makrofungi serta tipe substrat tempat tumbuh yang akan digunakan untuk
menentukan jenis makrofungi tersebut.
Identifikasi Data
Identifikasi jenis makrofungi yang diperoleh mengacu pada buku The Complete
Encyclopedia Of Mushrooms By Keizer (1998) And The Great Encyclopedia Of Mushrooms
by Lamaison And Polese (2005), Toxic Fungi Of North Western America by Thomas J.
Duffy(2008). serta berbagai hasil penelitian dalam bentuk jurnal
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 130
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
berbeda. Faktor determinan keberadaan dan pertumbuhan makrofungi adalah tipe vegetasi,
yang secara langsung berkontribusi sebagai substrat dan sumber materi organik bagi
pertumbuhan makrofungi. Secara tidak langsung, melalui iklim mikro yang diciptakannya akan
menentukan kelembaban udara yang berperan penting bagi pertumbuhan makrofungi
(Prasetyaningsih dan Rahardjo, 2015). Di wilayah hutan tersebut terdapat 2 jenis pohon yang
dominan yaitu pohon puspa serta pohon pinus. Selebihnya adalah vegetasi semak belukar.
Kondisi hutan yang kering akibat musim kemarau serta adanya kebakaran hutan
mengakibatkan berkurangnya ketersediaan substrat bagi makrofungi.
Pengambilan sampel dilakukan pada saat musim kemarau panjang yang berpengaruh
pada kondisi kelembaban hutan, mengakibatkan kondisi kering yang ekstrim, bagi beberapa
spesies jamur yang kosmopolitan seperti Microporus xanthopus atau Ganoderna sp. perubahan
kondisi fisik lingkungan yang kering tidak terlalu berpengaruh terhadap siklus hidupnya.
Namun bagi beberapa jenis jamur non kosmopolitan seperti Tremella sp. adanya ancaman
lingkungan akan menghambat pertumbuhannya.
Keanekaragaman Makrofungi
Dari hasil pengamatan yang dilakukan, secara keseluruhan diperoleh 25 Jenis
makrofungi yang berasal dari 16 Famili berbeda. Jumlah temuan yang paling banyak diperoleh
di wilayah Segoro Gunung yaitu sebanyak 13 spesies disusul dengan hutan Parang Ijo
sebanyak 5 spesies dan di wilayah hutan candi cetho sebanyak 7 spesies. Famili yang
mendominasi adalah Polyporaceae dan Ganodermataceae, karena spesies-spesies dari kedua
famili tersebut umumnya toleran terhadap perubahan fisik lingkungan seperti kondisi
kekeringan. Keanyakan spesies dari kedua famili tersebut berperan penting terhadap proses
dekomposisi materi organik. Spesies lain yang juga bersifat kosmopolitan adalah Marasmius
crinis-equi, memanfaatkan serasah daun sebagai substrat, makrofungi yang memiliki batang
kecil panjang berwarna hitam serta cap yang berwarna coklat ini bersifat saprothropic.
Terdapat berbagai bentuk jamur yang berhasil diidentifikasi antaralain jelly fungi (Tremella
sp.), Coral fungi (Clavariadelphus lignicola), Jamur papan ( Ganoderma sp.)serta jamur
berporus ( Microporus affinis).
Makrofungi tersebut tumbuh dari berbagai macam substrat seperti kayu lapuk, tanah,
serasah daun serta serangga mati. Salah satu jenis jamur yang memanfaatkan serangga mati
sebagai substrat adalah jenis Cordyceps sp. Mayoritas fungi ditemukan pada pohon lapuk hal
itu dikarenakan makrofungi memiliki peran utama dalam proses dekomposisi, serta proses
pelapukan bahan-bahan organik. Pada saat musim hujan makrofungi banyak ditemukan di
serasah daun, kondisi lembab cenderung basah merupakan kondisi optimum bagi makrofungi
untuk berkembang biak.Karakter vegetasi hutan hujan tropis adalah kelembaban dan
ketersedian bahan organik tinggi, yang merupakan karakter habitat yang mendukung
tumbuhnya spesiesAgaricales(Prasetyaningsih dan Rahardjo, 2015). Komposisi makrofungi
didominasi oleh makrofungi kayu yaitu makrofungi yang memanfaatkan kayu atau kayu lapuk
sebagai substrat, sedangkan makrofungi yang ditemukan di substrat tanah sangat sedikit, hal
tersebut menunjukkan ketidakseimbangan ekosistem yang disebabkan karena kekeringan
akibat musim kemarau panjang.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 131
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 132
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 133
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
POTENTIALANTIMICROBIAL ANDANTIOXIDANTACTIVITIESOF
FRESHPLANTEXTRACTSDANDELION(Taraxacum officinaleF. H.Wigg.)
ABSTRAK
Penelitian tentang “Potensi Antimikroba dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Segar
Tanaman Dandelion (Taraxacum officinaleF. H. Wigg.)” telah dilakukan dilaboratorium Riset
Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan ilmu pengetahuan Alam, Universitas
Andalas, bulan Juli sampai Oktober 2015. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Lengkap dengan pola Nested. Hasil penelitian menunjukkan ketiga ekstrak memberikan
pengaruh yang berbeda nyata dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji. Ekstrak segar akar
Dandelion yang paling baik menghambat pertumbuhan E. coli (12,33 mm), S. aureus (12,27
mm) dan bunga tanaman Dandelion paling baik menghambat pertumbuhan C. albicans (9,72
mm). Rata-rata aktivitas antioksidan ekstrak segar akar, bunga dan daun Dandelion secara
berturut-turut adalah 31,544, 54,69 dan 33,732.
ABSTRACT
This study is about "Potential Antimicrobial and Antioxidant Activities Of Dandelion
Extracts (Taraxacum officinaleF. H.Wigg.)" was conducted from July to October 2015 at
laboratory of Microbiology, at Faculty of mathemathic and sciences Andalas University.
Completely Randomized Design in Nested System was used in this study. The result showed
that fresh extracts of Dandelion roots gives a significantly different effect than the fresh leaves
of Dandelion extracts that provide the same effect on microbes. The most fresh root extract
inhibits the growth of E.coli (12.33 mm), S.aureus (12.27 mm) and the best Dandelion flower
extract can inhibits the growth of C.albicans (9.72 mm). The average antioxidant activity of
the extract of fresh root, dandelion flowers and leaves in a row is 31.544, 54.69 and 33.732.
PENDAHULUAN
Taraxacum officinale Weber ex F. H. Wigg merupakan tanaman herba dari family
Asteraceae. Tanaman tersebut memiliki nama umum Dandelion, di Indonesia dikenal dengan
nama Jombang. TanamanDandelion merupakan rumput liar yang mengandung banyak manfaat
dantumbuh tersebar di dataran tinggi, lereng gunung, padang rumput dan ditepi jalan yang
berhawa sejuk . Tanaman Dandelion berasal dari Eropa, tersebar ke Amerika, Canada, Afrika
Selatan, Australia, New Zealand, India, Cina, hingga ke Asia Tenggara termasuk Indonesia
(Chuakul 1999andKemper 1999). Dikawasan Sumatera Barat tanaman ini juga di temukan
tumbuh tepatnya di Kabupaten Solok (Alahan Panjang) yang dikenal dengan nama Samasiak.
Penggunaan tanaman obat yang berasal dari tanaman baik dari akar, batang dan daun
menghasilkan zat antimikroba yang mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 134
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
mikroorganisme penyebab penyakit (Katno dan Pramono 2010). Salah satu dari tanaman yang
dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional adalah tanaman Dandelion.
Secara tradisional masyarakat telah menggunakan tanaman Dandelion sebagai media
pengobatan. Menurut Dalimartha (2000), daun muda sering dikonsumsi oleh masyarakat
sebagai lalap atau salad yang berkhasiat sebagai obat dan menghasilkan efek diuretik. Akar
bertindak sebagai agen antibakteri, perangsang nafsu makan, mengatasi gangguan saluran
pencernaan. Kombinasi daun danekstrak akardigunakan untuk mengobati penyakit ginjal,
diare, hipertensi, maag, asam urat, radang tenggorokan, hepatitis, kandung empedu, penyakit
kulit dan kanker. Bunganya digunakan untuk memberi warna kuning pada minuman atau kain
(Dearing, et al., 2001). Tanaman Dandelion merupakan tanaman obat yang memiliki beberapa
senyawa aktif yang berkhasiat antibiotik, koleretik, antipiretik, diuretik, anti rematik dan anti-
inflamasi (Jeon, et al., 2008).
Tanaman Dandelion merupakan tanaman yang menyehatkan dan berkhasiat obat. Hal
ini disebabkan karena tanaman Dandelion mengandung berbagai senyawa bioaktif diantaranya
adalah flavonoid, tanin, inulin, asam fenolik, alkaloid, vitamin dan kandungan lainnya. Kuusi
et al., (1985) menyatakan bahwa pada akar terdapat kandungan senyawa aktif yang bersifat
sebagai antimikroba berupa seskuiterpen lakton, taraxacin, taraxacerin, tanin, triterpen, sterol,
minyak atsiri, kolin, asparagin dan inulin. Daun mengandung senyawa aktif berupa asam
taraxinic 2-D-glucopyranoside, flavonoid apigenin 7-glucoside dan auksin (Hansel et al.,
1980). Bunga mengandung senyawa aktif berupa flavonoid, alkaloid, steroid, terpenoid dan
tanin (Williams et al., 1996). Hu and Kitts (2003) menyatakan, kandungan flavonoid pada
bunga Dandelion berpotensi sebagai antioksidan.
Menurut Ajizah (2004), senyawa tersebut juga bersifat sebagai antimikroba. Senyawa
tanin pada dasarnya dapat mengerutkan membran sel bakteri sehingga mengganggu
permeabilitas sel. Akibat terganggunya permeabilitas, sel tidak dapat melakukan aktivitas
hidup sehingga pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati. Kandungan senyawa kimia lain
yaitu flavonoid merupakan senyawa fenol yang dapat menyebabkan penghambatan terhadap
dinding sel bakteri.
Antioksidan adalah senyawa yang dapat mencegah terjadinya proses oksidasi. Menurut
Prakash (2001), proses oksidasi dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan mengakibatkan
proses penuaan atau keriput yang lebih cepat pada tubuh. Antioksidan alami banyak ditemukan
pada tanaman seperti biji-bijian, buah dan sayur-sayuran yang mempunyai manfaat bagi
kesehatan. Antimikroba adalah suatu bahan yang dapat mengganggu pertumbuhan dan
metabolisme mikroorganisme. Pemakaian bahan antimikroba merupakan suatu usaha untuk
mengendalikan bakteri maupun jamur, melalui segala kegiatan yang dapat menghambat,
membasmi atau menyingkirkan mikroorganisme (Pelczar dan Chan 1988).
Pada penelitian ini ekstrak akar, daun dan bunga tanaman Dandelion akan diuji aktivitas
antimikrobanya menggunakan mikroba uji C. albicans (R.) Berkhout, E. coli Castellani and
Chalmers (Migula) dan S.aureus Rosenbach. Penelitian sebelumnya banyak melaporkan
ekstrak dandelion menggunakan pelarut. Diantaranya Tettey et al., (2014) melakukan
penelitian tentang analisis in vitro aktivitas antiproliferatif dan antimikroba fraksi pelarut
Dandelion daun terhadap bakteri E. coli, S. aureus, B. subtilis, C. albicans dan S. cerevisiae.
Selanjutnya Sohail et al., (2014), juga melakukan penelitian antibakteri daun Dandelion dari
ekstrak metanol, kloroform dan fraksi air terhadap beberapa strain bakteri patogen yang
berbeda.
Sejauh ini penelitian tentang uji kandungan antimikroba dan antioksidan ekstrak segar
akar, bunga dan daun tanaman Dandelion di Indonesia belum banyak dilaporkan. Beberapa
laporan hanya melaporkan penelitian ekstrak Dandelion dengan menggunakan pelarut. Untuk
itu perlu dilakukan penelitian tentang uji kandungan senyawa antimikroba dan antioksidan
yang terdapat pada akar, bunga dan daun Dandelion. Diharapkan penelitian ini dapat membantu
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 135
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
masyarakat dalam mengetahui berbagai zat antimikroba dan antioksidan yang terdapat pada
akar, bunga dan daun tanaman Dandelion serta manfaatnya bagi kesehatan.
c. Cara Kerja
Akar, bunga dandaun Dandelion disiapkan. kemudian dicuci bersih dan dikering
anginkan. Setelah itu dilakukan sterilisasi permukaan dengan cara disemprotkan alkohol 70%.
Daun yang hijau segar dipisahkan dari tulang daunnya. Kemudian ditimbang akar, bunga dan
daun sebanyak 50 g. Setelah itu Akar, bubnga dan daun Dandelion digerus, diperas dan
disaring. Hasil saringan dimasukkan kedalam tabung Eppendorf, sebelumnya lumpang
didinginkan begitu juga ekstrak didinginkan kemudian disentrifus selama 5 menit dengan
kecepatan 10.000 rpm. Selanjutnya sampel didinginkan dan disentrifus selama 5 menit dengan
kecepatan 10.000 rpm. Medium SDA dan MHA steril dituangkan pada cawan petri sebanyak
15 ml secara aseptis dan dibiarkan memadat. Lidi kapas steril dicelupkan ke suspensi mikroba
uji setara Mc.Farland’s 0,5, kemudian dioleskan ke permukaan medium sampai rata.
Diletakkan secara aseptis cakram (telah ditetesi dengan ekstrak segar dandelionmasing–masing
sebanyak 20μl) pada permukaan medium. Diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam.
Dilakukan pengamatan dan pengukuran diameter daerah bebas mikroba yang terbentuk sekitar
kertas cakram menggunakan jangka sorong (Bonang dan Koeswardono, 1979).
Penentuan Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH( 1,1–Di Phenyl-2-Picryl
Hidrazil) mengacu kepadaMolyneux (2004). Pembuatan Larutan DPPH dengan melarutkan
1,97 mg DPPH dengan 100 ml etanol sehingga diperoleh larutan DPPH dengan konsentrasi
0,05 mM dan larutan ini dikenal dengan larutan DPPH. Penentuan Operating Time Larutan Uji
dengan melarutkan 4 ml larutan DPPH 0,05 mM dengan 1 ml larutan uji 100 ppm. Diukur
panjang gelombang maksimum dengan interval waktu 5 menit sampai nilai absorban stabil.
Kemudian penentuan Aktivitas Antioksidan dilarutkan 4 ml larutan DPPH 0,05 mM dengan 1
ml larutan uji. Campuran didiamkan selama waktu Operating Time yang telah diperoleh.
Diukur serapan larutan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Sebagai
pembanding digunakan Asam Askorbat pada konsentrasi 10, 20, 30,40 dan 50 ppm dengan
perlakuan yang sama dengan larutan uji. Penentuan persentase perendaman = X 100 %
A1 = Absorbansi kontrol A2 = Absorbansi Sampel
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 136
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Analisis Data
Data yang diperoleh pada metode difusi dianalisa secara statistik dalam bentuk RAL
pola Nested, apabila didapatkan perbedaan nyata antara perlakuan dilanjutkan dengan uji
DNMRT pada taraf 5 % dan uji antioksidan disajikan secara deskriptif.
HASIL
Tabel 1. Rata-rata Diameter Daerah Bebas Mikroba Ekstrak Segar Dandelion terhadap
Mikroba Uji.
Diameter Daerah Bebas Mikroba (mm)
No Jenis ekstrak
C. albicans S. aureus E. coli
1. Akar 7,50 c 12,27 a 12,33 a
2. Bunga 9,72 a 10,17 b 11,31 b
3. Daun 8,30 b 9,10 c 8,62 c
Keterangan : angka-angka yang diikuiti huruf kecil yang tidak sama pada kolom yang sama
adalah berbeda nyata pada taraf 5 %.
1 2 3
Gambar 1. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar akar tanaman Dandelion terhadap
pertumbuhan C. albicansket: 1. Ekstrak segar akar (B1) 2. Ekstrak segar bunga
(B2) 3. Ekstrak segar daun(B3)
1 2 3
Gambar 2. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar akar tanaman Dandelion terhadap
pertumbuhan S. aureus Ket : 1. Ekstrak segar akar (B1) 2. Ekstrak segar bunga
(B2) 3. Ekstrak segar daun (B3).
1 2 3
Gambar 3. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar akar tanaman Dandelion terhadap
pertumbuhan E. coli Ket : 1. Ekstrak segar akar (B1) 2. Ekstrak segar bunga (B2)
3. Ekstrak segar daun (B3)
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 137
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 2. Daya Hambat Ekstrak Segar Dandelion Berdasarkan kategori daya hambat
Hambat menurut Davis stout (1971)
Diameter Daerah Bebas Mikroba
No Jenis ekstrak
C. albicans S. aureus E. coli
1. Akar S K K
2. Bunga S K K
3. Daun S S S
Keterangan : K (Kuat), S (Sedang)
Tabel 3. Rata-rata Aktivitas Antioksidan Ekstrak Segar Dandelion dengan Metode DPPH( 1,1–
Di Phenyl-2-Picryl Hidrazil)
Sampel Rata-rata aktivitas antioksidan
Akar 31,544
Bunga 54,69
Daun 33,732
PEMBAHASAN
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa ketiga jenis ekstrak segar Dandelion mampu
menghambat pertumbuhan C. albican, S. aureusdan E. coli setelah antimikroba pada cakram
berdifusi selama 24 jam ke dalam Medium Sabouraud Dextrosa Agar(SDA) dan Mueller
Hinton Agar (MHA). Rata-rata diameter zona hambat mikroba ekstrak segar dari tanaman
Dandelion terhadap C. albicans berkisar antara 7,50-9,72 mm dan E. coliberkisar antara 8,62-
12,33 mm. Pada C. albicans, S. aureus dan E. coli ketigaekstrak memberikan pengaruh yang
berbeda nyata. Pengaruh yang diberikan terlihat dari diameter zona hambat yang terbentuk.
Terbentuknya diameter zona hambat dikarenakan ekstrak segar Dandelion memiliki senyawa
aktif yang bersifat sebagai antimikroba. Menurut Mir et al., (2013) semua bagian dari tanaman
Dandelion mulai dari akar, batang dan bunga mengandung senyawa aktif diantaranya saponin,
flavonoid, alkaloid dan fenol yang merupakan senyawa bioaktif yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroba. Terhambatnya pertumbuhan mikroba oleh ekstrak segar tanaman
Dandelion dapat dilihat dari daerah bebas mikroba yang terbentuk disekitar kertas cakram yang
mengandung ekstrak segar Dandelion.
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa ketiga jenis ekstrak segar Dandelion mampu
menghambat pertumbuhan S. aureus setelah antimikroba pada cakram berdifusi selama 24 jam
ke dalam Medium Sabouraud Dextrosa Agar(SDA) dan Mueller Hinton Agar (MHA). Rata-
rata diameter zona hambat mikroba ekstrak segar dari tanaman Dandelion terhadap S. aureus
berkisar antara 9,10-12,27 mm.
Berdasarkan Gambar 1 diatas dapat dilihat bahwa semua ekstrak segar dari tanaman
Dandelion mampu membentuk diameter zona hambat terhadap S. aureus. Diameter zona
hambat yang terbesar terdapat pada perlakuan ekstrak segar akar dari tanaman Dandelion
dengan diameter zona hambat yang dibentuknya (12,27 mm), kemudian ekstrak segar bunga
dengan diameter zona hambat yang dibentuknya (10,17 mm). Sedangkan zona hambat terkecil
diperoleh pada perlakuan ekstrak segar daun Dandelion dengan diameter zona hambat yang
dibentuknya (9,10 mm). Semua ekstrak dari tanaman Dandelion menunjukkan hasil diameter
zona hambat yang berbeda nyata antara satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan kategori daya hambat menurut Davis and Stout (1971) ekstrak segar akar
dan bunga dikategorikan aktif atau kuat (K) dalam menghambat pertumbuhan S. aureus karena
memiliki zona hambat diantara (10-20) mm. Sedangkan ekstrak segar daun dikategorikan
sedang (S) dalam menghambat pertumbuhan S. aureus karena memiliki zona hambat diantara
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 138
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
(5-10) mm (Tabel 2). Kuusi et al., (1985) menyatakan bahwa pada akar tanaman Dandelion
terdapat senyawa aktif yang bersifat sebagai antimikroba berupa seskuiterpen lakton, taraxacin,
taraxacerin, tanin, triterpen, sterol, minyak atsiri, kolin, asparagin dan inulin.
Selain itu, Ajizah et al., (2007) juga menyatakan bahwa dinding sel bakteri gram positif
terdiri atas peptidoglikan yang sangat tebal sehingga memberikan kekakuan dalam
mempertahankan keutuhan sel. Kekakuan pada dinding sel ini membuat bakteri gram positif
resisten pada kondisi ekstrim di luar sel sehingga membentuk zona hambat yang kecil.
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa ketiga jenis ekstrak segar Dandelion mampu
menghambat pertumbuhan E. coli setelah antimikroba pada cakram berdifusi selama 24 jam ke
dalam Medium Sabouraud Dextrosa Agar(SDA) dan Mueller Hinton Agar (MHA). Rata-rata
diameter zona hambat mikroba ekstrak segar dari tanaman Dandelion terhadap E. coli berkisar
antara 8,62-12,33 mm.
Berdasarkan Gambar 3 di atas dapat diketahui bahwa ekstrak segar akar dan bunga dari
tanaman Dandelion memberikan pengaruh yang besar dalam menghambat pertumbuhan E.
coli. Diameter zona hambat terbesar juga terdapat pada perlakuan ekstrak segar akar dari
tanaman Dandelion dengan diameter zona yang dibentuk (12,33 mm), kemudian ekstrak segar
bunga dengan diameter zona hambat yang dibentuk (11,31 mm) dan ekstrak segar daun dengan
diameter zona hambat yang dibentuk (8,62 mm). Pada E. coli ketiga ekstrak memberikan
pengaruh yang berbeda nyata.
Berdasarkan uraian diatas menurut kategori daya hambat Davis and Stout (1971) ekstrak segar
akar dan bunga dikategorikan aktif atau kuat (K) dalam menghambat pertumbuhan E. coli
karena memiliki zona hambat diantara (10-20) mm. Sedangkan ekstrak segar daun
dikategorikan sedang (S) dalam menghambat pertumbuhan E. coli karena memiliki zona
hambat diantara (5-10) mm (Tabel 2).
Respon daya hambat yang diberikan ekstrak segar tanaman Dandelion terhadap ketiga
mikroba uji sangat dipengaruhi oleh senyawa aktif antimikroba yang terkandung pada akar,
bunga dan daun dari tanaman Dandelion serta kelarutan suatu senyawa aktif. Waji dan Sugraini
(2009) menyatakan bahwa, senyawa aktif antimikroba dalam ekstrak tidak seutuhnya larut
dalam perasan segar karena senyawa aktif larut seutuhnya dalam pelarut tertentu seperti
senyawa atsiri sehingga senyawa aktif antimikroba bisa ditarik keluar dari sel oleh pelarut dan
mampu bekerja maksimal.
Kemampuan daya hambat yang diberikan oleh masing-masing ekstrak segar tanaman
Dandelion terhadap mikroba uji juga ditentukan oleh kandungan senyawa kimia aktif yang
terkandung pada masing-masing ekstrak. Hansel et al., (1980) menyatakan bahwa tanaman
Dandelion mengandung berbagai senyawa aktif yang bersifat sebagai antimikroba dan
antioksidan. Akar tanaman Dandelion mengandung senyawa aktif berupa seskuterpen lakton,
triterpen, taraxol, taraxasterol, stigmasterol, taraxicin, apigenin, inulin, kalsium, kalium,
taraxacoside, fenolat, asamcaffeic, stigmasterol, fruktosa, inulin, pektin dan vitamin C. Daun
dari tanaman Dandelion mengandung asam taraxinic 2-D-glucopyranoside, flavonoid apigenin
7-glucoside dan auksin. Sedangkan bunga dari tanaman dandelion mengandung berbagai
senyawa aktif seperti asam fenolat dan flavoxantin.
Nassar et al., (2010) menyatakan bahwa tanaman yang mengandung senyawa golongan
triterpenoid menunjukkan aktivitas farmakologi yang signifikan, seperti anti-viral, anti-bakteri,
anti-inflamasi, sebagai inhibisi terhadap sintesis kolesterol dan sebagai anti kanker.
Siswandono dan Soekardjo (1995) menambahkan bahwa, flavonoid dan tanin yang terkandung
dalam herba berfungsi sebagai senyawa antimikroba. Hartini et al., (2008) juga menambahkan
bahwa kedua senyawa ini mampu membunuh bakteri dengan cara merusak membran sel
sehingga menyebabkan terjadinya denaturasi protein.
Senyawa flavonoid yang terdapat dalam ekstrak segar Dandelion ini berperan penting
dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji karena flavonoid larut dalam perasan segar
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 139
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
sesuai pernyataan Heinrich et al., (2009) flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol larut
air yang merupakan senyawa aktif yang terdapat dalam tanaman bersifat sebagai antimikroba.
Senyawa flavonoid mampu merusak dinding sel sehingga dapat menyebabkan kematian sel,
hal ini diperkuat dengan pernyataan Sundari et al., (1996) bahwa kandungan senyawa aktif
seperti flavonoid pada dasarnya dapat menghambat sintesis protein pada dinding sel sehingga
menghambat pertumbuhan mikroba.
Senyawa tanin merupakan senyawa antimikroba yang juga terdapat dalam dandelion
yang diduga dapat merusak membran sel mikroba. Menurut Cowan (1999) senyawa tanin
mampu mengganggu pembentukan konidia sehingga menyebabkan kematian pada jamur.
Kemampuan ekstrak segar tanaman Dandelion dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji
dikarenakan adanya kandungan senyawa aktif antimikroba yang terkandung dalam tanaman
Dandelion. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya menurut Ghaima et al., (2013)
aktivitas antibakteri pada tanaman Dandelion mampu menghambat pertumbuhan mikroba uji
A. hydrophila, S. typhi, S. aureus, B. cereus dan E. coli dengan zona hambatan berkisar antara
14-18 mm. Sohail et al., (2014) menambahkan bahwa senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak
metanol dan kloroform Dandelion juga mampu menghambat pertumbuhan mikroba uji P.
aeruginosa, E. coli, S. aureus, Bacillus subtilis dan Micrococcus luteus.
E. coli merupakan bakteri gram negatif yang mempunyai dinding sel dengan kandungan
peptidoglikan yang tipis. Radji (2011) melaporkan bahwa sel bakteri gram negatif terdiri atas
satu atau lebih lapisan peptidoglikan yang tipis, tidak mengandung asam teikoat, oleh karena
itu dinding sel bakteri gram negatif lebih rentan terhadap guncangan fisik, seperti pemberian
antibiotik atau bahan antibakteri lainnya.
Berdasarkan penjelasan di atas ekstrak segar akar terbaik dalam menghambat E. coli dan S.
aureus sedangkan ekstrak segar bunga dikategorikan terbaik dalam menghambat pertumbuhan
mikroba uji C. albicans.
1.2 . Aktivitas Antioksidan masing-masing Ekstrak dengan Metode Efek Perendaman terhadap
Radikal Bebas DPHH ( 1,1–Di Phenyl-2-Picryl Hidrazil)
Pada Tabel 3 terlihat bahwa ketiga ekstrak memiliki rata-rata aktivitas antioksidan
secara berturut-turut yakni sampel daun (33,732), akar (31,544) dan bunga (54,69).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang uji aktivitas antioksidan akar, bunga dan
daun tanaman Dandelion dapat diketahui bahwa akar, bunga dan daun memiliki nilai
antioksidan yang sangat efektif. Sehingga, ekstrak segar bunga, akar dan daun Dandelion
berpotensi sebagai alternatif antioksidan. Garcia-Carrasco et al., (2015) menyatakan bahwa
ekstrak akar, bunga dan daun dandelion efektif terhadap aktivitas antioksidan, hal ini karena
adanya kandungan flavonoid dan polifenol. Kandungan kimia pada akar dan daun dandelion
yang pahit terutama lakton seskuiterpen yang dikenal sebagai prinsip pahit. Selain itu, polifenol
dan flavonoid juga telah diisolasi dari bunga dan daun dari tanaman dandelion. Attaau-rahman
and Coudhary (2001) menyatakan bahwa, senyawa yang berpotensi memiliki antioksidan
umumnya adalah senyawa flavonoid, alkaloid, dan fenolat yang merupakan senyawa-senyawa
polar. Pokorny et al., (2001) juga menyatakan aktivitas antioksidan tidak hanya diperankan
oleh golongan senyawa yang bersifat polar, namun juga dapat diperankan oleh golongan
senyawa yang bersifat non-polar, diantaranya adalah golongan senyawa flavonoid non-polar,
alkaloid dan triterpenoid. Glikosida flavonoid dalam bentuk aglikon yang bersifat non polar
memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi jika dibandingkan dengan bentuk glikonnya yang
bersifat polar.
SIMPULAN
Ekstrak segar dari masing-masing ekstrak tanaman Dandelion mempunyai aktivitas
antimikroba yang berbeda nyata dengan diameter daya hambat terbesar terhadap mikroba ujiE.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 140
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
coli (12,27 mm) dan S. aureus (12,33 mm) ditunjukkan oleh ekstrak segar akar, sedangkan
terhadap C. albicans ditunjukkan oleh ekstrak segar bunga (9,72 mm). Namun, berdasarkan
kategori daya hambat, ekstrak segar akar dan bunga dari tanaman Dandelion dikategorikan kuat
(K) dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji E. coli dan S. aureus. Sedangkan ekstrak
segar daun dikategorikan sedang (S) dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji C.
albicanssedangkan aktivitas antioksidan pada ekstrak segar akar (31,544), diikuti bunga
(54,69) dan daun (33,732).
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dr. Anthoni Agustien, Feskaharni
Alamsyah, MSi dan Dr. Resti Rahayu yang telah memberikan masukan, saran dan kritikan
selama penelitian berlangsung dan dalam proses penulisan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ajizah, A. 2004. Sensitifitas Salmonella typhimurium Terhadap Ekstrak Daun Psidium
guajava L. Biosorentiae 1: 31-38.
Ajizah, A., Thihana dan Mirhanuddin. 2007. Potensi Ekstrak Kayu Ulin (Eusideroxylon
zwageri T et B) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus
Secara In Vitro. Bioscientiae 4 (1): 31-38.
Atta-au-rahman and M. I. Coudhary. 2001. Bioactive natural product a potential of
Pharmacophorus. Pure and Applied Chemistry 73 (2): 555-560.
Bonang, G., dan E. S. Koeswardono. 1979. Mikrobiologi Kedokteran untuk Laboratorium dan
Klinik. Gramedia. Jakarta.
Chuakul, W. 1999. Taraxacum officinale Weber ex F. H. Wigg. In L. S. de Padua, N. B.
Praphatsara dan R. H. M. J, Lenunes (Eds). Prosea: Medical and Poisinous Plant I.
Prosea Foundation. Bogor 12 (1): 475-479.
Cowan, M. 1999. Plants Products as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology (12) 4: 564-
582.
Dalimartha, S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 2. Trubus Agriwidya. Jakarta.
Davis, W.W., and T. R. Stout. 1971. Disc Plate Method of Mikrobiological Antibiotic Assay.
American Society for Mikrobiology. Vol. 22. No. 4 p. 659-665.
Dearing, M. D., A. M. Mangione and W. H. Karasov. 2001. Plant Secondary Compounds as
Diuretics: An Overlooked Consequence. Am Zool 41: 890–901.
Garcia-Carrasco, R. Fernandes-Dacosta, A. Davalos, J. M. Ordovas and A. Rodriguesz-casado.
2015. In vitro Hypolipidemic and Antioxidant Effects of Leaf and Root Extracts of
Taraxacum officinal. Journal of medical sciences 3: 38-5.
Ghaima K. K., M. H. Noor, A. A. Safaa. 2013. Antibacterial and Antioxidant Activities of
Ethyl Acetate Extract of Nettle (Urticadioica) and Dandelion (Taraxacum officinale).
Journal of Applied Pharmaceutical Science 3 (05): 096-099.
Hansel R, Kartarahardja M, Huang J, Bohlmann F. (1980). Sesquiterpenlacton-β-D -
glucopyranoside sowie ein neues eudesmanolid aus Taraxacum officinale.
Phytochemistry (19)5: 857-861.
Hartini, S. Y., et al. 2007. Daya Antibakteri Campuran Ekstrak Etanol Buah adas (Foeniculum
vulgare Mill) dan Kulit Batang Pulasari (Alyxia reinwardtii Bl.). Skripsi Sarjana
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Heinrich, M. 2009. Farmakognosi dan Fitoterapi. Buku Kedokteran Indonesia. Jakarta.
Jeon, H. J., H. J. Jung, Y. S. Kang, C. J. Lim, Y. M King, and E. H. Park. 2008. Anti-
Inflammatory Activity of Taraxacum officinale. Journal of Etnopharmacology 115: 82-
88.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 141
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Katno dan S. Pramono. 2010. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional. Balai Penelitian Tanaman Tawangmangu. Yogyakarta.
Kemper, KJ. 1999. Dandelion: Taraxacum officinalis, lhlm. Longwood Herbal Task Force
www.mcp.edu. Revised November 1, 1999.
Kuusi T, Pyysalo H, Autio K. 1985. The bitterness properties of dandelion II. Chemical
investigations. Lebensm Wiss Technol 18(6): 347-349.
Mir, A.M., E.S.Sawhney, and M.M.S.Mass. 2013. Qualitativeand quantitative analysis of
Phytochemistry of Taraxacum officinale. Wudpecker Journal of pharmacy and
pharmacology 2(1): 1-2.
Molyneux, P. 2004. The Use Stable Free Radical Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for
Estimating Antioxidant Activity. Songklanakarin Journal Science and Technology 26
(2): 211-219.
Nassar, Zeyad., Abdalrahim, Amin M.S. 2010. The Pharmacological Properties of
terpenoidfrom Sandoricum Koetjape. Journal Medcentral. hal 1-11.
Pelczar, M. J., dan E. C. S. Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Diterjemaahkan oleh
Hadioetomo, R. S., T. Imas, S. S. Tjitrosomo dan S. L. Angka. Universitas Indonesia
Press. Depok.
Pokorny J., N. Yanishlieva and M. Gordon. 2001. Antioxidants in food. Practical
Applications.1-123. Wood Publishing Limited. Cambridge. England.
Prakash, A. 2001. Antioxidant Activity Medallion Laboratories Analitical Progress. Minnesota
19 (2): 1-3.
Radji, M. 2011. Mikrobiologi. Buku KedokteranECG. Jakarta.
Siswandono dan B. Soekardjo. 2000. Kimia Medicinal, Edisi 2. Airlangga University Press.
Surabaya.
Sohail, M., I. Zafar, A. Muhammad, A. Aftab, U. R Inayat, S. Salma, A. Bilal, A. Naveed, Q.
Kalsoom and B. Afsana. 2014. In vitro Antibacterial Study of Taraxacum officinale
Leaves Extracts Against Different Bacterial Pathogenic Strains. Journal of
Pharmacognosy and Phytochemistry 3 (2): 15-17.
Sundari, D., P. Kosasih dan K. Ruslan. 1996. Analisis Fitokimia Ekstrak Etanol Daging Buah
Pare (Momordica charantia L.). Tesis Pascasarjana Farmasi. Institut Teknologi
Bandung. Bandung.
Tettey, C. O., A. Ocloo, P. C. N. Nagajyothi and K. D. Lee. 2014. An in vitro Analysis of
Antiproliferative and Antimicrobial Activities of Solvent Fractions of Taraxacum
officinale (Dandelion) Leaf. Journal of Applied Pharmaceutical Science 4 (03): 041-
045.
Waji, R. A., dan A. Sugrani. 2009. Flavonoid (quersetin). Makalah Kimia Organik Bahan Alam
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.
Williams, C. A., F. Goldstone and J. Greenham. 1996. Flavonoids, Cinnamic Acids and
Coumarins from the Different Tissues and Medicinal Preparations of Taraxacum
officinale. Phytochemistry 42: 121–127.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 142
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ABSTRAK
Bakteri dari pencernaan luwak (Paradoxurus hermaphroditus) diaplikasikan sebagai
starter dalam fermentasi pulp Kakao (Theobroma cacao) dalam berbagai konsentrasi dengan
tujuan untuk mengdapatkan karakter biji kakao fermentasi yang lebih baik. Perkembangan
mikroflora, kadar gula dan nilai pH diamati selama fermentasi. Biji kakao pada pulp, diamati
selama fermentasi dan selama fermentasi diamati profil perkembangan mikrofloranya dan di
akhir fermentasi biji kakao diamati secara visual yang meliputi tekstur dan warna biji kakao.
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimen dan dianalisis secara deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penambahan starter mikroflora pencernaan luwak sebanyak
10% pada fermentasi kakao memperlihatkan pertumbuhan mikroflora yang lebih baik yang
dibuktikan dari profil pertumbuhannya selama fermentasi dengan penurunan total kadar gula
terbesar terdapat pada perlakuan penambahan 10% starter yaitu 11.21% selama 8 hari
fermentasi dan perlakuan penambahan 10% starter mencapai pengurangan berat tertinggi pada
hari ketiga 3.4 gram. Penurunan pH tertinggi terjadi pada perlakuan 15%. Perlakuan dengan
penambahan starter 10% memiliki visual biji yang lebih baik dibanding perlakuan lain yaitu
dengan tekstur yang lebih halus dengan warna coklat tua.
PENDAHULUAN
Musang atau yang lebih dikenal dengan nama Luwak (Paradoxurus hermaphroditus)
walaupun termasuk kedalam hewan karnivora adalah juga pemakan buah seperti buah kakao.
Luwak memilih buah yang matang untuk dimakannya. Pada saat buah yang dimakan sampai
ke saluran pencernaan, daging buahnya akan tercerna sementara bijinya tidak tercerna dan
dikeluarkan utuh melalui fesesnya (Setia, 2008). Di tempat-tempat yang bisa dilaluinya, di
atas batu atau tanah yang keras, seringkali didapati tumpukan kotoran Luwak dengan aneka
biji-bijian yang tidak tercerna di dalamnya. Pencernaan luwak ini begitu singkat dan
sederhana, sehingga biji-biji yang dimakan keluar lagi dengan utuh melalui feses setelah
mengalami proses fermentasi melalui pencernaannya (Avidianto, 2009).
Didalam pencernaan Luwak, terdapat bakteri asam Leuconostoc yang dapat
memfermentasi biji-bijian yang dimakan Luwak dan bijian dikeluarkan kembali dalam bentuk
utuh (Manurung, 2010). Djunaidy (2010) melaporkan hasil penelitian mahasiswa Jember di
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia bahwa adanya peranan bakteri asam laktat (BAL)
dalam fermentasi kopi Luwak. Setelah meneliti feses Luwak, ditemukan 32 isolat bakteri di
dalamnya. Sebanyak empat isolat yang dominan merupakan BAL dari genus Lactobacillus dan
Leuconostoc. Bakteri yang terdapat didalam pencernaan luwak adalah 7 strain Leuconostoc
paramesen teroides yang dihasilkan dari kotoran luwak, dan jika bakteri tersebut dikulturkan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 143
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
maka akan dapat menghasilkan kualitas kopi setara dengan kopi luwak dengan cara
menambahkan bakteri tersebut pada saat fermentasi
Selama ini kebanyakan orang menganggap bahwa binatang luwak hanya memakan biji
kopi. Biji kopi hasil pencernaan luwak ini akhirnya terkenal karena publikasinya yang sampai
mendunia dengan diimbangi kualitas tinggi dari uji organoleptiknya yang meliputi aroma,
kepahitan, warna serta citarasa. Namun apakah hanya kopi yang dimakan luwak jawabnya
tidak. Hal mengejutkan terbukti dari pra penelitian yang telah ditemukan di lapangan bahwa
tidak hanya kopi yang dimakan luwak tetapi buah kakaopun ternyata menjadi salah satu
makanan bagi luwak dengan bukti ditemukannya kumpulan biji kakao yang berbalut feses
luwak yang ditemukan di Perkebunan Kakao PT. Inang Sari, Padang Mardani, Lubuk Basung.
Fermentasi pada pengolahan kakao selain untuk melepaskan pulp dari biji juga
berfungsi untuk mematikan biji, memperbaiki flavor dan menimbulkan warna coklat
(Alamsyah, 1991 cit Putra, et al.,, 1996). Pada tahap awal fermentasi, yeast dapat merombak
gula pulp menjadi alkohol dan CO2 serta metabolisme asam sitrat karena didukung oleh kondisi
pH dan suplai oksigen yang rendah. Selanjutnya desimilasi asam sitrat menyebabkan naiknya
pH dan suhu akibat panas yang ditimbulkan dari fermentasi alkohol dan adanya aerasi
menyebabkan produksi asam asetat menjadi dominan (Lopez cit. Putra et al.,, 1996).
Pada fermentasi biji kakao, asam asetat dan panas yang dihasilkan akan menyebabkan
biji mati, sehingga memungkinkan pada tahap fermentasi berikutnya terjadi perubahan–
perubahan yang penting secara enzimatis pada kotiledon biji. Perubahan tersebut diyakini
mengarah pada perbaikan mutu hasil biji kakao yang kering (Sulistyowati, 1988; Alamsyah,
1991 cit. Putra et al.,, 2008)
Pentingnya fermentasi pada biji kakao dikarenakan pada proses ini dihasilkan calon
senyawa aroma khas cokelat. Selain itu selama proses ini terjadi penurunan kadar polifenol
yang dapat menurunkan rasa kelat, namun proses fermentasi tidak boleh berlebihan (over
fermentation) karena selain merusak citarasa dan aroma, juga akan terjadi pembentukan warna
yang berlebihan. Perubahan senyawa selama fermentasi ini tidak lepas dari aktivitas enzimatis
mikroorganisme, yang berperan untuk memecah gula menjadi alkohol dan selanjutnya terjadi
pemecahan alkohol menjadi asam asetat. Pada awal fermentasi kakao, mikroorganisme yang
aktif adalah khamir (yeast) yang memecah sukrosa, glukosa dan fruktosa menjadi etanol.
Bersamaan dengan hal itu, terjadi pula pemecahan pektin dan metabolisme asam organik.
Aktivitas selanjutnya dilakukan beberapa genera bakteri asam laktat dan asam asetat yang
memecah etanol menjadi asam laktat. Selain itu, juga dihasilkan asam asetat, dan asam organik
lain seperti asam sitrat dan malat (Atmana, 2000 cit. Ambardini, 2005).
Flavor kakao terutama terbentuk setelah biji mengalami proses fermentasi dan diikuti
dengan proses pengeringan. Dua tipe reaksi biokimia yang bertanggung jawab untuk
memproduksi prekusor flavor adalah reaksi hidrolisis saat fermentasi dan reaksi oksidasi
selama pengeringan biji kakao. Untuk menghasilkan pengembangan flavor yang baik, kedua
reaksi tersebut harus diikuti dalam urutan yang benar dan tepat (Lopez, 1986 cit. Anonimous,
2010).
Kakao merupakan salah satu komoditi perdagangan yang mempunyai peluang untuk
dikembangkan dalam rangka usaha memperbesar atau meningkatkan devisa negara serta
penghasilan petani kakao. Produksi biji kakao Indonesia secara signifikan terus meningkat,
namun mutu yang dihasilkan sangat rendah. Hal tersebut tercermin dari harga biji kakao
Indonesia yang relatif rendah dan dikenakan potongan harga dibandingkan dengan harga
produk sama dari negara produsen lain (Situmorang, 2010)
Selama ini, fermentasi yang dilakukan terhadap pengolahan biji kakao hanya
fermentasi alami atau spontan. Bahkan berdasarkan survei di lapangan, sebagian dari petani
kakao tidak melakukan fermentasi. Kecenderungan untuk mengolah biji kakao tanpa
fermentasi, yaitu dengan cara merendam biji dalam air untuk membuang pulp dan dilanjutkan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 144
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dengan proses penjemuran dengan alasan kalau difermentasi membutuhkan waktu yang lama
untuk dijual. Padahal Amin (2005), mengatakan bahwa dengan fermentasi serta menambahkan
mikroba tertentu sebagai starter dapat mendukung percepatan waktu fermentasi dan
pembentukan aroma, citarasa, dan warna khas kakao.
Penelitian mengenai kakao yang difermentasi oleh mikroflora pemfermentasi dari
pencernaan Luwak ini belum ada. Bukankah ini adalah suatu hal yang sangat mungkin untuk
membuat kakao Luwak dengan adanya penemuan dilapangan tersebut. Ini adalah sebuah
inovasi dan trendmark tersendiri bagi Indonesia dalam menjawab tantangan global atas
pertanyaan rendahnya nilai jual biji kakao Indonesia ditingkat dunia. Penelitian ini sangat
diperlukan karena merupakan salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan rendahnya mutu
biji kakao Indonesia. Dengan ditemukannya mikroflora pemfermentasi oleh Luwak inilah
munculnya penelitian mengenai potensi fermentatif mikroflora pencernaan Luwak dalam
fermentasi kakao (Theobroma cacao, L) demi menciptakan mutu biji kakao berkualitas dan
bernilai jual tinggi.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 145
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
2. Nilai pH: Pengamatan nilai pH pada starter, pulp kakao sebelum penambahan starter, serta
pencuplikan pulp kakao setelah penambahan starter dan kontrolnya setiap 24 jam selama 8
hari.
3. Kadar Gula: Pengamatan kadar gula dilakukan pada starter, pulp kakao sebelum
penambahan starter, serta pencuplikan pulp kakao setelah penambahan starter dan
kontrolnya setiap 24 jam selama 8 hari. Dilakukan dengan menggunakan Refraktometer.
4. Biji kakao hasi; fermentasi sesuai perlakuan dikeringkan, diamati dan dibandingkan
visualnya
Analisa Data
Analisa yang digambarkan adalah hubungan antara total mikroflora dengan nilai pH
dan kadar gula. Hasil hubungan digambarkan dalam bentuk grafik.
Dari gambar 1 yang paling jelas terlihat adalah mikroflora pembentuk asam karena
mikroflora ini membentuk daerah halo yang lebih besar pada medium yang digunakan. Starter
yang digunakan mengandung 203.108 mikroflora fermentatif dengan nilai pH 3,55 dan kadar
gula 8% Brix. Pada media fermentasi juga mikroflora seperti pada gambar 2
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 146
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 1. Rata-rata jumlah mikroflora fermentatif, kadar gula, dan pH media pulp kakao
mentah yang digunakan sebagai media fermentasi
Kondisi Awal Media Fermentasi
1 Jumlah mikroflora 79 x 108
(cfu/ml)
2 Kadar Gula 17.35%
3 pH 3.49
Dari tabel 1 di atas dapat dilihat kondisi awal media fermentasi pulp kakao memiliki
total mikrofloranya 79 x 108 (cfu/ml). Media fermentasi ini memiliki kadar gula yang sangat
tinggi yaitu 17.35%. Kadar gula yang tinggi merupakan sumber karbohidrat yang sangat
penting bagi perkembangan mikroflora. Sementara pH sekitar 3.49 merupakan keadaan asam
yang menunjang pertumbuhan mikroflora selama proses fermentasi berlangsung. Kondisi
media fermentasi yang seperti ini sangat menunjang perkembangan dan pertumbuhan
mikroflora yang tumbuhkan di dalamnya. Sesuai dengan penjelasan Winarno et al., (1980) cit..
Hamida (2006) faktor – faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroba
diantaranya kelembaban, suhu, pH, oksigen, mineral, dan sumber lainnya.
Total Mikroflora Fermentasi
Perkembangan total mikroflora fermentatif selama 8 hari fermentasi dari masing-
masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 147
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 148
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
menurun disamping untuk mempersingkat waktu untuk fermentasi. Hal ini dapat terlihat pada
hasil isolasi mikrofloranya pada gambar dibawah.
Gambar 4 Total Mikroflora tertinggi pada hari ketiga pada masing-masing perlakuan a) tanpa
penambahan starter b)penambahan starter 5%. c) penambahan starter 10%. d) penambahan
starter 15%.
Nilai pH
Perkembangan nilai pH pulp kakao setiap perlakuan selama 8 hari fermentasi dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.
Selama proses fermentasi kakao terjadi dua tahapan fermentasi yaitu fermentasi
eksternal pada bagian pulp dan fermentasi internal pada bagian keping biji. Akibat penambahan
starter dari Mikroflora yang terdapat pada pencernaan Luwak, akan mempercepat
berlangsungnya proses fermentasi pada pulp yang merubah gula menjadi alkohol dan
selanjutnya menjadi asam asetat. Asam-asam organik yang terbentuk pada fermentasi pulp
akan masuk kedalam keping biji yang menyebabkan enzim-enzim dalam keping biji menjadi
aktif sehingga akan berlangsung fermentasi tahap dua pada keping biji. Makanya ketika terjadi
peresapan oleh biji, kadar asam mulai berkurang di dalam pulp fermentasi dan berpindah
kedalam biji sehingga keadaan pulp fermentasi semakin bersifat basa atau nilai pHnya
mengalami kenaikan. Selain itu menurut Effendi et al.,, (1988) cit. Putra et al.,, (1996) naiknya
pH juga dapat terjadi akibat terbentuknya senyawa bersifat basa (NH4+) hasil penguraian
protein di dalam biji pada fermentasi yang terlalu lanjut. Dari grafik dapat terlihat jelas
perbedaan perlakuan antara penambahan starter dengan tanpa penambahan starter.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 149
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Kadar Gula
Perkembangan nilai kadar gula sisa pulp kakao setiap perlakuan selama 8 hari
fermentasi dapat dilihat pada gambar 6.
Penurunan kadar gula dapat dijelaskan bahwa lama fermentasi yang dikatakan mampu
merombak kadar glukosa pulp terbaik yaitu berkisar pada lama fermentasi 3 – 4 hari. Perlakuan
penambahan 15% starter, mikrofloranya mampu merombak glukosa sekitar 4.6% pada hari
ketiga, diikuti dengan perlakuan penambahan starter 5% yaitu sebanyak 4.4% glukosa yang
dirombak pada hari ketiga dan selanjutnya perlakuan penambahan starter 10% yaitu sebanyak
3.15% - 3.45% perombakan glukosanya yang terjadi pada hari 3 dan 4.
Bentuk Visual Biji
Adapun bentuk visual biji yang diamati adalah tekstur dan warna biji setiap perlakuan.
Pengamatan ini dilakukan setelah biji dikeringkan. Hasil pengamatan yang telah dilakukan
dapat dilihat pada tabel.
Tabel 2. Tekstur dan warna biji yang dihasilkan pada setiap perlakuan pada saat hari keempat
No Perlakuan Tekstur Warna
1 Penambahan starter 0% Kasar coklat kelabu, tidak mengkilat
2 Penambahan starter 5% agak halus coklat, tidak mengkilat
3 Penambahan starter 10% halus sekali coklat tua, mengkilat
4 Penambahan starter 15% halus coklat hitam, tidak mengkilat
Perbandingan visual biji antara perlakuan-perlakuan di atas dinilai atau diamati pada
hari keempat. Alasannya karena pada hari tersebut merupakan hari dimana jumlah mikroflora
untuk perlakuan dengan pemberian starter mulai mengalami penurunan. Sebelumnya total
mikroflora tertingginya berada pada hari ketiga. Sementara untuk perlakuan 0% atau tanpa
penambahan starter pengamatan visual bijinya diamati pada hari kelima. Alasannya karena hari
keempat baru terjadi jumlah total mikroflora tertinggi. Lebih jelasnya, gambar7 akan
memperlihatkan visual biji kakao dari masing-masing perlakuan yang sudah difermentasi dan
dikeringkan tepat pada hari keempat.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 150
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gambar 7. Bentuk visual biji pada hari keempat setelah dijemur dan dikeringkan
Biji kakao yang diproduksi dengan cara difermentasi ternyata memang jauh lebih
unggul dibandingkan nonfermentasi (lampiran 9). Biji kakao yang tidak mengalami fermentasi,
keadaan bijinya jauh dari kualitas. Pada biji kakao yang tidak difermentasi ini hanya dilakukan
pencucian biji dan kemudian langsung dikeringkan sehingga tidak dapat menghentikan
perkecambahan pada biji. Selain itu visual serta aroma yang dihasilkan sangat buruk. Tujuan
dari fermentasi bukan hanya untuk mematikan biji tetapi untuk menghancurkan pulp,
pembentukan aroma, dan memperbaiki warna biji kakao.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat mikroflora fermentatif yang
potensial dalam fermentasi kakao pada pencernaan luwak yang bersifat sangat asam. Perlakuan
dengan penambahan starter 10% memiliki visual biji yang baik dibandingkan perlakuan yang
lain dengan tekstur biji yang halus dengan warna coklat tua dimana hasil perhitungan
pertumbuhan total mikroflora tertinggi pada hari ketiga yaitu 476 x 1010 cfu/ml dengan potensi
merombak kadar gula terbesar (maksimal) yaitu 11.21% selama 8 hari fermentasi serta
penurunan pH tertinggi pada hari ketiga. dan memiliki intensitas fermentasi tertinggi pada hari
ketiga, 3.4 gram.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2010a. Mempelajari Pengaruh Lama Fermentasi dan Penyangraian Biji Kakao
(Theobroma cacao L.) Terhadap Mutu Bubuk Kakao.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19461/4/Chapter%20II.pdf. 10
Februari 2011
Ambardini, S. 2005. Perubahan Kadar Lemak Biji Kakao (Theobroma cacao L.) Melalui
Fermentasi Beberapa Isolat Khamir.
http://anoa.unhalu.ac.id/... /Perubahan%20Kadar%Lemak%20Biji%20Kakao.doc. 10
Februari 2011.
Amin, S. 2005. Teknologi Pascapanen untuk Masyarakat Perkakaoan Indonesia. Jakarta.
BPPT Press. 223 hal.
Atmana, S.A. 2000. Proses Enzimatis pada Fermentasi untuk Perbaikan Mutu Kakao. BPP
Teknologi. www.iptek/terapan/cacao.co.id
Avidianto, D. 2009. Musang Pemakan Kopi. http://Devoav1997.Webnode.Com/ kses 10 maret
2011dia
Djunaidy, M. 2010. Kopi Luwak Tanpa Dimakan Luwak. Koran Tempo. http://mirror.unpad.
ac.id/koran/korantempo/2010-07-29/korantempo_2010-07-29_013.pdf. diakses 25
Februari 2011
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 151
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Farmakope Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta.
Hamida, D. 2006. Penggunaan Mikroba Alami sebagai Starter dalam Fermentasi Dadih.
Unand Press. Padang
Putra, G.P.G, dan I.M Anom S. Wijaya. 1996. Evaluasi Suhu, pH dan Indeks Antosianin Pada
Fermentasi Kakao Skala Petani. Teknologi Industri Pertanian, Universitas Udayana.
Putra, G.P.G, Sutardi and B. Kartika. 2008. Peranan Perubahan Komponen Prekursor Aroma
Dan Cit.a Rasa Biji Kakao Selama Fermentasi Terhadap Cit.a Rasa Bubuk Kakao yang
Dihasilkan. Universitas Gadjah Mada Press : Yogyakarta
Setia, T.M. 2008. Penyebaran Biji Oleh Satwa Liar di Kawasan Pusat Pendidikan Konservasi
Alam Bodogol dan Pusat Riset Bodogol, VIS VITALIS, Vol. 01 No. 1, tahun 2008,
ISSN 1978-9513. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Fakultas
Biologi Universitas Nasional.
Situmorang, J.P. 2010. Mempelajari Pengaruh Lama Fermentasi dan Penyangraian Biji
Kakao (Theobroma cacao L.) Terhadap Mutu Bubuk Kakao. Skripsi Jurusan Pertanian.
Universitas Sumatera Utara
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 152
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ABSTRAK
Eksplorasi terhadap mikroorganisme pendegradasi 17 β-estradiol di Kali Surabaya
dilakukan untuk mengetahui jenis bakteri pendegradasi 17 β-estradiol hasil isolasi dari sedimen
Kali Surabaya, mengetahui respon pertumbuhan bakteri pendegradasi 17 β-estradiol yang
dapat tumbuh pada substrat yang mengandung 17 β-estradiol, mengetahui kemampuan
biodegradasi 3 bakteri potensial terhadap 17 β-estradiol dengan variasi waktu inkubasi
menggunakan HPLC, waktu inkubasi mulai dari hari ke 0 sampai ke 3, menunjukkan bahwa
J2 dengan nilai TPC dalam 3 hari adalah 5,8 X 108; J4 dengan nilai TPC dalam 3 hari adalah
4,3X108 dan J9 dengan nilai TPC dalam 3 hari adalah 4,9 X108. Kemampuan biodegradasi 3
bakteri potensial terhadap 17 β-estradiol dengan variasi waktu inkubasi yakni J2 mempunyai
kemampuan biodegrasi pada waktu inkubasi 3 hari adalah 45,59%; J4 mempunyai kemampuan
biodegradasi pada waktu inkubasi 3 hari 31,73%; J9 mempunyai kemampuan biodegrasi pada
waktu inkubasi 3 hari 68,74%. Nama spesies 3 bakteri potensial pendegradasi 17 β-estradiol
pada J2, J4 dan J9 berturut-turut Pseudomonas stutzeri, Bacillus cereus/Bacillus anthracoide
dan Bacillus mycoides.
ABSTRACT
Exploration on microorganisms degradation 17 β-estradiol in Surabaya river conducted
to determine the type of bacteria degradation 17 β-estradiol the results of the isolation of
sediment from river station in surabaya 3 , bacterial growth degradation know response 17 β-
estradiol that can grow on a substrate containing 17 β-estradiol, knowing the ability of bacteria
degradation biodegradasi 3 to 17 β-estradiol HPLC use with variations of incubation periods ,
3 species of bacteria aware of degradation pendegradasi 17 β-estradiol of Surabaya river. The
incubation from 0 day to day to 3 shows that j2 with a value of tpc in 3 days is 5.8 x 108; j4
with a value of TPC in 3 days is 4,3x108 and j9 with a value of TPC in 3 days is 4.9 x108. The
ability of bacteria potential biodegradasi 3 to 17 β-estradiol with variations of incubation
periods 17 β-estradiol j2 biodegrasi have the ability of the incubation time in three days is 45.59
%; j4 biodegradasi have the ability of incubation time in 3 days 31,73 %; j9 biodegrasi at the
time have the ability of incubation 68,74 % 3 days . The species name 3 potential degradation
bacteria 17 β-estradiol J2, J4 and J9 Pseudomonas stutzeri, Bacillus cereus/Bacillus
anthracoide and Bacillus mycoides.
Keywords : Degradation bacterial in Surabaya river, Bacteria degradation 17 β-estradiol
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 153
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN
Pencemaran pada lingkungan merupakan suatu permasalahan yang umum terjadi di
dunia termasuk di Indonesia. Pencemaran ini tidak hanya disebabkan oleh hasil pembuangan
pabrik–pabrik yang tidak diolah dengan baik pada tanah, badan air (sungai) dan udara, namun
juga oleh masyarakat. Pencemaran pada perairan akan berdampak pada penurunan kualitas air
sehingga akan mempengaruhi kesehatan suatu badan air, dikarenakan ketergantungan mahluk
hidup terhadap air. Air tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan air minum, namun
juga kebutuhan untuk mandi, cuci dan kakus (MCK).
Salah satu sumber pencemaran di perairan adalah senyawa estrogenik. Senyawa
estrogenik di alam merupakan kelompok senyawa yang dapat mengganggu sistem endokrin
dari organisme yang hidup di dalamnya. Senyawa estrogenik di dalam air telah berdampak
pada kesehatan dari ekosistem akuatik dan manusia. Pada lingkungan perairan, senyawa
tersebut dapat mempengaruhi organisme akuatik seperti ikan dan dapat menyebabkan efek
feminisme pada ikan jantan yang terdapat pada aliran buangan (Syamsuri, 2006). Senyawa
estrogenik ini merupakan hormon steroid alami yang diproduksi oleh manusia dan hewan yang
dikeluarkan melalui urin kemudian masuk ke badan air, biasanya dalam bentuk konjugat
sebagai glucorinides larut dan tidak aktif.
Senyawa estrogenik dan senyawa estrogen pada badan air berasal dari berbagai sumber
pencemar yaitu (1) kegiatan pertanian contohnya insektisida dikhlorphenil trikhloretana
(DDT), (2) buangan pabrik, contohnya dioksin dan detergen (3) obat-obatan contohnya ethinyl
estradiol dan 17 β-estradiol. Sedangkan, senyawa estrogen yang masuk ke dalam lingkungan
adalah senyawa yang dihasilkan oleh organisme, contohnya senyawa dari jamur, tumbuhan,
hormon estrogen pada vertebrata yang berasal dari urin maupun feces. Senyawa estrogenik
yang berasal dari tumbuhan dikenal dengan phytoestrogen, contoh tumbuhan yang
menghasilkan hormon ini adalah kedelai dan beberapa sayuran lainnya (Syamsuri, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Syamsuri pada tahun 2006, menunjukkan bahwa
kandungan 17 β-estradiol pada hulu (daerah Malang) Kali Brantas adalah 85,833 ng/L
sedangkan pada hilir (Kali Surabaya) 117,500 ng/L. Peningkatan kandungan pada daerah hilir
tersebut dimungkinkan karena sepanjang aliran sungai terdapat berbagai masukan limbah
pertanian, peternakan, rumah tangga, serta masih digunakannya air sungai sebagai tempat
mandi, cuci, kakus (MCK) yang mengandung bahan biologis 17 β-estradiol.
Biodegradasi adalah penguraian fisik pada substrat oleh aktivitas mikroorganisme
dengan menghasilkan produk yang bermanfaat untuk manusia (Gandjar et al. , 2006). Salah
satu upaya pengolahan pencemaran kelompok 17 β-estradiol yang dilakukan secara biologis
adalah melalui peran aktif mikroorganisme dari bakteri maupun fungi. Umumnya, proses
degradasi 17 β-estradiol dilakukan oleh bakteri dari genus Rhodococcus serta Mycobacterium,
sedangkan pada fungi oleh genus Fusarium dan Novospingobium. Genus bakteri dan fungi
tersebut dapat diisolasi dari tanah, maupun sedimen yang mampu berperan dalam menurunkan
kadar 17 β-estradiol (Yoshimoto et al., 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui jenis bakteri potensial pendegradasi 17 β-
estradiol hasil isolasi dari sedimen di Kali Surabaya, mengetahui respon pertumbuhan bakteri
pendegradasi 17 β-estradiol yang dapat tumbuh pada substrat yang mengandung 17 β-
estradiol, mengetahui kemampuan biodegradasi 3 bakteri potensial terhadap 17 β-estradiol
dengan variasi waktu inkubasi.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 154
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
YM agar, tabung reaksi, cawan petri, erlemeyer, batang pengaduk, gelas ukur, pipet volum,
kawat ose dan kertas label. Dilanjutkan pada tahap ke III, alat dan bahan yang digunakan adalah
HPLC. Dilanjutkan pada tahap ke IV, alat dan bahan yang digunakan adalah Kit Bakteri dan
cawan petri.
Cara Kerja Penelitian
Tahap I. Isolasi jenis bakteri pendegradasi 17 β-estradiol dari sedimen di Kali Surabaya
a. Pengukuran konsentrasi 17 β-estradiol di Kali Surabaya
Tahap ini bertujuan untuk memperoleh data tentang konsentrasi 17 β-estradiol di Kali
Surabaya dari hulu sungai hingga hilir sungai. Pengambilan sampel di Kali Surabaya dimulai
dari bagian kiri, tengah dan kanan kemudian dihomogenkan dan dimasukkan pada 1 botol
steril ukuran 250 mL. Sampel sedimen yang telah diambil dari Kali Surabaya disimpan dalam
cold box untuk dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengujian selanjutnya.
Pengukuran konsentrasi 17 β-estradiol dari sedimen Kali Surabaya menurut English et al.
(1994) dengan cara mengeringkan sedimen di udara terbuka hingga kering kemudian timbang
sedimen seberat 1 gram, kemudian dimasukkan dalam beker glass 50 mL, ditambahkan
metanol 10 mL dan diaduk hingga homogen, diendapkan hingga mengendap kemudian filtrat
dipindah secara kuantitatif ke dalam labu ukur 50 mL. Ditambahkan 10 mL metanol ke dalam
beker glass dan diaduk kembali, prosedur diulangi hingga 40 mL metanol, kemudian
ditambahkan metanol sampai garis tanda. Diambil sejumlah larutan dari labu ukur kemudian
disaring menggunakan kertas saring 0,45 μm kemudian larutan dianalisis menggunakan HPLC.
Sampel dipipet sebanyak 20µL dan diinjeksikan pada HPLC kemudian diamati hasilnya.
b. Isolasi bakteri dari sampel sedimen Kali Surabaya
Melakukan isolasi bakteri yang telah diambil dari sedimen Kali Surabaya kemudian
ditumbuhkan pada medium kultur MDG (Modified Dominic and Graham’s) dengan komposisi
3.5 g K2HPO4, 1.5 g KH2PO4, 0.5 g (NH4)2SO4, 0.5 g NaCl, 0.15 g MgSO4.7H2O per liter dan
10% 17 β-estradiol 1 ppm. Pengujian menggunakan botol 150 mL, kemudian melakukan
isolasi dalam 100 mL medium kultur MDG mengandung 10 g sampel sedimen, diinkubasi
selama 10 minggu. Pada 3 sampel sedimen yang diperoleh dilakukan replikasi isolasi bakteri
yang dibuat duplo, sehingga akan diperoleh 6 sampel sedimen. Setelah 10 minggu dilakukan
plate pada media YM agar dengan komposisi 3 g extrak yeast, 3 g extrak malt, 5 g peptone,
and 10 g dextrose 20 g agar per liter secara pour plate lalu diinkubasi selama 5 hari pada suhu
28°C dalam inkubator.
Melakukan pemurnian bakteri yang telah tumbuh dari tahap sebelumnya dengan cara
melakukan streak pada media YM agar hingga diperoleh isolat murni, kemudian bakteri yang
telah murni disimpan pada media kultur YM agar miring pada tabung reaksi untuk kemudian
dilakukan uji respon pertumbuhannya.
Kemudian dilakukan pengenceran dalam larutan fisologis dari 101 hingga 106. dengan
komposisi 3 g extrak yeast, 3 g extrak malt, 5 g peptone, and 10 g dextrose 20 g agar per liter,
selama 5 hari. Bakteri yang tumbuh diisolasi kembali dalam media kultur YM agar dengan
metode strike hingga diperoleh bakteri yang murni. Bakteri yang telah murni disimpan pada
media kultur YM agar miring untuk kemudian dilakukan uji degradasi.
Tahap III. Uji degradasi dan analisis degradasi bakteri terhadap 17 β-estradiol
Pada tahap ke III ini dibagi menjadi tahapan lagi yakni:
a. Uji degradasi bakteri terhadap 17 β-estradiol :
Melakukan uji degradasi dari bakteri pendegradasi 17 β-estradiol dengan variasi waktu
inkubasi yaitu 0 hari, 1 hari dan 3 hari untuk mengetahui persen degradasi bakteri terhadap 17
β-estradiol dengan optimal menggunakan HPLC dengan parameter terkontrol yaitu pH dan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 155
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
suhu selama waktu inkubasi. Selain pengujian menggunakan HPLC juga dilakukan
pengukuran respon pertumbuhan bakteri dengan TPC, yakni dengan melakukan spread plate
bakteri pada media YM agar mulai hari ke 0, 1, 2, 3.
Isolat bakteri yang telah diperoleh dari pemurnian bakteri ambil 1 ose kemudian
dipindahkan ke dalam 10 mL medium kultur MDG (Modified Dominic and Graham’s) yang
telah mengandung 10% 17 β-estradiol 1 ppm kemudian ditambahkan 40μL 17 β-
estradiol sehingga 50 ppm.
HASIL
Konsentrasi 17 β-estradiol di Kali Surabaya
Pengukuran konsentrasi 17 β-estradiol pada sedimen Kali Surabaya dengan HPLC
diperoleh konsentrasi 17 β-estradiol yang terkandung di Kali Surabaya adalah 2,06 ppm.
Jenis Bakteri Pendegradasi 17 Β-Estradiol Hasil Isolasi dari Sedimen di Kali Surabaya
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 156
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 157
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dengan menggunakan metode tuang (pour plate) pada media YM agar selama waktu 24 jam
untuk mengetahui bakteri yang tumbuh. Kemampuan degradasi bakteri terhadap 17 β-estradiol
diuji dengan menggunakan HPLC. Kemampuan pertumbuhan bakteri dalam mendegradasi 17
β-estradiol tersaji Gambar 4.
9
8,8
Log CFU/mL
8,6
8,4 J2
8,2 J4
8
7,8 J9
0 1 3
Waktu Inkubasi (Hari)
Sisa degradasi 17 β-estradiol oleh bakteri hasil isolasi dari sedimen Kali Surabaya
tersaji pada gambar
80,00
% Degradasi 17 β-estradiol
60,00
40,00 J2
J4
20,00
J9
0,00
0 1 3
Waktu Inkubasi (hari)
PEMBAHASAN
Kondisi lingkungan di sekitar Kali Surabaya dapat mempengaruhi tinggi rendahnya
kadar estradiol di Kali Surabaya. Tingginya kandungan 17 β-estradiol pada sedimen Kali
Surabaya dipengaruhi oleh sumber pencemar yang masuk di Kali Surabaya, dimana pencemar
tersebut yang masuk ke badan sungai berasal dari padatnya pemukiman penduduk, buangan
limbah pabrik, RPH (Rumah Potong Hewan), selain itu banyak terdapat pabrik kertas dan
tekstil dengan hasil limbahnya berupa limbah organik sehingga mempengaruhi tingginya kadar
17 β- estradiol dalam badan sungai.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 158
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
menghidrolisis urea, mampu memanfaatkan sitrat dan triptopan. Bakteri ini mengandung enzim
oksidase dan lisin serta mempunyai motilitas yang baik. Pada hasil tersebut diperoleh hasil
89,74% merupakan jenis Pseudomonas stutzeri. Pseudomonas stutzeri merupakan genus dari
Pseudomonas dengan kelompok filum dari proteobakteri, mempunyai 16s rRNA sequences.
Tipe selnya berbentuk batang dengan panjang 1 -3 μm dan lebar 0,5 µm dengan flagel tunggal
pada salah satu kutubnya, merupakan gram negatif dengan tes catalase dan oksidase positif.
Pseudomonas stutzeri merupakan bakteri denitrifikasi yang dapat tumbuh pada pati dan
maltosa serta memiliki reaksi negatif pada uji hidrolisi dihydrolase dan glikogen arginin.
Bakteri Pseudomonas stutzeri merupakan bakteri yg tidak mempunyai pigmen fluoresens
dibandingkan dengan kelompok pseudomonas yg lain. Bakteri Pseudomonas stutzeri mampu
berkembang biak pada media yang mengandung ion amonium atau nitrat atau molekul organik
tunggal seperti karbon maupun jenis yang lain, tidak mampu hidup pada suasana asam atau
dengan pH 4,5 karena akan mengganggu respirasi sel dan oksigen pada transfer elektron karen
akan mempengaruhi proses denitrifikasi. Denitrifikasi tersebut hanya bisa terjadi dalam media
nitrat dan pada kondisi semi aerobik. Degradasi oksidasi oleh senyawa aromatik dapat terjadi
pada jenis mono dan dioksigenase, seperti catechol, protocatecu. Masing-masing adalah diurai
melalui jalur Orto ketika tidak ada aksesori gen yang terlibat dalam degradasi. Aktivitas
amylolytic adalah salah satu karakteristik fenotipik spesies. Enzym exo-amilase bertanggung
jawab untuk pembentukan maltotetraose sebagai produk akhir yang telah diteliti pada tingkat
molekuler. Enzim ini juga telah kloning. Obradors dan Aguilar menunjukkan bahwa polietilen
glikol terdegradasi untuk menghasilkan ethylene glycol, substrat yang biasanya digunakan oleh
strain Pseudomonas stutzeri. Mekanisme degradasi senyawa organik oleh Pseudomonas
stutzeri, dapat dilihat pada Gambar 6.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 159
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
koefisien sebanding terhadap isolat, uji tersebut dilakukan untuk mengetahui kedekatan jenis
antara bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Uji koefisien sebanding tersebut
dilakukan karena pengujian bakteri menggunakan Kit Microbact GNB 12A 12B adalah untuk
menguji jenis bakteri Gram negatif. Berdasarkan pada koefisien sebanding tersebut diperoleh
hasil sekitar 77 % mempunyai korelasi dengan Bacillus cereus, Bacillus anthracoide dan
Bacillus mycoides. Bakteri Bacillus cereus merupakan bakteri dengan karakteristik golongan
bakteri Gram-positif (bakteri yang mempertahankan zat warna kristal violet sewaktu proses
pewarnaan Gram), aerob fakultatif (dapat menggunakan oksigen tetapi dapat juga
menghasilkan energi secara anaerobik), dan dapat membentuk spora (endospora). Spora
Bacillus cereus lebih tahan pada panas kering daripada pada panas lembab dan dapat bertahan
lama pada produk yang kering. Selnya berbentuk batang besar (bacillus) dan sporanya tidak
membengkakkan sporangiumnya. Bacillus anthracoide merupakan bakteri dengan
karakteristik memproduksi glukosa, maltosa, dextrin, salicin dan glycerin dari asam tapi tidak
apad laktosa dan maniitol. Tidak menghasilkan gas dan tidak mampu menghidrolisis pati.
Bakteri Bacillus anthracoide merupakan gram positif yang mempunyai endospora dan mampu
berkembang pada suhu ruangan. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengujian yg di peroleh baik
secara biokimia maupun secara uji korelasi.
Bakteri jenis ke 9 merupakan bakteri yang mampu mereduksi nitrat, mampu
menghidrolisis urea, mampu memanfaatkan sitrat dan triptopan. Bakteri ini mengandung enzim
oksidase dan lisin serta mempunyai motilitas yang baik. Pada hasil tersebut diperoleh hasil
99,84% merupakan jenis Vibrio alginolyticus namun jika diamati secara mikroskopis tidak
menunjukkan bentuk koma pada selnya, sehingga dengan hasil tersebut maka dilakukan uji
koefisien sebanding terhadap isolat, uji tersebut dilakukan untuk mengetahui kedekatan jenis
antara bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Uji koefisien sebanding tersebut
dilakukan karena pengujian bakteri menggunakan Kit Microbact GNB 12A 12B adalah untuk
menguji jenis bakteri Gram negatif maka diperoleh hasil sebagai berikut, sifat-sifat dan
karakteristik-karakteristik lainnya, termasuk sifat-sifat biokimia, digunakan untuk
membedakan dan menentukan keberadaan Bacillus cereus, walaupun sifat-sifat ini juga
dimiliki oleh Bacillus cereus var. mycoides, Bacillus thuringiensis dan Bacillus anthracis.
Organisme-organisme ini dapat dibedakan berdasarkan pada motilitas/ gerakan
(kebanyakan Bacillus cereus motil / dapat bergerak), keberadaan kristal racun (pada Bacillus
thuringiensis ), kemampuan untuk menghancurkan sel darah merah (aktivitas hemolytic)
(Bacillus cereus dan lainnya bersifat beta haemolytic sementara Bacillus anthracis tidak
bersifat hemolytic), dan pertumbuhan rhizoid (struktur seperti akar), yang merupakan sifat khas
dari Bacillus cereus var. mycoides (Nakamura et al., 1995). Berdasarkan hasil pengujian baik
secara biokimia maupun uji korelasi diperoleh hasil J4 dan J9 mempunyai kesamaan yang erat,
yakni Bacillus cereus, Bacillus anthracoid dan Bacillus mycoide. Jika dilihat ketiga jenis
tersebut merupakan dari genus yang sama. Mampu memfermentasi sukrosa, laktosa, maltosa,
glukosa, dekstrin, salisin, gliserol, amygdalin, dulcitol, xylose, levulosa dan arbutin.
Genus Bacillus mampu menggunakan karbon yang terdapat pada 17 β-estradiol untuk
berkembang biak. Bakteri J4 dan J9 yang telah diuji baik secara biokimia maupun menguji
koefisien sebanding untuk mengetahui hubungan kedekatan dengan jenis yang lain tidak
menunjukkan hasil yang belum memastikan bahwa J4 dan J9 merupakan jenis Bacillus cereus,
Bacillus anthracoid maupun Bacillus mycoide, karena secara pengujian secara biokimia pun
J4 menghasilkan kedekatan terhadap Aeromonas hidrophylla hanya 67,72% dan setelah
dilakukan uji koefisien sebanding pun terhadap Bacillus cereus, Bacillus anthracoid hanya 77
%. Hal tersebut juga terjadi pada bakteri J9 yang secara biokimia menunjukkan kedekatan
dengan Vibrio alginolyticus 99,84 % namun pada saat pengamatan secara mikroskopik tidan
menunjukkan bakteri berbentuk vibrio sebagai ciri indentik terhadap genus Vibrio, sehingga
dilakukan uji koefisien sebanding dan menunjukkan hasil kedekatan 77% terhadap Bacillus
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 160
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
mycoide. Pengujian bakteri yang telah dilakukan secara biokimia maupun uji koefisien
terhadap bakteri J dan J9 tersebut belum menunjukkan bahwa bakteri hasil isolasi kali Surabaya
tersebut merupakan jenis Bacillus cereus, Bacillus anthracoid maupun Bacillus mycoide
karena melihat kedekatannya yang hanya 77% sehingga pengujian tersebut hanya bisa
diperoleh hingga tingkat genus, jika dalam tingkat spesies yakni Bacillus sp. Pengujian
biokimia dan uji koefisien sebanding yang telah dilakukan perlu dilengkapi dengan melakukan
pengujian secara genetika untuk mengetahui sampai tingkat spesies, sehingga melegkapi
pengujian terhadap bakteri hasil isolasi dari Kali Surabaya. Identifikasi sampai tingkat spesies
ini perlu dilakukan untuk mendasari hasil uji degradasi bakteri mampu mendegradasi substrat
yang mengandung 17 β-estradiol.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 161
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
(kalium) dalam pertumbuhannya yang diperoleh dari media MDG sedangkan unsur C (karbon)
diperoleh dari 17 β-estradiol sebagai substrat pada penelitian ini.
Pada degradasi 17 β-estradiol tersusun atas hidrokarbon, maka enzim yang berperan
adalah enzim – enzim oksigenase. Ada dua macam enzim oksigenase yaitu monooksigenasi
dan dioksigenase. Enzim monooksigenase sangat berperan dalam degradasi hidrokarbon
alifatik sedangkan enzim dioksigenase berperan pada degradasi hidrokarbon alisiklik
(Cookson, 1995). Biodegradasi melibatkan proses oksidasi, enzim-enzim oksidase yang
dihasilkan oleh mikroba akan mengkatalis komponen hidrokarbon yang terdapat pada 17 β-
estradiolmenjadi lebih sederhana sehingga dapat masuk kedalam metabolisme sel. Rosenberg
dan Ron (1998) mengemukakan biodegradasi hidrokarbon terjadi bila mikrooganisme
menempel dipermukaan substrat 17 β-estradiol karena enzim oksigenase dibutuhkan untuk
memecah rantai karbon yang terikat pada membran sel.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 162
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
DAFTAR PUSTAKA
English S, Wilkinson C, Baker V. J. 1994. Survey manual for Tropical Marine Resourcers.
Australian Intitute of Marine Science: Townsville.
Gandjar, I., W.Sjamsuridzal., A. Oetari. 2006. Mikologi : Dasar dan Terapan. Yayasan Obor
Indonesia 238 Hal. Jakarta
Jorge Lalucat., Antoni Bennasar., Rafael Bosch., Elena García-Valdés., Norberto J. Palleroni.
2006. Biology of Pseudomonas stutzeri. Departament de Biologia, Microbiologia,
Universitat de les Illes Balears, Campus UIB, 07122 Palma de Mallorca, Spain.,
Institut Mediterrani d’Estudis Avanc ̧ats (CSIC-UIB), Campus UIB, 07122 Palma
de Mallorca, Spain., Department of Biochemistry and Microbiology, Rutgers
University, Cook Campus., New Brunswick, New Jersey
Syamsuri, Istamar. 2006. Konsentrasi Estradiol - 17β Di Dalam Air Sungai Brantas dan
Pengaruhnya Terhadap Feminisasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Secara
Eksperimental. Disertasi. Universitas Airlangga
Yashimoto Takeshi, Fumiko Nagai, Junji Fujimoto,Koichi Watanabe, Harumi Mizukoshi,
Takashi Makino, Kazumasa Kimura, Hideyuki Saino, Haruji Sawada, Hiroshi
omura. 2004. Degradation of Estrogens by Rhodococcus zopfii and Rhodococcus
equi Isolates from Activated Sludge in Wastewater Treatment Plant. Yakult Central
Institute for Microbiological Research, Kunitachi Tokyo, Nasional Institute for
Land and Infrastructure Management, Tsukuba, Ibaraki, Japan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 163
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ABSTRAK
Penelitian tentang Kajian pertumbuhan A. vulgaris yang diinokulasi Fungi Mikoriza
Arbuskula pada tanah Ultisol dalam upaya penyediaan Artemisinin sebagai anti malaria telah
dilakukan di kebun pembibitan dan Laboratorium Fisiologi Tumbuhan FMIPA Biologi
Universitas Andalas Padang dari bulan April sampai Agustus 2015. Sebagai perlakuan adalah
dosis FMA yaitu : 0, 5, 10, 15, 20 dan 25 g/tanaman. Parameter yang diamati adalah
pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, berat kering dan persentase derajat infeksi.
Hasil penelitian menunjukkan inokulasi FMA memberi pengaruh yang nyata terhadap
pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun dan berat kering A. vulgaris. Kriteria persentase
derajat infeksi A. vulgaris berkisar dari kurang sampai sangat tinggi.
PENDAHULUAN
Malaria merupakan penyakit yang mengancam hampir di 100 negara yang ada di dunia
yang disebabkan oleh Plasmodium vivax, P. falciparum maupun P. malariae. Hampir setiap
tahunnya 500 juta manusia terinfeksi malaria dan ditemukan lebih dari 1 juta jiwa meninggal
(Snow, Guerra, Noor, dan Myint. 2005). Sebanyak 107.96 juta atau 44% dari 244.42 juta
penduduk Indonesia bermukim di wilayah endemis malaria, dan kasus malaria telah mencapai
> 500.000 penduduk dengan tingkat kematian mencapai 900 orang (WHO 2010).
Obat anti malaria yang pertama kali ditemukan pada tahun 1820 adalah kinin yang
berasal dari tanaman Kina (Rubiaceae) (Namdeo dkk, 2006). Namun belakangan diketahui
bahwa kinin kurang efektif mengatasi malaria karena terjadinya resistensi dari P. falciparum,
sehingga artemisinin dikembangkan sebagai alternative obat anti malaria. (Avery dkk, 1992).
Artemisinin merupakan senyawa seskuiterpena lakton yang berasal dari tanaman Artemesia
yang merupakan famili dari Asteraceae. Beberapa jenis dari Artemisia diantaranya A. annua,
A. cina, A. vulgaris dan A. sacrorum (Alzoreky dan Nakahara, 2003). Di Indonesia sendiri
kebutuhan akan Artemisinin sangat besar dan semuanya masih di impor. Salah satu jenis
Artemisia yang dapat dikembangkan dalam penyediaan Artemisinin yaitu Artemisia vulgaris
L.
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan
budidaya A.vulgaris.. Jenis tanah ini di Indonesia mempunyai sebaran luas, mencapai
45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Subagyo, Suharta, dan
Suswanto, 2004) namun permasalahannya tanah ini miskin kandungan hara terutama P dan
kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation
rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi, 1993).
Untuk mengatasi kendala dari tanah Ultisol yang memiliki kesuburan dan kandungan
unsur hara yang rendah salah satunya adalah dengan pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula
(FMA). Mikoriza adalah suatu bentuk asosiasi mutualisme antara cendawan (Mices) dan
perakaran (Rhiza) tumbuhan tingkat tinggi, memiliki spektrum yang sangat luas baik dari segi
tanaman inang, jenis cendawan, mekanisme asosiasi, efektivitas, mikrohabitat maupun
penyebarannya. Dalam hal ini cendawan tidak merusak atau membunuh tanaman inangnya
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 164
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tetapi memberi suatu keuntungan kepada tanaman inang (host) dimana tanaman inang
menerima hara mineral, sedangkan cendawan memperoleh senyawa karbon dari hasil
fotosintesis tanaman inangnya (Salisbury dan Ross, 1995).
Peran mikoriza sebagai biofertilizer telah banyak terbukti (Zuhry dan Puspita, 2008 ;
Halis, 2008). Kolonisasi FMA dilaporkan dapat meningkatkan serapan fosfat yang seterusnya
menginduksi pembentukan senyawa metabolit sekunder yang berhubungan dengan kadar
artemisinin pada tanaman A. annua (Rapparini dkk, 2008).
Untuk percepatan eksistensi dan perkembangan mikoriza di rizosfer, maka diperlukan
populasi inokulan tertentu. Kepadatan itu dapat mengacu pada jumlah populasi mikroba itu
pada tanah subur. Kepadatan inokulan mikoriza sekitar 25-50 spora/g inokulan sudah cukup
untuk digunakan sebagai dasar kepadatan spora inokulasi. Kepadatan tersebut dapat saja
beragam sesuai dengan kecocokannya dengan tanaman inang. Semakin cocok dengan tanaman
inang, kepadatan spora yang digunakan semakin rendah dan sebaliknya (Husin dkk, 2012).
Pada penelitian ini dilakukan kajian terhadap pertumbuhan Artemisia vulgaris L.yang
diinokulasi dengan FMA pada tanah Ultisol dalam upaya penyediaan senyawa anti malaria
Artemisinin.
Tabel 1. Rata-rata pertambahan tinggi dan jumlah daun tanaman A. vulgaris yang diinokulasi
dengan beberapa dosis FMA pada tanah Ultisol selama 8 minggu.
Rata-Rata Pertambahan Rata-Rata Pertambahan
Inokulan FMA (g/tanaman)
tinggi tanaman (cm) Jumlah Daun (helai)
0 18,73 c 16,25 b
5 20,93 b 16,25 b
10 29,05 ab 24,00 a
15 30,00 ab 24,50 a
20 30,28 a 25,00 a
25 29,80 ab 23,75 a
Keterangan : Perlakuan yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama,
berbeda nyata pada Uji Taraf 5%.
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa pemberian FMA memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman. Perlakuan pemberian dosis FMA
sebanyak 5-25 g/tanaman memberikan pengaruh yang berbeda dengan perlakuan dosis tanpa
mikoriza (0 g/tanaman). Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh yang positif dari
pemberian FMA terhadap pertambahan tinggi tanaman A. vulgaris. Pernyataan ini didukung
oleh Setiadi (1990), menyatakan bahwa tanaman yang bermikoriza akan tumbuh lebih baik dari
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 165
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tanaman tanpa mikoriza,karena mikoriza secara efektif membantu dalam penyerapan unsur
hara makro. Akar tanaman dapat menyerap unsur hara dalam bentuk yang terikat dan tersedia
bagi tanaman.
Mekanisme peningkatan pertumbuhan tanaman yang bermikoriza terdapat pada
serapan hara karena terbentuknya selubung hifa yang tebal dan peningkatan permukaan
absorpsi. Kegiatan metabolisme akar yang bermikoriza lebih tinggi karena tersedianya energi
yang banyak daripada tanaman tanpa mikoriza, dengan konsumsi oksigen dua sampai empat
kali lebih tinggi dari pada akar yang tanpa mikoriza. Dengan demikian akar yang bermikoriza
dapat memperbesar penyerapan garam-garam mineral dengan memperbesar suplai ion
hidrogen yang dapat dipertukarkan. Mikoriza juga menghasilkan enzim fosfatase yang dapat
membantu tersedianya fosfor (P) yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Husin
dkk, 2012).
Pemberian mikoriza pada tanah Ultisol untuk pertumbuhan tanaman A. vulgaris
memberikan dampak yang baik, hal ini juga dijelaskan oleh Pujianto (2009), bahwa pemberian
mikoriza pada lahan-lahan yang kurang subur dengan ketersediaan jasad mikro yang rendah
akan mampu meningkatakan laju pertumbuhan dan produksi tanaman. Dengan pemberian
mikoriza maka lahan akan mendapatkan suplai mikroorganisme yang bersifat protagonist yang
sangat membantu dalam aktifitas biologi tanah dan juga kimia tanah.
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan jumlah daun pada dosis
perlakuan pemberian dosis FMA sebanyak 10-25 g/tanaman memperlihatkan pengaruh yang
berbeda dengan perlakuan dosis tanpa mikoriza (0/tanaman) terhadap pertambahan jumlah
daun. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian FMA dapat meningkatkan pertambahan jumlah
daun tanaman A. vulgaris. Hasil penelitian (Anggarini, 2012) juga menunjukkan bahwa adanya
pengaruh pemberian dari FMA terhadap pertambahan jumlah daun Sorgum manis (Sorghum
bicolor L. Moench).
Pengaruh pemberian inokulan FMA terhadap pertambahan tinggi batang dan jumlah
daun tanaman A. vulgaris setiap minggu dapat dilihat pada Gambar 1. Rata-rata pertambahan
tinggi tanaman dan jumlah daun mengalami peningkatan pada minggu ke-3 pengamatan.
8 8
Jumlah Daun (helai)
7 7
6 6
Tinggi Tanaman (cm)
A A
5 5
B B
4 4
C 3
C
3
D 2 D
2
E 1 E
1
F 0 F
0
1 2 3 4 5 6 7 8
1 2 3 4 5 6 7 8
Pengamatan ke- Pengamatan ke-
Gambar 1. Grafik rata-rata pertambahan Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun tanaman A.
vulgaris yang diinokulasi dengan beberapa dosis FMA pada tanah Ultisol.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 166
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 2. Rata-rata berat kering tanaman A. vulgaris yang diinokulasi dengan beberapa dosis
FMA pada tanah Ultisol.
Inokulan FMA Rata-rata Berat Rata- rata Berat Kering Rata-Rata Berat
(g/tanaman) Kering Akar(g) Bagian Atas(g) Kering Total(g)
Data pada Tabel 2 menunjukan bahwa pemberian FMA memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap berat kering rata-rata akar, batang bagian atas, dan berat kering total
tanaman A. vulgaris. Inokulasi dosis FMA sebanyak 20-25 g/tanaman memperlihatkan hasil
yang berbeda nyata dengan perlakuan dosis tanpa mikoriza (0 g/tanaman). Data berat kering
tanaman menggambarkan pertumbuhan tanaman dan banyaknya unsur hara yang terserap oleh
tanaman. Semakin berat bobot kering tanaman, maka pertumbuhan tanaman tersebut semakin
baik dan unsur hara serta air yang terserap tanaman juga semakin banyak (Musfal, 2010).
Meningkatnya hasil berat kering tanaman yang bermikoriza dibandingkan tanaman
yang tidak bermikoriza berhubungan dengan hasil fotosintesis yang ditimbun dalam tanaman.
Kolonisasi mikoriza akan memberikan peran positif dalam penyediaan unsur hara N, P, dan air
sehingga memacu pertumbuhan yang merupakan manifestasi dimulai dari penyediaan
karbohidrat dari organ fotosintesis dan penyediaan air dan hara oleh akar sampai kepada
sintesis biomassa tanaman yang baru (Brundrett dkk. 1996). Peningkatan metabolisme dan
fotosintesis tanaman akan menyebabkan dengan peningkatan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman, seperti tinggi tanaman dan berat kering tanaman (Lana, 2009).
Penanaman tanaman pada tanah marjinal seperti tanah Ultisol dengan inokulasi FMA
merupakan alternatif untuk menggantikan pupuk dan unsur hara yang diperlukan tanaman
karena Mikoriza dapat meningkatkan serapan unsur hara Fosfat (P) yang merupakan unsur hara
esensial yang dibutuhkan dalam jumlah banyak oleh tanaman yang ketersediannya terutama
pada tanah marjinal masam sangat terbatas sehingga selalu menjadi faktor pembatas utama
dalam peningkatan produktivitas tanaman Peningkatan unsur hara juga berhubungan dengan
perbaikan sifat kimia tanah. Inokulasi FMA pada tanaman yang tumbuh pada tanah Ultisol
dapat meningkatkan kandungan Ca, kapasitas tukar kation dan kandungan P meningkat dari
0,93 ppm menjadi 3,65 ppm (Husin dkk, 2012). Hasil penelitian (Probosari, 2009)
menunjukkan bahwa adanya pengaruh pemberian FMA pada tanah Ultisol terhadap berat
kering Kedelai (Glycine max (L.) Merr.)
3. Persentase Derajat Infeksi FMA pada akar tanaman A. Vulgaris
Persentase derajat infeksi akar bibit tanaman A. vulgaris yang diinokulasi dengan
beberapa dosis FMA pada tanah Ultisol menunjukkan ktriteria dari sangat rendah, sedang,
tinggi, dan sangat tinggi. Derajat infeksi yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat kolonisasi
yang tinggi dan dan kecocokan dengan tanaman inang. Hal ini sesuai dengan pendapat Husin
dkk (2012) yang menyatakan bahwa tingkat infeksi FMA ditentukan oleh kecocokan antara
FMA dengan tanaman inangnya. Semakin tinggi derajat infeksi mikoriza dapat mengindikasi
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 167
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
semakin aktif mikoriza tersebut menginfeksi akar dan memperluas daerah serapan akar
terhadap air dan unsur hara.
Tabel 3. Persentase derajat infeksi FMA pada akar tanaman A. vulgaris yang diinokulasi
beberapa dosis FMA pada tanah Ultisol.
Persentase Derajat Kriteria
Inokulan FMA (g/tanaman)
Infeksi (%)
0 5 Sangat rendah
5 32,5 Sedang
10 45 Sedang
15 55 Tinggi
20 65 Tinggi
25 85 Sangat tinggi
Perakaran tanaman yang terinfeksi oleh FMA ditandai dengan adanya struktur mikoriza
pada akar yaitu arbuskula, hifa, dan vesikula. Dari pengamatan terhadap akar tanaman A.
vulgaris ditemukan struktur vesikula seperti pada Gambar 2.
Pada Gambar 2 dapat dilihat struktur vesikula yang berbentuk bulat atau semacam
kantong yang terletak pada ujung hifa yang berfungsi untuk organ penyimpanan cadangan
makanan, organ reproduksi dan tahan terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan (Husin
dkk, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa akar A. vulgaris telah dikolonisasi oleh FMA
SIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan mengenai kajian pertumbuhan A. vulgaris yang
diinokulasi FMA pada tanah Ultisol dapat disimpulkan bahwa inokulasi FMA memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun dan berat
kering tanaman A.vulgaris. Kriteria persentase derajat infeksi A. vulgaris berkisar dari kurang
sampai sangat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Alzoreky, N.S., & Nakahara K., 2003. Antibacterial Activity of Extract from Some Edible
Plants Commonly Consumed in Asia, International Journal Food Microbiol, 80(3),
223-230.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 168
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Anggarini, A., Tohari., D, Kastono. 2012. Pengaruh Mikoriza Terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Sorgum Manis (Sorghum Bicolor L. Moench) pada Tunggul Pertama dan Kedua.
Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Avery MA, Chang WKM, White CJ. 1992. Stereoselective total synthesis of (+)-artemisinin,
the antimalarial constituent of Artemisia annua L. J Am Chem Soc 114:974–979.
Brundrett, N., B. Bougher, T. Dell, Grove and N. Malajazuk. 1996. Working With Mycorrhizas
In Forestry And Agriculture. Australian Centre for International Agriculture Research
(ACIAR). Canberra. Pp. 162-171.
Husin, E. F., A. Syarif, Kasli. 2012. Mikoriza Sebagai Pendukung Sistem Pertanian
Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan. Andalas University Press. Padang.
Lana, Wayan. 2009. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Sapi dan Mikoriza Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) di Lahan
Kering. Majalah Ilmiah Universitas Tabanan Vol.6 No.1.
Musfal. 2010. Potensi Cendawan Mikoriza Arbuskula Untuk Meningkatkan Hasil Tanaman
Jagung. Jurnal Litbang Pertanian 29(4):154-158.
Namdeo, A.G., Mahadik, K. R dan Kadam, S. S. 2006. Antimalarial Drug- Artemisia annua.
Pharmacognosy Magazine 2 (6): 106-111.
Probosari, R.M. 2009. Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine Max (L.) Merr.) Yang
Diinokulasi dengan Campuran Mikoriza Va di Tanah Ultisol. Universitas Sebelas
Maret. Surakarta.
Pujianto. 2009. Pemanfatan jasad mikro jamur mikoriza dan bakteri dalam sistem pertanian
berkelanjutan di Indonesia. http://www.hayati-ip6.com/rudyet/indiv2001/pujianto.htm.
Diakses pada 1 Agustus 2015.
Rapparini, F., J. Llusia, J. Penuelas. 2008. Effect of arbuscular mycorrhizal (AM) colonization
on terpene emission and content of Artemisia annua L. Plant Biol. 10:108–122.
Salisbury, F. B, dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid I. ITB. Bandung.
Setiadi Y. 1990. Proses Pembentukan VA Mikoriza. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor. Bogor. Hal. 5-9..
Snow RW, Guerra CA, Noor AM, Myint HY, Hay SI. 2005. The global distribution of clinical
episodes of Plasmodium falciparum malaria. Nature 434:214–217
Sri Adiningsih, J. dan Mulyadi. 1993. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan
alang-alang. hlm. 29 50. Dalam S. Sukmana, Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H.
Subagjo, H. Suhardjo, Y. Prawirasumantri (Ed.). Pemanfaatan lahan alang-alang
untuk usaha tani berkelanjutan. Prosiding Seminar Lahan Alang-alang, Bogor,
Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. hlm.
21 66. Dalam A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus, D. Djaenudin (Ed.). Sumberdaya
Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
.World Health Organization. 2010. Malaria Situation in SEAR Countries – Indonesia.
http://www.searo.who.int/en/Section10/Section21/Section340_4022.htm(diakseses
tanggal 11 November 2014)
Zuhry, E. dan F. Puspita. 2008. Pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) pada Tanah
Ultisol Podzolik Merah Kuning (PMK) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai
(Glycine max (L) Merlll). SAGU. Vol 7 No.2 25-29
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 169
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ANALYSIS OF PLANT VEGETATION ON COASTAL TOURISM REGIONS PASIR
JAMBAK, PADANG, WEST SUMATERA
ABSTRACT
Research on the Analysis of Plant Vegetation on Coastal Tourism Regions Pasir
Jambak, Padang City had been done starting from May till September 2015. The goal of this
research is to find out the composition and the structure of coastal vegetation on Tourism
Regions Pasir Jambak, Padang city. This research uses a plot squared method using belt
transects and laying a plot carried out systematically sampling. The results shown at tree level
found as many as 5 families, 5 species and 36 individuals. The next level of sapling found as
many as 4 families, 4 species and 36 individuals, while at the level of seedling was found as
many as 12 families, 19 species and 712 individuals. The highest important value at the level
of the tree that Casuarina equisetifolia (214.72%) and the lowest was Pongamia sp. (8.22%).
Furthermore, on the level of sapling which has the highest importance Cerbera manghas
(156.6%) and the lowest was Glochidon sp. (16.2%), while the highest rate of seedling
Spaghneticola trilobata (105.5%), the lowest was Ardisia littoralis, Lantana camara and
Blumea chinensis with the value (1.8%). Diversity index is low both at tree level (0.33), the
level of sapling (0.46) and the level of seedling (0.77).
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang dikenal memiliki tingkat biodiversity yang tinggi
dengan potensi kekayaan alam yang melimpah didukung oleh wilayah yang luas dengan
banyak kepulauan dan berada di daerah tropis. Menurut Tuheteru dan Mahfudz (2012)
Indonesia memiliki sekitar 17.508 pulau dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km. Di
sepanjang pantai tersebut ditumbuhi oleh berbagai vegetasi pantai salah satunya adalah
vegetasi hutan pantai. Dimana pantai merupakan daerah perbatasan antara ekosistem laut dan
ekosistem darat. Hutan pantai merupakan bagian dari wilayah pesisir dan laut yang memiliki
potensi sumberdaya alam yang produktif (Waryono, 2000).
Hutan pantai ini memiliki banyak manfaat yaitu dapat meredam hempasan gelombang
tsunami, mencegah terjadinya abrasi pantai, melindungi ekosistem darat dari terpaan angin dan
badai, pengendali erosi, habitat flora dan fauna, tempat berkembangbiak,pengendalipemanasan
global, penghasil bahan baku industri kosmetik,biodisel dan obat-obatan serta sebagai
penghasil bioenergi (Tuheteru dan Mahfudz, 2012). Salah satu manfaat tersebut telah dilakukan
oleh Sitanggang (2007) mengenai peranan vegetasi Ipomoea pes-caprae (L.) Sweet bahwa
penyusun formasi pes-caprae ini dapat mereduksi erosi gisik di sepanjang pantai Teluk
Amurang, Sulawesi Utara.
Seiring berkembangnya aktifitas pembangunan terhadap hutan pantai dikawasan ini,
akan berdampak kepada hilangnya vegetasi tumbuhan yang semula hidup dikawasan tersebut.
Dahuri, Rais, Ginting dan Sitepu, (2001) menyatakan bahwa adanya aktifitas kegiatan di daerah
pariwisata atau rekreasi dapat menimbulkan masalah ekologis yang khusus dibandingkan
dengan kegiatan ekonomi lain mengingat bahwa keindahan dan keaslian alam merupakan
modal utama, bila suatu wilayah pesisir dibangun sebagai tempat rekreasi masyarakat, biasanya
fasilitas pendukung lain juga berkembang pesat.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 170
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Faktor pemicu kerusakan lingkungan yang terjadi baik pada ekosistem laut, ekosistem
pantai maupun ekosistem lain adalah kebutuhan ekonomi (economic driven) dan kegagalan
kebijakan (policy failure driven). Dimana sebagian penduduk yang berada di wilayah pesisir
merupakan penduduk yang sering tergolong miskin. Kemiskinan dan ketidakpastian hidup
menyebabkan kacaunya pola pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Pola konsumsi yang
tinggi terhadap sumber daya alam akan mengakibatkan kegagalan kebijakan pengelolaan
sumber daya alam akibat kegiatan ekonomi yang dapat merusak lingkungan (Fauzi, 2005).
Dengan adanya kegiatan pembangunan diikuti dengan terbatasnya jalur penghijauan di
kawasan pantai akan berdampak terhadap hilangnya vegetasi tumbuhan pantai yang dapat
memberikan banyak manfaat salah satunya memberikan perlindungan terhadap bahaya
tsunami. Oleh karena itu penelitian tentang analisis vegetasi tumbuhan pantai ini perlu
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi tumbuhan pantai
yang terdapat pada kawasan wisata Pasir Jambak.
Analisis Data
Komposisi
Komposisi tumbuhan dianalisa berdasarkan pada jumlah famili, spesies dan individu.
Komposisi famili dominana dianalisa menggunnakan rumus berikut:
Persentase Familii x100%
Famili Dominan pada suatu vegetasi apabila memiliki persentase > 20 % total individu,
sedangkan yang Co-Dominan > 10% dan <20 % (Johnston dan Gillman, 1995).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 171
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Struktur
Untuk mengetahui struktur vegetasi perlu diketahui sejumlah karakteristik vegetasi
meliputi kerapatan, frekuensi, dominansi dan nilai penting dari masing-masing jenis dengan
menggunakan rumus berikut :
Jumlah individu suatu spesies
Kerapatan K
Luas seluruh petak contoh
Kerapatan suatu spesies
Kerapatan Relatif KR 100%
Kerapatan seluruh spesies
Jumlah petak ditempati suatu spesies
Frekuensi
Jumlah seluruh petak contoh
Frekuensi suatu spesies
Frekuensi Relatif FR 100 %
Frekuensi seluruh spesies
Luas Basal Area
Dominasi D
Luas petak contoh
Tabel 1. Komposisi Famili Dominan dan Co-Dominan Tingkat Pohon pada kawasan Wisata
Pasir Jambak, Kota Padang
Jumlah
Famili Spesies Persentase Famili
Jenis Individu
Casuarinaceae Casuarina equisetifolia L. 1 23 63,88**
Apocynaceae Cerbera manghas L. 1 10 27,77 **
Arecaceae Cocos nucifera L. 1 1 2,77
Combretaceae Terminalia cattapa L. 1 1 2,77
Leguminosae Pongamia sp. 1 1 2,77
Total 5 36 99,96
Ket: Dominan = **
Tabel 2. Komposisi Famili Dominan dan Co-Dominan Tingkat Sapling pada kawasan Wisata
Pasir Jambak, Kota Padang
Jumlah Persentase
Famili Spesies
Jenis Individu Famili
Apocynaceae Cerbera manghas L. 1 19 52,77**
Casuarinaceae Casuarina equisetifolia L. 1 11 30,55 **
Simaroubaceae Brucea javanica (L.) Merr 1 5 13,88*
Euphorbiaceae Glochidion sp. 1 2,77
Total 6 99,97
Ket: Dominan = ** ; Co-dominan = *
Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapatkan pada tabel (Tabel 1) diatas diketahui
pada tingkat pohon, famili Casuarinaceae memiliki individu paling banyak yaitu 23 individu
dari 1 spesies dan famili Apocynaceae memiliki 10 individu dari 1 spesies. Sedangkan pada
famili yang paling sedikit yaitu famili Arecaceae, Combretaceae dan Leguminosae masing-
masing memiliki 1 individu.
Pada tingkat sampling (Tabel 2), famili Casuarinaceae memiliki sebanyak 11 individu
dan Famili Apocynaceae memiliki 19 individu kedua famili tersebut juga berasal dari 1 jenis
spesies yang sama dengan tingkatan pohon. Adapun jenis tersebut antara lain pada famili
Casuarinaceae terdapat spesies Casuarina equisetifolia L. dan Cerbera manghas L. pada famili
Apocynaceae sedangkan famili Co-dominan yang ditemukan adalah famili simaroubaceae
sebanyak 5 individu dari 1 spesies yaitu Brucea javanica.
Menurut Tuheteru dan Mahfudz (2012), famili Casuarinaceae adalah tumbuhan yang
dapat tumbuh di wilayah pantai tropis dan sub tropis. Famili ini membutuhkan banyak sinar
matahari, toleran terhadap air garam dan memiliki kemampuan beradaptasi pada tanah kurang
subur selain itu famili Apocynaceae merupakan famili yang mampu beradaptasi pada tanah
pasir dan terbuka terhadap udara dari laut. Hal inilah yang menyebabkan famili Casuarinaceae
dan Apocynaceae tersebut mendominasi wilayah pantai.
Berdasarkan Tabel 3, pada tingkat seedling dan tumbuhan bawah Famili Asteraceae
memiliki individu tertinggi sebanyak 515 individu dari 3 jenis spesies yaitu Spaghneticola
trilobata sebanyak 510 individu dan adapun beberapa jenis yang ditemukan untuk Famili
Asteraceae diantaranya Ageratum conyzoides sebanyak 4 individu dan Blumea chinensis
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 173
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
sebanyak 1 individu sedangkan untuk Famili yang memiliki individu terbanyak diposisi kedua
yaitu Famili Poaceae, dimana beberapa jenis diantaranya Isachne globosa, Ischaemum
muticum dan Paspalum conjugatum.
Tabel 3. Komposisi Famili Dominan dan Co-Dominan Tingkat Seedling dan Tumbuhan
bawah pada kawasan Wisata Pasir Jambak, Kota Padang
Jumlah Persentase
Famili Spesies
Jenis Individu Famili
Spaghneticola trilobata
72,33**
Asteraceae Ageratum conyzoides 3 515
Blumea chinensis
Paspalum conjugatum
8,70
Poaceae Isachne globosa 3 62
Ischaemum muticum
Rubiaceae Borreria leavis 1 38 5,33
Convolvulaceae Ipomoea pes-caprae 1 27 3,79
Lantana camara
Verbenaceae 2 26 3,65
Clerodendron sp.
Desmodium umbellatum
Leguminosae Crotalaria mucronata 3 15 2,10
Cassia tora
Simaroubaceae Brucea javanica 1 15 2,10
Apocynaceae Cerbera manghas 1 8 1,12
Cyperaceae Cyperus sp. 1 2 0,28
Mimosaceae Mimosa pudica 1 2 0,28
Myrsinaceae Ardisia littoralis 1 1 0,14
Rutaceae Clausaena excavata 1 1 0,14
Total 19 712 99,96
Ket : ** = Famili Dominan ; * = Famili Co-Dominan
Dominan dan Co-dominan sutau famili dapat ditentukan oleh jumlah spesies penyusun
famili dan individu yang terdapat dalam famili tersebut. Famili Asteraceae merupakan famili
yang memiliki persentase famili tertinggi jika dibandingkan dengan famili lainnya (72,33 %),
dengan jumlah 3 spesies dan 515 individu. Dominanya famili ini disebabkan karena jumlah
individu yang melimpah sedangkan spesies penyusunnya sedikit.
Menurut Cronguist (1981) Famili Asteraceae atau sembung-sembungan merupakan
kelompok tumbuhan yang terdiri dari 1.100 marga meliputi 20.000 spesies. Tumbuhan bawah
atau vegetasi dasar merupakan komponen penting dalam ekosistem hutan yang harus
diperhitungkan perannya. Tumbuhan bawah adalah lapisan tumbuhan penutup tanah yang
terdiri dari herba, semak, perdu, liana dan paku. Didalam komunitas hutan tumbuhan bawah
merupakan strata yang cukup penting dalam menunjang kehidupan jenis tumbuhan lain
(Manan, 1976).
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan sebelumnya oleh Djufri (2010) bahwa
famili yang mendominasi di desa dLhok Bubon Aceh adalah famili Poaceae 27,70%, kemudian
famili Asteraceae 22,22%. Hal ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang didapatkan pada
kawasan pantai pasir jambak dimana tingkat seedling didominasi oleh Famili Asteraceae
karena famili ini memiliki individu dan spesies yang banyak ditemukan karena memiliki
kemampuan adaptasi yang tinggi serta reproduksi yang cepat. Dibandingkan dengan penelitian
yang telah dilakukan oleh Armos (2013) menyatakan bahwa Wedelia biflora atau
Spaghneticola trilobata mendominasi kawasan stasiun III pada kawasan wisata Boe Makassar,
dimana kelompok Famili Asteraceae ini memiliki perkembangbiakan yang relatif cepat.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 174
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Oosting (1956) bahwa organisme hidup
dipengaruhi oleh lingkungan, dimana lingkungan merupakan himpunan beberapa faktor alam
yang berbeda termasuk substansi air dan tanah, kondisi (Suhu dan cahaya), angin, organisme
dan waktu. Faktor lingkungan abiotik sangat menentukkan penyebaran, pertumbuhan populasi
suatu organisme. Tiap jenis organisme hanya dapat hidup pada kondisi abiotik tertentu yang
berada dalam kisaran toleransi yang sesuai dengan organisme tersebut (Suin, 2002).
Struktur
Nilai penting tertinggi pada tingkat pohon ditemukan pada spesies Casuarina
equisetifolia dengan sebesar 214,72% Nilai penting tertinggi kedua yaitu Cerbera manghas
sebesar 59,25% terendah ditemukan pada spesies Pongamia sp. dengan nilai sebesar 8,22%.
Uraian struktur pohon pada kawasan wisata Pasir Jambak, dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai
penting tertinggi pada tingkat pohon adalah Casuarina equisetifolia sebesar 214,72%.
Tertinggi kedua yaitu Cerbera manghas sebesar 59,25%, sedangkan terendah ditemukan pada
spesies Pongamia sp. dengan nilai sebesar 8,22%.
Tabel 4. Struktur vegetasi tumbuhan pantai tingkat pohon pada kawasan wisata Pasir Jambak,
Kota Padang
No Spesies JI KR (%) FR (%) DR (%) INP
1 Casuarina equisetifolia L. 23 63,88 57,89 92,95 214,72
2 Cerbera manghas L. 10 27,77 26,31 5,17 59,25
3 Cocos nucifera L. 1 2,77 5,26 1,37 9,4
4 Terminalia catappa L. 1 2,77 5,26 0,3 8,33
5 Pongamia sp. 1 2,77 5,26 0,19 8,22
Total 36 99,96 99,98 99,98 299,92
Tabel 5. Struktur vegetasi tumbuhan pantai tingkat sapling pada kawasan wisata Pasir Jambak
Kota Padang.
FR DR
No Spesies JI KR (%) INP
(%) (%)
1 Cerbera manghas L. 19 52,7 46,6 57,3 156,6
2 Casuarina equisetifolia L. 11 30,5 26,6 30,8 87,9
3 Brucea javanica (L.) Merr 5 13,8 20 4,8 38,6
4 Glochidion sp. 1 2,7 6,6 6,9 16,2
Total 36 99,7 99,8 99,8 299,3
Nilai penting tertinggi ditemukan pada spesies Cerbera manghas dengan nilai sebesar
156,6% sedangkan untuk nilai penting terendah ditemukan pada spesies Glochidion sp. sebesar
16,2%. Menurut (Fachrul, 2012) menyatakan bahwa indeks nilai penting (INP) merupakan
indeks kepentingan yang menggambarkan pentingnya peranan suatu jenis vegetasi dalam
ekosistemnya, apabila indeks nilai penting suatu jenis vegetasi bernilai tinggi, maka jenis
tersebut sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa secara ekologi kedua spesies dengan nilai
penting tertinggi di atas (Tabel 4 dan 5) dapat menguasai kawasan pantai tersebut dan
menentukan klimaks vegetasi strata pohon dimasa yang akan datang. Jika tidak terjadi sesuatu
yang dapat merubah bentang alam pada kawasan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa
kecenderungan klimaks vegetasi strata pohon adalah Casuarina equisetifolia dan Cerbera
manghas.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 175
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 6. Struktur vegetasi tumbuhan pantai tingkat seedling dan Tumbuhan bawah pada
kawasan wisata Pasir Jambak, Kota Padang
No Spesies KR (%) FR (%) INP Habit
1 Spaghneticola trilobata DC 71,6 33,9 105,5 Semak
2 Borreria leavis (Aubl.) DC 5,3 6,7 12 Herba
3 Clerodendron sp. 3,5 8,4 11,9 Perdu
4 Ischaemum muticum L. 5,4 5 10,4 Rumput
5 Ipomoea pes-caprae Roth 3,8 5 8,8 Liana
6 Cerbera manghas L. 1,1 6,7 7,8 Anakan Pohon
7 Brucea javanica (L) Merr 2,1 5 7,1 Anakan Pohon
8 Crotalaria mucronata DESV 0,9 5 5,9 Semak
9 Paspalum conjugatum BERG 2,1 3,4 5,5 Rumput
10 Isachne globosa KUNTZE 1,1 3,4 4,5 Rumput
11 Desmodium umbellatum DC. 0,7 3,4 4,1 Semak
12 Cassia tora L. 0,4 1,7 2,1 Herba
13 Ageratum conyzoides L. 0,5 1,7 2,2 Herba
14 Mimosa pudica L. 0,2 1,7 1,9 Perdu
15 Cyperus sp. 0,2 1,7 1,9 Rumput
16 Ardisia littoralisAndr. 0,1 1,7 1,8 Semak
17 Blumea chinensis DC 0,1 1,7 1,8 Semak
18 Clausena excavata Burn. 0,1 1,7 1,8 Semak
19 Lantana camara L. 0,1 1,7 1,8 Semak
Total 99,3 99,5 198,8
Nilai penting tertinggi pada tingkat seedling dan tumbuhan bawah ditemukan pada
spesies Spaghneticola trilobata dengan nilai sebesar 105,5 % sedangkan nilai penting terendah
ditemukan pada tiga spesies yaitu Lantana camara, Clausena excavata, Ardisia littoralis dan
Blumea chinensis dengan nilai sebesar 1,8%.
Indeks keanekaragaman tumbuhan pantai pada kawasan wisata Pantai Pasir Jambak
tergolong dalam kategori rendah. Pada tingkatan pohon didapatkan sebesar (0,33), pada
tingkatan sapling (0,46) dan tingkat seedling (0,77). Hal ini menunjukkan spesies yang
terdapat pada daerah ini sedikit. Keanekaragaman spesies pada kawasan wisata pantai Pasir
Jambak tergolong rendah yang memiliki indeks keanekaragaman < 1 dimana indeks
keanekaragaman yang rendah menunjukkan bahwa jenis yang ditemukan sedikit dan hanya
ditemukan jenis spesies yang sama. Uraian indeks keanekargaman dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Indeks keanekaragaman vegetasi tumbuhan pantai pada kawasan wisata Pasir
Jambak Kota Padang
Indeks Keanekargaman
No. Tingkat Vegetasi Keterangan
(H’)
1. Pohon 0,33 Keanekaragaman Rendah
2. Sapling 0,46 Keanekaragaman Rendah
3. Seedling 0,77 Keanekaragaman Rendah
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 176
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Analisis Vegetasi Tumbuhan Pantai pada
Kawasan Wisata Pasir Jambak, Kota Padang maka dapat disimpulan bahwa komposisi pada
tingkat pohon ditemukan sebanyak 5 famili, 5 spesies dan 36 individu. Pada tingkat sapling
ditemukan sebanyak 4 famili, 4 spesie dan 36 individu. Pada tingkat seedling ditemukan
sebanyak 12 famili, 19 spesies dan 712 individu. Tingkat pohon yang memiliki nilai penting
tertinggi yaitu Casuarina equisetifolia (214,72%), terendah pada Pongamia sp. (8,22%)
tingkat sapling Cerbera manghas (156,6%), terendah ditemukan Glochidion sp. (16,2%)
selanjutnya pada tingkat seedling Spaghneticola trilobata (105,5%). Indeks keanekaragaman
tergolong rendah baik pada tingkat pohon, tingkat sapling maupun tingkat seedling.
Saran
Keanekaragaman vegetasi pantai pada kawasan Pasir Jambak ini tergolong rendah oleh
karena itu perlu dilakukannya pelestarian dan penghjauan serta perlindungan terhadap kawasan
wisata ini agar dapat mencegah abrasi pantai dan meminimalisir kerusakan akibat terpaan angin
kencang yang dapat merugikan masyarakat sekitar kawasan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Armos, N., H. 2013. Studi Kesesuaian Lahan Pantai Wisata Boe Desa Mappakalompo
Kecamatan Galesong Ditinjau Berdasarkan Biogeofisik. Skripsi Sarjana Ilmu
Kelautan.UniversitasHasanuddin Makasar.
Cronguist, A. 1981. An Integrated System of Classification of Flowering Plants. New York:
Colombian University Press.
Dahuri, R, J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Djufri, 2010. Analisis Vegetasi Pantai Barat Aceh Pasca Tsunami. Jurnal. Universitas
Unsyiyah Darussalam. Banda Aceh.
Fachrul, M. F. 2012. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.
Johnston, M dan M. Gillman. 1995. Tree Population Studies In Low Diversity Forest, Guyana.
I. Floristic Composition and Stand Structure. Biodiversity & Conservation 4: 339-362.
Manan S. 1976. Pengaruh Hutan &Manajemen Daerah Aliran Sungai. F.Kehutanan IPB Bogor
Mueller-Dombois dan H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John
Wiley and Sons. New York.
Oosting, H.J. 1956. The Study of Plant Communities. W.H. Freeman Company. San Fransisco.
Resosoedarmo. R. S., Kuswata .K., Apriliani S. 1985. Pengantar Ekologi. CV. Remaja Karya.
Bandung.
Sitanggang, P., E. 2007. Peranan Vegetasi Batata Pantai (Ipomoea pes-caprae) Dalam
Mereduksi Erosi Gisik di Sepanjang Pantai Teluk Amurang, Sulawasi Utara. Ilmu
Kelautan 12 (2): 104-110.
Southwood, T.R.E. dan Henderson P.A. 2000. Ecological Methods (3rd Edition). Blackwell
Science. Oxford.
Suin, N., M. 2002. Metoda Ekologi. Penerbit Universitas Andalas. Padang
Tuheteru, F., D dan Mahfudz. 2012. Ekologi, Manfaat & Rehabilitasi, Hutan Pantai Indonesia.
Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado.
Waryono, T. 2000. Reklamasi Pantai Ditinjau Dari Segi Ekologi Lansekap Dan Restorasi.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008, Diskusi Penataan Ruang Wilayah Pantai dan
Laut Kabupaten Cilacap. https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoenwaryono/files/2009/12/
5reklamasi-pantai.pdf.19.12.2014
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 177
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ABSTRAK
Tumbuhan yang dikenal dengan nama ilmiah Hippobroma longiflora adalah salah satu
jenis tumbuhan yang menghasilkan senyawa organik metabolit sekunder, salah satunya adalah
alkaloid. Alkaloid berpotensi tinggi untuk digunakan dalam pengembangan produk-produk
baru pengendali hama dan gulma, alkaloid yang terdapat pada jenis tumbuhan H. longiflora
adalah golongan pyridine, yaitu lobeline dan nicotine. Baru-baru ini, diketahui bahwa dua jenis
alkaloid baru berupa Piperidine dan Tetrahydropyridine juga telah berhasil di ekstrak dari H.
longifolia. Terlepas dari banyaknya potensi pemanfaatan dari senyawa organik yang dapat
diekstrak dari H. longiflora, sampai dengan saat ini belum banyak laporan ilmiah tentang
tumbuhan ini. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak diperlukan usaha untuk mengungkap
potensi dari salah satu jenis tumbuhan yang saat ini dianggap sebagai gulma. Salah satu langkah
awal studi suatu jenis tumbuhan adalah analisis vegetasi untuk menunjukkan indeks nilai
penting masing-masing jenis penyusun atau dengan teknikordinasi. Penelitian ini dilakukan
sebagai langkah awal dalam mempelajari jenis-jenis tumbuhan yang ada bersama-sama dengan
H. longiflora, pada wilayah dengan ketinggian tempat yang berbeda, di kabupaten Tabanan,
Provinsi Bali. Hasil analisis diversitas jenis menunjukkan bahwa dalam keseluruhan petak
sampel terdapat 73 jenis tumbuhan yang dijumpai, dengan indeks diversitas Shannon sebesar
3,98. Sebagian besar merupakan jenis-jenis gulma, Adapun analisis cluster menunjukkan petak
sampel dapat di pilah menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yang ternyata sesuai menurut ketinggian
tempat. Kluster atas berada pada ketinggian antara 600 – 800 m dpl, tengah 400 – 600 m dpl
dan bawah 200 - 400m dpl. Berdasarkan hasil analisis, tumbuhan yang berkorelasi dengan H.
longiflora terdiri atas 17 jenis yang tergolong ke dalam 10 family.
PENDAHULUAN
Tumbuhan yang dikenal dengan nama daerah Kembang Bintang atau Ki Tolod ini,
dalam bahasa Inggris disebut Bethlehem Star, Madam Fate, atau Star Flower. Dalam
klasifikasi tumbuhan berbunga terkini, jenis ini tergolong dalam suku Campanulaceae dengan
nama ilmiah Hippobroma longiflora (L.), G. Don (List, 2013). Namun demikian, pada banyak
publikasi, jenis ini banyak disebut dengan nama sinonimnya seperti Laurentia longiflora
(Arbain et al., 1989; Moody, 1989), Lobelia longiflora, Isotoma longiflora, dll (List, 2013).
Dalam (Slik, 2015) disebutkan bahwa tumbuhan ini berasal dari Amerika Tengah namun
sekarang sudah tersebar di daerah tropis, umumnya terdapat di dataran rendah dan menyukai
tempat tumbuh yang lembab serta ternaungi.
Banyak tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan senyawa organik metabolit sekunder,
salah satunya adalah alkaloid, yang berpotensi tinggi untuk digunakan dalam pengembangan
produk-produk baru pengendali hama dan gulma (Balandrin et al., 1985). Dalam (Slik, 2015)
disebutkan bahwa alkaloid yang terdapat pada jenis tumbuhan H. longiflora adalah golongan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 178
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
pyridine, yaitu lobelinedan nicotine. Baru-baru ini, diketahui bahwa dua jenis alkaloid baru
berupa Piperidine dan Tetrahydropyridine juga telah berhasil di ekstrak dari H. longifolia, yaitu
(S)-2-[(2S,6R)-1-methyl-6-(2-oxo-2-phenylethyl) piperidin-2-yl]-1-phenylethylacetate dan 6-
[(E)-2-(3-methoxyphenyl) ethenyl]-2,3,4,5-tetrahydropyridine (Kesting et al., 2009).
Terlepas dari banyaknya potensi pemanfaatan dari senyawa organik yang dapat
diekstrak dari H. longiflora, sampai dengan saat ini belum banyak laporan ilmiah tentang
tumbuhan ini. Laporan yang tersedia terbatas pada penelitian dasar seperti embriologi (Kausik
and Subramanyam, 1945), pengesahannya dalam system klasifikasi tumbuhan (Manuel B.
Crespo, 1996), tanaman obat (Heyne, 1988), sebagai gulma pada budidaya padi di Asia
Tenggara (Moody, 1989) dan sejarah persebarannya (Ragone et al., 2001).
Jenis ini juga tidak tercantum dalam laporan tentang potensi pemanfaatan jenis-jenis
tumbuhan dari Sumatera (Haneda et al., 2010), walaupun sebelumnya telah dilaporkan dari
hasil pengujian kandungan alkaloid sampel H. longifloradari Sumatera menunjukkan hasil
positif(Arbain et al., 1989). Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak diperlukan usaha untuk
mengungkap potensi dari salah satu jenis tumbuhan yang saat ini dianggap sebagai “gulma”,
yang masih luput dari perhatian.
Salah satu langkah awal studi suatu jenis tumbuhan adalah analisis vegetasi untuk
menunjukkan indeks nilai penting masing-masing jenis penyusun atau dengan teknikordinasi
(Mueller-Dumbois and Ellenberg, 1974). Dengan perkembangan teknologi komputer, maka
analisis semacam ini dapat dengan cepat dilakukan dengan bantuan perangkat lunak (Kindt and
Coe, 2005). Penelitian ini dilakukan untuk sebagai langkah awal dalam mempelajari jenis-jenis
tumbuhan yang ada bersama-sama dengan H. longiflora, pada wilayah dengan ketinggian
tempat yang berbeda, di kabupaten Tabanan, Provinsi Bali.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 179
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 180
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis diversitas jenis menunjukkan bahwa dalam keseluruhan petak sampel
terdapat 73 jenis yang dijumpai, dengan indeks diversitas Shannon sebesar 3,98. Sebagian
besar merupakan jenis-jenis gulma (Moody, 1989), namun demikian ditemukan juga jenis-jenis
lain seperti Cuphea hyssopifolia (Lythraceae) yang dikenal sebagai tanaman hias. Adapun
analisis cluster menunjukkan petak sampel dapat di pilah menjadi 3 (tiga) kelompok besar,
yang ternyata sesuai menurut ketinggian tempat seperti disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 2a.
Kluster atas berada pada ketinggian antara 600 – 800 m dpl, tengah 400 – 600 m dpl dan bawah
200 - 400m dpl. Hasil analisis ordinasi (PCA) disajikan pada Gambar 2b, c, dan d.
(a) Diagram cluster petak-petak sampel (b) Grafik PCA cluster atas
Gambar 2. Diagram cluster dan Grafik Ordinasi (PCA)cluster atas, tengah dan bawah
Interpretasi diagram ordinasi dilakukan dengan ukuran sudut vektor dari titik pusat
diagram (0,0) ke titik H. longiflora (Hiplon) dan jenis lain. Sudut vektor semakin mendekati
0° diinterpretasikan berkorelasi positif, sudut 90° atau 270° tidak berkorelasi dan pada sudut
180° berkorelasi negatif (Kindt and Coe, 2005). Dengan kata lain, jenis-jenis yang berkorelasi
positif dengan H. longifolia, pada pada gambar 2 b, c atau d berada pada kuadran sama dengan
titik Hiplon. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan korelasi adalah kecenderungan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 181
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
kebersamaan tumbuh dua spesies pada petak yang sama. Jenis-jenis tumbuhan yang berkorelasi
positif dengan H. longiflora pada cluster atas, tengah dan bawah disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis-jenis yang berkorelasi dengan H. longiflora berdasarkan hasil analisis ordinasi
Kode Cluster
No Nama Ilmiah Family
Spesies Atas Tengah Bawah
1 Hiplon Hippobroma longiflora Campanulaceae 1 1 1
2 Ptevit Pteris vittata Pteridaceae 1 1 1
3 Depspc Deparia sp. Athyriaceae 1 0 1
4 Erisum Erigeron sumatrensis Asteraceae 1 0 1
5 Lincil Lindernia ciliata Linderniaceae 1 0 1
6 Pitcal Pityrogramma calomelanos Pteridaceae 1 0 1
7 Bidpil Biden pilosa Asteraceae 1 0 0
8 Comdif Commellina diffusa Commelinaceae 1 0 0
9 Cypkyl Cyperus kyllingia Cyperaceae 1 0 0
10 Deblon Debregea sialongifolia Urticaceae 1 0 0
11 Dicspc Dicrochepala sp. Asteraceae 1 0 0
12 Hypcap Hyptis capitata Asteraceae 1 0 0
13 Mikmic Mikania micrantha Asteraceae 1 0 0
14 Pascon Paspalum conjugatum Poaceae 1 0 0
15 Agecon Ageratum conyzoides Asteraceae 0 1 1
16 Ficmon Ficus montana Moraceae 0 1 0
17 Cyndac Cynodon dactylon Poaceae 0 0 1
Berdasarkan hasil analisis (Tabel 2), tumbuhan yang berkorelasi dengan H. longiflora
terdiri atas 17 jenis yang tergolong ke dalam 10 family.
SIMPULAN
Hasil analisis diversitas jenis menunjukkan bahwa dalam keseluruhan petak sampel
terdapat 73 jenis tumbuhan yang dijumpai, dengan indeks diversitas Shannon sebesar 3,98.
Sebagian besar merupakan jenis-jenis gulma, Adapun analisis cluster menunjukkan petak
sampel dapat di pilah menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yang ternyata sesuai menurut ketinggian
tempat. Kluster atas berada pada ketinggian antara 600 – 800 m dpl, tengah 400 – 600 m dpl
dan bawah 200 - 400m dpl. Berdasarkan hasil analisis, tumbuhan yang berkorelasi dengan H.
longiflora terdiri atas 17 jenis yang tergolong ke dalam 10 family.
DAFTAR PUSTAKA
Arbain, D., Cannon, J., Afriastini, Kartawinata, K., Djamal, R., Bustari, A., Dharma, A.,
Rosmawaty, Rivai, H., Zaherman, Basir, D., Sjafar, M., Sjaiful, Nawfa, R., Kosela, S.,
1989. Survey of some West Sumatran plants for alkaloids. Economic Botany 43, 73–
78.
Balandrin, M., Klocke, J., Wurtele, E., Bollinger, W., 1985. Natural plant chemicals: sources
of industrial and medicinal materials. Science 228, 1154–1160.
Haneda, Farikhah, N., Sri, U., 2010. Pemanfaatan Etnobotani dari Hutan Tropis Bengkulu
sebagai Pestisida (Nabati Utilization of Ethnobotany from Bengkulu Tropical Forest as
Biopesticide). JURNAL MANAJEMEN HUTAN TROPIKA.
Heyne, K., 1988. Tumbuhan Berguna Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 182
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Kausik, S.B., Subramanyam, K., 1945. An embryological study ofIsotoma longiflora Presl.
Proceedings of the Indian Academy of Sciences - Section B 21, 269–278.
Kesting, J.R., Tolderlund, I.-L., Pedersen, A.F., Witt, M., Jaroszewski, J.W., Staerk, D., 2009.
Piperidine and Tetrahydropyridine Alkaloids from Lobelia siphilitica and Hippobroma
longiflora. Journal of Natural Products 72, 312–315.
Kindt, R., Coe, R., 2005. Tree diversity analysis: A manual and software for common statistical
method for ecological and biodiversity studies. World Agroforestry Centre.
List, T.P., 2013. Hippobroma longiflora (L.) G. Don.
Manuel B. Crespo, N.T. Luis Serra, 1996. Lectotypification of Four Names in Lobelia
(Lobeliaceae). Taxon 45, 117–120.
Moody, K., 1989. Weeds Reported in Rice in South and Southeast Asia. International Rice
Research Institute, Los Baños.
Mueller-Dumbois, D., Ellenberg, H., 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. The
Blackburn Press.
Ragone, D., Lorence, D.H., Flynn, T., 2001. History of Plant Introductions to Pohnpei,
Micronesia and the Role of the Pohnpei Agriculture Station. Economic Botany 55, 290–
324.
Slik, F., 2015. Hippobroma longiflora (L) G.Don, Gen. Hist. 3: 717 (1834).
Team, R.C., 2015. R: A Language and Environment for Statistical Computing. R Foundation
for Statistical Computing, Vienna, Austria.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 183
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
EKSPLORASI FLORA DI HUTAN LINDUNG LOMBOK TIMUR DAN TAMAN
NASIONAL GUNUNG RINJANI
PLANT EXPLORATION IN PROTECTED FORESTS OF EAST LOMBOK AND MT.
RINJANI NATIONAL PARK*
I Nyoman Peneng
Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali, LIPI
Candikuning Baturiti Tabanan; Telp. 0368-2033211; Fax 0368-2033171 Bali
E-mail: i.nyoman.peneng@lipi.go.id
rABSTRACT
Lombok Island is surrounded by Protected Forest, Production Forest, Conservation
Forest and Mount Rinjani National Park. Efforts to document flora of Lombok are urgent,
considering the high rate of environmental degradation. Data of documentation results will be
useful for conservation and reintroduction. This study aimed to document flora of Lombok and
to uncover its potential as barriers to erosion, drug material, ornamental plants, and increasing
plant collections for Lombok Botanical Garden. Exploration was conducted randomly and
cruising in areas that have been designated as a target of collecting and recording flora of
Lombok. Exploration activities included collecting specimens and recording information on
uses of wild plants. Exploration results have been successfully collecting non-orchid plants as
many as 241 species consisting of 67 families, 119 genera, 241 species and 720 specimens.
While the collection of orchids as many as 19 genera, 74 species, and 194 specimens. Of 241
species was estimated to be as many as 126 species that has not been collected in Lombok
Botanical Garden. Ornamental plants included Medinila speciosa, Melastoma malabathricum,
Begonia spp., Hoya sp., Nervilia spp., Bulbophyllum spp., Huperzia sp., and several orchids
which have a beautiful flower, such as Spathoglottis plicata, Arundina graminifolia, and
Thrixspermum subulatum.
Keywords: Flora exploration, species composition, Mt. Rinjani national park, Lombok Island
ABSTRAK
Pulau Lombok dikelilingi oleh kawasan hutan seperti Hutan Lindung, Hutan Produksi,
Hutan Konservasi dan Taman Nasional Gunung Rinjani. Upaya untuk mendokumentasikan
kekayaan flora Lombok mendesak untuk dilakukan, mengingat tingginya laju kerusakan
lingkungan. Data hasil dokumentasi akan bermanfaat untuk kegiatan konservasi dan
reintroduksi. Penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan kekayaan flora Lombok dan
mengungkap potensi tumbuhan sebagai penahan erosi, bahan obat dan tanaman hias serta
menambah jumlah koleksi tanaman bagi Kebun Raya Lombok. Eksplorasi dilakukan secara
acak dan jelajah pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai target pengkoleksian dan
perekaman data flora Lombok. Kegiatan eksplorasi meliputi pengkoleksian spesimen
tumbuhan serta dilakukan penggalian informasi kegunaan tumbuhan liar. Hasil eksplorasi telah
berhasil mengkoleksi tumbuhan non anggrek sebanyak 241 nomor yang terdiri dari 67 suku,
119 marga, 241 jenis dan 720 spesimen. Sedangkan koleksi Anggrek sebanyak 19 marga, 74
jenis, 194 spesimen. Dari 241 jenis tersebut diperkiran sebanyak 126 jenis merupakan koleksi
yang belum dikoleksi di Kebun Raya Lombok. Tanaman yang berpotensi hias diantaranya
Medinila speciosa, Melastoma malabathricum, Begonia spp., Hoya sp., Nervilia spp.,
Bulbophyllum spp., Huperzia sp., dan beberapa jenis anggrek yang memiliki bunga indah
antara lain Spathoglottis plicata, Arundina graminifolia dan Thrixspermum subulatum.
Kata kunci: Eksplorasi flora, komposisi jenis, Taman Nasional Gunung Rinjani, Pulau Lombok
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 184
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN
Pulau Lombok merupakan salah satu pulau selain Pulau Sumbawa yang merupakan
wilayah administrasi Provinsi Nusa Tenggara Barat, memiliki luas sekitar 4.738,65 km2 atau
23,51% dari luas wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara administrasi Pulau Lombok
dibagi menjadi empat wilayah administrasi yaitu Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat,
Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Utara (dalam
tahap pemekaran). Dari aspek luas wilayah administrasi, Kabupaten Lombok Barat memiliki
wilayah terluas (1.863,40 km2 atau 39,84% ), diikuti Kabupaten Lombok Timur 1.605,55 km2
atau 34,33% dari luas Pulau Lombok, Kabupaten Lombok Tengah dengan luas 1.208,40 km2
atau 25,83% dan Kota Mataram yang memiliki luas wilayah tersempit yaitu sekitar 61,30 km2
(Jalaludin, 2013; Badan Pusat Statistik, 2013).
Kondisi tofografi Pulau Lombok mulai dari datar sampai dengan berbukit dan
bergunung serta dari sembilan kota/kabupaten yang ada, Gunung Rinjani memiliki topografi
tertinggi yaitu sekitar 3775 meter diatas permukaan laut (dpl) dengan Danau Segara Anak
sebagai sumber air bagi kehidupan penduduk di Pulau Lombok, dan terendah adalah Kota
Mataran dan Gerung yang hanya 16 meter dpl. (Magdalena et al., 2013; Badan Pusat Statistik,
2013).
Selain kawasan Gunung Rinjani, Pulau Lombok dikelilingi oleh kawasan hutan seperti
Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Konservasi dan Taman Nasional Gunung Rinjani. Luas
kawasan hutan sekitar 1.63.061,94 ha yang tersebar di ketiga kabupaten di Pulau Lombok yaitu
Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Adapun luas kawasan hutan
pada setiap kabupaten tersebut masing-masing secara berurutan adalah 78.195,33 ha, 20.357,64
ha dan 64.508,97 ha (Kementerian Kehutanan, 2012). Upaya untuk mendokumentasikan
kekayaan flora Lombok mendesak untuk dilakukan, mengingat tingginya laju kerusakan
lingkungan yang dapat menyebabkan tumbuhan punah di habitat alaminya (Dipokusumo et al.,
2011). Data hasil dokumentasi akan bermanfaat untuk kegiatan konservasi dan reintroduksi
(van Welzen & Raes, 2011).
Kegiatan eksplorasi dan penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan kekayaan
flora yang terkandung secara lengkap, dan mengungkap potensi tumbuhan sebagai penahan
erosi, bahan obat dan tanaman hias yang berasal dari Kawasan Taman Nasional Gunung
Rinjani, dan hutan lindung di sekitarnya, serta menambah jumlah jenis koleksi bagi Kebun
Raya Lombok.
Lokasi Eksplorasi
Metode Penelitian
Dari hasil diskusi yang dilakukan dengan pihak-pihak terkait mengenai potensi hutan
dan keberadaan vegetasinya di kawasan hutan Lombok Timur, maka ditetapkan kawasan yang
menjadi target sasaran eksplorasi yaitu kawasan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani, Hutan
Lindung Tandakan, Hutan Lindung Sebau, Hutan Lindung Sapit, Hutan Lindung Gawah Gong,
Hutan Lindung Kedatu dan Hutan Lindung Reban Bela (Gunawan et al., 2011). Eksplorasi
dilakukan secara acak (random) dan jelajah pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai target
pengkoleksian dan perekaman data flora Lombok (Rugayah et al., 2005; Mijnsbrugge et al.,
2010). Kegiatan eksplorasi meliputi pengkoleksian spesimen tumbuhan serta dilakukan
penggalian informasi kegunaan tumbuhan liar (Guarrera & Savo, 2013).
Identifikasi jenis dilakukan dengan pengumpulan spesimen tumbuhan dan pengamatan
morfologi (Whitmore, 1972, 1973; Comber, 2000; Lugrayasa et al., 2009). Voucher specimen
dan koleksi tumbuhan hidup tersimpan dan ditanam di Kebun Raya Lombok. Penamaan
tumbuhan diklarifikasi menggunakan online database the plantlist (Plantlist, 2014).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 186
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
spesimen. Secara terperinci, jenis tumbuhan yang terkoleksi ditampilkan pada Lampiran 1,
sedangkan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 1.
Beberapa koleksi yang dikumpulkan baru diketahui namanya sampai tingkat marga
dikarenakan pada saat pengkoleksian hanya ditemukan anakannya saja, dan tidak diketahui
pohon induknya. Perubahan nama jenis tumbuhan selama berakhirnya waktu eksplorasi hingga
penyusunan karya tulis ilmiah ini berdasarkan hasil reidentifikasi dari koleksi yang
dikumpulkan (Eisenman et al., 2012).
Koleksi Menarik, Berpotensi dan Endemik
Sebagai zona peralihan antara flora Asia dan flora Australia, Pulau Lombok
mempunyai keragaman flora yang unik dan menarik sebagai contoh ditemukannya Gale
Gending (Adenanthera pavonina L.), Embur (Pisonia umbellifera (J.R. Forst. & G. Forst.)
Seem dan Antiaris toxicaria Lesch. serta berbagai jenis anggrek dan paku-pakuan. Banyaknya
jenis tumbuhan endemik tidak terlepas dari sejarah geologinya, dimana Pulau Lombok tidak
pernah menjadi bagian masa daratan lain yang lebih besar (Monk, 2000; Carstensen et al.,
2011). Jenis-jenis tumbuhan hasil eksplorasi yang menarik akan diuraikan sebagai berikut:
Dysoxylum gaudichaudianum (A.Juss.) Miq.
Dysoxylum gaudichaudianum atau kedoya termasuk pohon kayu dengan ketinggian
antara 25-45 meter dan diameter mencapai 80 cm. Daun pohon kedoya berupa daun majemuk
yang tersusun diujung-ujung ranting. Bentuk daunnya menyirip dengan panjang daun sekitar
10-15 cm dan lebar daun antara 4-5 cm. Kedoya memiliki buah berbentuk bulat kecil berwarna
kuning hingga coklat kekuningan yang terkumpul dalam malai ganda. Ciri khas tanaman ini
adalah memiliki kulit kayu yang berbau menusuk dan memuakkan sehingga dapat
mengakibatkan mual dan muntah (Nagakura et al., 2010). Pohon ini diketemukan di dalam
kawasan Hutan Lindung Tandakan pada ketinggian 496 meter dpl.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 187
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Pohon ini banyak dijumpai di daerah sepanjang aliran sungai maupun selokan kecil dipingiran
sawah, karena tumbuhan ini sangat menyukai daerah basah (Khan et al., 2011). Anakan sangat
sulit didapatkan, disebabkan biji yang jatuh dari indukannya dihanyutkan oleh aliran air.
Karena pohon ini tumbuh dan berkembang baik pada daerah aliran sungai maka dipandang
perlu untuk menjaga kelestariannya karena mempunyai perakaran yang sangat kuat untuk
mencegah erosi pada daerah aliran sungai dan sebagai penyimpan cadangan air (Al-Sherif et
al., 2009; Khan et al., 2011).
Antiaris toxicaria Lesch.
Pohon ini memiliki batang silinder, tajuk besar, kulit batang berwarna coklat, putih,
atau abu-abu, dengan tekstur halus sampai agak kasar. Ditemukan di Hutan Lindung Kedatu
pada daerah dataran rendah dengan ketinggian 383 m dpl. Pohon ini mengeluarkan getah
berwarna putih berubah warna jika terkena udara (Shi et al., 2010), sangat berbahaya jika
terkena kulit ataupun organ tubuh lainnya karena berdasarkan pengetahuan lokal di Bali
getahnya digunakan sebagai racun. Racun yang dikandungnya sangat kuat sehingga bisa
penyebabkan kematian (Gan et al., 2009)
Alstonia scholaris (L.) R. Br.
Tanaman ini memiliki nama lokal pulai atau pule dan sangat dikenal oleh masyarakat,
karena sering digunakan sebagai peneduh dan elemen taman di daerah perkotaan. Pule yang
berupa pohon besar itu juga merupakan tanaman obat. Bagian yang dimanfaatkan ialah kulit
batangnya (Shang et al., 2010; Misra et al., 2011). Masyarakat Jawa Tengah menyebut jamu
dari kulit batang pulai ini sebagai "babakan pule" (Riswan & Sangat-Roemantyo, 2002). Pohon
ini belum banyak diketahui manfaatnya oleh masyarakat sekitar Hutan Lindung Tandakan.
Dengan perawakan yang besar, pohon ini sangat bermanfaat untuk menahan erosi dan
menyimpan cadangan air disamping berfungsi sebagai tanaman obat.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 188
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
putih kecuali kalus pada labellum berwarna kuning. Sepal bulat telur sampai bulat telur terbalik
(Comber, 2000). Diketemukan pada ketinggian 956 m dpl di kawasan Hutan Lindung Sebau
dipinggiran sungai yang agak terlindung. Perlu upaya pelestarian mengingat jarang sekali
ditemukan di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani maupun pada kawasan Hutan
Lindung disekitarnya. Berpotensi sebagai tanaman hias dengan warna bunga putih sebagai
penghias taman (Kurzweil, 2010).
SIMPULAN
1. Kegiatan eksplorasi flora di kawasan hutan lindung Lombok Timur dan Taman Nasional
Gunung Rinjani telah berhasil mengkoleksi tumbuhan non anggrek sebanyak 241 nomor
yang terdiri dari 67 suku, 119 marga, 241 jenis dan 720 spesimen. Sedangkan koleksi
anggrek sebanyak 19 marga, 74 jenis, 194 spesimen.
2. Dari 241 jenis tumbuhan non anggrek, diperkiran sebanyak 126 jenis merupakan tumbuhan
yang belum dikoleksi oleh Kebun Raya Lombok dan sebagian koleksi lainnya merupakan
penambahan spesimen yang jumlahnya kurang dari lima.
3. Tanaman yang berpotensi hias diantaranya Medinila speciosa, Melastoma malabathricum,
Begonia spp., Hoya sp., Nervilia spp., Bulbophyllum spp., Huperzia sp., dan beberapa jenis
anggrek yang memiliki bunga indah antara lain Spathoglottis plicata, Arundina
graminifolia dan Thrixspermum subulatum.
Saran
1. Diperlukan voucher herbarium yang lebih lengkap untuk indentifikasi sampai ke level
species, khususnya untuk tanaman yang masih berupa anakan.
2. Perlindungan kawasan harus terus dikuatkan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem yang
sudah ada, hal ini dikarenakan beberapa pohon induk dari anakan yang ditemukan sudah
tidak ada.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sherif, E.A., Amer, W., Khodary, S.E.A. & Azmy, W. (2009). Ecological studies on Salix
distribution in Egypt. Asian Journal of Plant Sciences 12(2):1-5.
Badan Pusat Statistik. (2013). Nusa Tenggara Barat dalam angka 2013. Mataram: Badan Pusat
Press.
Carstensen, D.W., Dalsgaard, B., Svenning, J.C., Rahbek, C., Fjelda, J., Sutherland, W.J. &
Olesen, J.M. (2011). Biogeographical modules and island roles: a comparison of
Wallacea and the West Indies. Journal of Biogeography 39(4): 739-749.
Comber, J.B. (2000). Orchids of Java. Kew: Royal Botanic Gardens Press.
Dipokusumo, B., Katodihardjo, H., Darusman, D. & Dharmawan, A.H. (2011). Kajian
dinamika kebijakan hutan kemasyarakatan dan alternatif penyelesaian konflik
kepentingan pada kawasan hutan lindung di Pulau Lombok. Agroteksos 21(2): 165-
176.
Eisenman, S.W., Tucker, A.O. & Struwe, L. (2012). Voucher specimens are essential for
documenting source material used in medicinal plants investigations. Journal of
Medicinally Active Plants 1(1): 30-43.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 189
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gan, Y.J., Mei, W.L., Zhao, Y.X. & Dai, H.F. (2009). A new cytotoxic cardenolide from the
latex of Antiaris toxicaria. Chinese Chemical Letters 20(4): 450-452.
Guarrera, P.M. & Savo, V. (2013). Perceived health properties of wild and cultivated food
plants in local and popular traditions of Italy: A review. Journal of Ethnopharmacology
146: 659-680.
Gunawan, M.W., Sumarno, A., Subarnas, A., Hamid, M. & Asnawi, A. (2011). Sekilas Taman
Nasional Gunung Rinjani. Mataram: Balai Taman Nasional Gunung Rinjani
Kementerian Kehutanan.
Jalaludin, A.A. (2013). Analisis parameter sosio-demografik Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Majalah Ekonomi 23(2): 21-32.
Kementerian Kehutanan. (2012). Buku Statistik Balai Taman Nasional Gunung Rinjani.
Mataram: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Keppel, G., Tuiwawa, M.V., Naikatini, A. & Rounds I.A. (2011). Microhabitat specialization
of tropical rain-forest canopy trees in the Sovi Basin, Viti Levu, Fiji Islands. Journal of
Tropical Ecology 27(5): 491-501.
Khan, M.I., Ahmad, N. & Anis, M. (2011). The role of cytokinins on in vitro shoot production
in Salix tetrasperma Roxb.: a tree of ecological importance. Trees 25, 577-584.
Kimura, K., Yumoto, T., Kikuzawa, K. & Kitayama, K. (2009). Flowering and fruiting
seasonality of eight species of Medinilla (Melastomataceae) in a tropical montane forest
of Mount Kinabalu, Borneo. Tropics 18(1): 35-44.
Kurzweil, H. (2010). A precursory study of the Calanthe group (Orchidaceae) in Thailand.
Adansonia 32(1): 57-107.
Lugrayasa, I.N., Warnata, I.W. & Arinasa, I.B.K (2009). An alphabetical list of plant species
cultivated in Eka Karya Bali Botanic Garden catalogue. Jakarta: LIPI Press.
Magdalena, Lawrence, D., Filer, C., Potter, L. & Resosudarmono, B.P. (2013). Local
management arrangements in Sesaot forest, Lombok, Indonesia. Journal of
Environmental Technology and Management 4(1): 1-21.
Mijnsbrugge, K.V., Bischoff, A. & Smith, B. (2010). A question of origin: where and how to
collect seed for ecological restoration. Basic and Applied Ecology 11(4): 300-311.
Misra, C.S., Pratyush, K., Lipin, D.M.S., James, J., Veettil, A.K.T. & Thamkanami, V. (2011).
A comparative study on phytochemical screening and antibacterial activity of roots of
Alstonia scholaris with the roots, leaves and stem bark. International Journal of
Research in Phytochemistry & Pharmacology 1(2): 77-82.
Monk, K.A., Freetes, Y. & Gayatri, R.L. (2000). Seri Ekologi Indonesia volume V: Ekologi
Nusa Tenggara dan Maluku. Jakarta: PrenHallindo.
Nagakura, Y., Yamanaka, R., Hirasawa, Y., Hosoya, T., Rahman, A., Kusumawati, I., Zaini,
N.C. & Morita, H. (2010). Gaudichaudysolin A, a new limonoid from the bark of
Dysoxylum gaudichaudianum. Heterocycles 80(2): 1-7.
Peneng, I.N & Sujarwo, W. (2011). Pertelaan Morfologi Medinilla spp. di Kebun Raya “Eka
Karya” Bali Dalam Rangka Pengembangan Tanaman Hias. Widyariset 14(3), 497-506.
Riswan, S. &Sangat-Roemantyo, H. (2002). Jamu as traditional medicine in Java, Indonesia.
South Pacific Study 23, 1-10.
Rugayah, Widjaja, E.A. & Pratiwi. (2005). Pedoman pengumpulan data keanekaragaman
flora. Cibinong: Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Shang, J.H., Cai, X.H., Feng, T., Zhao, Y.L., Wang, J.K., Zhang, L.Y……Luo, X.D. (2010).
Pharmacological evaluation of Alstonia scholaris: Anti-inflammatory and analgesic
effects. Journal of Ethnopharmacology 129(2): 174–181.
Shi, L.S., Liao, Y.R., Su, M.J., Lee, A.S., Kuo, P.C., Damu, A.G……Wu, T.S. (2010). Cardiac
glycosides from Antiaris toxicaria with potent cardiotonic activity. Journal of Natural
Products 73(7): 1214-1222.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 190
Seminar Nasional Biosains 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Silvera, P., Schuiteman, A., Vermeulen, J.J., Sousa, A.J., Silva, H., Paiva, J. & de Vogel, D.
(2009). The orchids of Timor: checklist and conservation status. Botanical Journal of
the Linnean Society 157: 197-215.
Suvil, T., Tedersoo, L., Abarenkov, K., Beaver, K., Gerlach, J. & Koljalg, U. (2010).
Mycorrhizal symbionts of Pisonia grandis and P. sechellarum in Seychelles:
identification of mycorrhizal fungi and description of new Tomentella species.
Mycologia 102(3): 522-533.
The plantlist. (2014). The plantlist database. Diakses tanggal 5 Agustus 2014 dari
http://www.theplantlist.org.
Van Welzen, P.C. & Raes, N. (2011). The floristic position of Java. Gardens’ Bulletin
Singapore 63(1): 329-339.
Whitmore, T.C. (1972). Tree flora of Malaya volume I. London: Longman.
Whitmore, T.C. (1973). Tree flora of Malaya volume II. London: Prentice Hall Press.
Yulia, N.D. & Budiharta, S. (2011). Epiphytic orchids and host trees diversity at Gunung
Manyutan Forest Reserve, Wilis Mountain, Ponorogo, East Java. Biodiversitas 12(1):
22-27.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 191
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Lampiran (Appendix) 1. Daftar jenis tanaman yang ditemukan di lokasi penelitian (List of obtained species in the studied areas)
Nama latin Nama daerah Famili Habitus Lokasi Nomer akses
No.
(Scientific name) (Vernacular name) (Family) (Life form) (Site) (Voucher)
1 Actinodaphne glomerata (Blume) Nees Lauraceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090022
2 Adenanthera pavonina L. Gale gending Fabaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090005
3 Adiantum hispidulum Sw. Adiantaceae Tr. Hutan Lindung Tandakan F2013090234
4 Aerides sp. Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Reban Bela F2013090229
5 Aeschynanthus perakensis Ridl. Gesneriaceae Ep. Hutan Lindung Sebau F2013090103
6 Aglaia eximia Miq. Meliaceae T TN. Gunung Rinjani F2013090056
7 Aglaia sp. Meliaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090034
8 Aglaomorpha heraclea Copel. Polypodiaceae Ep. Hutan Lindung Orong F2013090136
9 Alectryon serratus Radlk. Sapindaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090001
10 Alocasia macrorrhizos (L.) G.Don Araceae Sh. Hutan Lindung Reban Bela F2013090231
11 Alstonia scholaris (L.) R. Br. Apocynaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090041
12 Alstonia spectabilis R.Br. Apocynaceae T TN. Gunung Rinjani F2013090049
13 Amaracarpus sp. Rubiaceae Sh. Hutan Lindung Sebau F2013090177
14 Antiaris toxicaria Lesch. Moraceae T Hutan Lindung Kedatu F2013090216
15 Appendicula sp. Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090055
16 Appendicula sp.1 Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Sebau F2013090102
17 Appendicula sp.2 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090154
18 Appendicula sp.3 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090155
19 Appendicula sp.4 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090158
20 Aquilaria malaccensis Lam. Gaharu Thymeliaceae T Hutan Lindung Orong F2013090137
21 Ardisia humilis Vahl Myrsinaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090040
22 Ardisia sp. Myrsinaceae T TN. Gunung Rinjani F2013090044
23 Ardisia sp.1 Myrsinaceae T Hutan Lindung Sebau F2013090089
24 Arenga pinnata (Wurmb) Merr. Arecaceae T Hutan Lindung Bukit Bao Sapit F2013090120
25 Arundina graminifolia (D.Don) Hochr. Orchidaceae Tr. Dasan Erot, Kec. Wanasaba F2013090151
26 Asplenium belangeri Bory Aspleniaceae Ep. Hutan Lindung Tandakan F2013090241
27 Asplenium nidus L. Aspleniaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090084
28 Asplenium normale D. Don Aspleniaceae Ep. Hutan Lindung Sebau F2013090183
29 Asplenium sp. Aspleniaceae Ep. Hutan Lindung Sebau F2013090182
30 Asplenium sp.1 Aspleniaceae Ep. Hutan Lindung Sebau F2013090184
31 Asplenium sp.2 Aspleniaceae Ep. Hutan Lindung Sebau F2013090188
32 Asplenium sp.3 Aspleniaceae Tr. Hutan Lindung Tandakan F2013090232
33 Asplenium sp.4 Aspleniaceae Ep. Hutan Lindung Tandakan F2013090237
34 Asplenium tenerum G. Forst Aspleniaceae Ep. Hutan Lindung Tandakan F2013090233
35 Athyrium sp. Athyriaceae Tr. Hutan Lindung Tandakan F2013090240
36 Athyrium sp.1 Woodsiaceae Tr. Hutan Lindung Tandakan F2013090164
37 Baccaurea sp. Euphorbiaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090009
38 Begonia longifolia Blume Begoniaceae Sh. Hutan Lindung Kedatu F2013090220
39 Begonia sp. Begoniaceae Sh. Hutan Lindung Tandakan F2013090170
40 Bischofia javanica Blume Prabu Euphorbiaceae T Hutan Lindung Orong F2013090130
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 192
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
41 Bulbophyllum flavidiflorum Carr Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Bukit Bao Sapit F2013090122
42 Bulbophyllum lobbii Lindl. Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090052
43 Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl. Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Sebau F2013090195
44 Bulbophyllum sp.1 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090057
45 Bulbophyllum sp.2 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090059
46 Bulbophyllum sp.3 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090066
47 Bulbophyllum sp.4 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090067
48 Bulbophyllum sp.5 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090068
49 Bulbophyllum sp.6 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090071
50 Bulbophyllum sp.7 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090072
51 Bulbophyllum sp.8 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090073
52 Bulbophyllum sp.9 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090076
53 Bulbophyllum sp.10 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090086
54 Bulbophyllum sp.11 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090157
55 Bulbophyllum sp.12 Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Sebau F2013090200
56 Bulbophyllum vaginatum (Lindl.) Rchb.f. Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090069
57 Calanthe sylvatica (Thouars) Lindl.. Orchidaceae Tr. Hutan Lindung Sebau F2013090098
58 Calanthe veratrifolia (Willd.) R.Br.ex.Ker Gawl. Orchidaceae Tr. Hutan Lindung Sebau F2013090180
59 Calophyllum inophyllum L. Calophyllaceae T Hutan Lindung Reban Bela F2013090222
60 Calophyllum soualattri Burm.f. Calophyllaceae T Hutan Lindung Bukit Bao Sapit F2013090117
61 Canarium acutifolium (DC.) Merr. Burseraceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090026
62 Cassia javanica L. Gala gending Fabaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090015
63 Ceratostylis sp. Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Orong F2013090141
64 Chisocheton macrophyllus King Meliaceae T Hutan Lindung Orong F2013090132
65 Chrysophyllum sp. Sapotaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090030
66 Cinnamomum zeylanicum Breyn. Lauraceae T Hutan Lindung Bukit Bao Sapit F2013090118
67 Claoxylon sp. Euphorbiaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090031
68 Cleidion javanicum Blume Memeni Euphorbiaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090025
69 Coelogyne sp. Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090083
70 Colysis sp. Polypodiaceae Ep. Hutan Lindung Tandakan F2013090239
71 Croton morifolius Willd. Euphorbiaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090029
72 Croton sp. Euphorbiaceae T Hutan Lindung Bukit Bao Sapit F2013090111
73 Croton sp.1 Euphorbiaceae T Hutan Lindung Bukit Bao Sapit F2013090112
74 Croton sp.2 Euphorbiaceae T TN. Gunung Rinjani F2013090148
75 Cryptocarya densiflora Blume Lauraceae T Hutan Lindung Sebau F2013090096
76 Curculigo orchioides Gaertn. Liliaceae Sh. Hutan Lindung Orong F2013090134
77 Cyathea sp. Cyatheaceae T Hutan Lindung Bukit Bao Sapit F2013090124
78 Cyclosorus sp. Thelypteridaceae Tr. Hutan Lindung Tandakan F2013090165
79 Cyclosorus sp.1 Thelypteridaceae Tr. Hutan Lindung Tandakan F2013090167
80 Cyclosorus sp.2 Thelypteridaceae Tr. Hutan Lindung Tandakan F2013090236
81 Dendrobium sagittatum J.J.Sm. Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090077
82 Dendrobium sp. Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Bukit Bao Sapit F2013090121
83 Dendrobium sp.1 Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090054
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 193
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 194
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 195
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
169 Malleola sp. Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Bukit Bao Sapit F2013090123
170 Mallotus sp. Lepit Euphorbiaceae T Hutan Lindung Bukit Bao Sapit F2013090109
171 Mangifera sp. Pao gawak Anacardiaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090036
172 Marattia sp. Marattiaceae Tr. Hutan Lindung Sebau F2013090179
173 Medinilla sp. Melastomataceae Cl. Hutan Lindung Orong F2013090135
174 Medinilla speciosa (Reinw. ex Bl.) Bl. Melastomataceae Sh. Hutan Lindung Sebau F2013090178
175 Melastoma malabathricum L. Melastomataceae T TN. Gunung Rinjani F2013090150
176 Melicope latifolia (DC.) T.G. Hartley Rutaceae T Hutan Lindung Sebau F2013090097
177 Microcos sp. Malvaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090033
178 Microsorium punctatum (L.) Copel. Polypodiaceae Ep. Hutan Lindung Gawah Gong F2013090211
179 Mischocarpus sundaicus Blume Sapindaceae T TN. Gunung Rinjani F2013090045
180 Myristica sp. Kayu darah Myristicaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090004
181 Myristica sp.1 Myristicaceae T Hutan Lindung Reban Bela F2013090224
182 Nauclea sp. Rubiaceae T Hutan Lindung Sebau F2013090189
183 Neolitsea sp. Lauraceae T Hutan Lindung Bukit Bao Sapit F2013090119
184 Oberonia similis (Blume) Lindl. Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Sebau F2013090186
185 Oberonia sp. Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Sebau F2013090198
186 Ophioglossum pendulum L. Ophioglossaceae Ep. Hutan Lindung Orong F2013090131
187 Palaquium sp. Sapotaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090011
188 Pandanus sp. Pandanaceae T Hutan Lindung Sebau F2013090104
189 Parinari corymbosa (Blume) Miq. Chrysobalanaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090027
190 Phaius sp. Orchidaceae Tr. Hutan Lindung Sebau F2013090106
191 Phaleria octandra (L.) Baill. Thymeliaceae Sh. Hutan Lindung Kedatu F2013090218
192 Picrasma javanica Blume Simaroubaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090010
193 Pinanga coronata (Blume ex Mart.) Blume Arecaceae T Hutan Lindung Sebau F2013090092
194 Piper sp. Piperaceae Cl. Hutan Lindung Tandakan F2013090171
Pisonia umbellifera (J.R. Forst. & G. Forst.) Embur Nyctaginaceae Hutan Lindung Gawah Gong F2013090205
195 T
Seem
196 Pittosporum sp. Pittosporaceae T TN. Gunung Rinjani F2013090063
197 Platea excelsa Blume Icacinaceae T TN. Gunung Rinjani F2013090042
198 Platea sp. Kason Icacinaceae T Hutan Lindung Bukit Bao Sapit F2013090113
199 Plocoglottis sp. Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Orong F2013090125
200 Polyosma integrifolia Blume Saxifragaceae T TN. Gunung Rinjani F2013090043
201 Pometia pinnata J.R. Forst. & G. Forst. Sapindaceae T Hutan Lindung Sebau F2013090173
202 Pothos sp. Araceae Cl. Hutan Lindung Gawah Gong F2013090202
203 Protium javanicum Burm.f. Kates Burseraceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090007
204 Psilotum nudum (L.) P. Beauv. Psilotaceae Ep. Hutan Lindung Reban Bela F2013090230
205 Pteris sp. Pteridaceae Tr. Hutan Lindung Tandakan F2013090166
206 Rouvolfia sp. Apocynaceae T Hutan Lindung Sebau F2013090088
207 Salix tetrasperma Roxb. Salicaceae T Hutan Lindung Gawah Gong F2013090207
208 Saurauia sp. Saurauiaceae T Hutan Lindung Sebau F2013090087
209 Schefflera actinophylla (Endl.) Harms Araliaceae T TN. Gunung Rinjani F2013090149
210 Sloanea sigun (Blume) K. Schum. Elaeocarpaceae T TN. Gunung Rinjani F2013090050
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 196
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
211 Spathoglottis plicata Blume Orchidaceae Tr. Dasan Erot, Kec. Wanasaba F2013090152
212 Spondias malayana Kosterm Kedondong hutan Anacardiaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090020
213 Stenochlaena sp. Lomariopsidaceae Tr. TN. Gunung Rinjani F2013090147
214 Sterculia foetida L. Kepuh Malvaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090014
215 Sterculia sp. Serangge Sterculiaceae T Hutan Lindung Sebau F2013090172
216 Sterculia sp.1 Sterculiaceae T Hutan Lindung Gawah Gong F2013090203
217 Streblus asper Lour. Prek Moraceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090002
218 Suregada glomerulata (Blume) Baill. Euphorbiaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090038
219 Symplocos sp. Symplocaceae T Hutan Lindung Sebau F2013090093
220 Syzygium polyanthum (Wight) Walp. Jangan Myrtaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090012
221 Syzygium sp. Myrtaceae T TN. Gunung Rinjani F2013090047
222 Syzygium sp.1 Myrtaceae T Hutan Lindung Bukit Bao Sapit F2013090108
223 Syzygium sp.2 Myrtaceae T Hutan Lindung Orong F2013090126
224 Syzygium syzygioides (Miq.) Merr. & L.M.Perry Lungsir Myrtaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090016
225 Syzygium zollingerianum (Miq.) Amshoff Myrtaceae T Hutan Lindung Tandakan F2013090021
226 Tectaria sp. Tectariaceae Tr. Hutan Lindung Tandakan F2013090168
227 Tectaria sp.1 Tectariaceae Tr. Hutan Lindung Sebau F2013090185
228 Thrixspermum sp. Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Orong F2013090139
229 Thrixspermum sp.1 Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Sebau F2013090187
230 Thrixspermum sp.2 Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Sebau F2013090199
231 Thrixspermum subulatum (Blume) Rchb.f. Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Gawah Gong F2013090210
232 Timonius sp. Rubiaceae T Hutan Lindung Reban Bela F2013090227
233 Trema orientalis (L.) Blume Menjrong Cannabaceae T Hutan Lindung Bukit Bao Sapit F2013090110
234 Trichoglottis sp. Orchidaceae Ep. Hutan Lindung Orong F2013090144
235 Trichotosia ferox Blume Orchidaceae Ep. TN. Gunung Rinjani F2013090075
236 Viburnum sp. Caprifoliaceae T Hutan Lindung Sebau F2013090175
237 Vittaria ensiformis Sw Vittariaceae Ep. Hutan Lindung Tandakan F2013090238
238 Voacanga grandifolia (Miq.) Rolfe Apocynaceae T Hutan Lindung Kedatu F2013090215
239 Zanthoxylum ovatifoliolatum (Engl.) Finkelstein Rutaceae T Hutan Lindung Kedatu F2013090217
240 - Orchidaceae Tr. Hutan Lindung Tandakan F2013090163
241 - Polypodiaceae Cl. Hutan Lindung Orong F2013090129
Keterangan (remarks):
T = pohon (tree)
Sh = semak (shrub)
Cl. = merambat (climber)
Ep. = Epifit (epiphytic)
Tr. = Terestrial (terrestrial)
TN. = Taman nasional (national park)
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 197
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Puguh Sujarta
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Cenderawasih Jayapura
ABSTRAK
Sistem Tiyaitiki merupakan bentuk peran serta masyarakat lokal secara tradisional
dalam menjaga kelestarian alam berdasarkan kearifan lokal. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahuipengertian sistem Tiyaitiki danstatus sistem Tiyaitiki dalam kaidah umum sistem
konservasi dalam perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-
Agustus 2013 di masyarakat wilayah pesisir Teluk Tanah Merah Jayapura Papua, metode
sampling dengan metode wawancara (kuisener) dan penelusuran pustaka. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sistem ini merupakan suatu pengetahuan tradisional, sebagai ilmu, dan
merupakan teknologi.Didasarkan dengan kaidah umum sistem ini mempunyai konsep, tujuan,
manfaat, sistem zonasi, dan kelembagaan yang sesuai peraturan perundang-undangan.
Kata kunci :Tiyaitiki, konservasi, kearifan lokal, Teluk Tanah Merah, Jayapura
PENDAHULUAN
Papua sangat kaya akan keanekaragaman hayati dan bersuku ragam dengan kearifan
lokal masing-masing. Peranan masyarakat dalam menjaga keanekaragaman tersebut sangat
diperlukan khususnya masyarakat pesisir. Menurut Hidayati dan Rahardjo(1997) bahwa
masyarakat pesisir, seperti halnya dengan masyarakat tradisional lainnya di daratan,
menggunakan pengetahuan sumberdaya alam mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, biasanya menggunakan pengetahuan tradisional
sebagai guide dalam kegiatan mereka di laut. Dari pengalaman turun temurun, mereka telah
dapat mempertimbangkan keadaan iklim, arus, migrasi burung-burung untuk mendeterminasi
tempat-tempat penangkapan ikan dan biota laut lainnya. Jadi mereka mengetahui dimana
mereka akan menangkap ikan, jenis ikan apa yang banyak dan kapan waktunya. Pengetahuan
seperti itu, memainkan peran yang penting dalam adaptasi mereka dengan lingkungan,
khususnya ekosistem pesisir dan laut.
Pandangan atau sistem pengetahuan demikian mendorong mereka untuk membuat
pranata-pranata sosial tertentu untuk menjaga dan melindungi sumber daya alam agar lestari
pemanfaatannya. Sistem ini dikenal luas oleh masyarakat di berbagai tempat di Tanah Papua,
misalnya di daerah Tabla (Depapre) sistem ini disebut takayetiki, di daerah Biak, Teluk
Cenderawasih dan Kepulauan Raja Ampat dikenal dengan sistem sasi (Mansoben, 2003).
Contohnya pranata sosial yang dilakukan oleh masyarakat Teluk Tanah Merah adalah
Tiyaitiki. Pengertian Tiyaitiki (Tiaitiki) adalah Pengetahuan mengatur, mengelola,
memanfaatkan dan melestarikan sumber daya laut dan pesisir dalam konteks lokal (Yarisetou,
2009). Sistem Tiyaitiki merupakan bentuk peran serta masyarakat lokal secara tradisional
dalam menjaga kelestarian alam berdasarkan kearifan lokal. Penelitian kearifan lokal sangat
menarik kita kaji untuk menguji status kondisi keberadaan dan kekuatan dalam menjaga
kelestarian alam.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengertian sistem Tiyaitiki danstatus sistem
Tiyaitiki dalam kaidah umum sistem konservasi dalam perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 198
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
METODE
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2013 di wilayah pesisir Teluk Tanah
Merah Jayapura Papua, metode sampling dengan metode survey dengan metode wawancara
(kuisener) dan penelusuran pustaka di 2 stasiun yaitu stasiun 1 (pada 02o27’30” - 02o27’40”
Lintang Selatan dan 140o20’35” – 140o20’45’’ Bujur Timur) dan stasiun 2 (pada 02o25’27” -
02o25’37” Lintang Selatan dan 140o22’00” – 140o22’10’’ Bujur Timur).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 199
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tebing karang, naumuso wilayah yang berbatasan dengan wilayah terumbu karang hingga laut
dalam, betanau laut lepas yang dikelola dalam waktu tertentu (Mansay, 2003).
Istilah Tiayitiki budaya perlindungan sumberdaya alam laut masyarakat Defonsero
utara merupakan konsep pembagian wilayah laut dan darat disertai dengan aturan-aturan dan
larangannya. Membagi wilayah laut dalam 3 bagian yaitu 1). Wilayah sekare merupakan
wilayah pantai yang dimiliki oleh keret-keret tertentu, 2). Wilayah naukoti merupakan wilayah
laut yang dimiliki bersama-sama dan berada dekat pantai hingga sebelum laut bebas, dan 3).
Wilayah naukura merupakan wilayah laut lepas dan bebas bagi siapa saja. Tiayitiki juga
merupakan peraturan adat yang mempunyai peranan penting dalam memulai upacara-upacara
adat seperti pesta rakyat dalam pelantikan Ondoafi baru, mengenang arwah leluhur, pesta
perkawinan, dan upacara peresmian rumah baru. Oleh karena itu, masyarakat Defonsero utara
khususnya kampung Tablanusu menyebut dengan Tiayitiki Sekare (Anonim, 2003).
Istilah Tiyaitiki pada Masyarakat Suku Tepra khususnya masyarakat Kampung
Tablasupa suatu kearifan masyarakat tentang sistem pengelolaan sumberdaya alam merupakan
suatu upaya perlindungan biota laut dan ekosistemnya pada suatu luasan laut selama waktu
tertentu. Pengambilan biota laut di dalam kawasan yang dilarang sampai waktu Tiyaitiki
dibuka. Pelaksanaan pembukaan Tiyaitiki biasanya dilakukan apabila seorang Ondoafi
meninggal atau kepentingan sosial lainnya seperti pembangunan gereja. Potensi darat yang
juga biasa dilindungi atau dikenakan aturan Tiyaitiki seperti pinang, kelapa, dan sagu (Anonim,
2004). Pengertian Tiyaitiki merupakan kearifan lokal melarang masyarakat masuk ke suatu
lokasi yang diberlakukan penutupan baik di darat maupun di laut. Di darat, tanah mempunyai
batas hak individu, hak komunitas, dan hak kampung. Di laut, hanya ada hak komunitas dan
hak kampung sedangkan hak individu tidak ada. Oleh sebab itu, yang melakukan Tiyaitiki
adalah Kepala Keret atau orang yang ditunjuk oleh Keret yang mempunyai lokasi (Serontou,
2005).
Istilah Tiaitiki istilah bahasa lokal (Tabla/Yokari) berarti ”menutup/tutup”, ini
dimaksud mengandung unsur larangan atau hukum dalam wujud sanksi fisik, dan sanksi non
fisik (magis). Pemaknaan Tiaitiki diformulasikan lebih luas pengertiannya adalah
”Pengetahuan mengatur”. Konsep Tiaitiki yaitu pengetahuan mengatur, mengelola,
memanfaatkan dan melestarikan sumber-sumber daya laut dan pesisir dalam konteks lokal,
sebagai konsep altenatif, pengetahuan Tiaitiki ini serupa dengan konsep konservasi. Pembagian
wilayah laut pesisir meliputi akadame, bagian laut dari batas surut air laut sampai batas air
pasang, kia-kia bagian laut yang berada antara akadame dan nau koti, nau koti bagian laut yang
berada antara kia-kia dan beta nau, dan beta nau bagian laut yang berada dekat laut lepas.
Ketiga wilayah akadame, kia-kia, nau koti merupakan wilayah hak ulayat adat, wilayah inilah
Tiaitiki diberlakukan (Yarisetou, 2008).
Istilah Tiyatiki seperti sasi atau pelarangan menangkap ikan selama beberapa waktu
untuk dan kebiasaan dalam menjaga serta melestarikan laut. Dalam upacara Tiyatiki terdapat
beberapa pentahapan dalam pelaksanaannya yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, serta
tahap pembukaan dan penutupan. Perencanaan Tiyatiki terjadi karena sebuah peristiwa seperti
ada Ondoafi atau Kepala Suku atau Keret meninggal dunia, pelantikan Ondoafi dan peresmian
rumah baru. Selain itu, konsep Tiyatiki untuk menentukan batas wilayah laut. Masyarakat
membagi wilayah laut meliputi daerah pinggir laut disebut borotu merupakan daerah tangkapan
ikan di pinggir pantai (daerah batas pantai) dan batas air surut. Wilayah ini dikuasai keret
tertentu yang ditetapkan secara turun temurun. Kedua adalah wilayah Tiyatiki merupakan
wilayah pelarangan tangkap ikan karena diberlakukan penutupan dalam kurun waktu tertentu.
Berikutnya adalah wilayah akatu merupakan daerah terumbu karang pada batas air surut hingga
ke tebing karang, wilayah yang dikuasai keret tertentu dan diberlakukan Tiyatiki. Wilayah kota
merupakan wilayah laut dalam sesuai batas kampung, dikuasai oleh masyarakat kampung
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 200
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
setempat. Dan wilayah beta meliputi wilayah laut bebas yang diperuntukkan oleh siapapun
(Anonim, 2011b; 2011c).
Berdasarkan uraian istilah di atas menunjukkan bahwa Tiyaitiki dapat dikatakan sebagai
suatu sistem konservasi, alasannya mempunyai konsep, tujuan, sistem atau lembaga yang jelas,
dan mengenal sistem zonasi dalam upaya melindungi sumberdaya alam. Hal ini sesuai
pendapat Laksono dan Ali (1995), bahwa praktek hak ulayat laut tidak dapat dipisahkan dari
masalah eksklusivitas wilayah penangkapan yang dimiliki oleh suatu unit sosial tertentu dan
didasarkan pada aspek hukum adat. Berbagai pendapat tentang Tiyaitiki yang telah dijelaskan
didepan yang dapat diartikan secara garis besar bahwa pengetahuan Tiyaitiki termasuk bentuk
kearifan lokal dalam menjaga dan melindungi sumberdaya alam di laut, dipayungi Undang-
Undang RI No. 27 Tahun 2007 pasal 61 menyatakan Pemerintah mengakui, menghormati, dan
melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan lokal atas
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun temurun.
Menurut Undang-Undang RI Nomer 1Tahun 2014, kearifan lokal adalah nilai-nilai
luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Hasil kajian terhadap kearifan
lokal tersebut menunjukkan bahwa Tiyaitiki dapat digolongkan sebagai suatu Sistem
Konservasi. Alasannya bahwa kearifan lokal tersebut sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan RI Nomer 02 Tahun 2009 Bab I Pasal I bahwa kawasan konservasi perairan adalah
kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan
pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.
Peran serta masyarakat di sekitar teluk cukup besar dalam pelaksanakan sistem
konservasi Tiyaitiki berdasarkan persepsi masyarakat terhadap konsep alam. Pertama,
didasarkan atas konsep dasar mengenai pandangan masyarakat tentang alam yang disimbolkan
sebagai seorang ibu (Anonim,2003), sumberdaya sebagai air susu ibu (Mansay,2003) atau
diibaratkan sebagai mama, ibu atau wanita (Yarisetouw,2008). Kedua, adanya Praktek hak
ulayat laut yang dilakukan oleh masyarakat tersebut memiliki fungsi sosial berkaitan dengan
aspek solidaritas sosial antar warga. Pandangan tersebut menurut Keraf (2002) bahwa kearifan
lokal atau tradisional merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia
untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak
khususnya di bidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam.
Berdasarkan hasil survei kepada masyarakat yang berada di dua kampung baik secara
formal maupun non formal menunjukkan bahwa kearifan lokal Tiyaitiki masih dimiliki oleh
masyarakat sekitar teluk. Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat mengetahui,
memahami, dan mampu menjelaskan tentang konsep Tiyaitiki, kecuali pada anak-anak SD dan
SMP mengatakan mengetahui, namun tidak mampu menjelaskan pengetahuan Tiyaitiki secara
jelas. Hasil kuisener dapat dibaca pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil kuisener kepada masyarakat
Menjawab
No. Pertanyaan
Ya Tidak
1. Mengerti tentang ekosistem terumbu karang, ikan, dan teripang 100 % 0
2. Mengerti tentang keragaman karang 23 % 77 %
3. Mengerti tentang kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Teluk Tanah Merah 31 % 69 %
4. Mengerti tentang keragaman ikan 100 % 0
5. Mengerti tentang kondisi perikanan di perairan Teluk Tanah Merah 40 % 60 %
6. Mengerti tentang keragaman teripang 29 % 71 %
7. Mengerti tentang kondisi teripang di perairan Teluk Tanah Merah 26 % 74 %
8. Mengerti tentang kearifan lokal Tiyaitiki 75 % 25 %
9. Mengerti tentang Tiyaitiki untuk terumbu karang, ikan, dan teripang 75 % 25 %
10. Mengerti tentang sistem konservasi 32 % 68 %
11. Mengerti tentang sistem konservasi Tiyaitiki, tujuan dan manfaatnya 52 % 48 %
12. Mengerti tentang kondisi perairan kondisi kualitas perairan Teluk Tanah Merah 35 % 65 %
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 201
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Menurut Tabel 1, menunjukkan bahwa masyarakat mengetahui sistem ini dan sangat
setuju jika dijadikan sebagai suatu sistem konservasi dengan tujuan melindungi dan
melestarikan sumberdaya alam yang ada di perairan teluk.
Status kondisi sistem Tiyaitiki dapat dikaji melalui pendekatan biologi yaitu dengan
meneliti sumberdaya alam yang masih dijumpai, mengukur kondisi ekologinya, dan
menentukan nilai kualitas perairannya yang dibandingkan dengan peraturan perundangan yang
berlaku di Indonesia. Disamping itu perlu dikaji status kondisi dengan membandingkan
peraturan tersebut dengan konsep-konsep pengetahuan seperti yang dijelaskan dalam tabel di
bawah ini.
Tiyaitiki adalah suatu pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat
sebagai suatu sistem konservasi yang berbasis kearifan lokal. Hal demikian dapat diartikan
bahwa Tiyaitiki adalah suatu pengetahuan, namun secara tidak sadar yang dilakukan oleh
Masyarakat Adat dapat dikatakan Tiyaitiki sebagai ilmu. Alasannya, karena kearifan lokal ini
sesuai peraturan perundang-undangan dan sesuai hasil kajian pendekatan biologi yang
dikatakan bahwa kualitas perairan masih baik. Kedua alasan tersebut dapat dikatakan bahwa
Tiyaitiki sebagai ilmu pengetahuan.
Selain hal itu, dalam pelaksanaan Tiyaitiki juga menggunakan teknologi dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu contoh penggunaan alat tangkap yang ramah
lingkungan. Oleh karena itu, Tiyaitiki selain sebagai ilmu pengetahuan juga mencirikan suatu
teknologi sehingga kearifan lokal Tiyaitiki dapat dikatakan sebagai IPTEK. Sebagai sebuah
IPTEK kearifan lokal Tiyaitiki perlu dikembangkan dan dilestarikan untuk menjadi sebuah
aturan tertulis dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dalam hal ini upaya penguatan Tiyaitiki
mempunyai aturan tertulis menjadi sebuah prosedur operasional standar. Dengan adanya
prosedur operasional standar kearifan lokal Tiyaitiki dapat dipertahankan keberadaannya dan
diterapkan di wilayah perairan yang lain.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 202
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Sistem Tiyaitiki merupakan pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh Masyarakat di
kawasan Teluk Tanah Merah Depapre Jayapura sebagai suatu Sistem Konservasi yang
berbasis kearifan lokal yang secara ilmiah sesuai dengan kaidah umum konservasi
(peraturan perundang-undangan) yaitu pengelolaan, pemanfaatan, dan pelestarian
sumberdaya alam pembagian wilayah (zonasi) walaupun tidak tertulis.
2. Sistem Tiyaitiki dapat dikatakan sebagai IPTEKperlu dikembangkan dan dilestarikan untuk
menjadi sebuah aturan tertulis dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dalam hal ini upaya
penguatan Tiyaitiki mempunyai aturan tertulis menjadi sebuah prosedur operasional standar.
Dengan adanya prosedur operasional standar kearifan lokal Tiyaitiki dapat dipertahankan
keberadaannya dan diterapkan di wilayah perairan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000, Studi Penelitian tentang Sistem Kepemilikan, Daya Tahan Konflik dan Intervensi
Pembangunan Pada Suku Bangsa Tepera, Yemena Kecamatan Depapre Kabupaten Jayapura,
Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa, Jayapura.
Anonim, 2003, Tiayitiki Sekare : Sebuah Dokumentasi Tentang Budaya Perlindungan Sumberdaya
Alam Laut Masyarkat Defonsero Utara, Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup Cycloop,
Jayapura.
Anonim, 2004, Pemetaan Sebagai Alat Dalam Penyusunan Program Pengelolaan Sumber Daya Alam
Yang Berbasis Masyarakat Di Desa Tablasupa Kecamatan Depapre Kabupaten Jayapura Papua,
Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2011b, Upacara Tiyatiki Model Konservasi Tradisional Papua, http://mampioper.word.-
press.com/2008/06/05/upacara-tiyatiki-model-konservasi-tradisional-papua/Diakses 08.12. 2011
Anonim, 2011c, Upacara Adat Tiyatiki , http://tempatwisataindonesia.com/wisata-budaya/upacara-
adat-tiyatiki.html, Diakses tanggal 8 Desember 2011.
Anonim, 2014, Laut Indonesia dalam krisis, http://www.greenpeace.org.seasia.id., diakses 14.01.2015.
Hidayati, D. dan Y. Rahardjo, 1997, Kearifan Lokal : Relevansi dan Manfaat untuk COREMAP,
Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia, Jakarta.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.4 Tahun 2001, tentang Kriteria
Baku Kerusakan Terumbu Karang.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.51 Tahun 2004, tentang Baku
Mutu Air Laut.
Keraf, S.A., 2002, Etika Lingkungan, Penerbit Kompas, Jakarta.
Mansay, A., 2003, Konservasi Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hayati Menurut Masyarakat Adat Di
Papua, Naskah Seminar : Konservasi Sumberdaya Hayati Berbasis Kearifan Masyarakat Papua,
Unit Kerjasama Uncen-Goettingen University Germany. Jayapura. Unpublished.
Mansoben, J.R., 2003, Konservasi Sumber Daya Alam Papua Ditinjau Dari Aspek Budaya, Jurnal
Antropologi Papua, Vol.2 No.4 hal 1-12, Uncen, Jayapura.
Panjaitan, P., 2007, Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat, JurnalVISI (2007) 15 (3) 273
-288.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.2 Tahun 2009, tentang Tata Cara
Penetapan Kawasan Konservasi Perairan.
Serontou, J. 2005, Tiyaitiki menurut kearifan lokal masyarakat kampung Tablasupa, Naskah Lokakarya
Konservasi Perairan, Diselenggarakan oleh Unit Kerjasama Uncen- Goettingen University pada
tanggal 29 Nopember- 3 Desember 2005, Jayapura.
Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 2014, Perubahan Atas Undang-Undang Nomer 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Yarisetou, W., 2009, Tiaitiki Konsep dan Praktek, Arika Publisher, Jayapura.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 203
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ABSTRAK
Penyakit kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycrobacterium leprae (M. leprae). Menurut World Health Organization (WHO) jumlah kasus
kusta di dunia pada tiga bulan pertama di tahun 2013 sebanyak 189.018 kasus sedangkan di
Indonesia terdapat 23.554 kasus baru pada tahun 2012. Kejadian kasus baru di Kabupaten
Cirebon pada tahun 2013 ditemukan 237 penderita dengan prevalensi 1 per 10.000 penduduk.
Pada tahun 2014 ditemukan 224 penderita dengan prevalensi 0,94 per 10.000 penduduk. Pada
tahun 2015 triwulan I ditemukan 72 penderita dengan prevalensi 0,31 per 10.000 penduduk.
Penelitian bertujuan mengetahui faktor kondisi fisik rumah dengan kejadian penyakit kusta di
Kabupaten Cirebon tahun 2013-2015 berdasarkan ventilasi, dinding, lantai, dan kepadatan
hunian. Jenis penelitian adalah observasional analitik dengan pendekatan case control study.
Estimasi jumlah sampel minimal dihitung berdasarkan rumus Lemeshow. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh penderita kusta di wilayah kerja puskesmas di Kabupaten
Cirebon. Sampel kasus adalah penderita kusta dan sampel kontrol adalah tetangga kasus yang
bukan penderita kusta. Besar sampel sebanyak 138 responden, terdiri dari 46 kasus dan 92
kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ventilasi (OR=3,024;95% CI:1,34-6,81), lantai
(OR=6,11;95% CI:1,79-20.75) dan kepadatan hunian (OR=2,97;95% CI:1,40-6,298)
merupakan faktor risiko sedangkan variabel dinding (OR=2,91;95% CI:1,06-7,99) merupakan
faktor risiko namun tidak bermakna secara statistik. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa
variabel ventilasi, lantai dan kepadatan hunian merupakan faktor risiko kejadian penyakit
kusta.
PENDAHULUAN
Penyakit kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae (M. leprae). Pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo
endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-
negara yang sedang berkembang. Sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam
memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan
sosial ekonomi pada masyarakat.(1),(2)
Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian
petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan
yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Kemajuan teknologi di bidang
promotif, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta, maka
penyakit kusta sudah dapat diatasi dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Akan tetapi mengingat kompleknya masalah penyakit kusta, maka diperlukan
program pengendalian secara terpadu dan menyeluruh melalui startegi yang sesuai dengan
endemisitas penyakit kusta. Selain itu juga harus diperhatikan rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup mantan penderita kusta.(3)
Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) melaporkan jumlah kasus
penderita kusta di dunia pada tiga bulan pertama di tahun 2013 terdaftar sebanyak 189.018
kasus sementara jumlah kasus baru yang terdeteksi pada tahun 2012 sebanyak 232.857 kasus.(4)
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 204
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Pada tahun 2012 Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(Ditjen PP&PL) Kemenkes RI melaporkan di Indonesia terdapat jumlah kasus baru kusta
sebanyak 23.554 kasus.(5)
Selama periode 2008-2013, angka penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013
merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka
prevalensi kusta berkisar antara 7,9 hingga 9,6 per 100.000 penduduk dan telah mencapai target
< 10 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2013 dilaporkan 16.856 kasus baru kusta, lebih rendah
dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 18.994 kasus. Sebesar 83,4% kasus diantaranya
merupakan tipe Multi Basiler. Sedangkan menurut jenis kelamin 35,7% penderita berjenis
kelamin perempuan.(6)
Tercatat sebanyak 14 provinsi (42,4%) termasuk dalam beban kusta tinggi. Sedangkan
19 provinsi lainnya (57,6%) termasuk dalam beban kusta rendah. Hampir seluruh provinsi di
bagian timur Indonesia merupakan daerah dengan beban kusta tinggi. Angka cacat tingkat II
pada tahun 2013 sebesar 6,82 per 1 juta penduduk, menurun dibanding tahun sebelumnya yang
sebesar 8,71 per 1 juta penduduk. Provinsi dengan angka cacat tingkat II per 1 juta penduduk
tertinggi pada tahun 2013 yaitu Papua (26,88), Aceh (18,62) dan Papua Barat (17,72).(6)
WHO telah mengeluarkan strategi global untuk terus berupaya menurunkan beban
penyakit kusta dalam: '''Enhanced global strategy for futher reducing the disease burden due
to leprosy 2011 - 2015".(1) Indonesia telah mencapai eliminasi pada tingkat nasional karena
prevalensi kurang dari 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000, dimana target yang ditentukan
adalah penurunan sebesar 35% kusta pada akhir tahun 2015.
Sebuah penelitian tentang Kusta di Kabupaten Pemalang yang merupakan daerah
dengan endemik kusta tinggi (PR>1/10.000 penduduk) dengan (CDR=0,5 per 10.000
penduduk). Adapun variabel yang teliti yaitu jenis lantai rumah, luas ventilasi kamar tidur dan
ruang keluarga, pencahayaan alami dalam kamar tidur dan ruang keluarga, kelembaban kamar
tidur dan ruang keluarga, suhu kamar tidur dan ruang keluarga dan kepadatan hunian kamar
tidur. Kesimpulan dari penelitian ini adalah variabel yang berpengaruh terhadap kejadian kusta
yaitu jenis lantai rumah.(7)
Penelitian lain tentang kodisi fisik rumah penderita Kusta di wilayah kerja Puskesmas
Nuangan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur menunjukkan distribusi tertinggi untuk luas
ventilasi ruang tamu berada pada ruang tamu yang memenuhi syarat sebanyak 7 (70%)
sedangkan ventilasi ruang tamu tidak memenuhi syarat sebanyak 3 (30%). Selain itu, luas
ventilasi kamar tidur yang paling banyak di temukan di rumah penderita yaitu berada pada
ventilasi tidak memenuhi syarat sebanyak 6 (60%) Sedangkan untuk ventilasi rumah
memenuhi syarat sebanyak 4 (40%). Dampak dari ventilasi yang tidak memenuhi syarat yaitu
pertukaran oksigen didalam rumah dapat berkurang sehingga dapat menyebabkan penyakit
yang dapat menular lewat udara tertular dengan orang serumah dengan penderita. Adanya
ventilasi yang digunakan sesuai peruntukannya maka sinar matahari serta udara dapat masuk
sehingga dapat mencegah pertumbuhan bakteri.(8)
Blum mengatakan bahwa lingkungan merupakan faktor penyumbang terbesar kejadian
penyakit, kemudian perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik.(9) Lingkungan dapat menjadi
tempat berkembangbiaknya berbagai bakteri, termasuk bakteri kusta. Kondisi rumah
merupakan bagian dari lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi kesehatan individu dan
masyarakat. Rumah yang menjadi tempat tinggal harus memenuhi syarat kesehatan seperti
ventilasi rumah yang baik, kepadatan rumah yang sesuai dan lantai rumah yang terbuat bukan
dari tanah.
Perlunya kondisi fisik rumah yang memenuhi syarat kesehatan agar dapat mencegah
penyebaran M. leprae di lingkungan. Kondisi fisik rumah mencakup jenis bahan bangunan
rumah seperti jenis dinding dan lantai. Jenis bahan bangunan rumah akan mempengaruhi
jumlah debu dalam rumah, M. leprae juga dapat bertahan hidup ditanah hingga 46 hari.(10)
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 205
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Kepadatan hunian juga menjadi faktor risiko penularan penyakit kusta, hal ini disebabkan
karena penderita akan banyak kontak dengan non penderita sehingga akan menyebabkan
menularnya penyakit kusta ke anggota keluarga yang lain.(11)
Kabupaten Cirebon merupakan salah satu dari Kabupaten yang ada di Jawa Barat yang
tingkat prevalensi kustanya masih di atas 1 per 10.000 penduduk. Pada tahun 2011
prevalensinya 1,16 per 10.000 penduduk, jumlah penderita 322, ditemukan kasus kusta tipe
MB (Multy Basiller) sebanyak 287 dengan rincian laki-laki 194 kasus dan perempuan 93 kasus.
Pada kusta tipe PB (Pausy Basiller) sebanyak 35 kasus dengan rincian laki-laki sebanyak 15
kasus dan perempuan 20 kasus. Sedangkan tahun 2012 ditemukan 308 penderita dengan
prevalensi 1,3 per 10.000 penduduk, pada tahun 2013 ditemukan 237 penderita dengan
prevalensi 1 per 10.000 penduduk, pada tahun 2014 ditemukan 224 penderita dengan
prevalensi 0,94 per 10.000 penduduk dan pada tahun 2015 triwulan I ditemukan 72 penderita
dengan prevalensi 0,31 per 10.000 penduduk.(12)
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik rumah dengan kejadian kusta. Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Faktor kondisi fisik
rumah apa saja yang berhubungan dengan kejadian kusta di 3 Puskesmas Kabupaten Cirebon
tahun 2013-2015 ?
METODE
Variabel Penelitian
Variabel adalah karakteristik subjek penelitan yang berubah dari satu subjek ke subjek
lainnya, sehingga veriabel dapat pula disebut karakteristik suatu benda atau objek. Menurut
fungsinya dalam konteks penelitian secara keseluruhan dalam hubungan antar variabel terdapat
beberapa jenis yaitu :
1. Variabel Dependen (terikat)
Variabel dependen atau variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel
independen (bebas). variabel dependen pada penelitian ini adalah kejadian kusta di wilayah
kerja puskesmas Kabupaten Cirebon
2. Variabel Independen (bebas)
Variabel Independen atau variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi. Variabel
independen dalam penelitian ini adalah faktor kondisi fisik rumah yang meliputi ventilasi,
dinding, lantai, kepadatan hunian.(21)
Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional analitik.
Pendekatan waktu yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan retrospektif yaitu
mengkaji penderita kusta dengan kondisi fisik rumah untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian kusta. Alasan dilakukannya case control karena adanya data
yang menunjukan bahwa pada tahun 2013 ditemukan 237 penderita, pada tahun 2014
ditemukan 224 penderita dan pada tahun 2015 triwulan I ditemukan 72 penderita di Kabupaten
Cirebon
Berdasarkan perhitungan diperoleh jumlah kasus di ambil dari perhitungan yaitu 46
responden. Untuk menjaga validitas hasil penelitian perbandingan kasus dan kontrol adalah 1
: 2, sehingga responden yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 46 responden untuk kasus
dan 92 responden untuk kontrol sehingga jumlah seluruhnya 138 responden. Teknik
pengambilan sampel menggunakan Proposional Random Sampling Dalam penelitian ini
sampel diambil dari puskesmas yang memiliki prevalensi tinggi sampai mencukupi jumlah
sampel yang dibutuhkan. Puskesmas Sendang 8 penderita, Puskesmas Kedaton 27 penderita
dan Puskesmas Astana Langgar 11 penderita kusta. Pengumpulan data dalam penelitian ini
diperoleh dari 2 (dua) sumber data, sebagai berikut:
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 206
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner
kepada penderita kusta
2. Data sekunder, yaitu data kejadian kusta yang diperoleh dari profil Dinas Kesehatan
Kabupaten Cirebon .
Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen penelitian adalah suatu alat untuk mengukur variabel yang kita teliti. Jenis
instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner. Kuesioner disusun untuk
mendapatkan karakteristik responden variabel dependen yaitu Penyakit kusta dan variabel
indevenden yaitu kondisi fisik rumah yang meliputi : ventilasi, dinding, lantai, kepadatan
hunian.
Tabel 3.2 menunjukan pada kelompok kasus, variabel ventilasi rumah yang tidak
memenuhi syarat dan kepadatan hunian yang padat memiliki persentase lebih besar dari pada
variabel ventilasi rumah yang memenuhi syarat dan kepadatan hunian yang tidak padat, kecuali
variabel dinding dan lantai yang tidak memenuhi syarat memiliki persentase lebih rendah.
Sebaliknya pada kelompok kontrol variabel dinding, lantai yang memenuhi syarat dan
kepadatan hunian yang tidak padat memiliki persentase yang lebih besar kecuali pada variabel
ventilasi yang memenuhi syarat memiliki persentase lebih kecil.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 207
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 3.2 menunjukan variabel ventilasi yang tidak memenuhi syarat pada kelompok
kasus lebih banyak (78,3%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (54,3%). Sedangkan
variabel ventilasi yang memenuhi syarat pada kelompok kasus lebih sedikit (21,7%)
dibandingkan dengan kelompok kontrol (45,7%). Variabel dinding yang tidak memenuhi
syarat pada kelompok kasus lebih banyak (21,7%) dibandingkan dengan kelompok kontrol
(8,7%). Sedangkan variabel dinding yang memenuhi syarat pada kelompok kasus lebih sedikit
(78,3%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (91,3%).
Variabel lantai yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kasus lebih banyak (21,7%)
dibandingkan dengan kelompok kontrol (4,3%). Sedangkan variabel lantai yang memenuhi
syarat pada kelompok kasus lebih sedikit (78,3%) dibandingkan dengan kelompok kontrol
(95,7%). Variabel kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat ( padat ) pada kelompok
kasus lebih banyak (69,6%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (43,5%). Sedangkan
variabel kepadatan hunian yang memenuhi syarat ( tidak padat ) pada kelompok kasus lebih
sedikit (30,4%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (56,5%).
Analisis Bivariat
Hubungan Antara Kondisi Ventilasi Rumah dengan Kejadian Kusta
Tabel 3.3 Tabel Analisis Kondisi Ventilasi Rumah dengan Kejadian Kusta
Kejadian Kusta
Total
Kasus Kontrol OR
Ventilasi
% Cl 95%
N % N N %
1.Tidak memenuhi syarat 36 78,3 50 54,3 86 62,3 3,024
2.Memenuhi syarat 10 21,7 42 45,7 52 37,7 1,343-6,810
Jumlah 46 100 92 100 138 100
p-value 0,011
Berdasarkan tabel 3.3 diperoleh informasi data responden bahwa dari 86 responden
yang memiliki kondisi ventilasi rumah tidak memenuhi syarat sebanyak 36 responden (78,3%)
diantaranya mengalami kejadian kusta, sedangkan dari 52 responden yang memiliki kondisi
ventilasi rumah yang memenuhi syarat sebanyak 10 responden (21,7%) diantaranya
mengalami kejadian kusta.
Hasil analisis uji statistik menunjukan p-value sebesar 0,011 < 0,05 atau ada hubungan
antara ventilasi rumah dengan kejadian kusta. Hasil OR sebesar 3,024 dengan Cl 95% 1,343-
6,810. Hal ini menunjukan bahwa kejadian kusta pada rumah responden dengan ventilasi yang
tidak memenuhi syarat memiliki risiko 3 kali dibandingkan dengan rumah responden yang
memiliki ventilasi yang memenuhi syarat.
Hubungan Antara Kondisi Dinding Rumah dengan Kejadian Kusta.
Tabel 3.4 Tabel Analisis Kondisi Dinding Rumah dengan Kejadian Kusta
Kejadian Kusta
Total OR
Dinding Kasus Kontrol
Cl 95%
N % N % N %
1.Tidak memenuhi syarat 10 21,7 8 8,7 18 13 2,917
2.Memenuhi syarat 36 78,3 84 91,3 120 87 1,064-7,995
Jumlah 46 100 92 100 138 100
p-value 0,061
Berdasarkan tabel 3.4 diperoleh informasi data responden bahwa dari 18 responden
yang memiliki kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 10 responden
(21,7%) diantaranya mengalami kejadian kusta, sedangkan dari 120 responden yang memiliki
kondisi dinding rumah yang memenuhi syarat sebanyak 36 responden (78,3%) diantaranya
mengalami kejadian kusta.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 208
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Hasil analisis uji statistik menunjukan p-value sebesar 0,061 > 0,05 hal ini menunjukan
bahwa kejadian kusta pada rumah dengan dinding yang tidak memenuhi syarat tidak ada
hubungan yang signifikan. Hasil OR sebesar 2,917 dengan Cl 95% 1,064-7,995. Hal ini
menunjukan secara substansi bahwa kejadian kusta pada rumah responden dengan dinding
yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 3 kali dibandingkan dengan rumah responden
yang memiliki dinding yang memenuhi syarat.
Hubungan Antara Kondisi Lantai Rumah dengan Kejadian Kusta.
Tabel 3.5 Tabel Analisis Kondisi Lantai Rumah dengan Kejadian Kusta
Kejadian Kusta
Total OR
Lantai Kasus Kontrol
Cl 95%
N % N % N %
1.Tidak memenuhi syarat 10 21,7 4 4,3 14 10,1 6,111
2.Memenuhi syarat 36 78,3 88 95,7 124 89,9 1,799-20,754
Jumlah 46 100 92 100 138 100
p-value 0,003
Berdasarkan tabel 3.5 diperoleh informasi data responden bahwa dari 14 responden
yang memiliki kondisi lantai rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 10 responden
(21,7%) diantaranya mengalami kejadian kusta, sedangkan dari 124 responden yang memiliki
kondisi lantai rumah yang memenuhi syarat sebanyak 36 responden (78,3%) diantaranya
mengalami kejadian kusta.
Hasil analisis uji statistik menunjukan p-value sebesar 0,003 < 0,05 atau ada hubungan
antara lantai rumah dengan kejadian kusta. Hasil OR sebesar 6,111 dengan Cl 95% 1,799-
20,754. Hal ini menunjukan bahwa kejadian kusta pada rumah responden dengan lantai yang
tidak memenuhi syarat memiliki risiko 6 kali dibandingkan dengan rumah responden yang
memiliki lantai yang memenuhi syarat.
Hubungan Antara Kepadatan Hunian dengan Kejadian Kusta.
Berdasarkan tabel 3.6 diperoleh informasi data responden bahwa dari 72 responden
yang memiliki kepadatan hunian rumah yang tidak memenuhi syarat (padat) sebanyak 32
responden (69,6%) diantaranya mengalami kejadian kusta, sedangkan dari 66 responden yang
memiliki kepadatan hunian rumah yang memenuhi syarat (tidak padat) sebanyak 14 responden
(30,4%) diantaranya mengalami kejadian kusta.
Hasil analisis uji statistik menunjukan p-value sebesar 0,007 < 0,05 atau ada hubungan
antara kepadatan rumah dengan kejadian kusta. Hasil OR sebesar 2,971 dengan Cl 95% 1,402-
6,298. Hal ini menunjukan bahwa kejadian kusta pada kepadatan hunian rumah yang tidak
memenuhi syarat (padat) memiliki risiko 3 kali dibandingkan dengan rumah responden yang
memiliki kepadatan hunian yang memenuhi syarat (tidak padat).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 209
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Pembahasan
Hubungan antara kondisi ventilasi rumah dengan kejadian kusta
Kondisi fisik rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat lebih banyak
mengalami kejadian kusta (78,3%). Secara statistik bermakna ( p-value (0,011) < (0,05) :CI
95% :1,343-6,810) atau ada hubungan antara kondisi ventilasi rumah dengan kejadian kusta.
Kejadian kusta dengan kondisi ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko
3 kali dibandingkan dengan kondisi ventilasi rumah yang memenuhi syarat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar (78,3%) kondisi ventilasi rumah
yang tidak memenuhi syarat mengalami kejadian kusta. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Faturahman di dapatkan hasil ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian kusta yaitu
responden yang memiliki ventilasi kurang baik memiliki risiko 4,33 kali lebih besar untuk
terjadinya penyakit kusta dibandingkan dengan responden yang memiliki ventilasi baik.(18)
Sejalan hasil penelitian Adwan bahwa kepemilikan luas ventilasi yang paling banyak
dimiliki responden adalah responden yang memiliki luas ventilasi <10% dari luas lantai rumah
yaitu sebanyak 133 responden (79,9%), hasil uji Odds Ratio yang dilakukan dalam penelitian
ini terhadap variabel ventilasi, responden yang memiliki luas ventilasi <10% dari luas lantai
berisiko 2,43 kali lebih besar untuk terjadinya penyakit kusta dibandingkan responden yang
memiliki luas ventilasi ≥10% dari luas lantai.(19)
Hubungan antara kondisi dinding rumah dengan kejadian kusta
Kondisi fisik rumah dengan dinding yang tidak memenuhi syarat pada responden
kelompok kasus mengalami kejadian kusta (21,7%). Secara statistik tidak bermakna ( p-value
(0,061) > (0,05) :CI 95% :1,064-7,995) atau tidak ada hubungan antara kondisi dinding rumah
dengan kejadian kusta. Kejadian kusta dengan kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi
syarat mempunyai risiko 3 kali dibandingkan dengan kondisi dinding rumah yang memenuhi
syarat
Hasil penelitian yang dilakukan berbeda dengan beberapa hasil penelitian yang lain.
Hasil uji Odds Ratio yang dilakukan Lisdawanti dalam penelitian terhadap variabel dinding
didapat nilai OR=4,7 sehingga responden yang memiliki jenis dinding yang terbuat dari
kayu/tripleks/bambu berisiko 4,7 kali lebih besar untuk terjadinya penyakit kusta dibandingkan
responden yang memiliki jenis dinding yang terbuat dari semen/bata/batako.(19)
Hal ini sejalan dengan aturan Permenkes 1999 bahwa Dinding berfungsi sebagai
pelindung,baik dari gangguan hujan maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas.
Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata dan lain
sebagainya, tetapi dari beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata
atau tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan.
Hubungan antara kondisi lantai rumah dengan kejadian kusta
Kondisi fisik rumah dengan lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan yang
mengalami kejadian kusta sebanyak (21,7%). Secara statistik bermakna ( p-value 0,003 < 0,05
: 95% CI : 1,799-20,754). Atau ada hubungan antara kondisi lantai rumah dengan kejadian
kusta. Kejadian kusta pada kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 6 kali
dibandingkan dengan kondisi lantai yang memenuhi syarat.
Lantai tanah memiliki risiko tinggi terhadap kejadian kusta karena lantai yang tidak
memenuhi standar atau lantai yang terbuat dari tanah merupakan media yang baik untuk
perkembangan Mycobacterium leprae. Hal ini disebabkan karena bakteri mycobacterium
leprae dapat bertahan hidup ditanah hingga 46 hari.(10)
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak (21,7%) kondisi lantai yang tidak
memenuhi syarat mengalami kejadian kusta. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah di
lakukan oleh Raharjati. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan antara lantai rumah
yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 5,46 kali lebih besar terhadap kejadian kusta
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 210
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dibandingkan dengan kondisi lantai yang memenuhi syarat. Sedangkan hasil penelitian
Lisdawanti, hasil uji Odds Ratio yang dilakukan dalam penelitiannya terhadap variabel lantai
didapat nilai OR=2,07, sehingga responden yang memiliki jenis lantai yang terbuat dari tanah,
kayu/papanberisiko 2,07 kali lebih besar untuk terjadinya penyakit kusta dibandingkan
responden yang memiliki jenis lantai yang terbuat dari semen/keramik/ubin, namun tidak
bermakna secara statistik.(19)
Hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian kusta
Kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat (padat) lebih banyak mengalami
kejadian kusta (69,6%). Secara statistik bermakna (p-value 0,007 < 0,05 : 95% Cl : 1,402-6,298
). Kejadian kusta dengan kepadatan hunian tidak memenuhi syarat (padat) mempunyai risiko
3 kali dibandingkan dengan kejadian kusta yang memenuhi syarat (tidak padat).
Hasil peneltian ini menunjukan bahwa sebagian besar (69,6%) kepadatan hunian yang
tidak memenuhi syarat (padat) mengalami kejadian kusta. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Rismayanti di Poliklinik Kusta RSUD Tugurejo Semarang juga menunjukkan bahwa
kepadatan hunian yang tidak sesuai memiliki risiko 3,23 kali lebih besar untuk terjadinya
penyakit kusta dibandingkan mereka yang memiliki kepadatan hunian yang sesuai (OR=3,23).
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kora di wilayah kerja Puskesmas Saumlaki Maluku
Tenggara Barat juga menunjukkan bahwa kepadatan hunian memiliki risiko 7,42 kali lebih
besar dibandingkan mereka yang memiliki kepadatan hunian yang tidak padat (OR=7,42).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Faturahman mengenai kepadatan hunian
menunjukan p value sebesar 0,001 atau ada hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan
kejadian kusta dengan OR sebesar 6 dengan CI95% 2,060-17,479 yang artinya bahwa tingkat
kepadatan hunian yang padat dapat berisiko 6 kali lebih besar dibandingkan dengan kepadatan
hunian yang tidak padat.
Kepadatan hunian juga menjadi faktor risiko penularan penyakit kusta, hal ini
disebabkan karena penderita akan banyak kontak dengan non penderita sehingga akan
menyebabkan menularnya penyakit kusta ke anggota keluarga yang lain. Luas rumah yang
tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan mengakibatkan dampak buruk bagi
kesehatan dan berpotensi terhadap penularan penyakit dan infeksi. Hal ini juga menyebabkan
kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi,
terutama kusta akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, seorang penderita rata-
rata dapat menularkan dua sampai tiga orang di dalam rumahnya.(13)
SIMPULAN
1. Ada hubungan antara kondisi ventilasi dengan kejadian kusta, p value 0,011 < 0,05 : OR
3,024 : 95% Cl : 1,343=6,810. Ventilasi tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 3 kali
terhadap kejadian kusta, dibandingkan dengan ventilasi yang memenuhi syarat.
2. Tidak ada hubungan antara kondisi dinding dengan kejadian kusta, p value 0,061 > 0,05
: OR 2,917 : 95% Cl : 1,064-7,995. Dinding tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 3
kali terhadap kejadian kusta, dibandingkan dengan dinding yang memenuhi syarat.
3. Ada hubungan antara kondisi lantai dengan kejadian kusta, p value 0,003 < 0,05 : OR
6,111 : 95% Cl : 1,799-20,754.lantai tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 6 kali
terhadap kejadian kusta, dibandingkan dengan lantai yang memenuhi syarat.
4. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian kusta, p value 0,007 < 0,05 : OR
2,971 : 95% Cl : 1,402-6,298. Kepadatan hunian tidak memenuhi syarat (padat)
mempunyai risiko 3 kali terhadap kejadian kusta, dibandingkan dengan kepadatan hunian
tidak padat.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 211
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, E. 2007. Buku
Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI
Marwali Harahap, 2000, Ilmu Penyakit Kulit, Jakarta : Hipokrates.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, E. 2006. Buku
Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI
Word Health Organization Prevalence Of Leprosy, 2013. Available
at:http://www.who.int/lep/situation/prevalence/en/index.html
Ditjen PP&PL Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; 2013
Kementrian Kesehatan RI, 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI
Enis Gancar, 2009, Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian Kusta pada Wilayah
Kerja Puskesmas Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang, Skripsi : Universitas
Diponegoro Semarang.
Makinan, A. 2012. Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah Penderita Kusta di Wilayah
Puskesmas Nuangan Kecamatan Nuangan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur.
http://ejurnal.fikk.ung.ac.id/index.php/PHJ/article/view/183
Notoatmodjo, S.2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Amiruddin, 2012. Penyakit Kulit Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta, Briliant Internasional.
Awaluddin, 2004. Beberapa Faktor Risiko Kontak dengan Penderita Kusta dan Lingkungan
yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Kusta di Kabupaten Brebes. (Tesis) Semarang.
Universitas Diponegoro: 2004
Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon 2014, Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten
Cirebon Tahun 2014.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, E.2012. Buku
Pedoman Nasional Program pengendalian Penyakit Kusta, Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Notoatmodjo. S, 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Jakarta : Rineka Cipta
Djuandi.A, 2009, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta : FKUI.
Purwanto, Ngalim. 2004. Psikologi Pendidikan. Bandung, Remaja Rosdakarya.
Notoatmodjo, S.2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar, Jakarta : Rineka
Cipta.
Faturrahman, yuldan. Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian
Kusta di Kabupaten Cilacap. Jurnal FKM UNSIL 2011: 282-295
Lisdawanti Adwan, Rismayanti, Wahiduddin. Faktor Risiko Kondisi Hunian Terhadap
Kejadian Kusta di Kota Makassar. Jurnal FKM Universitas Hasanuddin. 2012 : 1-9.
Kora, Benjamin. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas
Saumlaki Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2010-2011. (skripsi). Makassar :
Universitas Hasanuddin 2012.
Malik.S. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan Masyarakat, Jakarta : Cv. Trans Info Media.
Murti. B., 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, UGM. Press, Yogyakarta.
Notoatmodjo. S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta.
Wibowo A, 2010. Metode Penelitian Praktis Bidang Kesehatan, Jakarta :Raja Grafindo
Persada.
Sugiono, 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, Bandung : Alfabet.
Priyono Hastono, Sutanto. 2004. Analisis Data. Jakarta Universitas Indonesia.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 212
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ABSTRAK
Acacia decurrens, berasal dari Australia, adalah jenis tumbuhan berkayu yang mulai
menjadi perhatian sejak dominasinya di lahan bekas erupsi Gunung Merapi tahun 2006. tujuan
dari kegiatan studi ini adalah untuk mendeskripsikan secara kuantitatif Ekologi Acacia
decurrens, hubungannya dengan beberapa faktor lingkungan serta potensi keinvasifannya jika
dikorelasikan dengan diversity index. Analisis vegetasi dilakukan di empat wilayah Taman
Nasional Gunung Merapi yaitu Kalikuning, Kaliadem, Plawangan dan Pranajiwa. Ordinasi
menggunakan metode Non metric multidimensional scaling (NMDS) serta Canonical
Corespondence (CCA) serta korelasi bivariate Spearman dilakukan dalam analisis data. Hasil
analisis NMDS (2D stress = 0,14) memperlihatkan bahwa daerah terbuka akibat erupsi di
Kaliadem kini didominasi oleh jenis A. decurrens. Hasil analisis juga menunjukkan adanya
korelasi negatif yang signifikan (Spearman’s rho = 0,6) antara kelimpahan jenis A. decurrens
dengan tingkat keanekaragaman jenis di dalam lokasi sampling. Dari hasil CCA, A. decurrens,
pada tahap semai, nampak hidup berdampingan dengan jenis groundcover lainnya seperti
Alangium javanicum, dan Araliaceae. Namun pada fase pohonnya, jenis ini cenderung
membentuk tegakan murni dan hanya sesekali nampak hidup dapat berdampingan dengan jenis
Fabaceae lainnya seperti Albizia lopantha. Acacia decurrens tingkat pohon nampaknya lebih
memilih sites dengan tingkat pH yang lebih rendah sedangkan A. decurrens tingkat semai lebih
banyak ditemui pada site-site ber pH lebih tinggi. A. decurrens nampaknya berpotensi menjadi
gulma di Taman nasional Gunung Merapi jika dilihat dari distribusinya yang dominan berupa
tegakan murni serta kecenderungannya untuk menyebabkan penurunan tingkat
keanekaragaman jenis di kawasan Taman Nasional.
Kata kunci: Autekologi, IAS, faktor lingkungan, risk assesment
ABSTRACT
Acacia decurrens which originally from Australia is woody species that start to gain
attention since its domination in the eruption zone affected areas of Mt. Merapi since 2006.
The objectives of this research were to quatitatively describe Acacia decurrens abundance –
distribution, investigate its relationship with the measured environmental factors and also its
invasiveness potential when correlated with diversity index. Study was conducted in for areas
of Mt. Merapi namely Kalikuning, Kaliadem, Plawangan and Pranajiwa. Data was then
analysed using NMDS and CCA ordination technique in multivariate approach and also
spearman bivariate correlation using PRIMER, CANOCO and also excel softwares. Result of
NMDS ordination (2D stress = 0,14) showed open areas due to the eruption is now dominated
by Acacia decurrens. Correlation analysis also revealed significant negative correlation
between Acacia decurrens abundance with diversity index in all sampling areas (Spearman’s
rho = 0.6). Result from CCA ordination showed in the early stage of its life in seedling phase
Acacia decurrens lived side by side with other species such as Alangium javanicum and
Araliaceae. In its mature stage in tree stage the species tends to form pure stands and with just
occasionally found living with other tree species such as Albizia lopantha which is the same
family with Acacia decurrens (Fabaceae). Acacia decurrens tends to be potentially act as a
weed and invasive in Mt. Merapi national Park.
Keywords: Autecology, IAS, enviroenmental factors, risk assessment
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 213
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN
Erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada November 2010 memberi dampak bagi
lingkungan sekitar Gunung Merapi. Awan panas yang menyapu permukaan lereng gunung
merupakan peristiwa abiotik yang mempengaruhi komponen biotik khususnya vegetasi. Secara
alamiah apabila suatu kawasan vegetasi hutan mengalami bencana alam, maka lambat laun
kawasan tersebut akan mampu mengadakan suksesi (Sutanto, 2002, Sutomo et al., 2010,
Sutomo et al., 2011b). Proses pertumbuhan kembali vegetasi yang terkena bencana alam dapat
berlangsung cepat atau lambat bergantung pada kerusakan yang ditimbulkan. Bencana letusan
gunung berapi selain menimbulkan kerusakan dan kematian vegetasi juga dapat menciptakan
kondisi yang sesuai bagi perkecambahan biji dan tumbuhnya permudaan pohon dan jenis
berkayu lainnya (Rahayu, 2006, Sutomo et al., 2011a). Dalam hal ini, jenis asing dan jenis
invasif adalah termasuk jenis yang dapat muncul setelah terjadinya gangguan habitat karena
erupsi gunung berapi.
Beberapa contoh jenis asing yang telah menjadi jenis invasif dan menyebabkan
gangguan terhadap habitat asli diantaranya adalah, Eichornia crassipes dan Lantana camara
telah diintroduksikan sebagai tanaman hias, sekarang juga telah menjadi tumbuhan invasif
yang sulit dikendalikan. Contoh invasi spesies asing yang hangat dibahas saat ini Acacia
nilotica di Taman Nasional Baluran, Mertemia peltata di Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan, dan Cissus sicyoides yang mengganggu tanaman koleksi di KR Bogor, serta Ageratina
riparia (Eupatorium riparium) yang mendominasi kawasan koleksi di KR Bali. Invasi spesies
asing diperburuk dengan kondisi perubahan iklim, menjadikannya sebagai ancaman serius
terhadap biodiversitas dan tidak menutup kemungkinan memicu kepunahan suatu jenis asli.
Acacia decurrens, berasal dari Australia, adalah jenis tumbuhan berkayu yang
sebenarnya diketahui mulai menjadi perhatian sejak dominasinya di lahan bekas erupsi Gunung
Merapi tahun 2006 saat itu di Kaliadem, kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)
yang berbatasan lansung dengan beberapa desa di sekitarnya. Paska erupsi Merapi pada tahun
2010 yang lalu, keberadaan jenis ini mulai mendapat perhatian serius karena merubah struktur
dan komposisi jenis di kawasan terkena dampak erupsi, dari yang dahulu jenis penyusunnya
beragam mulai Rasamala, Puspa, Casuarina, dan Pinus, kini menjadi tegakan murni A.
decurrens (Gambar 1).
Acacia decurrens memiliki sinonim Acacia mollisima Willd. Tumbuhan ini masuk
dalam divisi spermatophyta, sub-divisi angiospermae, kelas dicotyledonae, bangsa resales,
suku Fabaceae. Acacia memiliki tipe habitus berupa perdu, tinggi 3-8 m. Batangnya berkayu,
bulat, bercabang, diameter 20-30 cm, hijau. Daunnya majemuk, menyirip ganda, tersebar,
tangkai panjang ± 1 cm, hijau. Bunganya majemuk, bentuk malai, di ketiak daun, bulat, tangkai
panjang ± 50 mm, kuning. Buah berupa polong, majemuk, masih muda hijau setelah tua coklat
kehitaman. Bijinya kecil, bulat, pipih, coklat kehitaman. Akar berupa akar tunggang, putih
kotor.
Meskipun berbagai asumsi dan pendapat mengenai jenis ini mengenai status ekologi
dan potensi keinvasifannya namun masih sangat kurang didukung dengan penelitian empiris di
bidang ekologi. Untuk itu tujuan dari kegiatan studi ini adalah untuk mendeskripsikan secara
kuantitatif Ekologi A. decurrens, hubungannya dengan beberapa faktor lingkungan serta
potensi keinvasifannya jika dikorelasikan dengan diversity index.
METODE
Gunung Merapi terletak pada provinsi Yogyakarta dengan letak geografisnya adalah
pada 7° 32,5’ LS dan 110° 26,5‘ BT. Kegiatan gunung api ini terekam dengan baik sejak tahun
1768. Gunung Merapi dikenal sebagai gunung api teraktif di dunia. Karakteristik erupsinya
bersifat aktif permanen, yaitu guguran kubah lava atau lava pijar, membentuk aliran
piroklastika (awan panas) atau ‘nuee ardentes’ yang dalam bahasa setempat dikenal dengan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 214
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
sebutan “wedhus gembel”. Kejadian ini dipicu oleh tekanan dari dalam ataupun akibat gaya
gravitasi yang bekerja pada kubah lava yang berada dalam posisi tidak stabil (pada dasar kawah
lama yang miring) (Bardintzeff, 1984).
Gambar 1. Kondisi salah satu areal di Kaliadem paska erupsi 2006 dan erupsi 2010
kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dengan tegakan Acacia decurrens
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 215
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Analisis vegetasi yang dikaji dalam penelitian ini dilakukan pada tumbuhan pohon dan
berkayu lainnya serta serta semai atau anakan pohon (seedling). Metode analisis vegetasi yang
digunakan dengan plot berbentuk lingkaran (Kent and Coker, 1992). Plot lingkaran dibuat
dengan diameter 5 meter. Masing-masing lokasi diletakan jumlah plot yang bervariasi
(tergantung pada medan), di Kalikuning 30 plot, Bukit Pranajiwa 23 plot, Bukit Plawangan 23
plot dan Kaliadem sebanyak 6 plot sehingga terdapat total plot sebanyak 82 plot. Peletakan plot
pada masing-masing lokasi dilakukan secara acak dengan jarak antar plot yaitu 100 meter. Data
yang diambil berupa data jenis tumbuhan, meliputi nama ilmiah, nama lokal, jumlah individu
dan sampel tumbuhan untuk pembuatan herbarium.
Pengukuran faktor fisik lingkungan yang dilakukan yaitu kelembaban tanah (soil
moisture %), kadar keasaman tanah (pH) serta ketinggian tempat (Altitude mdpl). Pengambilan
data fisik dilakukan di setiap plot pengamatan. Magurran (2004) mengatakan bahwa
keanekaragaman jenis tumbuhan dapat dihitung menggunakan indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener (H’).
Shannon-Wiener (H′) : H′= ∑ ln
Keterangan:
S : jumlah jenis
ni: jumlah jenis ke-i
N: jumlah individu semua jenis
Semakin besar nilai H′ menunjukkan semakin tinggi keanekaragaman jenis. Besarnya nilai
keanekaragaman jenis Shannon-Wiener didefinisikan sebagai berikut:
1. H′ > 3 keanekaragaman jenis yang tinggi pada suatu kawasan.
2. 1 ≤ H′≤ 3 keanekaragaman jenis yang sedang pada suatu kawasan.
3. H′ < 1 keanekaragaman jenis yang rendah pada suatu kawasan.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 216
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
2,5
1,5
Diversity
Series1
1
Linear (Series1)
0,5
0
0 20 40 60 80 100
Abundance
Komunitas yang lebih stabil memiliki keanekaragaman jenis lebih besar dibandingkan
dengan keanekaragaman jenis pada komunitas yang sederhana (Indriyanto, 2006).
Keanekaragaman jenis merupakan parameter yang sangat berguna untuk mempelajari
pengaruh ganggguan terhadap faktor biotik serta untuk mengetahui tingkat suksesi dan
kestabilan komunitas termasuk dalam hal invasi biologi jenis. Hasil penelitian di kawasan
Taman Nasional Gunung Merapi memperlihatkan adanya korelasi negatif (Gambar 4) yang
signifikan (Spearman’s rho = 0,6) antara kelimpahan jenis A. decurrens dengan tingkat
keanekaragaman jenis di dalam lokasi sampling (Gambar 4). Kelimpahan jenis A. decurrens
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 217
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SoilMois
AneiNudf
AracHypg
AcalHisp
AgerConz
AlbizSp1 AlbizSp2
AlbzLopn AgerRipr
AcacDecT
Ph
Annonace
Araliace
AlanJavn
AcacDecG
AlocMacr
Altitude
-0.8
-1.0 1.0
Gambar 5. Hasil analisis CCA memperlihatkan beberapa sumbu faktor lingkungan yang
diukur serta distribusi beberapa jenis terpilih di dalam lokasi sampling kawasan Taman
Nasional Gunung Merapi
Dikarenakan perbenihan yang mudah dari biji A. decurrens, dapat berpotensi menjadi
gulma pada habitat dengan kondisi lingkungan yang menguntungkan bagi jenis tersebut.
Meskipun jenis ini sudah ditanam secara luas sebagai tumbuhan ornamental di Hawaii,
Selandia baru, Mediterania dan Eropa namun di Afrika Selatan jenis ini masuk sebagai invader
kategori dua (Henderson et al., 2006, Walker et al., 1986). Acacia decurrens nampaknya
berpotensi menjadi gulma di Taman nasional Gunung Merapi jika dilihat dari distribusinya
yang dominan berupa tegakan murni serta kecenderungannya untuk menyebabkan penurunan
tingkat keanekaragaman jenis di kawasan Taman Nasional. Untuk itu ke depannya tiap
kegiatan termasuk upaya rehabiltasi lahan bekas erupsi dengan reintroduksi jenis baru yang
sebelumnya tidak pernah ada di Lereng Merapi sebaiknya dilakukan penilaian risk assesment
terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya invasiveness suatu jenis terhadap jenis native
maupun endemik di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 218
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
DAFTAR PUSTAKA
Bardintzeff, J. M. (1984) Merapi Volcano (Java, Indonesia) and Merapi-type nuees ardentes.
Bulletin Volcanology, 47.
Butterfield, B. J. (2009) Effects of facilitation on community stability and dynamics: synthesis
and future directions. Journal of Ecology, 97, 1192–1201.
Clarke, K. R. & Gorley, R. N. (2005) PRIMER: Plymouth Routines In Multivariate Ecological
Research. 6.0 ed. Plymouth, PRIMER-E Ltd.
Henderson, S., Dawson, T. P. & Whittaker, R. J. (2006) Progress in invasive plants research.
Progress in Physical Geography, 30, 25-46.
Hobbs, R. J. & Humphries, S. E. (1995) An integrated approach to the ecology and
management of plant invasions. Conservation Biology, 9, 761-770.
Indriyanto (2006) Ekologi Hutan, Jakarta, Penerbit Bumi Aksara.
Kent, M. & Coker, P. (1992) Vegetation Description and Analysis, A practical Approach., New
York, John Wiley & Sons.
Magurran, A. E. (2004) Measuring Biological Diversity, USA, Blackwell Publishing company.
Rahayu, W. (2006) Suksesi Vegetasi di Gunung Papandayan Pasca Letusan Tahun 2002.
Forestry. Bogor, Bogor Agricultural Institute.
Ruskin, F. (1983) Mangium and other fast-growing acacias for the humid tropics. Innovations
in tropical reforestation. National Academy Press, Washington.
Sutanto, A. (2002) Suksesi vegetasi jenis pohon dan tumbuhan bawah pasca letusan Gunung
Galunggung. Forest Management. Bogor, IPB.
Sutomo, Fardilla, D. & Darma, I. D. P. (2012) Autecology of invasive species Imperata
cylindrica in anthropogenic disturbed forests on Pohen Mountain, Batukahu Nature
Reserve, Bali: Implication for weeds management. In Sutarno, Sugiyarto & Setyawan,
A. D. (Eds.) International Conference of the Society for Indonesian Biodiversity. Solo,
Biologi Universitas Sebelas Maret.
Sutomo, Fardilla, D. & Putri, L. S. E. (2011a) Species Composition and Interspecific
Association of Plants in Primary Succession of Mount Merapi Volcano Indonesia.
Biodiversitas, 12, 211-216.
Sutomo, Hobbs, R. J. & Cramer, V. A. (2010) Plant Succession Following Nuees Ardentes of
Mt. Merapi Indonesia. Rottnest Island Postgraduate Summer School. Rottnest Island,
Western Australia, School of Plant Biology The University of Western Australia.
Sutomo, Hobbs, R. J. & Cramer, V. A. (2011b) Plant community establishment on the volcanic
deposit following nuees ardentes of Mount Merapi : diversity and floristic variation.
Biodiversitas, 12, 86-91.
Ter Braak, C. (1986) Canonical correspondence analysis: A new eigenvector technique for
multivariate direct gradient analysis. Ecology, 67, 1167–1179.
Ter Braak, C. & Smilauer, P. (2002) CANOCO for Windows version 4.5. 4.5 ed. Wageningen
The Netherland, Biometrics Plant Research International.
Walker, B., Stone, L., Henderson, L. & Vernede, M. (1986) Size structure analysis of the
dominant trees in a South African savanna. South African Journal of Botany, 52, 397-
402.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 219
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ABSTRAK
Keberadaan dan fungsi mata air perlu dijaga kelestariannya guna menghadapi
terjadinya krisis air. Vegetasi yang berada di sekitar mata air merupakan factor penting untuk
menjaga kelestarian mata air tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakter
jenis-jenis pohon penyusun vegetasi di sekitar mata air Kabupaten Klaten, Jawa Tengah,
Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode survey dengan meninjau 151 mata air di 17
kecamatan yang ada di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Data yang dikumpulkan meliputi
nama jenis pohon, frequensi ditemukan dan habitus pohon. Hasil penelitian didapatkan 88 jenis
pohon penyusun vegetasi di sekitar mata air. Jenis-jenis pohon yang paling tinggi frequensi
ditemukan berturut-turut adalah: Bambu, Beringin, Gayam, Kelapa, Mangga, Awar-Awar dan
Mahoni. Habitus jenis-jenis pohon bervariasi baik bentuk kanopi, perakaran, maupun bentuk
batangnya. Akan tetapi semua jenis pohon termasuk jenis berakar dalam.
ABSTRACT
The existence and function of the springs need to be preserved in order to confront the
water crisis. Vegetation that is around the spring is an important factor for preserving these
springs. This study aimed to describe the character of tree species making up the vegetation
around springs Klaten regency, Central Java, Indonesia. The method used is survey by
reviewing 151 springs in the 17 districts in Klaten regency, Java Tengah.Data collected
includes name of tree species, the frequency is found and habitus trees. The result showed 88
types of trees making the vegetation around the springs. The types of trees found the highest
frequencies respectively are: bamboo, banyan, Gayam, Coconut, Mango, Awar-Awar and
Mahogany. Habitus tree species vary in both form a canopy, root, and the shape of the trunk.
But all kinds of trees, including species rooted in.
PENDAHULUAN
Air merupakan kebutuhan mutlak bagi makhluk hidup, termasuk manusia. Kuantitas,
kualitas dan distribusi sumberdaya air sering menjadi masalah yang harus mendapatkan
penanganan secara sungguh-sungguh dan terintegrasi. Akhir-akhir ini sering muncul bencana
alam/lingkungan terkait air, misalnya kekeringan, banjir, pencemaran air bahkan bencana
sosial akibat perebutan penguasaan sumberdaya air (GWP, 2000). Indonesia merupakan salah
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 220
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
satu negara tropika basah di dunia, krisis air sering melanda kawasan ini. Di beberapa daerah
di Indonesia sering ditemukan kelangkaan air bersih, sehingga masyarakat kesulitan memenuhi
kebutuhannya. Dalam hal sumberdaya air, krisis yang dialami Indonesia menyangkut aspek
penyediaan dan aspek pengelolaan. Dalam hal penyediaan, masalah yang timbul mencakup
aspek kuantitas dan kualitas (Riyadi, 2012).
Mata air merupakan suatu keadaan dimana air tanah mengalir keluar dari akuifer
menuju permukaan tanah dengan sendirinya (Purwitasari, 2007), maupun dengan cara digali
atau dibor di lokasi titik sumber air. Keberadaan mata air berperan multiguna, selain sebagai
salah satu sumber untuk pemenuhan air bersih, mata air juga digunakan oleh masyarakat untuk
sebagai air minum dan MCK (mandi, cuci, kakus), pengairan lahan pertanian, perikanan,
religius (mendukung pelaksanaan ibadah), dan ekonomi.
Permasalahan air yang semakin komplek ini menuntut pengelolaan sumberdaya air
yang semakin baik. Berdasarkan UU No 7/2004 tentang Sumberdaya Air, pengelolaan
sumberdaya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi
penyelenggaraan konservasi sumberdaya air, pendayagunaan sumberdaya air, dan
pengendalian daya rusak air (Bappenas, 2005; Helmi, 1997; Helmi, 1998).
Kaki gunung Merapi yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Klaten merupakan zona
wilayah yang banyak terdapat mata air sehingga sepanjang sejarah wilayah Kabupaten Klaten
merupakan area pertanian yang subur karena ditopang tersedianya air secara mencukupi
(Sugiyarto, 2015). Data di Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas Pekerjaan Umum (DPU)
Klaten, setidaknya ada sekitar 120 sumber mata air yang sampai saat ini masih efektif dengan
kondisi debit air besar dan kecil. Sumber mata air tersebut banyak tersebar di antaranya di
Kecamatan Manisrenggo, Prambanan, Karangnongko, Gantiwarno, Kemalang, Karanganom,
Jatinom, Polanharjo, Tulung, Trucuk, Bayat, Ceper, Kebonarum, Klaten Selatan, Kalikotes,
dan Ngawen (Kedaulatan Rakyat, 18 Desember 2014).
Pemanfaatan sumber air itu digunakan untuk keperluan seperti air minum, irigasi,
industri dan lainnya. Potensi mata air di wilayah tersebut saat ini bahkan telah dimanfaatkan
secara komersial untuk produksi air bersih oleh PDAM maupun perusahaan air minum dalam
kemasan. Sebagai contoh Sriyana (2011) melaporkan bahwa pemanfaatan Sumber Ingas
(Cokro), untuk Air Minum (PDAM Surakarta) sebesar 400 l/dt, AirMinum (Desa Cokro)
sebesar 4 l/dt, Air Minum (PDAM Klaten) sebesar 300 l/dt, serta sisanya sebesar 593 l/dt,
digunakan untuk Irigasi, yang sebelumnya dimanfaatkan untuk menggerakan Turbin, dengan
hasil daya 3 listrik sebesar = 50 Watt. Fenomena alih fungsi sumberdaya air ini pada akhirnya
menimbulkan dampak sosial tersendiri, khususnya bagi para petani. Sementara itu ironisnya
masyarakat daerah lereng gunung Merapi yang notabene sebagai daerah tangkapan hujan justru
setiap tahun mengalami bencana kekeringan. (Kedaulatan Rakyat, 18 Desember 2014).
Keberadaan dan fungsi mata air perlu dijaga kelestariannya guna menghadapi
terjadinya krisis air. Vegetasi yang berada di sekitarmata air merupakan faktor penting untuk
menjaga kelestarian mata air. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakter vegetasi
pohon di sekitar mata air.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 221
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 222
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
keluar menjadi mata air. Permukaan tanah di sekitar pohon jenis Ficus sp.maupun kelompok
Fabaceae dan Meliaceae sering kali terlihat basah pada dini hari. Larcher (1995) menduga
bahwa tanaman jenis ini mempunyai mekanisme hydraulic conductance yaitu kemampuan
tanaman menyerap air dalam jumlah banyak di malam hari untuk disebarkan ke permukaan,
selanjutnya saat pagi hari air permukaan akan diserap kembali oleh akar-akar permukaan dan
dipergunakan untuk metabolismenya. Jenis-jenis pohon beringin dan tipe pohonbesar dengan
perakaran kuat memang sering dijumpaiberada disekitar mata air (Agustina dan
Arisoesiloningsih2013; Trimanto 2013). Diameter pohon dari genus Ficus dan kelompok
Fabaceaeyang dijumpai di sekitar mata air cukup besar diantarapohon lain yakni diatas 50 cm.
Pada kawasan mata airpohon ini tumbuh sangat dekat dengan tepi mata air bahkansering
perakarannya berada di perairan (Ridwan dan Pamungkas, 2015).
Berbeda dari lainnya, kelapa memiliki bentuk batang yang silindris tanpa percabangan
dengan kanopi yang menggerombol diatas dengan bentuk yang agak vertikal sehingga tidak
terlihat terlalu rimbun dan menaungi tanah dibawahnya. Sedangkan mangga bentuk batang bisa
lebih dari 50 cm dengan kanopi yang rapat. Tipe perakaran dari pohon tersebut termasuk akar
yang dalam sehingga diduga dapat memperluas daerah penyerapan sehingga dapat mengikat
air dan tanah.
Kondisi vegetasi di sekitar mata air di kabupaten Klaten memiliki kondisi yang baik.
Kondisi vegetasi yang baik dapat mendukungkeberadaan dan kelestarian mata air tersebut.
Tanah pada vegetasi yang rimbun/lebat memiliki pori lebihbanyak karena akar-akar pohon
melonggarkan tanah danmengumpulkan bahan organic lebih banyak denganinfiltrasi yang
tinggi. Dengan demikian mempengaruhikapasitas penyimpanan air di lokasi tutupan
vegetasi,danpada gilirannya meningkatkan kapasitas penyimpanan airsecara keseluruhan
(Lüscher dan Zürcher 2003; Zhang etal. 2011).
SIMPULAN
Hasil penelitian didapatkan 89 jenis pohon penyusun vegetasi di sekitar mata air. Jenis-
jenis pohon yang paling tinggi frequensi ditemukan berturut-turut adalah: Bambu, Beringin,
Gayam, Kelapa, Mangga, Awar-Awar dan Mahoni. Habitus jenis-jenis pohon bervariasi baik
bentuk kanopi, perakaran, maupun bentuk batangnya. Akan tetapi semua jenis pohon termasuk
jenis berakar dalam.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada LPPM UNS atas diberikanya Hibah Iptek
bagi Masyarakat (IbM) sebagai rujukan Maintenance Research Group (MRG-UNS) sehingga
penelitian ini dapat terlaksana.
DAFTAR PUSTAKA
Arisoesilaningsih E. 2013. Variasi profil vegetasi pohonriparian di sekitar mata air dan Saluran
Irigasi Tersier di KabupatenMalang. Jurnal Biotropika 1 (3): 85-89.
Bappenas. (2005). Rencana Pembangunan JangkaPanjang (RPJP) 2005 – 2025. Diperolehdari
www.bappenas.go.id.
Fiqa AP, Arisoesilaningsih E, Soejono. 2005. Konservasi mata air DAS Brantas.
Memanfaatkan Diversitas Flora Indonesia. Seminar BasicScience II. Universitas
Brawijaya, Malang
GWP, 2000. GWP. 2000. Integrated Water Resources Management. TAC Background Paper
No.4. Stockholm:GWP.
Helmi. 1997. KearahPenge/o/aanSumberdaya Air yang Berkelanjutan: Tantangandan Agenda
untukPenyesuaianKebijaksanaandanBirokrasi Air di MasaDepan.JurnalVisiIrigasi
Indonesia 13.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 223
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 224
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ABSTRACT
Indonesia has a vast forest area. The extent of Indonesia's forests is one of the natural
resources are prone to damage due to human interests in meeting their needs. One example of
the damage that often occurs when current is forest fires. Forest destruction accounts for 20-
25% of global CO2 emissions that contribute to climate change or global warming. Unspoiled
forest with a diversity of plant species are long-lived and litter is a place to store a lot of carbon
stocks (C) the highest. The aim of this study was to determine the diversity of plants and to
determine the amount of carbon stock above ground level in the forests of the Bukit Barisan
city of Padang, West Sumatra. For the calculation of tree biomass is calculated on a plot with
a size of 20m x 20m, 10m x 10m pole, stake 5m x 5m and for perhiungan down plant biomass
and litter on the plot with a size of 2m x 2m (National Standardization Agency, 2011). Biomass
calculation using the formula of Ketterings et al, 2001). In the Forest Area Bukit Barisan, West
Sumatra derived carbon content 33.4718 ton / ha.
Key words : forest, carbon, biomass.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman
hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan Negara mega biodiversitas di dunia, baik
flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas (Heriyanto dan Garsetiasih, 2004). Luas
kawasan hutan di Indonesia tahun 2012 mencapai 130,61 juta ha. Luas kawasan hutan tersebut
mencapai 68,6 % dari total luas daratan Indonesia sehingga menjadi salah satu potensi sumber
daya alam yang rawan terjadi kerusakan karena kepentingan manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia tahun 2012 mencapai 0,45 terbagi
menjadi kerusakan kawasan hutan 0,32 dan di luar kawasan hutan 0,13 per tahun. (Kementerian
Kehutanan, 2012). Hutan yang masih alami dengan keanekaragaman jenis tumbuhan berumur
panjang dan serasah yang banyak merupakan tempat menyimpan cadangan karbon (C) yang
paling tinggi (Hairiah dan Rahayu, 2007). Kerusakan hutan secara global menyumbang 20-
25% emisi CO2 yang berkontribusi besar bagi perubahan iklim atau pemanasan global.
Perluasan pasar karbon untuk mitigasi CO2 dengan skema reducing emission from
deforestation and forest degradation (REDD) telah disepakati pada COP 13 UNFCCC di Bali
Desember 2007 (World Bank, 2007; Santilli et al, 2005). Pohon di hutan mampu menyerap
karbondioksida (CO2) untuk fotosintesis dan menyimpannya dalam bentuk karbohidrat pada
kantong karbon di akar, batang, dan, daun sebelum dilepaskan kembali ke atmosfer
(Marispatin, 2007).
Sumatera Barat merupakan wilayah yang sebagian besar bertopografi pegunungan dan
dataran tinggi Bukit Barisan yang membujur dari Barat Laut ke Tenggara, 63% dari luas daerah
merupakan kawasan hutan lebat dengan ketinggian sampai 3.000 meter di atas permukaan laut
(Iqbal, 2011). Kawasan Bukit Barisan bagian barat, termasuk kedalam kawasan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) menurut PP No.6 Tahun 2007, Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH) merupakan wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya
yang dapat dikelola secara efisien dan lestari yang merupakan salah satu upaya untuk
menyelamatkan kawasan hutan Indonesia (Kementrian Kehutananan, 2011). Kawasan Bukit
Barisan termasuk kedalam kawasan hutan lindung seluas ±69.504 ha (Kementrian Kehutanan,
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 225
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
2011), sehingga kondisi kawasan yang terjaga dan sedikit tekanan pengrusakan tentunya
mengandung kekayaan karbon yang tinggi. Akan tetapi, sebelum kita melakukan perhitungan
cadangan karbon sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu bagaimana keanekaragaman jenis
tumbuhan yang ada di hutan tersebut. Selain itu, data pendugaan cadangan karbon di kawasan
hutan Bukit Barisan Bagian Barat Kota Padang diharapkan ke depannya dapat dipergunakan
dalam carbon trade yang saat sekarang ini merupakan terobosan dunia internasional supaya
dapat memberikan kompensasi kepada negara yang telah menjaga kawasan hutannya dengan
baik. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang
“Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Di Kawasan Hutan Bukit Barisan Kota Padang”.
METODE PENELITIAN
Jenis dan teknis pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi langsung ke
lapangan yaitu untuk mengukur diameter pohon dan menentukan jenis tumbuhan dengan
melakukan identifikasi jenis tumbuhan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode sampling tanpa pemanenan (non-destructive sampling) untuk pohon, tiang dan pancang
dan (destructive sampling) untuk serasah dan tumbuhan bawah (Hairiah dan Rahayu, 2007).
Ukuran plot sesuai dengan Badan Standarisasi Nasional (2011) : pohon dengan luasan minimal
400 m2, tiang dengan luasan 100 m2, pancang 25 m2, serasah dan tumbuhan bawah 4 m2. Untuk
pengukuran Biomassa pohon menggunakan rumus Ketterings et al, (2001).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 226
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Untuk Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi pada tingkatan Pancang pada Stasiun
1 yaitu pada Artocarpus elasticus Reinw. Ex Blume 38.47% dan diperoleh Indeks
keanekaragaman jenis 0.07, untuk Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi pada tingkatan
Pancang pada Stasiun 2 yaitu pada Horsfieldia grandis (Hook.f.) Karb 39.28 % dan diperoleh
Indeks keanekaragaman jenis 0.07 dan Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi pada
tingkatan Pancang pada Stasiun 3 yaitu pada Cryptocarya densiflora Blume 36.50% dan
diperoleh Indeks keanekaragaman jenis 0.07.
Tabel 1. Komposisi dan Struktur Pohon pada Stasiun 1 di Kawasan Hutan Bukit Barisan
Kota Padang Sumatera Barat
N KR FR DR INP
Famili Nama Jenis
o (%) (%) (%) (%)
1 Annonaceae Polhyalthia sp 1 2.94 3.45 21.27 27.66
2 Apocynaceae Alstonia angustiloba Miq 2.94 3.45 1.70 8.09
3 Cluciaceae Garcinia nervosa Miq. 2.94 3.45 1.16 7.55
4 Elaiocarpaceae Elaiocarpaceae sp 1 2.94 3.45 1.39 7.78
5 Euphorbiaceae Macaranga gigantea (Rehb. F. 2.94 3.45 8.46 14.85
&Zoll.) Mull. Arg
6 Fagaceae Quercus robur L. 5.88 6.90 1.92 14.70
8 Leguminosae Adenathera pavonia L. 2.94 3.45 2.01 8.40
Archidendron bubalinum 2.94 3.45 8.46 14.85
(Jack) I.C. Nielsen
9 Malvaceae Durio griffithii (Mast.) Bakh 2.94 3.45 1.81 8.20
10 Moraceae Artocarpus dadah Miq 8.82 3.45 2.14 14.41
Artocarpus elasticus Reinw. Ex 8.82 6.90 4.39 20.11
Blume
Artocarpus kemando Miq 2.94 3.45 15.24 21.63
Artocarpus nitidus Trécul 8.82 3.45 1.44 13.71
11 Myristicaceae Knema furfuraceae 2.94 3.45 9.85 16.24
12 Myrtaceae Eugenia lineata 2.94 3.45 1.9 8.34
Rhodamnia cinerea Jack 2.94 3.45 1.12 7.51
13 Phyllanthaceae Baccaurea deflexa Müll.Arg 5.88 6.90 1.51 14.29
Baccaurea dulcis (Jack) 2.94 3.45 1.23 7.62
Müll.Arg.
Aporosa frutescens Blume 2.94 3.45 1.41 7.80
14 Rubiaceae Coffea canephora Pierre ex 2.94 3.45 1.57 7.96
A.Froehner
Lasianthus cyanocarpoides Val 5.88 6.90 1.64 14.42
eton
15 Symplocaceae Symplocos cochinchinensis (Lo 2.94 3.45 1.38 7.77
ur.) S. Moore
16 Theaceae Gordania ovalis (korth).Kalp. 5.88 6.90 3.24 16.02
Gordania sp 2.94 3.45 3.71 10.10
Jumlah Total 100.00% 100.00% 100.00% 300.00%
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 227
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 2. Komposisi dan Struktur Pohon Pada Stasiun 2 di Kawasan Hutan Bukit Barisa Kota
Padang Sumatera Barat
KR FR DR INP
No Famili Nama Jenis
(%) (%) (%) (%)
1 Cluciaceae Garcinia nervosa Miq. 5.88 1.73 2.14 13.90
2 Euphorbiaceae Macaranga gigantea (Rehb. F. 5.88 1.73 1.57 13.33
&Zoll.) Mull. Arg
3 Fagaceae Quercus robur L. 11.76 3.46 12.00 35.53
4 Lauraceae Litsea sp 5.88 1.73 5.94 17.70
5 Leguminosae Archidendron bubalinum (Jack) I.C. 5.88 1.73 17.45 29.21
Nielsen
6 Melastomataceae Rhodamnia cinerea 5.88 1.73 3.15 14.91
7 Moraceae Artocarpus dadah Miq 5.88 1.73 7.28 19.04
Artocarpus elasticus Reinw. Ex 5.88 1.73 4.66 16.42
Blume
Ficus variegata 5.88 1.73 1.61 13.37
8 Myrtaceae Eugenia lineata 5.88 1.73 14.66 26.42
9 Phyllanthaceae Baccaurea dulcis (Jack) Müll.Arg. 5.88 1.73 15.24 27.00
10 Rubiaceae Coffea canephora Pierre ex 5.88 1.73 8.79 20.55
A.Froehner.
11 Symplocaceae Symplocos cochinchinensis (Lour.) 11.76 3.46 1.69 25.22
S. Moore
12 Theaceae Eurya acuminata 5.88 1.73 2.14 13.90
13 Verbenaceae Vitex pubescens 5.88 1.73 1.69 13.45
Jumlah Total 100.% 29.41% 100.00% 300.01%
Tabel 3. Komposisi dan Struktur Pohon Pada Stasiun 3 di Kawasan Hutan Bukit Barisan
Kota Padang Sumatera Barat
No Famili Nama Jenis KR FR DR INP
(%) (%) (%) (%)
1 Anacardiaceae Swintonia schwenchii 5.00 5.00 14.66 24.66
2 Bignoniaceae Spathodea campanulata P. Beauv. 5.00 5.00 5.98 15.98
3 Centroplacaceae Bhesa paniculata Arn 5.00 5.00 2.98 12.98
4 Dilleniaceae Dillenia borneensis Hoogland 5.00 5.00 1.71 11.71
5 Dipterocarpaceae Dipterocarpus grandiflora 5.00 5.00 5.35 15.35
6 Euphorbiaceae Drypetes polyneura Airy Saw 5.00 5.00 4.04 14.04
7 Fagaceae Quercus argentata 5.00 5.00 3.24 13.24
Quercus robur L. 5.00 5.00 3.96 13.96
8 Lauraceae Cryptocarya densiflora Blume 5.00 5.00 5.57 15.57
Litsea elliptica (BI.) Boerl 5.00 5.00 13.32 23.32
9 Meliaceae Chisocheton sp. 1 5.00 5.00 1.87 11.87
Lansium parasiticum (Osbeck) 5.00 5.00 2.53 12.53
K.C.Sahni & Bennet
10 Moraceae Artocarpus elasticus Reinw. Ex Blume 5.00 5.00 5.58 15.5
Artocarpus heterophyllus Lam. 5.00 5.00 7.03 17.03
Ficus lepicarpa Blume 5.00 5.00 7.03 17.03
Ficus variegata Blume 10.00 10.0 3.77 23.77
11 Phyllanthaceae Baccaurea dulcis (Jack) Mull. Arg 5.00 5.00 4.35 14.35
12 Rubiaceae Coffea canephora Pierre ex 5.00 5.00 3.31 13.31
A.Froehner.
Acronychia sp. 1 5.00 5.00 3.74 13.74
Jumlah Total 100.00% 100.00% 100.00% 300.00%
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 228
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 4. Potensi Kandungan Biomassa hidup pada kawasan Hutan Bukit Barisa Kota Padang,
Sumatera Barat
Biomassa (ton/plot sampel) Biomassa (ton/ha)
No. Tingkatan Total
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1 Pohon 400.22 299.91 1228.56 2.0011 1.49955 6.1428 9.64345
2 Tiang 9.25 6.12 6.42 0.185 0.1224 0.1284 0.4358
3 Pancang 1.13 1.44 0.4 0.0904 0.1152 0.032 0.2376
4 Tumbuhan Bawah 0.41 0.17 0.03 0.205 0.085 0.015 0.305
Total 10.62185
Tabel 5. Potensi Kandungan Karbon pada kawasan Hutan Bukit Barisa Kota Padang,
Sumatera Barat
Karbon (ton/plot sampel) Karbon (ton/ha)
No. Tingkatan Total
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1 Pohon 188.1034 140.9577 577.4232 0.940517 0.704789 2.887116 4.532422
2 Tiang 4.3475 2.8764 3.0174 0.08695 0.057528 0.060348 0.204826
3 Pancang 0.5311 0.6768 0.188 0.042488 0.054144 0.01504 0.111672
Tumbuhan
4 0.194256 0.0782315 0.0135595 0.09635 0.03995 0.00705 0.14335
Bawah
Total 4.99227
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 229
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 7. Potensi Kandungan Biomassa organik mati pada kawasan Hutan Bukit Barisan
Kota Padang, Sumatera Barat
Karbon (ton/plot sampel) Karbon (ton/ha)
No. Tingkatan Total
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1 Pohon Mati 4.5496 22.9078 4.841 0.02275 0.11454 0.02421 0.16149
2 Kayu Mati 582.372 3223.33 754.66 2.91186 16.1167 3.77175 22.8003
3 Serasah 6.2839 1.4288 3.3229 3.14195 0.7144 1.66145 5.5178
Total 28.4796
Jumlah karbon tersimpan berbeda-beda antara tumbuhan yang satu dengan lainnya,
tergantung pada jenis tumbuhan tersebut, karena berbeda jenis berbeda pula berat jenisnya.
Perbedaan jumlah karbon tersimpan pada setiap lokasi penelitian disebabkan perbedaan
kerapatan tumbuhan pada setiap lokasi. Karbon tersimpan pada suatu komunitas hutan juga
dipengaruhi oleh diameter dan berat jenis tanaman. Suatu sistem komunitas hutan yang terdiri
dari jenis-jenis pohon yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi maka biomassanya akan
lebih tinggi bila dibandingkan dengan komunitas hutan yang mempunyai jenis-jenis pohon
dengan nilai kerapatan kayu rendah (Rahayu dkk, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standarisasi Nasional. 2011. Pengukuran dan Perhitungan Cadangan Karbon-
Pengukuran Lapangan Untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan (ground based
forest carbon accounting).BSN. Jakarta.
Efrinaldi. 2014. Dinamika Cadangan Biomassa Dan Karbon DI Taman Nasional Siberut.
Jurnal Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Padang.
Hairiah, K dan Rahayu, S. 2007. Pengukuran .Karbon Tersimpan. Di Berbagai Macam
Penggunaan Lahan. Bogor: World Agroforestry Centre. Bogor.
Ketterings QM, Coe R, van Noordwijk M, Ambagau Palm C. 2001. Reducing Uncertainly in
the Use of Allometric Biomass Equation for Predicting Above-Ground Tree Biomass in
Mixed Secondary Forest. Forest Ecology and Management 146 (2001)199-209.
Sutaryo, D. 2009. Perhitungan Biomassa. Bogor :Wetlands International Indonesia
Programme.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 230
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ABSTRAK
Karakterisasi dan determinasi tumbuhan lamun yang ditemukan di perairan pantai
sekitar kota Denpasar dilakukan untuk digunakan sebagai panduan pengamatan di lapangan
bagi stakeholder dan peneliti pemula. Sampling tumbuhan lamun menggunakan transek tegak
lurus pantai. Karakterisasi dan determinasi ditekankan pada karakter morfologi akar, batang
dan daun. Hasil karakterisasi jenis-jenis yang ditemukan adalah Enhalus acoroides, Thalassia
hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, Halophila
ovalis, Syringodium isoetifolium dan Thalssodendron cilliatum.
PENDAHULUAN
Tumbuhan lamun secara taksonomi termasuk tumbuhan berbunga (Angiospermae)
berkeping satu. Tumbuhan lamun (seagrass) juga dikenal masyarakat daerah sebagai alang-
alang laut.Tumbuhan lamun (seagrass) sering salah dimengerti sebagai rumput laut sebagai
terjemahan langsung dari seagrass. Tumbuhan lamun sering ditemukan sebagai hamparan
yang luas membentuk padang lamun (seagrassbeds). Berbagai organisme berasosiasi di padang
lamun membentuk ekosistem lamun. Sebagai individu, manfaat langsung tumbuhan lamun
bagi kehidupan manusia masih terbatas. Tetapi, secara ekologis tumbuhan lamun telah banyak
dikemukakan memiliki peranan yang sangat penting bagi ekosistem pantai, sebagai produser
(Sand-Jensen, 1975 Coleman dan Burkholder, 1994), berbagai hewan, sebagai nurshery
ground, feeding ground dan spawning ground (Shieh and Yang, 1997). Namun pemahaman
masyarakat terhadap kebradaan tumbuhan lamun masih terbatas.
Padang lamun dapat ditemukan di beberapa wilayah perairan pantai di Bali seperti
Taman nasional Bali Barat, kawasan Nusa Dua, Kawasan Sanur, Nusa Penida , sekitar Padang
Bai- Karangasem (Yusup, 2008ab). Hasil penelitian Yusup (Yusup, 2008a 2008b) kawasan
perairan Sanur dan Pulau Serangan ditemukan 8 jenis tumbuhan lamun yaitu Enhalus
acoroides, Thalassia hempricii, Thalassodendron cilliatum, Halodule uninervis, Halophila
ovalis, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mensosialisasikan tumbuhan lamun di Bali
melalui berbagai kegiatan yang difasilitasi kerjasama lembaga pendidikan (UNUD) dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO), seperti kegiatan Seagrass Watch dan SegrassNet.
Namun, salah satu kendala yang dihadapi adalah keterbatasan kemampuan mengidentifikasi
tumbuhan lamun. Oleh karena itu diperlukan upaya menyederhanakan cara mengenal jenis
tumbuhan lamun berdasarkan karakteristik luar tumbuhan lamun seperti daun dan akar. Hal
ini sangat dimungkinkan karena jumlah jenis tanaman lamun yang telah berhail diidentifikasi
oleh P2O-LIPI adalah 12 jenis (Kurniadewa, 2006).
METODE
Sampling tumbuhan lamun dilakukan di wilayah peraian sekitar Nusa Dua dan Sanur
Denpasar. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan kombinasi metode English dkk
(1997) dan Short et al. (2004). Identifikasi jenis menggunakan karakteristik morfologi akar dan
daun (Mather dan Bennet, 1994).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 231
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 232
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Thalassia hempricii
Tumbuhan lamun jenis ini banyak ditemukan dikawasan koral yang telah mati (coral
rubble). T. hempricii memiliki bentuk daun pipih memanjang berbentuk pita dengan Ujung
daun membulat. Rhizoma memiliki banyak sisik (scars) antara dua nodus. Pelepah daun
(sheat) menempel pada batang yang tegak pada setiap nodus rhizoma. Panjang daun T.
hempricii dan genus Cymodocea dapat mencapai 30 - 40 cm bahkan bisa tumbuh di kawasan
berlumpur dimana jenis lain tidak mampu tumbuh, seperti di perairan Serang Banten.
Halodulle uninervis
Genus Halodule sangat mudah dibedakan dengan jenis lain karena ukuran daunnya
yang kecil, panjang daun dapat mencapai sekitar 100 mm, dengan lebar daun 1 – 2 mm. Genus
Halodule tumbuh dimana kepadatan jenis lainnya rendah dengan sedimen pasir halus. Jenis-
jenis dari genus Halodule yang ditemukan di wilayah perairan Indonesia adalah H. pinifolia
dan H. uninervis. Kedua jenis memiliki ukuran daun dan rhizoma yang sama, namun ujung
daunnya memiliki perbedaan, ujung daun H uninervis nampak membentuk huruf "V" atau
membentuk dua huruf "V" (tridentate) sedangkan ujung daun H. pinifolia relatif lebih
membulat atau membentuk huruf "V-terbalik" ketika masih muda dan ujung daun akan nampak
membelah ketika dewasa (Kurniadewa, 2008).
Thalassodendron ciliatum
Tumbuhan lamun jenis ini memiliki bentuk daun yang pipih memanjang dan
melengkung. Pada pelepah daun membentuk struktur segi tiga dengan warna merah muda.
Ujung daun membulat dan bergerigi. Ciri khas jenis ini adalah daun terletak pada ujung batang
yang memanjang, bahkan panjang batang dapat lebih dari 10 cm. Memiliki rhizoma yang
mengayu.
Karakteristik morfologi daun dan rhizoma lebih mudah untuk digunakan sebagai acuan
identifikasi di lapangan khususnya bagi peneliti lamun pemula. Berdasarkan karakteristik daun
dan rhizoma dapat disusun kunci determinasi sebagai panduan di lapangan sebagai berikut:
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 233
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
DAFTAR PUSTAKA
Coleman, V.L. And Burkholder, J.M. 1994. Community Structure And Productivity Of
Epiphytic Microalgae On Eelgrass (Zostera marina, L. ) Under Water-Column Nitrate
Enrichment. J. Exp. Mar. Biol. 179 : 29 – 48.
English, S.C.W. and V.Baker. 1997. Survey Manual For Tropical Marine Resources.Australia
Institute Of Marine Science. Townville. Austaralia
Kurniadewa E.T. 2006. Peran Dan Permasalahan Ekosistem Padang Lamun Di Wilayah
Pesisir. Makalah Workshop. Makalah Pada JSPS Workshop: Seaweed And Seagrass.
Kerjasama JSPS-P2O LIPI.- Coastal And Marine Studi Group Universitas Udayana
Denpasr 6- 11 September 2006.
Mather, P. Dan I. Bennet. 1994. A Coral Reef Handbook: A Guide To The Geology, Flora And
Fauna Of The Great Barrier Reef. Surrey Beatty And Sons Pty Limited.New South
Wales.
Sand-Jensen, K. 1975. Biomass, Net Production And Growth Dynamic In An Eelgrass (Zostera
marina L) Population In Vellerup Vig. Denmark. Ophelia . 14 : 185.201.
Shieh, W.Y. And Yang, J.T. 1997. Denitrification In The Rhizosphere Of The Two Sea Grass,
Thalassia hemprichii (Ehrenb.) Ascher And Halodule Uninervis (Forsk.) Ascher. J.
Exp. Mar. Biol And Ecol. 218: 229-241.
Short, F.T. Mckenzie, L.J. Cole, R.G. And Gaeckle J.L. 2004. Seagrassnet Manual For
Scientific Monitoring Of Seagrass Habitat – North West Pacific Edition. University Of
New Hampshire USA; QDPI, Northern Fisheries Centre, Australia.
Yusup, D.S. 2008. Struktur Spatial Tumbuhan Lamun Di Kawasan Pantai Mertasegara
Sanur. Prosiding Makalah Kelautan IV. Universitas Hang Tuah Surabaya, Surabaya-
Mei 2008.
Yusup, D.S. 2008b. Keanekaragaman Tumbuhan Lamun Di Kawasan P. Serangan Bali.
Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas II Dep.. Biologi FMIPA Unair,
Surabaya 19 Juli 2008.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 234
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
INDUKSI PERAKARAN TUNAS KANTONG SEMAR (Nepenthes ampullaria Jack)
DENGAN BEBERAPA KONSENTRASI INDOLE ACETIC ACID (IAA)
SECARA IN VITRO
INTISARI
Telah dilakukan penelitian tentang induksi akar pada tunas kantong semar (Nepenthes
ampullaria Jack) dengan penambahan beberapakonsentrasi Indole Acetic Acid (IAA) Secara in
vitro,pada bulan September sampai Desember 2014 di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan
Jurusan Biologi FMIPA UniversitasAndalasPadang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
konsentrasi IAA yang terbaik untukmenginduksi akar dari tunas Nepenthes ampullaria Jack.
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimen dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Sebagai
perlakuan adalah tanpa pemberian IAA sebagai kontrol, penambahan IAA3 mg/L, IAA6
mg/L,IAA 9 mg/L dan IAA 12 mg/L. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian IAA
dengan konsentrasi 12 mg/L merupakan konsentrasi yang terbaik untuk mempercepat
penginduksian akar pada tunas Nepenthes ampullaria Jack.
ABSTRACT
The research was conducted to induce root of Nepenthes ampullaria Jack. with several
consentrations of Indole Acetic Acid (IAA) by in vitro technique. The study was done from
September to Desember 2014 at Plant Physiology Laboratory, Biology Department, Faculty of
Mathematic and Natural Sciences, Andalas University, Padang. The purpose of the research
was to select the best consentration of IAA to induce root of Nepenthes ampullaria Jack. The
research used Completely Randomized Design (CRD) with 5 treatments and 5 replications.
The treatments were control (without IAA), 3 mg/L of IAA, 6 mg/L of IAA, 9 mg/L of IAA,
and 12 mg/L of IAA. The result showed that the best consentration was 12 mg/L of IAA to
accelerate root induction of Nepenthes ampullaria Jack.
PENDAHULUAN
Kantong semar (Nepenthes) dikenal sebagai tanaman hias unik. Banyak di antara
kolektor tanaman hias mencoba untuk memiliki dan mengembangkannya. Bentuk kantong dan
corak warna Nepenthes memiliki nilai seni yang unik dan artistik.Apabila dikembangkan
Nepenthes mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi sebagai tanaman hias pot, pekarangan,
pengisi rangkaian vas bunga, tanaman hias dalam botol hasil pengembangan kultur jaringan.
Pecinta tanaman hias menggunakan batang Nepenthes sebagai tali pengikat, sangkar burung,
dan pagar. Akar dan cairan kantong dipakai sebagai obat. Kantong digunakan untuk
membungkus ketupat (Mansur, 2006).
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 235
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Nepenthes diklasifikasikan sebagai tumbuhan karnivora karena mampu memangsa
serangga. Kemampuannya itu disebabkan oleh adanya organ berbentuk kantong yang menjulur
dari ujung daunnya. Organ itu disebut pitcheratau kantong. Nepenthes termasuk salah satu
sumber keanekaragaman hayati Indonesia yang sudah terancam punah dan belum
dimanfaatkan secara optimal, padahal tanaman Nepenthes ini memiliki nilai ekonomi cukup
tinggi jika dikembangkan sebagai tanaman hias. Kantong semar dijadikan sebagai tanaman hias
pilihan yang eksotis di Negara Jepang, Eropa, Amerika dan Australia. Akan tetapi di Negara
Indonesia sendiri justru tidak banyak yang mengenal dan memanfaatkannya (Witarto, 2006).
Status Nepenthes spp. termasuk tanaman yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang
No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan
Pemerintah No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Hal ini sejalan dengan
regulasi Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), dari 103 jenis
Nepenthes spp. di dunia yang sudah dipublikasikan, 2 jenis: N. rajah dan N. khasiana masuk
dalam kategori Appendix-1. Sisanya berada dalam kategori Appendix-2. Itu berarti segala
bentuk kegiatan perdagangan sangat dibatasi (Azwar, 2002).
Teknik perbanyakan Nepenthesdapat dilakukan dengan cara setek batang, biji,
pemisahan anakan dan kultur jaringan (Mansur, 2007). Pada perbanyakan konvensional
terdapat permasalahan yang terjadi yaitu persentase berkecambah yang rendah, pertumbuhan
akar dari stek lambat, daya adaptasi tanaman rendah dan tidak semua tanaman menghasilkan
anakan (Suska, 2005). Untuk menjaga kelestarian tanaman Nepenthes, maka diperlukan suatu
metode budidaya yang tepat, sehingga dapat diperoleh tanaman dalam jumlah banyak dan
dalam waktu yang relatif lebih cepat. Metode kultur jaringan merupakan salah satu cara
perbanyakan untuk mendapatkan tanaman Nepenthesdalam jumlah banyak secara cepat.
Penggunaan teknik kultur jaringan untuk propagasi Nepenthes sudah dilakukan di
LaboratoriumFisiologiTmbuhandanKulturJaringanJurusanBiologi. DiantaranyaHanafi (2010)
menggunakan BAP dan medium modifikasi untuk memacu pertumbuhan tunas Nepenthes
ampullaria. Pada penelitian tersebut MS 1/4 hara makro dan 4 ppm BAP menunjukkan
pertumbuhan tunas yang terbaik. Santi (2010) juga melakukan kultur jaringan pada Nepenthes
ampullaria dengan menggunakan GA3 untuk elongasi tunas,. Hasil yang didapatkan 2,0 ppm
GA3memberikan pengaruh terbaik pada elongasi tunas N. mirabilis. Penelitian-penelitian
untuk menginduksi akar Nepenthes belum menunjukkan keberhasilan yang nyata. Angraini
(2008) menggunakan IBA (indole -3 butyric acid) 500 ppm untuk pertumbuhan akar dari stek
batang N. mirabilis, ternyata tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan akar dari stek batang N.
mirabilis.Oleh karena itu perlu dilakukannya penelitian lanjutantentang induksi akar pada tunas
Nepenthes ampullaria pada media modifikasi murashige dan skoog (MS) dengan penambahan
beberapa konsentrasi NAA secara in vitro.
Aklimatisasi merupakan proses penyesuaian peralihan lingkungan dari kondisi
heterotrof ke lingkungan autotrof pada planlet tanaman yang diperoleh melalui teknik in vitro
(Wattimena, 1997). Menurut Zulkarnain (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan planlet selama tahap aklimatisasi adalah media tanam, intensitas cahaya,
kelembaban dan suhu ruang. Menurut Hartmann dan Kester (1990), media tumbuh yang ideal
untuk tanaman secara umum adalah media yang memiliki syarat-syarat seperti struktur gembur,
aerasi dan drainase yang baik serta kelembapan cukup, bebas organisme pengganggu dan bahan
berbahaya seperti pestisida, cukup hara mineral dan bobotnya ringan.
Nepenthes diketahui sangat baik beradaptasi untuk tumbuh di tanah miskin hara yang
memiliki unsur hara esensial seperti nitrogen, fosfor dan kalium yang sangat rendah serta
tingkat kemasaman tanah yang tinggi yang umumnya menjadi faktor pembatas bagi
pertumbuhan tanaman. Dengan demikian, Nepenthes berpotensi dikembangkan di lahan-lahan
miskin hara yang dievaluasi sudah tidak sesuai untuk pertanaman tanaman pangan atau
perkebunan (Purwati, 1993; Bratawinata dan Ilola, 2002; Mansur, 2006; Witarto, 2006;
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 236
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Mardhiana et al., 2007; Eilenberg et al, 2010). Nepenthes banyak ditemukan pada kawasan
yang tidak subur dengan kandungan unsur hara yang rendah seperti N, P, dan K, tanah masam
dengan pH tanah berkisar 2-4,5, dan kelembaban tinggi (Ellison dan Gotelli, 2001; Moran,
2006; Mansur, 2006).
Berdasarkan hal diatas, diketahui bahwa aklimatisasi sangat penting untuk
mendapatkan bibit yang baik mampu bertahan hidup di lingkungan alami. Nepenthes hasil
kultur jaringan harus melalui proses aklimatisasi untuk dapat ditumbuhkan di lingkungan
alaminya kembali atau menjadi tanaman hias. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui konsentrasi IAA yang terbaik dalammenginduksi akar tunas Nepenthes ampullaria
Jack.secarain vitro. Dengan adanya informasi tentang cara penginduksiaan akar Nepenthes
ampullaria secara kultur jaringan dan cara melakukan proses aklimatisasinya, akan didapat
cara penyediaan bibit Nepenthes secara in vitro sebagai salah satu upaya konservasinya.
Gambar 1. Bahan tunas Nepenthes yang dikultur secara in vitro sebagai sumber eksplan
(Hanafi, 2010)
HASIL
Pengamatan persentase yang hidup dihitung pada 12 minggu setelah masa tanam.
Persentase planlet yang hidup pada masing-masing perlakuan ditampilkan pada Tabel 1.Hasil
pengamatan terhadap persentase hidup planlet Nepenthes menunjukkan bahwa dengan
pemberian beberapa konsentrasi IAA persentase tumbuhnya telah mencapai100%.
Tabel 1. Persentase planlet Nepenthes ampullaria Jack. yang hidup pada medium MS
dengan penambahan beberapa konsentrasi Indole Acetic Acid (IAA)
Perlakuan Persentase Hidup Eksplan (%)
A. Tanpa ZPT 100
B. 3 ppm IAA 100
C. 6 ppm IAA 100
D. 9 ppm IAA 100
E. 12 ppm IAA 100
Waktu munculnya akar, persentase akar yang tumbuh, panjang akar dan jumlah akar
disajikan pada Tabel 2. Eksplan yang diberikan perlakuan IAA waktu munculnya akar lebih
cepat dibandingkan dengan eksplan yang tanpa diberi perlakuan IAA.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 237
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 2: Waktu pertama munculnya akar, persentase akar tumbuh, panjang akar dan
jumlahakar Nepenthes ampullaria Jack. yang hidup pada medium MS dengan
penambahan beberapa konsentrasi Indole Acetic Acid (IAA)
Rata-rata
Kisaran Waktu Persentase Akar Rata-rata
Perlakuan Panjang Akar
Muncul Akar (hst) Tumbuh (%) Jumlah Akar
(mm)
A. Tanpa ZPT 28-37 40 7.7 1.10
B. 3 ppm IAA 23-31 80 7.8 1.51
C. 6 ppm IAA 24-28 100 9.2 1.86
D. 9 ppm IAA 18-26 100 8.8 1.20
E. 12 ppm IAA 17-25 100 10.8 3.45
PEMBAHASAN
Persentasehidupekaplantpadapenambahan IAAdalam mediumdengankonsentrasi 0
ppm, 3ppm, 6 ppm, 9 ppm, dan 12 ppm adalah 100%. Hal ini menunjukkan bahwa medium
MS yang digunakan dengan penambahan beberapa konsentrasi IAA dapat menyokong
pertumbuhan planlet Nepenthes. Inidikarenakanmedium MS sudahmengandung unsur-unsur
hara makro, mikro, vitamin dan asam amino yang diperlukan untuk pertumbuhantanaman.
Gunawan (1987) menyatakan bahwa media MS merupakan media dasar yang mengandung
hara essensial, sumber energi dan vitamin yang menunjang kebutuhan nutrisi mikropogasi
kebanyakan jenis tumbuhan. Purwanto (2007) menyatakan media MS adalah salah satu media
yang sering digunakan untuk kultur jaringan Nepenthes. Persentase hidup planlet N. ampullaria
100% ini kemungkinan juga disebabkan karena sumber eksplan yang digunakan adalah dari
jaringan tanaman yang masih muda yang masih aktif membelah. Menurut Dixon dan Gonzalez
(1985), salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan eksplan adalah zat pengatur
tumbuh yang ditambahkan kedalam medium dan zat pengatur tumbuh dapat membantu
differensiasi sel dan memacu pertumbuhan sel terus menerus.
Akar muncul lebih cepat pada medum yang diberi IAA. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Zong, Yi Li dan Zhen (2008) bahwa peran utama auksin pada perbanyakan tanaman
adalah menstimulasi akar pada tanaman tersebut. Pemberian 12 ppm IAA dapat mempercepat
munculnya akar. Menurut Whetherell (1982), IAA merupakan golongan auksin yang apabila
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 238
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
diberikan pada konsentrasi yang tepat dapat merangsang pembelahan, perbesaran dan
pertumbuhan sel, juga berpengaruh pada pembentukan akar dan pemanjangan akar.
Menurut Salisbury dan Ross (1992) auksin memegang peranan penting pada proses
pembelahan dan pembesaran sel, terutama di awal pembentukan akar. IAA sebagai hormon
perakaran akan menghasilkan akar yang cepat menjadi panjang dan berbentuk akar serabut
yang kuat. IAA memiliki sifat kimia yang lebih stabil dibandingkan dengan hormon lainnya
dan tidak mudah teroksidasi (Tamas, 1995; Baraldi, 1995; De Klerk, Brugge dan Meekes1995).
Auksin memiliki selang konsentrasi nontoksik yang lebar dan aman jika digunakan pada
berbagai spesies tanaman (Hartman dan Ketser, 1990), disamping itu auxin paling efektif dan
murah dibandingkan dengan jenis zat pengatur tumbuh lainnya (Wattimena, 1992).
Konsentrasi auksin yang diberikan pada jenis tanaman memilki respon yang berbeda
terhadap perakaran, sebagaimana yang telah ditemukan oleh beberapa peneliti di antaranya
pada Centella asiatica (L) dengan medium MS+2,46 μM IBA dapat mempercepat munculnya
akar (Tiwari, Sarma dan Sigh 2000), pada Enset (Ensete ventricosum Welw. Chersman) dengan
medium MS ½ + 5 μM IBA + 1 g/L arang aktif + 1 μM BAP (Neglash, Puite, dan Krens., 2000)
dan pada Anthemis nobilis, L dengan medium MS + 0,5 μM IBA (Echeverrigaray, Fracaro dan
Serafini., 2000).
Menurut Wattimena (1991), pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro
dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh yang tersedia pada
medium dengan zat pengatur tumbuh yang ada di dalam eksplan. Selain kandungan auksin
yang sudah proporsional, unsur hara yang terkandung dalam medium sudah mencukupi untuk
mendukung pertumbuhan akar. Menurut (Arteca 2006) auksin adalah satu-satunya kelas
hormon tumbuhan yang mempengaruhi pengakaran dan digunakan secara komersial untuk
menstimulasi pengakaran adventif. Hasil penelitian Marks dan Simpson(2000) menunjukkan
pemberian auksinIBA 2,0 mg/L dapat meningkatkan persentase akar pada tanaman Cinchona
ledgeriana Moens dan penelitian Ardiana dan Fitrianingsih, (2010) penambahan IBA 2 ppm
pada media MS merupakan konsentrasi terbaik untuk pertumbuhan akar pada tunas Carica
papaya..
Hartmann dan Kester (1983) menambahkan bahwa IAA tidak menyebabkan racun pada
tanaman karena mempunyai kisaran konsentrasi yang lebar dan efektif dalam menstimulir akar
pada sejumlah besar spesies tanaman. Hasil penelitian Hasanah dan Nintya (2007)
menunjukkanbahwa pembentukan akar pada stek batang nilam (Pogostemon cablin Benth.)
setelah direndam IBA (Indol Butyric Acid) pada konsentrasi berbeda, mencapaihasil terbaik
pada stek batang yang direndam IBA dengan konsentrasi 25 ppm, karena pada konsentrasi ini
diperoleh jumlah akar, panjang akar, berat basah dan berat kering yang optimal.
Hal diatas sesuai dengan pernyataan Macdonald (2002)yang menyatakan bahwa
kegunaan dari hormon pengakaran yaitu secara keseluruhan meningkatkan persentase
pengakaran, mempercepat inisiasi pengakaran, meningkatkan jumlah dan kualitas dari akar,
dan mendorong pengakaran yang seragam. Peran auksin yang utama adalah menstimulasi akar
dan meningkatkan jumlah akar. Fungsi dari akar adalah menyerap unsur hara dan air yang
diperlukan dalam metabolisme tanaman Sitompul dan Guritno, (1995). Jumlah akar
menunjukkan kemampuan dalam melakukan penyerapan unsur hara Schuurman dan
Goedewaagen, (1971). Hal ini didukung oleh penelitian Hanson, Nichols dan Steele (2005)
yang menyatakan bahwa penambahan hormon IBA pada Diospyros samoensisGray. dapat
meningkatkan jumlah akar secara signifikan.
Tanaman dengan jumlah akar yang banyak akan meningkatkan penyerapan unsur hara
dan air yang dapat mendukung pertumbuhan dari tanaman. Hartmann danKetser (1997)
menambahkan bahwa akar sebagai organ tumbuh geotrofik, selain berfungsi sebagai penegak
batang, juga berperan sebagai organ penghisap hara dalam mendukung laju pertumbuhan.
Perakaran yang baik akan mampu menopang pertumbuhan dari tanaman
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 239
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SIMPULAN
Dari penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian IAA dapat
mempercepat munculnya akar dan jumlah akar pada kultur Nepenthes ampullaria, dengan
konsentrasi yang terbaik 12 ppm. Perlakuan aklimatisasi pada beberapa media tanam dan
pemberian mikoriza masih sedang dalam pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Antony, J. L. 1992. In vitro propagation of Drosera spp. Hort Science 27(7): 850
Anggraini, R. 2008. Pemberian Indole -3 Butyric Acid (IBA) Terhadap Pertumbuhan AkarDari
Stek Batang Tanaman Kantong Semar(Nepenthes mirabilis Druce). Skripsi Sarjana
Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Andalas. Padang.
Azwar, F. 2002. Kantong Semar (Nepenthes spp.) di Hutan Sumatra, Tanaman Unik yang
Semakin Langka. http://www.LIPI.go.id.
Eilenberg, H., S. P.Cohen, Y.Rahamin, E.Sionov, E.Segal, S.Carmeli, A.Zilberstein. 2010.
Induced Production of Antifungal Naphtoquinones in the Pitchers of the Carnivorous
Plant Nepenthes khasiana.
Ellison, A. M., N. J.Gotelli. 2001. Evolutionary Ecology of Carnivorus Plants. Trends Ecol.
Evol 16:623-629.
Gentry, H. A. 1989. Endemizem in Tropical Versus Tempered Plant Comonitis. In
Conservations Biologi. The Sains of Scansity and Sanderlant. Massachused. USA. p.153-
155.
Hanafi, H. 2010. PertumbuhanNepenthes ampullariaJack. Pada Medium Modifikasi
danPenambahan Beberapa Konsentrasi BAP. Skripsi Sarjana Biologi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Andalas. Padang.
Handayani, T. 2000. Perbanyakan Tanaman Kantong Semar(Nepenthes spp.)denganStek
Batang. UPT BP Kebun Raya. Bogor. Vol.3 No. 1:26-31
Hartmann, H. T., D. E. Kester. 1990. Plant Propagation, Principles and Practices. Fifth edition.
Prentice Hall International Inc. Manila.
Hernawati, Akhriadi. 2006. A File Guide to the Nepenthes of Sumatera. Jawa Barat. Indonesia:
Pili Publisher. hlm. 1-32.Idris, M. 2005. Pengaruh Media Tanam Terhadap Pertumbuhan
Bibit Jeruk Kacang (Citrus reticulata Blanco. Var. Chryssocarpa) Hasil Kultur In
Vitro. Skripsi. JurusanBiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Andalas. Padang
Mardhiana, Herdiansyah, N.Mansyur. 2007. Potensi nepenthes sebagai herbal berkhasiat.
Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing DP2M, Ditjen, Dikti. Tarakan, Universitas
Borneo.
Mansur, M. 2004. Koleksi Herbarium Nepenthes Gracilis K. Penyebaran dan Potensinya
Sebagai Tanaman Hias. Prosiding Seminar Nasional Florikultura, Bogor, 4-5 Agustus
2004. Puslit Biologi-LIPI. Bogor
Mansyur M. 2006. Nepenthes, Kantong Semar yang Unik. Penebar Swadaya: Jakarta.
Moran J. 2006. Live and death in a pitcher. Nat. History115:56-65.
Purwanto, A.W. 2007. Budi Daya ex-situ Nepenthes Kantong Semar nan Eksotis.Kanisius.
Yogyakarta
Purwati S. 1993. Studi Isolasi Senyawa Batang Tanaman Kantong Semar(N. gymnamphora)
Dalam Fraksi Netral dan Penentuan Struktur Molekulnya. Penelitian Tanaman Obat di
beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia. V. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Departemen Kesehatan RI.
Raharja, P.C. 1991. Kultur Jaringan Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Modern.Penebar
Swadaya: Jakarta.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 240
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Santi, A. R. 2010. Elongasi Tunas Nepenthes ampullaria Jack. dengan Beberapa Konsentrasi
GA3 Secara In Vitro. Skripsi Sarjana Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Andalas. Padang.
Singh, G. 2003. Plant Systematic An Integrated Approach. Science Publisher, Inc., Enfield,
NH, USA.
Sudarmadji. 2002. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati di Era Pelaksanaan Otonomi Daerah. http://www.unej.ac.id/
Fakultas/mipa/vol 3.no_1/sudarmadji.pdf.
Sukamto, A. L. 2005. Kultur Nepenthes albormaginata secara In Vitro. Bidang Botani. Pusat
Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pendidikan Indonesia.
Suska, M. A. 2005. Nepenthes ampullaria Vegetarian dari Keluarga Karnivora. Trubus 433,
Hal 88 - 89.
Wattimena, G. A. 1989. Bioteknologi tanaman. Tim Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman.
Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB : Bogor.
Wetter, L. R, F Constabel. 1991. Metoda Kultur Jaringan Tanaman Edisi Kedua. ITB.
Bandung.
Wetherel. 1988. Pengantar Propogasi Tanaman Secara In Vitro. IKIP Semarang Press.
Semarang
Witarto A. B. 2006. Protein pencerna di Kantong Semar. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. http://www.lipi.go.id.
Yusnita. 2003. KulturJaringan : Cara MemperbanyakTanaman Secara Efisien.
AgromediaPustaka. Tanggerang.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman; Solusi Perbanyakan Tanaman Budi Daya. Bumi
Aksara, Jakarta.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 241
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
STUDI PENDAHULUAN VARIASI GENETIK MASYARAKAT DAYAK
DI KOTA PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH
BERDASARKAN ENAM LOKUS MIKROSATELIT AUTOSOM
INTISARI
Studi pendahuluan variasi genetik DNA mikrosatelit autosom pada masyarakat Dayak
di kota Palangkaraya Kalimantan Tengah dilakukan untuk mengetahui ragam alel dan
keragaman genetik serta kekuatan pembeda (Power Discrimination/PD) untuk kepentingan
forensik. Penelitian ini menggunakan enam pasang primer untuk mengaplifikasi lokus DNA
mikrosatelit autosom D2S1338, VWA, D11S1984, D13S317, D16S539 dan CSF1PO. DNA
diekstraksi dari sampel epitel menggunakan metoda fenol chloroform dari 53 orang probandus.
Sampel DNA diamplifikasi pada mesin PCR dan aplikon dielektroforesis pada gel
poliakrilamide 10% dan visualisasi DNA dengan pewarnaan peraknitrat. Dari penelitian ini
diperoleh sebanyak 68 ragam alel dengan rata-rata 11,5 per lokus. Keragaman genetik rata-
rata sebesar 0,874 ± 0,005 dan nilai Power of Discrimination (PD) sebesar 0,957. Keenam
lokus tersebut baik digunakan dalam analisis DNA masyarakat Dayak di Kota Palangkaraya.
PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia dihuni oleh berbagai suku bangsa yang memiliki
keunikan budaya masing-masing. Setiap kelompok masyarakat yang memiliki budaya dengan
corak khas berbeda dengan budaya masyarakat yang lain disebut sebagai “suku bangsa” atau
etnik. Setiap anggota suatu suku bangsa terikat oleh kesadaran dan identitas suatu kebudayaan
dengan bahasanya masing-masing. Terdapat 188 suku bangsa yang menghuni pulau-pulau
besar maupun kecil di Indonesia (Koentjaraningrat, 1990) seperti orang Batak, Nias, Dayak,
Bugis, Jawa, Sunda, Madura, orang Bali, orang Sasak, Suka Dani, dll. Orang Dayak
merupakan penduduk mayoritas di provinsi Kalimantan Tengah yang terbagi atas beberapa
suku bangsa seperti Ngaju, Ot Danum, Ma’anyan, Ot Siang, Lawangan, Katingan dll. Selain
orang Dayak sebagai penduduka “asli” di Kalimantan Tengah juga dihuni oleh orang-orang
Banjar, Bugis, Madura, Melayu, Cina dll (Danandjaja, 1999).
Orang Dayak memiliki budaya leluhur yaitu pemujaan terhadap ruh leluhur dengan
prisnsip keturunan berdasarkan system ambilineal yang sampai sekarang masih tetap
dilaksanakan oleh Dayak Kaharingan (Danandjaja, 1999, Susanto, 2003; Pranata dkk, 2009).
Upacara Tiwah merupakan upacara pada masyarakat Dayak Kaharingan untuk menghantarkan
jiwa orang yang sudah meninggal menuju lewu tatau, alam makmur dan sejahtera (Sciller,
1987). Upacara demikian tidak lagi dilaksanakan oleh suku bangsa Dayak yang hidup di bagian
hilir sungai yang budayanya telah beralkuturasi dengan budaya suku bangsa pendatang seperti
suku bangsa Ngaju (Danandjaja, 1999).
Perbedaan budaya cenderung menjadi salah satu hambatan untuk terjadinya perkawinan
antara mereka dengan kepercayaan yang berbeda. Hambatan perkawinan antar suku bangsa
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 242
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
akan menyebabkan akumulasi genetic berbeda antar suku bangsa atau etnis. Etnis yang
cenderung melakukan perkawinan endogamy akan memiliki keragaman genetic lebih rendah
dibandingkan dengan perkawinan eksogami karena adanya aliran gen masuk ke dalam suatu
kelompok masyarakat. Perbedaan genetic antar suku bangsa (etnis) baik disebabkan oleh
sumber gen berbeda maupun akibat aliran masuknya gen-gen baru dari luar kelompok
masyarakat maupun adanya mutasi akan sangat berarti dari aspek forensic. Perbedaan genetic
dapat dilihat dari perbedaan ragam alel yang terdapat pada masing-masing kelompok
masyarakat berkaitan dengan perbedaan sumber gen asal pembentuk suatu masyarakat.
Penanda genetic short tandem repeat (STR) yang juga dikenal dengan penanda DNA
mikrosatelit terdiri atas dua sampai enam pasangan basa yang bergandeng berulang. Penanda
ini digunakan dalam forensic untuk analisis paternitas dalam kasus ragu ayah atau menentukan
identitas individu dalaam kasus kejahatan. Dalam analisis DNA sekarang ini digunakan
sebanyak 16 lokus (Butler, 2004) yang berbeda-beda tergantung pada ras atau etnis yang
dianalisa. Perbedaan lokus yang digunakan berkaitan dengan perbedaan nilai pembeda (Power
of discrimination)masing-masing masing-masing lokus pada etnis yang berbeda (Rudin and
Crim, 2002).
Berdasarkan latar belakang tersebut dilakukan penelitian pendahuluan variasi genetic
masyarakat Dayak di kota Palangkaraya Kalimantan Tengah untuk mengetahui ragam alel dan
keragaman genetik untuk kepentingan forensik.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 243
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
(annealing site) dan primer tidak menempel sehinggga tidak terjadinya proses amplifikasi yang
pada akhirnya tidak diperoleh DNA hasil PCR menghasilkan null alel (Dakin and Avise, 2004).
Contoh ragam alel hasil amplifikasi (amplikon) pada elektrogram masing-masing lokus
disajikan pada gambar berikut.
A B C
D E F
Gambar 1. Elektrogram amplikon sampel DNA pada enam lokus penanda DNA mikrosatelit
autosom.
Keterangan: A. lokus D2S1338, B. VWA, C. D11S1984, D. D13S317, E. D16S539 dan
F. CSF1PO. Angka adalah ukuran DNA dalam jumlah pasang basa (pb) dan L adalah
DNA standar (ladder)
Hasil amplifikasi sampel DNA pada enam lokus penanda mikrosatelit autosom
terhadap 53 orang probandus masyarakat Suku Bangsa Dayak di kota Palangkaraya diperoleh
sebanyak 68 ragam alel dengan rata-rata 11 ragam alel per lokus. Lokus VWA menghasilkan
ragam alel paling banyak yaitu sebanyak 14 ragam alel dengan panjang 120 – 176pb secara
beurutan diikuti oleh lokus D2S1338 sebanyak 13 alel (153-205pb), D11S1984 sebanyak 12
alel (166-214pb), D13S317 sebanyak 11 alel (160-200pb), dan masing-masing Sembilan ragam
alel pada D16S539 (136-168pb) maupun lokus CSF1PO dengan panjang alel antara 284
sampai 316pb. Data ragam alel dan frekuensinya disajikan pada Tabel 1.
Ukuran panjang alel D2S1338 pada penelitian ini antara 153-205pb (Tabel 1)
ditemukan juga pada masyarakat suku bangsa Batak di Kota Denpasar dan Badung dengan
panjang antara 157-209pb (Unadi dkk., 2010), ditemukan juga pada masyarakat desa Bali Aga
Sembiran Kecamatan Tejakula kabupaten Buleleng dan masyarakat Bali lainnya (Junitha dan
Alit., 2011; Laksmita dkk., 2015). Sedangkan untuk lokus D11S1984 pada penelitian ini
ditemukan 12 (Tabel 1) ragam alel lebih banyak dibandingkan penelitian Junitha (2004) pada
masyarakat Bali Aga Tenganan Pegringsingan sebanyak 10 alel (170-210pb) dan Sembilan
ragam alel (166-202pb) pada masyarakat Bali Aga Sembiran (Junitha dan Alit.,2011).
Demikian juga untuk lokus D13S317 dan D16S539 pada masyarakat Dayak di kota
Palangkaraya (Tabel 1) diperoleh ragam alel lebih banyak dibandingkan pada masyarakat
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 244
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Batak di kota Denpasar dan Badung maupun masyarakat Bali Aga desa Sembiran Buleleng.
Pada masyarakat Batak di kota Denpasar dan Badung ditemukan ragam alel berukuran 168-
204pb pada lokus D13S317 dan delapan ragam alel (136-168) pada lokus D16S539. Sedangkan
pada masyarakat Bali Aga Sembiran Buleleng ditemukan masing-masing enam ragam alel
pada lokus D13S317 dan D16S539. Kemiripan ragam alel yang tersebar pada masyarakat suku
bangsa Dayak, Batak dan Bali disebabkan oleh karena sama-sama merupakan keturunan dari
kelompok masyarakat Austronesia (Bellwood, 2000).
Tabel 2. Keragaman genetika (h) dan kekuatan pembeda (PD) pada masing-masing lokus
pada masyarakat Dayak di Kota Palangkaraya
Lokus Keragaman genetika (h) Kekuatan pembeda (PD)
D2S1338 0,907 ± 0,003 0,978
VWA 0,919 ± 0,004 0,983
D11S1984 0,885 ± 0,007 0,963
D13S317 0,867 ± 0,004 0,955
D16S539 0,851 ± 0,005 0,945
CSF1PO 0,819 ± 0,005 0,917
Rata-rata 0,875 ± 0,005 0,957
Untuk kepentingan forensic nilai keragaman genetika (h) dan kekeuatan pembeda (PD)
setiap lokus yang digunakan sangat menentukan baik tidaknya lokus tersebut digunakan dalam
nalisis DNA. Dari penelitian ini seperti yang tersaji pada table 2 tampak bahwa semua lokus
memiliki nilai keragaman genetika dan kekuatan pembeda yang tinggi bahkan semua lokus
memiliki kekuatan pembeda diatas 0,9 dengan rata-rata 0,957. Nilai keragaman genetika (h)
akan sejalan dengan nilai kekuatan pembedanya (PD). Keragaman genetik (h) dan kekutan
pembeda (PD) ditentukan oleh banyaknya ragam alel pada masing-masing lokus maupun
frekuensi masing-masing ragam alelnya. Banyaknya ragam alel dan meratanya frekuensi
masing-masing alel dalam satu lokus (Tabel 1) akan meningkatnya nilai keragaman genetika
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 245
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
(h) maupun kekuatan pembedanya (Rudin and Crim, 2002). Peningkatan nilai kekuatan
pembeda (PD) dari masing-masing lokus yang digunakan dalam analisa DNA akan
meningkatkan peluang eksklusinya (Puja dan Sulabda, 2009). Hal ini penting dalam analisia
DNA untuk paternitas dan kepentingan forensik. Dari data nilai keragaman genetika dan
kekeuatan pembedanya semua lokus yang diuji pada penelitian ini sangat baik digunakan
dalam anlisis DNA untuk kepentingan forensik. Pengujian suatu lokus yang akan digunakan
dalam analisis DNA untuk kepentingan forensik sangat diperlukan untuk ketepat guanaan satu
lokus pada masing-masing masyarakat. Pengujian lokus lainnya dari penanda mikrosatelit
autosum hingga mencapai 16 lokus sesuai standar untuk analisis DNA perlu dilakukan pada
masyarakat Dayak baik di kota Palangkaraya maupun di tempat lainnya secara menyeluruh
sehingga ragam alel yang tersebar dan nilai keragaman maupun kekuatan pembedanya dapat
diketahui. Aplikasi lokus penanda DNA mikrosatelit berbeda untuk analisis DNA dilakukan
pada kawasan berbeda. Sebagai contoh di Brazilia digunakan lokus D3S1744 dan D7467 bukan
D3S317 dan D7S820 seperti yang digunakan di Amerika (de Sauza et al., 2002; da Silva et al.,
2004; Butler, 2006).
SIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keenam lokus D2S1338, VWA,
D11S1984, D13S317 , D16S539 dan CSF1PO sangat baik digunakan untuk analisis DNA pada
masyarakat Dayak di Kota Palangkaraya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Kami menyampaikan terimakasih kepada masyarakat Dayak di kota Palangkaraya yang
telah dengan sukarela ikut ambil bagian dalam penelitian ini dengan memberikan keterangan,
data dan sampel epitelnya sehingga penelitian ini dapat berjalan. Demikian juga kepala UPT
Forensik Universitas Udayana yang telah mengizinkan pengggunaan fasilitas laboratorium
DNA dan Serologi Forensik untuk digunakan dalam penelitian ini. Tak lupa juga kami
sampaikan terimakasih kepada kepala laboratorium molekuler Pusat Studi Primata Universitas
Udayana atas izin penggunaan fasilitas laboratorium di Pusat Studi Primata kampus Bukit
Jimbaran.
DAFTAR PUSTAKA
Belwood P. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. PT. Gramedia sarata Utama. Jakarta.
Butler, J.M. 2004. Short Tandem Analysis for Human Identity Testing. Current Protocals on
Human Genetics. 14: 14-18.
Butler , J. M. 2006. Forensic DNA Typing: Biology, Technology and Genetic of STR. Secon
edition. Elsevier Academic Press. New York.
Dakin , E. E. and Avise, J.C. 2004. Microsatellite Null Alleles in Prentage Analysis. Heredity,
93:505-509.
Danandjaja J. 1999. Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah. dalam Manusia dan
Kebudaayaan di Indonesia, editor Kuntjaraningrat. Djambatan. Jakarta.
da Silva, D.A., A.C. de Sauza Goes, J.J de Carvalho, E.F. de Carvalho. 2004. DNA Typing
from Vagina smear slide in suspected rape case. Sao Paulo Med J., 122 (2):70-72
de Sauza Goes A.C., D.A.da Silva, C.S. Domingues, J.M. Sobrinho, and E.F. Carvalho. 2002.
Identification of a criminal by DNA typing in a rape case in Rio de Jeneiro. Brazil.
Sao Paulo med. J. Rev Oaul Med., 120 (3): 77-80.
Gagneux, P., C. Boesch, and D.S.Woddruff.1997. Microsatellite Scoring Errors Asiciated with
Noninvasive Genotyping Based on Nuclear DNA amplified from Shed Hair. Molecular
Ecology 6:861-868.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 246
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Hutschinson, F. 2001. DNA Band Size Semi—log Plotting. Cancer Research Center. Sciene
Education Partnership. 06. 26.01
Junitha I K. 2004. Keragaman Genetik Masyarakat di desa-desa Bali Aga berdasarkan Analisis
DNA dan Sidik Jari. Disertasi. IPB. Bogor.
Junitha I K. dan I B Alit. 2011. Ragam Alel Mikrosatelit DNA Autosom Pada Masyarakat Bali
Aga Desa Sembiran Kabupaten Buleleng. Biota. 16 (1): 63-69.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta
Laksmita A. S., I K. Junitha, Ni L. Watiniasih. 2015. Struktur Genetik dan Ragam Alel Tiga
Generasi Masyarakat Bali Berdasarkan Lima Lokus Penanda DNA Mikrosatelit
Autosom. Metamorfosa. 2 (2): 58-65
Nei, M. 1987. Molecuolumbia University Press. New York
Praqnata, Ambaau dan Handoko. 2009. Upacara Ritual Perkawinan Agama Hindu Kaharingan
(dalam Kitab Suci Panaturan) Filosofi Perkawinan Nyai Endas Bulau Lisan Tinggang
dan Raja Garing Hatungku. Departemen Agama Sekolah Tinggi Kaharingan Tampng
penyang Palangka Raya
Puja I K. dan I N. Sulabda. 2009. Karakterisasi Genetik Kambing Gembrong dari Karangasem
Bali menggunakan DNA Mikrosatelit. Biota. 14 (1): 45-49.
Rudin N. dan K.I.M. Crim. 2002. An Introduction to Forensic DNA Analysis, 2nd Ed. Cold
Spring Harbor Laboratory Press. New York.
Schiller , A.L. 1987. Dynamics of Death: Ritual, Identity and Relegious Change amang the
Kalimantan Ngaju. Faculty of the Graduate School of Cornrell University. New York
Shewale J. G. and R. H. Liu. 2014. Forensic DNA Analysis. CRC Press. New York
Shinde, D., Y.L. Lai, F. Z. Sun and N. Arnheim. 2003. Taq DNA Polimerase Slippage Mutation
Ratess Measured by PCR and Quasilikelihood Analysis: (CA/GT)(n) and (A/T)(n)
Microsatellites. Nucleic Acids Res. 31: 974-980.
Tegelstrorm H., 1986. Mitochondrial DNA in Natural Population: an Improved Routine for
Screening of Genetic Variation Based on Sensitive Silver Staining. Electrophoresis.
7:226-229.
Unadi Y.C., I. Narayani , I K. Junitha. 2010. Variasi Genetik Suku Batak yang Tinggal di Kota
Denpasar dan kabupaten Badung Berdasarkan Tiga Lokus Mikrosatelit DNA
Autosom. J. Bio. 16(2): 33-38.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 247
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
REGENERASI TUNAS DARI KALUS MUTAN SORGUM VARIETAS KAWALI,
MANDAU DAN SUPER I
ABSTRAK
Sorgum (Sorgum bicolor L.) merupakan tanaman serealia yang sudah ditanam oleh
petani Indonesia namun masih dalam areal yang terbatas dan skala kecil. Dibandingkan
serealia lain tanaman sorgum toleran terhadap kekeringan dan dapat berproduksi di lahan
marginal. Saat ini varietas sorgum yang dilepas di Indonesia baru 9 buah sehingga tetap
diperlukan perakitan varietas sorgum berdaya hasil tinggi. Perakitan sorgum dapat dilakukan
antara lain melalui induksi mutasi dikombinasikan dengan kultur in vitro. Tujuan penelitian
adalah melakukan mutasi menggunakan sinar gamma pada kalus sorgum varietas Kawali,
Mandau dan Super I untuk mendapatkan galur mutan yang produksinya tinggi. Induksi kalus
pada biji menggunakan media dasar MS+2,4-D (1; 3; 5 dan 7 mg/l) + NAA (0; 0,1 dan 0,5
mg/l). Iradiasi kalus menggunakan sinar gamma dengan dosis 5, 10, 15 dan 20 Gy. Regenerasi
tunas menggunakan media dasar MS + BA 2 mg/l + kinetin 0,1 mg/l. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa media terbaik untuk induksi kalus adalah 2,4-D 5 mg/l + NAA 0,5 mg/l.
Dosis optimum untuk iradiasi kalus berkisar antara 5-15 Gy. Dan media regenerasi terbaik
ialah media MS + BA 2 + kinetin 0,1 mg/l. Dari ketiga varietas yang digunakan, hanya varietas
Kawali yang memberikan respon terbaik untuk pembentukan tunas dan akar. Plantlet hasil
mutasi (M1) telah diaklimatisasi di rumah kaca untuk evaluasi dan seleksi lebih lanjut.
Kata kunci: sorgum, mutasi,produksi tinggi dan kultur in vitro
ABSTRACT
Sorghum (Sorghum bicolor L.) is one of a cereal crop that has been planted by
Indonesian farmers but still limited in a smell scale. Compare to other cereals, sorgum can be
planted on marginal land due to its toleranc to drought and waterloggig. Currently only 9
sorghum varieties were released.Therefore more high yielding sorghum varieties are required.
The high yielding sorgum varieties can be developed through the induction of mutation
combined with in vitro culture. The research objective is to conduct mutation using gamma
rays on sorghum callus derived from Kawali, Mandau and Super I varieties. To obtain high
yielding mutant lines callus was induced in seed by using basic medium MS + 2,4-D (1,3,5
and 7 mg/l) + NAA (0, 0.1 and 0.5 mg l). Callus irradiation is conducted using gamma rays at
a dose of 5, 10, 15 and 20 Gy. Meanwhile, shoot regeneration use basic medium MS + BA 2
mg l + kinetin 0.1 mg/l. The results showed that the best medium for callus induction from
seeds was 2,4-D 5 mg/l + NAA 0.5 mg /l. The optimum dose for irradiation of callus ranged
between 5-15 Gy. The best shoot regeneration medium is the medium of MS + BA 2 + kinetin
0.1 mg / l. Of the three varieties, only Kawali varieties the best response to the formation of
shoots and roots mutan lines (M1 have been aclimatized in the greenhouse for further
evaluation and selection.
Keywords: sorghum, mutation, high production and culture in vitro
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 248
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN
Sorgum (Sorghum bicolor L.) termasuk golongan serealia yang berpotensi untuk
dikembangkan di Indonesia, bijinya dapat digunakan sebagai bahan pangan dan pakan dan
batang pada sorgum manis dapat digunakan sebagai bahan baku industri seperti gula, sirup
dan sebagai bahan baku bioetanol. Saat ini prospek penggunaan biji sorgum terbesar ialah
untuk pakan, mencapai 26,63 juta ton untuk wilayah Asia dan Australia dan diperkirakan masih
terjadi kekurangan, dan sebagai bahan baku pangan untuk substitusi gandum (Sirappa 2013).
Kandungan karbohidrat pada biji sorgum tergolong tinggi sekitar 73 gr/100 gr (Direktorat
Jendral Perkebunan 1996) dan kandungan asam aminonya tidak kalah dengan bahan makanan
lainnya (Bety et al 1990).
Pengembangan tanaman sorgum oleh petani masih dalam skala yang kecil karena
belum ada pasar yang menjamin bahwa produk mereka akan dibeli. Selain itu, karena varietas
unggul yang tersedia masih terbatas sehingga jenis sorgum yang ditanam oleh petani belum
tentu varietas unggul, sosialiasi ke petani tentang pentingnya tanaman tersebut serta perakitan
varietas untuk menghasilkan galur unggul baru masih tetap dilakukan.
Dengan berkembangnya teknik mutasi dan kultur in vitro memberikan peluang untuk
perbaikan genetik dan pembentukan varietas baru untuk mendapatkan sifat baik seperti daya
hasil biji serta kandungan brik gula dan ketahanan terhadap penyakit (Jain 2010; Lestari et al
2010; Soedjono 2003). Teknik mutasi dapat mempercepat dihasilkannya varietas baru dengan
berbagai sifat atau karakter yang diinginkan (Soeranto 2003).
Keragaman genetik yang tinggi pada suatu populasi sangat bermanfaat dalam program
pemuliaan untuk mendapatkan genotipe unggul (Kinyua et al 2004; Maluszynski 2001).
Teknik mutasi untuk perakitan varietas baru telah dikembangkan di berbagai negara, seperti di
Cina, Korea, Vietnam dan Belanda, tanaman mutan telah di tanam dan dikembangkan secara
luas mencapai ribuan hektar (Jain 2010; Kharkwal et al 2004). Dengan berkembangnya teknik
kultur in vitro maka pemanfaatan teknik mutasi menjadi lebih berkembang, karena lebih cepat
diperoleh hasil dan menguntungkan serta dapat memperkaya plasma nutfah yang ada sekaligus
untuk perbaikan varietas (Kharkwal et al. 2004).
Aplikasi pemuliaan melalui mutasi kombinasi dengan kultur in vitro dapat mempercepat
diperoleh hasil karena melalui kultur in vitro, eksplan yang diberi mutagen jumlahnya tidak
terbatas dan dapat menggunakan materi dengan ukuran kecil seperti kalus, suspensi sel,
protoplas atau tunas pucuk sehingga mutagen yang diberikan langsung mengenai bagian inti
yang mengandung DNA (Suprasanna dan Nakagawa 2012). Selanjutnya dapat dilakukan
seleksi secara in vitro untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan (Foster dan Shu 2012).
Regenerasi tunas dari kalus sorgum telah dilakukan oleh Anbumalarmathi dan Nadarajan
(2007) menggunakan 2,4-D 2 mg/l + kinetin 0,5 mg/l untuk pembentukan kalus dan IAA 5
mg/l + kinetin 0,2 mg/l untuk pembentukan tunas, namun kemampuan pembentukan tunas dari
kalus yang telah diberi perlakuan iradiasi akan menurun sehingga kadang perlu merubah
komposisi media agar optimal. Kemampuan regenerasi tunas dari eksplan kalus, tergantung
genotipe tanaman, komposisi media dan kondisi fisiologi eksplan (Saharan et al 2004),
sehingga perlu kajian jenis dan komposisi media yang sesuai. Maheswari et al (2006)
menyatakan bahwa sorgum termasuk tanaman yang sulit dikulturkan. Beberapa peneliti
berhasil menginisiasi kalus dan meregenerasikan menggunakan eksplan bakal bunga (Cai dan
Butler, 1990; Gupta et al. 2006), McKinnon et al (1987) menggunakan eksplan embrio masak.
Embrio masak merupakan eksplan terbaik karena mudah mendapatkannya, dapat disimpan
lama dan jumlahnya banyak (Jiang et al 2000). Maqbool et al (2001) mengatakan bahwa tunas
pucuk juga dapat digunakan karena mengandung sel yang aktif membelah. Tujuan penelitian
ialah melakukan mutasi pada kalus dan meregenerasikan tunas dari kalus mutan (M1) pada
sorgum varietas Kawali, Mandau dan Super I untuk mendapatkan galur-galur mutan berdaya
hasil tinggi.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 249
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di laboratorium kultur jaringan kelompok peneliti Biologi Sel
dan Jaringan dan rumah kaca BB Biogen Bogor, dari bulan Januari s/d Agustus 2015. Bahan
tanaman yang digunakan ialah biji sorgum varietas Kawali, Mandau dan Super 1, kegiatan
penelitian meliputi induksi kalus dari biji, radiasi kalus, pembentukan plantlet dan aklimatisasi.
Induksi kalus dan induksi mutasi
Eksplan yang digunakan ialah biji masak sorgum varietas Kawali, Mandau dan Super I.
Eksplan disterilisasi menggunakan larutan kloroks 20% selama 10 menit dan kloroks 10%
selama 5 menit, selanjutnya dibilas menggunakan aquades steril 3 kali. Biji yang sudah
disterilisasi ditanam pada media untuk induksi kalus yaitu media dasar MS + zat pengatur
tumbuh auksin 2,4-D (1, 3, 5 dan 7 mg/l) + NAA (0 ; 0,1 dan 0,5 mg/l). Dalam satu botol
ditanam sebanyak 20 butir. Botol yang telah ditanami eksplan diletakkan di dalam ruang
kultur dalam kondisi gelap, temperatur ruangan ±250C selama ± 4 minggu. Peubah yang
diamati ialah waktu pembentukan kalus, warna dan struktur kalus, yang diamati pada minggu
ke-4 setelah tanam.
Kalus yang dihasilkan diseleksi yang warnanya putih dan strukturnya remah untuk
diberi perlakuan iradiasi menggunakan sinar gamma, dosis yang digunakan 5, 10, 15 dan
20 Gy. Radiasi dilaksanakan di PAIR BATAN (Pusat Aplikasi Iradiasi Nuklir ) Pasar Jumat
Jakarta. Kalus yang akan diradiasi dipindahkan ke dalam petridis yang telah diisi media
induksi kalus, banyaknya kalus setiap petridis ± 50 buah. Kalus yang telah diberi perlakuan
radiasi selanjutnya dibiarkan pada media induksi kalus yang baru selama ± dua minggu
sebelum dipindah ke media regenerasi tunas.
Regenerasi tunas
Kalus dari tiga varietas yang telah diberi perlakuan iradiasi dan kontrolnya tanpa iradiasi
di pindah ke media regenerasi yaitu media dasar MS + BA 2 mg/l + kinetin 0,1 mg/l,
selanjutnya diletakkan di dalam rak kultur dengan penyinaran menggunakan lampu TL sebesar
1500 lux selama 16 jam dalam sehari. Peubah yang diamati pada minggu ke- 4 setelah tanam
yaitu pembentukan tunas, jumlah tunas dan visual tunas.
Perakaran
Tunas yang telah diperoleh dari regenerasi kalus selanjutnya dipindah ke media untuk
induksi akar yaitu media dasar MS + IBA dan NAA (0,5 dan 1 mg/l). Masing-masing perlakuan
diulang 10 botol. Botol yang telah ditanami eksplan selanjutnya diletakkan di dalam ruang
kultur dengan pencahayaan lampu neon selama 16 jam sehari. Peubah yang diamati pada
minggu ke-4 setelah tanam ialah jumlah dan panjang akar. Pengamatan jumlah dan panjang
akar dilakukan dari bagian dasar media, bagian bawah botol kultur.
Aklimatisasi
Planlet yang dihasilkan diaklimatisasi di rumah kaca menggunakan media tanah +
pupuk dengan perbandingan 1:1. Perlakuan saat akan dilakukan aklimatisasi adalah akar dari
planlet dicuci kemudian direndam selama 15 menit dalam larutan benlate (0,5 g/l), kemudian
direndam dalam larutan rotone. Untuk menjaga agar kelembaban udara tetap tinggi dan
tanaman tetap segar maka dilakukan pengungkupan menggunakan gelas aqua selama ± 2
minggu. Setelah sungkup dibuka tanaman dibiarkan di bawah cahaya penuh ± satu bulan
sampai tanaman dapat dipindah ke dalam pot.
HASIL
Induksi kalus
Kalus mulai terbentuk pada minggu ke-4 setelah tanam, diawali dengan biji
membengkak dan menghasilkan kumpulan sel berwarna putih kekuningan di pangkal
kecambah. Namun tidak semua biji yang dikulturkan dapat membentuk kalus, disebabkan
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 250
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
karena kontaminasi atau media tidak cocok, Tingkat kontaminasi pada biji sorgum sangat
tinggi disebabkan biji yang digunakan di ambil dari lapang.
Biji yang ditanam pada media MS + 2,4 D 5 mg/l dapat menghasilkan kalus dengan
ukuran lebih besar dibanding perlakuan 2,4-D 3 mg/l (Tabel 1), pada media MS + 2,4-D
1 mg/l kalus yang dihasilkan ukurannya kecil sekali, selain itu membentuk kecambah.
Hasil yang sama terjadi pada induksi kalus sorgum varietas Numbu yaitu media MS+ 2,4-D
5 mg/l dapat menginduksi kalus lebih baik dibanding 2,4-D 1 dan 3 mg/l (Lestari et al 2014).
Tabel 1. Pembentukan kalus pada berbagai media
Perlakuan media Rataan diameter Warna kalus Keterangan
(mg/l) kalus (cm)
2,4-D 1 0,14 putih
2,4-D 3 0,17 putih
2,4-D 5 0,3 putih
2,4-D 7 0,2 putih
2,4-D 1 + NAA 0,1 - - Berkecambah
2,4-D 3 + 0,1 - - Berkecambah
2,4-D 5 + 0,1 - - Berkecambah
2,4-D 7 + 0,1 - - berkecambah
2,4-D 1 + NAA 0,5 - - berkecambah
2,4-D 3 + 0,5 - - berkecambah
2,4-D 5 + 0,5 0,5 putih
2,4-D 7 + 0,5 0,5 putih
Pada percobaan ini kalus yang dihasilkan dari media MS + 2,4-D 1-7 mg/l dianggap
belum optimal (Tabel 1), untuk itu ditambahkan NAA 0,1 dan 0,5 mg/l ke dalam media
yang sudah mengandung 2,4-D 5mg/l, hasil terbaik adalah media MS + 2,4-D 5 dan 7 mg/l
+ 0,5 mg/l NAA .
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 251
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 2. Pertumbuhan kalus yang di iradiasi dengan sinar gamma dan pembentukan tunas
Varietas Dosis radiasi Persentase kalus tetap hidup Warna kalus Jumlah tunas
Kawali
0 100 putih 40
5 100 putih 30
10 100 putih 30
15 100 putih 30
20 80 putih 0
Mandau
0 100 putih 0
5 80 Agak coklat 0
10 80 Agak coklat 0
15 80 Agak coklat 0
20 80 Agak coklat 0
Super I
0 100 putih 0
5 100 putih 0
10 100 putih 0
15 100 putih 0
20 80 putih 0
Induksi akar
Akar pada plantlet mutan M1 Kawali mulai terbentuk pada minggu ke-3 sampai ke-4
setelah tanam, Tabel 3 menunjukkan bahwa akar dapat terbentuk pada media dengan
penambahan IBA dan NAA, namun bila dilihat dari panjang dan kecepatan pembentukannya
maka NAA 0,5 mg/l dapat dianggap paling baik . Pada media tersebut, akar sudah terbentuk
pada minggu ke-3 dan pada minggu ke-6 panjang akar mencapai 5 cm. Perakaran dengan
kualitas baik sangat menentukan keberhasilan dalam tahap aklimatisasi. Untuk itu formulasi
media yang tepat sangat menentukan kualitas akar (Lestari 2011).
Tabel 3. Pembentukan akar pada komposisi media berbeda, minggu ke-6 setelah tanam
Rataan jumlah Rataan panjang Waktu pembentukan
ZPT (mg/l) Konsentrasi
akar akar (cm) akar minggu ke-
IBA 0,5 4 1 4
1 6 3 4
2 6 3 4
NAA 0,5 15 5 3
1 - - -
2 - - -
Aklimatisasi
Plantlet yang dihasilkan cepat menguning sehingga tidak tumbuh saat aklimatisasi .
Plantlet yang masih hijau dan memberikan peluang tumbuh lebih tinggi. Pada Tabel 4 dapat
dilihat bahwa keberhasilan aklimatisasi pada plantlet sorgum sangat rendah. Diduga akar tidak
berfungsi optimal sehingga walaupun tunas sudah memanjang namun tidak berkembang.
Maheswari et al (2006) menyatakan bahwa kultur in vitro tanaman sorghum menghadapi
berbagai kendala antara lain kemampuan regenerasi dan induksi tunas tergantung genotipe
tanaman, persentase regenerasi sangat rendah, kalus menghasilkan fenol dan masalah dalam
aklimatisasi.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 252
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PEMBAHASAN
Kalus merupakan massa sel tidak terorganisir, terbentuk sebagai respon adanya pelukaan,
seperti luka bekas irisan atau pembelahan dan proliferasi sel-sel kambium. Proliferasi sel akan
terjadi lebih optimum jika eksplan yang digunakan berasal dari jaringan muda. Sifat
meristematik sel kalus merupakan salah satu wujud dari dediferensiasi. Dediferensiasi
merupakan reversi dari sel-sel hidup yang telah terdiferensiasi menjadi tidak terdiferensiasi,
atau dengan kata lain menjadi meristematik kembali. Inisiasi kalus dari eksplan biji mengalami
kesulitan (Shoetharama et al. 2000), dan telah dicoba menggunakan berbagai jenis eksplan
seperti daun muda atau embrio muda, hasil terbaik menggunakan eksplan tunas pucuk dari
kecambah (Bhaskaran dan Smith,1988; Shoetharama et al. 2000; Amali et al. 2014;
Palumahanthi et al. 2014). Pada percobaan ini persentase biji masak menghasilkan kalus
hanya 50% dan strukturnya tidak seragam, yaitu tidak embrionik, embrionik berwarna
kekuningan berupa bulatan-bulatan mengkilat, dan menghasilkan fenol. Pencoklatan pada
kalus serta terbentuknya akar merupakan faktor penghambat berkembangnya kalus menjadi
tunas (Maheswari et al 2006). Pada penelitian ini kalus dari varietas Mandau menghasilkan
fenol sangat tinggi, warna kalus coklat kehitaman setelah disubkultur. Subkultur pada media
yang mengandung polivinil pirolidon 100-300 mg/l tidak dapat menghambat produksi fenol.
Kalus dari varietas Super I, berwarna putih dan embrionik namun menghasilkan akar sehingga
sulit diregenerasikan.
Zat pengatur tumbuh auksin berperan ganda tergantung struktur kimia, konsentrasi dan
jaringan tanaman yang diberi perlakuan. Umumnya digunakan untuk pembentukan kalus,
kultur suspensi dan inisiasi akar, berperan memacu pemanjangan dan pembelahan sel di
dalam jaringan kambium (Pierik 1987). Hasil penelitian Maheswari et al. (2006), 2,4-D 0,5
mg/l dikombinasikan dengan kinetin 0,5 mg/l paling baik menghasilkan kalus friable dan
embrionik. Demikian pula penelitian Gupta et al. (2006) 2,4-D konsentrasi 1-3 mg/l pada
eksplan embrio muda menghasilkan kalus. 2,4-D merupakan auksin terbaik untuk induksi
kalus tanaman padi demikian pula tanaman sorgum. 2,4-D dikombinasikan dengan NAA dan
sitokinin dapat menghasilkan kalus embrionik dari eksplan tunas pucuk tanaman sorgum
(Amali et al,2014). Adanya sinergisme antara 2,4-D dan sitokinin maupun dengan auksin
lainnya dapat meningkatkan produksi kalus pada tanaman sorgum.
Kalus embriogenik yang dapat diregenerasikan merupakan faktor penting dalam kultur
jaringan, khususnya dalam perakitan varietas unggul melalui transformasi, induksi
keragaman somaklonal dan seleksi in vitro (Meneses et al., 2005; Lutts et al., l999). Zat
pengatur tumbuh 2,4-D merupakan golongan auksin yang sering digunakan untuk menginduksi
pembentukan kalus embriogenik, 2,4-D berperan dalam memacu hipermethilasi pada DNA,
sehingga selalu terjadi pembelahan dan dengan demikian maka proliferasi sel untuk
pembentukan kalus menjadi optimal (Meneses et al., 2005).
Pada penelitian ini 2,4 D 1 dan 3 mg/l yang diberikan belum dapat memacu pembentukan
kalus pada biji sorgum, sehingga eksplan berupa biji yang dikulturkan berkembang menjadi
kecambah. Diduga konsentrasi yang digunakan belum cukup untuk memacu pembelahan sel
dalam pembentukan kalus. Perlakuan terbaik untuk induksi kalus ialah setelah NAA 0,5 mg/l
ditambahkan pada 2,4-D 5 mg/l sehingga hasil kalus dengan diameter paling besar. NAA
merupakan auksin yang aktifitasnya tergolong lebih tinggi dibanding IBA atau IAA (Lestari
2011).
Kalus yang telah diberi perlakuan radiasi umumnya mempunyai kemampuan regenerasi
yang rendah, diduga karena terjadi kerusakan pada sel penyusun kalus. Rendahnya kemampuan
regenerasi pada kalus yang telah diiradiasi juga terjadi pada tanaman gandum (Purnamaningsih
dan Lestari 2013).
Keberhasilan radiasi untuk meningkatkan keragaman populasi ditentukan
radiosensitivitas genotipe yang diiradiasi. Tingkat sensitivitas tanaman sangat bervariasi antar
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 253
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
jenis tanaman dan antar genotipe. Radiosensitivitas dapat di ukur berdasarkan nilai LD50 (Letal
dosis 50%) yaitu dosis radiasi yang menyebabkan kematian 50% populasi tanaman.
Dalam induksi mutasi, beberapa study menunjukkan bahwa dosis optimum yang dapat
menghasilkan mutan terbanyak biasanya terjadi di sekitar LD50 (Ibrahim 1999). Disamping
itu radiosentivitas dapat diamati melalui adanya letalitas, mutasi somatik, perubahan jumlah
dan ukuran kromosom (Datta 2001). Pada penelitian ini dosis yang digunakan untuk iradiasi
ialah 5 - 20 Gy karena berdasarkan penelitian sebelumnya pada iradiasi kalus sorgum varietas
Numbu menunjukkan bahwa pada dosis di atas 20 Gy, menyebabkan kalus menjadi coklat dan
mati (Lestari et al 2014).
Peningkatan dosis iradiasi cenderung menghambat pertumbuhan sel kalus menjadi tunas,
kondisi ini di mungkinkan karena adanya kerusakan pada sel meristem yang sangat radio
sensitif. Iradiasi dapat menyebabkan pembelahan sel menjadi terhambat yang selanjutnya
mempengaruhi pertambahan jumlah sel. Jaringan tanaman sebagian besar mengandung air,
sehingga apa bila diiradiasi akan mengalami kerusakan karena iradiasi menyebabkan air terurai
menjadi H2O dan e+ (Ismachin 1988).
Masalah yang sering dihadapi saat meregenerasikan masa sel (kalus) ialah kemampuan
regenerasi yang rendah dan kadang tidak tumbuh sama sekali. Yunita et al (2012) telah
memperoleh media yang optimal untuk meregenerasikan tunas dari kalus padi varietas
Fatmawati pada media MS + BA 2 mg/l + IAA 0,8 mg/l dan zeatin 0,2 mg/l, namun komposisi
media tersebut kurang sesuai digunakan untuk meregenerasikan kalus yang telah diberi
perlakuan radiasi. Pada penelitian ini kalus dari varietas Mandau sebelum diregenerasikan
sudah berwarna agak coklat dan menjadi hitam beberapa saat setelah diregenerasikan, beberapa
kalus mutan yang diregenerasikan dapat menghasilkan spot berwarna hijau merupakan bakal
tunas tetapi akhirnya mati. Kalus super I berwarna putih namun tidak dapat diregenerasikan,
diduga media yang digunakan belum sesuai. Beberapa kalus mutan membentuk tonjolan-
tonjolan bakal tunas namun menghasilkan akar sehingga menghambat pembentukan tunas,
bakal tunas yang dipindah ke media baru mencoklat dan mati.
Perbaikan genetik untuk sifat-sifat yang diinginkan dalam program penelitian melalui
mutasi ditentukan oleh dosis iradiasi dan tingkat radio sensifitas tanaman yang diradiasi dan
kondisi tanaman saat diradiasi (Asadi 2003). Pemuliaan melalui mutasi mempunyai peran
cukup besar dalam perbaikan tanaman dan telah banyak menghasilkan tanaman unggul
(Taryono et al 2011). Hail penelitian Santosa dan Hoeman (2009) menunjukkan bahwa
sorghum ZH-30 dari China, yang di beri perlakuan radiasi sinar gamma, menghasilkan galur
baru yang berbeda dengan induknya pada peubah rasa dan kualitas pati.
Masalah dalam aklimatisasi ialah tunas cepat layu, sehingga walaupun akarnya banyak dan
panjang namun saat diaklimatisasi tidak dapat menghasilkan akar baru yang berfungsi di dalam
kondisi ex vitro sedangkan akar yang lama tidak berfungsi optimal. Untuk meningkatkan
keberhasilan aklimatisasi maka sebelum diaklimatisasi akar direndam dalam larutan rotone,
untuk memacu pembentukan akar yang baru. Akar yang panjangnya baru 1 cm tetapi kelihatan
segar dan vigor lebih berpeluang dapat tumbuh menjadi tanaman.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya genetik Pertanian dalam DIPA BB BIOGEN tahun 2015 yang telah mendanai
penelitian ini hingga selesai.
SIMPULAN
Komposisi media terbaik untuk pembentukan kalus sorgum varietas Kawali, Mandau dan
Super I ialah media MS+ 2,4-D 5 mg/l + NAA 0,5 mg/l. Namun yang dapat beregenerasi
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 254
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
hanya dari varietas Kawali dengan media BA 2 +kinetin 0,1 mg/l. Media untuk perakaran
terbaik ialah MS + NAA 0,5 mg/l.
DAFTAR PUSTAKA
Anbumalarmathi. J dan N. Nadarajan. 2007. Callus Induction and Plant Regeneration in
Sorghum (Sorgum bicolor L. Moench). Indian Journal of Agricultural Research
41: 10-16.
Amali, P., S.J. Kingsley, S. Ignacimuthu. 2014. High frequency callus induction and plant
regeneration from shoot tip explants of Sorghum bicolor L. Moench. International Journal
of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences ISSN- 0975-1491. 6(6):213-216
Asadi. 2013. Pemuliaan Mutasi Untuk Perbaikan Terhadap Umur dan Produktivitas Pada
Kedelai. Jurnal Agrobiogen 9(3):135-142.
Bety,Y.A., A. Ispandi, dan Sudaryono.1990. Sorgum. Monograf No 5. Balai Penelitian
Tanaman Pangan, Malang 25 hal.
Bhaskaran.S and R.H.Smith. 1988. Enchanced Somatic Embryiogenesis in Sorghum bicolor
from Shoot tip Culture. In vitro cellular & Developmental Biology.24(1) : 65-70.
Cai,T and L.butler. 1990. Plant Regeneration from Embryonic callus initiated from immature
inflorescences of several high-tannin sorgums. Plant Cell Tissue and Organ Culture
20:101-110.
Datta, S.K. 2001. Mutation Studies on Garden Chrysanthemum: A review. Scientific
Horticulture 7:159-199.
Direktorat Jendral Perkebunan. 1996. Sorgum Manis Komoditi Harapan di Propinsi Kawasan
Timur Indonesia. Risalah symposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan
Agroindustri, 17-18 Januari.1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-
kacangan dan Umbi-umbian. 4: 6-12.
Forster. B.P and Q.Y. Shu. 2012. Plant Mutagenesis in Crop Improvement: In Q.Y. Shu and
B.P. Forster (Eds.). Basic Terms and Applications. Plant Mutation Breeding and
Biotechnology. Joint FAO/IAEA Programe. Vienna, Austria.
Gupta . S., Y.K. Khanna., R.Singh and G.K. Garg. 2006. Strategies for overcoming genotypic
limitations of in vitro regeneration and determination of genetic components of variability
of plant regeneration traits in sorgum. Plant Cell Tiss. Organ Cult 86:379-388.
Ibrahim, R. 1999. In vitro Mutageneis in Roses. Phd. Thesis. Aplied Biological Sci. Cell and
Gene Biotechnology Fac. Univ Gent. Belgium.
Ismachin, M. 1988. Pemulian Tanaman dengan Mutasi Buatan. Pusat Aplikasi Isotop dan
Radiasi Badan Tenaga Atom Nasional. Jakarta. 28 hal.
Jain, S.M. 2010. Mutagenesis in Crop Improvement Under the Climate Change. Romanian
Biotechnological Letter. 15(2):88-106.
Jiang J, D.I.Steve., J.Wang., H.O.James. 2000. High efficiency transformation of U.S. rice line
from mature seedderived calli and regeneration of glufosinate resistance under field
conditions.Crop Sci.40
Kharkwal, M.C and Q.Y.Shu.2009. Role of Induce Mutation in World Food Security. p 33-
38. Q.Y. Shu (ed.). Induced mutation in the genome era rome: Food and agriculture
organization of the United Nations.
Kinyua M.G., P.N. Njau, Kimurto and M. Maluszynski M. 2004. Drought Tolerant Wheat
Varieties Developed Throught Mutation Breeding Techniques. In 4th International Crop
Science Congress 26 Sept - 1 October.
Lestari. E.G., R.Purnamaningsih, M. Syukur dan R.Yunita. 2010. Keragaman Somaklonal
untuk Perbaikan Tanaman Artemisia (Artemisia annua ) Melalui Kultur In vitro. Jurnal
Agro Biogen. 6(1): 26-32.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 255
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Lestari, E.G. 2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan Tanaman Melalui
Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen 7(1):63-68.
Lestari, E.G., I.S Dewi., A. Nur., S.Human dan Nazarudin. 2014. Induksi Mutasi dan Kultur
in vitro Sorgum Manis untuk Mendapatkan Galur Baru dengan Kandungan Brik Gula
Tinggi Sebagai Bahan Bioetanol. Prosiding Semnas Sistem Pertanian Bioindustri
Berkelanjutan. UPN Yogyakarta 11 Desember 2014.
Lutts, S., J.M. Kinet., J. Bouharmont. 1999. Improvement of Rice Callus Regeneration in
Presence of NaCl. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 57: 3-11.
MacKinnon. C, G.Gunderson and M.W.Nabors. 1987.High Efficiency Plant Regeneration by
Somatic Embryogenesis from Callus of Mature Embryo Explans of bread wheat (Triticum
aestivum) and grain sorghum (Sorghum bicolor).In Vitro Cellular & Developmental
Biology 23(5):443-448.
Maheswari .M., N.Jyothi Laksmi., S.K. Yadav, Y.Varalaxsmi., A.V. Lakhsmi, M.Vanaja and
B.Venkateswarlu. 2006. Efficient Plant Regeneration from Shoot Apices of
Sorghum.Biologia Plantarum 50(4):741-744
Maluszynski, M. 2001. Officially Released Mutant Varieties. The FAO/IAEA Database. Plant
Cell, Tissue and Organ Culture. 65:175-177.
Maqbool, S.B., P. Devi.,M.B. Sticklen.2001. Biotechnology advances for the improvement of
sorghum (Sorghum bicolor L).) Moench.In Vitro cell dev.Biol 37:504-515
Meneses, A., D. Flores., M. Munoz., G. Arrieta., A.M. Espinosa. 2005. Effect of 2,4-D, Hydric
stress and light on indica rice (Oryza sativa) somatic embryogenesis. Rev Biol Trop (Int J)
53(3-4): 361-368.
Pierik, R.L.M. l987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publisher.London 344p
Polumahanthi S., N.S.Mani., P.K.Ratna Kumar.2014. Callus induction and multiple shoot
regeneration of Sorghum cultivars using shoot tip as an explant.IJALS 7(1):66-73.
Purnamaningsih R dan E.G. Lestari. 2013. Keragaman Agronomi Galur-Galur Mutan
Somaklon Gandum Hasil Iradiasi Sinar Gamma. Prosiding Semnas Sistem Pertanian
Bioindustri Berkelanjutan. UPN Yogyakarta 11 Desember 2014.
Saharan.V, R.C.Yadav., N.R.Yadav and K.Ram.2004.Studies on improved Agrobacterium
mediated transformation in two indica rice (Oryza sativa L.).Aff Journal of Biotechnology
3(11):572-575
Santosa, D.D.S and S. Hoeman.2009. Modified Strach of Sorghum Mutant Line Zh-30 for
Hight Fiber and Muffin Product. Atom Indonesia. 35 (1) 1-9.
Sirappa.M.P.2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif
untuk pangan, pakan dan industri. Jurnal Litbang Pertanian, 22(4): 133-140.
Soetharama,N, R.V. Sairam and T.S.Rani.2000. Regeneration of sorghum from shoot tio
cultures and fields performance of the progeny. Plant Cell, Tissue and Organ Culture.
61:169-173.Sirappa. M.P. 2003. Prospek Pengembangan Sorgum di Indonesia. Jurnal
litbang Pertanian. 22(4): 131-140.
Soeranto. H. 2003. Peran Iptek Nuklir dalam Pemuliaan Tanaman untuk Mendukung Industri
Pertanian. Prosiding Pertemuan Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Nuklir P3TN Batan Yogyakarta 8 Juli, 303-315.
Soedjono, S. 2003. Aplikasi Mutasi Induksi dan Variasi Somaklonal dalam Pemuliaan
Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian, 22(2):70-77.
Suprasanna, P., S.M. Jain., S.J. Ochatt., V.M. Kulkarni and S.Pedrieri. 2012. Application of In
vitro Techniques in Mutation Breeding of Vegetatively Propagated Crops. p 371-385. In
Shu and Forster (eds.) Plant Mutation Breeding and Biotechnology. Joint FAO/IAEA
Programe. Vienna, Austria.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 256
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Suprasanna P and H.Nakagawa.2012. Mutation breeding of vegetatively propagated crops. In Q.Y. Shu
and B.P. Forster (Eds.). P 347-358. Plant Mutation Breeding and Biotechnology. Joint FAO/IAEA
Programe. Vienna, Austria.
Taryono., P. Cahyaningrum dan S.Human.2011. The detection of Mutational Changes in
Sorghum using RAPD. Indonesian Jurnal of Biotecnology.16(1): 66-70.
Yunita, R., E.G. Lestari dan I.S. Dewi. 2012. Regenerasi tunas dari kalus yang telah diberi
perlakuan iradiasi pada padi varietas Fatmawati.Berita Biologi. 11(3): 359-366.
Zhao, L.S. Liu, S. Song.2010. Optimization of callus induction and plant regeneration from
germinating seeds of sweet sorghum (Sorghum bicolor Moench).Affican Journal
Biotechnologi 9(16):2367-2374
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 257
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENGARUH BUANGAN LIMBAH CAIR PABRIK TEKSTIL DI KABUPATEN
SUMEDANG TERHADAP PEMBELAHAN SEL Allium cepa Var. Aggregatum L.
ABSTRAK
Limbah industri cair buangan dari industri tekstil yang masuk ke parit atau selokan
daerah tempat tinggal penduduk dan daerah sumber air dapat memengaruhi pembelahan sel
makhluk hidup. Salah satu tanaman yang umum digunakan sebagai sensor biologis untuk
melihat pencemaran adalah Allium. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh limbah
cair buangan pabrik tekstil di sungai kawasan Desa Mangun Arga, Kecamatan Cimanggung,
Kabupaten Sumedang terhadap pembelahan sel dan kromosom A. cepa Var. Aaggregatum.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode observasi dengan analisis data secara
deskriptif. Preparat akar bawang dibuat dengan menggunakan metoda squash. Jumlah sel yang
diamati adalah 100 sel. Tipe aberasi kromosom yang ditemui diantaranya adalah: stickiness
(pelengketan), kromosom tertinggal, c-mitosis, jembatan kromosom, dan sel binukleat.
Berdasarkan hasil dapat disimpulkan bahwa limbah industri tekstil yang masuk ke selokan atau
parit mampu untuk menyebabkan aberasi kromosom pada sel hidup dan merupakan isu
kesehatan penting untuk masyarakat yang hidup di sekitar pabrik tekstil.
ABSTRACT
Liquid industrial waste from the textile industry that goes to the community canals and
source of the water can affect living organism. Particularly, it’s cell division and chromosomes.
Allium cepa L. is a plant commonly used as biosensor for water pollution. The research aim
was to study the effect of liquid textile industrial from canals around Mangun Arga village
Sumedang district to cell division and chromosomes of Allium cepa Var. Aggeratum L. root
tip. The method used in this research was observation, with descriptive data analysis.
Chromosomes samples from root tips were made using squash method from control (bidets)
and treatment (liquid wastes from canals). One hundred cells were observed. Type of
chromosomal aberrations observed include: stickiness, c-mitosis, chromosome, bridges during
anaphase, and binucleated cell. Based on the results it can be concluded that liquid textile
industrial waste from canals is able to cause chromosomal aberration and affect the living cell
division. This is raising an important health issue for people who live around textile factory.
Denpasar – Bali, 19‐20 November 2015 258
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2
“Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN
Limbah industri dapat menambah jumlah kontaminan ke permukaan air dan sedimen.
Limbah cair yang dihasilkan oleh industri dapat menjadi masalah serius bagi kesehatan biota
dan manusia yang berinteraksi dengan ekosistem perairan (Egito et al., 2007). Metode
pengujian standar dan sensitif “test Allium’ banyak digunakan untuk menguji kualitas air
minum maupun lingkungan yang terkena polusi air (Fiskesjö, 1985). Metode ini diterima
secara resmi dan t