Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang mengajak dan memerintahkan umatnya
untuk selalu menyebarkan dan menyiarkan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia.
Keharusan tetap berlangsungnya dakwah Islamiyah di tengah-tengah masyarakat itu
sendiri, merupakan realisasi dari salah satu fungsi hidup setiap manusia Muslim, yaitu sebagai
penerus risalah Nabi Muhammad saw, untuk menyeru dan mengajak manusia menuju jalan
Allah, jalan keselamatan dunia akhirat. Disamping fungsi hidup sebagai khalifah di muka
bumi ini.
Keharusan tetap berlangsungnya dakwah Islamiyah yang merupakan tugas sebagai
manusia Muslim sudah tercantum dalam kitab suci al-Qur’an, surat al- Imron ayat 104 :
Artinya: dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah
orang-orang yang beruntung.(217. Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah;
sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.)

1.2 Rumusan Masalah


1. Teori apa saja yang berkaitan dengan masuknya Islam di Nusantara?
2. Bagaimana proses perkembangan Islam di Nusantara?
3. Apa sajakah corak Islam di Nusantara?
4. Bagaimana kedatangan dan penjajahan bangsa barat di Nusantara?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui teori masuknya Islam di Nusantara
2. Mengetahui proses perkembangan Islam di Nusantara
3. Mengetahui macam corak Islam di Nusantara
4. Mengetahui kedatangan dan penjajahan bangsa barat di Nusantara

1
BAB 2
PEMBAHASAN

Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah


1. Faktor subyektif
Faktor Subyektif yang sangat kuat, bahkan dikatakan sebagai faktor utama dan faktor
penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman Keinginan dari
KH. Akhmad Dahlan untuk mendirikan organisasi yang dapat dijadikan sebagai alat
perjuangnan dan da’wah untuk nenegakan amar ma’ruf nahyi munkar yang bersumber pada
Al-Qur’an, surat Al-Imron:104
Artinya: dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah
orang-orang yang beruntung.(217. Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah;
sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.) sebagai sumber dari
gerakan sosial praktis untuk mewujudkan gerakan tauhid.
2. Faktor obyektif
Ada beberapa sebab yang bersifat objektif yang melatarbelakangi berdirinya
Muhammadiyah, yang sebagian dapat dikelompokkan dalam faktor internal, yaitu faktor-
faktor penyebab yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia, dan
sebagiannya dapat dimasukkan ke dalam faktor eksternal, yaitu faktor-faktor penyebab yang
ada di luar tubuh masyarakat Islam Indonesia.
Faktor obyektif yang bersifat internal
a. Ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al-Quran dan as-Sunnah sebagai
satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia
b. Lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang
siap mengemban misi selaku ”Khalifah Allah di atas bumi”
Faktor obyektif yang bersifat eksternal
a. Semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia
b. Penetrasi Bangsa-bangsa Eropa, terutama Bangsa Belanda ke Indonesia
c. Pengaruh dari Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam.

2
2.1 Teori Masuknya Islam di Nusantara
Kepastian kapan dan dari mana Islam masuk di Nusantara memang tidak ada
kejelasan. Setidaknya ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang itu. Yaitu: Teori
Gujarat, Teori Makkah, dan Teori Persia. Munculnya tiga teori yang berbeda ini, disinyalir
oleh Ahmad Mansur Suryanegara, akibat dari kurangnya informasi yang bersumber dari fakta
peninggalan agama Islam di Nusantara. Inskripsi tertua tentang Islam tidak menjelaskan
tentang kapan masuknya Islam di Nusantara. Pada Inskripsi tertua itu hanya membicarakan
tentang adanya kekuasaan politik Islam, Samudera Pasai pada abad ke-13 Masehi. Selain itu
karena sulitnya memastikan kapan masuknya Islam di Nusantara dihadapkan pada luasnya
wilayah kepulauan Nusantara (Suryanegara, 1995:73).
Ketiga teori tersebut berbeda pendapat mengenai: Pertama, waktu masuknya Islam.
Kedua, asal negara yang menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran agama
Islam. Dan ketiga, pelaku penyebar atau pembawa Islam ke Nusantara.
a. Teori Gujarat
Teori ini merupakan teori tertua yang menjelaskan tentang masuknya Islam di
Nusantara. Dinamakan Teori Gujarat, karena bertolak dari pandangannya yang
mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari Gujarat, pada abad ke-13 M,
dan pelakunya adalah pedagang India Muslim. Ada dugaan bahwa peletak dasar teori ini
adalah Snouck Hurgronje, dalam bukunya L' Arabie et les Indes Neerlandaises atau
Revue de l'Histoire des Religious. Snouck Hurgronje lebih menitikberatkan pandangannya
ke Gujarat berdasarkan pada: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa
Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara. Kedua, adanya kenyataan hubungan dagang
India-Indonesia yang telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang
terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dan Gujarat.
Sarjana lain yang mendukung teori ini adalah W.F. Stutterheim. Dalam bukunya
De Islam en Zijn Komst In de Archipel, ia menyakini bahwa Islam masuk ke Nusantara
pada abad ke-13 dengan daerah asal Gujarat di dasarkan pada: pertama, bukti batu nisan
Sultan pertama Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik al-Shaleh yang wafat pada 1297.
Sutterheim menjelaskan bahwa relif nisan tersebut bersifat Hinduistis yang mempunyai
kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Kedua, adanya kenyataan bahwa agama
Islam disebarkan melalui jalan dagang antara Indonesia-Cambai (Gujarat)-Timur Tengah-
Eropa.

3
Ada beberapa sarjana lain (sejarawan, antropolog, ahli politik, dll) yang
memperkuat - teori Gujarat ini. Di antaranya adalah Bernard H.M. Vlekke, Clifford
Geertz dan Harry J. Benda.
Bernard H.M. Vlekke dalam bukunya Nusantara: a History of Indonesia,
mendasarkan argumennya pada keterangan Marco Polo yang pernah singgah di Sumatera
untuk menunggu angin pada tahun 1292. Di sana disebutkan tentang situasi ujung utara
Sumatera bahwa, di perlak penduduknya telah memeluk Islam. Selanjutnya Bernard H.M.
Vlekke menandaskan bahwa Perlak merupakan satu-satunya daerah Islam di Nusantara
saat itu. Dengan demikian sarjana Barat ini merasa mengetahui dengan pasti kapan dan di
mana Islam masuk ke Nusantara. Apalagi kemudian menurutnya, keterangan ini diperkuat
dengan inskripsi tertua di Sumatera yang berupa nisan (Sultan Malik al-Shaleh) berangka
tahun 1297, di mana lokasinya terletak di desa Samudera, 100 Mil dari Perlak.
Seperti sejarawan sebelumnya, Bernard H.M. Vlekke juga berpandangan bahwa
nisan tersebut selain mempunyai kesamaan dengan yang ada di Cambai, juga diimport
dari sana pula, karena Cambai merupakan pusat perdagangan Islam sejak abad 13. Dengan
adanya persamaan nisan dan persamaan ajaran mistik Islam Indonesia dengan India, maka
ia berkesimpulan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Gujarat.
Sedangkan Clifford Geertz, untuk memperkuat teori ini, dalam bukunya The
Religion of Java lebih menitikberatkan pada perkembangan ajaran Islam di Indonesia,
yang lebih diwarnai oleh ajaran Hindu, Budha bahkan animisme sebagai ajaran yang telah
lama berkembang sebelum Islam. Hal ini akibat dari putusnya hubungan Indonesia dengan
negara sumber Islam, yakni Makkah dan Kairo. Sehingga terlihat praktik mistik Budha
yang diberi nama Arab, Raja Hindu berubah namanya menjadi Sultan, sedangkan rakyat
kebanyakan masih mempraktikkan ajaran animisme.
Senada dengan Geertz, Harry J. Benda juga mempunyai pendapat yang sama
tentang besarnya peranan India ketimbang Arab dalam proses Islamisasi di Indonesia.
Terutama ajaran mistik Islam yang dikembangkan di Indonesia bukan oleh bangsa Arab,
melainkan oleh bangsa India yang telah beragama Islam. Bahkan Benda menegaskan bila
agama Islam berasal langsung dari Timur Tengah dan menerapkan ajaran asli di
Nusantara, mungkin tidak akan menemukan tempat di kepulauan itu, lebih-lebih pulau
Jawa. Hanya dengan melalui pemantulan dua kalilah, rupanya agama Islam mendapatkan
titik pertemuan dengan Indonesia, khususnya dengan pulau Jawa. Untuk memperkuat
pendepatnya ini Benda mendasarkan pada kenyataan adanya orang-orang Arab yang telah

4
lama tinggal di pantai-pantai, tetapi mengapa baru pada abad ke-15 dan ke-16 Islam
menjadi kekuatan kebudayaan dan agama utama di Nusantara. Selain itu Benda dan
kawannya Jhon Bastin juga berusaha memperlihatkan pengaruh India atas Indonesia di
bidang yang lain, seperti: pengenalan adanya sawah dengan irigasi, penjinakan sapi dan
kerbau, dan pelayaran.
Dari berbagai argumen yang dikemukakan oleh para pendukung teori Gujarat di
atas, nampak sekali mereka sangat Hindu Sentris, seakan-akan segala perubahan sosial,
politik, ekonomi, budaya dan agama di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
India. Di samping itu juga kebanyakan mereka lebih memusatkan perhatiannya pada saat
timbulnya kekuasaan politik Islam di Nusantara. Seakan-akan Islam masuk di Nusantara
dan langsung menguasai struktur politik di sana. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa
Islam masuk di Indonesia melalui infiltrasi kultural oleh para pedagang Muslim dan para
Sufi.
b. Teori Makkah
Teori ini dicetuskan oleh Hamka dalam pidatonya pada Dies Natalis PTAIN ke-8
di Yogyakarta (1958), sebagai antitesis -untuk tidak mengatakan sebagai koreksi- teori
sebelumnya, yakni teori Gujarat. Di sini Hamka menolak pandangan yang mengatakan
bahwa
Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dan berasal dari Gujarat. Selanjutnya
Hamka dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia (1963) lebih
menguatkan teorinya dengan mendasarkan pandangannya pada peranan bangsa Arab
sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia, kemudian diikuti oleh orang Persia dan
Gujarat. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan Makkah sebagai pusat,
atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam.
T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam: a History of the Propagation of the
Muslim Faith menulis bahwa bangsa Arab sejak abad ke-2 SM telah menguasai
perdagangan di Ceylon. Pendapat ini sama dengan pandangan Cooke seperti yang dikutip
oleh Abdullah bin Nuh dan D. Shahab ketika menjadi pembanding dalam "Seminar
Masuknya Agama Islam ke Indonesia". Memang dalam informasi sejarah tersebut tidak
disebutkan lebih lanjut tentang sampainya di Indonesia, tetapi -menurut Suryanegara- bila
dihubungkan dengan penjelasan kepustakaan Arab kuno -di dalamnya disebutkan al-Hind
sebagai India atau pulau-pulau sebelah timurnya sampai ke Cina, dan Indonesia pun
disebut sebagai pulau-pulau Cina - maka besar kemungkinan pada abad ke-2 SM bangsa

5
Arab telah sampai ke Indonesia. Bahkan sebagai bangsa asing yang pertama datang ke
Nusantara. Karena bangsa India dan Cina baru mengadakan hubungan dengan Indonesia
pada abad 1 M. Sedangkan hubungan Arab dengan Cina terjadi jauh lebih lama, melalui
jalan darat menggunakan "kapal sahara", jalan darat ini sering disebut sebagai "jalur
sutra", berlangsung sejak 500 SM.
Kalau demikian halnya hubungan antara Arab dengan negara-negara Asia lainnya,
maka tidaklah mengherankan bila pada 674 M telah terdapat perkampungan perdagangan
Arab Islam di Pantai Barat Sumatera, bersumber dari berita Cina. kemudian berita Cina ini
ditulis kembali oleh T.W. Arnold (1896), J.C. van Leur (1955) dan Hamka (1958).
Timbulnya perkampungan perdagangan Arab Islam ini karena ditunjang oleh kekuatan
laut Arab.
Dari keterangan tentang peranan bangsa Arab dalam dunia perniagaan seperti di
atas, kemudian dikuatkan dengan kenyataan sejarah adanya perkampungan Arab Islam di
pantai barat Sumatera di abad ke-7, maka terbukalah kemungkinan peranan bangsa Arab
dalam memasukkan Islam ke Nusantara.
c. Teori Persia
Pencetus teori ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Teori ini berpendapat
bahwa agama Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia, singgah ke Gujarat,
sedangkan waktunya sekitar abad ke-13. Nampaknya fokus Pandangan teori ini berbeda
dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya,
serta Madzhab Syafi'i-nya. Teori yang terakhir ini lebih menitikberatkan tinjauannya
kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan
memiliki persamaan dengan Persia (Morgan, 1963:139-140). Di antaranya adalah:
Pertama, Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringayan Syi'ah atas
syahidnya Husein. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau
bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husein. Di Sumatera Tengah sebelah barat disebut
bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husein untuk dilemparkan ke
sungai. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa arab.
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran
al-Hallaj, sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310H / 922M, tetapi ajarannya
berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syeikh Siti Jenar yang
hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.

6
Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk
tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian al-Qur`an tingkat awal:
Bahasa Iran Bahasa Arab
Jabar – zabar fathah
Jer – ze-er kasrah
P’es – py’es dhammah
Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap madzhab Syafi'i sebagai
madzhab utama di daerah Malabar. Di sini ada sedikit kesamaan dengan teori Makkah,
cuman yang membedakannya adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat di satu pihak melihat
salah satu budaya Islam Indonesia kemudian dikaitkan dengan kebudayaan Persia, tetapi
dalam memandang madzhab Syafi'i terhenti ke Malabar, tidak berlanjut sampai ke pusat
madzhab itu, yakni di Makkah.
Kritikan untuk teori Persia ini dilontarkan oleh K.H. Saifuddin Zuhri. Ia
menyatakan sukar untuk menerima pendapat tentang kedatangan Islam ke Nusantara
berasal dari Persia. Alasannya bila kita berpedoman pada masuknya Islam ke Nusantara
pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Saat itu
kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di tangan bangsa
Arab, sedangkan pusat pergerakan Islam berkisar di Makkah, Madinah, Damaskus dan
Bagdad, jadi belum mungkin Persia menduduki kepemimpinan dunia Islam (Zuhri,
1979:188).

Dari uraian tentang tiga teori masuknya Islam ke Nusantara di atas, dapat dilihat
beberapa perbedaan dan kesamaannya:
1) Teori Gujarat dan Persia mempunyai persamaan pandangan mengenai masuknya
agama Islam ke Nusantara berasal dari Gujarat. Perbedaannya terletak pada teori
Gujarat yang melihat ajaran Islam di Indonesia mempunyai kesamaan ajaran dengan
mistik di India. Sedangkan teori Persia memandang adanya kesamaan dengan ajaran
Sufi di Persia. Gujarat dipandangnya sebagai daerah yang dipengaruhi oleh Persia, dan
menjadi tempat singgah ajaran Syi'ah ke Indonesia.
2) Dalam hal Gujarat sebagai tempat singgah, teori Persia mempunyai persamaan dengan
teori Makkah, tetapi yang membedakannya adalah teori Makkah memandang Gujarat
sebagai tempat singgah perjalanan perjalanan laut antara Indonesia dengan Timur
Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Makkah atau dari Mesir.

7
3) Teori Gujarat dan Persia keduanya tidak memandang peranan bangsa Arab dalam
perdagangan, juga tidak dalam islamisasi di Nusantara. Dalam hal ini keduanya lebih
memandang pada peranan orang India Muslim. Oleh karena itu bertolak dari laporan
Marco Polo keduanya meyakini Islam masuk di Nusantara pada abad ke-13.
Sebaliknya teori Makkah lebih meyakini Islam masuk di Nusantara pada abad ke-7,
karena abad ke-13 dianggap sebagai saat-saat perkembangan Islam di Nusantara.
4) Dalam melihat sumber negara yang mempengaruhi Islam di Nusantara, teori Makkah
lebih berpendirian pada Makkah dan Mesir dengan mendasarkan tinjauannya pada
besarnya pengaruh madzhab Syafi'i di Indonesia. Sedangkan teori Persia, meskipun
mengakui pengaruh madzhab Syafi'i di Indonesia tetapi, bagi teori ini, hal itu
merupakan pengaruh madzhab Syafi'i yang berkembang di Malabar, oleh karena itu
teori ini lebih menunjuk India sebagai negara asal Islam Indonesia.
5) Walaupun dari analisa perbandingan di atas ketiga teori tersebut lebih menampakkan
tajamnya perbedaan dari pada persamaan, namun ada titik temu yang bisa disimpulkan
yakni, bahwa pertama, Islam masuk dan berkembang di Nusantara melalui jalan damai
(infiltrasi kultural), dan kedua, Islam tidak mengenal adanya missi sebagaimana yang
dijalankan oleh kalangan Kristen dan Katolik.

2.2 Proses Perkembangan Islam di Nusantara


a. Kehadiran para pedagang Muslim (7-12M)
Tahap ini diyakini sebagai fase permulaan dari proses sosialisasi Islam di
kawasan Asia Tenggara, yang dimulai dengan kontak sosial budaya antara pendatang
Muslim dengan penduduk setempat.
Pada tahap pertama ini, tidak ditemukan data mengenai masuknya penduduk asli ke
dalam Islam. Bukti yang cukup jelas mengenai hal ini baru diperoleh jauh kemudian,
yakni pada permulaan abad ke-13 M / 7 H. Sangat mungkin dalam kurun abad ke 1
sampai 4 H terdapat hubungan perkawinan antara pedagang Muslim dengan penduduk
setempat, hingga menjadikan mereka beralih menjadi Muslim. Tetapi ini baru pada
tahap dugaan.
Walaupun di Leran - Gresik, terdapat sebuah batu nisan bertuliskan Fatimah
binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H / 1082 M. Namun dari bentuknya, nisan
itu menunjukkan pola gaya hias makam dari abad ke-16 M seperti yang ditemukan di
Campa, yakni berisi tulisan yang berupa do'a-do'a kepada Allah. Sehingga ada yang

8
berpendapat bahwa penulis nisan itu adalah seorang Syi'ah. Ini diketahui karena
mereka adalah Muslim pendatang yang sebelumnya bermukim di Timur Jauh (op.Cit,
1998:56).
b. Terbentuknya kerajaan Islam (13-16M)
Pada tahap kedua ini, Islam semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara
dengan mulai terbentuknya pusat kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini
sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Bukti paling kuat yang menjelaskan
tentang itu adalah ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan
Samudera di Aceh Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat
pada bulan Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah
Melayu Malik, dua teks Melayu tertua, Malik al-Shaleh digambarkan sebagai
penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai.
Pada akhir abad ke-13 kerajaan Samudera Pasai merebut jalur perdagangan di
Selat Malaka yang sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya. Hal ini terus
berlanjut hingga pada permulaan abad ke-14 berdiri kerajaan Malaka di Semenanjung
Malaysia.
Sultan Mansyur Syah (w. 1477 M) adalah sultan keenam Kerajaan Malaka
yang membuat Islam sangat berkembang di Pesisir timur Sumatera dan Semenanjung
Malaka. Di bagian lain, di Jawa saat itu sudah memperlihatkan bukti kuatnya peranan
kelompok Masyarakat Muslim, terutama di pesisir utara. Kehadiran makam-makam
kuno di Troloyo dekat Trowulan, dengan angka tahun tertua yang tertulis adalah 1290
caka 1368-1369M telah menarik perhatian tentang kemungkinan adanya masyarakat
Muslim di dekat pusat kerajaan Majapahit. Dan sejak akhir abad ke-15 pusat-pusat
perdagangan di pesisir utara, yakni Gresik, Demak, Cirebon dan Banten telah
menunjukkan kegiatan keagamaan oleh para wali di Jawa. Kegiatan itu mulai tampak
sebagai kekuatan politik di pertengahan abad ke-16 ketika kerajaan Demak sebagai
kerajaan Islam pertama di Jawa berhasil merebut ibukota Majapahit. Sejak itu
perkembangan Islam di Jawa telah dapat berperan secara politik, di mana para wali
dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian Pajang dan Mataram dapat meluaskan
perkembangan Islam tidak saja ke seluruh daerah-daerah penting di Jawa, tetapi juga
di luar Jawa, khususnya oleh para mubaligh (da'i) di Gresik dan Demak. Mereka
bahkan berhasil meluaskan pengaruh Islam ke Banjarmasin, Hitu, Ternate dan Tidore
serta Lombok.

9
c. Pelembagaan Islam
Pada tahap ini sosialisasi Islam semakin tak terbendung lagi masuk ke pusat-
pusat kekuasaan, merembes terus sampai hampir ke seluruh wilayah Nusantara. Hal
ini tidak bisa dilepaskan dari peranan para penyebar dan pengajar Islam. Mereka
menduduki berbagai jabatan dalam struktur birokrasi kerajaan, dan banyak diantara
mereka kawin mawin dengan penduduk pribumi. Dengan kata lain, Islam dikukuhkan
di pusat-pusat kekuasaan di Nusantara melalui jalur perdagangan, perkawinan dengan
elit birokrasi dan ekonomi, di samping dengan sosialisasi langsung pada masyarakat
bawah.
Pengaruh islamisasi yang pada awalnya hanya berpusat di Pasai telah jauh
meluas ke Aceh di Pesisir Sumatera, semenanjung Malaka, Demak, Gresik,
Banjarmasin, lombok, dsb. Ini terbukti dengan ditemukannya bentuk-bentuk makam di
semenanjung Malaka, terutama batu nisannya, yang menyerupai bentuk-bentuk batu
nisan di Aceh. Di komplek pemakaman Sultan Suriansyah (Raden Samudra) yang
terletak di Kuwin, Banjarmasin, terdapat batu nisan yang mempunyai tipologi sama
dengan bentuk nisan Demak dan Gresik. Begitu pula di komplek pemakaman kuno
Seloparang -menurut tradisi setempat diislamkan Sunan Prapen dari Giri- ditemukan
sebuah batu nisan yang memiliki gaya Jawa Timur.
Untuk daerah Sulawesi, walaupun beberapa tempat seperti Buton dan Selayar
berdasarkan tradisi setempat telah menerima pengaruh Islam dari Ternate pada
pertengahan abad ke-16, namun bukti yang lebih nyata menunjukkan bahwa hal itu
terjadi ketika Raja Gowa pertama yang bernama I Mallingkaeng Daeng Njonri
Karaeng Katangka masuk Islam pada hari Jum'at Jumadil Awal 1014 H/ 22 September
1605 M, yang disusul dua tahun kemudian rakyat Gowa dan Tallo diislamkan, seperti
terbukti dengan dilakukannya shalat Jum'at bersama di Tallo pada 19 Rajab 1068 H/
Nopember 1607 M. Kejadian ini dapat dianggap sebagai titik penting dalam
perkembangan Islam di Sulawesi. Penyebar agama Islam di daerah ini ialah seorang
ulama asal Minangkabau, bernama Abdul Ma'mur Chatib Tunggal (lebih terkenal
dengan Dato ri Bandang) dan dua temannya Chatib Sulaiman (bergelar Dato ri
Pattimang) untuk daerah Luwu, dan Chatib Bungsu untuk daerah Tiro.
Daerah Lombok dan Sumbawa mendapat pengaruh islamisasi dari dua arah.
Pada tahap awal, sekitar abad ke-16 M, pengaruh itu berasal dari Jawa dengan tokoh
penyebarnya Sunan Prapen, dan selanjutnya pada abad ke-17 dari daerah Gowa. Ini

10
terbukti pada makam kuno di Bima terlihat adanya pengaruh bentuk nisan dan jirat
seperti makam-makam kuno di Tallo atau di Tamalatte (Gowa), dan di Seloparang
terlihat adanya bentuk Jawa Timur dan Bugis-Makasar.
Di Kalimantan, daerah yang nampaknya pertama kali menyambut kehadiran
Islam adalah Banjarmasin (sekitar 1550 M). Hal ini tidak bisa dilepaskan dari
hubungan ekonomi yang sejak pra-Islam telah terjalin antara daerah ini dengan daerah
utara Jawa, terutama dengan kerajaan Demak. Di Kalimantan Timur, daerah yang
pertama mendapat pengaruh Islam adalah Kutai, dengan tokoh penyebarnya Dato ri
Bandang dan temannya Tuan Tunggang Parangan setelah keduanya berhasil
mengislamkan Raja Mahkota dari kerajaan Kutai sekitar tahun 1575 M. Di
Kalimantan Barat Islam tampaknya menyebar kemudian. Kota Waringin misalnya,
menerima Islam setelah Banjarmasin, sedangkan daerah lebih ke barat seperti Sambas,
Pontianak dan sebagainya tidak ada keterangan yang jelas kapan Islam masuk daerah
ini.
Dari penjelasan di atas, bisa dikatakan bahwa sampai permulaan abad ke-17
Islam sudah merata diterima hampir di seluruh wilayah Nusantara. Fenomena lain
yang cukup menarik adalah, pada tahap awal yakni abad ke-1-5 H, Islam berkembang
dengan kekuatan para musafir dari Arab, Persia, Gujarat dan lainnya. Pada sekitar
abad ke-5 diantara penyebar Islam itu terdapat para ulama dan sufi. Pada abad ke 14
dan sesudahnya Islam disebarkan oleh para mubaligh atau ulama pribumi seperti
Sunan Prapen, Chatib Dayan, Dato ri Bandang dan Dato Sulaiman2. Juga dalam
perkembangannya di Nusantara, Islam telah diterima dengan jalan damai. Hampir
tidak pernah ada ekspedisi militer untuk islamisasi ini.

2.3 Corak Islam di Nusantara


Kemunculan dan perkembangan Islam di kawasan Nusantara menimbulkan
transformasi kebudayaan (peradaban) lokal. Tranformasi melalui pergantian agama
dimungkinkan karena Islam selain menekankan keimanan yang benar, juga mementingkan
tingkah laku dan pengamalan yang baik, yang diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Terjadinya transformasi kebudayaan (peradaban) dari sistem keagamaan lokal kepada
sistem keagamaan Islam bisa disebut revolusi agama. Transformasi masyarakat kepada Islam
terjadi berbarengan dengan “masa perdagangan,” masa ketika Asia Tenggara mengalami
peningkatan posisi dalam perdagangan Timur-Barat. Kota-kota wilayah pesisir muncul dan

11
berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan dan kekuasaan. Masa ini
mengantarkan wilayah Nusantara ke dalam internasionalisasi perdagangan dan
kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat di kawasan ini pada
masa-masa sebelumnya.
Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi
karena beberapa sebab sebagai berikut:
1) Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam. Sebelum Islam datang, sistem
kepercayaan lokal berpusat kepada penyembahan arwah nenek moyang yang tidak
siap pakai. Oleh karena itu, sistem kepercayaan kepada Tuhan yang berada di
mana-mana dan siap memberikan perlindungan di manapun mereka berada,
mereka temukan di dalam Islam.
2) Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu
dan berinteraksi dengan pedagang Muslim yang kaya raya. Karena kekayaan dan
kekuatan ekonominya, mereka bisa memainkan peran penting dalam bidang politik
entitas lokal dan bidang diplomatik.
3) Kejayaan militer. Orang Muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam
peperangan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pertempuran yang dialami dan
dimenangkan oleh kaum Muslim.
4) Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai
wilayah Asia Tenggara (Nusantara) yang sebagian belum mengenal tulisan, dan
sebagian sudah mengenal tulisan sanskerta. Tulisan yang diperkenalkan adalah
tulisan Arab.
5) Mengajarkan penghapalan. Para penyebar Islam menyandarkan otoritas sakral.
Ajaran Islam yang mengandung kebenaran dirancang dalam bentuk –bentuk yang
mudah dipahami dan dihafalkan oleh penganut baru. Karena itulah, hafalan
menjadi sangat penting bagi para penganut baru yang semakin banyak jumlahnya.
6) Kepandaian dalam penyembuhan. Karena penyakit selalu dikaitkan dengan sebab-
sebab spiritual, maka agama dipandang mempunyai jawaban terhadap berbagai
penyakit dan ini menjadi jalan untuk pengembang sebuah agama yang baru
(Islam). Contohnya, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan
penyakitnya oleh seorang ulama dari Pasai.
7) Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan
jahat. Ini terangkum dalam moral dunia yang diprediksi bahwa orang-orang yang

12
taat akan dilindungi Tuhan dari segala kekuatan jahat dan akan diberi imbalan
surga di akhirat.
Melalui sebab-sebab itu, Islam cepat mendapat pengikut yang banyak. Menurut Azra,
semua daya tarik tersebut mendorong terjadinya “Revolusi keagamaan”.

2.4 Kedatangan dan Penjajahan Bangsa Barat di Nusantara


Pada mulanya bangsa barat datang ke Indonesia hanya untuk menjalin hubungan
dagang karena Indonesia kaya akan rempah-rempah, tetapi kemudian mereka ingin
memonopoli perdagangan tersebut dan menjadi tuan bagi bangsa Indonesia.
Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat
urusan pribumi dan Arab, pemerintah Hindia-Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan
mengenai masalah Islam di Indonesia karena Snouck mempunyai pengalaman dalam
penelitian lapangan di Negeri Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang
di kenal dengan politik Islam di Indonesia. Dengan politik itu ia membagi masalah Islam
dalam tiga kategori, yaitu:
1) Bidang agama murni atau ibadah;
2) Bidang sosial kemasyarakatan; dan
3) Politik.
Terhadap bidang agama murni, pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan
kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu
kekuasaan pemerintah Belanda.
Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang
berlaku sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi keberlakuan hukum
Islam, yakni teori reseptie yang maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila
tidak bertentangan dengan alat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum
Islam.
Sedangkan dalam bidang politik, pemerintah melarang keras orang Islam
membahas hukum Islam baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang
politik kenegaraan atau ketatanegaraan.

13
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Keinginan dari KH. Akhmad Dahlan untuk mendirikan organisasi yang dapat dijadikan
sebagai alat perjuangnan dan da’wah untuk nenegakan amar ma’ruf nahyi munkar yang
bersumber pada Al-Qur’an, surat Al-Imron:104
 Ketiga teori tersebut berbeda pendapat mengenai: Pertama, waktu masuknya Islam.
Kedua, asal negara yang menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran agama
Islam. Dan ketiga, pelaku penyebar atau pembawa Islam ke Nusantara.
 Walaupun dari analisa perbandingan ketiga teori tersebut lebih menampakkan tajamnya
perbedaan dari pada persamaan, namun ada titik temu yang bisa disimpulkan yakni,
bahwa pertama, Islam masuk dan berkembang di Nusantara melalui jalan damai (infiltrasi
kultural), dan kedua, Islam tidak mengenal adanya missi sebagaimana yang dijalankan
oleh kalangan Kristen dan Katolik.
 Sampai permulaan abad ke-17 Islam sudah merata diterima hampir di seluruh wilayah
Nusantara. Fenomena lain yang cukup menarik adalah, pada tahap awal yakni abad ke-1-5
H, Islam berkembang dengan kekuatan para musafir dari Arab, Persia, Gujarat dan
lainnya. Pada sekitar abad ke-5 diantara penyebar Islam itu terdapat para ulama dan sufi.
Pada abad ke 14 dan sesudahnya Islam disebarkan oleh para mubaligh atau ulama pribumi
seperti Sunan Prapen, Chatib Dayan, Dato ri Bandang dan Dato Sulaiman2. Juga dalam
perkembangannya di Nusantara, Islam telah diterima dengan jalan damai. Hampir tidak
pernah ada ekspedisi militer untuk islamisasi ini.

3.2 Saran
Kami berharap, dengan adanya makalah ini pembaca akan mampu mengetahui tentang
proses perkembangan Islam di Nusantara serta mampu menyempurnakan makalah ini untuk
kedepannya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Referensi:
https://benramt.files.wordpress.com/2013/11/islamisasi-nusantara-disusun-dari-pelbagai-
sumber-oleh-saiful-amien.pdf
http://anwarmyla.blogspot.co.id/2013/10/teori-teori-masuknya-islam-di-indonesia.html
http://putriisnainisebelasipadua.blogspot.co.id/2013/09/corak-dan-perkembangan-islam-
di.html
http://arkisejarah.blogspot.co.id/2012/04/corak-awal-islam-nusantara-sampai-awal.html

15

Anda mungkin juga menyukai