Anda di halaman 1dari 14

JOURNAL READING

When to Suspect and How to Diagnose


Dissociative Identity Disorder

Disusun Oleh :
Yolanda Satriani Putri
H1A013063

Pembimbing :

dr. Emmy Amalia Sp Kj

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA (PSIKIATRI)

RUMAH SAKIT JIWA MUTIARA SUKMA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2018
KAPAN MENCURIGAI DAN BAGAIMANA

PENEGAKAN DIAGNOSIS GANGGUAN DISOSIATIF IDENTITAS

1. Pendahuluan

Sebelumnya, gangguan disosiatif identitas yang tidak terdiagnosis dapat

diketahui melalui metode psikoterapi Eye Movement Desensitization & Reprocessing

(EMDR). Kasus gangguan disosiatif ini ditemukan sekitar 3,9% dari 1.529 pasien

psikiatri dewasa dalam sepuluh penelitian yang dilakukan di enam negara. Dalam

artikel ini akan dijelaskan mengenai kasus gangguan disosiatif idenitas yang ada

namun belum dipublikasikan. Pedoman dalam penengakan diagnosis gangguan

disosiatif sudah tersedia seperti pedoman yang tidak ada dalam pelatihan kesehatan

mental.

Menurut DSM-IV, dissociative identity disorder adalah seseorang yang

mempunyai dua ego yang berbeda (alter ego), di mana masing-masing ego

mempunyai perasaan, kelakuan, kepribadian yang exist secara independent dan keluar

dalam waktu yang berlainan.

2. Isi

Sepuluh penelitian yang telah dilakukan di 6 negara (Kanada, Amerika, Turki,

Norwegia, Swiss, dan Jerma) didapatkan hasil sekitar 3,9% dari 1.529 pasien psikiatri

1
tidak terdiagnosis utama sebagai gangguan disosiatif dan tidak mendapatkan terapi

bahkan tidak diklaim sebagai pengidap gangguan disosiatif. Prosedur dalam

penelitian tersebut menggunakan instrument penelitian Dissosiative Experiences

Scale (DES) dan kemudian di interview menggunakan Dissosiative Disorders

Interview Schedule (DDIS) atau DSM-IV. Berdasarkan Epidemiologinya, gangguan

disosiatif seharusnya menjadi bagian dari diagnosis banding berbagai pasien psikiatri,

termasuk pasien yang mendapat psikoterapi Eye Movement Desensitization &

Reprocessing (EMDR).

Dissociative Experiences Scale (DES). Instrumen DES ini terdiri dari 28 item

yang berupa self report mengenai frequensi dari beberapa pengalaman disosiatif

penderita. Skor dalam instrumen ini bergerak dari 0 hingga 100. Reliabilitas dan

validitas dari instrumen ini telah diakui oleh masyarakat luas.

Dissociative Disorder Interview Schedule (DDIS). Intrumen ini terdiri dari

131 item mengenai jadwal interview yang terstruktur yang dihubungkan dengan

DSM-III yang memungkinkan untuk dilakukan diagnosis pada kelima gangguan

disosiatif dan depresi mayor, penyalahgunaan obat dan BPD.

Eye Movement Disensitization Reprocessing (EMDR) merupakan pendekatan

psikoterapi terpadu, bertahap, tervalidasi secara keilmuan berdasarkan teori untuk

mengatasi psikopatologi yang dikarenakan oleh pengalaman traumatis dan peristiwa

kehidupan yang mengganggu. Hal ini merupakan hasil dari kelemahan kemampuan

2
bawan manusia untuk memproses dan menggabungkan pengalaman atau pengalaman

dalam sistem saraf pusatnya.

Beberapa penelitian terbaru menjelaskan mengapa perlu mendiagnosis

gangguan disosiatif identitas dan gangguan disosiatif yang kompleks lain dalam

penerapan EMDR. Dalam konfrensi EMDR internasional menjelaskan bahwa topik

kasus yang menarik untuk dibahas yaitu trauma kompleks, disosiatif dan EMDR.

Walaupun belum ada protokol standar EMDR dalam tatalaksana gangguan ini,

pengkajian tentang riwayat, persiapan, modifikasi dibutuhkan untuk tindak lanjut dari

gangguan ini. Pemeriksaan lanjutan perlu dilakukan untuk membangun system

stabilisasi, pendirian, komunikasi interpersonal dan kerja sama, kesadaran dan

orientasi terhadap gangguan kepribadian dalam tubuh penderita.

Belum ada literatur klinis yang menjelaskan bahwa EMDR dapat diterapkan

untuk gangguan disosiatif yang kompleks, dan juga belum aja yang menjelaskan

protocol standar untuk gangguan ini. Maka pertanyaan yang muncul adalah apakah

perlu adanya komunikasi langsung / tidak langsung dengan penderita untuk persiapan

dan desensitasi dan teknik apa yang harus ada dalam literatur pedoman gangguan

disosiatif identitas ini? Jawabannya adalah protocol EMDR perlu diterapkan pada

kasus gangguan disosiatif identitas ini, dan jika ada satu penelitian control trials

dapat memvalidasinya, maka EMDR dapat menjadi protokol standar untuk gangguan

disosiatif identitas.

3
Pembahasan selanjutnya tentang kapan klinisi curiga dan bagaimana

penegakan diagnosis gangguan disosiatif identitas. Literature terbaru telah membahas

mengenai perselisihan validitas dan reabilitas diagnosis gangguan disosiatif disorder,

dan dalam jurnal ini hal tersebut tidak akan dibahas. Beberapa masalah yang menjadi

kesalahpahaman mengenai gangguan disosiatif identitas telah dirangkum dalam table

dibawah ini.

Gangguan disosiatif identitas ditegakkan berdasarkan gejala utama, anamnesis

secara langsung, waktu yang memungkinkan, dan keterangan keluarga. Gangguan

disosiatif identitas harus dapat dibedakan dari malingering dan orang yang berpura-

pura mengalaminya. Gejala gangguan yaitu ada kepribadian berubah-ubah murni dari

gangguan mental bukan dari penderita itu sendiri. Memiliki gangguan ini tidak selalu

berubah menjadi kepribadian yang tidak memiliki moral, etika, dan tanggung jawab.

4
Kriteria Diagnostik Gangguan Disosiatif Identitas Menurut DSM-V

Kriteria diagnositik gangguan disosiatif identitas telah dijelaskan dalam DSM-

V dan kriteria tersbut juga sudah termasuk dalam DDIS. Berikut kriteria yang

dijelaskan dalam DSM-V

XIV. GANGGUAN DISOSIATIF IDENTITAS

1. (127) Pernahkah Anda merasa seperti ada dua atau lebih kepribadian dalam

diri Anda, yang mana pada suatu kondisi Anda merasa memiliki kepribadian

itu? Suatu kepribadian yang menganggu dan tidak masuk akal yang disertai

dengan kekacauan perasaan, perilaku, kesaradaran, ingatan, persepsi, pikiran

dan sensasi?. Ya = 1, Tidak = 2, Tidak Yakin = 3

2. (128) Pernahkah Anda mengalami ketidakmampuan dalam mengingat

kembali informasi personal yang penting atau kejadian traumatik yang sangat

sulit dijelaskan karena anda tidak mengingatnya?. Ya = 1, Tidak = 2, Tidak

Yakin = 3

3. (129) Pernahkah anda merasa gejala menyebabkan kesulitan dalam masalah

sosial, pekerjaan, atau fungsi yang lain? Ya = 1, Tidak = 2, Tidak Yakin = 3

4. (130) Adakah masalah dengan perbedaan identitas atau kepribadian

dikarenakan suatu penyalahgunaan zat (seperti alcohol) atau suatu kondisi

medis lain? Ya = 1, Tidak = 2, Tidak Yakin = 3

5
Kapan Mencurigai Gangguan Disosiatif Identitas

Pada beberapa penelitian menjelaskan bahwa gangguan disosiatif identitas

lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki, dengan rasio 2:1,

walaupun begitu jenis kelamin tidak dapat dikatakan sebagai faktor resiko yang

signifikan dalam gangguan ini. Pada beberapa penelitian telah dijelaskan faktor resiko

pada gangguan disosiatif identitas dan gejala yang dapat muncul pada gangguan ini,

hal tersebut dirangkum dalam table dibawah ini dan kasus berikut.

Contoh Kasus

Kasus ini diambil dari Current Psychiatry yang mengandung beberapa elemen

yang menunjukkan bahwa gangguan disosiatif identitas yang tidak terdiagnosis.

6
Ms. T usia 20 tahun, dibawa ke IGD oleh ayahnya karena dia tidak mau

makan dan minum, tidak mau melakukan apapun, dan hanya berbaring di kasur

sepanjang hari, dan tidak melakukan aktivitas seperti biasa (ADL). Di IGD dia mulai

tidak kooperatif dan mutisme, kemudian dia menjadi agitatif dan mengalami kejang

dengan karakteristik seperti menyentakkan kaki dan tangannya secara acak dan tidak

simetris, kedua mata tertutup, meneteskan air mata, mulut berbusa, merintih, dan

tidak ada respon.kejangnya berdurasi lebih dari 5 menit.

Kondisi psikiatri, Ms. T merupakan orang yang sangat sensitive dan tidak

teratur dan jarang makan, berprilaku kekanakan. Ia sering ditemukan tidur dengan

posisi meringkuk, kondisi menangis, dan berbicara seperti anak kecil. Dokter

psikiatrinya menjelaskan bahwa ia merupakan korban kekerasan fisik dan pelecehan

seksual sejak usia 7 tahun. Saat usia 9 tahun ibunya meninggal karena kanker

payudara, kemudian dia dan saudaranya pindah ke panti asuhan, dimana ia

mengalami kekerasan fisik oleh staf. Dia tinggal disana hingga usia 18 tahun.

Ayahnya mengatakan bahwa ia sering keluar masuk rumah sakit karena

instabil pelvis, berbicara gagap, dan tidur semu. Dokter psikiatrinya

mempertimbangkan adanya gangguan konversi dan gangguan disosiatif.

Diagnosis Pseudoseizure yang dibuat oleh penulis secara teknik telah benar

akan tetapi tidak dapat menjelaskan gambaran klinis yang lengkap. Walaupun telah

dipertimbangkan adanya gangguan disosiatif, tidak ada bukti yang kuat bahwa

7
gangguan disosiatif identitas dapat ditegakkan. Maka sangat perlu pasien diinterview

menggunakan DES dan DDIS sehingga dapat menentukan diagnosis yang tepat.

Kedua kuisioner DES dan DDIS merupakan pedoman yang telah digunakan yang

memiliki validitas dan reabilitas yang sudah terbukti. Kedua penilaian telah

dijelaskan dalam textbook psikiatri American Psychiatric Association (APA).

Episode kejang yang terjadi pada Ms T dapat merupakan ledakan emosi dari

kejahatan yang dialami saat masa kecilnya. Gangguan disosiatif identitas dapat

menyebabkan perubahan mendadak dari perilaku, menangis, dan berbicara seperti

anak kecil, dan tidur semu yang ia alami. Riwayat pelecehan seksual yang dialaminya

menyebabkan instabil pelvis. Bagaimana dokter terserbut mendapat diagnosis

gangguan disosiatif pada Ms T selama wawancara psikiatri?

Bagaimana Penegakan Diagnosis Gangguan Disosiatif Identitas

Prosedur dan pendekatan diagnosis gangguan ini sama seperti gangguan jiwa

yang lainnya. Gangguan disosiatid identitas dapat dicurigai namun tidak dapat

didiagnosis pada pasien psikotik yang disertai gangguan isi piker yang berat,

intoksikasi, delirium, pasien yang tidak kooperatif, mutisme, atau pasien yang tidak

dapat dievaluasi status mentalnya. Penagakan diagnosisnya berdasarkan dari

anamnesis, hingga keterangan keluarga dan pemeriksaan status mental. Dan

diperlukan beberapa pertanyaan tambahan yang jarang ditanyakan, pertanyaan

tersebut dapat dilihat di table berikut.

8
Pada beberapa penelitian menjelaskan bahwa pasien dengan kepribadian

multiple rata-rata telah berlangsung selama 7 tahun dan kemudian terdiagnosis

gangguan disosiatif. Belum ada bukti penelitian bahwa durasi yang lebih pendek

dalam menentukan diagnosis, kecuali terdapat satu laporan literatur yang menjelaskan

bahwa gangguan disosiatif didiagnosis setelah 25 tahun. Walaupun beberapa kasus

gangguan disosiatif ini sulit ditegakkan, sebagian penundaan diagnosis ini

dikarenakan kegagalan dalam mendapatkan anamnesis yang lengkao dan spesifik.

Ketika pertanyaan penting telah ditanyakan, maka gangguan disosiatif

identitas ini dapat ditegakkan dalam satu kali pemeriksaan. Seperti penyakit yang

9
lainnya, penegakan diagnosis pada beberapa kasus membutuhkan waktu dan

kolaborasi lintas bagian. Biasanya, pada beberapa kasus diagnosis yang dapat

diangkat sesuai DSM-V yaitu gangguan disosiatif tak spesifik. Pertanyaan spesifik

yang perlu ditanyakan yaitu mengenai apakah pasien merasa ada orang lain dalam

tubuhnya. Pertanyaan tersebut dapat ditanyakan pada bagian terakhir dari wawancara

dan setelah pertanyaan di table 3 ditanyakan.

Seperti wawancara yang lain, wawancara dimulai dengan pertanyaan terbuka

dan diakhiri dengan pertanyaan tertutup. Pasien dengan gangguan disosiatif disorder

jarang dapat menceritakan masalah yang dialami. Kemungkinan adanya remisi (bebas

sakit) yang berkepanjangan sehingga perubahan kepribadian tidak terjadi, maka

sebagian besar pertanyaan pada table tidak didapatkan. Dan ini merupakan bukan

kasus dimana seseorang pasien dalam masa krisis dan memiliki gangguan jiwa.

Jika pasien merasa ada orang lain dalam dirinya yang mengambil kontrol

dalam tubuhnya, disertai dengan amnesia maka pertanyaann pada table 3 dapat

dilanjutkan. Adanya amnesia tentang masa kecil, seperti tidak dapat mengingat

apapun yang terjadi sebelum usia 13 tahun, atau amnesia pada waktu yang spesifik

seperti pada usia 8-12 tahun ketika ayah tiri mulai tinggal di rumah. Bagaimana

amnesia tentang masa kecil sudah lumrah terjadi, dan susah dibedakan dari keadaan

lupa yang normal. Gejala khas dari gangguan disosiatif identitas ini yaitu adanya

blank spell tanpa ada riwayat konsumsi alcohol atau obat-obatan sebelumnya. Pada

10
sebagian besar kasus, ini sangat sulit dibedakan dengan kondisi lupa yang normal dan

mabuk dan jika ditelaah lebih lanjut kondisi tersebut berbeda.

Banyak gejala gangguan disosiatif disorder berada dalam satu rangkaian.

Gejalanya memang sangat sulit dibedakan dari kondisi lupa yang normal atau gejala

gangguan disosiatif yang berat. Bagaimana pun jika seseorang menjelaskan adanya

suatu suara dalam dirinya yang menyebutkan nama yang sudah diketahui, usia dan

jenis kelamin, dan keluar selama dua hari menemukan diri dalam suatu tempat yang

tidak diketahui (seperti berada seranjang dengan orang asing), adanya trauma berat

saat masa kecil, dan merasa ada orang lain dalam dirinya, maka kecurigaan besar

terhadap gangguan disosiatif identitas.

Tidak ada rahasia mengapa para dokter tidak dapat melihat kasus gangguan

disosiatif identitas. Mereka tidak menanyakan gejala dan mempertimbangkan

gangguan ini sebagai diagnosis banding. Beberapa pertanyaan dalam artikel ini, dan

skala DES & DDIS, sudah tersedia dalam menegakkan diagnosis gangguan disosiatif

identitas dalam 100 sampel pasien psikiatri rawat inap di beberapa fasilitas kesehatan.

Begitu pun juga, gangguan disosiatif yang tidak terdiagnosis tidak sulit ditemukan

dalam penerapan EMDR. Hal ini untuk pasien yang tidak didiagnosis, tidak mendapat

terapi, dan tidak diklaim mengidap gangguan ini. Ini merupakan suatu hipotesis yang

telah dijawab oleh enam Negara. Sebelumnya, gangguan disosiatif identitas tidak

terdiagnosis bisa ditegakkan karena adanya riwayat trauma dan mendapatkan EMDR.

11
Secara umum, gangguan disosiatif identitas dapat dengan mudah ditegakkan

dengan mudah dalam unit gawat darurat atau saat rawat inap karena pasien krisis,

tidak stabil, dan kurang terorganisir, tidak ada pendirian, lebih memiliki gejala yang

mendekati yang lalu. Dan juga pengurungan, dukungan, dan struktur pasien rawat

inap membuat faktor resiko mudah diketahui. Pada pasien rawat jalan, seperti

penerapan EMDR akan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menegakkan

diagnosis. Pasien rawat jalan biasanya lebih stabil, terorganisir, lebih fungsional,

maka mereka akan kurang mengalami kejadian blank spell, suara dalam diri, dan

gejala lainnya. Hal tersebut karena gejalanya mengalami fase dormant atau tidak

muncul. Sebagai tambahan kita membutuhkan kolaborasi dengan bagian lain untuk

memudahkan dalam penegakan diagnosis segera. Penegakkan diagnosis gangguan

disosiatif disorder dapat berdasarkan skala DES dan DDIS.

3. Kesimpulan

Jika ada suatu penelitian Randomized Control Trials yang menjelaskan EMDR

untuk gangguan disosiatif identitas yang akan dilakukan suatu saat nanti, maka

sebuah protokol standar dibutuhkan. Apapun protokolnya, dibutuhkan suatu

assessment yang sistematis untuk menegakkan gangguan disosiatif yang tidak

terdiagnosis. Adapun pedoman dalam menentukan diagnosis gangguan disosiatif

identitas telah jelaskan dalam artikel ini, dan tambahan yang dapat membantu

diagnosis gangguan ini adalah skala DES dan DDIS.

12
REFERENSI

1. Ross, C., When to Suspect and How to Diagnose Dissociative Identity


Disorder. Journal of EMDR Practice and Research, 2015. Vol 9 (2)

2. Rizki D., Eye Movement Desensitization And Reprocessing (Emdr)


Untuk Menurunkan Ptsd Pada Korban Inses. Humanitas. 2017. Vol
14 (1)

3. APA. (2000). DSM V-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders IV Text Revision). Washington, DC: American Psychiantric
Association Press

4. DES SCALE
(https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=
1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjZrveFtpDcAhWOfX0KHejVAe8Q
FggtMAA&url=https%3A%2F%2Fwww.hebpsy.net%2Ffiles%2FruZXkl
5YGeKcvt6dBZpS.pdf&usg=AOvVaw1jMoYORco9Mvn2uA1_ulZT)

5. DDIS
(https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=
2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwidoKWltpDcAhVYbysKHV0fBaIQ
Fgg0MAE&url=http%3A%2F%2Fwww.rossinst.com%2FDownloads%2
FDDIS-DSM-5.pdf&usg=AOvVaw273-2VRJE2PsOGtC1L3sDp)

13

Anda mungkin juga menyukai