Anda di halaman 1dari 20

1.

DEFINISI

Glomerulonephritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral.


Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria
(adanya protein dalam urin) dan/atau hematuria (adanya eritrosit dalam urin).
Meskipun lesi terutama ditemukan pada glomerulus, tetapi seluruh nefron
pada akhirnya akan mengalami kerusakan. Glomerulonephritis juga
merupakan sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti
pembentukan beberapa antigen (Price, Sylvia. A, 2005)

Glomerulonefritis merupakan penyakit yang diduga melibatkan


mekanisme imunologis, dapat menimbulkan reaksi peradangan berat serta
pembentukan jaringan fibrosis pada glomerulus. Pengobatan terbaru
glomerulonefritis mempunyai dua tujuan yaitu menekan proses peradangan
dan menghambat progresifitas fibrosis glomerulus, sehingga gagal ginjal
terminal dapat dicegah (Dany, 2007)

2. EPIDEMIOLOGI

Insidensi dan prevalensi glomerulonephritis yang berakhir dengan


kematian dan end-stage renal disease (ESRD) masih belum diketahui di
Amerika Serikat. Akan tetapi berdasarkan studi Wetmore (2016), tingkat
insidensi glomerulonephritis sekunder per 100.000 pasien mencapai 134,
sedangkan glomerulonephritis primer tingkat insidensinya lebih tinggi yaitu
917 per 100.000 pasien. Dalam studi tersebut juga disebutkan bahwa wanita
dengan glomerulonephritis sekunder lebih sedikit yang mengalami
komplikasi ESRD tetapi tidak menjelaskan penyebabnya. Selain itu, pasien
dengan ras hitam ditemukan lebih banyak yang mengarah ke ESRD
dibandingkan dengan pasien ras putih. Jadi, glomerulonephritis di Amerika
Serikat dianggap meningkat seiring dengan progresi penyakitnya.

Penelitian lainnya menyebutkan terdapat 7.176 kasus glomerulonephritis


akibat penyakit system imun dari tahun 2007 hingga 2011, atau dalam kata
lain 69,8 kasus per 100.000 orang. Usia rata-rata peserta yaitu 41 tahun,
sementara usia rata-rata prevalensi glomerulonephritis primer yaitu 51,3
tahun dengan usia insidensi 53 tahun. Pada glomerulonephritis akibat system
imun, usia prevalensinya yaitu 55,2 tahun dan usia insidensi yaitu 58 tahun.
Pada glomerulonephritis primer 41,7% prevalensi dan 40,4% insidensi terjadi
pada pasien wanita sedangkan glomerulonephritis akibat system imun, 69%
prevalensi dan 58% insidensi pasien wanita. (Charnow, 2014)

Glomerulonefritis mewakili 1-15% penyakit glomerulus. Meskipun


berjangkit secara sporadik, insidensi dari Poststreptococcal
Glomerulonephritis (PSGN) telah turun selama beberapa dekade terakhir.
PSGN dapat terjadi pada semua usia, akan tetapi biasanya terjadi pada anak
usia 5-15 tahun. Hanya 10% PSGN yang terjadi pada dewasa di atas 40
tahun. Secara keseluruhan, PSGN sering terjadi pada anak usia 6-16 tahun.
GN akut predominan terjadi pada laki-laki dengan perbandingan 2:1 pada
wanita. Higenitas yang rendah pada beberapa kelompok sosioekonomi
menunjukkan adanya insidensi yang tinggi pada infeksi PSGN, akan tetapi
hal ini bukan berarti PSGN memiliki predileksi untuk beberapa ras atau
kelompok (Pamar, 2014)

3. KLASIFIKASI
1. Congenital (herediter)

1.1. Sindrom Alport

Suatu penyakit herediter yang ditandai oleh adanya


glomerulonefritis progresif familial yang seing disertai tuli syaraf
dankelainan mata seperti lentikonus anterior. Diperkirakan sindrom
alport merupakan penyebab dari 3% anak dengan gagal ginjal kronik
dan 2,3% dari semua pasien yang mendapatkan cangkok ginjal.
Hilangnya pendengaran secara bilateral dari sensorineural, dan
biasanya tidak terdeteksi pada saat lahir, umumnya baru tampak pada
awal umur sepuluh tahunan.

1.2. Sindrom Nefrotik Kongenital


Sindroma nefrotik yang telah terlihat sejak atau bahkan sebelum
lahir. Beberapa kelainan laboratories sindrom nefrotik
(hipoproteinemia, hiperlipidemia) tampak sesuai dengan sembab dan
tidak berbeda dengan sindrom nefrotik jenis lainnya. Klasifikasi
sindrom nefrotik kongenital

a. Idiopatik : sindrom nefrotik congenital tipe finlandia, sklerosis


mesangal difus, jenis lain

b. sekunder : sifilis kongenital, infeksi perinatal, intoksikasi merkuri

c. sindrom : sindrom drash dan sindrom malformasi lain

2. Glomerulonefritis Primer

2.1. Glomerulonefritis membranoproliferasif

Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya


dengan gejala yang tidak spesifik, bervariasi dari hematuria
asimtomatik sampai glomerulonefitis progresif. 20-30% pasien
menunjukkan hematuria mikroskopik dan proteinuria, 30 % berikutnya
menunjukkan gejala glomerulonefritis akut dengan hematuria nyata
dan sembab, sedangkan sisanya 40-45% menunjukkan gejala-gejala
sindrom nefrotik. Tidak jarang ditemukan 25-45% mempunyai riwayat
infeksi saluran pernafasan bagian atas, sehingga penyakit tersebut
dikira glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau nefropati IgA.

2.2. Glomerulonefritis membranosa

Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu


atau setelah pengobatan dengan obat tertentu. Glomerulopati
membranosa paling sering dijumpai pada hepatitis B dan lupus
eritematosus sistemik. Tidak ada perbedaan jenis kelamin. Proteinuria
didapatkan pada semua pasien dan sindrom nefrotik merupakan 80%
sampai lebih 95% anak pada saat awitan, sedangkan hematuria
terdapat pada 50-60%, dan hipertensi 30%.
2.3. Nefropati IgA (penyakit berger)

Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan


glomerulonefritis akut, sindroma nefrotik, hipertensi dan gagal ginjal
kronik. Nefropati IgA juga sering dijumpai pada kasus dengan
gangguan hepar, saluran cerna atau kelainan sendi. Gejala nefropati
IgA asimtomatis dan terdiagnosis karena kebetulan ditemukan
hematuria mikroskopik. Adanya episode hematuria makroskopik
biasanya didahului infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain atau non
infeksi misalnya olahraga dan imunisasi.

3. Glomerulonefritis sekunder

Glomerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik


yaitu glomerulonefritis pasca streptococcus, dimana kuman penyebab
tersering adalah streptococcus beta hemolitikus grup A yang nefritogenik
terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah

Berdasar derajatnya, dapat diklasifikasikan menjadi:

3.1 Glomerulonefritis akut


Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara
mendadak. Peradangan akut glomerulus terjadi akibat peradangan
komplek antigen dan antibodi di kapiler- kapiler glomerulus. Komplek
biasanya terbentuk 7-10 hari setelah infeksi faring atau kulit oleh
Streptococcus (glomerulonephritis pascastreptococcus ) tetapi dapat timbul
setelah infeksi lain. (Corwin, 2000)
3.2 Glomerulonefritis kronik
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel-sel
glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang
tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik
sering timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus
sub klinis yang disertai oleh hematuria (darah dalam urin) dan proteinuria
(protein dalam urin) ringan, yang sering menjadi penyebab adalah diabetes
mellitus dan hipertensi kronik. Hasil akhir dari peradangan adalah
pembentukan jaringan parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Pada
pengidap diabetes yang mengalami hipertensi ringan, memiliki prognosis
fungsi ginjal jangka panjang yang kurang baik. (Corwin, 2000)

Berdasarkan bagian yang mengalami gangguan, dapat dibagi menjadi tiga


yaitu:

a. Difus
Mengenai semua glomerulus, bentuk yang paling sering ditemui
timbul akibat gagal ginjal kronik. Bentuk klinisnya ada 3 yaitu

- Akut : Jenis gangguan yang klasik dan jinak, yang selalu


diawali oleh infeksi stroptococcus dan disertai endapan kompleks
imun pada membrana basalis glomerulus dan perubahan
proliferasif seluler.

- Sub akut : Bentuk glomerulonefritis yang progresif cepat,


ditandai dengan perubahan-perubahan proliferatif seluler nyata
yang merusak glomerulus sehingga dapat mengakibatkan kematian
akibat uremia.

- Kronik : Glomerulonefritis progresif lambat yang berjalan


menuju perubahan sklerotik dan abliteratif pada glomerulus, ginjal
mengisut dan kecil, kematian akibat uremia.

b. Fokal
Hanya sebagian glomerulus yang abnormal.
c. Lokal
Hanya sebagian rumbai glomerulus yang abnomral misalnya satu
sampai kapiler.
4. FAKTOR RESIKO
Menurut Noer (2002), menyebutkan beberapa faktor risiko pada
glomerulonephritis, yaitu:
1. Usia
Bahwa usia merupakan salah satu faktor risiko pada glomerulonephritis
akut pasca streptococcus. Dimana anak pada usia 5-15 tahun lebih
berpeluang.
2. Jenis Kelamin
Anak laki-laki memiliki peluang 2x lebih sering menderita penyakit ini
dibandingkan anak perempuan.
3. Faktor Iklim
4. Faktor Gizi
Anak dengan keadaan gizi buruk akan lebih berisiko menderita penyakit
ini dan memperparah infeksi bakteri streptococcus.

Hal diatas juga sesuai dengan isi pada jurnal yang berjudul “Analisis
Faktor Risiko Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak Di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado” (2017) ada beberapa faktor risiko
penyebab glomerulonefritis antara lain:
1. Anak Laki-Laki Berusia 5-12 Tahun
Hal ini karena pada usia sekolah anak sudah mulai sering berada di luar
rumah dan lebih aktif sehingga mudah terpapar dengan kuman penyebab
GNAPS.
2. Status Sosial Ekonomi yang Rendah
3. Musim Hujan
Musim merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya
GNAPS.Indonesia merupakan negara beriklim tropis yanghanya memilki 2
musim yaitu musim hujan dan musim panas. Terjadinya GNAPS didahului
dengan infeksi saluran perna-pasan atas (ISPA) 1-2 minggu dan infeksi
kulit (pioderma) 3-6 minggu. ISPA umunya terjadi pada musim hujan
sedangkan pioderma pada musim panas.
4. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dengan glomerulonefritis adalah prediktor kuat sebagai
predisposisi kejadian glomerulonefritis. Risiko keluarga yang sangat tinggi
diamati pada keluarga multipleks, yaitu dengan satu atau lebih keluarga
tingkat pertama yang terkena glomerulonefritis akut.

5. ETIOLOGI
5.1 Glomerulonefritis Akut
Beberapa penyebab yang mendasari glomerulonefritis akut dapat
dibagi menjadi kelompok infeksi dan bukan infeksi.
A. Kelompok Infeksi
Penyebab infeksi yang paling sering GNA adalah infeksi oleh
spesies Streptococcus(yaitu, kelompok A dan beta-hemolitik). Dua
jenis telah dijelaskan, yang melibatkan serotipe yang berbeda:
 Serotipe M1, 2, 4, 12, 18, 25 - nefritis poststreptococcal akibat
infeksi saluran pernapasan atas, yang terjadi terutama di
musim dingin.
 Serotipe 49, 55, 57, 60 - nefritis poststreptococcal karena
infeksi kulit, biasanya diamati pada musim panas dan gugur
dan lebih merata di daerah selatan Amerika Serikat.

Glomerulonefritis akut pasca infeksi Streptococcus(GNAPS)


biasanya berkembang 1-3 minggu setelah infeksi akut dengan
strain nephritogenic spesifik grup A streptokokus beta-hemolitik.
Insiden glomerulonefritisadalah sekitar 5-10% pada orang dengan
faringitis dan 25% pada mereka dengan infeksi kulit.
Glomerulonefritis akut pascainfeksi nonstreptococcal mungkin
juga hasil dari infeksi oleh bakteri lain, virus, parasit, atau jamur.
Bakteri selain streptokokus grup A yang dapat menyebabkan GNA
termasuk diplococci, streptokokus lainnya, staphylococci, dan
mikobakteri. Salmonella typhosa, Brucella suis, Treponema
pallidum, Corynebacterium bovis, dan actinobacilli juga telah
diidentifikasi.
Cytomegalovirus (CMV), coxsackievirus, Epstein-Barr virus
(EBV), virus hepatitis B (HBV), rubella, rickettsiae (seperti dalam
tifus scrub), dan virus gondong diterima sebagai penyebab virus
hanya jika dapat didokumentasikan bahwa infeksi Streptococcus
beta-hemolitik tidak terjadi. GNA telah didokumentasikan sebagai
komplikasi langka hepatitis A.
Hubungan antara glomerulonefritis ke etiologi parasit atau
jamur memerlukan pengecualian dari infeksi streptokokus.
Organisme diidentifikasi meliputi Coccidioides immitis dan parasit
berikut: Plasmodium malariae, Plasmodium falciparum,
Schistosoma mansoni, Toxoplasma gondii, filariasis, trichinosis,
dan trypanosomes.

B. Kelompok Non-infeksi
Penyebab non-infeksi dari GNA dapat dibagi menjadi penyakit
ginjal primer, penyakit sistemik, dan kondisi lain-lain atau agen.
a. Penyakit sistemik multisistem yang dapat menyebabkan GNA
meliputi:
 Vaskulitis (misalnya, Wegener granulomatosis) -
menyebabkan glomerulonefritis yang menggabungkan
nephritides granulomatosa atas dan bawah.
 Penyakit kolagen-vaskular (misalnya, lupus eritematosus
sistemik [SLE]) - menyebabkan glomerulonefritis melalui
deposisi kompleks imun pada ginjal.
 Vaskulitis hipersensitivitas - mencakup sekelompok
heterogen gangguan pembuluh darah kecil dan penyakit
kulit.
 Cryoglobulinemia - menyebabkan jumlah abnormal
cryoglobulin dalam plasma yang menghasilkan episode
berulang dari purpura luas dan ulserasi kulit pada
kristalisasi.
 Polyarteritis nodosa - menyebabkan nefritis dari vaskulitis
melibatkan arteri ginjal.
 Henoch-Schönlein purpura - menyebabkan vaskulitis umum
mengakibatkan glomerulonefritis.
 Sindrom Goodpasture - menyebabkan antibodi yang beredar
pada kolagen tipe IV dan sering mengakibatkan kegagalan
ginjal progresif cepat (minggu ke bulan).

b. Penyakit ginjal primer yang dapat menyebabkan GNA meliputi:


 Membranoproliferatif glomerulonefritis (MPGN) - Hal ini
disebabkan perluasan dan proliferasi sel mesangial akibat
pengendapan komplemen. Tipe I mengacu pada deposisi
granular dari C3, tipe II mengacu pada proses yang tidak
teratur.
 Penyakit Berger (IgG-immunoglobulin A [IgA] nefropati) -
ini menyebabkan GN sebagai akibat dari deposisi mesangial
difus IgA dan IgG.
 GN proliferatif mesangial “murni”
 Idiopatik glomerulonefritis progresif cepat - Bentuk GN
ditandai dengan adanya glomerulus crescent. Terdapat 3
tipe: Tipe I adalah antiglomerular basement membrane
disease, tipe II dimediasi oleh kompleks imun, dan tipe III
diidentifikasi dengan antibodi sitoplasmik antineutrophil
(ANCA).

c. Penyebab noninfeksius lainnya dari GNA meliputi:


 Sindrom Guillain-Barré
 Iradiasi tumor Wilms
 Vaksin Difteri Pertusis Tetanus (DPT)
 Serum sickness

5.2 Glomerulonefritis Kronik


Penyebab dari glomerulonefritis kronis yaitu :
1. Lanjutan GNA, seringkali tanpa riwayat infeksi (Streptococcus
beta hemoliticus group A).
2. Keracunan.
3. Diabetes Melitus
4. Trombosis vena renalis.
5. Hipertensi Kronis
6. Penyakit kolagen
7. Penyebab lain yang tidak diketahui yang ditemukan pada stadium
lanjut
(Smith, J.m, 2003)

6. PATOFISIOLOGI
Terlampir

7. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Sukandar (2006), manifestasi klinis pada penderita
glomerulonefritis kronik dapat dilihat dari sistem tubuhya sebagai berikut:
a. Kelainan saluran cerna
Pasien akan sering merasa mual dan muntah. Pathogenesis mual dan
muntah masih belum jelas, tetapi diduga mempunyai hubungan dengan
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amoniak. Amoniak ini akan
sebabkan iritasi pada mukosa lambung dan usus halus.
b. Kelainan mata
Pasien akan merasakan kehilangan visus. Kelainan saraf mata
menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris. Terjadi pula
kelainan pada retina seperti retinopati. Adanya penimbunan atau deposis
garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome
akibat iritasi dan hipervaskularisasi.
c. Kelainan kulit
Pasien akan sering merasakan gatal-gatal
d. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia,
ataupun depresi. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak
jarang dengan gejala psikosis. Pada kelainan neurologi, kejang otot atau
muscular twitchingsering ditemukan pada pasien yang sudah dalam
keadaan yang berat, kemudian menjadi koma.

Sedangkan menurut Jordan dan Lemire, (1982) lebih dari 50% kasus GNA
adalah asimtomatik. Kasus klasik atau tipikal diawali dengan infeksi
saluran nafas atas dengan nyeri tenggorokan 2 minggu diawali timbulnya
sembab (Trafis, 1994). Periode laten rata-rata 10 atau 21 hari setelah
infeksi tenggorokan atau kulit (Nelson, 2000).
1. Hematuria (urin berwarna merah kecoklat-coklatan)
2. Proteinuria (protein dalam urin)
3. Oliguria (keluaran urin berkurang)
4. Nyeri panggul
5. Edema, ini cenderung lebih nyata pada wajah di pagi hari, kemudian
menyebar ke abdomen dan ekstremitas di siang hari (edema sedang
mungkin tidak terlihat oleh seorang yang tidak mengenal anak dengan
baik)
6. Suhu badan umumnya tidak seberapa tinggi, tetapi dapat terjadi tinggi
sekali pada hari pertama.
7. Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama
dan akan kembali normal pada akhir minggu pertama juga. Namun
jika terdapat kerusakan jaringan ginjal, tekanan darah akan tetap tinggi
selama beberapa minggu dan menjadi permanen jika keadaan
penyakitnya menjadi kronik (Sekarwana, 2001)
8. Dapat timbul gejala gastrointerstinal seperti muntah, tidak nafsu
makan, dan diare.
9. Bila terdapat ensefalopati hipertensif dapat timbul sakit kepala,
kejang, dan kesadaran menurun.
10. Fatigue (keletihan atau kelelahan).

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 Urinalisis
Pada pemeriksaan urin rutin ditemukan hematuri mikroskopis ataupun
makroskopis (gros), proteinuria. Proteinuri biasanya sesuai dengan derajat
hematuri dan berkisar antara ± sampai 2+ (100 mg/dL). Bila ditemukan
proteinuri masif (> 2 g/hari) maka penderita menunjukkan gejala sindrom
nefrotik dan keadaan ini mungkin ditemukan sekitar 2-5% pada penderita
GNAPS. Ini menunjukkan prognosa yang kurang baik. Pemeriksaan
mikroskopis sedimen urin ditemukan eritrosit dismorfik dan kas eritrosit,
kas granular dan hialin (ini merupakan tanda karakteristik dari lesi
glomerulus) serta mungkin juga ditemukan leukosit. Untruk pemeriksaan
sedimen urin sebaiknya diperiksa urin segar pagi hari.

 Darah

Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda


gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan
hipokalsemia. Komplemen C3 rendah pada hampir semua pasien dalam
minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan
kadar properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut
menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen. Penurunan C3 sangat
mencolok pada penderita GNAPS kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal
50-140 mg.dl). Penurunan komplemen C3 tidak berhubungan dengan
derajat penyakit dan kesembuhan. Kadar komplemen C3 akan mencapai
kadar normal kembali dalam waktu 6-8 minggu. Bila setelah waktu
tersebut kadarnya belum mencapai normal maka kemungkinan
glomerulonefritisnya disebabkan oleh yang lain atau berkembang menjadi
glomerulonefritis kronik atau glomerulonefritis progresif cepat. Anemia
biasanya berupa normokromik normositer, terjadi karena hemodilusi
akibat retensi cairan. Di Indonesia 61% menunjukkan Hb < 10 g/dL.
Anemia akan menghilang dengan sendirinya setelah efek hipervolemiknya
menghilang atau sembabnya menghilang.

Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan


tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi
antimikroba sebelumnya. Beberapa uji serologis terhadap antigen
streptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi, antara lain
antistreptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining
antistreptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi
terhadap beberapa antigen streptokokus. Titer anti streptolisin O mungkin
meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan faringitis,
meskipun beberapa strain streptokokus tidak memproduksi streptolisin O,
sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen streptokokus. Bila
semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya
infeksi streptokokus, titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus. Pada
awal penyakit titer antibodi streptokokus belum meningkat, hingga
sebaiknya uji titer dilakukan secara serial. Kenaikan titer 2-3 kali berarti
adanya infeksi.

 Pencitraan
Gambaran radiologi dan USG pada penderita tidak spesifik. Foto toraks
umumnya menggambarkan adanya kongesti vena sentral daerah hilus,
dengan derajat yang sesuai dengan meningkatnya volume cairan
ekstraseluler. Sering terlihat adanya tanda-tanda sembab paru (di Indonesia
11.5%), efusi pleura (di Indonesia 81.6%), kardiomegali ringan (di
Indonesia 80.2%), dan efusi perikardial (di Indonesia 81.6%). Foto
abdomen dapat melihat adanya asites. Pada USG ginjal terlihat besar dan
ukuran ginjal yang biasanya normal. Bila terlihat ginjal yang kecil,
mengkerut atau berparut, kemungkinannya adalah penyakit ginjal kronik
yang mengalami eksaserbasi akut. Gambaran ginjal pada USG
menunjukkan peningkatan echogenisitas yang setara dengan echogenisitas
parenkhim hepar. Gambaran tersebut tidak spesifik dan dapat ditemukan
pada penyakit ginjal lainnya.

9. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pasien meliputi eradikasi kuman dan pengobatan terhadap


gagal ginjal akut dan akibatnya.
 Antibiotik

Pengobatan antibiotik untuk infeksi kuman streptokokus yang menyerang


tenggorokan atau kulit sebelumnya, tidak mempengaruhi perjalanan atau
beratnya penyakit. Meskipun demikian, pengobatan antibiotik dapat
mencegah penyebaran kuman di masyarakat sehingga akan mengurangi
kejadian GNAPS dan mencegah wabah. Pemberian penisilin pada fase
akut dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis
yang lama tidak dianjurkan. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi
lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil
sekali. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin
30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari. Beberapa klinisi
memberikan antibiotik hanya bila terbukti ada infeksi yang masih aktif,
namun sebagian ahli lainnya tetap menyarankan pemberian antibiotik
untuk menghindarkan terjadinya penularan dan wabah yang meluas.
Pemberian terapi penisilin 10 hari sekarang sudah bukan merupakan terapi
baku emas lagi, sebab resistensi yang makin meningkat, dan sebaiknya
digantikan oleh antibiotik golongan sefalosporin yang lebih sensitif dengan
lama terapi yang lebih singkat.

 Suportif

Pada kasus ringan, dapat dilakukan tirah baring, mengatasi sembab kalau
perlu dengan diuretik, atau mengatasi hipertensi yang timbul dengan
vasodilator atau obat-obat anti hipertensi yang sesuai. Pada gagal ginjal
akut harus dilakukan restriksi cairan, pengaturan nutrisi dengan pemberian
diet yang mengandung kalori yang adekuat, rendah protein, rendah
natrium, serta restriksi kalium dan fosfat. Kontrol tekanan darah dengan
hidralazin, calcium channel blocker, beta blocker, atau diuretik. Pada
keadaan sembab paru atau gagal jantung kongestif akibat overload cairan
perlu dilakukan restriksi cairan, diuretik, kalau perlu dilakukan dialisis
akut atau terapi pengganti ginjal. Pembatasan aktivitas dilakukan selama
fase awal, terutama bila ada hipertensi. Tirah baring dapat menurunkan
derajat dan durasi hematuria gross, tetapi tidak mempengaruhi perjalanan
penyakit atau prognosis jangka panjang.

 Edukasi penderita

Penderita dan keluarganya perlu dijelaskan mengenai perjalanan dan


prognosis penyakitnya. Keluarga perlu memahami bahwa meskipun
kesembuhan yang sempurna diharapkan (95%), masih ada kemungkinan
kecil terjadinya kelainan yang menetap dan bahkan memburuk (5%). Perlu
dielaskan rencana pemantauan selanjutnya, pengukuran tekanan darah dan
pemeriksaan urine untuk protein dan hematuria dilakukan dengan interval
4-6 minggu untuk 6 bulan pertama, kemudian tiap 3-6 bulan sampai
hematuria dan proteinuria menghilang dan tekanan darah normal untuk
selama 1 tahun. Kadar C3 yang telah kembali normal setelah 8-10 minggu
menggambarkan prognosis yang baik.

10. KOMPLIKASI
Glomerulonefritis akut terkadang bisa sembuh tanpa penanganan
tertentu. Tetapi secara umum, baik glomerulonefritis akut maupun kronis bila
tidak ditangani secara benar, bisa bertambah parah dan memicu penyakit lain.
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah hipertensi, sindrom
nefrotik, gagal ginjal akut, penyakit ginjal kronis, gagal jantung dan edema
paru akibat cairan yang menumpuk dalam tubuh, gangguan kesimbangan
elektrolit seperti natrium dan kalium, dan rentan terhadap infeksi.
Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari, terjadi sebagai
akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal
akut dengan uremia, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia. Walau oliguria atau
anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka
dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan.Hipertensi ensefalopati,
didapatkan gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-
kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan
edema otak. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki
basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja
disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi gagal
jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium. Anemia
yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang
menurun (Rachmadi, 2010).

11. PENCEGAHAN
Sebagian besar kondisi glomerulonefritis tidak dapat dicegah. Namun,
ada beberapa langkah yang dapat diupayakan:
 Hubungi dokter untuk penanganan segera bila Anda mengalami kondisi
nyeri tenggorokan akibat infeksi Streptokokus atau kondisi impetigo.
 Kendalikan tekanan darah tinggi, salah satu faktor yang meningkatkan
risiko cedera pada ginjal.
 Kendalikan kadar gula darah untuk mencegah nefropati diabetik
(gangguan ginjal akibat diabetes).
 Untuk mencegah infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya beberapa
jenis glomerulonefritis, seperti HIV dan hepatitis, ikuti panduan seputar
hubungan seksual yang aman. Hindari pula penggunaan narkotika
berbahaya.
Glomerulonefritis merupakan penyakit yang diduga melibatkan
mekanisme imunologis, dapat menimbulkan reaksi peradangan berat serta
pembentukan jaringan fibrosis pada glomerulus. Pengobatan terbaru
glomerulonefritis mempunyai dua tujuan yaitu menekan proses peradangan
dan menghambat progresifitas fibrosis glomerulus, sehingga gagal ginjal
terminal dapat dicegah. Obat yang digunakan untuk menekan proses
peradangan adalah mikofenolat mofetil, rapamycin, anti-molekul adhesi, anti-
sitokin inflamasi, antibodi monoklonal anti-CD20, dan anti-siklooksigenase-
2. Obat yang dapat menghambat progresivitas fibrosis glomerulus adalah
antagonis angiotensin II dan pirfenidone. Pengembangan obat baru untuk
mengatasi peradangan dan mencegah fibrosis pada glomerulonefritis,
diharapkan dapat mencegah terjadinya gagal ginjal terminal pada anak.
DAFTAR PUSTAKA

(PDF) Pandangan Baru Pengobatan Glomerulonefritis. Available from:


https://www.researchgate.net/publication/312301181_Pandangan_Baru_Peng
obatan_Glomerulonefritis [accessed Jul 04
2018].https://www.klikdokter.com/penyakit/glomerulonefritis

Albar H, Rauf S. Acute glomerulonephritis among Indonesian children.


Proceedings of the 13th National Congress of Child Health - KONIKA
XIII, Bandung, West Java – Indonesian Society of Pediatricians, 2005.
Charnow, J. 2014. Glomerlonefritis epidemiology characterized. Renal & Urology
News.

Corwin, E. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Dany Hilmanto. 2007. Pandangan Baru Pengobatan Glomerulonefritis.


https://www.researchgate.net/publication/312301181_Pandangan_Baru_Peng
obatan_Glomerulonefritis [accessed Jul 11 2018].

Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl J Med.


1998;339(13):888- 99.

Khasanah, Uswatun. 2013. Nyeri Akut pada Glomerulonefritis.


http://repository.ump.ac.id/2460/3/USWATUN%20KHASANAH%20BAB
%20II.pdf(Online). Diakses pada 8 Juli 2018 pada pukul 11.48 WIB

Lattanzio MR, Kopyt NP. Acute kidney injury: new concepts in definition,
diagnosis, pathophysiology, and treatment. J Am Osteopath Assoc.
2009;109(1):13-9.

Madaio MP, Harrington JT. The diagnosis of glomerular diseases: acute


glomerulonephritis and the nephrotic syndrome. Arch Intern Med.
2001;161(1):25-34.

Nishi S. [Treatment guidelines concerning rapidly progressive glomerulonephritis


syndrome]. Nippon Naika Gakkai Zasshi. 2007;96(7):1498-501.

Parmar MS. 2014. Acute glomerulonephritis. medscape.com

Price, S.A., dan Wilson, L. M., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, Edisi 6, Vol. 2, diterjemahkan oleh Pendit, B. U., Hartanto, H.,
Wulansari, p., Mahanani, D. A.,Jakarta : EGC

Rachmadi, D. 2010. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Glomerulonefritis Akut.


Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK. UNPAD-RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung,
Simposium Nasional II IDAI cabang Lampung, Bandar Lampung.
Rodriguez B, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Avner
ED, Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N, penyunting. Pediatric
nephrology. edisi ke-6. Berlin: Springer; 2009. h. 743-55.

Simckes AM, Spitzer A. Poststreptococcal acute glomerulonephritis. Pediatr Rev.


1995;16(7):278-9.

Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. 2003. The child with acute nephritis syndrome.
Dalam: Webb N, Postlethwaite R, penyunting. Clinical paediatric
nephrology. edisi ke-3. New York: Oxford;. h. 367-80.

Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritis syndrome.
Dalam: Webb N, Postlethwaite R, penyunting. Clinical paediatric
nephrology. edisi ke-3. New York: Oxford; 2003. h. 367-80.

Sukandar E. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Bandung: Pusat
Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran/RS Dr. Hasan Sadikin Bandung

Tatipang, Pirania CH., dkk. 2017. Analisis Faktor Risiko Glomerulonefritis Akut
Pasca Streptokokus pada Anak Di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 5, Nomor 2, Juli-Desember 2017. Manado:
Universitas Sam Ratulangi.

Wetmore, J; Guo, H; Liu, J; Collins, A; Gilbertson D. 2016. The incidence,


prevalence, and outcomes of glomerulonephritis derived from large
retrospective analysis. Official Journal of International Society of
Nephrology.
LAPORAN PJBL GLOMERULONEFRITIS

Disusun untuk memenuhi tugas SP FP Urin

PSIK 2015 Reguler 2


Kelompok 3

Shabhira Mayang S. (155070201111014)


Ziadah Nikmatur R. (155070201111020)
Dyah Ekafaraviqa A. S. (155070201111022)
Andy Kurniasary (155070201111026)
A.A. Ist. Catur Dyah F. (155070201111030)
Ni Wayan Manik A. S. (155070201111032)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

Anda mungkin juga menyukai