Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dan merupakan salah
satu negara yang terdapat pada daerah regim tektonik Asia Tenggara. Indonesia secara
umum dikelilingi oleh lempeng Indo-Australia dan lempeng Laut Filipina yang mengalami
subduksi pada lempeng Eurasia (Aydan, 2008 dalam Baeda, 2011). Hal ini menyebabkan
Indonesia memiliki lima pulau besar dan lebih dari 17.508 pulau kecil, serta proses-proses
tektonisme lainnya.

Sulawesi merupakan salah satu pulau besar di Indonesia, yang terbagi menjadi 6 propinsi.
Sulawesi, seperti halnya pulau lainnya di Indonesia, juga dikelilingi oleh berbagai lempeng,
baik yang berukuran besar maupun kecil. Hal ini menyebabkan Sulawesi memiliki aktivitas
bawah laut yang semakin meningkat selama satu dekade terakhir, yang perkembangan
penelitian bawah laut di daerah sekitar Sulawesi pun juga semakin meningkat.

Penelitian bawah laut di sekitar Sulawesi secara umum terfokus pada daerah Selat
Makassar. Penelitian tersebut secara umum membahas mengenai proses tektonisme yang
terjadi di Selat Makassar pada jaman dahulu dan saat ini. Penelitian tersebut lambat laun
memperkuat pendapat bahwa daerah Selat Makassar merupakan salah satu daerah aktif
tsunami (Prasetya, dkk., 2001 dalam Baeda, 2011)

Tsunami merupakan istilah yang berasal dari bahasa Jepang, yang secara umum berarti
gelombang laut tinggi yang menghempas pantai atau pesisir (Baeda dkk., 2015). Tidak dapat
dipungkiri, tsunami menjadi salah satu topik yang penting dalam hal bencana alam. Sejak
terjadi tsunami di Aceh dan sekitarnya pada tahun 2004, yang berkekuatan hingga 9,1 Skala
Richter, penelitian mengenai tsunami semakin berkembang. Salah satunya adalah penelitian
mengenai permodelan tsunami.

1
Oleh karena itu, penulis terdorong untuk memahami lebih lanjut mengenai proses
tsunami di Sulawesi serta mitigasi bencananya melalui permodelan tsunami, terutama di
daerah Pantai Seruni, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, dan Pantai Manakarra,
Sulawesi Barat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah yang dapat
disimpulkan adalah sebagai berikut
a) Bagaimana simulasi terjadinya proses tsunami di daerah Pantai Seruni?
b) Bagaimana simulasi terjadinya proses tsunami di daerah Pantai Manakarra?
c) Bagaimana mitigasi bencana yang dilakukan untuk menanggulangi terjadinya tsunami
di daerah Pantai Seruni dan sekitarnya?
d) Bagaimana mitigasi bencana yang dilakukan untuk menanggulangi terjadinya tsunami
di daerah Pantai Manakarra dan sekitarnya?

1.3 Tujuan

Makalah referat ini ditulis dengan tujuan sebagai berikut


a) Mengetahui proses tsunami yang mungkin terjadi di daerah Pantai Seruni.
b) Mengetahui proses tsunami yang mungkin terjadi di daerah Pantai Manakarra.
c) Mengetahui usaha mitigasi bencana yang tepat untuk menanggulangi tsunami yang
mungkin terjadi di daerah Pantai Seruni dan dan sekitarnya.
d) Mengetahui usaha mitigasi bencana yang tepat untuk menanggulangi tsunami yang
mungkin terjadi di daerah Pantai Manakarra dan dan sekitarnya.

1.4 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode studi
literature serta metode simulasi permodelan.

2
Metode studi literatur dilakukan melalui pengumpulan informasi yang diperoleh dari
berbagai jurnal yang telah terpublikasikan dan referensi dari internet yang saling menunjang
satu dengan lainnya. Literatur utama yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah
makalah dengan judul Tsunami Mitigation Plan for Manakarra Beach of West Sulawesi
Province, Indonesia dan Mitigation Plan for Future Tsunami of Seruni Beach, Bantaeng.
Kedua makalah tersebut dibuat oleh Achmad Yasir Baeda, dkk. pada tahun 2015.
Metode simulasi permodelan yang digunakan mengacu pada metode penelitian yang
digunakan pada literatur utama, yaitu menggunakan model numerik dari Laboratorium
Penelitian Teknik Lingkungan dan Kelautan, Fakultas Teknik Kelautan, Universitas
Hasanuddin. Model ini mengacu pada data demografi populasi penduduk sekitar pantai,
kondisi topografi sekitar pantai serta parameter gempabumi yang menyebabkan tsunami.
Data demografi penduduk serta topografi sekitar pantai berguna untuk rancangan mitigasi
yang dilakukan. Sedangkan, data parameter gempabumi utama penyebab tsunami dijadikan
sebagai input dalam program permodelan Siam Tsunami Propagation Simulator atau
SiTProS (Chuai-Aree dan Kanbua, 2007) untuk mengetahui simulasi proses tsunami yang
mungkin terjadi.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan makalah referat ini terdiri dari lima bab, yaitu :
a) Bab I berisi tentang pendahuluan, yang meliputi latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
b) Bab II berisi tentang geologi dan geografi regional, yang menjelaskan mengenai
geologi Sulawesi, geologi dan geografi daerah Pantai Seruni dan sekitarnya, serta
geologi dan geografi daerah Pantai Manakarra dan sekitarnya.
c) Bab III berisi penjelasan mengenai pengertian tsunami, penyebab tsunami,
karakteristik tsunami, parameter tsunami dan mitigasi tsunami.
d) Bab IV berisi analisis dan pembahasan, yang mencakup permodelan tsunami yang
digunakan, serta mitigasi di daerah Pantai Seruni dan Pantai Manakarra.
e) Bab V berisi kesimpulan dari penulisan makalah ini.

3
BAB II
GEOLOGI DAN GEOGRAFI REGIONAL

2.1 Geologi Sulawesi

Sulawesi merupakan salah satu pulau besar di Indonesia, yang terletak di bagian tengah
kepulauan Indonesia. Pulau ini terletak pada posisi triple junction atau pertemuan tiga
lempeng secara konvergen, terdiri dari Lempeng Asia, Lempeng Australia dan Lempeng
Pasifik.

Sulawesi secara tektonik terbagi menjadi empat lengan utama, yaitu Lengan Selatan,
Lengan Utara, Lengan Timur dan Lengan Tenggara (Guntoro, 1999). Di setiap lengan ini
memiliki sejarah geologi yang berbeda dan kompleks. Gambar 2.1 di bawah ini
menunjukkan beberapa pusat episenter gempa bumi bawah air yang terjadi di laut sekitar
Sulawesi.

Gambar 2.1 Pusat Episenter Gempa Bumi Bawah Laut pada setiap lengan (Baeda,
2011)
4
Berdasarkan tipe batuan pembentuknya, Sulawesi terbagi menjadi tiga bagian utama,
yang digambarkan pada Gambar 2.2.

Sulawesi bagian barat ditunjukkan dengan nomor 1. Bagian ini terdiri dari busur vulkanik
dengan formasi batuan vulkanik-klastik dan batuan vulkanik umur Tersier dan Kuarter.
Kedua batuan tersebut terendapkan di atas batuan dasar yang berumur Kapur Tengah
(Sukamto, 1975 dalam Villenueve, 2002).

Pada Sulawesi bagian tengah terdiri dari dua unit batuan metamorf. Bagian ini terdiri dari
ofiolit, batuan metamorf dan batuan sedimen yang mulai termetamorfosis pada tahap awal.

Sedangkan, pada Sulawesi bagian Timur terdapat dua jenis sabuk batuan; lengan timur
sekitar Luwuk dan lengan tenggara sekitar Kendari. Pada lengan timur terdiri dari pertemuan
dua blok tektonik berumur Mid-Pliosen, salah satunya adalah blok Banggai-Sula. Dan pada
lengan tenggara terdiri dari pertemuan blok Sulawesi Timur dan blok Tukang Besi pada
umur Mid-Miosen (Villenueve, 2002).

Berdasarkan Gambar 2.2, terlihat pula struktur geologi yang menyertai Pulau Sulawesi.
Pada Sulawesi bagian barat, struktur yang menyertai adalah sesar normal Walanae yang
membentang dari tenggara Pulau Selayar hingga barat laut (Risdianto, 2008). Selain itu,
terdapat pula sesar Palu-Koro, yang membentang melewati Kota Palu dari tenggara dan
berakhir di Palung Sulawesi Utara. Struktur-struktur tersebut, dan struktur lainnya yang
menyertai, secara tidak langsung berkaitan dengan proses divergen yang terjadi di Selat
Makassar.

Pada Sulawesi Bagian Tengah, terdapat dua sesar besar, yaitu perpanjangan sesar
Hamilton, yang mana sesar ini melewati daerah Kendari dari tenggara ke barat laut. Sesar
lain yang menyertai adalah sesar Matano, yang merupakan perpanjangan dari Sesar Sula-
Sorong di daerah timur.

Struktur geologi yang menyertai Sulawesi Bagian Timur adalah sesar Hamilton dan sesar
Matano. Selain itu terdapat pula Palung Tolo dan Palung Sangihe, serta dua buah thrust
yaitu Batui thrust dan Sula thrust, yang berada di timur Luwuk.

5
Gambar 1.2 Peta geologi Pulau Sulawesi, dengan pembagian lengan 1) Bagian Barat 2)
Blok Kolonodae 3) Blok Tukang Besi dan 4) Blok Banggai-Sula (Modifikasi dari
Sukamto dkk., 1975; Hamilton, 1979; Silver dkk., 1983; Parkinson, 1991; Monnier
dkk., 1995 dalam Villenueve, 2000)

2.2 Geologi dan Geografi Pantai Seruni dan sekitarnya

Pantai Seruni secara geografis terletak di Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng,


Propinsi Sulawesi Selatan. Pantai ini berlokasi pada 5º32’59,15” LS dan 119º56’42,11” BT
dan memiliki ciri endapan pasir pantai. Lokasi Pantai Seruni dapat dilihat pada Gambar 2.3.

6
(a)

(b)
Gambar 2.3 Lokasi Pantai Seruni, yang bertepatan pada Ibukota Kabupaten
Bantaeng, Sulawesi Selatan
(https://www.google.co.id/maps/@5.5472912,119.9479129,2962m/data=!3m1!1e3?hl=id)

Pantai Seruni secara umum memiliki ketinggian 1,8 meter yang dihitung pada saat
gelombang pasang. Morfologi daerah sekita Pantai Seruni umumnya berupa lembahan
dengan ketinggian kurang dari 10 meter di atas permukaan laut. Tinggian terdekat berada di
daerah Allu dan Banturaying, Desa Kamaluang.

Pada Gambar 2.4 dibawah ini, menunjukkan peta topografi Kecamatan Bantaeng secara
umum, serta topografi Pantai Seruni dan sekitarnya.

7
(a)

8
Pantai Seruni secara langsung mengarah pada Sesar
Walanae, yang mana sesar ini merupakan sesar yang
aktif dan beberapa kali menyebabkan gempa serta
tsunami. Salah satu sejarah tsunami yang terjadi adalah
tsunami pada Laut Flores pada tahun 1992.

Pantai yang berjarak sekitar 150 km dari Makassar ini,


memiliki panjang pantai sekitar 1,65 km. Di daerah
sekitar Pantai Seruni terdapat dua bangunan besar, yaitu
sebuah penginapan yang terdapat di dekat Pantai dan
Rumah Sakit Umum yang berada di Jalan Teratai
(Gambar 2.5). Kedua bangunan ini memiliki ketinggian
di atas 17,5 meter.

(b)

Gambar 2.4 Peta topografi Kecamatan Bantaeng (a) dan topografi sekitar Pantai Seruni
(b) (Komunitas Atlas Geografi dalam
https://petatematikindo.files.wordpress.com/2013/01/administrasi-bantaeng1.jpg)

Gambar 2.5 Rumah Sakit Umum Kabupaten Bantaeng yang masih pada tahap
pembangunan (Dokumentasi pribadi Putri Mutia, 2015)

9
Pantai Seruni mengalami banyak perkembangan dalam hal pembangunannya. Pantai
Seruni yang pada awalnya hanya merupakan tempat berlabuh kapal-kapal tradisional
nelayan setempat, kini telah menjadi salah satu tempat wisata utama di Kabupaten Bantaeng.
Seperti yang terlihat pada Gambar 2.6, terdapat sarana dan prasarana rekreasi seperti gasibu,
area permainan dan kafe, yang semakin menambah keramaian pengunjung Pantai Seruni.

(a)

(b)

10
(c)

Gambar 2.6 Suasana di sekitar Pantai Seruni. (a) Pemandangan taman kota dan
gasibu dari atas. (b) Arena permainan dan kafe di pesisir Pantai Seruni. (c) Beberapa
pengunjung yang menikmati pemandangan Pantai Seruni (http://bantaeng-
tourism.com/btg/blog/2015/09/12/pantai-seruni/ dan dokumentasi pribadi Putri Mutia,
2015)

2.3 Geologi dan Geografi Pantai Manakarra dan sekitarnya

Pantai Manakarra terletak pada Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju, Propinsi


Sulawesi Barat dengan lokasi geografis berada pada 2º39’14:57” LU dan 118º52’11:06”
BT. Pantai ini memiliki panjang sekitar 5600 meter merupakan pantai dengan kepadatan
penduduk yang cukup tinggi, seperti halnya pada Pantai Banggae dan Tinambung yang juga
berada pada Propinsi Sulawesi Barat. Pantai ini berhadapan dengan Pulau Karampuang
dengan arah yang sedikit ke utara. Hal tersebut dapat terlihat pada Gambar 2.7.

Pulau Manakarra merupakan salah satu pulau yang terkenal dengan pemandangannya
yang indah dari ketinggian, serta permainan pantai seperti snorkeling, skiing, diving. Oleh
karena itu, pantai ini telah lama ditetapkan sebagai salah satu tempat wisata utama di
Kabupaten Mamuju.

11
Gambar 2.7 (a) Lokasi Pantai Manakarra yang berhadapan dengan Pulau
Karampuang (https://www.google.co.id/maps/@-
2.6667718,118.8924047,5958m/data=!3m1!1e3?hl=id )

Gambar 2.7 (b) Pemandangan pesisir Pantai Manakarra, yang memperlihatkan Pulau
Karampuang (http://wisatasulawesi.com/indahnya-wisata-pantai-manakarra-
mamuju/)

12
Ciri endapan daerah Pantai Manakarra adalah pasir pantai, yang pada beberapa tempat
telah mengalami perubahan. Salah satunya pada barat laut dari Kantor DPRD Kabupaten
Mamuju, Propinsi Sulawesi Barat, yang mana pantai yang ada telah diubah menjadi taman
kota. Selain itu, terdapat Hotel Maleo yang berada di dekat pantai. Hotel ini memiliki
kapasitas pengunjung yang cukup besar. Kedua bangunan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 2.8.

(a)

(b)
Gambar 2.8 Beberapa bangunan tinggi sekitar Pantai Manakarra. (a) Hotel Maleo (b)
Gedung Kantor DPRD Kabupaten Mamuju (http://kfk.kompas.com/kfk/view/105937-
Hotel-Berbintang dan http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=1032331)

13
Pantai Manakarra terletak di dekat Cekungan Kutai dan spreading center di Selat
Makassar. Daerah spreading center ini masih terus aktif hingga sekarang dan menyebabkan
Pantai Manakarra memiliki potensi tsunami yang tinggi.

Morfologi daerah sekitar Pantai Manakarran umumnya berupa lembah yang dikelilingi
oleh perbukitan bergelombang (Ratman & Atmawinata, 1993 dalam Prasety, 2009), yang
mana memiliki ketinggian antara 0 sampai 17 meter di atas permukaan laut. Perbukitan
bergelombang yang ada dimulai dari daerah Binanga dan sekitarnya, yang ketinggiannya
bervariasi, antara 34 sampai 85 meter. Topografi daerah Kecamatan Mamuju dapat dilihat
pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Peta topografi Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
(Nangi dkk., 2008)

14
BAB III
LANDASAN TEORI

3.1 Pengertian Tsunami

Tsunami merupakan istiah yang telah lama dipakai dalam bidang bencana alam. Menurut
Ramasamy, dkk. pada tahun 2006, tsunami merupakan fenoma alam yang terdiri dari
kumpulan pergerakan gelombang selama air dalam danau ataupun laut bergerak secara cepat
dan masif. Sedangkan, menurut Komisi Navigasi Maritim Belgia, PIANC, tsunami
merupakan kumpulan gelombang air yang disebabkan oleh deformasi secara masif di
permukaan laut.
Kata tsunami sendiri berasal dari bahasa Jepang, yaitu tsu yang berarti pelabuhan dan
nami yang berarti gelombang. Istilah ini pertama kali digunakan oleh para nelayan Jepang
yang kembali ke pelabuhan untuk mencari tahu lokasi sekitar pelabuhan yang terusak akibat
gempabumi, tanpa menyadari adanya gelombang laut yang lebih besar yang akan tiba.
Tsunami bukan merupakan fenomena yang terjadi di bawah permukaan laut atau yang
terjadi di dasar laut. Tsunami secara sederhana merupakan gelombang laut dengan
amplitudo yang rendah dan panjang gelombang yang panjang, namun akan berubah seiring
pergerakannya mendekati bibir pantai. Oleh karena itulah, tsunami sering diibaratkan seperti
gelombang pasang, yang akan berubah besar dan bertambah energinya saat mendekati
daratan.

3.2 Penyebab Tsunami

Tsunami secara umum terjadi akibat pergerakan yang cepat dari massa air laut akibat
pergeseran di dasar laut, misalkan akibat gempabumi, erupsi vulkanik, hancuran kaldera,
penurunan dasar laut, pergeseran sesar bawah laut ataupun karena pengaruh material luar
angkasa, seperti meteorit, asteroit dan komet. Namun, tsunami yang terjadi di dunia ini
umumnya merupakan akibat dari gempabumi dengan episenter di dasar laut.
Gempabumi yang terjadi di dasar laut, meskipun tergolong gempabumi kecil, namun
apabila dapat menggerakkan dasar laut, maka dapat memungkinkan terjadinya gempabumi.

15
Hal ini dikarenakan dasar laut yang bergerak dapat menggerakkan air laut yang ada di
atasnya secara vertikal dan menimbulkan gelombang.
Salah satu penyebab terjadinya gempabumi bawah laut dan penurunan dasar laut adalah
pergerakan pada batas lempeng samudra. Pergerakan lempeng tersebut dapat berupa
subduksi maupun pergerakan divergen. Gempabumi subduksi memiliki potensi lebih besar
untuk menimbulkan tsunami, karena lempeng samudra terus bergerak ke bawah lempeng
kontinen selama subduksi. Proses tersebut dijelaskan pada Gambar 3.1 dibawah ini.

Gambar 3.1 Proses terjadinya tsunami akibat subduksi (PIANC, 2010)

Contoh kejadian tsunami yang disebabkan oleh adanya gempabumi subduksi adalah
gempabumi Aceh pada tahun 2004. Gempabumi tersebut diakibatkan oleh subduksi lempeng
Samudra Hindia yang masuk ke dalam lempeng Benua Eurasia. Tsunami ini merupakan
gempabumi terbesar ketiga di dunia, dengan kekuatan sekitar 9 magnitudo dan
mengakibatkan sekitar 250.000 korban jiwa dan jutaan korban luka-luka, serta kerusakan
materi yang tak terhitung jumlahnya.
Di Indonesia, yang secara umum memiliki kondisi tektonik yang beragam, memiliki
banyak potensi tsunami di beberapa tempat. Potensi tersebut terutama berkaitan dengan
daerah-daerah yang dekat dengan batas lempeng aktif atau dekat dengan sesar aktif. Daerah
rawan tsunami ditunjukkan dalam Gambar 3.2 di bawah ini.

16
Gambar 3.2 Peta rawan bencana tsunami di Indonesia, ditanda dengan bidang
segiempat berwarna merah
(http://www.esdm.go.id/images/stories/geology/Rawan%20Tsunami.jpg)

3.3 Karakteristik Tsunami

Meskipun tsunami seringkali memiliki sifat yang hampir sama dengan gelombang
pasang, namun tsunami tidak terlihat seperti gelombang pasang pada umumnya. Tsunami
pada awalnya memang tampak seperti gelombang pasang biasa, namun dibelakang itu,
terdapat pergerakan massa air yang lebih besar dengan ketinggian terus bertambah secara
cepat. Gelombang tersebut menghancurkan seluruh rintangan yang ada di depannya, baik itu
berupa tanaman bakau ataupun bangunan pemecah ombak, sehingga menyebabkan banjir
bandang yang sangat hebat.
Pada daerah laut lepas, tsunami dapat memiliki perode yang sangat panjang, dari
beberapa menit hingga jam, dan memiliki panjang gelombang yang sangat panjang

17
mencapai ratusan kilometer. Namun, sesungguhnya dilaut lepas, ketinggian gelombang
tsunami tidak lebih dari 1 meter. Bahkan gelombang ini tidak dapat dibedakan oleh kapal
sekalipun.
Gelombang tsunami tersebut bergerak sepanjang lautan dengan kecepatan 500 hingga
1000 km/jam mendekati daratan. Energi dari gelombang tsunami tidak hanya tersimpan di
permukaan seperti gelombang laut pada umumnya, namun tersimpan hingga ke dasar laut.
Oleh karea itu, saat gelombang tsunami mendekati daratan dan lautan menjadi semakin
dangkal, kecepatan gelombang tsunami semakin berkurang, dan energi yang ada
terakumulasi ke atas membentuk gelombang yang lebih tinggi, mencapai 30 meter bahkan
lebih. Gelombang inilah yang kemudian menghancurkan seluruh objek yang ada di pantai.

3.4 Parameter Tsunami

Pada suatu kejadian tsunami, secara umum terdapat tiga parameter utama yang
diperhatikan.
1. Moment (Mo) : merupakan perhitungan kekuatan gempabumi atau dimensi penyebab
tsunami lainnya (seperti dimensi sesar, kekuatan erupsi vulkanik, dan sebagainya).
Moment terbentuk berdasarkan kekuatan material yang ada di sekitar sumber
penyebab tsunami.
2. Mechanism : merupakan bentuk orientasi dan arah dari pergerakan lantai dasar laut.
Misalkan, pergerakan dasar laut yang diakibatkan oleh gempabumi sesar biasanya
terdiri dari tiga arah utama, yaitu jurus atau strike, sudut kemiringan atau dip, dan
sudut pergeseran atau rake angle. Dari ketiga arah tersebut, gempabumi dari
pergerakan sesar vertikal secara umum akan lebih berpotensi menimbulkan tsunami
dibandingkan pergerakan sesar horizontal.
3. Focal Depth : merupakan kedalaman sumber gempabumi dari permukaan laut.
Kedalaman ini dihitung dari jarak vertikal antara episenter dan hiposenter
gempabumi. Semakin kecil jarak tersebut, maka akan mengakibatkan perusakan yang
semakin besar di permukaan.
Berdasarkan ketiga parameter utama tersebut, maka dapat diketahui faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi kekuatan tsunami. Faktor tersebut antara lain
a. Panjang gelombang tsunami

18
Panjang gelombang tsunami secara umum dapat dijabarkan dengan persamaan
berikut
√ .................  (PIANC, 2010)
Panjang gelombang disimbolkan dengan L, sedangkan T merupakan periode
gelombang, d merupakan kedalaman air laut dan g adalah percepatan gravitasi.
Berdasarkan persamaan tersebut, gelombang tsunami akan memiliki panjang
gelombang yang lebih besar jika periode gelombang bertambah, ataupun kedalaman
air laut bertambah.
b. Kecepatan gelombang tsunami
Menurut PIANC tahun 2010, kecepatan gelombang tsunami dapat dituliskan dalam
persamaan

√ .............. 

Yang mana c merupakan simbol untuk kecepatan gelombang tsunami. Berdasarkan


persamaan tersebut, maka hubungan antara kecepatan gelombang tsunami dan
kedalaman air laut dapat digambarkan dalam grafik pada Gambar 3.3 berikut ini

Gambar 3.3 Grafik hubungan antara kecepatan gelombang tsunami dan kedalaman
air laut (PIANC, 2010)

19
Pada daerah dengan kedalam air laut yang dangkal, kecepatan gelombang tsunami
tidak hanya dipengaruhi oleh kedalaman air laut, namun juga dipengaruhi oleh tinggi
gelombang tsunami dari permukaan air laut normal, atau yang umum disebut sebagai
amplitudo gelombang tsunami. Amplitudo gelombang tsunami disimbolkan dengan
η.
√ ( ) .......... 

Parameter-parameter di atas kemudian akan saling mempengaruhi pergerakan gelombang


tsunami hingga mencapai daratan. Ketinggian gelombang yang sampai ke daratan disebut
dengan run-up.
Gambar 3.4 berikut menunjukkan parameter-parameter dari gelombang tsunami.

Gambar 3.4 Parameter gelombang tsunami, dari lautan lepas hingga mencapai
daratan (Spahn, GTZ-GITEWS)

Iida (1963) dan Abe (1979) dalam Aydan, 2008, mengungkapkan hubungan antara
ketinggian gelombang tsunami dan kekuatan gempabumi (magnitudo) secara umum dalam
sebuah persamaan empiris seperti berikut
....... 
H merupakan ketinggian gelombang tsunami dan M merupakan magnitudo dari
gempabumi penyebab tsunami.

20
Abe pada tahun 1979 (dalam Aydan, 2008), mengungkapkan pula dua persamaan empiris
lainnya. Pertama, persamaan empiris yang menunjukkan hubungan antara moment
magnitude tsunami (Mw) dan ketinggian gelombang tsunami di sekitar pesisir atau shoreline
(Hm).
.............. 
Persamaan empiris yang kedua merupakan persamaan yang menggambarkan hubungan
antara moment magnitude tsunami (Mw) dan ketinggian gelombang tsunami pada saat
pasang (Htide).
.......
Dari ketiga persamaan tersebut, Abe, 1979 (dalam Aydan, 2008) merumurkan persamaan
ketinggian run-up gelombang tsunami, yang mana besarnya tidak lebih dari dua kali
ketinggian gelombang tsunami di daerah pesisir.
................ 
Őmer Aydan pada tahun 2008, melalui makalahnya yang berjudul Seismic and Tsunami
Hazard Potentials in Indonesia with a special emphasis on Sumatra Island menggabungkan
rumusan-rumusan yang telah dibuat Iida (1963) dan Abe (1979) dalam persamaan yang
dibuatnya, yaitu
( ) ................ 
.................................. 
Persamaan di atas menggambarkan hubungan antara data ketinggian run-up tsunami serta
ketinggian tsunami di pesisir dengan besar magnitudo gempabumi yang terjadi di Indonesia.
Nilai A, b dan B merupakan nilai konstanta, yang pada daerah Indonesia dan sekitarnya
bernilai 0,004 untuk konstanta A, konstanta b bernilai 0,9, dan konstanta B bernilai 2,5.
Hubungan antara ketinggian run-up dan nilai Moment Magnitude (Mw) ditunjukkan pada
Gambar 3.5.

21
Gambar 3.5 Grafik hubungan antara magnitudo gempabumi dan ketinggian
gelombang tsunami di pesisir maupun run-up. Garis merah merupakan hasil analisis
Abe (1979) dan garis biru merupakan hasil analisis Aydan (2008) berdasarkan data di
Indonesia (Aydan, 2008)

3.5 Mitigasi Tsunami

Mitigasi merupakan segala kegiatan yang dilakukan sebelum bencana terjadi sebagai
upaya antisipasi dampak jangka pendek dan jangka panjang dari bencana tersebut (Hidayati,
2005). Upaya jangka pendek salah satunya adalah dengan mempersiapkan kegiatan-kegiatan
untuk mengurangi kemungkinan korban jiwa dan kerusakan yang dapat dihasilkan,
mengurus pengungsi serta memberikan fasilitas penyelamatan, bantuan fisik dan psikis, dan
rehabilitasi.
Dalam jangka panjang, upaya mitigasi dimaksudkan untuk mengurangi kerentanan
masyarakat di daerah rawan bencana. Salah satu caranya adalah dengan mengintegrasikan
kegiatan mitigasi dalam proses pembangunan, seperti pembangunan infrastruktur yang
mendukung dan pemberdayaan masyarakat. Pembangunan infrastruktur dapat berupa
pembangunan sarana kesehatan yang memadai, sedangkan pemberdayaan masyarakat dapat
berupa sosialisasi mitigasi bencana.
Menurut Achmad Baeda, dkk tahun 2015, mitigasi bencana tsunami dapat dilakukan
melalui permodelan tsunami yang tepat. Langkah pengembangan sebelum dilakukannya
permodelan tsunami adalah sebagai berikut

22
- Pengumpulan data-data yang berkaitan dengan permodelan, misalkan data demografi
penduduk
- Pengumpulan data bangunan tinggi yang ada di sekitar daerah tersebut, meliputi
lokasi, ketinggian serta jarak jangkauan
- Perhitungan waktu rata-rata penduduk sekitar untuk mencapai bangunan-bangunan
tersebut
- Menggambarkan simulasi proses tsunami yang mungkin terjadi melalui permodelan
- Menganalisis ketinggian gelombang tsunami serta waktu kedatangan gelombang
tsunami
- Menganalisis kesamaan ketinggian gelombang tsunami dan topografi pantai
- Menganalisis kesamaan waktu tiba gelombang dan waktu evakuasi yang dibutuhkan
- Memperkirakan jalur evakuasi yang tepat dan membuat peta evakuasi

Sedangkan, langkah-langkah mitigasi lainnya yang dapat dilakukan adalah sebagai


berikut
- Pembangunan dan manajemen lahan yang sesuai dengan jumlah penduduk
- Penguatan serta penambahan bangunan dan infrastruktur lainnya, dengan desain yang
sesuai dan tahan terhadap kekuatan gempabumi maupun tsunami.
- Melaksanakan usaha preventif untuk mengalokasikan penduduk ke daerah yang lebih
aman dari ancaman tsunami.
- Melindungi sarana umum dari kerusakan dengan pengembangan lingkungan sekitar
pantai yang dapat mengurangi energi tsunami, seperti tanaman bakau sepanjang
pesisir.
- Memberikan pelatihan serta sosialisasi yang intensif kepada masyarakat sekitar pantai
mengenai mitigasi bencana tsunami
- Memberikan peringatan sedini mungkin berkaitan dengan kemungkinan terjadinya
tsunami di daerah tersebut.

23
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Permodelan Tsunami

Sebelum mitigasi bencana dilakukan, dilakukan permodelan untuk menggambarkan


proses tsunami yang mungkin terjadi. Permodelan yang digunakan dalam makalah ini
adalah Siam Tsunami Propagation Simulator (SiTProS) versi 1.5.
Model SiTProS merupakan permodelan yang dibuat oleh Somporn Chuai-Aree dan
Wattana Kanbua. Permodelan ini disebarluaskan dalam makalah SiTProS: Fast and Real-
Time Simulation of Tsunami Propagation dan dipublikasikan pada Prooceedings of the First
Asia International Conference on Modelling and Simulation pada tahun 2007.
Kerja dari SiTProS ini adalah menyimulasikan dan menganimasi pergerakan tsunami
pada air laut berdasarkan asal muasal pembentuknya. Faktor yang mempengaruhi kerja
model ini adalah karakteristik sesar sebagai sumber episenter, seperti jarak, kekuatan batuan
sekitar sesar, serta ukuran sesar. Faktor lain yang berpengaruh adalah batimetri laut sekitar
sesar.
Permodelan yang dilakukan oleh SiTProS ini bekerja dengan dasar persamaan
gelombang, yang mana dijalankan dalam bahasa Pascal. Kode numerik dijalankan dalam
sistem pembagian grid dari suatu ruang dengan koordinat x dan y, seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 4.1. Dari simulasi tersebut, hasil permodelan yang dihasilkan akan berbentuk
dua dimensi dan konsep simulasi real-time.
Berdasarkan beberapa penelitian, sesar yang dapat mengakibatkan terjadinya tsunami
adalah sesar yang memiliki ukuran yang lebih dari 1000 km. Kekerasan suatu batuan rata-
rata yang dipakai dalam model ini adalah dyne/cm2 dengan kecepatan persebaran
energi dari rekahan adalah 2,5 km/s.

24
(a)

(b)
Gambar 4.1 Model sistem grid yang digunakan dalam SiTProS. (a) Sistem grid pada
dua dimensi (b) Persamaan pada sistem grid (Chuai-Aree dan Kanbua, 2007)

Langkah algoritma yang berlaku dalam model ini adalah:


1. Memuat data Etopo dari daerah yang dimodelkan
2. Memilih daerah perhitungan dari seluruh data peta yang ada dan persamaan
perhitungan yang dibutuhkan.
3. Mengatur parameter awal tsunami yang diakibatkan oleh sesar dan sesar dapat
digambarkan dalam model.

25
4. Memilih model perhitungan dari persamaan gelombang yang sudah ada.
5. Memulai perhitungan dan visualisasi dari setiap langkah persamaan melalui sistem
grid yang sudah ada
6. Mengubah hasil permodelan dalam bentuk gambar atau animasi, seperti pada Gambar
4.2

Gambar 4.2 Contoh hasil simulasi pergerakan tsunami setiap 30 menit di daerah grid
Arab dari kejadian tanggal 26 Desember 2004 (Chuai-Aree dan Kanbua, 2007)

4.2 Mitigasi Tsunami Daerah Pantai Seruni

Rancangan tsunami di daerah Pantai Seruni didasarkan dari sumber gempabumi yang
berasal dari Sesar Walanae yang berada di Laut Flores. Jarak pusat episenter dan Pantai
Seruni rata-rata adalah 209,741 km dan kedalaman 21,5 km dari permukaan laut, tepatnya
pada 7,597° LS dan 119,697° BT.

26
Berdasarkan simulasi SiTProS, episenter ini memiliki kekuatan Moment Magnitude (Mw)
bernilai 6,5. Kekuatan dari episenter ini kemudian akan bergerak mendekati tanda apungan
yang berada tepat di depan Pantai Seruni, yaitu pada 5,652° LS dan 119,8435° BT. Hasil
simulasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Hasil simulasi model SiTProS pada daerah Pantai Seruni dan sekitarnya,
dalam dua dimensi (Baeda, 2015)

Hasil simulasi di atas memberikan data bahwa waktu tsunami mencapai Pantai Seruni
adalah 21,762 menit setelah gempabumi utama. Data tersebut didapatkan dari grafik
ketinggian tsunami yang diberikan oleh model SiTProS, seperti pada Gambar 4.4 di bawah
ini.
Grafik pada Gambar 4.4 menunjukkan bahwa setelah gempabumi utama, terjadi fluktuasi
pada menit ke-31,08, yang merupakan awal terjadinya run-up. Gelombang tsunami akan
mulai menghantam bibir pantai pada menit ke-38, yang mana pada grafik ditunjukkan oleh
puncak gelombang pertama.
Namun, menurut grafik tersebut, gelombang maksimum baru akan mencapai pantai pada
menit ke-79. Ketinggian gelombang maksimum tersebut terlihat dari amlitudo terbesar yang
dihasilkan pada grafik, yang mana bernilai 42,6% dari ketinggian tsunami yang dapat terjadi
di pesisir.
Dengan menggunakan persamaan Aydan (2008), diketahui bahwa pada episenter 7,597°
LS dan 119,697° BT yang memiliki nilai Moment Magnitude (Mw) sebesar 6,5, ketinggian
gelombang tsunami yang dapat terjadi pada daerah pesisir adalah

27
Gambar 4.4 Grafik hasil simulasi ketinggian gelombang tsunami di daerah Pantai
Seruni, berdasarkan model SiTProS (Baeda, 2015)

( )
( )

Dan berdasarkan data dari simulasi model SiTProS mengenai hubungan antara ketinggian
maksimum gelombang tsunami yang mencapai Pantai Seruni dan ketinggian gelombang di
daerah pesisir, maka ketinggian maksimum gelombang tsunami yang mencapai Pantai seruni
adalah

Sehingga, ketinggian gelombang run-up yang mencapai Pantai Seruni dapat dihitung
melalui persamaan Aydan (2008) seperti berikut

Ketinggian dermaga pada Pantai Seruni pada pasang tertingginya adalah 1,8 meter,
sehingga gelombang run-up yang mencapai Pantai Seruni pada menit ke-79 adalah sekitar
7,815 meter. Namun, pada sekitar menit ke-56, gelombang run-up awal sudah mencapai

28
pantai. Sehingga, jika selama selang waktu tersebut, yaitu sekitar 56 menit, penduduk dapat
segera dievakuasi, maka kerusakan serta korban yang dihasilkan dapat berkurang secara
drastis. Evakuasi penduduk dapat dilakukan dengan berlari menuju tempat atau bangunan
tinggi, atau menggunakan kendaraan bermotor.
Penduduk pada radius sekitar 1000 meter dari pantai dapat dievakuasi ke bangunan
tertinggi yang terdekat. Hal ini dikarenakan penduduk pada daerah tersebut jika dievakuasi
ke daerah yang lebih tinggi, misalnya pada daerah Kecamatan ... dan sekitarnya, akan terlalu
jauh dan memakan waktu. Salah satu bangunan yang dapat digunakan sebagai tempat
evakuasi adalah Rumah Sakit Umum Bantaeng yang memiliki ketinggian sekitar 17,5 meter.
Sedangkan, untuk penduduk yang berada di luar radius 1000 meter dari bibir pantai,
evakuasi dapat dilakukan menuju Kecamatan ... yang memiliki ketinggian lebih tinggi.
Evakuasi dapat dilakukan melalui Jalan TA. Gani dan Jalan Ke Kampung Allu
menggunakan kendaraan bermotor berkecepatan lebih dari 40 km/jam. Evakuasi ini akan
memakan waktu sekitar 38 menit untuk mencapai puncak dari perbukitan terdekat.
Jalur evakuasi tersebut dapat dilihat dalam Gambar 4.5.

(a)

29
(b)
Gambar 4.5 Jalur evakuasi bencana tsunami daerah Pantai Seruni dan sekitarnya. (a)
Jalur evakuasi penduduk radius lebih dari 1000 meter (b) Jalur evakuasi penduduk
radius kurang dari 1000 meter (Baeda, 2015, dengan modifikasi oleh Hijriyahtia, 2015)

4.3 Mitigasi Tsunami Daerah Pantai Manakarra

Mitigasi tsunami di daerah Pantai Manakarra disimulasikan berdasarkan sumber


gempabumi yang berasal dari Selat Makassar, yaitu akibat adanya pemekaran samudra
(spreading center) di daerah Selat Makassar bagian utara. Episenter terletak pada 2,424° LS
dan 117,413° BT, berjarak kurang lebih 171,088 km dari barat Pantai Manakarra. Episenter
ini memiliki kedalaman 25,3 km dengan Moment Magnitude (Mw) bernilai 6,5.
Tanda apungan dari ketinggian tsunami bertepat di 5,586° LS dan 118,846° BT, bertepat
di depan Gedung DPRD Kabupaten Mamuju. Dari data tersebut, simulasi model tsunami
oleh SiTProS dapat diketahui melalui Gambar 4.6 (a).
Simulasi tersebut menunjukkan waktu pengaruh gelombang tsunami pada daerah Pantai
Manakarra adalah 19,09 menit setelah guncangan gempabumi utama. Waktu tersebut terlihat
dari grafik simulasi ketinggian gelombang tsunami terhadap waktu pada Gambar 4.6 (b).

30
(a)

(b)
Gambar 4.6 Hasil permodelan simulasi SiTProS mengenai tsunami di daerah Pantai
Manakarra. (a) Gambar model dua dimensi mengenai pergerakan gelombang tsunami
(b) Grafil hubungan ketinggian gelombang tsunami terhadap waktu (Baeda, 2015)

Berdasarkan grafik pada Gambar 4.6 (b), pada menit ke-12 akan terjadi penurunan muka
air laut awal sebelum ketinggian gelombang tsunami akhirnya mulai meningkat dan
menghancurkan daerah pantai dan sekitarnya pada menit ke-39. Ketinggian gelombang

31
tsunami maksimum akan terjadi pada gelombang kedua, yang mana terjadi pada menit ke-
50. Ketinggian gelombang maksimum ini memiliki nilai 0,368 kali dari ketinggian tsunami
yang ada di daerah pesisir.

Dengan menggunakan persamaan Aydan (2008), ketinggian maksimum dari gelombang


tsunami yang mencapai Pantai Manakarra dapat diketahui.

( )
( )

Oleh karena ketinggian gelombang maksimum yang mencapai pantai adalah 0,368 kali
dari ketinggian di daerah pesisir, maka

Ketinggian gelombang run-up kemudian dapat diketahui melalui persamaan  yang


dikemukakan oleh Aydan (2008).

Ketinggian Pantai Manakarra pada kondisi pasang adalah sekitar 2 meter, sehingga
ketinggian gelombang run-up yang mencapai pantai pada menit ke-50 adalah sekitar 6,306
meter. Hal ini menunjukkan, bahwa pada selang waktu dari gelombang surut pertama pada
menit ke-12 hingga gelombang run-up maksimum dapat dilakukan evakuasi penduduk.
Evakuasi selama kurang lebih 30 menit ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pada
daerah yang dekat dengan pantai, penduduk dapat dievakuasi ke bangunan tinggi terdekat,
misal Gedung DPRD Kabupaten Mamuju yang ada di barat daya pantai, atau Hotel Maleo
yang berada di timur laut pantai. Kedua bangunan ini dapat ditempuh dengan berjalan kaki
ataupun menggunakan kendaraan bermotor.
Penduduk pada daerah yang cukup jauh dari pantai, namun masih memiliki kemungkinan
terkena gelombang tsunami, penduduk dievakusi ke daerah perbukitan terdekat, yang mana
dapat ditempuh menggunakan kendaraan bermotor dengan kecepatan lebih dari 40 km/jam
selama sekitar 30 menit. Terdapat tiga daerah perbukitan terdekat, yang mana dapat

32
dijadikan tempat evakuasi bagi penduduk yang paling dekat dengan masing-masing daerah
perbukitan tersebut.
Jalur evakuasi penduduk dapat dilihat pada Gambar 4.7.

(a)

33
(b)

Gambar 4.7 Jalur evakuasi bencana tsunami di daerah Pantai Manakarra dan
sekitarnya. (a) Jalur evakuasi secara umum (b) Jalur evakuasi penduduk dekat pantai
(Baeda, 2015 dengan modifikasi Hijriyahtia, 2015)

34
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan rumusan masalah yang ada serta analisis dan pembahasan yang telah
dijabarkan pada Bab IV, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut

1) Berdasarkan simulasi tsunami yang telah dilakukan, proses tsunami yang mungkin terjadi
di daerah Pantai Seruni disebabkan oleh gempabumi dari sesar Walanae dengan moment
Magnitude sebesar 6,5. Tsunami yang terjadi bersumber dari episenter pada 7,597° LS
dan 119,697° BT dan gelombang tsunami tertinggi akan terjadi pada menit ke-79 dengan
ketinggian run-up 9,615 meter.
2) Berdasarkan simulasi tsunami yang telah dilakukan, proses tsunami yang mungkin terjadi
di daerah Pantai Manakarra disebabkan oleh gempabumi dari proses pemekaran samudra
pada Selat Makassar, dengan moment Magnitude sebesar 6,5. Episenter gempa terletak
pada 2,424° LS dan 117,413° BT, serta ketinggian run-up yang dihasilkan adalah 8,306
meter dan akan terjadi pada menit ke-50.
3) Mitigasi bencana tsunami daerah Pantai Seruni dilakukan dengan mengevakuasi
penduduk sekitar pantai menuju 2 daerah. Untuk penduduk pada radius 1000 meter,
evakuasi diarahkan pada Rumas Sakit Umum Bantaeng, sedangkan penduduk pada
daerah diluar radius 1000 meter dievakuasi dengan kendaraan bermotor menuju
perbukitan di daerah Allu dan sekitarnya. Evakuasi dilakukan dalam waktu sekitar 36
menit dari gelombang tsunami awal.
4) Mitigasi bencana tsunami daerah Pantai Manakarra dilakukan dengan mengevakuasi
penduduk sekitar pantai menuju beberapa daerah. Untuk penduduk yang relatif dekat
pantai, evakuasi diarahkan menuju Gedung DPRD Kabupaten Mamuju dan Hotel Maleo,
sedangkan penduduk pada daerah yang jauh dari pantai dievakuasi dengan kendaraan
bermotor menuju perbukitan-perbukitan terdekat. Evakuasi dilakukan dalam waktu
sekitar 30 menit dari penurunan muka air laut pada awal proses tsunami.

35

Anda mungkin juga menyukai